Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh :
Harly Krisdianto
14901.04.17014
1. DEFINISI
STEMI merupakan sindroma klinis yang ddidefinisikan dengan tanda
gejala dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST
elevasi dan pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard.Cardiac troponin
merupakan biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark miokard. (AHA,
2012).
Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan oleh
kerusakan aliran darah koroner miokard (Carpenito, 2012). Infark miocard akut
(IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot
jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan
koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di
sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran
darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan
fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton & Hall, 2011).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu
ST-elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark miocard
(NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan
area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai
dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan
oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan
miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.
4. MANIFESTASI KLINIS
1. Keluhan Utama Klasik
a. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi
menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan
darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu
beberapa minggu, tekanan darah kembali normal.
b. Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang paling umum ditemukan pada pasien dengan
STEMI.Karakteristik nyeri yang dirasakan yaitu dalam dan visceral, yang biasa
dideskripsikan dengan nyeri terasa berat dan seperti diremas, seperti ditusuk,
atau seperti terbakar. Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan
pada angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat,
dan berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah dada
dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan.Penyebaran nyeri juga
dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher.Nyeri sering
disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci,
2009).
c. Dari auskultasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.
Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi
sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan
suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan
paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel
jantung.
2. Temuan fisik
Sebagian besar pasien mengalami ansietas dan restless yang menunjukkan
ketidakmampuan untuk mengurangi rasa nyeri.Pallor yang berhubungan dengan
keluarnya keringat dan dingin pada ekstremitas juga sering ditemukan pada
pasien dengan STEMI.Nyeri dada substernal yang berlangsung selama >30
menit dan diaphoresis menunjukkan terjadinya STEMI. Meskipun sebagian besar
pasien menunjukkan tekanan darah dan frekuensi nadi yang normal selama satu
jam pertama STEMI, sekitar 25% pasien dengan infark anterior memiliki
manifestasi hiperaktivitas sistem saraf simpatik (takikardia dan/atau hipertensi),
dan 50% pasien dengan infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis
(bradikardi dan/atau hipotensi).
Impuls apical pada pasien dengan STEMI mungkin sulit untuk dipalpasi.
Tanda fisik dari disfungsi ventrikel lain antara adanya S3 dan S4, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama, dan paradoxical splitting dari S2. Selain itu juga
sering terjadi penurunan volume pulsasi carotis, yang menunjukkan adanya
penurunan stroke volume. Peningkatan temperature tubuh di atas 380C mungkin
ditemukan selama satu minggu post STEMI.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat
dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan indeks
nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
a. Electrocardiograf (ECG)
Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu
1. Lead II, III, aVF : Infark inferior
2. Lead V1-V3 : Infark anteroseptal
3. Lead V2-V4 : Infark anterior
4. Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral
5. Lead I, aVL : Infark high lateral
6. Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas
7. Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral
8. Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu
b. Serum Cardiac Biomarker
Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot
jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI.Kecepatan pelepasan protein
spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan
aliran darah dan limfatik local.Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah perifer
ketika kapasitas limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari zona
infark berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.
1. Cardiac Troponin (cTnT dan cTnI)
Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I (cTnI)
memiliki sekuens asam amino yang berbeda dari protein ini yang ada dalam
otot skeletal.Perbedaan tersebut memungkinkan dilakukannya quantitative
assay untuk cTnT dan cTnI dengan antibody monoclonal yang sangat
spesifik.Karena cTnT dan cTnI secara normal tidak terdeteksi dalam darah
individu normal tetapi meningkat setelah STEMI menjadi >20 kali lebih tinggi
dari nilai normal, pengukuran cTnT dan cTnI dapat dijadikan sebagai
pemeriksaan diagnostic.Kadar cTnT dan cTnI mungkin tetap meningkat
selama 7-10 hari setelah STEMI.
2. CKMB (Creatine Kinase-MB isoenzym)
Creatinine phosphokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam dan umumnya
kembali normal setelah 48-72 jam.Pengukuran penurunan total CK pada
STEMI memiliki spesifisitas yang rendah, karena CK juga mungkin meningkat
pada penyakit otot skeletal, termasuk infark intramuscular.Pengukuran
isoenzim MB dari CK dinilai lebih spesifik untuk STEMI karena isoenzim MB
tidak terdapat dalam jumlah yang signifikan pada jaringan ekstrakardiak.
