Вы находитесь на странице: 1из 37

REFRAT

HIPERTENSI PULMONAL

Disusun Oleh:

Samuel Fiergeon Picardi G99161091

Periode: 06-19 Nopember 2017

Pembimbing:
dr. Paramita Putri Hapsari, Sp.An, M.Kes.

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ 1


DAFTAR ISI ............................................................................................................. 2
BAB. I PENDAHULUAN ........................................................................................ 3
BAB. II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4
Definisi ................................................................................................................ 4
Anatomi Pembuluh Darah................................................................................... 4
Histologi Struktur Pembuluh Darah .................................................................... 5
Sistem Hemodinamik .......................................................................................... 5
Klasifikasi ........................................................................................................... 7
Faktor Resiko ...................................................................................................... 9
Patogenesis .......................................................................................................... 10
Pemeriksaan Fisik ............................................................................................... 14
Manifestasi Klinis ............................................................................................... 14
Diagnosa ............................................................................................................. 15
Penatalaksanaan .................................................................................................. 19
Prognosis ............................................................................................................. 25
Manajemen Periopertatif Pasien Hipertensi Pulmonal ...................................... 25
BAB. III KESIMPULAN ......................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 36

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang jarang didapat namun
progresif oleh karena peningkatan resistensi vaskuler pulmonal yang
menyebabkan menurunnya fungsi ventrikel kanan oleh karena peningkatan
afterload ventrikel kanan.
Hipertensi pulmonal dibagi menjadi dua, yaitu hipertensi pulmonal primer
dan hipertensi pulmonal sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah penyakit
langka yang tidak diketahui etiologinya, sedangkan untuk hipertensi pulmonal
sekunder adalah komplikasi dari berbagai penyakit paru, jantung dan kelainan
ekstra thorak. Penyakit paru obstruktif kronik, disfungsi ventrikel kiri dan
gangguan yang terkait dengan hipoksemia sering mengakibatkan hipertensi
pulmonal sekunder.
Hipertensi pulmonal dilaporkan berkembang 12 kasus per 1 juta orang
per tahun di USA. WHO melaporkan insiden kira-kira 2-5 orang per 1 juta
penduduk pertahun. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1:2 dan umur rata-rata
saat diagnosis adalah 37 tahun (dekade 3-4). Namun seiring kemajuan teknologi,
kini terapi hipertensi pulmonal mulai menggunakan pengobatan inhalasi dan
diklaim sebagai satu-satunya yang selektif bekerja ke paru-paru(bekerja lokal)
yang bermanfaat meningkatkan harapan hidup serta menghilangkan gejala serta
efek samping terbatas.
Data yang menginformasikan angka morbiditas dan mortilitas pada pasien
hipertensi pulmonal yang mengalami pembedahan adalah 42% dan angka
mortalitas adalah sebesar 18% dan komplikasi yang mungkin timbul mencakup
hipotensi, penurunan respirasi, gagal jantung ventrikel kanan yang dapat terjadi
saat intraoperative maupun postoperative. Oleh karena itu penting untuk
mengetahui manajemen anestesi perioperatif pasien hipertensi pulmonal

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipertensi pulmonal terbagi atas hipertensi pulmonal primer dan hipertensi
pulmonal sekunder. Hipertensi Pulmonal Primer(HPP) adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada pembuluh arteri paru-paru jauh
di atas normal yaitu lebih dari 25 mmHg saat istirahat atau lebih dari 30 mmHg
saat melakukan aktivitas yang dapat menyebabkan sesak, pusing dan bahkan
sampai pingsan. Nilai tekanan arteri pulmonalis pada orang normal adalah sekitar
14 mmHg pada saat beristirahat. Diagnosis HPP dibuat bila suatu hipertensi
pulmonal tidak ditemukan faktor-faktor resiko dan tidak didapatkan adanya
penyakit katup jantung kiri, penyakit miokard, penyakit jantung kongenital dan
beberapa penyakit paru lainnya seperti penyakit jaringan ikat atau tromboemboli
kronik. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi pulmonal dapat menjadi suatu
penyakit berat yang ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan
aktivitas dan bahkan dapat menyebabkan gagal jantung kanan. Istilah HPP
menjadi kurang populer karena dapat menyebabkan kesalahan dalam
penanganannya sehingga istilah hipertensi pulmonal primer saat ini diganti
menjadi Hipertensi Arteri Pulmonal Idiopatik(IPAH).
Hipertensi pulmonal sekunder merupakan kondisi yang lebih umum yang
banyak disebabkan oleh penyakit dari jantung atau dari paru yang memang sudah
ada. Penyebab yang paling umum adalah karena adanya penyakit PPOK pada
paru dan juga bisa karena adanya kelainan katup pada jantung.
2.2 Anatomi Pembuluh darah
Pembuluh darah terdiri dari 3 jenis : arteri, vena, dan kapiler.
1. Arteri
Membawa darah dari jantung dan disebarkan ke berbagai jaringan tubuh
melalui cabang-cabangnya. Arteri yang terkcil, diameternya kurang dari
0,1 mm, di namakan arteriol. Persatuan cabang-cabang arteri dinamakan
anastomosis. Pada arteri tidak terdapat katup

4
2. Vena
Vena adalah pembuluh darah yang mengalirkan darah kembali ke jantung.
Vena banyak mempunyai katup. Vena terkecil dinamakan venla. Vena
yang lebih kecil atau cabang-cabangnya, bersatu membentuk vena yang
lebih besar, yang seringkali bersatu satu sama lain membentuk peksus
vena.
3. Kapiler
Adalah pembuluh darah mikroskopis yang membentuk jalinan yang
menghubungakna arteriol dan venula. Pada beberapa daerah tubuh,
terutama pada ujung-ujung jari dan ibu jari, terdapat hubungan lanagsung
antara arteri dan vena tanpa diperantarai kapiler. Tempat hubungan seperti
ini dinamakan anastomosis arteriovenosa.
2.3 Histologi Struktur Pembluh Darah
1. Tunika intima merupakan lapisan yang kontak langsung dengan darah.
Lapisan ini dibentuk terutama oleh sel endothel.
2. Tunika media merupakan lapisan yang berada diantara tunikan media dan
adventesia, disebut juga lapisan media. Lapisan ini terutama dibentuk oleh
sel otot polos dan jaringan elastis.
3. Tunika adventesia
Merupakan lapisan yang paling luar yang tersusun oleh jaringan ikat.
2.4 Sitem Hemodinamik
Peredaran darah dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu
1. Sistem kardiovaskuler: Sistem kardiovaskuler merupakan sub sistem
sirkulasi yang bertugas mengedarkan darah ke seluruh tubuh.
2. Sistem sirkulasi limfatik yang terdiri dari kelenjar limfe, pembuluh limfe
dan cairan limfe atau getah bening.
Sistem kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler bertugas mengedarkan darah ke seluruh tubuh
dimana darah mengandung oksigen dan nutrisi berupa sari makanan yang
diperlukan sel/jaringan untuk metabolisme.

5
Sistem kardiovaskuler juga membawa sisa metabolisme berupa ekskret
untuk dibuang melalui organ-organ eksresi.
Sistem kardiovaskuler ini mempunyai karakter yang khas yaitu : selalu
cairan berupa darah pada manusia berada di dalam pembuluh darah
sehingga peredarannya tertutup

Sistem kardiovaskuler mendistribusikan darah ke seluruh tubuh melalui


sistem peredaran darah (sirkulasi darah). Sirkulasi darah terbagi menjadi 2 bagian
yaitu:
1. sirkulasi sistemik (Sistem peredaran darah besar)
2. Sirkulasi pulmonal ( Sistem peredaran kecil).
Sirkulasi pulmonal ( Sistem peredaran kecil).
Sirkulasi pulmonal atau disebut juga sistem peredaran darah kecil adalah
sirkulasi darah antara jantung dan paru-paru. ( Jantung - Paru paru -
Jantung lagi)
Detailnya darah dari jantung (ventrikel kanan) dialirkan ke paru-paru
melalui arteri pulmonalis, darah ini banyak mengandung karbondioksida

