Вы находитесь на странице: 1из 5

SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN GOWA

Sejarah terbentuknya kerajaan gowa diperkirakan terbentuk disekitar abad ke-13.


Hingga saat ini belum ada pendapat jelas dan bukti secara empirik mengenai asal-
usul nama "Gowa". Kata Gowa sendiri tidak pernah dijelaskan dalam "Lontara
Bilang" namun pendapat yang paling dekat dan paling masuk akal mengenai asal
kata Gowa adalah "Goari". Bentuk penambahan huruf W ada berasal dari bunyi
Gowa. Goari secara harfiah memiliki arti kamar atau bilik. Pendapat ini kemudian
di dukung oleh Prof Mattulada yang menerangkan bahwa kata bilik yang dimaksud
sebagai Goari adalah sebauah tempat berkumpul. Tempat ini selanjutnya
dijadikan tempat untuk berkempul setiap kali terdapat suatu masalah jadi bisa
diartika sebagai tempat berhimpun atau bersatu.
Sebuah pendapat yang dikeluarkan oleh salah satu keturunan Raja Gowa yakni
Andi Ijo, kata Gowa berasal dari "Gua", bukan dari kata betawi tetapi merujuk
pada sebuah lubang dalam tanah, namun pendapat ini masih diragukan
mengingat bahasa kata Gua adalah bahasa Melayu dan apakah penggunaan
bahasa Melayu lebih dulu ada atau kerajaan Gowa yang lebih dulu ada hal ini
belum terbukti secara empirik. Fakta lain gua dalam bahasa Makassar juga
dikenal dengan sebutan "Kalibbong" sehingga masih kurang dasar untuk
menjadikan kata Gowa merujuk pada kata Gua.

Masa kejayaan kerajaan Makasar

Kerajaan Goa dan Tallo adalah dua kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan
dan saling berhubungan dengan baik. Orang kemudian mengenal keduanya
sebagai Kerajaan Makasar, yang sebenarnya adalah ibu kota Gowa yang disebut
Ujungpandang.

Kerajaan Makasar merupakan kerajaan maritim, penghasil rempah-rempah.


Membentuk jalur perdagangan Nusantara yang sangat terkenal pada abad ke-16
dan 17 Masehi dan mempunyai hubungan diplomasi yang baik dengan kerajaan
Ternate di Maluku.

Sebelum abad 16 M, raja-raja Makasar belum memeluk Islam, setelah kedatangan


Dato' Ri Bandang, seorang penyiar Islam dari Sumatra, Makasar berkembang
menjadi kerajaan Islam. Sultan Alaudin adalah raja Makasar pertama yang
memeluk agama Islam, yang berkuasa dari tahun 1591 sampai 1638 M.

Nama asli Sultan Alaudin adalah Karaeng Ma'towaya Trumamenanga Ri


Agamanna. Di bawah kekuasaannya Makasar tumbuh menjadi kerajaan maritim.
Para pelaut mengembangkan perahu jenis Pinisi dan Lambo.Setelah Sultan
Alaudin meninggal, digantikan oleh Muhammad Said pada tahun 1638 - 1653 M.
Raja berikutnya adalah Sultan Hasanuddin yang berkuasa dari tahun 1653. Pada
masa pemerintahan Sultan Hasanuddin Makasar menjadi gemilang, majunya
perdagangan dan melakukan ekspansi.

Kerajaan yang berhasil dikuasai Makasar di Sulawesi Selatan adalah Lawu, Wajo,
Soppeng dan Bone. Sultan Hasanuddin berniat menguasai jalur perdagangan
Indonesia bagian timur, sehingga harus menghadapi VOC sebelum menguasai
Maluku yang kaya akan lada. Keberanian Hasanuddin melawan Belanda
menyebabkan ia mendapatkan julukan Ayam Jantan dari Timur. Kisah tentang
keberanian Hasanuddin silahkan baca di artikel sejarah Sultan Hasanuddin Ayam
jantan dari timur

Pada tahun 1667 dengan bantuan Raja Bone, Belanda berhasil menekan Makasar
untuk menyetujui Perjanjian Bongaya. Perjanjian ini berisi 3 kesepakatan, yaitu :

1. VOC mendapat hak monopoli perdagangan di Makasar.

2. Belanda dapat mendirikan benteng Rotterdam di Makasar, dan Makasar harus


melepas kerajaan daerah yang dikuasainya seperti Bone, Soppeng.

