Вы находитесь на странице: 1из 14

KONSEP EPISTEMOLOGI ISLAM

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islamic Worldview dan Konsep
Ilmu dalam Islam
Dosen Pengampu: Dr. Syamsul Hidayat, M.Ag

Disusun Oleh:

PUSPITA LESTARI
O100160065

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu ciri khas manusia adalah sifatnya yang selalu ingin tahu
tentang sesuatu hal. Rasa ingin tahu ini tidak terbatas yang ada pada dirinya,
juga ingin tahu tentang lingkungan sekitar, bahkan sekarang ini rasa ingin tahu
berkembang ke arah dunia luar. Rasa ingin tahu ini tidak dibatasi oleh
peradaban. Semua umat manusia di dunia ini punya rasa ingin tahu walaupun
variasinya berbeda-beda. Orang yang tinggal di tempat peradaban yang masih
terbelakang, punya rasa ingin yang berbeda dibandingkan dengan orang yang
tinggal di tempat yang sudah maju.
Rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam
sekitarnya dapat bersifat sederhana dan juga dapat bersifat kompleks. Rasa
ingin tahu yang bersifat sederhana didasari dengan rasa ingin tahu tentang apa
(ontologi), sedangkan rasa ingin tahu yang bersifat kompleks meliputi
bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan mengapa peristiwa itu terjadi
(epistemologi), serta untuk apa peristiwa tersebut dipelajari (aksiologi).
Ketiga landasan tadi yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi
merupakan ciri spesifik dalam penyusunan pengetahuan. Ketiga landasan ini
saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan
lainnya. Berbagai usaha orang untuk dapat mencapai atau memecahkan
peristiwa yang terjadi di alam atau lingkungan sekitarnya. Bila usaha tersebut
berhasil dicapai, maka diperoleh apa yang kita katakan sebagai ketahuan atau
pengetahuan.
Pada makalah ini, penulis akan membahas salah satu dari penyusunan
pengetahuan yang termasuk dalam ranah filsafat ilmu yaitu epistemologi yang
akan dipadukan dalam konsep Islami, sehingga membentuk suatu pandangan
epistemologi Islam.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian epistemologi Islam?
2. Apa saja sumber pengetahuan?
3. Bagaimana model pemikiran epistemologi Islam?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian epistemologi Islam
2. Untuk mengetahui asal sumber pengetahuan
3. Untuk mengetahui model pemikiran epistemologi Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi Islam


Ditinjau secara etimologis, kata epistemologi berasal dari bahasa
Yunani episteme yang berarti pengetahuan, dan kata logos yang berarti teori.
Sehingga dapat dikatakan kata epistemologi adalah teori pengetahuan.1
Sedangkan secara terminologi, menurut Bertens epistemologi ialah
suatu studi kritis tentang prinsip-prinsip, hipotesa-hipotesa, dan hasil-hasil
berbagai ilmu yang bertujuan menentukan nilai dan jangkauan objektifnya.
Selain itu, epistemologi juga merupakan suatu refleksi kritis tentang
pengetahuan manusiawi pada umumnya.2
Sementara Harun Nasution membatasi epistemologi sebagai ilmu yang
membahas mengenai hakikat dari pengetahuan, dan bagaiman pengetahuan itu
diperoleh. Ia menambahkan bahwa hakikat di sini yaitu keadaan mental yang
memfalsifikasikan konsep dengan realitas.3
Jika dikaitkan dengan Islam, maka epistemologi Islam dapat dipahami
sebagai teori pengetahuan atau filsafat ilmu yang dijiwai oleh nilai-nilai dan
ajaran Islam dan didedikasikan sebagai ibadah (pengabdian) kepada Sang
Pencipta sebagaiman firman Allah dalam surat adz-Dzariyat ayat 56:
Dan tidaklah Ku-ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
menyembah (beribadah) kepada-Ku.

B. Sumber Pengetahuan
Louis Q. Kattsof sebagaimana dikutip oleh Juhaya S. Praja mengatakan
bahwa sumber pengetahuan manusia itu ada lima macam, yaitu: 1. Empiris yang
melahirkan aliran empirisme, 2. Rasio yang melahirkan aliran rasionalisme, 3.