6
sebagai sisa metabolisme untuk dibuang melalui alveolus paru-paru ke
atmosfer.
Selanjutnya darah akan teroksigenasi pada kapiler paru dan kembali ke
jantung (atrium kiri) melalui vena pulmonalis.
Dari pemahaman itu maka
1. Arteri Pulmonalis adalah satu satunya aretri yang kaya Carbon dioksida
2. Vena Pulmonalis adalah satu satunya pembuluh darah vena / balik yang
kaya akan Oksigen
Sirkulasi sistemik (Sistem peredaran darah besar)
Sirkulasi sistemik atau peredaran darah besar / Magna sirkulatoria adalah
srikulasi darah dari jantung (ventrikel kiri) ke seluruh tubuh (kecuali paru-
paru).( Jantung - Tubuh - Jantung )
Darah dari ventrikel kiri dipompakan ke seluruh tubuh melalui aorta,
kemudian pembuluh darah Aorta bercabang-cabang menjadi arteri dan
arteri bercabang lagii membentuk aeteriol / arteri yang lebih kecil yang
tersebar dan bisa mengakses ke seluruh sel tubuh kita .
Selanjutnya darah dikembalikan ke jantung bagian kanan tepatnya ke
serambi kanan)/ ventrikel dexter melalui vena cava baik Vena cava
superior ( tubuh sebelah atas jantung ) maupun Vena cava inferior
Sirkulasi darah antara jantung dan seluruh tubuh berjalan satu arah.
Darah dari ventrikel kanan dialirkan ke paru-paru kemudian kembali ke
jantung dan diedarkan ke seluruh tubuh dari ventrikel kiri melalui aorta.
Aorta akan bercabang-cabang menjadi arteri, arteriola / pembuluh kapiler.
Selanjutnya dikembalikan ke jantung melalui venula -vena - vena cava
(pembuluh balik).
2.5 Klasifikasi
Hipertensi pulmonal berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 kategori
yaitu hipertensi pulmonal primer dan hipertensi pulmonal sekunder. Klasifikasi
menurut simposium hipertensi pulmonal Dana Point Meeting California
hipertensi pulmonal dibagi lagi menjadi beberapa kelompok sebagai berikut:

7
Tipe Keterangan Etiologi

Tipe 1.a Hipertensi arteri pulmonalis Idiopatik, genetik, induksi obat dan
(Hipertensi Arteri Pulmonal racun, penyakit jaringan ikat, infeksi
Idiopatik) HIV, hipertensi portal, penyakit
jantung kongenital, scistosomiasis,
anemia hemolitik kronis, autoimun
Tipe 1.b Penyakit hipertensi veno- Obstruksi vena besar paru oleh
pulmonal karena penyakit fibrosis (fibrosis
mediastinum, tumor, sarkoidosis,
histiositosis)
Tipe 2 Hipertensi pulmonal dengan Disfungsi sistolik, disfungsi
kelainan jantung kiri diastolik, penyakit valvular

Tipe 3 Hipertensi pulmonal dengan COPD, panyakit paru interstisial,


kelainan paru-paru/hipoksia penyakit paru dengan gabungan dari
kelainan restriktif dan obstruktif,
sleep upnea desease, gangguan
hipoventilasi alveolar
Tipe 4 Hipertensi pulmonal dengan Oklusi trombotik proksimal, oklusi
tromboemboli kronis trombotik distal oleh karena benda
asing
Tipe 5 Hipertensi den gan Gangguan mieloproliferatif dan
multifaktorial splenektomi, vaskulitis, gangguan
tiroid, tumor,gagal ginjal kronis

8
Klasifikasi hipertensi pulmonal berdasarkan kelas fungsional menurut WHO
adalah
Kelas I: Pasien dengan hipertensi pulmonal tanpa keterbatasan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari
Kelas II : Pasien dengan hipertensi pulmonal, dengan sedikit keterbatasan
dalam melakukan aktifitas sehari hari.
Kelas III: Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang bila melakukan
aktifitas ringan akan merasakan sesak dan rasa lelah yang hilang bila
istirahat.
Kelas IV: Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang tidak mampu
melakukan aktifitas apapun (aktifitas ringan akan merasakan sesak),
dengan tanda dan gejala gagal jantung kanan.
2.6 Faktor Resiko
Dari klasifikasi yang telah digambarkan pada etiologi jelas bahwa
berbagai faktor resiko dapat berkembang menjadi hipertensi pulmonal berat dan
oleh karenanya dapat dianjurkan skrining dari bagian populasi terpilih untuk
terjadinya hipertensi pulmonal atau penyakit vaskular pulmonal. Pada simposium
WHO, level resiko disertai dengan masing-masing kondisi yang dinilai pada
beberapa pembagian, antara lain:
1. Riwayat Keluarga
2 gen dalam kelompok reseptor famili TGF-b mempunyai hubungan yang
kuat dengan familial hipertensi pulmonal. Gen bone morphogenetic
receptor type 2 (BMPR2), memodulasi pertumbuhan sel-sel vaskuler
dengan mengaktivasi jalur intraseluler. Dalam keadaan normal BMP
menekan pertumbuhan sel otot polos vaskuler. Lebih dari 45 mutasi yang
berbeda BMPR2 telah diidentifikasi pada familial hipertensi arterial
pulmonal. BMPR2 adalah suatu komponen reseptor pada sel otot polos
vaskuler heteromerik, bagian dari transforming growth factor. Mutasi
eksonik pengkodean gen BMPR2, yang berpengaruh pada suatu aberasi
transduksi sinyal pada sel otot polos vaskuler paru sehingga menimbulkan
proliferasi sel. Mutasi BMPR2 telah diidentifikasi 50%-90% pasien

9
dengan diagnosis HAPF, 25% pada pasien HPP dan 15 % pada pasien
HAP sehubungan penggunaan fenfluramine. Jenifer R et al menemukan
bahwa 27 % pasien HPP dengan mutasi BMPR2. R. Souza et al, 2008,
pasien dengan mutasi BMPR2 signifikan lebih cepat timbul gejala
dibandingkan dengan tanpa mutasi BMPR2.
2. Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis dapat menyebabkan hipertensi pulmonal karena substansi
seperti prostasiklin, tromboksan A2, endotelin 1, nitreus oxid tidak
termetabolisme di hati, sehingga masuk ke dalam paru dan menyebabkan
perubahan anatomis pada vaskular paru. Perubahan terjadi pada tunika
intima, dimana nantinya vaskular paru tidak dapat berdilatasi yang
menyebabkan meningkatnya tahanan dari arteri paru.
3. Infeksi HIV
Hubungan antara HIV dan hipertensi pulmonal pertama kali di jabarkan
oleh Kim dkk pada 1987. Faktor resiko pada penderita dihubungkan
dengan penggunaan obat-obat intravena, infeksi paru berulang,
tromboemboli vena dan disfungsi ventrikel kiri. Patofisiologi secara pasti
masih belum diketahui, dan masih belum di peroleh bukti virus HIV secara
langsung dapat menginfeksi endothel arteri pulmonalis. Kemungkinan lain
yang paling mungkin adalah adanya infeksi yang menyebabkan proses
inflamasi yang merangsang pelepasan leukosit dan trombosit dan juga
merangsang fibrinogen yang akan memicu pembekuan darah dan memicu
adanya trombosis pada pembuluh darah.
2.7 Patogenesis
Arteri pulmonalis normal merupakan suatu struktur complaint
dengan sedikit serat otot, yang memungkinkan fungsi pulmonary
vaskuler bed sebagai sirkuit yang low pressure dan high flow. Kelainan
vaskuler hipertensi pulmonal mengenai arteri pulmonalis kecil dengan
diameter 4-10 mm dan arteriol, berupa hiperplasia otot polos vaskuler,
hiperplasia intima, dan trombosis in situ. Progresif dan penipisan arteri

10
pulmonalis, yang secara gradual meningkatkan tahanan pulmonal yang
pada akhirnya menyebabkan strain dan gagal ventrikel kanan
Pada stadium awal hipertensi pulmonal, peningkatan tekanan arteri
pulmonalis menyebabkan peningkatan kerja ventrikel kanan dan terjadinya
trombotik arteriopati pulmonal. Karakteristik dari trombotik arteriopati
pulmonal ini adalah trombosis insitu pada muskularis arteri pulmonalis.
Pada stadium lanjut, dimana tekanan pulmonal meningkat secara terus
menerus dan progresif, lesi berkembang menjadi bentuk arteriopati
fleksogenik pulmonal yang ditandai dengan hipertrofi media, fibrosis
laminaris intima konsentrik, yang menggantikan struktur endotel pulmonal
normal. Secara patologi hipertensi pulmonal dapat dikelompokan dalam 3
subtipe:
1. Fleksogenik arteriopati primer (30-60 % dari HPP)
Secara patologi fleksogenik adalah disorganisasi kapiler pulmonal. Lesi
fleksiform merupakan suatu bentuk hipertensi pulmonal berat, kelainan ini
ditemui pada pasien yang mempunyai komponen genetik, dimana 7 %
adalah familial.
2. Tromboemboli arteriopati (45-50% dari HPP)
Secara patologi subtipe ini ditandai dengan fibrosis eksentrik tunika intima
dan gambaran rekanalisasi thrombosis insitu (jaringan dan septum dalam
lumen arterial). Subtipe tromboemboli hipertensi pulmonal terdapat 2
bentuk : bentuk makro tromboemboli, yang biasanya ditemukan pada
hipertensi pulmonal sekunder dan berisi gumpalan besar ditengah lumen,
dan kedua bentuk mikrotromboemboli dengan thrombus di distal yang
menyumbat pembuluh-pembuluh darah kecil.
3. Oklusi vena pulmonalis
Bentuk yang jarang didapat, disebabkan oleh penipisan tunika intima vena
pulmonalis.

