Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1. Pengertian
Ikterus adalah gejala kuning pada sclera kulit dan mata akibat bilirubin yang
berlebihan didalam darah dan jaringan. Normalnya bilirubin serum kurang dari 9
mol/L (0,5 mg%). Ikterus nyata secara klinis jika kadar bilirubin meningkat diatas 35
mol/L (2 mg%). (Wim de Jong et al. 2005)
2. Epidemiologi
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi
cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat
berbentuk fisiologik dan sebagian lagi patologik yang dapat menimbulkan gangguan
yang menetap atau menyebabkan kematian.
3. Klasifikasi
2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin
dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan
dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar
bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang
bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
3. Kern Ikterus.
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak
terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus, hipokampus,
nukleus merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV. Kern ikterus ialah
ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup bulan
dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik
berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara
klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara kronik.
4. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor : (Ika FKUI)
Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1) Produksi yang berlebihan
2) Gangguan dalam proses uptake dan konjungasi hepar
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan sebagai
berikut;
1. Polychetemia
2. Isoimmun Hemolytic Disease
3. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah
4. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid, kloramfenikol)
5. Hemolisis ekstravaskuler
6. Cephalhematoma
7. Ecchymosis
8. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu (atresia
biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia, hipotiroid jaundice ASI
9. Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya ikatan
albumin; lahir prematur, asidosis.
Klasifikasi ikterus
Prahepatik
Kelainan hemolitik, seperti sferositosis, malaria tropika berat, anemia pernisiosa, atau
transfuse darah yang tidak kompatibel.
Hepatic
Hepatitis A, B, C, D atau E, leptospirosis, mononucleosis.
Sirosis hepatis
Kolestasis karena obat (klorpromazin)
Zat yang meracuni hati seperti fosfor, kloroform, anestetik lain, karbontetrakloid
Tumor hati multiple (kadang)
Pascahepatik
Obstruksi saluran empedu didalam hepar
Sirosis hepatis
Abses hati
Hepatokolangitis
Tumor maligna primer atau sekunder
Obstruksi didalam lumen saluran empedu
Batu, askaris
Kelainan didinding saluran empedu
Atresia bawaan
Striktur traumatic
Tumor saluran empedu
Kempaan saluran empedu dari luar
Tumor kaput pancreas
Tumor ampula vater
Pancreatitis
Metastasis kekelenjar limf dilagamentum hepatoduodenale
Sumber : Ilmu Bedah Wim De Jong hal. 198
Daerah Luas Ikterus/bagian tubuh yang kuning Kadar Bilirubin Rata-rata serum bilirubin
indirek (umol/L)
5. Patofisiologi Ikterus
Untuk lebih memahami tentang patofisiologi ikterus maka terlebih dahulu akan
diuraikan tentang metabolisme bilirubin
1. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang
larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati.
Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan
kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan
menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
2. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z
berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan
peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar
atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran
empedu.
Pada derajat tertentu, Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya
efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah
otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya
dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila
kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui
sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah ,
Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).
6. Manifestasi Klinis
Pemeriksaan fisik :
1) Warna ikterik seperti kulit jeruk lemon (ikterik sedang) disertai anemia,
mengarah ke ikterik prahepatik.
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah;
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak
pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai
hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung
tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk)
kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat
dilihat pada ikterus yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
7. Komplikasi
Komplikasi dari hiperbilirubin dapat terjadi Kern Ikterus yaitu suatu kerusakan otak
akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum,
Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada
dasar Ventrikulus IV. Gambaran klinik dari kern ikterus adalah :
- Pada permulaan tidak jelas , yang tampak mata berputar-putar
- Letargi, lemas tidak mau menghisap.
- Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya epistotonus
- Bila bayi hidup, pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
- Dapat terjadi tuli, gangguan bicara dan retardasi mental.
