Вы находитесь на странице: 1из 38

BAB 2

ISI

2.1 LEUKIMIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA)

2.1.1 DEFINISI
Leukemia merupakan penyakit akibat terjadinya proliferasi (pertumbuhan sel imatur)
sel leukosit yang abnormal dan ganas, serta sering disertai adanya leukosit dengan jumlah
yang berlebihan, yang dapat menyebabkan terjadinya anemia trombositopenia. (Hidayat,
2006).

Leukemia merupakan penyakit akibat proliferasi (bertambah banyak atau


multiplikasi) patologi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan biasanya berakhir
fatal. (Nursalam, 2005).

Leukemia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel-sel darah putih dalam
sumsum tulang, menggantikan elemen-elemen sumsum normal. (Baughman, 2000, hal : 336).

Leukemia merupakan proliferasi patologis dari sel pembuat darah yang bersifat
sistemik dan biasanya berakhir fatal. (Ngastiyah, 1997).

Leukemia adalah proliferasi sel darah putih yang masih imaturdalam jaringan
pembentukan darah. (Suriadi, 2006).

Leukemia adalah istilah umum yang digunakan untuk keganasan pada sumsum tulang
dan sistem limpatik (Wong, 1995).

Leukemia adalah neoplasma ganas sel induk hematopoesis yang ditandai oelh
penggantian secara merata sumsum tulang oleh sel neoplasi. Robbins & Kummar (1995).
Leukimia Limfoblastik Akut (LLA) adalah bentuk akut dari leukemia yang diklasifikasikan
menurut cell yang lebih banyak dalam sumsum tulang yaitu berupa lymphoblasts. Pada
keadaan leukemia terjadi proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk
leukosit yang lain daripada normal, jumlahnya berlebihan dan dapat menyebabkan anemia,
trombositopenia, dan diakhiri dengan kematian (Ngastiyah, 1997).
Jadi dapat disimpulkan bahwa leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel
leukosit yang abnormal dan ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah yang
berlebihan dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan biasanya berakhir fatal.

2.1.2 ETIOLOGI

Penyebab acut limphosityc leukemia sampai saat ini belum jelas, diduga kemungkinan
karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu:
1. Faktor eksogen
a. Sinar x, sinar radioaktif.
b. Hormon.
c. Bahan kimia seperti: bensol, arsen, preparat sulfat, chloramphinecol, anti neoplastic
agent).

2. Faktor endogen
a. Ras (orang Yahudi lebih mudah terkena dibanding orang kulit hitam)
b. Kongenital (kelainan kromosom, terutama pada anak dengan Sindrom Down).
c. Herediter (kakak beradik atau kembar satu telur).
(Ngastiyah, 1997)

2.1.3 PATOFISIOLOGI

Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC) dan leukosit atau
sel darah putih (WBC) serta trombosit atau platelet. Seluruh sel darah normal diperoleh dari
sel batang tunggal yang terdapat pada seluruh sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke
dalam lymphpoid dan sel batang darah (myeloid), dimana pada kebalikannya menjadi cikal
bakal sel yang terbagi sepanjang jalur tunggal khusus. Proses ini dikenal sebagai
hematopoiesis dan terjadi di dalam sumsum tulang tengkorak, tulang belakang., panggul,
tulang dada, dan pada proximal epifisis pada tulang-tulang yang panjang.
LLA meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan lemah dan
pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam sumsum tulang. Biasanya dijumpai
tingkat pengembangan lymphoid yang berbeda dalam sumsum tulang mulai dari yang sangat
mentah hingga hampir menjadi sel normal. Derajat kementahannya merupakan petunjuk
untuk menentukan/meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan sel
muda limfoblas dan biasanya ada leukositosis (^)%), kadang-kadang leukopenia (25%).
Jumlah leukosit neutrofil seringkali rendah, demikian pula kadar hemoglobin dan trombosit.
Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukkan sel-sel blas yang dominan.
Pematangan limfosit B dimulai dari sel stem pluripoten, kemudian sel stem limfoid, pre pre-
B, early B, sel B intermedia, sel B matang, sel plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T juga
berasal dari sel stem pluripoten, berkembang menjadi sel stem limfoid, sel timosit imatur,
cimmom thymosit, timosit matur, dan menjadi sel limfosit T helper dan limfosit T supresor.
Peningkatan prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat ekstramedular sehingga
anak-anak menderita pembesaran kelenjar limfe dan hepatosplenomegali. Sakit tulang juga
sering dijumpai. Juga timbul serangan pada susunan saraf pusat, yaitu sakit kepala, muntah-
muntah, seizures dan gangguan penglihatan (Price Sylvia A, Wilson Lorraine Mc Cart,
1995).
Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang berlebihan.
Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan
unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan
jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan
haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah
dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa,
limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah
eritrosit menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya
perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga
mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem
pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu
metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002;
Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).
2.1.4 PATHWAY
2.1.5 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinik dari acut limphosityc leukemia antara lain:


1. Pilek tak sembuh-sembuh
2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi
3. Demam, anoreksia, mual, muntah
4. Berat badan menurun
5. Ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi, memar tanpa sebab
6. Nyeri tulang dan persendian
7. Nyeri abdomen
8. Hepatosplenomegali, limfadenopati
9. Abnormalitas WBC
10. Nyeri kepala
(Mansjoer, A, 2000)

2.1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan acut limphosityc leukemia
adalah:
1. Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction):
a. Ditemukan sel blast yang berlebihan
b. Peningkatan protein
2. Pemeriksaan darah tepi
a. Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia)
b. Peningkatan asam urat serum
c. Peningkatan tembaga (Cu) serum
d. Penurunan kadar Zink (Zn)
e. Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000 200.000 / l) tetapi dalam bentuk sel blast
/ sel primitif
3. Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ
tersebut
4. Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum
5. Sitogenik: 50-60% dari pasien ALL dan AML mempunyai kelainan berupa:
a. Kelainan jumlah kromosom, seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a)
b. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial delection)
c. Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen
kromosom normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil
(Betz, Sowden. (2002).

