Вы находитесь на странице: 1из 22

ACS/IMA

Pendahuluan
Penyakit kardiovaskuler bertanggung jawab tehadap hampir setengah dari kematian di USA dan negara
maju lainnya, serta seperempat kematian di negara berkembang. Pada tahun 2020 diperkirakan penyakit
kardiovaskuler akan menyebabkan satu dari tiga kematian di seluruh dunia.
Penyakit kardiovaskular saat ini menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di Indonesia.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan secara berkala oleh Departemen Kesehatan
menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskuler memberikan kontribusi sebesar 19,8% dari seluruh penyebab
kematian pada tahun 1993 dan meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998.
Sindroma koronaria akut (SKA) termasuk salah satu penyakit kardiovaskular yang mengancam jiwa dan
merupakan kasus gawat darurat yang sering dijumpai. Diagnosis dini dan penanganan yang cepat merupakan
hal yang sangat penting dan secara langsung mempengaruhi harapan hidup.

Definisi
Sindroma koronaria akut adalah gabungan gejala klinik yang menadakan iskemia miokard akut, yang
terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST segment elevation myocardial infarction =
STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (non ST segment elevation myocardial infarction =
NSTEMI), dan angina pectoris tidak stabil (unstable angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan
erat, hanya berbeda dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum yang mengalami
nekrosis.
UAP dan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran
klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil (UAP) dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen
ST (NSTEMI) adalah apakah iskemi yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan
miokardium, sehingga adanya marker kerusakan miokardium dapat diperiksa.
Diagnosis angina pectoris tidak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan tidak ada
kenaikan troponin maupun CK-MB dengan ataupun tanpa perubahan EKG untuk iskemi, seperti adanya depresi
segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim
biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal serangan angina pectoris tidak stabil seringkali tak bisa
dibedakan dari NSTEMI.

Faktor yang mempengaruhi aliran koroner


1. Keadaan anatomis dan mekanis
Arteri koroner bermuara di pangkal aorta pada sinus valsava, yang berada di belakang katup aorta. Arus
darah yang keluar dari ventrikel kiri bersifat turbulen yang meneyebabkan terhambatnya aliran koroner.
2. Faktor mekanis akibat tekanan pada arteri koroner
Arteri koroner tidak seluruhnya berada di permukaan jantung, tetapi sebagian besar berada di miokard,
sehingga waktu jantung berkontraksi (sistol) tekanan intra miokard meningkat, hal ini akan menghambat
aliran darah koroner. Karena itu dapat dipahami aliaran darah koroner 80% terjadi saat diastol dan 20%
saat sistol.
3. Sistem otoregilasi
Otot polos arteriol mampu melakukan adaptasi, berkontraksi (vasokontriksi) maupun berdilatasi
(vasodilatasi) baik oleh rangsangan metabolis maupun adanya zat-zat lain seperti adenin ino K +,
prostaglandin dan kinin. Demikian pula oleh karena adanya regulasi syaraf, baik yang bersifat alfa dan
beta adrenergik, maupun yang bersifat tekanan (baroreseptor).
4. Tekanan perfusi
Meskipun aliran darah ke dalam arteri koroner dapat terjadi, tetapi perpusi ke dalam jaringan
membutuhkan tekanan tertentu, yang disebut tekanan perfusi. Tekanan perfusi dipengaruhi oleh tekanan
cairan di dalam rongga jantung, khususnya tekanan ventrikel kiri, yang secara umum diketahui melalui
pengukuran tekanan darah. Tekanan perfusi normal antara 70 mmHg sampai 130 mmHg.

1
Pada tekanan perfusi normal tersebut sistem otoregulasi berjalan dengan baik. Bila tekanan perfusi
menurun dibawah 60 mmHg, maka sistem regulasi aliran darah koroner tidak bekerja, sehingga aliran
darah koroner hanya ditentukan oleh tekanan perfusi itu sendiri. Hal itu menyebabkan kebutuhan
jaringan tidak tercukupi. Dalam klinis keadaan ini menunjukkan suatu fase hipotensif yang mengarah ke
gagal jantung. Artinya kerja jantung tidak mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, karena sistim
otoregulasi lumpuh.

Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya SKA dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu fakor resiko yang
dapat di modifikasi dan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi yaitu
usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Sedangkan faktor resiko yang dapat dimodifikasi yaitu merokok,
dislipidemia, diabetes mellitus, hipertensi, dan obesitas.

A. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi


1. Usia
Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan antara usia dan timbulnya
penyakit mungkin hanya mencerminkan lama paparan yang lebih panjang terhadap faktor-faktor
aterogenik.
2. Jenis kelamin
Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita sampai menopause, setelah menopause
kerentanannya menjadi sama dengan pria. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan
adanya imunitas wanita sebelum menopause.
3. Ras
Orang bAmerika-Afrika lebih rentan tehadap aterosklerosis daripada orang kulit putih.
4. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (yaitu saudara atau orang tua yang
menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis
prematur. Besarnya pengaruh genetik dan lingkungan belum diketahui. Komponen genetik dapat
dikaitkan pada beberapa bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti
pada gangguan lipid familial. Tetapi riwayat keluarga dapat pula mencerminkan komponen lingkungan
yang kuat, seperti gaya hidup yang menimbulkan stres atau obesitas.

B. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi


1. Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap dinding arteri. Karbon
monoksida (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebakan mobilisasi
katekolamin yang dapat menambahkan reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding
arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat mengakibatkan reaksi hipersensitif dinding arteri.
2. Dislipidemia
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas) berasal dari makanan
(eksogen) dan sintesis lemak endogen. Kolesterol dan trigliserida adalah dua jenis lipd yang relatif
mempunyai makna klinis yang penting sehubungan dengan aterogenesis. Lipid terikat pada protein,
karena lipid tidak larut dalam plasma. Ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipoprotein, yaitu;
kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling tinggi kadar kolesterolnya, sedangkan kilomikron dan
VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada HDL.
Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit jantung koroner,
sementara kadar HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung penyakit jantung koroner,
sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata bersifat aterogenik. Rasio kadar LDL dan HDL dalam darah
mempunyai makna klinis untuk terjadinya aterosklerosis.
3. Diabetes Mellitus

2
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan di bawa ke hepar. Pada
penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar menurun, dan gikolasi kolagen meningkat. Hal ini
mengakibatkan meningkatnya LDL yang berikatan dengan dinding vaskuler.
4. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel
kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk
menguatkan kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan
hipertropi kompensasi akhirnya terlampaui , tejadi dilatasi dan payah jantung. Jantung jadi semakin
terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan oksigen miokardium meningkat sedangkan
suplai oksigen tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi
infark.
Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah akibat tekana tinggi
yang lama (endothelial injury).