11
Penyebab kelainan Ketidakseimbangan Mediator-mediator Vasoaktif
a. Prostasiklin dan Tromboksan A2
Prostasiklin dan tromboksan A2 merupakan metabolit asam arakidonat
utama sel-sel endotel dan sel-sel otot polos. Prostasiklin merupakan vasodilator
poten, menghambat agregasi trombosit dan antiproliferatif, sedangkan tromboksan
A2 merupakan vasokonstriktor poten. Pada hipertensi pulmonal keseimbangan
kedua molekul ini lebih banyak pada tromboksan A2. Prostasiklin sintase adalah
enzim yang merangsang produksi prostasiklin, jumlahnya menurun pada arteri
pulmonal pada pasien hipertensi pulmonal terutama HPP.
b. Endotelin-1
Endothelin-1 (ET-1) adalah suatu vasokonstriktor poten dan memiliki
aktifitas mitogenik pada sel-sel otot polos arteri. Peningkatan kadar ET-1 plasma
dan dinding vaskuler pada pasien IPAH(idiopatik pulmonary arteri hypertension).
Endothelin-1 (ET-1) adalah suatu asam amino peptide yang dihasilkan oleh enzim
konverting endothelium pada sel-sel endotel. Kadar endotelin meningkat pada
pasien IPAH dan klirennya berkurang pada vaskuler paru. Endotelin beraksi pada
2 reseptor yang berbeda. Reseptor ETA pada sel otot polos vaskuler dan Reseptor
ETB pada sel otot polos vaskuler dan sel endotel vaskuler paru. Kedua reseptor
menyebabkan proliferasi sel otot polos vaskuler.
c. Nitrik Oksida
Nitric oxide (NO) adalah vasodilator poten, penghambat aktivasi platelet
dan penghambat proliferasi sel otot vaskuler. NO dihasilkan sel endotel dari
arginin oleh NO sintase, menimbulkan efek vasodilatasi melalui mekanisme yang
komplek dengan cGMP. cGMP mengaktifkan cGMP kinase, menyebabkan
terbukanya kanal K+ membran sel, sehingga ion K+ keluar, membran depolarisasi
dan menghambat kanal Ca2+. Menurunnya Ca2+ masuk dan menurunnya
pelepasan Ca2+ sarkoplasma menyebabkan vasodilatasi. Phosphodiesterase-5
(PDE-5), salah satu enzim PDE yang memecah cGMP. Pasien dengan HPP
terbukti menurunnya NO sintase, sehingga timbul vasokonstriksi dan proliferasi
sel. NO berkontribusi dalam menjaga fungsi dan struktur vaskuler dalam keadaan
normal.

12
d. Serotonin
Serotonin (5-hydroxytryptamine=5-HT) adalah vasokonstriktor yang
meningkatkan hiperplasia dan hipertrofi otot polos. Peningkatan serotonin plasma
telah dilaporkan pada pasien IPAH, yang menyebabkan vasokonstriksi.
Mekanisme seretonergik yang berimplikasi pada IPAH. Konsumsi
dekfenfluramin, terjadi peningkatan release serotonin dan terhambat reuptake oleh
platelet.
e. Adrenomedulin
Adrenomedulin mendilatasi vena-vena pulmonalis, meningkatkan aliran
darah paru dan disintesa sel-sel paru normal. Kadar dalam plasma meningkat
pada pasien IPAH, kadar adrenomedulin plasma berkorelasi dengan tekanan rata-
rata atrium kanan, tahanan vaskuler paru, dan tekanan arteri paru rata-rata.
f. Vasoactive Intestinal Peptide
Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) merupakan vasodilator sistemik poten,
menurunkan tekanan arteri pulmonal dan tahanan vaskuler pulmonal, juga
menghambat aktifasi platelet, dan proliferasi sel otot polos. Studi baru baru ini
melaporkan penurunan kadar VIP pada pasien IPAH
g. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
Hipoksia akut dan kronik, produksi VEGF meningkat
Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan pengerasan pembuluh darah di
dalam paru. Hal ini memperberat kerja jantung dalam memompa darah ke paru.
Lama-kelamaan pembuluh darah yang terkena akan menjadi kaku dan menebal
hal ini akan menyebabkan tekanan dalam pembuluh darah meningkat dan aliran
darah juga terganggu. Ventrikel kanan jantung membesar sehingga menyebabkan
suplai darah dari jantung ke paru berkurang, keadaan yang disebut dengan gagal
jantung kanan. Sejalan dengan hal tersebut maka aliran darah ke jantung kiri juga
menurun sehingga darah membawa kandungan oksigen yang kurang dari normal
untuk mencukupi kebutuhan tubuh terutama pada saat melakukan aktivitas.
Biasanya pasien mengeluh jantung sering berdebar dan sering berkeringan
meskipun tidak beraktifitas.

13
2.8 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksan fisik pada HPP sering tidak spesifik untuk menegakan
diagnosis, namun dapat membantu meniadakan berbagai penyebab lain dari
hipertensi pulmonal (sekunder). Pemeriksaan fisik paru biasanya normal. Gejala
lebih awal dan atau temuan tunggal hanyalah aksentuasi komponen pulmonal
pada bunyi jantung 2 (P2) hampir 90 %. Peninggian suara P2 dihasilkan dari
peningkatan kekuatan penutupan katup pulmonal karena respon peningkatan
tekanan arteri pulmonal pada saat diastolik. Temuan fisik tambahan sehubungan
dengan HP merefleksikan pengaruh HP pada jantung dan organ lainnya. Paling
banyak pada pasien berkembang menjadi trikuspid regurgitasi dalam beberapa
derajat karena tekanan overload pada ventrikel kanan. Pembesaran ventrikel
kanan, pulsasi vena jugularis meningkat bila terjadi overload cairan dan/atau gagal
jantung kanan. Hepatomegali mungkin timbul, asites dan retensi cairan di perifer.
2.9 Manifestasi Klinik
Hipertensi pulmonal sering timbul dengan gejala-gejala yang tidak
spesifik. Gejala-gejala itu sulit untuk dipisahkan sehubungan dengan penyebab
apakah, dari paru atau dari jantung (primer atau sekunder), kesulitan utama adalah
gejala umumnya berkembang secara gradual. Gejala yang paling sering adalah
dispnea saat aktifitas 60%, fatique 19% dan sinkop 13%, yang merefleksikan
ketidakmampuan menaikan curah jantung selama aktifitas. Angina tipikal juga
dapat terjadi meskipun arteri koroner normal tetapi disebabkan oleh karena
stretching arteri pulmonalis atau iskemia ventrikel kanan. Gejala dan tanda dari
hipertensi pulmonal di kelompokan pada tabel berikut
Symptoms Signs
Dyspnea saat aktivitas Distensi vena Jugular
Kelelahan impuls ventrikel kanan yang cepat
Sinkop Menekankan komponen katup pulmonal (P
2)
Nyeri dada Anginal Terdengar suara jantung ketiga (S 3)
Hemoptisis Murmur insufisiensi tricuspid