3. Mengakui Aru Palaka sebagai raja Bone.

Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta pada tahun 1669 Map Somba putranya
berusaha meneruskan perjuangan ayahnya melawan Belanda. Belanda yang
sangat menghargai tindakan kooperatif dari Mapa Somba harus mempersiapkan
armada perang.

Pelaut Makasar sangat tangguh ini ditunjang dengan keahlian mendesain


berbagai kapal yang kuat dan indah seperti Pinisi, Lambo dan Padewalang yang
dapat mengarungi daerah nusantara bahkan sampai ke India dan Cina.

Tumanurung Baine

Sebuah riwayat menyebutkan bahwa sebelum kehadiran "Tumanurung" ri butta


Gowa, Gowa adalah adalah sekumpulan kerajaan kecil yang tergabung dan
menyatakan berkongsi atau bersekutu (Bondgenoot) dibawah pengawasan
"Paccallayya". Paccallayya sendiri secara harfiah berarti "mencela" namun dalam
hal cela yang dimaksud adalah mengingatkan ketika bagian dari persatuan
melakukan kesalahan. Analogi yang tepat untuk menempatkan posisi paccalayan
adalah ketua dewan hakim tertinggi yang diangkat dari orang-orang bijak dan
merupakan wakil dari masing kerajaan kecil.

Kerajaan-kerajaan kecil ini disebut "kasuwiang" setara dengan kelompok-


kelompok dari satu suku makassar laikang yang terdiri dari 9 kasuwiang yang
menyatakan berada di bawah pengawasan Paccailaya. Kesembilan kasuwiang ini
adalah

1. Kasuwiang Tombolo (Sekarang Kecamatan Tinggi Moncong dan juga


Kecamatan Tombolo)
2. Kasuwiang Lakiung (Daerah sekitar pantai di Kecamatan Galesong, Toppe
Jawa di Takalar)
3. Kasuwiang Samata (Masih dengan nama yang sama)
4. Kasuwiang Parang-parang
5. Kasuwiang Data (Daerah Malakaji yang dikenal dengan nama Gowa
dataran tinggi)
6. Kasuwiang Agang Jene
7. Kasuwiang Bisei
8. Kasuwiang Kailing
9. Kasuwiang Sero

Hampir sama dengan kondisi kerajaan yang berbentuk federasi, selalu ada
perbedaan pendapat terlebih tidak adanya pemimpin yang jelas dari persatuan
kesembilan kasuwiang ini karena Paccallaya adalah pengawas tanpa kekuatan
militer sehingga terkadang nasehat hanya sebatas nasehat saja. Hal ini semakin
berat ketika terjadi perang saudara antara gowa bagian utara dan gowa bagia
selatan dari sungai Je'neberang. Kondisi stabil tidak akan bertahan lama dalam
keadaan seperti ini kecuali ada seorang karismatik atau memiliki kekuatan militer
sehingga mampu untuk membawahi secara langsung kesembilang kasuwiang ini.
dari cerita terdapat dua versi yang muncul yakni:

1. Pendapat pertama: Petunjuk datang dari langit, sehingga turun seorang


wanita dari langit yang kemudian disebut dengan istilah "Tumanurung" atau
titisan dari langit, berita ini dibawa oleh Paccailaya bahwa putri tersebut
turun di atas bukit tamalatea yang berada di Taka' Bassia. Cerita ini
diperkuat dengan adanya cahaya yang muncul dari langit yang dilihat oleh
orang Bontobiraeng yang secara perlahan-lahan turun ke daerah Taka'ssia,
namun sebagaian sejarawan menyangsikan ini karena dianggap tidak
rasional.
2. Pendapat kedua: Kerajaan Gowa adalah salah satu kerajaan baru
terbentuk pada masa itu di mana orang-orang yang ada di sulawesi selatan
berasal dari sebuah suku yang lebih tua yakni keturunan i La Galigo di
kerajaan Luwu. Paccallaya yang mengetahui hal ini kemudian meminta
kepada raja Luwu untuk mengutus seorang bijak agar bisa menyatukan
kesembilan kasuwiang ini agar tidak hancur kemudian mengirim putrinya
yang kemudian dihilangkan jejaknya agar orang-orang Gowa tetap
menaruh hormat kepada Orang ini. Hal ini juga didukung dengan adanya
falsafah Gowa yang berbunyi "Somba opu" yang artinya menyembah atau
mengabdi pada Opu yang merupakan istilah untuk raja Luwu.

Sebelum turunya Tumanurung, sebenarnya Paccalaiyya sudah memberikan tuigas


kepada Gallarang Mangasa dan Gallarang Tombolok untuk mencari tokoh yang
bisa menyatukan kesembilang kasuwiang tersebut. Kemudian cerita Tumanurung
akhirnya terdengar dan Paccailaya dan Kesembilang kasuwiang akhirnya
berangkat ke Taka'bassia dan mengelilingi cahaya, kemudian bermunajat untuk
mendapatkan petunjuk dari langit. Karena Pada saat itu seluruh penduduk Gowa
belum memeluk dan mengenal agama samawi maka kata langit merujuk pada
mahluk maha kuasa yang ada di Langit sebagai Batara. Dikisahkan setelah
bertafakkur di daerah bercahaya perlahan-lahan cahaya tersebut berubah dan
menjelma menjadi seorang wanita cantik dengan paras lembut dan mengenakan
pakaian kesabaran. Paras dan karakter akhirnya menggugah hati kasuwiang
salapang dan juga Paccailaya kemudian memanggilnya dengan nama
"Tumanurung Baine".

Berdasarkan rasa kagum kepada Tumanurung Baine kemudian wakil dari para
kasuwiang dan Paccallaya akhirnya menemukan kesepakatan untuk menjadikan
Tumanurung Baine sebagai Raja yang pertama. Tugas dari raja pertama adalah
memrintahkan untuk menghentikan perang saudara yang sedang terjadi. Pada
kejadian ini setelah titah pertama raja turun, Pacallaya kemudian mendekat dan
menyembah dengan mengikrakan kata "Sombaku" atau tempat aku berserah,
tuanku atau orang yang memerintah dan juga kata "Sombaku" merujuk pada
pengakuan diri menjadi seorang ata' atau hamba.

Pada proses penyembahan ini kemudian Paccallayya yang mewakili rakyat gowa
memohon untuk kesedian Tumanurung Baine untuk menetap di Gowa dan
memerintah Gowa. Permonohan Paccallaya inipun dikabulkan dan secar
aserentak bergemurulah orang-orang yang hadir dan meneriakkan "Somabi
Karaengnu Tu Gowa" (Sembahlah Rajamu Hai Orang-Orang Gowa) dijawablah
dengan lantang "Sombangku" (Penguasaku atau tuanku". Kata Somba ini
kemudian dijadikan sebagai gelar raja yang memimpin untuk raja-raja penerus. Ini
adalah kisah yang paling tua yang menceritakan asal-usul penggunaan nama
Gowa sebagai nama Resmi.

Tanda-tanda kesembilang kasuwiang ini masih ada hingga saat ini dan yang
paling terkenal adalah adanya pohon tala' atau pohon lontar di daerah Tala'
Salapang dekat dengan Unismuh yang berada di Jalan Sultan Alauddin. Pohon
Tala tersebut Berjumlah sembilang namun salah satu dari tala tersebut roboh
sekitar tahun 2000, sehingga pemerintah kabupaten Gowa menggantinya dengan
pohon yang lebih muda.

Вам также может понравиться