5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada umumnya selalu diikuti oleh
faktor resiko lainnya.

Faktor Pencetus
1. Hipertensi
Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah akibat tekanan tinggi
yang lama. Hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya rupturnya plak pada pembuluh
darah.
2. Anemia
Adnya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk ke jaringan jantung.
Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk meningkatkan cardiac ouput. Hal ini
mengakibatkan kebutuhan oksigen di jantung meningkat. Ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai
oksigen mengakibatkan gangguan pada jantung.
3. Kerja fisik/olahraga
Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan dan miokardium meningkat.
Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai oksigen tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan
iskemia. Kalau berlangsung lama bisa terjadi infark

Patogenesis
Sebagian besar SKA terjadi akibat ruptur plak aterosklerosis sehingga terbentuk thrombus di atas
ateroma. Thrombus tersebut secara akut menyumbat lumen arteri koroner.
Ateroskerosis adalah bentuk arteriosklerosis dimana terjadi penebalan dan pengerasan dari dinding
pembuluh dara yang disebabkan oleh akumulasi makrofag yang berisi lemak sehingga menyebabkan
terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis bukan merupakan kelainan tunggal namun merupakan
proses patologi yang dapat mempengaruhi system vaskuler seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan
sindroma iskemik yang bervariasi dalam manifestasi klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut merupakan
penyebab utama penyakit arteri koroner.
Aterosklerosis merupakan proses inflamasi. Secara patologislesi berasal dari disfungsi dan jejas endotel
yang berkembang menjadi fatty streak kemudian menjadi plak fibrosis dan akhirnya terbentuk lesi yang
kompleks. Aterosklerosis dimulai dengan jejas terhadap sel endotel yang melapisi dinding arteri. Penyebab yang
mungkin dari jejas endotel tersebut adalah tersebut adalah faktor resiko yaitu merokok, hipertensi, diabetes
mellitus, peningkatan LDL, HDL yang kurang, dan hiperhomosisteinemia. Penyebab lain dapat berupa
peningkatan C-reactive protein, peningkatan fibrinogen serum, resistensi insulin, stress oksidatif, infeksi dan
penyakit periodontal. Ketika jejas terjadi, mengakibatkan disfungsi endotel dan peradangan yang diikuti proses
patofisiologi sebagai berikut :
3
1. Sel endotel yang mengalami jejas terjadi peradangan dan tidak dapat mensintesis jumlah normal dari
antitrombokin dan sitokin vasodilatasi.
2. Terlepasnya berbagai sitokin proinflamasi termasuk TNF alfa dan interferon gamma, IL-1, oksigen radikal
dan heat shock protein.
3. TYerlepasnya angiotensisn II, fibroblast growth factor, dan PDGF yang merangsang proliferasi sel otot
polos pada dinding pembuluh darah.
4. Perlekatan makrofag pada endotel yang mengalami jejas dengan bantuan molekul adhesi, misalnya VCAM-
1.
5. Makrofag tersebut kemudian melepas enzim dan radikal bebas dan menyebabkan stress oksidatif, LDL
teroksidasi, juga jejas lebih lanjut pada dinding pembuluh darah.
Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi dengan stress oksidatif dan
aktivasi makrofag adalah mekanisme primer. Diabetes mellitus, merokok, dan hipertensi dihubungkan dengan
peningkatan oksidasi LDL yang dipengaruhi oleh peningkatan kadar angiotensin II melalui stimulasi reseptor
AT-I. LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi sel otot polos, aktivasi
respon imun dan inflamasi. LDL teroksidasi mauk ke dalam tunika intima dinding arteri kemudian difagosit
oleh makrofag. Makrofag yang mengandung oksi-LDL disebut foam cell berakumulasi dalam jumlah yang
signifikan maka akan membentuk jejas fatty streak. Pembentukan lesi tersebut dapat ditemukan pada dinding
pembuluh darah sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk, fatty streak memproduksi radikal
oksigen toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan perubahan inflamasi dan imunologis sehingga terjadi
kerusakan yang lebih ptogresif. Kemudian terjadi proliferasi sel otot polos, pembentukan kolagen dan
pembentukan plak fibrosa di atas sel otot polos tersebut. Proses tersebut diperantarai berbagai macam sitokin
inflamasi termasuk growth factor (TGF beta). Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh darah dan
menyumbataliran darah ysng lebih distal, terutama pada saat olahraga, sehingga timbul gejala klinis (angina
atau claudication intermitten).
Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan gejala klinis sampai plak
tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi akibat aktivasi reaksi inflamasi dari proteinase seperti
metalloproteinase matriks dan cathepsin sehingga menyebabkan perdarahan pada lesi. Plak atherosklerosis
dapat diklasifikasikan berdasarkan strukturnya yang memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur.
Plak yang menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung menjadi rupture adalah
plak yang intinya banyak mengandung deposit LDL teroksidasi dan yang diliputi oleh fibrous caps yang tipis.
Plak yang robek (ulserasi atau rupture) terjadi karena shear forces, inflamasi dengan pelepasan mediator
inflamasi yang multiple, sekresi macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika
rupture, terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi kaskade pembekuan darah, dan
pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut dapat langsung menyumbat pembuluh darah
sehingga terjadi iskemia dan infark.