14
Fenomena Raynaud Hepatomegali
Edema perifer

Selain itu hemoptisis akibat pecahnya pembuluh darah paru juga bisa
terjadi, yang akan berpotensi menyebabkan batuk darah. Kelainan terdeteksi pada
pemeriksaan fisik cenderung lokal pada sistem kardiovaskular. Pemeriksaan yang
seksama sering mendeteksi tanda-tanda hipertensi pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan. Temuan pada pemeriksaan paru-paru yang tidak spesifik tetapi
dapat menunjukkan penyebab yang mendasari hipertensi pulmonal. Sebagai
contoh, mengi dapat didiagnosis PPOK, dan basilar crackles mungkin
menunjukkan adanya penyakit paru-paru interstisial.
2.10 Diagnosis
Untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal, dokter dapat melakukan satu
atau lebih tes untuk mengevaluasi kerja jantung dan paru-paru pasien. Hal ini
termasuk X-ray di daerah dada untuk menunjukkan pembesaran dan
ketidaknormalan pembuluh darah paru-paru, ekokardiogram yang menunjukkan
visualisasi jantung, mengukur besar ukuran jantung, aliran darah, dan
mengadakan pengukuran tidak langsung terhadap tekanan di pembuluh paru-paru.
1. Ekokardiografi
Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi pulmonal, untuk
diagnosis sebaiknya dilakukan ekokardiografi. Ekokardiografi adalah modalitas
diagnostik untuk evaluasi atau eklusi penyebab Hipertensi pulmonal sekunder
(seperti gagal ventrikel kiri, penyakit jantung katup, penyakit jantung kongenital
dengan shunt sistemik pulmonal dan disfungsi diastolik ventrikel kiri). Disamping
itu untuk menentukan beratnya hipertensi pulmonal serta prognosisnya.. Namun
demikian ekokardiografi saja tidak cukup adekuat untuk konfirmasi definitif ada
atau tidaknya hipertensi pulmonal. Untuk itu direkomendasikan untuk kateterisasi
jantung. Penilaian yang dapat dilakukan pada pasien dengan hipertensi pulmonal
antara lain:
- Right ventricular size (chamber diameter and volume, and wall
thickness)

15
- Right ventricular/left ventricular diastolic volume
- Right ventricular contractility
- Pericardial effusion (presence, size)
- Inferior vena cava (IVC) size, respiratory variation
- Tricuspid regurgitation (severity and velocity)
- Left ventricular (LV) early diastolic filling velocity.
2. Eletrokardiografi
Gambaran tipikal EKG pada pasien hipertensi pulmonal sering
menunjukan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, strain ventrikel kanan, dan
pergeseran aksis ke kanan, yang juga memiliki nilai prognostik. Kelainan EKG
saja bukanlah indikator yang sensitif untuk penyakit vaskuler paru. Penggunaan
perubahan EKG sebagai marker progresi penyakit dan atau respon terapi belum
ada dilaporkan.

Elektrokardiogram menunjukkan perubahan pada hipertrofi ventrikel


kanan (panah panjang) dengan regangan pada pasien dengan hipertensi paru
primer. Deviasi sumbu kanan (panah pendek), peningkatan amplitudo gelombang
P pada lead II (panah hitam), dan tidak lengkap blok cabang berkas kanan (panah
putih) yang sangat spesifik tetapi tidak memiliki kepekaan untuk mendeteksi
hipertrofi ventrikel kanan.

16
3. Radiologi
Karena radiografi thorak adalah noninvasif dan tidak mahal, pasien dengan
sesak yang tidak jelas biasanya di skrining dengan radiografi thorak. Ro thorak
sama pentingnya sebagai first-line tes skrining pada pasien IPAH untuk melihat
penyebab sekunder, seperti penyakit interstisial paru dan kongesti vena-vena paru.
Hampir 85 % terdapat kelainan Radiografi thorak pada hipertensi pulmonal,
seperti pembesaran ventrikel kanan dan/atau atrium kanan, dilatasi arteri
pulmonal.

.
4. Tes Fungsi Paru
Pengukuran kapasitas vital paksa (FVC) saat istrahat, volume ekspirasi
paksa 1 detik (FEV1), ventilasi volunter maksimum (MVV), kapasitas difusi
karbon monoksida, volume alveolar efektif, dan kapasitas paru total adalah
komponen penting dalam pemeriksaan Hipertensi Pulmonal, yang dapat
mengidentifikasi secara signifikan obstruksi saluran atau defek mekanik sebagai
faktor kontribusi hipertensi pulmonal. Tes fungsi paru juga secara kuantitatif
menilai gangguan mekanik sehubungan dengan penurunan volume paru pada
Hipertensi Pulmonal.

17
5. CT Scan
CT scan dilakukan hanyalah untuk membedakan apakah primer atau
sekunder. Tanpa zat kontras, untuk menilai parenkim paru seperti bronkiektasi,
emfisema, atau penyakit interstisial. Dengan zat kontras untuk deteksi dan atau
melihat penyakit tromboemboli paru
6. Kateterisasi Jantung
Kateterisasi jantung kanan dengan mengukur hemodinamik pulmonal
adalah gold standard untuk konfirmasi PAH. Dengan definisi hipertensi pulmonal
adalah tekanan PAP lebih 25 mHg pada saat istrahat, atau lebih 30 mmHg pada
saat aktifitas. Kateterisasi membantu diagnosis dengan menyingkirkan etiologi
lain seperti penyakit jantung kiri dan memberikan informasi penting untuk
prognostik hipertensi pulmonal. Yang dapat diukur pada pemeriksaan dengan
kateterisasi antara lain:
- Systemic arterial pressure (BP) and heart rate (HR)
- Right atrial pressure (RAP)
- Right ventricular pressure (RVP)
- Pulmonary artery pressure (PAP)
- Pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
- Cardiac output and index
- Pulmonary vasoreactivity
- Systemic and pulmonary arterial oxygen saturation
Hemodinamik adalah prognostik untuk IPAH, nilai prognostik pengukuran
hemodinamik bila RAP < 10 mmHg, angka harapan hidup 50 bulan bila tidak
mendapat terapi vasodilator, sedangkan bila RAP lebih dari 20 mmHg harapan
hidupnya kurang dari 3 bulan.
7. Tes Vasodilator
Vasoreaktifitas adalah suatu bagian penting untuk evaluasi pasien IPAH,
pasien yang respon dengan vasodilator terbukti memperbaiki survival dengan
menggunakan blok kanal kalsium (CCB) jangka panjang. Definisi respon
(European Society of Cardiology consensus) adalah penurunan rata-rata tekanan
arteri pulmonal paling < 10 mm Hg dengan peningkatan kardiak output. Tujuan

18
primer tes vasodilator adalah untuk menentukan apakah pasien bisa diterapi
dengan CCB oral.
8. Tes Berjalan 6 Menit
Pemeriksaan yang sederhana dan tidak mahal untuk keterbatasan
fungsional pasien hipertensi pulmonal adalah dengan tes ketahanan berjalan 6
menit (6WT). Ini digunakan sebagai pengukur kapasitas fungsional pasien dengan
sakit jantung, memiliki prognostik yang signifikan dan telah digunakan secara
luas dalam penelitian untuk evaluasi pasien hipertensi pulmonal yang diterapi.
6WT tidak memerlukan ahli dalam penilaian.
9. Biopsi paru
Jarang dilakukan karena sangat riskan pada pasien hipertensi pulmonal,
biopsi paru di indikasikan bila pasien yang diduga IPAH, dengan pemeriksaan
standar tidak kuat untuk diagnosis definitif.
10. Laboratorium
Pasien-pasien yang diduga hipertensi pulmonal harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium standar untuk dispnea, yang meliputi pemeriksaan
analisa gas darah, pemeriksaan kimia dan darah lengkap. Pemeriksaan HIV
direkomendasikan pada pasien dengan faktor resiko. Dilaporkan bahwa hipertensi
pulmonal sehubungan dengan infeksi HIV 100 kali lebih sering dibandingkan
dengan IPAH. Tes fungsi hati juga harus dilakukan untuk eklusi suatu hipertensi
portopulmonal disamping untuk pemberian terapi.
2.11 Penatalaksanaan
Tahanan vaskuler paru secara dramatis meningkat pada saat latihan atau
aktifitas pada pasien hipertensi pulmonal, dan pasien sebaiknya harus
memperhatikan dan membatasi aktifitas yang berlebihan. Pemberian oksigen
untuk mengatasi sesak nafas dan hipoksia, saturasi oksigen dipertahankan diatas
90 %. Penggunaan digoksin saat ini masih kontroversial, karena belum ada data
terhadap keuntungan dan kerugian penggunaan digoksin pada hipertensi pulmonal
primer. Penggunaan diuretik untuk mengurangi sesak dan edema perifer, dapat
bermanfat untuk mengurangi kelebihan cairan terutama bila ada regurgitasi
trikuspid. Timbulnya trombosis in situ, gagal jantung kanan dan stasis vena