Namun pada miokarditis, pembedahan kardiak mungkin didapatkan
peningkatan kadar isoenzim MB dalam serum.
Klasifikasi Killip
IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan
klasifikasi Killip:
Tabel 2. Klasifikasi Killip Pada IMA
Mortalitas
Kelas Definisi Proporsi pasien
(%)
c. Cardiac Imaging
1) Echocardiography (ECG)
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography
hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak
dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat akut
dengan echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena
keamanannya. Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI,
deteksi awal maka nada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding
dengan echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan,
seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi.
Estimasi echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam
segi prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi
terapi dengan inhibitor RAAS.Echocardiography juga dapat mengidentifikasi
infark pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan
thrombus pada ventrikel kiri.Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat
mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.
Gelombang Q dengan ST elevasi yang signifikan menunjukkan keakutan.
Gambar 1. a) segmen ST elevasi pada STEMI inferior, ada juga ST depresi di lead aVL. b) STEMI
pada dinding lateral dengan ST elevasi di lead V5 dan V6.
2) Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan
pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat
(culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis
in myocardial infarction (TIMI) grading system:
Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang
terkena infark.
normal.
6. PENATALAKSANAAN
1. Pre Hospital
Tatalaksana pra-rumah sakit.Prognosis STEMI sebagian besar tergantung
adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan
komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar RS pada
STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar
terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi
pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien
yang dicurigai STEMI :
i. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
ii. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
iii. Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih
iv. Terapi REPERFUSI
Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai
STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat
pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien
risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari pemulangan
cepat pasien dengan STEMI.
2. Hospital
i. Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa awal
infark dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien dengan
STEMI harus tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam pertama.
Kemudian, jika tidak terdapat komplikasi, pasien harus didukung untuk
untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantung kaki mereka ke sisi
tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam pertama. Latihan ini
bermanfaat secara psikologis dan biasanya menurunkan tekanan kapiler
paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan komplikasi lain, pasien dapat
berjalan-jalan di ruangan dengan durasi dan frekuensi yang ditingkatkan
secara bertahap pada hari kedua atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien
harus sudah dapat berjalan 185 m minimal tiga kali sehari.
ii. Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien
hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam
pertama.Asupan nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol 300
mg/hari.Kompleks karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori total.Diet
yang diberikan harus tinggi kalium, magnesium, dan serat tetapi rendah
natrium.
iii. Bowel
Bedrest dan efek narkotik yang digunakan untuk menghilangkan nyeri
seringkali menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat diberikan jika pasien
mengalami konstipasI
3. Farmakoterapi
a. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard
dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau
pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung, dapat diberikan
NTG intravena.NTG IV juga dapat diberikan untuk mengendalikan hipertensi
dan edema paru.Terapi nitrat harus dihindarkan pada pasien dengan tensi
sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel
kanan.
b. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan
dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis
total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin
adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi
pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Morfin
juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia
atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior.
Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg IV.
c. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin
bukkal dengan dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral
dengan dosis 75-162 mg.
d. Beta-adrenoreceptor blocker
Pemberian beta blocker intravena secara akut dapat memperbaiki hubungan
supply-demand oksigen, menurunkan nyeri, menurunkan ukuran infark, dan
menurunkan insiden ventricular aritmia (Smeltzer, 2010).
4. Terapi reperfusi
Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi
lancar. Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI) yang
berupa tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat melalui jalur
infuse (agen fibrinolitik).
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau
medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai
dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
Tujuan manajemen medis dicapai dengan reperfusi melalui penggunaan obat
trombolitik atau PTCA (percutaneous transluminal coronary angioplasty). PTCA
dapat dikenal juga sebagai PCI (percutaneous cardiac intervention). PCI
(Percutaneous Cardiac Intervention) primer: metode reperfusi yang
direkomendasikan untuk dilakukan dengan cara yang tepat waktu oleh tenaga
ahli berpengalaman. Dilakukan pada klien dengan STEMI dan gejala iskemik
pada waktu kurang dari 12 jam. PCI dilakukan untuk membuka hambatan pada
arteri koroner dan menunjang reperfusi pada area yang kekurangan oksigen.