4
Atherosclerotic plaque with
a lipid-rich core and thin
fibrous cap

Shear forces, inflammation,


apoptosis, macrophage-
derived degradative enzymes

Rupture of plaque

Increased inflammation with


release of multiple cytokines,
platelet activation and
adherence, production of
thrombin and vasoconstrictors
Thrombus formation over lesion
plus vasoconstriction of vessel

Acute decrease in coronary


blood flow

Unstable angina or
myocardial infarction

Gambar 1: Pathogenesis unstable plaque dan pembentukan thrombus

Patofisiologi
Proses progresifitas dari plak atherosklerotik dapat terjadi perlahan-lahan. Namun, apabila terjadi
obstruksi koroner tiba-tiba karena pembentukan thrombus akibat plak aterosklerotik yang rupture atau
mengalami ulserasi, maka terjadi sindrom koroner akut.
- Unstable angina : adalah akibat dari iskemi miokard reversibel dan dapat mencetuskan terjadinya infark.
- Infark miokard : terjadi apabila iskemia yang berkepanjangan menyebabkan kerusakan ireversibel dari otot
jantung.

5
Atherosclerotic plaque partially obstructs
coronary blood flow

Stable plaque Unstable plaque with ulceration or


rupture and thrombosis

Stable angina Acute coronary syndromes

Trancient Sustained
ischemia ischemia

Unstable angina
Myocardial
infarction
Stunned myocytes

Hibernating myocytes Myocardial


inflammation
and necrosis
Myocardial remodeling

Gambar 2 : Patofisiologi Sindrom Koroner Akut

Unstable angina
Muncul akibat berkurangnya suplai oksigen dan/atau peningkatan kebutuhan oksigen jantung
(cth karena takikardi atau hipertensi). Berkurangnya suplai oksigen terjadi karena adanya pengurangan
diameter lumen pembuluh darah yang dipengaruhi oleh vasokonstriktor dan/atau thrombus. Pada banyak
pasien unstable angina, mekanisme berkurangnya suplai oksigen lebih banyak terjadi dibandingkan
peningkatan oksigen demand. Tetapi pada beberapa kasus, keduanya dapat terjadi secara bersamaan.
Mekanisme pengurangan suplai oksigen dipengaruhi oleh agregasi trombosit, thrombosis, dan
vasokonstriksi koroner.
Agregasi platelet. Beberapa penelitian menyatakan bahwa agregasi platelet memainkan peranan penting
sebagai faktor presipitasi terjadinya episode iskemik seperti yang terjadi pada infark miokard akut.
Platelet dan sel endotel koroner berinteraksi dalam satu kesatuan. Platelet menghasilakn tromboxan A 2
yang merupakan proagregatory dan vasokonstriktor, sedangkan sel endotel normal menghasilkan
antiagregatory vasodilator protasiklin (prostaglandin I2) maupun tissue plasminogen activator (t-PA) dan
endothelium-derived relaxing factor. Proses iskemia terjadi akibat vasokonstriksi koroner yang
disebabkan karena akumulasi tromboxan A2. serotonin serta pengurangan jumlah prostaglandin I2 dan
inhibitor agregasi plateat.
Thrombosis. Proses aktif thrombus juga terjadi pada pasien unstable angina. Thrombus intrakoroner
muncul karena hiperkoagulabilitas akibat proses fibrinolisis yang terganggu.
Vasokonstriksi Koroner. Disfungsi endotel mengakibatkan keluarnya mediator endothelin I yang
berefek vasokonstriksi dan berkurangnya mediator vasodilator seperti protasiklin dan endothelium-

6
derived relaxing factor. Vasokonstriksi ini menyebabkan sempitnya lumen dan meningkatkan resistensi
vaskuler. Disfungsi endotel juga mengakibatkan proses fibrinolisis terganggu.
Dalam proses atherosklerosis, agregasi trombosit, pembentukan thrombus, dan vasokonstriksi
koroner dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan dalam waktu yang berbeda sehingga terjadi unstable
angina.
Empat proses patofisiologi pada unstable angina, adalah:
1. Ruptur atau erosi plak ditambah adanya thrombus non-oklusif
2. Obstruksi dinamik (cth. Spasme koroner pada Prinzmetals variant angina)
3. Obstruksi mekanik yang progresif (cth. Atherosclerosis coroner atau restenosis setelah PCI
(percutaneus coronary intervention)).
4. Unstable angina sekunder akibat meningkatnya oksigen demand dan/atau kurangnya suplai oksigen
(cth. anemia).
Lebih dari satu proses di atas terjadi pada pasien unstable angina.
Infark miokard
Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat terjadi nekrosis sel miosit. Hal
tersebut disebut infark miokard. Gangguan, progresivitas plak, dan pembentukan klot lebih lanjut yang
terjadi pada MI sama halnya seperti yang terjadi pada sindrom koroner akut yang lainnya. Namun, pada
MI trombusnya lebih labil dan dapat menyumbat pembuluh darah dalam waktu yang lebih lama,
sehingga iskemia miokardial dapat berkembang menjadi nekrosis dan kematian miosit. Jika thrombus
lisis sebelum terjadinya nekrosis jaringan distal yang komplet, infark yang terjadi hanya melibatkan
miokardium yang berada langsung di bawah endokardium (subendocardial MI).
Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka infarknya dapat memanjang
hingga epikardium sehingga menyebabkan disfungsi jantung yang parah (transmural MI). Secara klinis,
MI transmural harus diidentifikasi, karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius dan harus
mendapat terapi yang segera.
Jejas Selular. Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20 menit sebelum
mengalami kematian. Perubahan EKG hanya terlihat pada 30-60 detik setelah hipoksia. Bahkan jika
telah terjadi perubahan metabolisme yang non fungsional, sel miosit tetap viable jika darah kembali
dalam 20 menit. Penelitian menunjukkan bawa sel miosit dapat beradaptasi terhadap perubahan suplai
oksigen. Proses tersebut dinamakan ischemic preconditioning. Setelah 8-10 detik penurunan aliran
darah, miokardium yang terlibat menjadi sianotik dan lebih dingin. Glikolisis anaerob yang terjadi hanya
dapat mensuplai 65-70% dari kebutuhan energi, karena diproduksi ATP yang lebih sedikit daripada
metabolisme aerob. Ion hydrogen dan asam laktat kemudian berakumulasi sehingga terjadi asidosis,
dimana sel miokardium sangat sensitif pada pH yang rendah dan memiliki sistem buffer yang lemah.
Asidosis menyebabkan miokardium menjadi rentan terhadap kerusakan lisosom yang mengakibatkan
terganggunya fungsi kontraktilitas dan fungsi konduksi jantung sehingga terjadi gagal jantung.
Kekurangan oksigen juga disertai gangguan elektrolit Na, K, dan Mg. secara normal miokardium
berespon terhadap kadar katekolamin (epinefrin dan norepinefrin/NE) yang bervariasi. Pada sumbatan
arteri yang signifikan, sel miokardium melepaskan katekolamin sehingga terjadi ketidakseimbangan
fungsi simpatis dan parasimpatis, disritmia dan gagal jantung. Katekolamin merupakan mediator
pelepasan dari glikogen, glukosa dan cadangan lemak dari sel tubuh. Oleh karena itu terjadi peningkatan
kadar asam lemak bebas dan gliserol plasma dalam satu jam setelah timbulnya miokard akut. Kadar FFA
(Free Fatty Acid) yang berlebih memiliki efek penyabunan terhadap membran sel. NE meningkatkan
kadar glukosa darah melalui perangsangan terhadap sel hepar dan sel otot. NE juga menghambat
aktivitas sel beta pankreas sehingga produksi insulin berkurang dan terjadi keadaan hiperglikemia.
Hiperglikemia terjadi setelah 72 jam onset serangan.
Angiotensin II yang dilepaskan selama iskemia miokard berkontribusi dalam patogenesis MI, dengan
cara yaitu:
1. Efek sistemik dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan sehingga meningkatkan beban
jantung, akibatnya memperparah penurunan kemampuan kontraktilitas jantung

