Вы находитесь на странице: 1из 19

INHIBITOR CYCLOOXYGENASE-2 DAN OBAT-OBAT ANTI INFLAMASI

NONSTEROID NONSPESIFIK

INTISARI

Cyclooxygenase (COX) adalah enzim yang mengkatalis sintesis prostaglandin dari


asam arakhidonat. Obat-obatan NSAID menghambat aksi enzim COX sehingga mengurangi
produksi prostaglandin. COX-1 ditemukan di dalam mukosa gastrik, parenkim ginjal, dan
keping darah (platelet). COX-2 bisa diinduksi dan diekspresikan pada tempat-tempat cedera
(otak dan ginjal) serta memediasi inflamasi, demam, rasa nyeri, dan karsinogenesis. NSAID
ini bisa dibagi menjadi inhibitor nonspesifik konvensional dari isoform COX (ibuprofen,
naproksen, aspirin, asetaminofen, dan ketorolak) dan inhibitor selektif COX-2 (celexocib,
rofecoxib, valdexocib, parecoxib).

Penggunaan klinis dari inhibitor COX-2 adalah sebagai analgesik dari nyeri yang
berkaitan dengan kondisi muskuloskeletal, nyeri pasca-operasi, perlindungan dari kanker
kolorektal dan demensia. Efek samping inhibitor COX-2 antara lain toksisitas gatrointestinal,
peningkatan risiko mengalami episode trombotik atau infark miokardial. Inhibitor COX-2
tidak mempengaruhi agregasi trombosit, waktu perdarahan dan kehilangan darah pasca-
operasi. Penggunaan klinis inhibitor COX nonspesifik antara lain (a) analgesik untuk
mengurangi gejala dari rasa nyeri intensitas rendah; (b) antipiretik; dan (c) obat antiplatelet
untuk mencegah infark miokard dan bentuk-bentuk stroke iskemia tertentu. Efek samping
penggunaan inhibitor COX nonspesifik antara lain disfungsi traktus gastrointestinal,
gangguan fungsi trombosit, stimulasi sistem saraf pusat, disfungsi liver dan ginjal,
ketidakseimbangan metabolik, perpanjangan waktu bersalin, reaksi alergi dan asma yang
diinduksi obat.

1
ISI / TINJAUAN PUSTAKA

Cyclooxygenase (COX) adalah enzim yang mengkatalis sintesis prostaglandin dari


asam arakhidonat (gambar 11-1)(Gajraj, 2003; Gilron et al., 2003). Prostaglandin bertindak
sebagai perantara sejumlah besar proses dalam tubuh termasuk sekresi rasa nyeri inflamasi
dari lapisan pelindung gaster, pemeliharaan perfusi ginjal, dan agregasi trombosit. Obat-
obatan anti inflamasi nonsteroid (nonsteroidal antiinflamatory drugsNSAIDs)
menghambat aksi enzim COX sehingga mengurangi produksi prostaglandin. Hal tersebut
menyebabkan efek positif (analgesik, antiperadangan) dan negatif (ulkus gaster, penurunan
perfusi ginjal, perdarahan). Diperkirakan 30 juta tablet NSAID dikonsumsi tiap tahunnya di
Amerika Serikat (Rajan dan Ahlquist, 2003). Orang lanjut usia mengkonsumsi jumlah yang
tidak seimbang dari pengobatan ini, mungkin menggambarkan prevalensi penyakit rematik
yang tinggi pada populasi tersebut. Pada kelompok usia 65 tahun ke atas, diperkirakan 10-
15 % mengkonsumsi NSAIDs.

ENZIM CYCLOOXYGENASE

Aktivitas COX terkait dengan dua isoenzim, yang terekspresi sebagai COX-1 dan
COX-2 yang dapat diinduksi-inflamasi. COX-1 ditemukan terutama di dalam mukosa gastrik,
parenkim ginjal, dan keping darah (platelet). COX-1 hanya sedikit teregulasi dalam merespon
hormon inflamasi. Enzim ini amat penting dalam proses-proses homeostatik seperti agregasi
platelet, integritas mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bisa
diinduksi dan diekspresikan khususnya pada tempat-tempat cedera (otak dan ginjal) serta
memediasi inflamasi, demam, rasa nyeri, dan karsinogenesis. COX-2 tidak menimbulkan
peran protektif pada jaringan-jaringan dimana ia berada. Ekspresi COX-2 dapat memfasilitasi
beberapa proses onkogenik, termasuk invasi tumor, angiogenesis, dan metastasis. Regulasi
COX-2 transien pada korda spinalis dalam merespon inflamasi bedah, boleh jadi penting
dalam sensitisasi sentral (Dolan et al., 2003). Dalam merespon inflamasi, ekspresi COX-2
secara signifikan diregulasi sampai 10-20 kali lipat.

Supresi yang dimediasi-NSAIDs pada prostaglandin dan tromboksan, yang berperan


dalam homeostasis di dalam perut (prostaglandin E2 dan prostaglandin I2), ginjal
(prostaglandin E2), dan platelet (tromboksan A2 dan prostaglandin I2) juga dianggap
merupakan mekanisme utama, yang mana NSAIDs menimbulkan efek samping (Tabel 11-1).
Selain itu, inhibisi sintesis prostaglandin oleh NSAIDs dianggap menjadi sebuah mekanisme

2
yang mendasari bronkospasme yang diinduksi-NSAIDs dan juga supresi pembentukan
tulang.