2.1.7 PENATALAKSANAAN

1. Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia
yang berat dan perdarahan masif, dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat
tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin.

2. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi


dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.

3. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp, metotreksat atau
MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin),
rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L-asparaginase, siklofosfamid atau CPA,
adriamisin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama-sama
dengan prednison. Pada pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat samping berupa
alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih
berhziti-hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3.

4. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci
hama).

5. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah
sel leukemia cukup rendah (105 - 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang
aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan
dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan
spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini
diharapkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel
patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna.
6. Cara pengobatan.

7. Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalamannya. Umumnya


pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih
lama. Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan
sebagai berikut:

a. Induksi
Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berbagai obat tersebut
di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sampai sel blast dalam sumsum tulang
kurang dari 5%.
b. Konsolidasi
Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
c. Rumat (maintenance)
Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat-dapatnya suatu masa remisi yang lama.
Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa.
d. Reinduksi
Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan
dengan pemberian obat-obat seperti pada induksi selama 10-14 hari.
e. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.
Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia
meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.4002.500 rad. untuk mencegah leukemia
meningeal dan leukemia serebral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
f. Pengobatan imunologik
Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan
demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna. (Sutarni Nani.(2003)
2.1.8 ASUHAN KEPERAWATAN LLA

1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

a. Identitas

Acute lymphoblastic leukemia sering terdapat pada anak-anak usia di bawah 15 tahun
(85%) , puncaknya berada pada usia 2 4 tahun. Rasio lebih sering terjadi pada anak
laki-laki daripada anak perempuan.

b. Riwayat Kesehatan
Keluhan Utama : Pada anak keluhan yang sering muncul tiba-tiba adalah demam,
lesudan malas makan atau nafsu makan berkurang, pucat (anemia) dan kecenderungan
terjadi perdarahan.
Riwayat kesehatan masa lalu : Pada penderita ALL sering ditemukan riwayat keluarga
yang erpapar oleh chemical toxins (benzene dan arsen), infeksi virus (epstein barr,
HTLV-1), kelainan kromosom dan penggunaan obat-obatann seperti phenylbutazone
dan khloramphenicol, terapi radiasi maupun kemoterapi.
Pola Persepsi mempertahankan kesehatan : Tidak spesifik dan berhubungan dengan
kebiasaan buruk dalam mempertahankan kondisi kesehatan dan kebersihan diri. Kadang
ditemukan laporan tentang riwayat terpapar bahan-bahan kimia dari orangtua.
Pola Latihan dan Aktivitas : Anak penderita ALL sering ditemukan mengalami
penurunan kordinasi dalam pergerakan, keluhan nyeri pada sendi atau tulang. Anak
sering dalam keadaan umum lemah, rewel, dan ketidakmampuan melaksnakan aktivitas
rutin seperti berpakaian, mandi, makan, toileting secara mandiri. Dari pemeriksaan fisik
dedapatkan penurunan tonus otot, kesadaran somnolence, keluhan jantung berdebar-
debar (palpitasi), adanya murmur, kulit pucat, membran mukosa pucat, penurunan
fungsi saraf kranial dengan atau disertai tanda-tanda perdarahan serebral.Anak mudah
mengalami kelelahan serta sesak saat beraktifitas ringan, dapat ditemukan adanya
dyspnea, tachipnea, batuk, crackles, ronchi dan penurunan suara nafas. Penderita ALL
mudah mengalami perdarahan spontan yang tak terkontrol dengan trauma minimal,
gangguan visual akibat perdarahan retina, , demam, lebam, purpura, perdarahan gusi,
epistaksis.
Pola Nurisi : Anak sering mengalami penurunan nafsu makan, anorexia, muntah,
perubahan sensasi rasa, penurunan berat badan dan gangguan menelan, serta pharingitis.
Dari pemerksaan fisik ditemukan adanya distensi abdomen, penurunan bowel sounds,
pembesaran limfa, pembesaran hepar akibat invasi sel-sel darah putih yang
berproliferasi secara abnormal, ikterus, stomatitis, ulserasi oal, dan adanya pmbesaran
gusi (bisa menjadi indikasi terhadap acute monolytic leukemia)
Pola Eliminasi : Anak kadang mengalami diare, penegangan pada perianal, nyeri
abdomen, dan ditemukan darah segar dan faeces berwarna ter, darah dalam urin, serta
penurunan urin output. Pada inspeksi didapatkan adanya abses perianal, serta adanya
hematuria.
Pola Tidur dan Istrahat : Anak memperlihatkan penurunan aktifitas dan lebih banyak
waktu yang dihabiskan untuk tidur /istrahat karena mudah mengalami kelelahan.
Pola Kognitif dan Persepsi : Anak penderita ALL sering ditemukan mengalami
penurunan kesadaran (somnolence) , iritabilits otot dan seizure activity, adanya
keluhan sakit kepala, disorientasi, karena sel darah putih yang abnormal berinfiltrasi ke
susunan saraf pusat.
Pola Mekanisme Koping dan Stress : Anak berada dalam kondisi yang lemah dengan
pertahan tubuh yang sangat jelek. Dalam pengkajian dapt ditemukan adanya depresi,
withdrawal, cemas, takut, marah, dan iritabilitas. Juga ditemukan peerubahan suasana
hati, dan bingung.
Pola Seksual : Pada pasien anak-anak pola seksual belum dapat dikaji
Pola Hubungan Peran : Pasien anak-anak biasanya merasa kehilangan kesempatan
bermain dan berkumpul bersama teman-teman serta belajar.
Pola Keyakinan dan Nilai : Anak pra sekolah mengalami kelemahan umum dan
ketidakberdayaan melakukan ibadah.