7
2. Angiotensin II mempunyai efek lokal yaitu sebagai growth factor sel otot polos pembuluh darah,
miosit dan fibroblast jantung, sehingga merangsang peningkatan kadar katekolamin dan
memperparah vasospasme koroner.
Kematian selular. Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit merupakan jejas hipoksia
irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan nekrosis jaringan. Nekrosis jaringan miokardium
dapat menyebabkan pelepasan beberapa enzim intraseluler tertentu melalui membrane sel yang rusak ke
dalam ruang intersisisal. Enzim yang terlepas kemudian diangkut melalui pembuluh darah limfe ke
pembuluh darah. Sehingga dapat terdeteksi oleh tes serologis.
Perubahan fungsional dan struktural. Infark miokardial menyebabkan perubahan fungsional dan
struktural jantung. Perubahan tersebut dapat dilihat pada table di bawah ini.
Waktu Perubahan Jaringan Tahapan Proses Pemulihan
setelah MI
6-12 jam Tidak ada perubahan Belum dimulai
makroskopis; sianosis subseluler
dengan penurunan temperatur
18-24 jam Pucat sampai abu-kecoklatan; Respon inflamasi;
slight pallor pelepasan enzim
intraseluler
2-4 hari Tampak nekrosis; kuning-coklat di Enzim proteolitik
tengah dan hiperemis di sekitar dipindahkan oleh debris;
tepi katekolamin, lipolisis, dan
glikogenolisis
meningkatkan glukosa
plasma dan FFA untuk
membantu miokard keluar
dari anaerobic state
4-10 hari Area soft, dengan degenerasi Debris telah dibersihkan;
lemak di tengah, daerah collagen matrix laid down
perdarahan pada area infark
10-14 hari Weak, fibrotic scar tissue dengan Penyembuhan berlanjut
awal revaskularisasi namun area sangat lunak,
mudah dipengaruhi stress
6 minggu Jaringan parut biasanya telah Jaringan parut kuat yang
komplit tidak elastis menggantikan
miokardium yg nekrosis

Perubahan makroskopis pada daerah infark tidak akan terlihat dalam beberapa jam. Walaupun
dalam 30-60 detik terjadi perubahan EKG. Miokardium yang infark dikelilingi oleh zona jejas hiposia
yang dapat berkembang menjadi nekrosis, kemudian terjadi remodeling atau menjadi normal kembali.
Jaringan jantung yang dikelilingi daerah infark juga mengalami perubahan yang dapat dikategorikan ke
dalam:
1. Myocardial stunning, yaitu kehilangan sementara fungsi kontraktilitas yang berlangsung selama
beberapa jam beberapa hari setelah perfusi kembali normal.
2. Hibernating myocardium, yaitu jaringan yang mengalami iskemi persisten dan telah mengalami
adaptasi metabolic.
3. Myocardial remodeling, adalah suatu proses yang diperantarai Angiotensin II, aldosteron,
katekolamin, adenosine dan sitokin inflamasi yang menyebabkan hipertrofi miositdan penurunan
fungsi kontraktilitas pada daerah jantung yang jauh dari lokasi infark
Semua perubahan di atas dapat dibatasi melalui restorasi yang cepat dari aliran koronerdan
penggunaan ACE-inhibitor dan beta blocker setelah MI. Tingkat keparahan gangguan fungsi tersebut

8
dipengaruhi oleh ukuran dan lokasi infark. Perubahan fungsional termasuk: (1). Penurunan
kontraktilitas jantung dengan gerak dinding jantung abnormal, (2). Perubahan compliance dari
ventrikel kiri, (3). Penurunan stroke volume, (4). Penurunan fraksi ejeksi, (5). Peningkatan tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri, (6). Malfungsi dari SA node, (7). Disritmia yang mengancam jiwa dan
gagal jantung sering menyertai MI.
Fase Perbaikan. Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah yang diakhiri dengan
perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel yang rusak, proliferasi fibroblast dan sintesis
jaringan parut. Banyak tipe sel, hormone, dan substrat nutrisi harus tersedia agar proses
penyembuhan dapat berlangsung optimal. Dalam 24 jam terjadi infiltrasi lekosit dalam jaringan
nekrotik dan degradasi jaringan nekrotik oleh enzim proteolisis dari neutrofil scavenger. Fase
pseudodiabetik sering timbul oleh karena lepasnya katekolamin dari sel yang rusak yang dapat
menstimulasi lepasnya glukosa dan asam lemak bebas. Pada minggu kedua, terjadi sekresi insulin
yang meningkatkan pergerakan glukosa dan menurunkan kadar gula darah. Pada 10-14 hari setelah
infark terbentuk matriks kolagen yang lemah dan rentan terhadap jejas yang berulang. Pada masa itu,
biasanya individu merasa sehat dan meningkatkan aktivitasnya kembali sehingga proses
penyembuhan terganggu. Setelah 6 minggu, area nekrosis secara utuh diganti oleh jaringan parut
yang kuat namun tidak dapat berkontraksi seperti jaringan miokardium yang sehat.