KLASIFIKASI OBAT ANTIINFLAMASI NONSTEROID

NSAID merupakan sebuah istilah inklusif yang menunjukkan makna dasar suatu
kelompok obat yang bervariasi, yang memiliki efek analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik.
Jenis obat-obatan ini bisa dikategorisasi menjadi inhibitor nonspesifik konvensional dari
isoform COX (ibuprofen, naproksen, aspirin, asetaminofen, dan ketorolac) dan inhibitor
selektif COX-2 (celexocib, rofecoxib, valdexocib, parecoxib). Semua obat anti inflamasi non
steroid dan inhibitor COX-2 memiliki dosis maksimal dan penggunaan melebihi dosis
tersebut meningkatkan resiko toksisitas yang diinduksi obat. Hambatan pada COX-1
merupakan penyebab dari berbagai macam efek samping berkaitan dengan obat anti inflamasi
non steroid konvensional.

Obat anti inflamasi non steroid konvensional memiliki beberapa efek yang
menguntungkan (lihat tabel 11-1). Hipotesa bahwa COX-1 memediasi fungsi fisiologis
tubuh, sedangkan COX-2 berperan dalam proses patofisiologis, mengarah kepada
pengembangan inhibitor selektif COX-2 (gambar 11-2) (Gajraj, 2003). Inhibitor COX-2
memberikan keuntungan dalam pengobatan dibandingkan dengan obat anti inflamasi non
steroid konvensional karena memiliki profil efek samping yang lebih baik.

INHIBITOR SPESIFIK CYCLOOXYGENASE-2

Inhibitor enzim spesifik COX-2 selektif itu menunjukkan efikasi analgesik, yang
setara dengan efikasi obat-obatan antiinflamasi konvensional (NSAIDs) (Gajraj, 2003). Obat-
obatan ini mempunyai efek yang lemah terhadap platelet pada dosis terapi dan berhubungan
dengan penurunan efek samping gastrointestinal pada pasien yang mengidap artritis,
dibandingkan dengan NSAIDs nonspesifik. Resiko infark miokard akut dan kejadian
serebrovaskuler dapat meningkat pada pasien dengan terapi inhibitor spesifik COX-2 jangka
panjang.

Celecoxib

Celecoxib merupakan inhibitor COX-2 selektif yang pertama yang tersedia secara
klinis pada 1998, dan direkomendasikan untuk terapi nyeri dan inflamasi berhubungan
dengan osteoarthritis dan rheumatoid arthritis. Pada penderita osteoarthritis dapat diberikan

3
dosis awal 200 mg perhari. Pada penderita rheumatoid arthritis direkomendasikan dosis 100
sampai 200 mg dua kali sehari.

Rofecoxib

Rofecoxib digunakan untuk nyeri akut pada pembedahan, dimulai dengan dosis 50 mg
diikuti 25 mg/hari. Pengobatan nyeri pada sakit gigi dengan rofecoxib 50 mg menghasilkan
analgesia yang sama dengan naproxen dan ibuprofen. Untuk pasien dengan osteoarthritis,
dosis tunggal yang direkomendasikan 12,5 -25 mg/hari. Dosis loading 50 mg kemudian
diikuti dengan 25 mg/hari diberikan untuk mengobati rasa nyeri pada dismenorea primer,
dimana obat ini setara dengan 550 mg naproxen. Hasil studi membuktikan kemungkinan efek
protektif dari rofecoxib terhadap polyp colon yang ganas terdapat resiko ganda infark
myokard dan cerebrovaskular pada pasien sehingga obat ini ditarik dari pasar pada Oktober
2004.

Valdecoxib

Valdecoxib 40 mg yang diberikan 1 jam sebelum operasi dan dapat ditambahkan 40


mg setelah operasi jika dibutuhkan, berguna untuk mencegah munculnya nyeri pasca-
operasi. Dosis yang direkomendasikan untuk pengobatan ostheoartritis dan rheumatoid
arthritis 10 mg/hari. Sedangkan untuk nyeri pada saat menstruasi terkait dysmenorrhea primer
yaitu dosis 20 mg/12 jam atau 40 mg/hari.

Parecoxib

Parecoxib adalah satu-satunya inhibitor spesifik-COX-2 yang tersedia sebagai bentuk


parenteral. Untuk membebaskan rasa-nyeri setelah operasi, parecoxib 40 mg diberikan 1 jam
sebelum prosedur bedah dan 40 mg tambahan setelah bedah jika diperlukan. Dosis ini bisa
ditambahkan sampai 80 mg pada pasien tertentu. Parecoxib adalah suatu prodrug yang
dikonversikan in vivo menjadi valdecoxib (Gambar 11-3) (Iabrahim et al, 2002a).

Farmakokinetik

Sebagai kelompok obat, NSAIDs diabsorbsi dengan baik oleh sistem gastrointestinal,
memiliki jalur ekstraksi hepatik utama yang rendah, sangat terikat (>95%) dengan albumin
plasma, dan menunjukkan volume distribusi yang kecil. NSAIDs yang lebih larut-lemak
(lipid soluble) melintasi sawar otak secara lebih efektif dan dapat menimbulkan efek sistem

4
syaraf pusat (CNS) (perubahan mood dan kognisi) yang lebih besar. Sebagian besar NSAIDs
bersifat asam lemah, dengan pK 3 sampai 5.

Inhibitor COX-2 selektif merupakan senyawa-senyawa yang secara kimia berlainan


dengan farmakokinetik yang berbeda (Tabel 11-3) (Gajraj, 2003). Obat-obatan ini berbeda
dari NSAIDs nonspesifik, dalam hal mereka semua merupakan molekul yang sangat lipofilik,
netral, nonasam dengan solubilitas yang terbatas di media air. Celecoxib merupakan
sulfonamid yang terdistribusi secara ekstensif. Metabolisme dilakukan oleh enzim sitokrom
P-450 dan inhibitor selektif COX-2 (celecoxib, rofexib, valdecoxib, parecoxib). Semua
NSAIDs dan inhibitor COX-2 memiliki efek yang besar, dan melampaui dosisnya hanya akan
meningkatkan risiko toksisitas yang diinduksi oleh obat.