2. PEMERIKSAAN DIAGNOTIK

a. Count Blood Cells : indikasi normocytic, normochromic anemia


b. Hemoglobin : bisa kurang dari 10 gr%
c. Retikulosit : menurun/rendah
d. Platelet count : sangat rendah (<50.000/mm)
e. White Blood cells : > 50.000/cm dengan peningkatan immatur WBC (kiri ke kanan)
f. Serum/urin uric acid : meningkat
g. Serum zinc : menurun
h. Bone marrow biopsy : indikasi 60 90 % adalah blast sel dengan erythroid prekursor,
sel matur dan penurunan megakaryosi
i. Rongent dada dan biopsi kelenjar limfa : menunjukkan tingkat kesulitan tertentu

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak adekuat pertahanan sekunder :
gangguan dalam kematangan sel darah putih, peningkatan jumlah limfosit imatur,
imunosupresi, penekanan sumsum tulang.
2. Resiko kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan berlebihan (muntah,
perdarahan, diare), penurunan pemasukan cairan (mual, anoreksia), peningkatan
kebutuhan cairan (status hipermetabolik, demam).
3. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual dan muntah.
4. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan agen fisikal (pembesaran nodul
limfe, sumsum tulang yang dikemas dengan dengan sel leukemik ), agen kimia
(pengobatan anti leukemik ).
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, penurunan cadangan
energi, peningkatan laju metabolik dari produksi leukosit massif, ketidak seimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.
6. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan melemahnya
kemampuan fisik.
7. Ganguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia. Kurang pengetahuan tentang
penyakit, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan
pada sumber, salah interpretasi informasi
4. RENCANA KEPERAWATAN

1. Diagnosa I : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak adekuat pertahanan
sekunder : gangguan dalam kematangansel darah putih, peningkatan jumlah limfosit imatur
, imunosupresi , penekanan sumsum tulang.
Tujuan : Mencegah timbulnya infeksi.
Kriteria hasil :
a. Mengidentifikasi tindakan untuk mencegah / menurunkan resiko infeksi.
b. Menunjukkan teknik perubahan po la hidup untuk meningkatkan keamanan
lingkungan, meningkatkan penyembuhan.
Intervensi :
a. Tempatkan pada ruang khusus,.batasi pengunjung sesuai indikasi.
Rasional : Melindungi dari sumber potensial pathogen.
b. Berikan protocol untuk mencuci tangan yang baik untuk semua petugas dan
pengunjung.
Rasional : Mencegah kontaminasi silang / menurunkan resiko infeksi.
c. Dorong peningkatan masukan makanan tinggi protein dan cairan.
Rasional : Meningkatkan pembentukan antibody dan mencegah dehidrasi.
d. Kolaborasi : Awasi pemeriksaan laboratorium ( hitung darah lengkap ).
Rasional : Meyakinkan adanya infeksi, mengidentifikasi organismespesifik dan
terapi tepat.

2. Diagnosa II : Resiko kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan berlebihan


(muntah, perdarahan, diare), penurunan pemasukan cairan (mual, anoreksia).
Tujuan : Mempertahankan kebutuhan cairan.
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan volume cairan adekuat, dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi
teraba, haluaran urin, berat jenis dan PH dalam batas normal.
b. Mengidentifikasi faktor resiko individual intervensi yang tepat.
c. Melakukan perubahan pola hidup / perilaku untuk mencegah terjadi defisit volume
cairan.
Intervensi :
a. Awasi masukan / haluaran. Hitung kehilangan tak kasat mata dan keseimbangan
cairan. Perhatikan penurunan urin pada adanya pemasukan adekuat, ukur erat jenis
dan PH urin.
Rasional : Penurunan sirkulasi sekunder terhadap destruksi SDM dan
pencetusnya pada tubulus batu ginjal (sehubungan dengan
peningkatan kadar asam urat / dapat menimbulkan retensi urin /
gagal ginjal ).
b. Berikan cairan IV sesuai indikasi.
Rasional : Mempertahankan keseimbangan cairan atau elektrolit pada tak
adanya pemasukan melalui oral, menurunkan resiko komplikasi
ginjal.
c. Implementasikan tindakan untuk mencegah cedera jaringan / perdarahan.
Rasional : Bila perdarahan terjadi meskipun dengan sikat halus dapat
menyebabkan kerusakan jaringan.
d. Perhatikan adanya mual dan demam.
Rasional : Mempengaruhi pemasukan, kebutuhan cairan dan rute
penggantian.
e. Kolaborasi :
1) Berikan cairan IV sesuai indikasi.
Rasional : Mempertahankan keseimbangan cairan / elektrolit pada tak
adanya pemasukan melalui oral: menurunkan resiko komplikasi
ginjal.
2) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh : trobosit, hemoglobin,
hematokrit, pembekuan atau supresi sumsum tulang sekunder terhadap obat
anti neoplastik), pasien cedera, perdarahan spontan yang mengancam hidup.
Penurunan hemoglobin, hematokrit indikasi perdarahan (mungkin samar).

3. Diagnosa III : Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual dan muntah.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria hasil : Mual dan muntah berkurang atau bahkan menghilang, berat badan dapat
dipertahankan, klien bisa menghabiskan makan 1 porsi.
Intervensi :
a. Monitor pemasukan dan pengeluaran makanan.
Rasional : Mengawasi masukan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi
makanan.
b. Berikan makan sedikit dan frekuensi sering.
Rasional : Makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan
pemasukan.
c. Pastikan pola diit makanan yang disukai dan tidak disukai.
Rasional : Mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan intervensi.
d. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan komposisi diit.
Rasional : Membantu dalam membuat rencana diit untuk memenuhi
kebutuhan individual.