1
Edi Susanto, Dimensi Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenamedia Group, 2016), hlm.
107.
2
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Perancis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001),
hlm. 161.
3
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm. 7.

3
Fenomena yang melahirkan fenomenologi, 4. Intuisi yang melahirkan aliran
intuisionalisme, dan 5. Kritisisme, metode ilmiah yang menggabungkan antara
aliran rasionalisme dan empirisme. Yang disebut terakhir telah mewarnai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di seluruh universitas di dunia
ini.4
Dalam Islam sendiri, meskipun dengan kalimat dan kata yang sedikit
berbeda antara satu dengan yang lain, namun bisa ditarik benang merahnya,
bahwa sumber-sumber ilmu pengetahuan menurut Islam antara lain adalah:
senses/indera, akal, hati (qalb), dan yang utama di atas semua itu adalah wahyu.
Pembahasan tentang sumber-sumber dalam epistemologi, pandangan
kaum muslimin sangat beragam. Dari sekian banyak pandangan para ilmuan
dan filosof muslim, kita dapat mengeneralisasi sumber-sumber tersebut kepada
tiga bagian, yakni: indera, akal, dan hati.5
Keseluruhan sumber-sumber ini secara literal menurut Quraish Shihab
dijustifikasikan dalam Alquran (QS. an-Nahl [16]: 78):
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan
dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk
memperoleh pengetahuan).
Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut mengisyaratkan penggunaan
empat sarana yaitu: telinga, mata (penglihatan), akal, dan hati.6
Dari berbagai pendapat tersebut di atas, dapat diuraikan bahwa sumber-
sumber ilmu pengetahuan antara lain, yaitu:
1. Senses/Indera
Sebagai salah satu sumber (sebagian orang menyebutnya alat)
pengetahuan, indera mempunyai peranan yang amat penting. Begitu
pentingnya sehingga oleh aliran filsafat empirisme, indra dipandang

4
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Bandung: Yayasan Piara, 1997), hlm. 17.
5
Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 19.
6
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Alquran, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 437.

4
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Indera adalah sumber awal
menuju pengenalan terhadap alam sekeliling kita.
Ibnu Sina, dengan teorinya yang sangat popular tentang al-nafs
(jiwa), mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari indera luar
dan indera dalam (batin). Indera luar memberi suatu pengalaman, kemudian
pengalaman itu dirasionalkan oleh indera dalam menjadi pengetahuan.
Mengetahui dari luar maksudnya dengan panca indera, yaitu: indera
melihat (al-Bashr), mendengar (al-sama), mencium (al-samma), merasa
dengan lidah (al-zauq), dan merasa dengan sentuhan (al-lams).7
2. Akal
Akal sebagai sumber ilmu pengetahuan oleh Ibnu Sina
dikelompokkan dalam indera batin. Mengetahui dari dalam maksudnya
adalah dengan indera batin.
Selanjutnya Ibnu Sina membagi kemampuan penginderaan batin
manusia dalam lima tahap, yaitu:
1) Indera bersama atau al-his al-musytarak
2) Indera penggambar atau al-khayal wal al-musawwarah
3) Indera pereka atau al-mutakhayyilah
4) Indera penganggap atau al-wahmiah
5) Indera pengingat atau al-hafizah al-zakirah8

Kelima indera batin tersebut dikatakan Ibnu Sina sebagai daya-daya


dari jiwa binatang atau al-nafs al-hayawaniyah, Selain dari indera-
indera itu, menurutnya manusia juga memiliki jiwa tumbuh-tumbuhan
(al-nafs al-nabatiyah), dan jiwa manusia (al-nafs al insaniyah), yang
memiliki daya untuk berpikir (quwah an-natiqah) atau yang disebut juga
dengan akal.9

7
Ibnu Sina, Ahwal an-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fuad al-Ahwani, Cet. I, (Mesir: Isal al-Babi
al-Halabi wal Syirkuh, 1952), hlm. 59-60.
8
Ibid, hlm.62
9
Ibid.