Penggunaan Klinis

Efek bermanfaat yang dirasakan dari inhibitor COX-2 adalah penggunaan secara luas
atas obat-obatan ini untuk banyak indikasi, khususnya untuk kondisi-kondisi yang terkait
dengan inflamasi dan rasa-nyeri (Tabel 11-4) Gajraj, 2003).

Efek Analgesik

Inhibitor COX-2 sangat berguna dalam manajemen pasien yang mengalami rasa-nyeri
akibat osteoartritis, rheumatoid arthritis, acute gout dan dismenorhea (Tabel 11-2) (Gajraj,
2003). Nyeri yang berkaitan dengan kondisi muskuloskeletal efektif bila diterapi dengan
inhibitor COX-2.

Manajemen Nyeri Pasca-operasi

Tercatat NSAIDs merupakan salah satu dari teknik analgesik non opioid yang paling
umum yang digunakan untuk manajemen nyeri pasca-operasi (White, 2002). Kebalikan dari
efek analgesik yang tergantung-dosis dari opioid, NSAIDs mempunyai efek yang baik bila
digunakan untuk analgesia pasca-operasi (Gb. 11-2) (OHara et al., 1987). NSAIDs dipercaya
bisa mengurangi rasa-nyeri pasca-operasi dengan mensupresi produksi prostaglandin E2 yang
dimediasi-COX, yang telah dianggap menjadi prostaglandin inflamasi primer yang secara
langsung mengaktivasi dan meregulasi sensitivitas dari nosiseptor perifer penyebab rasa-
nyeri. Prostaglandin juga dapat melewati sawar darah-otak dan memegang peran dalam
nosiseptik spinal, serta mendukung mekanisme analgesik spinal NSAIDs. Kebutuhan opioid

5
untuk manajemen nyeri pasca-operasi berkurang 20% sampai 50% dengan adanya NSAIDs
(Kharasch,2004).

Perlindungan Terhadap Kanker Colorectal

Ekspresi COX-2 secara signifikan meningkat di sebagian besar kanker kolorektal


manusia. Dalam kaitan ini, penggunaan jangka panjang aspirin dan NSAIDs konvensional
lainnya mengurangi risiko kanker kolorektal sekitar 40% sampai 50% (Smalley et al., 1999).

Perlindungan Terhadap Demensia

Risiko munculnya penyakit Alzheimer berkurang di kalangan orang-orang yang


menggunakan NSAIDs (tVeld et al., 2001). Efek ini bisa merefleksikan penurunan proses-
proses inflamasi yang menghasilkan kerusakan neuron.

Efek Samping

Toksisitas Gastrointestinal

Toksisitas gastrointestinal yang diinduksi-NSAIDs merupakan salah satu kejadian


buruk umum yang terkait-obat dalam sejumlah studi endoskopi gastrointestinal atas, yang
menunjukkan insidensi ulser sebesar 15% sampai 30% dalam perut atau duodenum pasien
yang menggunakan NSAIDs secara reguler (Laine, 1996). Terapi yang bersamaan dengan
antagonis reseptor histamin-2, proton pump inhibitor, atau misoprostol mengurangi insidensi
ulser gastrointestinal yang terkait dengan NSAIDs (Rostom et al., 2000).

Efek Koagulasi

Agregasi platelet maupun homeostatis tergantung pada kemampuan platelet untuk


menghasilkan tromboksan A2 dari prostaglandin. Karena platelet tak mengandung COX-2,
semua sintesis tromboksan A2 dalam platelet dimediasi COX-1. NSAIDs nonspesifik
konvensional bisa menghambat COX-1 dan menghalangi kemampuan platelet untuk
melakukan agregasi.

Efek terhadap Jantung

Risiko mengalami episode trombotik atau infark miokardial dapat meningkat pada
pasien yang menggunakan inhibitor COX-2 (Mukherjee et al., 2002). Hal ini dapat

6
merefleksikan supresi selektif inhibitor COX-2 atas prostaglandin I2 (vasoprotektif) tanpa
mempengaruhi tromboksan A2 (prokoagulan) (FitzGerald, 2004).

Efek Hipertensi

Prostaglandin memodulasi tekanan darah sistemik melalui efek terhadap sifat vaskular
dalam otot halus arteriolar dan kontrol terhadap volume cairan ekstrasel. Prostaglandin
bertindak melawan respon terhadap hormon vasokonstriktor dan dapat mempengaruhi
keseimbangan sodium sebagai hasil efek natriuretik mereka.

Efek terhadap Ginjal

NSAIDs tidak mempunyai efek buruk terhadap fungsi ginjal pada individu sehat
(Clive dan Stoff, 1984). Bilamana toksisitas ginjal terlihat nyata, hal itu mungkin disebabkan
oleh inhibisi yang diinduksi-NSAIDs dari sintesis prostaglandin, yang menimbulkan iskemia
medulari ginjal. Prostaglandin turut berpartisipasi dalam autoregulasi atas aliran darah ginjal
dan filtrasi glomerular dan juga mempengaruhi pengangkutan tubular ion-ion dan air.

Efek terhadap Hati

Peningkatan konsentrasi plasma dari transaminase liver bisa menyertai pengobatan


dengan NSAID. Jarang terjadi disfungsi hepatik berat dengan jaundice dan hepatic faillure
selama terapi dengan NSAIDs. Jika tanda-tanda dan gejala klinis dari disfungsi liver terjadi,
terapi COX-2 harus dihentikan.