4. Diagnosa IV : Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan agen fisikal


(pembesaran nodus limfe), agen kimia (pengobatan anti leukemia).
Tujuan : Kebutuhan nyaman terpenuhi, klien tidak merasakan nyeri.
Kriteria hasil :
a. Pasien mengatakan nyeri terkontrol / hilang.
b. Menunjukkan perilaku penanganan nyeri.
c. Tampak rileks dan mampu tidur / istirahat dengan tenang.
Intervensi :
a. Kaji skala nyeri, kaji ttv, perhatikan petunjuk non verbal.
Rasional : Mengidentifikasi terjadi komplikasi dan membantu mengevaluasi
pernyataan verbal keefektifan intervensi.
b. Berikan lingkungan tenang dan kurangi rangsangan penuh stress.
Rasional : Meningkatkan istirahat dan meningkatkan kemampuan koping
c. Tempatkan pada posisi nyaman dan sokong sendi ekstremitas dengan bantal.
Rasional : Dapat menurunkan ketidaknyamanan tulang / Bantu latihan rentang
gerak lembut.
d. Ubah posisi secara periodic dan berikan atau bantu latihan rentang gerak lembut.
Rasional : Memperbaiki sirkulasi jaringan dan mobilitas sendi.
e. Berikan tindakan kenyamanan (misal : pijitan, kompres dingin)dan dukungan
psikologi.
Rasional : Meminimalkan kebutuhan /menaikkan efek obat.
f. Kaji ulang tingkat kenyamanan pasien sendiri, posisi, aktivitas fisik, atau non fisik
dan sebagainya.
Rasional : Penanganan terhadap nyeri melibatkan pasien, memberikan
penguatan positif, meningkatkan rasa kontrol dan menyiapkan
intervensi yang bisa digunakan sewaktu pulang.
g. Evaluasi dan dukung mekanisme koping pasien .
Rasional : Perilaku untuk menghilangkan nyeri dapat membantu pasien
mengatasinya lebih efektif.
h. Dorong penggunaan teknik manajemen nyeri, missal : latihan relaksasi atau nafas
dalam, bimbingan imajinasi
Rasional : Memudahkan relaksasi, terapi farmakologis tambahan dan
meningkatkan kemampuan koping.
i. Kolaborasi :
1) Awasi kadar asam urat.
Rasional : Penggantian cepat dan destruksi sel leukemia selama
kemoterapi meningkatkan asam urat, menyebabkan
pembengkakan dan nyeri sendi.
2) Berikan obat sesuai indikasi : analgesic, contoh : asetaminofen (Tylenol ).
Rasional : Diberikan untuk nyeri ringan yang tidak hilang dengan
tindakan kenyamanan.
3) Narkotik, missal : kodein, meperdin (Demerol), morfin, hidromorfon
(dilaudis).
Rasional : Digunakan bila nyeri berat. Penggunaan ADP mungkin
menguntungkan dalam pencegahan puncak
dan penurunan pemberian intermiten
4) Agen ansietas, contoh : diazepam (valium), lorazepam (ativan).
Rasional : Mungkin diberikan untuk meningkatkan kerja analgetik /
narkotik.
(Doenges, 2000)
2.2 DENGUE HAEMORHAGIC FEVER (DHF)

2.2.1 DEFENISI

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan
nyamuk aedes aegypty (Christantie Efendy,1995 ).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang
dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa
ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita
melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Seoparman , 1990).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes
aegypty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan
cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick manson,2001).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh
virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypty (Seoparman, 1996).

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dengue haemorhagic
fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong
arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty yang
terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi
yang disertai ruam atau tanpa ruam.

2.2.2 ETIOLOGI

a. Virus dengue sejenis arbovirus.


b. Virus dengue tergolong dalam family Flavividae dan dikenal ada 4 serotif, Dengue
1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke II, sedangkan
dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus
dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif terhadap in aktivitas oleh
diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 70 oC.
Keempat serotif tersebut telah di temukan pula di Indonesia dengan serotif ke 3
merupakan serotif yang paling banyak.
2.2.3 PATOFISIOLOGI

Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty dan
kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody. Dalam
sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a
dan C5a,dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat
sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan
plasma melalui endotel dinding itu.

Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor


koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan
hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.

Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding


pembuluh darah , menurunnya volume plasma , terjadinya hipotensi , trombositopenia dan
diathesis hemorrhagic , renjatan terjadi secara akut.

Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel


dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik.
Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoxia jaringan, acidosis metabolic dan kematian.
PATWAY
2.2.4 TANDA DAN GEJALA

a. Demam tinggi selama 5 7 hari


b. Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.
c. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis, hematoma.
d. Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.
e. Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.
f. Sakit kepala.
g. Pembengkakan sekitar mata.
h. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.
i. Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun,
gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah).

2.2.5 KOMPLIKASI
Adapun komplikasi dari penyakit demam berdarah diantaranya :

a. Perdarahan luas.

b. Shock atau renjatan.

c. Effuse pleura

d. Penurunan kesadaran.

2.2.7 MANIFESTASI KLINIS


a. Derajat I :
Demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji turniket positi,
trombositopeni dan hemokonsentrasi.
b. Derajat II :
Manifestasi klinik pada derajat I dengan manifestasi perdarahan spontan di bawah
kulit seperti peteki, hematoma dan perdarahan dari lain tempat.
c. Derajat III :
Manifestasi klinik pada derajat II ditambah dengan ditemukan manifestasi
kegagalan system sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah, hipotensi dengan
kulit yang lembab, dingin dan penderita gelisah.
d. Derajat IV :
Manifestasi klinik pada penderita derajat III ditambah dengan ditemukan
manifestasi renjatan yang berat dengan ditandai tensi tak terukur dan nadi tak
teraba.

2.2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Darah
1) Trombosit menurun.
2) HB meningkat lebih 20 %.
3) HT meningkat lebih 20 %.
4) Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3.
5) Protein darah rendah.
6) Ureum PH bisa meningkat.
7) NA dan CL rendah.

b. Serology : HI (hemaglutination inhibition test).