5
Akal ini kemudian dibedakannya lagi menjadi dua macam, yaitu
akal praktis (amilah) dan akal teoritis (alimah). Akal praktis akan
mengontrol jiwa kebinatangan, yang kalau berhasil maka jadilah seseorang
itu berakhlak mulia, dan sebaliknya. Sedangkan akal teoritis memiliki daya
untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tidak pernah ada dalam
materi, mengetahui yang didominasi oleh pengetahuan-pengetahuan yang
abstrak, seperti Tuhan, ruh, malaikat, dan dengan daya inilah akan timbul
marifah.

3. Hati/Qalb
Sebagian orang menyebut hati (qalb) ini dengan intuisi. Kalangan
sufi mengklaim bahwa intuisi lebih unggul ketimbang akal. Hati dapat
memahami pengalaman langsung kadang-kadang tidak seperti yang
dikonsepsikan akal. Hati juga bisa mengenal objeknya secara lebih akrab
dan langsung.
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui
proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pikirannya pada
sesuatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan
tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia
sudah sampai situ. Jawaban permasalahan yang sedang dipikirkannya
muncul dibenaknya bagaikan kebenaran yang membukakan pintu.
4. Ilham dan Wahyu
Tentang hubungan antara ilham dan wahyu, Ahmad Zuhri mengutip
pendapat al-Ghazali yaitu, bahwa ilham dan wahyu mempunyai sumber
yang sama, demikian juga dengan sebagian makna-maknanya. Ilham dan
wahyu merupakan ilmu rabbani yang diajarkan kepada manusia, keduanya
adalah cara memperoleh ilmu.10
Islam meyakini bahwa sumber utama dari segala ilmu dan
pengetahuan manusia dalam tak lain adalah wahyu Ilahi. Semua yang

10
Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir Berinteraksi dengan Alquran Versi Imam Al-Ghazali
(Bandung: Cita Pustaka Media, 2007), hlm. 30.

6
terkandung dalam wahyu adalah benar adanya. Penilaian terhadap sesuatu
hampir semuanya merujuk kepada wahyu. Dari sisi lain, wahyu
menekankan pentingnya menjaga dan mempotensialkan ketiga sumber
ilmu pengetahuan yang telah disebutkan sebelumnya. Ketertinggalan dan
kemunduran manusia dalam memeroleh ilmu pengetahuan tak lain
disebabkan oleh diri manusia itu sendiri, yang lalai dan malas
menggunakan segala potensi yang telah dianugerahkan kepadanya.
Di kalangan kaum muslimin terdapat dua tipe pemikiran. Pertama,
wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan ilmiyah, dan kedua, wahyu
sebagai petunjuk. Jalaluddin al-Suyuthi, Muhammad Shadiq al-Rafii, Abd
al-Razzaq al-Naufal dan Maurice Bucaille, mereka tergolong kepada
kelompok pertama. Sedangkan Ibn Ishak al-Syathibi termasuk kelompok
kedua. Mahdi Ghulsyani memilih berada di antara dua kelompok tersebut.
Ia menekankan wakyu itu sebagai petunjuk bagi manusia yang
mengandung ilmu pengetahuan dan manusia itu diperintahkan untuk
senantiasa menggunakan indera, akal, dan hatinya untuk menggali
pengetahuan dari alam ini atas bimbingan wahyu itu sendiri.11

C. Model Pemikiran Epistemologi Islam


Dalam kajian epistemologi barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran,
yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran
filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam,
yakni teks suci, akal dan pengalaman probadi. Dalam kajian pemikiran Islam
terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan
(epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berfikir dalam Islam, yakni
bayani, burhani dan irfani, yang masing-masing mempunyai pandangan yang
sama sekali berbeda tentang pengetahuan.
Metode berfikir dalam paradigma ahkamy yang terdapat dalam ilmu
tafsir, hadits, fiqh, dan ilmu kalam oleh al-Jabari disebut dalil al-Bayani.