Alergi

Hipersensitivitas sulfonamid merupakan kontraindikasi pengobatan dengan celecoxib


dan valdecoxib. Inhibitor COX-2 seharusnya tidak dipakai pada pasien yang mengalami
asma, urtikaria, atau reaksi tipe alergi pada aspirin. Pasien yang memiliki sensitivitas
respirasi terhadap aspirin, umumnya meningkatkan reaksi-reaksi yang tergantung-dosis
aspirin atau COX-1, sementara inhibitor COX-2 biasanya ditoleransi dengan baik pada pasien
ini.

Asma

NSAIDs bisa memicu bronkhokonstriksi pada pasien asma yang rentan dengan cara
menghambat konversi yang dimediasi-COX dari arakidonik menjadi prostaglandin terutama
prostaglandin E2, yang merupakan substansi antiinflamasi yang poten. Inhibisi produksi

7
prostaglandin menyebabkan shunting dari asam aracidonik ke arah jalur lipoksigenase dan
produksi akhir bronkokonstriktor serta leukotrin proinflamasi.

Meningitis Aseptik

Meningitis aseptik dapat terjadi setelah pemakaian obat sistemik. Meningitis yang
diinduksi oleh obat, sudah diamati terjadi setelah pemakaian NSAIDs (khususnya ibuprofen)
dan antagonis reseptor H2 (Burke dan Wildsmith, 1997).

Penyembuhan Tulang

NSAIDs bisa mengganggu penyembuhan tulang, sehingga obat-obat ini tidak


direkomendasikan untuk pasien yang mengalami bedah fusi spinal. Pendapat yang
dikemukakan sebelumnya bahwa inhibitor COX-2 tidaklah mengganggu penyembuhan
tulang, menjadi tidak penting (Matsumura, 2001)

Interaksi Obat

Interaksi obat paling umum terjadi antara antikoagulan oral dan NSAIDs, yang
menyebabkan peningkatan risiko pendarahan gastrointestinal. Pemakaian secara bersamaan
antara NSAIDs, termasuk inihibitor COX-2, dan aspirin meningkatkan risiko ulserasi
gastrointestinal. Inhibitor COX-2 dapat meningkatkan konsentrasi warfarin plasma, yang
menekankan kebutuhan monitor terapi antikoagulan.

INHIBITOR CYCLOOXSIGENASE NONSPESIFIK

NSAIDs yang diklasifikasi sebagai inhibitor COX nonspesifik diwakili oleh variasi
klasifikasi kimia (Tabel 11-5). Obat-obatan ini memiliki efek analgesik, antiinflamasi, dan
inhibisi platelet. Percobaan-percobaan komparatif jarang mengungkap perbedaan-perbedaan
yang penting secara klinis antara obat-obatan ini, khususnya seperti yang digunakan untuk
mengobati pasien pengidap osteoarthritis atau rheumatoid arthritis (Brooks dan Day, 1991).

Aspirin (Asam Asetilsalisilat)

Aspirin merupakan satu contoh dari salisilat yang memproduksi analgesia melalui
kemampuannya menghambat perubahan kembali enzim COX asetilate, sehingga
menimbulkan penurunan sintesis dan pelepasan prostaglandin (Gb. 20-1). Aspirin adalah
inhibitor yang relatif lemah dari sintesis prostaglandin ginjal dan tidak mungkin memberi
efek yang relevan secara klinis terhadap dosis-dosis di bawah kisaran antiinflamasi (Patrono,

8
1994). Jalur leukotrin tetap utuh dalam kehadiran aspirin. Aspirin tidak berinteraksi dengan
reseptor opioid dan mempunyai efek kecil terhadap pelepasan histamin atau serotonin.

Farmakokinetik

Aspirin dengan cepat terabsorbsi dari usus kecil dan, hingga tingkat lebih rendah, dari
perut. Tingkat absorpsi dipengaruhi tingkat disolusi dari rata-rata tablet yang dipakai dan
waktu pengosongan lambung. Jika pH gastrik meningkat, aspirin akan lebih terionisasi dan
tingkat absorpsinya berkurang.

Pengeluaran

Setelah absorpsi ke dalam sirkulasi sistemik, aspirin dengan cepat dihidrolisis di


dalam liver menjadi asam salisil. Sebagai akibat dari hidrolisis yang cepat ini, konsentrasi
plasma dari aspirin jarang >20g/mL. Metabolisme asam salisil juga terjadi di dalam liver, di
mana hal itu dikonjugasi dengan glisin untuk membentuk asam salisilurik. Asam salisilurik
disekresi di dalam urin bersama dengan asam salisil bebas. Ekskresi asam salisil bebas dari
ginjal sangat berubah-ubahdari setinggi 85% dari obat yang dicerna ketika urin bersifat
alkalis sampai serendah 5% dalam urin yang bersifat asam. Konsentrasi plasma dari asam
salisil meningkat saat terjadi disfungsi ginjal yang dikarakterisasi dengan menurunnya tingkat
filtrasi glomerular atau menurunnya aktivitas sekresi dari tubulus-tubulus ginjal proksimal.
Waktu paruh eliminasi untuk aspirin sekitar 15 sampai 20 menit dan untuk asam salisil 2
sampai 3 menit.

Penggunaan klinis

Aspirin paling sering dipakai sebagai (a) analgesik untuk mengurangi gejala dari rasa
nyeri intensitas rendah yang berhubungan dengan sakit kepala dan gangguan
muskuloskeletal, seperti osteoarthritis dan rheumatoid arthritis; (b) antipiretik; dan (c) obat
antiplatelet untuk mencegah infark miokard dan bentuk-bentuk stroke iskemia tertentu
(Patrono, 1994; Schror, 1995). Penggunaan aspirin untuk pengobatan pasien pengidap
rheumatoid arthritis banyak berkurang seiring tersedianya obat-obatan COX-1 dan COX-2.