Biasanya dilakukan dengan menggunakan balon/ stent/ ring.
- Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting luas
paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani
terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah
gejala.
- The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of the
2. Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko
mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat
tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi
3. Risiko Perdarahan
Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika
terapii reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko
perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI.
Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
2. PROSEDUR
Persiapan pasien yang akan dilakukan pemasangan cincin atau balon jantung.
Persiapan-persiapan yang dilakukan sebelum tindakan PCI Jantung yaitu :
a. Pemeriksaan laboratorium darah
b. Pemeriksaan EKG.
c. Uji latih beban (Treadmill).
d. Foto dada ( Rontgen Dada .)
e. Puasa makan 4 - 6 jam sebelum tindakan, minum obat seperti biasa.
f. Mendapat penjelasan tentang prosedur tindakan.
g. Diminta untuk menandatangi persetujuan tindakan (inform consent).
h. Dicukur pada daerah mana kateter akan dimasukkan.
i. Dipasang infus di lengan / tungkai kiri.
j. Minum Obat Platelet sesuai terapi dokter.
4. INDIKASI IKP
ACC/AHA mengklasifikasikan indikasi untuk dilakukannya tindakan PCI sebagai
berikut :
a. Kelas I : kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan
bahwa tindakan tersebut bermanfaat dan efektif dilakukan.
b. Kelas II : kondisi dimana terdapat perbedaan pendapat tentang kegunaan dan
efikasi tindakan tersebut.
c. Kelas IIa: bukti atau pendapat mengatakan bahwa penelitian ini bermanfaat
d. Kelas IIb: manfaat tersebut kurang didukung oleh bukti ataupun pendapat.
e. Kelas III: kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan
bahwa prosedur tersebut tidak bermanfaat dan tidak efektif, serta pada
beberapa kasus bias menjadi sangat berbahaya (AHA, 2012).
Adapun indikasi dlakukannya IKP adalah sebagai berikut
a. Sindroma koroner akut tanpa peningkatan segmen ST (NSTEMI)
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai
dengan elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI
beragam, bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T
yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan EKG saat
presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi
segmen ST 0,5 mm di V1-V3 dan 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu
dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan
amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang
T yang simetris 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI (Jeremias,
2009) . Pada NSTEMI dan angina pectoris stabil tindakan PCI bertujuan untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas coroner.
Kriteria pasien berisiko tinggi adalah :
i. Angina atau nyeri dada berulang pada keadaan istirahat
ii. Perubahan segmen ST yang dinamis ( depresi segmen > 0,1mv atau
elevasi segmen ST sementara <30 <0,1mv)
iii. Peningkatan nilat troponin I, troponin II, atau CKMB
iv. Pada observasi hemodinamis pasien tidak stabil
v. Adanya takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel
vi. Angina tidak stabil pada pasca infark dini
vii. Diabetes mellitus
Pasien yang tergolong pada kelompok berisiko tinggi mempunyai manfaat
yang lebih besar bila dilakukan IKP daripada kelompok risiko rendah. (Hassan,
2009)
b. Sindroma koroner akut dengan elevai segmen ST (STEMI)
Pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark dapat
ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan
perubahan EKG. Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut
disertai elevasi segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung
kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usi a40
tahun, STEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 2 mm
dan 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST elevasi
terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2
minggu.
IKP yang berpengalaman yang terdiri dari kardiologis intervensi yang
terampil. Stategi reperfusi IKP telah menjadi modalitas pengobatan yang sangat
penting dari STEMI dengan banyak mengalami pada tahun-tahun terakhir ini.
Sedangkan terapi trombolitik dimana dapat digunakan secara luas, mudah
diberikan, dan tidak mahal tetap merupakan pilihan alernatif. IKP telah terbukti
lebih superior disbanding trombolitik dalam pencapaian TIMI 3 flow (perfusi
komplit), iskemik berlang sistemik, mortalitas 30 hari lebih baik dan insiden
stroke pendarahan lebih rendah (AHA, 2012).