1) Rontgen thorax : Efusi pleura.
2) Uji test tourniket (+)

2.2.9 PENATALAKSANAAN
a. Tirah baring
b. Pemberian makanan lunak .
c. Pemberian cairan melalui infus
Pemberian cairan intra vena (biasanya ringer lactat, nacl) ringer lactate merupakan
cairan intra venayang paling sering digunakan , mengandung Na + 130 mEq/liter ,
K+ 4 mEq/liter, korekter basa 28 mEq/liter , Cl 109 mEq/liter dan Ca = 3 mEq/liter.
d. Pemberian obat-obatan: antibiotic, antipiretik,
e. Anti konvulsi jika terjadi kejang
f. Monitor tanda-tanda vital ( T,S,N,RR).
g. Monitor adanya tanda-tanda renjatan
h. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut
i. Periksa HB,HT, dan Trombosit setiap hari.
2.2.10 ASUHAN KEPERAWATAN DHF

1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas pasien
Nama, umur ( pada DHF paling sering menyerang anak-anak dengan usia kurang
dari 15 tahun ), jenis kelamin, alamat , pendidikan , nama orang tua , pendidikan
orang tua , dan pekerjaan orang tua.
2. Keluhan Utama
Alasan / keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk datang ke rumah sakit
adalah panas tinggi dan anak lemah.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Di dapatkan adanya keluhan panas mendadak yang di sertai menggigil dan saat
demam kesadaran compos mentis. Turunnya panas terjadi antara hari ke 3 dan
ke 7 , dan anak semakin lemah. Kadang-kadang di sertai dengan keluhan batuk,
filek, nyeri telan, mual, muntah, anorexia, diare/konstipasi, sakit kepala, nyeri
otot dan persendian, nyeri ulu hati dan pergerakanbola mata terasa pegal, serta
adanya manifestasi perdarahan pada kulit, gusi ( grade III, IV ), melena, atau
hematemesis.
4. Riwayat penyakit yang pernah di derita
Penyakit apa saja yang pernah di derita. Pada DHF, anak bisa mengalami
serangan ulang DHF dengan tipe virus yang lain.
5. Riwayat Imunasasi
Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka kemungkinan akan
timbulnya komplikasi dapat di hindarkan.
6. Riwayat Gizi
Status gizi anak yang menderita DHF dapat bervariasi. semua anak dengan status
gizi baik maupun buruk dapat beresiko, apabila terdapat faktor predisposisinya.
Anak yang menderita DHF sering mengalami keluhan mual, muntah, dan nafsu
makan menurun. Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak disertai dengan
pemenuhan nutrisi yang mencukupi, maka anak dapat mengalami penurunan
berat badan sehingga status gizinya menjadi kurang.
7. Kondisi lingkungan
Sering terjadi di daerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang kurang
bersih seperti air yang menggenang dan gantungan baju di kamar.
8. Pola kebiasaan
1) Nutrisi dan metabolisme frekuensi, jenis, pantangan, nafsu makan berkurang,
dan nafsu makan menurun.
2) Eliminasi alvi ( buang air besar ). Kadang-kadang anak mengalami diare /
konstipasi. sementara DHF pada grade III-IV bisa terjadi melena.
3) Eliminasi urine ( buang air kecil ) perlu di kaji apakah sering kencing, sedikit /
banyak, sakit / tidak. pada DHF garade IV sering terjadi hematuria.
4) Tidur dan istirahat. Anak sering mengalami kurang tidur karena mengalami
sakit / nyeri otot dan persendian sehingga kuantitas dan kualitas tidur maupun
istirahatnya kurang.
5) Kebersihan. Upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan
cenderung kurang terutama untuk membesihkan tempat sarang nyamuk aedes
aegypti.
6) Perilaku dan tanggapan bila ada keluarga yang sakit serta upaya untuk
menjaga kesehatan.

9. Pemeriksaan fisik. Meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Berdasarkan tingkatan (grade) DHF, keadaan fisik
anak adalah sebagai berikut.
1) Grade I : Kesadaran kompos mentis, keadaaan umum lemah, tanda-
tanda vital dan nadi lemah.
2) Grade II : Kesadaran kompos mentis , keadaaan uum lemah, ada
perdarahan spontan ptekia, perdarahan gusi dan telinga, serta nadi
lemah, kecil, dan tidak teratur.
3) Grade III : kesadaran apatis, somenolen, keadaan umum lemah, nadi
lemah, kecil, dan tidak teratur, serta tensi menurun.
4) Grade IV : Kesadaran koma, tanda-tanda vital : nadi tidak teraba, tensi
tidak terukur, pernafasan tidak teratur, ekstremitas dingin , berkeringat,
dan kulit tampak biru.
10. Sistem Integumen:
1) Adanya petekia pada kulit, turgor kulit menurun, dan muncul keringat
dingin, dan lembab.
2) Kuku sianosis / tidak
3) Kepala dan leher.
Kepala terasa nyeri, muka tampak kemerahan karena demam ( flusy ),
mata anemis, hidung kadang mengalamiperdarahan ( epistaksis ) pada
grade II,III,IV, pada mulut di dapatkan bahwa mukosa mulut kering,
terjadi perdarahan gusi, dan nyeri telan. Sementara tenggorokan
mengalami hypertemia pharing dan terjadi perdarahan telinga ( pada
grade II,III,IV ).
4) Dada
Bentuk simetris dan kadang-kadang terasa sesak. pada fhoto thorax
terdapat adanya cairan yang tertimbun pada paru sebelah kanan ( efusi
pleura ), Rales +, rhonkhi + yang biasanya terdapat grade III dan IV.
5) Abdomen, mengalami nyeri tekan, pembesaran hati ( hepatomegali ), dan
asietas.
6) Ekstremitas, akral dingin, serta terjadi nyeri otot , sendi, serta tulang.

