Вы находитесь на странице: 1из 8

GENETICS PROBLEM SOLVING IN HIGH SCHOOL TESTING IN KENYA: EFFECTS OF

METACOGNITIVE PROMPTING DURING TESTING


I. LATAR BELAKANG
Tujuan pendidikan sains adalah mengembangkan keterampilan pemecahan
masalah dan membantu siswa untuk menjadi mandiri dan efektif dalam belajar.
Beberapa dekade, pakar pendidikan sains telah mempromosikan ide bahwa peserta
didik harus terlibat aktif dan gembira dalam proses pembelajaran, peserta didik harus
dibantu menemukan nilai penalaran berbasis bukti dan keterampilan kognitif tingkat
tinggi, dan diarahkan untuk memecahkan masalah secara inovatif.
Identifikasi faktor terkait tingginya tingkat kemampuan pemecahan masalah
menyebabkan beberapa peneliti menyelidiki hubungan antara metakognisi dan
konstruksi lainnya yaitu pemecahan masalah. Namun, tidak ada studi yang
didokumentasikan untuk menyelidiki efek dari metakognitif prompt pada pemecahan
masalah berdasarkan jenis kelamin dan jenis sekolah. Berdasarkan latar belakang
tersebut maka dilakukan penetian yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas
penggunaan metakognitif prompt untuk meningkatkan kemampuan siswa SMA
dalam memecahkan masalah genetika serta pengaruh dari jenis kelamin, jenis
sekolah, dan latar belakang pengetahuan ilmiah individu.

II. Dasar Teori


Metakognisi sering dikaitkan sebagai berpikir tentang pemikiran
(Flavell,1979) atau disebut juda memori, monitoring dan pengalaman kognitif
(Martnez,2006:Schneider & Lockl, 2002). Beberapa definisi metakognitif dikonstruksi
menjadi memori, monitoring dan pengalaman kognitif ( Martinez,2006;Schneider &
Lockl,2002), meta-penalaran,kesadaran dan kesadaran diri ( Schraw et al,2006).
Pada akhirnya tujuan pendidik mempromosikan metakognisi adalah untuk
memberikan peserta didik keterampilan untuk belajar mandiri, secara efektif
menentukan cara belajar dan mencari cara menguasai keterampilan dan memahami
konsep (Flavell, Miller & Miller,2002). Ringkasan dari definisi metakognitif menurut
Flavell adalah perencanaan,monitoring dan evaluasi pembelajaran.
Studi pada metakognisi telah menujukan bahwa siswa dengan keterampilan
metakognitif yang kuat lebih sukses dalam pemecahan masalah( Schoenfeld,1985).
Penelitian dalam pemecahan masalah pada biologi dan genetika telah
mengkonfirmasi bahwa metakognisi dalam kemampuan siswa khususnya untuk
memantau pemikiran mereka sendiri adalah variable prinsip yang menjelaskan
keberhasilan (Orcajo & Aznar, 2005; Stewart & Dale, 1989; Tekkaya, Capa, &
Yilmaz, 2000). Para ahli merencanakan untuk memfokuskan masalah pemikiran, dan
bila mereka mengalami kesulitan, mereka berhenti, menganalisis dan
merefleksikannya (Eflkides,2008,2009 ; Teong,2003). Metakognisi juga mengacu
pada kemampuan untuk merefleksikan kinerja sendiri (National Research Council,
2000). Siswa belajar untuk memantau dan mengarahkan kemajuan mereka sendiri,
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kunci sendiri yang membantu memaksimalkan
strategi yang efektif dan menghindari pendekatan yang tidak produktif (Perkins &
Salomon, 1989).
Hoffman dan Spatariu (2008) mendefinisikan metakognitif prompt sebagai
suatu stimulus eksternal yang dihasilkan untuk mengaktifkan penggunaan strategi
dengan tujuan meningkatkan pembelajaran.
III. METODOLOGI
Desain penelitian adalah Quasi Eksperimen.
Sampel penelitian adalah Siswa SMA sebanyak 17 kelas dengan jumlah 2.138
orang. Kelas kontrol 8 kelas, sebanyak 1058 orang dan kelas eksperimen 9 kelas
sebanyak 1080 orang.
Variabel terikat dalam penelitian adalah kemampuan siswa SMA dalam pemecahan
masalah genetika.
Variable bebas dalam penelitian adalah metakognitif prompt, jenis kelamin, dan
jenis sekolah.
Pertanyaan penelitian
1. Sejauh mana metakognitif prompt (MP) mempengaruhi post test GPST?
2. Sejauh mana jenis kelamin berinteraksi dengan MP mempengaruhi skor pada
GPST?
3. Sejauh mana jenis sekolah berinteraksi dengan MP mempengaruhi skor pada
GPST?
4. Sejauh mana jenis sekolah dan jenis kelamin mempengaruhi skor pada GPST?
5. Sejauh mana jenis kelamin, jenis sekolah dan MP mempengaruhi skor pada
GPST?
Instrument penelitian adalah Tes Kemampuan Biologi (BAT) sebagai pretest untuk
mengetahui kemampuan awal , dan tes pemecahan masalah genetika (GPST)
yang diberikan di pos test.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian menujukkan bahwa metakognitif prompt meningkatkan
kinerja siswa menyelesaikan tes pemecahan masalah genetika. Perempuan
memperoleh hasil yang lebih baik daripada laki-laki. Kelas provinsi sangat
dipengaruhi oleh metakognitif prompt dibandingkan pada sekolah kabupaten.
Penggunaan metakognitif prompt sangat efektif diberikan guru untuk membimbing
siswa mengaktifkan strategi pemecahan masalah. Namun sangat penting mengakui
bahwa penggunaan metakognitif prompt tidak dapat menggantikan persiapan yang
efektif. Mereka hanya memandu peserta didik dalam proses identifikasi struktur
masalah,menghubungkan dengan pengetahuan sebelumnya dan memilih strategi
pembelajaran.