11
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Alquran, terj. Agus Efendi, (Bandung: Mizan,
1998), hlm. 131.

7
Sedangkan metode dalam filsafat Islam yang membahas paradigma falsafy
disebut dengan istilah dalil al-Burhany. Dan metode berfikir yang membahas
paradigma wijdany dalam ilmu tasawuf disebut dalil al-Irfany. Produk pikir
yang diperoleh oleh masing-masing metode berpikir juga berbeda. Jika dalil al-
bayani menghasilkan al-Ilm al- Tauqify, maka dalil al-burhani menghasilkan
al-Ilm al-Husuli dan dalil irfani menghasilkan al-Ilm al-Hudury.12
1. Model Berpikir Bayani
Secara bahasa, bayani bermakna sebagai penjelasan, pernyataan,
ketetapan. Sedangkan secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang
bersumber pada nash, ijma, dan ijtihad. Jika dikaitkan dengan
epistemologi, maka pengertiannya adalah studi filosofis terhadap struktur
pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah kebenaran
mutlak. Adapun akal hanya menempati tingkat sekunder dan bertugas
hanya untuk menjelaskan teks yang ada.
Dalam tradisi keilmuan Islam, corak bayani sangat dominan.
Dengan segala karakteristiknya, corak bayani bukanlah sebuah corak yang
sempurna. Salah satu kelemahannya adalah kurang peduli terhadap isu-isu
keagamaan yang bersifat konstektual. Padahal, jika ingin mengembangkan
pola berfikir bayani, maka mau tidak mau harus menghubungkan dengan
pola berfikir irfani dan burhani. Jika masing-masing tetap kokoh pada
pendiriannya dan tidak mau membuka diri, berdialog, dan saling
melengkapi satu sama lain, sulit rasanya studi Islam dan pengembangan
ilmu-ilmu keislaman mampu menjawab tantangan kontemporer yang terus
berkembang tiada henti.
Epitemologi bayni adalah pendekatan dengan cara menganalisis
teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam
studi Islam dapat dikelompokkan secara umum menjadi dua, yakni:
1) Teks nash ( Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW)
2) Teks non nash berupa karya para ulama

12
Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 25.

8
Obyek kajian yang umum dengan pendekatan bayani adalah:
1) Gramatika dan sastra (nahwu dan balagah)
2) Hukum dan teori hukum (fiqh dan ushul fiqh)
3) Teologi
4) Dalam beberapa kasus di bidang ilmu-ilmu al-Quran dan hadist13

Corak berfikir yang diterapkan dalam epistemologi bayani ini


cenderung deduktif, yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content).

2. Model Berpikir Burhani


Kata burhani diambil dari bahasa Arab, al-burhan yang berarti
argumentasi yang kuat dan jelas. Sedangkan kata yang memiliki makna
sama dengan al-burhan dalam bahasa Inggris adalah demonstration. Arti
dari kata demonstration adalah berfikir sesuai dengan alur tertentu atau
penalaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu,
pengetahuan demonstratif merupakan pengetahuan yang integratif, dan
sistematis. Ciri daripada pengetahuan demonstratif ada tiga. Pertama,
pokok bahasannya jelas dan pasti. Kedua, universal dan tidak
partikular. Ketiga, memiliki peristilahan teknis tertentu.
Menurut Abid al-Jabiri, burhan dalam logika adalah aktivitas
intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi dengan cara
konklusi atau deduksi. Sedangkan dalam pengertian umum, burhan
merupakan semua aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran
suatu proposisi.14
Metode burhani pada dasarnya merupakan logika, atau metode
penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan
kekeliruan dari suatu pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan
memerhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan
ilmiah.
Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut al-Ilm al-
Husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematiskan hanya
melalui premis-premis logika. Metode burhani ini biasa digunakan dan
dijumpai dalam filsafat paripatetik yang secara eksklusif mengandalkan
deduksi rasional dengan menggunakan silogisme yang terdiri dari premis-
premis dan konklusi. Metode ini dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi,
Ibn Sina dan Ibn Rusyd.