11. Pemeriksaan Laboratorium.


Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan di jumpai:
1) HB dan PCV meningkat ( > 20 % )
2) Trombositopenia ( < 100.000/ml )
3) Leukopenia ( mungkin normal atau lekositosis )
4) lg. D . dengue fositif
5) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukan : hipoproteinemi,
hipokloremia, dan hiponatremia.
6) Urium dan PH darah mungkin meningkat.
7) Asidosis metabolik : pCO2 <35-40 mmHg dan HCO3 rendah.
8) SGOT/SGPT mungkin meningkat.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit/ viremia.
b. Nyeri berhubungan dengan proses patologi penyakit.
c. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas dinding plasma, evaforasi, intake tidak adekuat
d. Risiko tinggi terjadinya perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah, anoreksia.
f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan.
g. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, diet dan perawatan pasien
DHF berhubungan dengan kurangnya informasi.

3. INTERVENSI DAN RASIONAL


a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit/ viremia.
Intervensi:
1) Observasi tanda tanda vital klien : suhu, nadi, tensi, pernapasan, tiap
4 jam atau lebih sering.
Rasional : Tanda tanda vital merupakan acuan untuk
mengetahui keadaan umum pasien.
2) Beri penjelasan tentang penyebab demam atau peningkatan suhu
tubuh
Rasional : Penjelasan tentang kondisi yang dialami klien
dapat membantu klien/keluarga mengurangi
kecemasan yang timbul.
3) Menjelaskan pentingnya tirah baring bagi pasien dan akibatnya jika
hal tersebut tidak dilakukan.
Rasional : Penjelasan yang diberikan akan memotivasi klien
untuk kooperatif.
4) Menganjurkan pasien untuk banyak minum 2,5 ltr/24 jam dan
jelaskan manfaatnya bagi pasien.
Rasional : Peningkatan suhu tubuh akan menyebabkan
penguapan tubuh meningkat sehingga perlu
diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.
5) Berikan kompres hangat pada kepala dan axilla
Rasional : Pemberian kompres akan membantu menurunkan
suhu tubuh.
6) Kolaborasi: Pemberian antipiretik
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi
sentralnya pada hipotalamus.
b. Nyeri berhubungan dengan proses patologi penyakit.
Intervensi:
1) Kaji tingkat nyeri yang dialami klien.
Rasional : Untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami
klien.
2) Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi klien terhadap nyeri
(budaya, pendidikan,dll)
Rasional : Reaksi klien terhadap nyeri dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, dengan mengetahui faktor tersebut
maka perawat dapat melakukan intervensi sesuai
masalah klien.
3) Berikan posisi nyaman, dan citakan lingkungan yang tenang.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri

4) Berikan suasana gembira bagi klien, lakukan teknik distraksi, atau


teknik relaksasi.
Rasional : Dengan teknik distraksi atau relaksasi, klien sedikit
melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami.
5) Beri kesempatanklien untuk berkomunikasi dengan orang terdekat.
Rasional : Berhubungan dengan orang terdekat dapat membuat
klien teralih perhatiannya dari nyeri yang dialami.
6) Kolaborasi: Berikan obat-obat analgetik
Rasional : Obat analgetik dapat mengurangi atau menekan nyeri
klien.

c. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan


permeabilitas dinding plasma, evaforasi, intake tidak adekuat.
Intervensi:
1) Kaji keadaan umum klien 9pucat, lemah, taki kardi), serta tanda
tanda vital.
Rasional : Menetapkan data dasar, untuk mengetahui dengan
cepat penyimpangan dari keadaan normalnya.
2) Observasi adanya tanda tanda syok
Rasional : Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk
menangani syok yang dialami klien.
3) Anjurkan klien untuk banyak minum.
Rasional : Asupan cairan sangat diperluakan untuk menambah
volume cairan tubuh.
4) Kaji tanda dan gejala dehidrasi/hipovolemik (riwayat muntah, diare,
kehausan, turgor jelek).
Rasional : Untuk mengetahui penyebab defisit volume cairan.
5) Kaji masukan dan haluaran cairan.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan.
6) Kolaborasi : Pemberian cairan intra vena sesuai indikasi.
Rasional : Pemberian cairan intra vena sangat penting bagi
klien yang mengalami defisit volume cairan dengan
keadaan umum yang buruk untuk rehidrasi.

d. Risiko tinggi terjadinya perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.


Intervensi:
1) Monitor tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai dengan tanda-
tanda klinis.
Rasional : Penurunan jumlah trombosit merupakan tanda
adanya kebocoran pembuluh darah yang pada
tahap tertentu dapat menimbulkan perdarahan.
2) Beri penjelasan tentang pengaruh trombositopenia pada klien.
Rasional : Agar klien/keluarga mengetahui hal hal yang
mungkin terjadi padaklien dan dapat membantu
mengantisipasi terjadinya perdarahan.
3) Anjurkan klien untuk banyak istirahat.
Rasional : Aktivitas klien yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan.
4) Beri penjelasan pada klien/keluarga untuk segera melaporkan tanda-
tanda perdarahan (hematemesis,melena, epistaksis).
Rasional : Keterlibatan keluarga akan sangat membantu klien
mendapatkan penanganan sedini mungkin.
5) Antisipasi terjadinya perdarahan ( sikat gigi lunak, tindakan incvasif
dengan hati-hati).
Rasional : Klien dengan trombositopenia rentan terhadap
cedera/perdarahan.

e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,


muntah, anoreksia.
Intervensi:
1) Kaji keluhan mual, muntah, dan sakit menelan yang dialami klien
Rasional : Untuk menetapkan cara mengatasinya.
2) Kaji cara/pola menghidangkan makanan klien
Rasional : Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi
nafsu makan klien.
3) Berikan makanan yang mudah ditelan seperti: bubur dan dihidangkan saat
masih hangat.
Rasional : Membantu mengurangi kelelahan klien dan
meningkatkan asupan makanan karena mudah ditelan.
4) Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering
Rasional : Untuk menghindari mual dan muntah serta rasa jenuh
karena makanan dalam porsi banyak.
5) Jelaskan manfaat nutrisi bgi klien terutama saat sakit.
Rasional : UntukMeningkatkan pengetahan klien tentang nutrisi
sehingga motivasi untuk makan meningkat.
6) Catat jumlah porsi yang dihabiskan klien.
Rasional : Mengetahui pemasukan/pemenuhan nutrisi klien.

f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan.