Sedangkan menurut AHA indikasi IKP adalah sebagai berikut
a. Asimptomatik dan angina ringan
b. Angina kelas II hingga IV atau angina tidak stabil.
Banyak pasien dengan angina stable yng moderate dan severe atau
unstable angina tidak memberi respon yang adekuat terhadap pemberian
terapi obat-obatan dan lebh sering memberikan efek yang signifikan
dengan revaskularisasi Percutaneus Coronary Intervention.
c. Infark miokardiak Percutaneus Coronary Intervention merupakan tindakan
yang efektif untuk memperbaiki perfusi coroner dan cocok dilakukan untuk
lebih dari 90% pasien.
d. Percutaneus Coronary Intervention pada pasien dengan prior coronary
bypass surgery
e. Penggunaan teknologi (AHA, 2012)
Indikasi primer PCI dilakukan pada pasien dengan STEMI kurang dari 12 jam,
dengan Left Bundle Branch Block (LBBB), dan juga STEMI dengan komplikasi gagal
jantung yang severe (Griff, 2008).
Meskipun intervensi perkutan dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat dapat
meningkatkan risiko, revaskulerisasi dapat mengurangi iskemik dan meningkatkan
prognosis jangka panjang (Ellis, 2009).
Pasien dengan penyakit arteri koroner yang luas dengan fungsi ventrikel kiri
yang lebih buruk mempunyai survival yang lebih lama setelah operasi pintas koroner
meskipun pasien asimptomatis. Pada pasien PJK stabil tindakan intervensi koroner
perkutan dilakukan hanya pada pasien dengan adanya keluhan dan tanda-tanda
iskemik akibat penyempitan pembuluh darah. Pada penelitian awal dijumpai manfaat
yang lebih kecil terhadap survival pasien yang dilakukan IKP tanpa stent
dibandingkan dengan operasi pintas koroner. Tetapi dengan adanya stent dan stent
bersalut obat dan tersedianya obat-obat ajuvan, tindakan IKP ini menghasilkan
manfaat yang lebih besar dibandingkan operasi pintas koroner ( Hasan, 2009)
5. KOMPLIKASI
Meskipun intervensi ini bermanfaat untuk melebarkan pembuluh darah yang
menyempit, dalam kenyataannnya juga memiliki komplikasi. Komplikasi dapat dibagi
menjadi dua kategori yaitu yang secara umum berkaitan dengan kateterisasi arteri
dan yang berhubungan dengan teknologi yang spesifik yang digunakan untuk
prosedur pada koroner (AHA, 2012).
Trombolisis stent
Walaupun angka kejadian hanya 1-2%, kejadian trombolisis stent masih berisiko
sehingga stent harus itu dilapisi oleh endothelium dan hal tersebut biasanya
muncul sebagai MI akut, dengan tingkat kematian tinggi. Trombolisis stent
sering sewaktu bulan pertama pemasangan, tapi bisa muncul berbulan dan
bertahun setelah pemasangan PCI.
Stenosis stent
Hal ini berhubungan dengan proses penyembuhan yang berlebihan dari
dinding pembuluh darah yang bertimbun pada lumen stent. Stenosis biasanya
terbentuk dalam 3-6 bulan dan tidak jarang angina muncul kembali, tetapi jarang
menyebabkan MI. Stenosis stent terjadi dalam 4-20% dari stent.
a. Komplikasi mayor
Komplikasi mayor lain termasuk kejadian yang jarang, tetapi bisa mengakibatkan
kematian (0,2% dalam kasus berisiko tinggi), MI akut (1%) yang mungkin
memerlukan CABG darurat, stroke (0,5%), termponade jantung (0,5%) dan
perdarahan sistemik (0,5%). Kematian terjadi saat proses di rumah sakit. Stroke
terjadi saat otak kehilangan fungsi neurologis yang disebabkan oleh iskemik 24 jam
setelah onset.
b. Komplikasi minor
Komplikasi minornya adalah alergi terhadap medium kontras, nefropati dan
komplikasi pada bagian yang dimasuki, seperti perdarahan dan hematoma. Gagal
ginjal meliputi terjadinya peningkatan serum kreatinin lebih 2 mg/dl.(Butman, 2005).