13
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Academia Tazaffa, 2009), hlm.
43.
14
Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 82.

9
Berbeda dengan epistemologi bayani, epistemologi burhani
menempatkan akal dalam otoritas kebenaran. Jika dalam epistemologi
bayani setiap proses pemikiran pasti berangkat dari teks menuju makna,
pada epistemologi burhani justru sebaliknya, yaitu makna lebih dulu lahir
dari kata-kata.15

3. Model Berpikir Irfani


Irfan dalam bahasa Arab semakna dengan marifah yang diartikan
dengan al-ilm. Di kalangan sufi, kata irfan dipergunakan untuk
menunjukkan jenis pengetahuan yang tertinggi, yang dihadirkan ke
dalam qalb dengan cara kasyf atau ilham. Di kalangan kaum sufi sendiri,
marifah diartikan sebagai pengetahuan langsung tentang Tuhan
berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani adalah falsafah isyraqi yang
memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu
secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif. Dengan pemaduan
tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang
mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqiyah. Pengalaman
batin Rasulullah saw dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh
konkrit dari pengetahuan irfani.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyekyif,
namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang
dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka
validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat
partisipatif.
Dalam filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan
intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui
proses penalaran tertentu. 16
Dalam surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw.,
dijelaskan bahwa ada dua cara mendapatkan pengetahuan. pertama melalui

15
Ibid, hlm. 84-85.
16
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam Cet. I,
(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 60-61.

10
"pena" (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui
pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan
istilah 'llm Ladunny seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Haidir:


Artinya: Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Q.S.
Al-kahfi: 65).

BAB III

11
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, kami dapat menarik kesimpulan bahwa:


Epistemologi Islam ialah teori pengetahuan atau filsafat ilmu yang dijiwai oleh
nilai-nilai dan ajaran Islam dan didedikasikan sebagai ibadah (pengabdian)
kepada Sang Pencipta.
Sumber pengetahuan manusia menurut ilmuwan Barat ada lima macam, yaitu:
empiris, rasio, fenomena, intuisi dan kritisisme (perpaduan antara empiris dan
rasio).
Sumber-sumber ilmu pengetahuan menurut Islam antara lain adalah:
senses/indera, akal, hati (qalb), ilham dan wahyu.
Model pemikiran epistemologi Islam ada tiga macam:
Bayani (Metode berfikir dalam paradigma ahkamy yang terdapat dalam
ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan ilmu kalam)
Burhani (metode dalam filsafat Islam yang membahas paradigma falsafy)
Irfani (metode berfikir yang membahas paradigma wijdany dalam ilmu
tasawuf)

DAFTAR PUSTAKA

12
Sumbulah, Umi. 2009. Konfigurasi Fundamentalisme Islam. Malang: UIN
Malang Press.
Kadir, Muslim. 2003. Ilmu Islam Terapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ghulsyani, Mahdi. 1998. Filsafat Sains Menurut Alquran, terj. Agus Efendi.
Bandung: Mizan.
Kartanegara, Mulyadhi. 2003. Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar
Epistemologi Islam. Cet. I; Bandung: Mizan.
K. Bertens. 2001. Filsafat Barat Kontemporer Perancis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Mulyadi Kartanegara, 2003. Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan.
Naim, Ngainun. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras.
Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia
Tazaffa..
Nasution, Harun. 2003. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Shihab, Muhammad Quraish. 1996. Wawasan Alquran. Bandung: Mizan.
Sina, Ibnu. 1952. Ahwal an-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fuad al-Ahwani, Cet.
I (Mesir: Isal al-Babi al-Halabi wal Syirkuh.
S. Praja, Juhaya. 1997. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Bandung: Yayasan
Piara.
Susanto, Edi. 2016. Dimensi Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Prenamedia
Group
Zuhri, Ahmad. 2007. Risalah Tafsir Berinteraksi dengan Alquran Versi Imam
Al-Ghazali. Bandung: Cita Pustaka Media.

13

Вам также может понравиться