Intervensi:
1) Mengkaji keluhan klien
Rasional : Untuk mengidentifikasi masalah-masalah klien.
2) Kaji hal-hal yang mampu/tidak mampu dilakukan oleh klien sehubungan
degan kelemahan fisiknya.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat ketergantungan klien dalam
memenuhi kebutuhannya.
3) Bantu klien memenuhi kebutuhan aktivitasnya sesuai dengan tingkat
keterbatasan klien seperti mandi, makan, eliminasi.
Rasional : Pemberian bantuan sangat diperlukan oleh klien pada
saat kondisinya lemah tanpa membuat klien mengalami
ketergantungan pada perawat.
4) Bantu klien untuk mandiri sesuai dengan perkembangan kemajuan
fisiknya.
Rasional : Dengan melatih kemandirian klien, maka klien tidak
mengalami ketergantungan.
5) Letakkan barang-barang di tempat yang mudah dijangkau oleh klien.
Rasional : Akan membantu klien memenuhi kebutuhan sendiri
tanpa bantuan orang lain.

g. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, diet dan perawatan pasien DHF
berhubungan dengan kurangnya informasi.
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan klien/keluarga tentang penyakit DHF.
Rasional : Sebagai data fdasar pemberian informasi selanjutnya.
2) Kaji latar belakang pendidikan klien/ keluarga.
Rasional : Untuk memberikan penjelasan sesuai dengan tingkat
pendidikan klien/ keluarga sehingga dapat dipahami.
3) Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan obat-obatan pada
klien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
Rasional : Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan
tepat sehinggfa tidak terjadi kesalahpahaman.
4) Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan dan manfaatnya pada
klien.
Rasional : Dengan mengetahui prosedur/tindakan yang akan
dilakukan dan manfaatnya, klien akan kooperatif dan
kecemasannya menurun.
5) Berikan kesempatan pada klien/ keluarga untuk menanyakan hal-hal
yangingin diketahui sehubungan dengan penyakit yang diderita klien.
Rasional : Mengurangi kecemasan dan memotivasi klien untuk
kooperatif.
6) Gunakan leaflet atau gambar-gambar dalam memberikan penjelasan.
Rasiona : Untuk membantu mengingat penjelasan yang telah
diberikan karena dapat dilihat/ dibaca berulang kali.

2.3 TYHPOID
2.3.1 DEFENISI
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella
Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi
oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart,
1994 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman
salmonella Thypi ( Arief Maeyer, 1999 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman
salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah
Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1996 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga paratyphoid
fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (.Seoparman, 1996).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik
yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi
secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer
Orief.M. 1999).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan
dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan kesadaran dan saluran pencernaan
(Arief Mansjoer,2003)
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid adalah
suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A. B dan C
yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.
2.3.2 ETIOLOGI

Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada dua
sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien
dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus
mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun pada suhu yang
lebih rendah sedikit serta akan mati pada suhu 70 derajat C maupun oleh antiseptik.

2.3.3. PATOFISIOLOGI
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan
5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan
melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi
kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana
lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila
orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan
makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat
melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal
dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak,
lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan
menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung
empedu. Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh
endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa
endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia
berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus
halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang
sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang
2.3.4 PATWAY
2.3.4 MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas typhoid 10 14 hari
a. Minggu I
pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan malam hari. Dengan
keluhan dan gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala, anorexia dan mual, batuk,
epitaksis, obstipasi / diare, perasaan tidak enak di perut.
b. Minggu II
pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi, lidah yang khas
(putih, kotor, pinggirnya hiperemi), hepatomegali, meteorismus, penurunan kesadaran.

2.3.6 KOMPLIKASI
- Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perporasi usus
3. Ilius paralitik
- Komplikasi extra intestinal
1. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,
trombosis, tromboplebitis
2. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia
hemolitik.
3. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis
4. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis
perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.

2.3.7 PENTALAKSANAAN
a. Perawatan
- Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah
komplikasi perdarahan usus.
- Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila
ada komplikasi perdarahan.
b.Diet
1. Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein
2. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
3. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
4. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7
hari.
c. Obat-obatan
1. Klorampenikol
2. Tiampenikol
3. Kotrimoxazol
4. Amoxilin dan ampicillin

2.3.8 PENCEGAHAN
Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah dari
toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum
susu mentah (yang belum dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai
mendidih dan hindari makanan pedas.

2.3.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium,
yang terdiri dari :
Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada
kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada
batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada
komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak
berguna untuk diagnosa demam typhoid.
Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.
Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan
hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1. Teknik pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda
dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan
media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada
saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit Biakan darah terhadap salmonella
thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-
minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
3. Vaksinasi di masa lampau Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau
dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan
bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4. Pengobatan dengan obat anti mikroba. Bila klien sebelum pembiakan darah
sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
Uji widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan
typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan
pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella
thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
1. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
2. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
3. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor faktor yang mempengaruhi uji widal :
Faktor yang berhubungan dengan klien :
Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam
darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5
atau ke-6.
Penyakit penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai
demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti
agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut
Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba
dapat menghambat pembentukan antibodi.
Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat
menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem
retikuloendotelial.
Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa
atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya
menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun
perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang
yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini
dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang
rendah
Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap
salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada
seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu.
Faktor-faktor Teknis
Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan
H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan
reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.
Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang
berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella
setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.
ANALISA DATA

TGL /
NO DATA PROBLEM ETIOLOGI
JAM
Etiologi
Berisi data subjektif masalah yang sedang dialami berisi
Diisi pada
dan data objektif yang pasien seperti gangguan pola tentang
saat
1 didapat dari nafas, gangguan penyakit
tanggal
pengkajian keseimbangan suhu tubuh, yang
pengkajian
keperawatan gangguan pola aktiviatas,dll diderita
pasien