19
meningkatkan resiko terjadinya tromboemboli paru. Perbaikan survival telah
dilaporkan dengan antikoagulan oral, warfarin 1,5-2,5 mg dengan target INR 1,8.
Telah banyak penelitian untuk pengobatan hipertensi pulmonal yang dilakukan :
golongan vasodilator, prostanoid, NO, penghambat phosfodiestrase, antagonis
reseptor endotelin dan anti koagulan.
1. Calcium-Channel Blocker (CCB)
Penggunaan CCB telah banyak diteliti dan digunakan sebagai terapi
hipertensi pulmonal, perbaikan terjadi kira-kira 25-30 % kasus terutama pada
pasien yang tes vasodilator akut positif. Nifedipine (120-240 mg/hari) atau
diltiazem (540-900 mg/hari) merupakan agen yang paling sering digunakan,
sementara verepamil menimbulkan efek inotropik negative. Efek samping yang
bermakna seperti hipotensi yang mengancam hidup pasien dengan fungsi ventrikel
kanan yang berat.
2. Prostanoid
Telah terbukti bahwa defisiensi prostasiklin berkontribusi dalam
patogenesis IPAH. Studi klinis membuktikan bahwa terapi jangka lama dengan
analog prostasiklin eksogen menguntungkan pada pasien dengan hiperetensi
pulmonal sedang sampai berat.
a. Epoprostenol
Epoprostenol iv pertama kali disetujui oleh FDA untuk terapi hipertensi
pulmonal pada tahun 1995. Pemakaian epoprostenol jangka panjang
memperbaiki hemodinamik, toleransi latihan, klas fungsional NYHA, dan
survival rate penderita hipertensi pulmonal. Epoprostenol tidak stabil pada
suhu kamar, harus dilindungi selama pemberian infus, half- life pendek
dalam aliran darah (< 6 min), tidak stabil pada pH asam, dan tidak bisa
secara oral. Dimulai dengan dosis (1-2 ng/kg/min), dan secara perlahan
dititrasi 1-2 ng/kg/min, sampai (20 ng/kg/min atau 40 ng/kg/min).
Komplikasi lain sehubungan dengan terapi iv jangka lama adalah infeksi,
selulitis sampai sepsis, bila pemberian melalui katerterisasi vena sentral
harus dilakukan pada senter dengan peralatan lengkap, perawat / dokter
yang berpengalaman.

20
b. Treprostinil
Adalah suatu analog prostasiklin dengan half-life 3 jam. Obat stabil pada
suhu kamar dan dapat diberikan secara subkutan. Efek samping seperti
sakit kepala, diare, flushing sama seperti epoprostenol, disamping nyeri
dan eritem pada tempat penyuntikan. Pemberian secara subkutan ini lebih
aman dan efektif pada pasien terutama rawat jalan.
c. Iloprost Inhalasi
Iloprost adalah prostasiklin analog dengan bentuk kimia stabil, yang
tersedia dalam bentuk intravena, oral dan aerosol. Half-live dalam serum
20-25 min. Bentuk inhalasi dalam pengobatan hipertensi pulmonal adalah
konsep yang baik dan praktis dalam penggunaan klinik. Iloprost inhalasi
mempunyai efek vasodilator yang lebih poten dibandingkan dengan NO
inhalasi. Illoprost inhalasi mempunyai aksi yang lebih pendek sehingga
pemberiannya bisa 6 sampai 9 kali sehari.
d. Beraprost
Beraprost adalah analog prostasiklin secara kimia stabil dan aktif untuk
oral. Diabsorbsi secara cepat dalam keadaan puasa, konsentrasi puncak
tercapai setelah 30 menit dan half life 35-40 menit setelah pemberian.
3. Antagonis Reseptor Endotelin
Pada penelitian terakhir Antagonis reseptor Endotelin efektif dalam
mengobati hipertensi pulmonal, karena banyaknya bukti peranan patogenik
endotelin-1 pada hipertensi pulmonal. Endothelin-1 adalah suatu vasokonstriktor
yang poten, dan mitogen pada otot polos yang menyebabkan meningkatnya tonus
vaskuler dan hipertrofi vaskuler paru. Dalam studi kontrol kecil pasien IPAH,
konsentrasi endothelin plasma berkorelasi dengan PAP and PVR, berkorelasi juga
dengan kapasitas latihan.
a. Bosentan
Efek samping dari bosentan adalah peningkatan kadar alanine
aminotransferase dan/atau aspartate amino transferase. Gangguan fungsi
hati ini berkorelasi dengan dosis, dimana lebih sering terjadi dengan
bosentan 250 mg bid. Dan efeknya transien, sehingga USFDA

21
merekomendasikan pemeriksaan fungsi hati paling tidak 1 bulan sebelum
terapi.
b. Sitaxsentan
Perbaikan yang sama fungsional klas, dan hemodinamik pada kedua
kelompok dosis. Efek samping terapi dengan sitaxsentan berupa
abnormalitas fungsi hati, sakit kepala, edem perifer, nausea, nasal
kongestan dan pusing.
c. Ambrisentan
Tidak terdapat peningkatan transaminase hati.
4. Phosphodiesterase Inhibitor
Mekanisme yang memodulasi cyclic guanosine 3-5 monophosphate
(cGMP) di dalam otot polos vaskuler memainkan peranan dalam regulasi tonus,
pertumbuhan dan struktur vaskuler paru. Efek vasodilator NO tergantung pada
kemampuannya untuk meningkatkan dan mempertahankan cGMP yang ada pada
vaskuler. Sekali diproduksi, NO secara langsung mengaktifasi guanylate cyclase,
yang meningkatkan produksi cGMP. cGMP kemudian mengaktifasi cGMP
kinase, membuka kanal potassium, dan menyebabkan vasorelaksasi. Efek
intraseluler cGMP sangat singkat, sehingga didegradasi cepat oleh
phosphodiesterase. Phosphodiesterase merupakan famili enzim yang
menghidrolisa cyclic nucleotides, cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan
cGMP, dan membatasi signal intraseluler dengan menghasilkan produk inaktif 5-
adenosine monophosphate dan 5-guanosine monophosphate. Bagaimanapun juga
obat-obat yang menginhibisi spesifik cGMP phosphodiesterase
(phosphodiesterase type 5 inhibitors) meningkatkan respon vaskuler paru pada
NO inhalasi dan endogen pada hipertensi pulmonal.
a. Dipyridamole
Studi terdahulu mendemonstrasikan bahwa dipyridamole dapat
menurunkan PVR, menurunkan hipertensi pulmonal dan meningkatkan
atau memperpanjang efek inhalasi NO pada anak dengan hipertensi
pulmonal. Pasien yang gagal dengan inhalasi NO maka dikombinasi
dengan dipyridamole. Hasil ini menyokong bahwa inhibisi

22
phosphodiesterase type 5 bisa menjadi suatu strategi klinik yang efektif
untuk terapi HPP.
b. Sildenafil
Sildenafil adalah suatu inhibitor phosphodiesterase type 5 yang poten dan
lebih spesifik, telah terbukti efektif dan aman untuk terapi disfungsi ereksi.
Berdasarkan perkembangnya pemahaman aktifitas phosphodiesterase type
5 dalam sirkulasi paru, suatu studi klinik tanpa kontrol menguji efek
hemodinamik akut sildenafil dan potensinya dalam terapi jangka panjang
pasien IPAH. Dilaporkan bahwa sildenafil memblok vasokonstriksi paru
hipoksik pada dewasa sehat dan menurunkan mPAP pasien IPAH.
Perbandingan dengan inhalasi NO, sildenafil juga mempunyai efek
hemodinamik sistemik dan bila dikombinasi dengan inhalasi NO
meningkatkan dan memperpanjang efek NO sehingga dapat mencegah
rebound vasokonstriksi setelah memberian inhalasi NO. Dalam suatu studi
dengan mengkombinasikan inhalasi sildenafil dengan iloprost dilaporkan
terjadi penurunan yang besar mPAP dan PVR dibanding bila diberikan
tunggal.
4. NO dan Arginine
Pentingnya NO terutama dalam adaptasi normal sirkulasi paru saat
lahir. Gangguan NO akan berkembang menjadi neonatal hipertensi
pulmonal. NO terus menerus memodulasi tonus dan struktur vaskuler paru
sepanjang hidup. NO juga memiliki aktifitas antiplatelet, anti inflamasi
dan antioksidan, juga memodulasi efek angiogenesis. NO dihasilkan dalam
3 bentuk NO synthase (NOS), yang muncul dalam sel multiple dan terus
menerus aktif (type I dan III) dalam endotelium atau inducible (type II)
pada sel lainnya seperti makrofag, epitel bronkus dan otot polos vaskuler.
Regulasi NOS komplek dan termasuk growth factors hormon (seperti
vascular endothelial growth factor), tekanan oksigen, hemodinamik, dan
faktor lainnya. Sudah jelas bahwa amino acid, L-arginine, adalah substansi
NOS, maka itu penting untuk produksi NO. Arginine eksogen diperlukan
untuk memproduksi NO. Arginine masuk dalam sel dangan transport aktif