V. KOMENTAR
Pengaruh metakognitif prompt hanya signifikan pada siswa yang memiliki
pengetahuan materi yang baik, terbukti pada penelitian di kelas provinsi pengaruh
MP sangat signifikan dibandingkan dengan pada kelas kabupaten. Sehingga perlu
ditekankan penggunaan metode pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan
pemahaman materinya.
Differences in Metacognitive Regulation in Introductory Biology
Students: When Prompts Are Not Enough

I. PENDAHULUAN
Metakognitif adalah komponen penting dari pendidikan yang berkorelasi
dengan hasil belajar, prestasi siswa (Young dan Fry, 2008; Vukman dan Licardo,
2009) (Wang et al, 1990.), dan kemampuan pemecahan masalah (Rickey dan
Stacy, 2000; Sandi -Urena et al., 2011). Karena potensi signifikan untuk
mempengaruhi belajar, melatih keterampilan metacognitif sangatlah penting.
Siswa yang merefleksikan pemikiran mereka sendiri memiliki hasil belajar lebih
baik dari rekan-rekan yang tidak metakognitif.
Pengetahuan metakognitif meliputi kemampuan untuk mengidentifikasi
apa yang tidak kita ketahui, sementara metakognitif regulasi melibatkan tindakan
yang kita ambil untuk belajar (Sandi-Urena et al., 2011). Meskipun teori ini
sangat cocok dalam psikologi pendidikan dan kognitif (Schraw, 1998;
Bransford et al., 2000; Pintrich, 2002; Veenman et al., 2006;
Zohar dan Barzilai, 2013), ahli biologi mungkin tidak familiar
dengan metakognitif regulasi. Metakognitif regulasi adalah
bagaimana kita mengendalikan pikiran kita untuk memfasilitasi pembelajaran.