Aspirin merupakan terapi utama bagi pasien yang mengalami angina dan infark
miokard akut (Collins et al., 1997). Efek antiplatelet dari aspirin dosis-rendah (75 sampai 325
mg per hari) itu diakibatkan oleh asetilasi atas COX-1 platelet oleh aspirin nonhidrolisasi
yang irreversibel, karena dihambat oleh tromboksan. Tromboksan merupakan penginduksi

9
yang poten dari pelepasan platelet dan agregasi. Efek inhibisi ini cepat, dan terjadi bahkan
sebelum munculnya aspirin dalam sirkulasi sistemik, barangkali sebagai akibat dari asetilasi
sintase prostaglandin platelet dalam sirkulasi portal.

Efek Samping

Efek samping negatif dari terapi aspirin terutama berhubungan dengan disfungsi dari
saluran gastrointestinal dan inhibitor fungsi platelet. Efek samping lainnya antara lain
stimulasi CNS, disfungsi hepatik dan ginjal, penurunan metabolisme, efek uterin, dan reaksi-
reaksi alergi (Schror, 1995; Settipane, 1981; Willard et al. 1992).

Iritasi dan Ulserasi Gastrik

Intoleransi gastrointestinal merupakan efek negatif paling umum dari aspirin dan
dikaitkan dengan dosis yang dipakai. Dengan aspirin dosis rendah sekalipun, sebagaimana
yang digunakan untuk profilaksi kardiovaskular, dapat menimbulkan pendarahan
gastrointestinal.

Perpanjangan Waktu Pendarahan

Aspirin menginduksi kerusakan fungsional yang bertahan-lama di dalam platelet yang


secara klinis dapat dideteksi sebagai perpanjangan waktu pendarahan (lihat Tabel 11-3)
(Smith et al., 1996). Disfungsi platelet ini merefleksikan pencegahan formasi tromboksan,
yang menjadi stimulan poten bagi agregasi platelet.

Stimulasi Sistem Syaraf Pusat

Dosis aspirin yang berlebihan dapat menghasilkan stimulasi SSP dengan manifestasi
berupa hiperventilasi dan serangan kejang. Hiperventilasi diakibatkan stimulasi langsung dari
pusat ventilasi medula.

Disfungsi Hepatik

Salisilat dapat dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi plasma dari enzim-enzim


transminase, yang mengindikasikan kerusakan hepatik yang biasanya bisa reversibel. Pasien
dengan penyakit liver yang sudah ada sebelumnya lebih mungkin meningkatkan perubahan
fungsi hepatik dalam respon pada salisilat. Pada intoksikasi salisilat berat, infiltrasi lemak
dari liver dan ginjal bisa terjadi.

10
Disfungsi Ginjal

Kebalikan dari NSAID (terutama asetaminofen), penggunaan jangka panjang aspirin


tidak menunjukkan peningkatan insidensi ESRD (Perneger et al. 1994).

Perubahan Metabolisme

Dosis besar salisilat dapat menyebabkan hiperglikemi dan glikosuria, dan bisa
mengurangi glikogen liver dan otot skeletal. Salisilat mengurangi lipogenesis dengan
memblok secara parsial pembentukan asam lemak bebas.

Efek Uterus

Pemanjangan waktu persalinan karena salisilat menggambarkan hilangnya efek


prostaglandin pada uterotropik normal. Aspirin akan meningkatkan resiko perdarahan
postpartum.

Reaksi Alergi

Reaksi alergi dari aspirin, walaupun jarang dapat mengancam jiwa. Manifestasi klinik
dapat muncul beberapa menit setelah pemberian obat yang meliputi, rhinitis vasomotor,
edema laryngeal, bronkokonstriksi dan kolaps kardiovaskular.

Asma Yang Di-induksi Aspirin

Asma yang di induksi aspirin terjadi 8%-20% dari semua pasien asma dewasa
(Spector et al., 1979). Insidensi asma yang di induksi aspirin akan lebih besar pada pasien
asma yang mempunyai riwayat rhinosinusitis atau polip nasi. Asma yang di induksi aspirin
biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah pemberian aspirin atau NSAID lainnya dan
tanda-tanda bahaya meliputi bronkospasme atau hipotensi. Bronkokonstriksi yang
dihubungkan dengan pemberian aspirin pada pasien yang sensitive, mungkin disebabkan oleh
rusaknya metabolisme asam arakidonat dan peningkatan produksi leukotrien.

Asetaminofen

Asetaminofen secara luas digunakan sebagai obat analgesik dan antipiretik. Walaupun
asetaminofen digunakan untuk pengobatan dengan kondisi yang sama, tetapi secara
signifikan tidak mempunyai efek anti inflamasi. Pada dosis oral 325-650 mg setiap 4-6 jam,

11
asetaminofen biasanya digunakan sebagai pengganti aspirin untuk analgesik dan antipiretik,
terutama pada pasien anak dan pasien yang tidak direkomendasikan dengan aspirin (ulkus
peptik) atau pasien yang mempunyai masa perdarahan yang panjang. Konsentrasi
asetaminofen anatara 10-20 mg/lt diketahui menyebabkan efek antipiretik.

Farmakokinetik

Absorbsi dari asetaminofen secara lengkap terjadi setelah diminum, dan tidak terjadi
ikatan dengan protein serum. Asetaminofen diubah melalui proses konjugasi dan hidroksilasi
pada hepar menjadi metabolit yang tidak aktif dengan hanya sedikit bagian dari obat yang
tidak berubah dan akan dikeluarkan dari tubuh.