6. LOKASI PENYEMPITAN
Dalam tindakan IKP ini harus diketahui anatomi dari pembuluh darah yang
mengalami penyempitan. Sesuai dengan pengertiannya, tindakan IKP ini dilakukan
untuk melebarkan daerah yang menyempit pada pembuluh darah. Selain itu, faktor
anatomi ini mempengaruhi keberhasilan ataupun komplikasi IKP.
Klasifikasi baru membedakan penyempitan berdasarkan tingkat keparahan yaitu
mild, moderate dan severe. Perbedaan tingkatan ini dibedakan berdasarkan ada
tidaknya thrombus da nada tidaknya oklusi (Grech, 2011).
a. Anatomi kasar
Jantung adalah organ berongga dan memiliki empat ruang yang terletak
diantara kedua paru-paru di bagian tengah toraks. Dua per tiga jantung terletak
di sebelah kiri garis midsternal. Jantung dilindungi oleh mediastinum, jantung
memiliki ukuran kurang lebih segenggaman kepalan tangan pemiliknya. Ujung
atas yang lebar mengarah bahu kanan dan ujung bawah yang mengerucut
mengarah panggul kiri. Pelapis terdiri dari perikardium dan rongga perikardial.
Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan yaitu epikardium di bagian luar yang
terdiri atas lapisan mesotelium yang berada di atas jaringan ikat. Miokardium di
bagian tengah terdiri atas otot jantung yang berkontraksi untuk memompa
darah. Yang terakhir adalah endothelial yang terletak di atas jaringan ikat
(Slonane, 2009).
b. Ruang Jantung
Jantung terdiri atas empat ruang yaitu atrium kanan dan atrium kiri yang
dipisahkan oleh septum intratial, ventrikel kanan dan ventrikel kiri yang
dipisahkan oleh septum interventrikular. Dinding atrium relatif tipis. Atrium
membawa darah dari vena yang membawa darah kembali ke jantung. Atrium
kanan terletak di bagian superior kanan jantung, menerima darah dari seluruh
tubuh kecuali paru-paru. Vena kave superior dan inferior membawa darah yang
tidak mengandung oksigen.
Arteri koroner terdiri atas Left Coronary Artery (LCA), Left Marginal Artery
(LMA), Right Coronary Artery (RCA), Left Anterior Descending (LAD), Right
Marginal Artery (RMA), Circumflex Artery dan Posterior Descending Artery.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Diagnosa 1: Nyeri akut b.d iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri
koroner
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, klien
mengatakan nyeri berkurang
Kriteria hasil:
NOC :Pain Level
Severe Substantial Moderate Mild No
No. Indikator
Deviation Deviation Deviation Deviation Deviation
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Lama nyeri
3 Gelisah
4 RR
5 Tekanan darah
Intervensi NIC :
Indikator Intervensi
Pain Management
2 Nadi
3 Kelelahan
4 Sianosis
Intervensi NIC :
Indikator Intervensi
Cardiac Care
2 Nadi
5 Takikardi
6 Bradikardi
7 Irama jantung
8 Urin Output
Intervensi:
Indikator Intervensi
Cardiac Care
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2009. Harrisons Principles
of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Hall, Jhon E. 2009. Buku Saku Fisiologi Kedokteran, Guyton & Hall. Editor Bahasa
Indonesia: Irawati Setiawan Edisi 11. Jakarta: EGC
Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2009. Robbins Basic Pathology, The Kidney And Is
Collecting System. Elsevier Inc.
Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Thaler. 2009. Satu-Satunya Buku EKG Yang Anda Perlukan, edisi 2. Jakarta: Hipokrates
Zainul Abidin and Roberth Corner .2009. ECG Interpretation The Self-Assesment
Approach second edititon .Blackwell Publishing: USA.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2009. Buku AjarIlmu Penyakit Dalam. Ed 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit. Dalam FK UI.