II. DASAR TEORI


Pengetahuan metakognitif adalah kesadaran kita dari pemikiran kita.
Pengetahuan metakognitif juga mencakup pemahaman tentang strategi untuk
belajar (Brown, 1987; Jacob dan Paris, 1987: Schraw dan Moshman, 1995). Ini
memerlukan pengetahuan tentang strategi pembelajaran, bagaimana membawa
mereka keluar,kapan dan mengapa harus digunakan. Sementara pengetahuan
metakognitif meliputi kemampuan untuk mengidentifikasi apa yang kita lakukan
dan pengetahuan, metakokgnitif regulasi melibatkan tindakan yang kita ambil
untuk belajar(Sandi-Urena et al., 2011).
Metakognitif regulasi juga merupakan bagian penting dari
self regulated learning (Zimmerman, 1986; Schraw et al,.
2006). Peserta didik mandiri memiliki kemampuan untuk: 1) memahami
apa tugasnya 2). mengidentifikasi kekuatan pribadi
dan kelemahan yang terkait dengan tugas, 3) membuat rencana untuk
menyelesaikan tugas, 4) memonitor seberapa baik rencana tersebut bekerja,
dan 5) mengevaluasi dan menyesuaikan rencana yang diperlukan (Ambrose,
2010). Kemampuan ini dapat membentuk siklus, dan tiga proses terakhir
(Perencanaan, monitoring, dan evaluasi) yang kuncinya adalah keterampilan
metakognitif regulasi (Jacobs dan Paris, 1987; Schraw
dan Moshman, 1995; Schraw, 1998). Sejauh mana siswa
menggunakan keterampilan ini dipengaruhi oleh keyakinan mereka tentang
pembelajaran dan kecerdasan (Ambrose, 2010).
Metakognisi berkembang sepanjang perjalanan kehidupan
seseorang(Alexander et al., 1995). Anakanak menggunakan keterampilan
metakognitif regulasi pertama misalnya perencanaan saat bermain (whitebread
et al., 2009), tetapi mereka tidak menggunakan kemampuan ini untuk tujuan
akademik sampai usia 8-10 tahun. Dari sini, metakognitif
regulasi tumbuh secara linear melalui sekolah menengah dan tinggi
(Veenman et al., 2004) dan diperkirakan untuk maju baik ke
dewasa (Kuhn, 2000; Vukman, 2005).

III. METODOLOGI
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif.
Sampel adalah 245 orang mahasiswa pengantar biologi (biologi sel dan
genetika)
Instrument penelitian adalah tugas evaluasi diri setelah tes 1 (E1 SE)
dan tugas perencanaan strategi belajar sebelum tes ke 2 (E2 FT).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian menunjukkan 241 dari 245 siswa (98,4%) bersedia untuk
mengubah rencana studi awal mereka. Hanya empat dari 245 (1,6%)
melaporkan bahwa mereka tidak akan mengubah rencana mereka dengan cara
apapun. Salah satu dari empat mahasiswa tersebut menyatakan ini karena dia
mendapatkan 100% pada ujian 1. Sementara hampir semua siswa yang dipilih
setidaknya menentukan satu strategi pembelajaran baru, hanya 110 siswa dari
245 (44,9%) menunjukkan bahwa pilihan mereka didasarkan pada pengalaman
ujian 1.
Kesimpulannya dari penelitian ini bahwa tugas postexam mendorong
siswa untuk terlibat dalam regulasi metakognitif, tapi banyak dari siswa
membutuhkan bantuan tambahan pengetahuan metakognitif sebelum mereka
sepenuhnya bisa mendapatkan keuntungan dari metakognisi regulasi yang
dianjurkan dalam penetian ini. .
Pengetahuan metakognitif dapat dibagi menjadi pengetahuan deklaratif,
pengetahuan procedural, dan pengetahuan kondisional (Brown, 1987; Jacobs
dan Paris, 1987; Schraw dan Moshman,1995). Pengetahuan deklaratif termasuk
mengetahui tentang diri Anda sebagai seorang pelajar, pengetahuan prosedural
melibatkan mengetahui apa ada strategi pembelajaran dan bagaimana
menggunakannya, dan pengetahuan kondisional memerlukan mengetahui kapan
dan mengapa menggunakan strategi pembelajaran (Schraw dan Moshman,
1995).

V. KOMENTAR
Keterampilan metakognitif sangat penting dalam keberhasilan proses
pembelajaran. Pengukuran keberhasilan proses pembelajaran tidak hanya diukur
dari nilai akhir suatu tes, tapi bisa dikaji dari proses perencanaan,dan strategi
belajar siswa itu sendiri sehingga bisa mendukung keberhasilan siswa.
Kelemahannya adalah jenis penilaian pada penelitian ini bergantung pada
kemampuan siswa untuk secara akurat mengingat dan melaporkan apa yang
mereka lakukan, sehingga akan mengurangi validitas dari data yang diperoleh.
Breakdown in the metacognitive chain: Good intentions
arent enough in high school