Manifestasi Klinis bagi Sindrom Koroner Akut


Sindrom koroner akut terbagi lagi berdasarkan gambaran EKG yaitu dengan ST-elevasi (STEMI), dan
tanpa ST-elevasi. Pasien tanpa ST elevasi dapat berupa angina tak stabil (unstable angina) atau infark miokard
akut tanpa ST-elevasi (NSTEMI). Mayoritas apsien NSTEMI akan menjadi infark miokard tanpa gelombang Q
(non-Q wave MI). Sedangkan sebagian besar pasien dengan ST elevasi (STEMI) akan mengalami evolusi
menjadi gelombang Q dan kemudian akhirnya didiagnosis IM gelombang Q (QwMI).

ACUTE CORONARY SYNDROME

No ST Elevation ST Elevation

Unstable Non-STEMI
Angina

Non-Q wave MI Q wave MI

Braunwald et al. JACC 2000;36:970-1062


Gambar 3 : Nomenklatur Bagi Sindrom Koroner Akut

9
Manifestasi Klinis dan Diagnosis Untuk Angina Tdak Stabil dan NSTEMI
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Untuk Angina Tidak Stabil dan NSTEMI
Anamnesis merupakan hal yang sangat penting. Penderita yang datang dengan keluhan utama nyeri dada
atau nyeri ulu hati yang hebat, bukan disebabkan oleh trauma, yang mengarah pada iskemia miokardium, pada
laki-laki terutama berusia > 35 tahun atau wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan perhatian khusus dan
evaluasi lebih lanjut tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan posisi, penekanan, pengaruh makanan,
reaksi terhadap obat-obatan, dan adanya faktor resiko.
Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan, diremas, ditikam, ditinju, dan
rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di belakang sternum, dibagian tengah atau dada kiri dan dapat menyebar
keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk dengan satu jari. Nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu,
punggung, lengan kiri atau kedua lengan. Lama nyeri > 10menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat atau
pemberian nitrat.
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah dari
biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu
istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di
daerah epigastrium yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala otonom sesak napas, mual
sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan diaforesis,
kulit yang dingin dan pucat, sinus takikardia, suara jantung ketiga, S3 atau keempat (S4), basilar rales, dan
terkadang hipotensi, menyerupai hal-hal yang dapat ditemukan pada pemeriksaan pasien dengan NSTEMI yang
luas.
Pada tahun 1989, Braunswald menganjurkan dibuat kalsifikasi supaya ada keseragaman. Klasifikasi
berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.

Beratnya angina :
Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri dada.
Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak ada serangan angina
dalam waktu 48 jam terakhir.
Klas III. Adanya serangan angina dalam waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali atau lebih,
dalam waktu 48 jam terakhir.
Keadaan Klinis:
Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, ineksi lain atau febris.
Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor extra cardiac.
Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark jantung.

Evaluasi Diagnosis
Langkah pertama dalam mengevaluasi pasien dengan kemungkinan UA/NSTEMI adalah dari gjala yang
muncul. Panduan ACC/AHA 2002 menyebutkan di antara beberapa faktor yang berhubungan dengan sesuatu
yang mungkin merupakan SKA meliputi riwayat klinis yang khas dengan adanya tidak kenyamanan karena
iskemik, riwayat adanya penyakit arteri koroner yang di tetapkan dengan angigraphy, MI sebelumnya,
congestive heart failure, perubahan EKG yang baru terjadi, atau peningkatan penanda biologis jantung. Empat
hal yang menjadi major diagnostic tools untuk mendiagnosa UA/NSTEMI adalah- riwayat klinis, EKG,
marker jantung dan tes stress.
Pemeriksaan Penunjang

i) Elektrokardiografi (ECG)
Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien angina tak
stabil. Pada UA, depresi segmen ST, elevasi segmen ST yang sementara, dan atau inversi gelombang T yang
terjadi pada 30-50% pasien tergantung pada tingkat keparahan manifestasi klinisnya. Pada pasien dengan gejala
klinis UA, adanya deviasi segmen ST yang baru, bahkan jika hanya 0.05mV, merupakan alat untuk
memprediksi yang penting tentang adanya adverse outcome. Pada Thrombolysis in Myocardial Ischemia Trial
10
(TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0.05mV merupakan predictor outcome yang
buruk. Perubahan gelombang T sensitif untuk iskemik tetapi kurang spesifik,adalh berupa inversi gelombang T
yang dalam ( 0.3mV) jika tidak baru muncul.

ii) Exercise test


Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara lansung. Tetapi bila
tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya mitral insuffisiensi dan abnormalitas gerakan dinding
reginal jantung, menandakan prognosis kurang baik. Stress ekokardiografi juga dapat membantu menegakkan
adanya iskemi miokardium.
iii) Pemeriksaan laboratorium
Biomarker kerusakan miokard
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai petanda paling penting
dalam diagnosis SKA. Menurut European Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap adanya mionekrosis
bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah
dengan tingkat kenaikan troponin. Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih
disukai, karena lebih spesifik berbanding enzim jantung seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA,
peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4jam dan dapat menetap sampai 3-4minggu.
CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosis infark akut
dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48jam.

Stratifikasi Risiko
Penilaian klinis dan EKG merupakan pusat utama dalam pengenalan dan penilaian risiko NSTEMI. Jika
ditemukan risiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan terapi awal yang segera. Beberapa pendekatan untuk
stratifikasi telah tersedia.

Skor TIMI
Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana dan sesuai untuk stratifikasi risiko, dan angka faktor
risiko bebas pada presentasi kemudian ditetapkan. Skor risiko ini berasal dari analisis pasien-pasien pada
penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada empat penelitian dan satu registry. Dengan meningkatnya skor
risiko, telah terobservasi manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan low molecular weight
heparin (LMWH) versus unfractionated heparin (UFH), dengan platelet GP Iib/IIIa receptor blocker tirofiban
versus palcebo, dan strategi nivasif versus konservatif.
Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI, penggunaan klopidogrel menunjukkan penurunan
keluaran yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam memprediksi keluaran yang buruk pada pasien
yang pulang.

Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI


Usia 65 tahun
3 faktor risiko PJK
Stenosis sebelumnya 50%
Deviasi ST
2 kejadian angina 24 jam
Aspirin dalam 7 hari terakhir
Peningkatan petanda jantung
Tabel 1: Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI

Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain adalah:


- pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah tidak ada serangan
- sebelumnya tidak memakai obat anti angina
11
- ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya.
- Enzim jantung tidak meningkat termaasuk troponin dan biasanya usia lebih muda.
Pasien yang termasuk dalam risiko sedang adalah:
- Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat
- Laki-laki, usia >70 tahun, menderita diabetes melitus
- Tidak ada perubahan ST segmen
- Enzim jantung tidak meningkat.
Pasien yang termasuk dalam risiko tinggi adalah:
- Angina berlansung lama atau angina pasca infark; sebelumnya mendapat terapi yang intensif
- Ditemukan hipotensi, diaforesis, edema paru atau rales pada pemeriksaan fisik
- Terdapat perubahan segmen ST yang baru
- Didapatkan kenaikan troponin, keadaan hemodinamika tidak stabil.
Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan, maka pasien sebaiknya
dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko rendah maka terapi medikamentosa sudah
mencukupi. Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasif segera, dengan
kemungkinan tindakan revaskularisasi.

Manifestasi Klinis dan Diagnosis Untuk Infark Miokard Dengan ST Elevasi


Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri dada yang khas dan
gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau
1mm pada dua sadapan ektremitas. Pmeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat,
memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil
pemeriksaan enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle.

Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau diluar jantung.
Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain
hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik
berat, stress emosi atau penyakit medis. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi
sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu mengenal nyeri dada
angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam
pengelolaan pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :
Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sperti ditusuk, rasa diperas,
dan dipelintir.
Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung interskapular,
perut dan dapat juga ke lengan kanan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.

12
Gambar 4 : Pola nyeri dada pada iskemia miokard

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut,
kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa
nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan usia lanjut.

Gambar 5: Diagnosis banding nyeri dada

Pemeriksaan Fisik
13
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai
keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI.
Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia
dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark posterior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis
(bradikardia dan/atau hipotensi).
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung
pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik
apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Pulsasi
karotis sering ditemukan menurun. Ini menggambarkan terjadinya penurunan stroke volume.

Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang
dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di UGD. Pemeiksaan EKG
menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial
dengan interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus dilakukan unutk mendeteksi
potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil
untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi
gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard gelombang Q, sebagian kecil menetap
menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau
ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST dan biasanya megalami UA atau
NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark
non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau
menghilangnya gelombang R dan infark miokard nontransmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan
sementara segmen ST atau gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan
lokasi infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA gelombang Q atau non Q menggantikan infark
mural atau nontransmural.

Gambar 6: EKG menunjukkan STEMI dengan evolusi patologik Q wave di lead I dan VL

Laboratorium
14
Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)
Pemeiksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac Specific Troponin (cTn)T
atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang
disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien
dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada
pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung
(infark miokard)
CKMB: menigkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat pada operasi jantung, miokarditis dan
kardioversi elektrik.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
Mioglobinv: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai punak dalam
10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak
3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Tabel 2. Biomarker Molekuler Untuk Evaluasi Pasien Infark Miokard dengan


Elevasi ST
Biomarker Berat molekul Rentang waktu Rerata waktu Waktu kembali
(Da) untuk evaluasi ke rentang
meningkat puncak normal
(nonreperfusi)
Sering di praktek klinik

CKMB 86000 3-12jam 24jam 48-72jam


cTnI 23500 3-12jam 24jam 5-10hari
cTnT 33000 3-12jam 12jam-2hari 5-14hari

Myoglobin 17800 1-4jam 6-7jam 24hari


CKMB Tissue
Isoform 86000 2-6jam 18jam tidak diketahui

CKMM Tissue
Isoform 86000 1-6jam 12jam 3jam

15
Gambar 7 : Perubahan konsentrasi enzim plasma setelah infark miokard

Penatalaksanaan
1. Angina Pektoris Tidak Stabil (unstable angina) dan NSTEMI
a. Tindakan umum
Pasien perlu perawatan rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, dan diistirahatkan (bed rest),
diberi obat penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin perlu ada pada pasien yang masih merasakan
sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin. Empat komponen utama terapi yang harus dipertimbangkan
pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
Terapi antiiskemia
Terapi antiplatelet/antikoagulan
Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi)
Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS

b. Terapi Medikamentosa
Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek mengurangi
preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah
oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Yang ada di
Indonesia terutama Isosorbit dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4mg/jam. Bila
keluhan sudah terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral. Nitrat pertama kali diberikan sublingual
atau spray bukal jika pasien mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap stelah diberikan nitat sublingual
3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasi pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10ug/menit).

Penyekat Beta
Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan denyut jantung dan
daya kontraksi miokardium. Meta-analisis dari 4700 pasien dengan UA menunjukkan penyekat beta dapat
menurunkan risiko infark sebesar 13% (p<0.04). Semua pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali ada
kontraindikasi seperti asam bronkiale dan pasien dengan bradiaritmia. Beta-bloker seperti propanolol,
metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien UA, yang menunjukkan effektivitas yang serupa. Penyekat beta
oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60kali/menit.
Antagonis Kalsium
16
Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar : golongan dihidropiridin seperti nifedipin dan
golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua golongan ini dapat menyebabkan
vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah.
Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan penghambatan nodus sinus
maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif juga lebih kecil. Verapamil dan diltiazem
memperbaiki survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi
normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan
nondihidropiridin pada pasien SKE dengan faal jantung normal. Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi
jantung seperti diltiazem dan verapamil pada pasien dengan nyeri dada persisten.

Pemakaian antagonis kalsium pada pasien yang ada kontraindikasi dengan beta-bloker.