Efek Samping

Sudah diperkirakan bahwa penurunan konsumsi asetaminofen dapat mengurangi


insidensi ESRD sekitar 8%-10% (Perneger et al., 1994). Fenasetin, yang dimetabolisme
sebagian menjadi asetaminofen, ditarik dari penggunaan klinis karena perannya dalam
nefropati yang diinduksi-analgesik (Ronco dan Flahault, 1994). Setelah penggunaan
asetaminofen, metabolitnya, khususnya p-aminoferol, terkonsentrasi pada papilae ginjal yang
hipertonik. Akumulasi ini dapat menjelaskan kejadian nekrosis papiler sebagai tanda
nefropatik yang diinduksi-analgesik. P-aminofenol bersifat nefrotoksik karena metabolit yang
teroksidasi secara kovalen mengikat berbagai makromolekul jaringan yang mengandung
sulfidril dan menghabiskan cadangan glutation, sehingga menimbulkan nekrosis sel. Nekrosis
hepatik dan kematian bisa menyertai dosis tunggal asetaminofen>15 g.

Diflunisal

Diflunisal adalah derivat asam salisil fluorinasi yang berbeda secara kimia dari
salisilat tetapi punya efek analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Efek antiartritis sangat
menonjol, tapi efek antipiretik, meskipun ada, secara klinis tidak berguna. Efek samping
paling sering dari diflunisal adalah mual dan muntah serta iritasi gastrointestinal. Efek
diflunisal terhadap fungsi platelet dan waktu pendarahan jelas berkaitan dengan alkohol,
tetapi, kebalikan dari aspirin, diflunisal reversibel. Nefritis interstisial akut bisa saja terjadi,
dan peningkatan konsentrasi plasma dari enzim transminase yang sifatnya sementara bisa
terjadi.

12
Indometasin

Indometasin adalah derivat indole termetilasi dengan efek analgesik, antipiretik, dan
antiinflamasi yang sebanding dengan efek salisilat. Obat ini merupakan inhibitor yang paling
poten dari enzim COX. Efek anti-inflamasinya amat berguna pada manajemen pasien artritis.
Indometasin adalah obat pilihan pada ankylosing spondylitis dan dapat pula dipertimbangkan
untuk terapi awal atas sindrom Reiter.

Efek Samping

Beberapa efek samping negatif yang berat, membatasi kegunaan obat ini. Gangguan
gastrointestinal dan nyeri kepala frontal secara umum sering terjadi. Indometasin banyak
menghalangi agregasi platelet. Reaksi alergi bisa terjadi, dan sensitivitas-silang dengan
salisilat mungkin terjadi.

Sulindac

Sulindac adalah analog substitusi dari indometasin dan memiliki efek analgesik,
antipiretik, dan antiinflamasi yang serupa. Obat induk ini inaktif (prodrug), tetapi tereduksi
inhibitor in vivo menjadi bentuk sulfida, yang turut menimbulkan efek farmakologi.
Metabolit aktif dibersihkan secara lambat dari plasma, terutama ke sistem bilier, dengan
pengeluaran sekitar 16 jam. Efek sampingnya antara lain inhibisi agregasi platelet, iritasi
gastrointestinal, disfungsi ginjal, dan tes fungsi hepar yang berubah.

Tolmetin

Tolmetin merupakan obat analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi yang, seperti


salisilat, menyebabkan iritasi lambung dan memperpanjang waktu pendarahan. Tolmetin
lebih poten daripada salisilat dan kurang poten dibanding indometasin atau fenilbutazon.
Setelah pemberian oral, absorpsi terjadi cepat dan pengikatan protein plasma berlangsung
ekstensif (99%). Sebagian besar tolmetin di-inaktivasi melalui dekarboksilasi.

Derivat Asam Propionik

Ibuprofen, naproksen, dan diklofenak adalah derivat asam propionik non-steroidal


dengan efek analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi yang kuat, yang jelas merefleksikan
inhibisi sintesis prostaglandin. Derivat asam propionik itu berguna sebagaimana salisilat

13
dalam mengobati berbagai bentuk artritis, termasuk osteoartritis, rheumatoid arthritis dan
gout artritis akut.

Farmakokinetik

Ibuprofen terutama dieliminasi dengan metabolisme menjadi konjugat hidroksil atau


karboksil di mana <1% obat terlihat tidak berubah dalam urin. Naproksen dimetabolisme
dengan dealkilasi oleh sitokrom P450 dan <10% diekskresi tidak berubah dalam urin.
Diklofenak dieliminasi dengan dimetabolisme menjadi gluku-ronida, hidroksi, dan konjugasi
sulfat yang diikuti dengan ekskresi dalam urin dan system billier. Eliminasi terjadi cepat di
mana 90% dari klirens itu terjadi dalam 3 sampai 4 jam dan <1% terlihat tidak berubah dalam
urin.

Efek Samping

Iritasi gastrointestinal dan ulserasi mukosa biasanya kurang berat daripada iritasi dan
ulserasi yang bisa menyertai pemakaian salisilat. Fungsi platelet berubah, tapi durasi inhibisi
COX bervariasi sesuai dengan obat tertentu. Inhibisi atas sintesis prostaglandin bisa
memperburuk disfungsi ginjal pada pasien pengidap penyakit ginjal yang sudah ada
sebelumnya yang mana prostaglandin penting dalam mempertahankan aliran darah ginjal.

Interaksi Obat

Interaksi obat yang buruk sering merefleksikan pengikatan protein plasma yang
ekstensif atas albumin dari derivat asam propionik. Misalnya, dosis warfarin harus dikurangi
karena terjadi pengeluaran dari tempat-tempat pengikatan protein serta penurunan dalam
agregasi platelet.