DIAGNOSA KEPERAWATAN
o Resti ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit b.d hipertermi dan

muntah.
o Resti gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake
yang tidak adekuat.
o Hipertermi b.d proses infeksi salmonella thypi.
o Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan
kelemahan fisik.
o Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang
informasi atau informasi yang tidak adekuat.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

DIAGNOSA
NO TUJUAN PERENCANAAN
KEPERAWATAN
8. Kaji tanda-tanda dehidrasi
seperti mukosa bibir
kering, turgor kulit tidak
elastis dan peningkatan
Ketidak seimbangan suhu tubuh
volume cairan tidak 9. pantau intake dan output
terjadi Dengan Kriteria cairan dalam 24 jam, ukur
Hasil : BB tiap hari pada waktu
dan jam yang sama,
Resti
o Membran 10. catat laporan atau hal-hal
ketidakseimbangan
mukosa bibir seperti mual, muntah nyeri
volume cairan dan
1 lembab, dan distorsi lambung.
elektrolit b.d
o tanda-tanda vital 11. Anjurkan klien minum
hipertermi dan
(TD, S, N dan banyak kira-kira 2000-
muntah.
RR) dalam batas 2500 cc per hari,
normal, 12. kolaborasi dalam
o tanda-tanda pemeriksaan laboratorium
dehidrasi tidak (Hb, Ht, K, Na, Cl)
ada 13. kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian cairan
tambahan melalui
parenteral sesuai indikasi.

18. Kaji pola nutrisi klien


Resiko nutrisi kurang 19. kaji makan yang di sukai
dari kebutuhan tubuh dan tidak disukai klien,
tidak terjadi 20. anjurkan tirah
Kriteria Hasil : baring/pembatasan
aktivitas selama fase akut,
o Nafsu makan 21. timbang berat badan tiap
Resiko tinggi bertambah hari.
pemenuhan nutrisi : o menunjukkan 22. Anjurkan klien makan
kurang dari berat badan sedikit tapi sering,
2 kebutuhan tubuh stabil/ideal, 23. catat laporan atau hal-hal
berhubungan o nilai bising seperti mual, muntah,
dengan intake yang usus/peristaltik nyeri dan distensi
tidak adekuat usus normal (6- lambung,
12 kali per 24. kolaborasi dengan ahli gizi
menit) untuk pemberian diet,
o konjungtiva dan 25. kolaborasi dengan dokter
membran dalam pemberian obat
mukosa bibir antiemetik seperti
tidak pucat. (ranitidine).
29. Observasi suhu tubuh klien
Hipertermi teratasi 30. anjurkan keluarga untuk
Kriteria Hasil : membatasi aktivitas klien,
31. beri kompres dengan air
o Suhu, nadi dan dingin (air biasa) pada
Hipertermia pernafasan dalam daerah axila, lipat paha,
berhubungan batas normal temporal bila terjadi panas,
3 dengan proses o bebas dari 32. anjurkan keluarga untuk
infeksi salmonella kedinginan memakaikan pakaian yang
thypi o tidak terjadi dapat menyerap keringat
komplikasi yang seperti katun,
berhubungan 33. kolaborasi dengan dokter
dengan masalah dalam pemberian obat anti
typhoid. piretik.

36. Berikan lingkungan tenang


dengan membatasi
Kebutuhan sehari-hari pengunjung,
terpenuhi 37. bantu kebutuhan sehari-
Kriteria hasil : hari klien seperti mandi,
Ketidak mampuan
BAB dan BAK,
memenuhi
o Mampu 38. bantu klien mobilisasi
kebutuhan sehari-
4 melakukan secara bertahap,
hari berhubungan
aktivitas, 39. dekatkan barang-barang
dengan kelemahan
o bergerak dan yang selalu di butuhkan ke
fisik
menunjukkan meja klien
peningkatan 40. kolaborasi dengan dokter
kekuatan otot. dalam pemberian vitamin
sesuai indikasi.

46. Observasi tanda-tanda


Infeksi tidak terjadi
vital (S, N, RR dan RR).
Kriteria hasil :
47. Observasi kelancaran
tetesan infus,
Resti infeksi o eritema, (-)
48. monitor tanda-tanda
sekunder o bengkak (-)
infeksi
5 berhubungan o Tanda-tanda
49. antiseptik sesuai dengan
dengan tindakan infeksi (-)
kondisi balutan infus.
invasive o sekresi
50. kolaborasi dengan dokter
purulen/drainase
dalam pemberian obat anti
(-)
biotik sesuai indikasi.
o febris.(-)

Kurang Pengetahuan keluarga 53. Kaji sejauh mana tingkat


pengetahuan meningkat pengetahuan keluarga
tentang penyakit Kriteria hasil : klien tentang penyakit
6
berhubungan anaknya,
dengan kurang o Menunjukkan 54. Beri pendidikan kesehatan
informasi atau pemahaman tentang penyakit dan
informasi yang tentang perawatan klien,
tidak adekuat penyakitnya, 55. beri kesempatan keluaga
melalui untuk bertanya bila ada
perubahan gaya yang belum dimengerti,
hidup 56. beri reinforcement positif
o Orang tua jika klien menjawab
berpartisipasi dengan tepat,
dalam proses 57. pilih berbagai strategi
perawatan. belajar seperti teknik
ceramah, tanya jawab dan
demonstrasi
58. tanyakan apa yang tidak di
ketahui klien,
59. libatkan keluarga dalam
setiap tindakan yang
dilakukan pada klien

Daftar Pustaka

1. Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

2. Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Volume 2 Edisi 5. Jakarta : EGC

3. Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta : Media
Aesculapius

4. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001

5. Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. I.
Jakarta : Salemba Medika; 2001

Вам также может понравиться