23
dan defek pada mekanisme transpor berkontribusi pada ketergantungan
arginine dengan meningkatnya kadar ekstraseluler untuk memenuhi
kebutuhan. Dalam endotel, transpor arginin secara kuat berikatan dengan
NOS, bila ikatan ini rusak oleh karena injuri endotel maka kadar normal
ekstraseluler mungkin berkurang untuk memproduksi NO. Defisiensi
Arginine telah memperlihatkan terjadinya hipertensi pulmonal dan infuse
L-arginine (500 mg/kg selama 30 menit pada bayi hipertensi pulmonal
terjadi peningkatan PaO2 selama lebih 5 jam.
a. NO inhalasi
Merupakan suatu vasodilator pulmonal selektif, diberikan secara inhalasi
dengan waktu paruh singkat, hal ini bermanfaat sebagai tes vasodilator
pada pengobatan hipertensi pulmonal. Efek inhalasi NO pada pasien
hipertensi pulmonal primer memperlihatkan perbaikan dalam parameter
hemodinamik, efek jangka panjang belum diteliti namun beberapa pasien
tampak menunjukan manfaat dengan terapi tersebut untuk jangka lama.
b. Suplemen Arginine
Pemberian L-arginine (500 mg/kg infuse selama 30 menit) pada 10 pasien
IPAH menghasilkan penurunan mPAP sampai 15.8 3.6% (p < 0.005)
dan PVR sampai 27 5.8% (p < 0.005), dibandingkan dengan titrasi
prostasiklin saja sampai dosis maksimal penurunan mPAP 13.0 5.5% (p
< 0.005) dan PVR 46.6 6.2% (p < 0.005). Infus L-arginine mengurangi
mPAP dengan memediasi vasodilatasi oleh NOS.
5. Terapi Bedah
a. Atrial Septostomi
Atrial septostomi adalah membuat suatu right-to-left interatrial shunt
untuk mengurangi tekanan dan volume overload di jantung kanan. Dengan
berkembangnya strategi terapi obat, maka atrial septostomi hanyalah suatu
prosedur paliatif atau sebagai permulaan untuk tranplantasi paru.
Pemilihan pasien, waktu dan perkiraan ukuran septostomi adalah hal yang
masih krusial. Tranplantasi jantung-paru terutama untuk IPAH yang gagal
dengan semua strategi terapi. Survival pasien IPAH yang mengalami

24
tranplantasi paru kira-kira 66%-75% pada 1 tahun pertama. Dan yang
paling sering adalah bilateral transplantasi.
b. Transplantasi paru-paru
Hipertensi pulmonal primer biasanya progresif dan akhirnya berakibat
fatal. Paru-paru transplantasi adalah suatu pilihan pada beberapa pasien
lebih muda dari 65 tahun yang memiliki hipertensi pulmonal yang tidak
merespon manajemen medis. Menurut AS tahun 1997 transplantasi
laporan registri, 24 penerima transplantasi paru-paru dengan hipertensi
pulmonal primer memiliki tingkat ketahanan hidup dari 73 persen pada
satu tahun, 55 persen di tiga tahun dan 45 persen pada lima tahun.
Pengurangan langsung tekanan arteri paru-paru dikaitkan dengan
perbaikan dalam fungsi ventrikel kanan.
2.12 Prognosis
Kemungkinan kelangsungan hidup setelah diagnosis hipertensi pulmonal
primer adalah lebih kurang 3tahun, tapi angka ini sangat bervariasi.
Sebagai hasil dari pengobatan baru, pasien tanpa bukti hemodinamik
disfungsi ventrikel kanan dapat bertahan hidup selama lebih dari 10 tahun.
Prognosis untuk pasien dengan hipertensi pulmonal sekunder tergantung
pada penyakit yang mendasari, serta fungsi ventrikel kanan. Sebagai
contoh, pasien dengan PPOK dan obstruksi aliran udara moderat memiliki
tiga tahun angka kematian 50 persen setelah onset kegagalan ventrikuler
kanan. Survival adalah juga dipengaruhi pada pasien dengan penyakit
paru-paru interstisial dan hipertensi pulmonal.
2.13 Manajemen Perioperatif Pada Pasien Hipertensi Pulmonal
1. Klasifikasi Hipertensi Pulmonal Berdasarkan Hemodinamiknya
Secara kasar hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai naiknya mean
artery pulmonary preasure lebih dari 25mmHg, naiknya pulmonary
artery pressure (PAP) dapat disebabkan naiknya resistensi aliran darah
dalam arteri pulmonalis (contohnya pulmonary vascular resistance /
PVR), naiknya pulmonary venous presure yang berasal dari left heart
dissease, atau bisa merupakan kombinasi dari keduanya.

25
Secara hemodinamik terdapat tiga klasifikasi dari hipertensi pulmonal
yaitu hipertensi pulmonal precapillary, hipertensi pulmonal postcapillary,
dan hipertensi pulmonal yang merupakan campuran dari keduanya.
Hipertensi pulmonal precapillary ditandai dengan naiknya pulmonary
vascular resistance sebesar lebih dari sama dengan 3 wood units (WO)
tanpa diikuti kenaikan yang signifikan dari left atrial pressure (LAP)
ataupun pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) hal ini
menandakan lokasi dari kenaikan tekanan pulmonal terletak pada sebelah
proksimal dari capillary bed yang ada di arteri pulmonalis.

Hipertensi pulmonal postcapillary ditandai dengan naiknya left atrial


pressure (LAP) yang terkait dengan gagal jantung kiri, keadaan ini dapat
juga menyebabkan kenaikan PAP dan PCWP (tapi PVR dan
transpulmonary gradient / TPG tetap normal) dan karena adanya
mekanisme backward akibat meningkatnya LAP.

Hipertensi pulmonal mixed type diakibakan oleh hipertensi kronik vena


pulmonalis yang dapat dihubungkan oleh karean gagal jantung kiri yang
berakibat pada aktifitas remodeling pembuluh darah. Tipe ini ditandai
dengan naiknya PCWP > 15 mmHg, naiknya PVR lebih dari samadengan
2.5-3.00 WU, dan TPG meningkat lebih dari 13. Pemahaman mengenai
hipertensi pulmonal precapilary, postcapilary dan mixed type memberikan
gambaran dalam penentuan terapi hipertensi pulmonal.

2. Komplikasi Perioperatif Pada Pasien Dengan Hipertensi Pulmonal


PAP merupakan aritmatika dari cardiac output, PVR dan LAP, pada
beberapa kondisi saat dilakukan manajemen perioperatif dapat memicu
perburukan dari hipertensi pulmonal, memicu iskemia ventrikel kanan dan
memicu disfungsi ventrikel kanan. Pemberian ventilasi tekanan positif
dapat mengurangi aliran balik vena sistemik sehingga mengurangi preload
ventrikel kanan dan akhirnya juga mengurangi cardiac output. Ventilasi

26
tekanan positif juga membuat alveoli menjadi over distended sehingga
menaikan PVR dan akhirnya mengurangi preload ventikel kiri.

Overload volume pada ventrikel kanan akibat adanya pergeseran cairan


selama dilakuakan tindakan bedah dapat mengurangi ukuran ruang
ventrikel kiri dan mengurangi volume pengisian ventrikel kiri karana
adanya ventricular interdependence, yang membuat turunya cardiac
output dan hipotensi.