I. LATAR BELAKANG
Selama proses belajar, pelajar dihadapkan dua tantangan yaitu
menentukan seberapa baik informasi yang dipelajari dan pengetahuan mana yang
dirasa masih kurang. Hal yang tak biasa bagi siswa untuk memahami informasi
tersebut, hanya untuk mengetahui, selama ujian, itu saja. Sayangnya ketika siswa
memiliki miskonsepsi atau putusnya metakognitif mereka cenderung berhenti untuk
belajar, yang mengakibatkan perolehan hasil akhir yang buruk.
Metakognisi merupakan kemampuan untuk menilai secara akurat apa yang
sudah dan belum diketahui dan menentukan cara terbaik untuk mengetahui apa
yang belum diketahui (Dunlosky & Metcalfe, 2009). Pengaturan metakognitif pada
usia muda belum diteliti secara luas, dan data yang ada fokus pada akurasi
metakognitif pemahaman.
II. DASAR TEORI
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penerapan prosedur Bet
menyebabkan lebih baik pada orang dewasa atau lebih tua (McGillivray &
Castel,2011). Jadi proses metakognitif mungkin tidak memerlukan kesadaran
eksplisit, intruksi eksplisit menimbulkan pemantauan lebih akurat. Menyababkan
strategi belajar lebih efisien.
Para peneliti telah menemukan bahwa penilaian metakognitif dapat
digunakan untuk mengontrol strategi belajar seperti alokasi waktu belajar, dan
orang sering mengikuti aturan perbedaan reduksi aturan
yang menyatakan bahwa alokasi waktu akan terkait dengan seberapa jauh
item tersebut dari belajar yang diinginkan (Dunlosky & Hertzog,
1998).
Peraturan metakognitif belum diteliti secara luas di
kelompok-kelompok usia yang lebih muda dan data yang ada fokus pada
metacomprehension akurasi selama membaca tugas pemahaman.
Bruin, Thiede, Camp, dan Redford (2011)

III. METODOLOGI
Sampel dalam penelitian adalah 113 siswa SMA yang berumur 14-16 tahun
dari kelas Biologi dengan perbandingan yang seimbang antara laki-laki dan
perempuan. Kelas Bet sebanyak 55 siswa dan No Bet 58 siswa.
Materinya 26 konsep biologi (13 mengenai imunitas dan 13 soal mengenai
system peredaran darah dalam bentuk pilihan ganda)
Pemilihan sampel secara acak untuk kelas eksperimen (Bet) dan kelas
control (no Bet).
Variabelnya adalah tidak belajar, sedikit belajar dan banyak belajar.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dilakukan 2 kali eksperimen, pada eksperimen pertama diperoleh
peningkatan signifikan pada kelas Bet dibandingkan No Bet. Sedangkan percobaan
kedua tidak diperoleh hasil yang berbeda antara kelas Bet dan no Bet.
Untuk kedua percobaan, kami menemukan bahwa Bet dapat meningkatkan niat
untuk belajar, tetapi rantai metakognitif terputus. Waktu belajar yang sebenarnya
tidak membaik, begitupun pada kinerja akhir.
Di satu sisi, temuan positif - mereka melengkapi ide original dari Schneider
(1985) yang mengusulkan bahwa anak-anak kesulitan dalam pemantauan
kenangan mereka sendiri karena mereka jarang berfikir kenangan mereka sendiri.
Dengan demikian, tampaknya penting untuk siswa usia pertama yang setidaknya,
disengaja tentang pembelajaran. mereka sendiri, kita dibiarkan dengan pertanyaan
mengapa ada pemutusan sebuah rantai metakognitif ketika datang ke
pembelajaran yang sebenarnya.