Fenilbutazon

Fenilbutazon merupakan obat antiinflamasi efektif yang berguna dalam terapi gout
akut dan rheumatoid arthritis. Eksaserbasi akut pada kondisi ini memberikan respon yang
baik dengan fenilbutazon dan dalam penggunaannya juga dapat digunakan pada berbagai
episode. Fenilbutazon merupakan alternatif yang efektif sebagai pengganti colchinine untuk
gout akut, yang memberikan kontrol pada 85% pasien dalam waktu 24 sampai 36 jam.
Karena toksisitasnya, obat ini harus diberikan dalam periode singkat, tidak melebihi 7 hari.
Fenilbutazon seharusnya tidak digunakan rutin sebagai analgesik atau antipiretik.

14
Farmakokinetik

Fenilbutazon diabsorbsi dengan cepat dan sempurna dari saluran gastrointestinal.


Pengikatan oleh protein plasma mendekati 98%. Metabolisme atas fenilbutazon terjadi
ekstensif, melibatkan glukuronidasi dan hidroksilasi dari cincin fenil pada rantai butil.
Oksifenbutazon merupakan metabolit dari fenilbutazon di mana aktivitas antiinflamasinya
amat serupa dengan obat induk. Fenilbutazon dan oksifenbutazon diekskresi secara lambat
dalam urin karena pengikatan protein plasma ekstensif membatasi filtrasi glomerular.
Pengeluaran fenilbutazon terjadi dalam 50 sampai 100 jam, dan konsentrasi plasma secara
signifikan dapat bertahan lama dalam ruang sinovial dari berbagai sendi sampai 3 minggu
setelah terapi dihentikan.

Efek Samping

Efek samping serius dari fenilbutazon sering terjadi, termasuk anemia serta
agranulositosis yang mengurangi manfaat dari obat ini. Gejala mual, muntah, perasaan nyeri
pada epigastrik, dan ruam kulit sering terjadi. Fenilbutazon menyebabkan retensi sodium
akibat efek langsung terhadap renal tubulus. Efek renal tubulus ini disertai dengan
menurunnya output urin.

Piroksikam

Piroksikam berbeda secara kimia dari NSAID lain, tetapi dapat menghasilkan efek
farmakologis yang sama. Seperti salisilat, obat ini cenderung menghalangi sintesis
prostaglandin. Pemakaian 20 mg dalam dosis tunggal atau dalam dosis-dosis yang terbagi
memberi efek yang lebih lama. Pengikatan protein yang ekstensif (99%) dapat menggantikan
obat-obatan lainnya seperti aspirin atau antikoagulan oral dari tempat pengikatan albumin.

Ketorolak

Ketorolak merupakan NSAID yang menunjukkan efek analgesik, tetapi hanya


menunjukkan aktivitas antiinflamasi sedang saat digunakan IM atau IV (Kenny, 1990). Obat
ini berguna untuk analgesik pasca-operasi baik sebagai satu-satunya obat (prosedur
ambulatory dengan kadar nyeri yang ringan) dan sebagai tambahan opioid. Ketorolak
memperkuat aksi antinosiseptif dari opioid.

15
Farmakokinetik

Setelah injeksi IM, konsentrasi plasma maksimum dari ketorolak dicapai dalam 45
sampai 60 menit, dan pengeluaran sekitar 5 jam (Jung et al., 1987). Proses pengikatan protein
melebihi 99% dan pembersihan obat ini berkurang dibanding dengan pembersihan opioid.

Efek Samping

Sebagaimana umumnya seperti NSAID yang lain, ketorolak menghambat produksi


tromboksan platelet dan agregasi platelet dengan inhibisi sintetase prostaglandin. Waktu
pendarahan dapat meningkat dengan dosis IV tunggal ketorolak yang digunakan pada pasien
dengan anestesia spinal (level sensori T6), bukan dengan anestesia umum (Thwaites et al.,
1996). Perpanjangan waktu pendarahan yang paling sedikit dan penurunan agregasi platelet
yang menyolok berakhir sampai obat tersebut dieliminasi dari tubuh.

Bronkospasme yang mengancam-jiwa bisa saja terjadi setelah pemakaian ketorolak


pada pasien poliposis nasal, asma, dan sensitivitas aspirin (Haddow et al., 1993; Zikowski et
al., 1993). Pasien dengan gagal jantung kongestif, hipovolemia, atau sirosis hati melepaskan
zat-zat vasoaktif; dalam keadaan ini, prostaglandin sangat penting dalam mencegah konstriksi
arteriolar ginjal, yang dapat mengurangi aliran darah ginjal. Peningkatan ringan konsentrasi
plasma dari enzim transminase liver bisa terjadi pada beberapa pasien yang diberikan dengan
ketorolak. Iritasi dan perforasi gastrointestinal, mual, sedasi, dan edema periferal bisa
menyertai pemakaian NSAID ini.

OBAT OBAT ANTIARTHRITIS LAINNYA

Colchicine

Colchicine menurunkan inflamasi dan dengan demikian mengurangi nyeri pada pasien
artritis gout akut (Gb. 11-5). Obat ini unik, yaitu efek antiinflamasinya yang berguna terbatas
pada pengobatan serangan gout akut dan sebagai profilaksis terhadap serangan semacam itu.
Pengurangan nyeri dan inflamasi biasanya terjadi dalam 24 sampai 48 jam setelah
administrasi oral. Colchicine ini bukan analgesik dan tidak memberikan pengurangan nyeri
atau inflamasi yang lain.

16
Mekanisme Aksi

Colchicine tidak mempengaruhi ekskresi asam urat tetapi mengubah mikrotubula


fabrilar dalam granulosit, yang menghasilkan inhibisi migrasi sel-sel ini ke dalam area
inflamasi.