Pada orang normal perfusi ventrikel kanan terjadi baik pada saat sistol
maupun diastol karena adanya gradien yang menguntungkan antara
tekanan sistolik dan distolik di aorta serta korespondensi dari tekanan
intramiokardial ventrikel kanan. Sedangkan pada pasien dengan Hipertensi
Pulmonal tekanan sistolik ventrikel kanan mendekati tekanan sistolik aorta
sehingga pengisian arteri koronaria saat sistolik menjadi berkurang, dan
jika terjadi gagal jantung kanan dan membuat tekanan diastolik atrium
kanan meningkat, hal ini juga akan mengurangi pengisian arteri coronaria
saat fase diastol, mekanisme inilah yang berkontribusi terhadap iskemia
ventrikel kanan dimana nantinya akan menurunkan cardiac output dan
bisa mengakibatkan kematian.

Peningkatan secara gradual pada afterload ventrikel kanan lebih dapat


ditoleransi dari pada peningkatan secara mendadak. Jika peningkatan
afterload ventrikel kanan terjadi secaara mendadak (eg : PAP) dapat
menyebabkan gagal jantung kanan dan penurunan cardiac output serta
stroke volume, hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia, hipoksia, asidosis,
dan rangsangan berbahaya (Noxious stimuli) seperti rasa nyeri dan
rangsangan pada saluran napas. Peningkatan mendadak dari PAP lebih
dari 40 mmHg yang sebelum nya normal merupakan faktor resiko
terjadinya penurunan stroke volume ventrikel kanan. Usaha dengan
loading cairan dirasa tidak efektif atau bahkan mungkin merusak karena

27
loading cairan dapat memperburuk gagal jantung kanan dan selanjutnya
memperburuk pengisian LV.

Faktor lainya seperti aritmia, penurunan cardiac output karena aritmia,


iskemia, iskemia yang menyebabkan hipotensi, dan efek samping anestesi
juga berperan. Beberapa prosedur bedah juga beresiko terhadap pasien
dengan hipertensi pulmonal seperti hip replacement, dimana dapat terjadi
emboli pulmo karena udara, cement, dan sumsum tulang, mikroemboli saat
transplatasi hepar.

Data yang menginformasikan angka morbiditas dan mortilitas pada pasien


hipertensi pulmonal yang mengalami pembedahan saat ini masih sedikit,
berdasarkan data yang ada angka morbiditas pasien dengan hipertensi
pulmonal adalah 42% dan angka mortalitas adalah sebesar 18% dan
komplikasi yang mungkin timbul mencakup hipotensi, penurunan
respirasi, gagal jantung ventrikel kanan yang dapat terjadi saat
intraoperative maupun postoperative,

Penelitian yang dilakukan oleh Ramakhrisna et al (2005), melibatkan 145


pasien dengan hipertensi pulmonal yang didiagnosis dengan right-sight
heart catheterisation dan menjalani operasi, didapatkan 7% meninggal
kurang dari 30 hari setelah pembedahan dimana 60% nya dikarenakan
gagal napas dan 50% nya karena gagal jantung. Sebanyak 42%
mengalami morbiditas antara lain gagal napas, disritmia jantung, dan gagal
jantung kongestive.

28
3. Manajemen Anestesi Preoperatif
Manajemen anestesi preoperatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik
dimana kita harus memberikan perhatian lebih terhadap adanya disfungsi
ventrikel kanan misalnya sesak napas dan kelelahan, serta riwayat pingsan
dimana jika terdapat riwayat pingsan merupakan pertanda pasien PAH
memiliki prognosis yang buruk. Selain itu terdapat tanda tanda lainya
misalnya naiknya JVP, regurgitasi trikuspid, gallop ventrikel kiri,
hepatomegaly, ascites abdominal, edema perifer, ronki pada paru yang
mengindikasikan gagal jantung kiri

Pemeriksaan lanoratorium rutin, EKG, ekokardiografi, foto Rontgen


Thoraks, right heart catheterization diperlukan pada pasien hipertensi
pulmonal. EKG, ekokasrdiografi dan foto rontgen berguna untuk melihat
apakah terdapat kelainan pada ventrikel kanan ataupun ventrikel kiri serta
melihat struktur dan fungsi katub jantung. Dapat juga dilakukan
pemerikasan right sided heart catheterization untuk mendapatkan
karakterisasi hemodinamik paru.

Adanya disfungsi ventrikel kanan yang signifikan harus segera dievaluasi


mengenai kebutuhan untuk dilakukan pembedahan. Prinsip manajemen
anestesi meliputi mencegah terjadinya hipotensi dimana bersiko terjadinya
iskemia ventrikel kanan, mencegah terjadinya depresi miokardial, dimana
kontraktilitas yang berkurang akan menyebabkan gagal jantung ventrikel
kanan. Mencegah terjadinya elevasi akut/mendadak dari PAP karena
peningkatan resistensi arteri pulmonalis dapat menyebabkan gagal jantung
vetrikel kanan. Nyeri yang tidak terkontrol yang dapat meningkatkan tonus
simpatis, meningkatkan PVR dan depresi pernapasan.

Target dari manajemen hemodinamik preopratif pada pasien hipertensi


pulmonal antara lain sebagai berikut:

29
Gambar 2. Target pencapaian manajemen anestesi pre-operasi

4. Manajemen anestesi intraoperatif


Pemasangan jalur intravena harus diperhatikan dengan teliti, pasien
dengan hipertensi pulmonal akan sangat sensitiv terhadap jumlah udara
yang masuk ke paru paru yang seharusnya pada pasien normal tidak
menjadi masalah. Cairan intravena yang dihangatkan dapat mencegah
terjadinya hypoxic pulmonary vasocontriction / HPV dan ventilasi perfusi
mismatching.

Untuk oksigenasi, melalui jalur apapun pemberian oksigen harus adekuat,


karena oksigen berfungsi sebagai vasodilator pulmoner. Jika anestesi
bukan general anestesia sangat penting untuk memastikan patensi jalan
napas. Setelah jalan napas benar benar terjaga pasien hipertensi pulmonal
memerlukan FiO2 yang lebih tinggi, serta dibutuhkan hiperventilasi untuk
mencapai PaCO2 sebesar 30-35 mmHg, positive end expiratory pressure /
PEEP < 15 ( sebaiknya 5-10 cmH2O).

30
Pada tahap monitoring pasien hipertensi pulmonal dokter anestesi harus
memastikan pasien pada keadaan euvolemia dimana selain kehilangan
darah dokter juga harus memperhitungkan evaporasi melalui kulit,
pernapasan, dan perdarahan yang tidak bisa diukur (tercecer di meja
operasi). Penggunaan indweling arterial catheter berguna untuk
memonitor tekanan darah sistemik pada teknik anestesi general anestesi
dan block regional, monitorng central venous pressure sangat penting
untuk mengetahui perubahan tekanan pengisian ventrikel kanan dan
keadaan new onset dari perburukan regurgitasi trikuspid, pemasangan PA
catheter memiliki beberpaa keuntungan yaitu mengontrol PAP pada
pemberian terapi vasodilator , mengukur CO, mengkalkulasi PVR.

Teknik general anestesia paling sering digunakan, pemberian okigenasi


100% untuk mencapai konsentasi End-tidal diatas 90% mencegah resiko
terjadinya hipksemia, untuk agen induksi disukai etomidate yang
dikombinasikan dengan opiat, dikarenakan etomidat memiliki efek
samping minimal pada kontraktilitas miokardium. Penggunaan propofol
dan sodium pentothal harus dihindari karena menurunkan tekanan darah
sistemik dan kontraktilitas jantung. Ketamin menurunkan PVR dan
meningkatkan SVR sehingga dapat menjadi obat pilihan pada anak dengan
kelainan jantung kongenital.

Intubasi harus dilakukan oleh orang yang profesional secara cepat dan
halus. Penggunaan IV atau nebulisasi milrinone atau epoprostenol,
nitrogliserin IV, nitrir oksid inhalasi , nebulisasi epoprostenol atau iloprost
dapat digunakan sebelum induksi untuk mencegah respon hipertensi
pulmonal.