Terapi antiplatelet
Aspirin
Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan dari penelitian klinis
multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga aspirin menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaaan
UN/NSTEMI. Oleh karena itu aspirin dianjurkan seumur hidup dengan dosis awal 160mgper hari dan dosis
selanjutnya 80-325 mg per hari. Sindrom resistensi aspirin muncul baru-baru ini. Sindrom ini dideskripsi
dengan bervariasi sebagai kegagalan relatif untuk menghambat (inhibisi) agregasi platelet dan/atau kegagalan
untuk memperpanjang waktu pendarahan, atau perkembangan kejadian klinis sepanjang terapi aspirin. Pasien-
pasien dengan resisitensi aspirin mempunyai risiko tinggi terjadi rekuren. Walaupun penelitian prospektif secara
acak belum pernah dilaporkan pada pasien-pasien ini, adalah logis untuk memberikan terapi klopidogrel,
walaupun aspirin sebaiknya juga tidak dihentikan. Tiklopidin suatu derivat tienopiridin merupakan obat lini
kedua dalam pengobatan UA bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan
efek samping granulositopenia, dimana insidennya 2,4%. Dengan adanya klopidogrel yang lebih aman
pemakaian tiklopidin mulai ditinggal.

Klopidogrel
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang menghambat agregasi platelet. Klopidogrel juga
terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular dan dianjurkan pada pasien yang tidak
tahan aspirin. AHA menganjurkan pemberian klopidogrel bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9 bulan.
Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari.
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada permukaan platelet dan dengan
demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaanya pada UA/NSTEMI terutama berdasarkan penelitian
Clopidogrel in Unstable Angina To Prevent Recurrent Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel for The
reduction of Events During Observation (CREDO). Efek bermanfaat ditemukan unutk semua subkelompok,
termasuk kelompok tanpa deviasi segmen ST dan kelompok yang memiliki skor risiko TIMI rendah. Namun,
klopidogrel dikaitkan dengan peningkatan pendarahan mayor dan minor, sejalan dengan kecenderungan
peningkatan pendarahan yang mengancam jiwa (life-threatening bleeding).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian, maka klopidogrel direkomendasi sebagai obat lini pertama (first-line
drug) pada UA/NSTEMI, kecuali mereka dengan risiko tinggi pendarahan dan pasien yang memerlukan CABG
segera. Klopidogrel sebaiknya diberikan pada pasien UA/NSTEMI dengan kondisi:
Direncanakan untuk mendapat pendekatan non-invasif dini
Diketahui memiliki kontraindikasi untuk operasi
Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama > 24-36jam.

Glikoprotein IIb/IIIa
17
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GR Iib/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada proses agregasi
platelet. Karena GPIIb/IIIa inhibitor menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat
dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.3 macam obat golongan ini yaitu: absiksimab, suatu antibodi
monoklonal; eptifibatid, suatu siklik heptapeptid; dan tirofiban, suatu nonpeptid mimetik. Tirofiban dan
eptifibatid harus diberikan bersama aspirin dan heparin pada pasien dengan iskemi terus-menerus atau pasien
risiko tinggi dan pasien yang direncanakan untuk tindakan PCI. Abciximab disetujui untuk pasien dengan UA
dan NSTEMI yang direncanakan untuk tindakan invasif di mana PCI direncanakan dalam 12 jam.

Terapi antikoagulan
UFH (Unfractionated heparin)
Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai polisakarida yang berbeda
panjangnya dengan aktivitas antikoagualn yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin, akan
bekerja menghambat trombin dan faktor Xa. Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalam tujuh
tahun penelitian acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah digunakan dalam tatalaksana UA/NSTEMI untuk
lebih dari 15 tahun. Namun demikian terdapat kerugian pada penggunaan UFH. Produksi antbodi antiheparin
mungkin berhubungan dengan heparin-induced thrombositopenia. Ikatan ini menimbulkan efek antikoagulan
yang tidak menentu, memerlukan monitor lebih sering terhadap activated partial thromboplastin time (aPTT),
pengaturan dosis dan membutuhkan infus intravena kontinu.
LMWH (Low Molecular Weight Heparin)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin. Kebanyakan mengandung
sakarida kurang dari 18 jam dan hanya bekerja pada faktor Xa.LMWH di Indonesia adalah dalteparin,
nadroparin dan enoksaparin. Kerugian pada penggunaan UFH sebagian besar dapat diatasi dengan penggunaan
LMWH. Pentingnya pemantauan efek antikoagulan tidak diperlukan dan kejadian trombositopenia yang
diinduksi heparin berkurang. LMWH adalh inhibitor utama pada sirkulasi trombin dan juga faktor Xa sehingga
obat ini mempengaruhi tidak hanya kinerja trombin dalam sirkulasi (efek anti factor IIa), tapi juga mengurangi
pembentukan trombin (efek anti factor Xa).

Strategi invasif dini versus konservatif dini


Trial klinis multipel membuktikan keuntungan dari strategi invasib yang dini pada pasien dengan risiko
tinggi seperti pasien dengan faktor risiko multipel, deviasi segmen ST, dan/atau biomarker yang positif (Tabel
kls I.). Pada strategi ini, arteriografi koroner dilakukan dalam 48jam setelah admisi, setelah diberikan terapi anti
iskemik dan anti trombotik. Ini disusuli dengan revaskularisasi koroner (PCI atau CABG), tergantung anatomi
koroner pasien.
Strategi ini adalah kos efektif buat pasien dengan risiko tinggi. Pada pasien dengan risiko rendah, hasil
dari strategi invasif hampir sama dengan strategi konservatif dini, dimana pasien mendapat terapi anti iskemik
dan anti trombotik diikuti dengan watchful waiting. Arteriografi hanya dilakukan jika terdapat nyeri dada
pada waktu istirahat, perubahan pada ST segmen atau adanya bukti iskemia pada stress test.
Tabel 3 : Rekomendasi Klas I Untuk Penggunaan Strategi Invasif Dini
angina rekuren saat intirahat / aktivitas tingkat rendah walaupun mendapat
terapi
Peninggian troponin I atau T
Depresi segmen ST baru
Angina/iskemia rekuren baru dngan gejala gagal jantung kongestif, ronki.
regurgitasi mitral
Tes stress positif
Fraksi ejeksi kurang dari 40%
Penurunan tekanan darah
Takikardia ventrikel sustained
PCI < 6 bulan, CABG sebelumnya

18
Tes stres noninvasif sebaiknya dilakukan pada pasien risiko rendah, dan pasien yang hasil tesnya
menunjukkan gambaran risiko tingi sebaiknya segera menjalani arteriografi koroner dan berdasarkan temuan
anatomi revaskularisasi dapat dilakukan. Arteriografi koroner dapat dipilih pada pasien-pasien dengan tes
positif tapi tanpa temuan risiko tinggi.