Efek Samping

Mual, muntah, diare, dan nyeri perut merupakan efek samping paling sering dari
terapi colchicine, yang terjadi pada sekitar 80% pasien. Intoleransi gastrointestinal cenderung
melindungi pasien dari dosis colchicine toksik. Administrasi colchicine secara oral
seharusnya dihentikan segera setelah terlihat simptom gastrointestinal karena kondisi
gastroenteritis pendarahan dapat menimbulkan kehilangan cairan dan elektrolit yang berat.
Efek samping gastrointestinal bisa diminimalisir dengan cara pemakaian colchicine IV.

Allopurinol

Allopurinol merupakan obat yang lebih disukai untuk terapi hiperurisemia primer
pada gout dan hiperurisemia dapat terjadi selama terapi dengan obat-obatan kemoterapi (Gb.
11-6).

Mekanisme Aksi

Kebalikan dari obat-obat urikosurik yang memfasilitasi ekskresi ginjal dari urate,
allopurinol mengganggu tahap-tahap akhir sintesis asam urat dengan menghambat xanthine
oxidase, yaitu enzim yang mengubah xanthine menjadi asam urat. Allopurinol diabsorpsi
setelah administrasi oral dan dengan cepat diubah menjadi oksipurinol, di mana <10% obat
terlihat tidak berubah dalam urin. Sebagian besar oksipurinol diekskresi dan tidak diubah
oleh ginjal.

Efek Samping

Efek samping allopurinol yang paling umum adalah ruam makulopapular, yang sering
didahului dengan pruritus. Demam dan mialgia bisa terjadi. Allopurinol menghambat
inaktivasi enzim 6-merkaptopurin dan azatioprin sedemikian rupa sehingga dosis obat-obatan
ini harus dikurangi.

17
Obat Urikosurik

Obat-obat urikosurik, seperti probenesid dan sulfinpirazon, bekerja secara langsung


pada tubulus-tubulus ginjal guna meningkatkan angka ekskresi asam urat dan asam organik
yang lain, termasuk penisilin (Gb.11-7 ).

Probenesid

Probenesid sepenuhnya terabsorpsi setelah administrasi oral, di mana konsentrasi


plasma tertinggi terjadi dalam 2 sampai 4 jam. Pengeluaran memerlukan waktu sekitar 8 jam.
Sekitar 90% dari probenesid terikat dengan albumin plasma. Dosis harian total orang dewasa
sebesar 1 g probenesid yang terbagi dalam empat dosis dan diperlukan secara efektif untuk
menghalangi eksresi penisilin pada ginjal. Konsentrasi plasma penisilin yang dicapai dengan
adanya probenesid setidaknya dua kali level yang dicapai dengan antibiotik semata.

Sulfinpyrazon

Sulfinpyrazon, merupakan suatu zat organik dari fenilbutazon, yang kurang berefek
sebagai antiinflamasi, tetapi merupakan inhibitor poten dari reabsorpsi tubular ginjal atas
asam urat. Aksi urikosurik dari sulfinpyrazon ini berlawanan dengan salisilat. Sekresi tubular
ginjal dari banyak obat juga berkurang. Misalnya, sulfinpyrazon bisa menimbulkan
hipoglisemia dengan mengurangi ekskresi hipoglisemik oral.

Sulfinpyrazon diabsorbsi dengan baik setelah pemakaian oral. Pengikatan protein


mendekati 98%. Obat ini mengalami sekresi oleh tubulus ginjal proksimal karena pengikatan
protein membatasi filtrasi glomerularnya. Sekitar 90% dari sulfinpyrazon terlihat tidak
berubah dalam urin. Sisa obat tersebut dimetabolisme menjadi analog parahidroksil, yang
juga memiliki aktivitas urikosurik.

Iritasi gastrointestinal terjadi dalam 10%-15% pasien yang diterapi dengan


sulfinpyrazon, yang menunjukkan suatu peringatan bagi pasien ulkus peptik. Reaksi alergi,
yang dikarakteristikkan oleh ruam dan demam, seringkali terjadi. Sulfinpyrazon menghalangi
fungsi platelet.

18
SIMPULAN

1. Siklooksigenase adalah enzim yang mengkatalis sintesis prostaglandin dari asam


arakhidona, yang terekspresi sebagai COX-1 dan COX-2 yang dapat diinduksi-
inflamasi.
2. COX-1 amat penting dalam proses-proses homeostatik seperti agregasi platelet,
integritas mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bisa
diinduksi dan diekspresikan khususnya pada tempat-tempat cedera (otak dan ginjal)
serta memediasi inflamasi, demam, rasa nyeri, dan karsinogenesis.
3. Inhibitor selektif COX-2 (celexocib, rofecoxib, valdexocib, parecoxib) menunjukkan
efikasi analgesik, yang setara dengan efikasi obat-obatan antiinflamasi konvensional
(NSAIDs). Obat ini juga berperan dalam perlindungan dari kanker kolorektal dan
demensia. Obat-obatan ini mempunyai efek yang lemah terhadap platelet pada dosis
terapi dan berhubungan dengan penurunan efek samping gastrointestinal.
4. Inhibitor COX nonspesifik memiliki efek analgesik, antiinflamasi, dan inhibisi
platelet. Efek samping negatif dari terapi NSAID terutama aspirin berhubungan
dengan disfungsi dari saluran gastrointestinal dan inhibitor fungsi platelet. Efek
samping lainnya antara lain stimulasi SSP, disfungsi hepatik dan ginjal, penurunan
metabolisme, efek uterin, dan reaksi alergi.

19

Вам также может понравиться