V. KOMENTAR
Pada eksperimen ini mampu meningkatkan motivasi melaui Bet, tapi efek
yang muncul tidak bersifat kontinu. Siswa harus terus termotivasi untuk terus
memperbaiki strategi belajarnya agar diperoleh hasil yang baik dengan terus
menerus. Peningkatan kemampuan metakognitif bisa dilakukan sejak dini. Pada
penelitian ini dilakukan pada tingkat SMA. semakin lama belajar tentang pemetaan
pemikiran,maka akan semakin matang.
Kesulitan dalam mencerna jurnal karena tidak secara jelas menyebutkan
mengenai metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian.
Writing Assignments with a Metacognitive Component
Enhance Learning in a Large Introductory Biology Course
I. PENDAHULUAN
Selama empat tahun mahasiswa di perguruan tinggi, siswa yang berhasil
akan mendapatkan keterampilan metakognitif dan kemampuan untuk memonitor
kemampuan kognitif mereka sendiri yang akan membantu mereka sukses dalam
usaha di masa depan (Schraw, 2002). Tugas tugas sangat cocok untuk
meningkatkan deklaratif pengetahuan, sangat penting bahwa siswa
mendapatkan keterampilan dalam berpikir tingkat tinggi yaitu berpikir kritis dan
kemampuan untuk menerapkan konsep pada situasi baru. Untuk membantu
siswa memperoleh keterampilan ini, menulis tugas harus memiliki dua komponen
analitis dan komponen metakognitif, yaitu analisis dan refleksi.

II. DASAR TEORI


Salah satu komponen penting untuk memfasilitasi pembelajaran adalah
pengembangan keterampilan metakognitif (Schraw,2002). Metakognitif adalah
kemampuan siswa untuk aktif mengatur strategi belajar. Ini menuntut siswa
mengenali kesalahan mereka sendiri dan memantau tingkat pemahaman mereka
(Gourgey,2002). Siswa yang berhasil mendapatkan keterampilan metakognitif
dan kemampuan untuk memonitor kemampuan kognitif mereka sendiri akan
membantu mereka untuk sukses dalam usaha di masa depan (Schraw, 2002).
Banyak penelitian telah menyelidiki kemampuan menulis untuk meningkatkan
belajar (for a review, see Bangert-Drowns et al.,2004). Efektifitas yang dilaporkan
menggunakan tulisan sebagai strategi belajar dalam kelas sangat bervariasi
dipengaruhi berbagai faktor. Reynold dan rekan (2012) melakukan kajian literatur
penelitian lengkap yang diterbitkan setelah 1994 tentang menulis strategi khusus
digunakan di STEM.
Jenis penulisan tugas sangat penting dalam meningkatkan aspek aspek
pembelajaran (Durst dan Newell,1989; Bangert-tenggelam et.al,2004). Tindakan
mengambil catatan dan menulis esai tentang konten cenderung meningkatkan
retensi karena peningkatan paparan materi (Weintein dan Mayer, 1983)

III. METODOLOGI
Desain penelitian adalah quasi eksperimen.
Sampel dalam penelitian adalah 600 orang mahasiswa
Variabel bebasnya adalah menulis tugas dan diskusi
Variable terikatnya adalah hasil belajar siswa
Instrument penetian adalah ACT dan tugas essai

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian menunjukan bahwa perbedaan hasil ACT siswa
mempengaruhi pada penulisan hasil analisis. Penulisan essai analisis tidak
berpengaruh secra signifikan terhadap siswa yang memiliki hasil ACT rendah,
tetapi berpengaruh secara signifikan terhadap siswa dengan hasil ACT tinggi.
Siswa dengan hasil ACT rendah memerlukan bimbingan yang lebih banyak untuk
meningkatkan kemampuan tugas menulis. Siswa dengan hasil ACT rendah
menunjukkan hasil yang signifikan diskusi berbasis koreksi ujian. Siswa yang
terlibat dalam tugas menulis diyakini telah menghabiskan banyak waktu pada
topik yang ditugaskan daripada siswa di kelompok lain yang bekerja dengan
materi pada tingkat kognitif yang lebih tinggi.
Menulis dengan komponen metakognitif bermanfaat untuk meningkatkan
kemampuan siswa untuk menjawab pertanyaan tingkat tinggi dalam penilaian
berikutnya. Kinerja pada penilaian apapun membutuhkan pemikiran kritis yang
melibatkan kombinasi ingatan dan kemampuan analitis.

V. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN


Kelebihan dari penelitian ini begitu detail memantau kemampuan dari
metakognitif siswa dari beberapa tugas menulis yang mengukur kemampuan
berpikir tingkat tinggi. Serta adanya lampiran soal yang memudahkan para
pembaca untuk memahami instumen yang digunakan untuk mengukur
kemampuan metakognitif siswa dilihat dari kemampuan menulis.
Kekurangannya tidak disebutkan secara jelas mengenai jumlah sampel
yang digunakan dalam penelitian.

Вам также может понравиться