Tatalaksana Predischarge dan Pencegahan Sekunder


Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai berat badan yang optimal, nasihat diet,
penghentian merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi dan tatalaksana intensif diabetes melitus dan deteksi
adanya diabetes yang tidak dikenali sebelumnya.

3. Tatalaksana Infark Miokard Dengan Elevasi ST

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan
implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,
pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Pedoman (guideline) yang digunakan dalam
tatalaksana IMA dengan elevasi ST adalah dari ACC/AHA 2004. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan
kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang
kardiologi intervensi).

A. Tatalaksana Pra Rumah Sakit


Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu: aritmia dan
pump failure. Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel
mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi
pada jam pertama. Elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
Segera memanggil tim medis emergensi ytang dapat melakukan tindakan resusitasi.
Transportasi pasien ke RS yang mempunyai fasilitas ICU serta staf medis dokter dan perawat yang
terlatih.
Melakukan terapi reperfusi.

B. Tatalaksana di Ruang Emergensi


Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
Mengurangi / menghilangkan nyeri dada
Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,
Tiase pasien risiko rendah ke ruangan tang tepat di rumah sakit
Menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI

C. Tatalaksana Umum
1. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien
STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dnegan dosis 0.4mg dan dapat diberikan samapai 3 dosis
dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan preload dan meningkatkan
suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah
kolateral. Jika nyeri dada terus berlansung dapat diberikan NTG intravena (iv). NTG juga diberikan untuk
mengendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau pasien yang
dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien yang menggunakan phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil
dalam 24 jam karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
19
3. Mengurangi/ Menghilangkan Nyeri Dada
Hal ini sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivitas simpatis yang menyebabkan
vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri
dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20mg. Efek samping yang perlu diwaspadai adalh konstriksi vena dan arteriolar
melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling venayang akan mengurangi curah jantung dan
tekanan arteri. Efek ini dapat diatasi dngan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan
penambahan cairan IV dengan NaCl 0.9%.
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindrom
koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal
dengan dosis 160-325mg di ruangan EMG. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162mg.

Penyekat Beta
Diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5mg setiap 2-
5menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60x/menit, tekanan darah sistolik >100
mmHg, interval PR<0.24detik dan ronki tidak lebih dari 10cm dari diafragma. Lima belas menit setelah
dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam selama 48jam, dan
dilanjutkan 100mg setiap 12 jam.
Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi
ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikular yang maligna
a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Biasanya angioplasty dan atau stenting (CABG) tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI
primer. Akan efektif pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI
primer lebih efektif bila dibandingkan fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang
teroklusi dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan panjang yang lebih baik.
b. Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak
masuk. Tujuan utama adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Antara obat fibrinolitik
yang digunakan yaitu:
- Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak
boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak
jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens pendarahan
intracranial yang rendah.
- tissue plasmibnogen Activator (tPA, alteplase)
Menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA
dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih mahal daripada SK dan resiko pendarahan
intracranial lebih tinggi.
- Reteplase ( Retavase)
Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap
plasminogen activator inhibitor (PAI-1)

D. Terapi Farmakologis
1. Antitrombotik

20
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti klinis dan
laboratories bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan utama pengobatan adalah
untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah
menurunkan tedensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Dosis yang
direkomendasi adalah bolus 60U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan dengan infus inisial 12U/kg perjam
(maksimum 1000U/jam). Activated partial thromboplastin time selama pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractinated heparin. Pemberian
UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA
atau TNK) membantu trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark.

2. Penyekat beta
Manfaat penyekat beta pada STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi segera jika obat diberikan secara
akut dan yang diberkan jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark.
Pemberian secara iv membaiki hubungan serta kebutuhan oksigen moikard, mengurangi nyeri, mengurangi
luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
3. ACE inhibitor
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan
penambahan aspirin dan penyekat beta. Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien
STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung,
pada pasien dengan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif.

Komplikasi STEMI

1. Disfungsi ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan ketebalan pada
segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling ventricular dan umumnya
mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera
setelah infark, ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut hasil ini berasal dari ekspansi infark. Selanjutnya
terjadi pula pemanjangan segmen non infark, mengakibatan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona
infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark
dengan dilatasi pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata,
lebih sering terjadi gagal jantung dengan prognosis yang teruk
2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit karena STEMI. Perluasan
nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10
hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung
S3 dan S4 gallop. Pada roentgen sering dijumpai kongesti paru.
3. Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90% ditemukan selama
perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunayi penyakit arteri koroner
multivessel.

4. Infark ventrikel kanan


Sekitar sepertiga pasien dengan infark posteroposterior menunjukkan sekurang-kurangnya nekrosis
ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas primer pada ventrikel kanan. Infark
ventrikel kanan secara klinis menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis,
tanda Kussmauls, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada sadapan EKG sisi
kanan, terutama sadapan V4R sering dijumpai pada 24 jam pertama pasien infark ventrikel kanan. Terapi terdiri

21
dari ekspansi volume untuk mempertahankan preload ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk
meningkatkan tampilan dengan reduksi takanan arteri pulmonalis.

5. Aritmia pasien pasca STEMI


Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala. Mekanisme aritmia
terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemia dan
penghambatan konduksi di zona iskemia miokard.

6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada hampir semua pasien STEMI
dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif dalam mencegah aktifitas ektopik ventrikel pada pasien
STEMI dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi.
Hipokalemia dan hipomagnesemia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi
kalium serum diupayan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2 mmol/liter.
7. Takikardi dan Fibrilasi Ventrikel.
Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat terjadi tanpa tanda bahaya
aritmia sebelumnya.
8. Komplikasi mekanik
- Ruptur muskularpapilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventikel.
- Penatalaksaan : operasi

Prognosis
Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan pronosis pasien pasca IMA:
Klas Definisi Mortalitas (%)
I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 6
II + S3 dan / atau ronkhi basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
Tabel 4: Klasifikasi Killip pada IMA

22

Вам также может понравиться