5. Majanemen anestesi postoperatif


Setelah dilakukan pembedahan pasien hipertensi pulmonal sebaiknya
dirawat di ICU karena kematian dapat terjadi kapan saja setelah beberapa
hari pembedahan, monitoring dilakukan secara invasive misalnya arterial

31
line, CVC atau pulmonary artery catheter dilakukan untuk menentukan
menyebab instabilitas hemodinamik. Perburukan klinis dan kematian
pasca operasi sering kali terjadi karena adanya pergeseran keseimbangan
cairan, naiknya tonus simpatis, meningkatnya vasokonstriksi pulmonal
(misalnya asidosis, hipoksia, hipotermia) dan tromboemboli pulmonal
yang dapat menyebabkan bertambah parahnya gagal jantung ventrikel
kanan. Komplikasi pembedahan yang paling bahaya adalah hipotensi
sistemik yang disebabkan oleh gagal jantung ventrikel kanan karena
hipertensi pulmonal. Takiaritmia atrial harus dilambatkan dengan
penggunaan digoxin, amiodaron dan waspada akan penggunaan diltiazem
dan betablocker karena penggunaanya pada pasien gagal ventrikel kanan
parah akan membuat hipotensi. Penggunaan calcium chanel blocker
(verapamil) harus dihindari karena memiliki efek inotropik (-) dan
vasodilatasi pembuluh darah yang dapat memicu hipotensi.

Infeksi tidak bisa ditolerir oleh pasien dengan hipertensi pulmonal dimana
kontraktilitas ventrikel kanan nya minimal. Keadaan anemia juga akan
meningkatakan kerja ventrikel kanan dan harus dikoreksi secara
signifikan. Pemberian oksigen yang adekuat merupakan suatu kebutuhan
karena terdapat efek vasodilatasi pulmonal yang sangat berguna pada
pasien hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan. Keadaan asidemia
dapat meningkatkan PVR oleh karena itu jika terdapat asidosis harus
segera dikoreksi, dalam pengertian ini keadaan alkalemia ringan
merupakan suatu keuntungan bagi pasien hipertensi pulmonal post
operative. Asidosis respiratorik harus dihindari dimana target dari PaCO2
adalah < 30-35 mmHg dan koreksi dari asidosis metabolik memiliki target
PH > 7.4 . menghindari keadaan hipotermia merupakan suatu hal
keharusan dimana suhu tubuh pada keadaan 37 derajat celcius.

Pada pasien hipertensi pulmonal dengan hipertrofi ventrikel kiri agak


bergantung pada kecukupan cairan (preload) dan tidak bisa mentolerir
pengurangan cairan misalnya perdarahan, hal ini disebabkan ventrikel

32
kanan lebh responsive pada kekurangan cairan daripada ventrikel kiri, dan
volume loading yang berlebihan juga merugikan seperti yang dikatakan
sebelumnya.

Pemeliharaan tekanan darah sistolik dengan obat obatan inotropik dan


vasopresor untuk menambal kehilangan darah sangat penting diberikan
bila pasien membuthkan. Untuk pasien yang yang bernapas spontan , nilai
CVP yang berkisar antara 5-10 mmHg adalah keadaan yang optimal .

Untuk agen vasodilator yang paling baik pada manajemen perioperatif


untuk mengurangi PVR pada pasien yang akan jatuh pada keadaan
ADRVF adalah agen inhalan seperti nitit oxid inhalasi (iNO) akan tetapi
iNO memiliki efek toksik terhadap metabolik, maka sambil sedikit sediki
mengurangi iNO dapat mulai diberikan sildenafil. Beberapa prinsip
pemberian vasodilator untuk mendilatasi pembuluh darah pulmonal harus
tetap dijaga: 1. Prostanoid umumnya hanya sesuai untuk hipertensi arteri
pulmonalis atau hipertensi pulmonal tipe 1 berdasar kriteria WHO. 2.
Selektiv vasodilator pulmonal baik oral inhalasi maupun intravena (kecuali
sildenafil) dapat memperburuk gagal jantung kiri dan hipertensi vena
pulmonalis. 3. Pemberian secara sistemik vasodilator pulmonal dapat
memperburuk hipoxemia melalui V/Q missmatch dan juga berpotensi
menjadikan hipotensi , jadi obat obat sistemik vasodlator pulmonal harus
dihindari.

Manajemen pada pasien hipotensi pada pasien hipertensi pulmonal dengan


disfungsi ventrikel kanan, pemeberian norepinefrin dan vasopressin secara
umum lebih diminati dari pada agonist alfa murni seperti phenylephrin.
Pada pasien normotensi yang memerlukan terapi penunjang inotropik bagi
gagal jantung ventrikel kiri pemberian dobutamin disukai karena efek
meningkatkan kontraktilitas ventrikel kanan dan meningkatkan cardiac
output, pemberian dopamin dapat membuat takikardi. Inodilator milrinone

33
sangat berguna bagi pasien dengan gagal jantung ventrikel kiri dan
hipertensi pulmonal.

34
BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang progresif oleh karena


peningkatan resistensi vaskuler pulmonal yang menyebabkan menurunnya fungsi
ventrikel kanan oleh karena peningkatan afterload ventrikel kanan.
Hipertensi pulmonal merupakan masalah kompleks yang ditandai dengan tanda-
tanda dan gejala tidak spesifik dan memiliki banyak penyebab potensial. Ini dapat
didefinisikan sebagai suatu tekanan sistolik arteri paru-paru yang lebih besar dari
30 mm Hg atau tekanan arteri paru-paru berarti lebih besar dari 20 mm Hg.
Data yang menginformasikan angka morbiditas dan mortilitas pada pasien
hipertensi pulmonal yang mengalami pembedahan saat ini masih sedikit,
berdasarkan data yang ada angka morbiditas pasien dengan hipertensi pulmonal
adalah 42% dan angka mortalitas adalah sebesar 18% dan komplikasi yang
mungkin timbul mencakup hipotensi, penurunan respirasi, gagal jantung ventrikel
kanan yang dapat terjadi saat intraoperative maupun postoperative, oleh karena
itu pasien hipertensi pulmonal yang akan dilakukan pembedahan harus
mendapatkan tatalaksana perioperatif yang komprehensif.

35
DAFTAR PUSTAKA

McGlothlin, Ivascu, Heerdt. 2012. Anesthesia and Pulmonary Hypertension.


University of california san fransisco. Elsevier: 2012, p: 199-214.

Minai, Yared, Kaw, Subramaniam, Nicholas. 2013. Perioperative risk and


management in patients with pulmonary hypertension. CHEST: p329-338

Arsyad, Z. 2006. Hipertensi Pulmonal Primer, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 2 Edisi 3. jakarta: FKUI. Hal ; 1072.

Capture 17. Pulmonary hypertension.


www.nlm.nih.gov/medlineplus/pulmonaryhypertension.html

Chad, D. dan Pritts. 2010. Anesthesia for patients with pulmonary hypertension.
Stanford University, Stanford, California, USA. 2010, 23:411416

Diah, M., Ghanie A,. 2006. Hipertensi Pulmonal Primer Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 3. Jakarta: FKUI. Hal ; 1697-1702.

Georg, Mirko, dan Ardechir. 2002. HIV-associated Pulmonary Hypertension

Guidelines. 2009. Guidelines for the diagnosis and treatment of pulmonary


hypertension. European Heart Journal 30, 24932537.

Jean, P et al. 2004. Pulmonary Arterial Hypertension Related to HIV Infection:


Improved Hemodynamics and Survival Associated with Antiretroviral
Therapy. by the Infectious Diseases Society of America. All rights reserved.
1058 4838/2004/3808-0023

Lubis, A. 2010. 2010. Manifestasi kasrdiovaskular penderita HIV. Medan

Marius, Michael, dan Christian. 2004. Portopulmonary hypertension and


Hepatopulmonary syndrome. THE LANCET Vol 363 di update May 1,
2004, disadur 15 november 2017

Nauser, D. & Steven, W. 2001. Diagnosis and Treathment of Pulmonary


Hypertension. Amerika: Amerika Family Physician.

Nasrul, A. 2008. Hipertensi Pulmonal Primer. Padang: RS dr. M Djamil Padang

Rosenkranz. 2007. Pulmonary hypertension current diagnosis and treatment. Clin


Res Cardiol 96:527541 (2007) DOI 10.1007/s00392-007-0526-8.

Saunders, Constable, Heath, D., Smith. 2012. Pulmonary hypertension


complicating portal vein thrombosis. Thorax, 1979, 34, 281-283

36
Trenton dan Steven. 2001. Diagnosis and Treatment of Pulmonary Hypertension.
University of Kansas Medical Center, Kansas City, Kansas. MAY 1, 2001 /
VOLUME 63, NUMBER 9

37

Вам также может понравиться