Adapun komplikasi hiperbilirubin adalah :
Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari kemudian. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak
berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan
obstruksi empedu warna kuning kulit tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit
dikarenakan ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri. Tanpa mempersoalkan usia
kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti
memerlukan penilaian diagnostic lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin
langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan
darah, tes Coombs dan pemeriksaan apusan darah tepi. Bilirubinemia indirek,
retikulositosis dan sediaan apusan memperlihatkan petunjuk adanya hemolisis akibat
nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis, fibrosis kistis
dan sepsis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin indirek normal, maka
mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologis atau patologis.
a. Ikterus fisiologis.
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah 1
3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl /24 jam;
dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2 -3, biasanya mencapai
puncak antara hari ke 2 4, dengan kadar 5 6 mg/dl untuk selanjutnya
menurun sampai kadar 5 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai
kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 7 kehidupan.
b. Hiperbilirubin patologis.
Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang tinggi ,
berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 20 mg/dl pada
bayi aterm. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah akan memperlihatkan
kernikterus pada kadar yanglebihrendah(1015mg/dl).
9. Diagnosis Banding
A. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan Data
a. Riwayat Penyakit
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama, apakah
sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu tertentu baik dari dokter
maupun yang di beli sendiri, apakah ada riwayat kontak denagn penderiata sakit
kuning, adakah rwayat operasi empedu, adakah riwayat mendapatkan suntikan atau
transfuse darah. Ditemukan adanya riwayat gangguan hemolissi darah
(ketidaksesuaian golongan Rh atau darah ABO), polisitemia, infeksi, hematoma,
gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran pencernaan dan ASI, ibu menderita
DM.
b. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia,
Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
c. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
d. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal
keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan
mempelajari Hiperbilirubinemia .
e. Pola Kebutuhan sehari-hari.
Data dasar klien:
- Aktivitas / istirahat : Latergi, malas
- Sirkulasi : Mungkin pucat, menandakan anemia.
- Eliminasi : Bising usus hipoaktif, Pasase mekonium mungkin lambat, Feses
lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin,Urine gelap pekat, hitam
kecoklatan (sindrom bayi bronze)
- Makanan/cairan : Riwayat perlambatan/makan oral buruk, ebih mungkin disusui
dari pada menyusu botol, Palpasi abdomen dapat menunjukkan perbesaran l
imfa,hepar.
- Neurosensori : Hepatosplenomegali, atau hidropsfetalis dengan inkompatibilitas
Rh berat. Opistetanus dengan kekakuan lengkung punggung, menangis lirih,
aktivitas kejang (tahap krisis).
- Pernafasan : Riwayat afiksia
- Keamanan : Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus , Tampak ikterik pada
awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh, kulit hitam kecoklatan
sebagai efek fototerapi.
- Penyuluhan/Pembelajaran : Faktor keluarga, misal: keturunan etnik, riwayat
hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya, penyakit hepar,
distrasias darah (defisit glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD). Faktor ibu,
2. Pengelompokan Data
a. Data Subjektif
Riwayat afiksia
Riwayat trauma lahir
b. Data Objektif
Tampak ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian
distal tubuh.
Kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi
Hepatosplenomegali.
Tahap krisis: epistetanus, aktivitas kejang
Urine gelap pekat
Bilirubin total:
- Kadar direk > 1,0 1,5 mg/dL
- Kadar indirek > 5 mg/dL dalam 24 jam, atau < 20 mg/dL pada bayi cukup
bulan atau 15 mg/dL pada bayi pratern.
Protein serum total: < 3,0 g/dL
Golongan darah bayi dan ibu inkompatibilitas ABI, Rh.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul :
1. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, serta
peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder fototherapi.
2. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta peningkatan IWL
dan defikasi sekunder fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
deficit volume cairan dengan kriteria :
- Jumlah intake dan output seimbang
- Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
- Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
a. Kaji reflek hisap bayi
(Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi)
b. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
(R: menjamin keadekuatan intake )
c. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces
(R : mengetahui kecukupan intake )
d. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
(R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda dehidrasi )
e. Timbang BB setiap hari
(R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).
2. Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0 C.
Intervensi dan rasionalisasi :
a. Observasi suhu tubuh (aksilla) setiap 4 - 6 jam
(R : suhu terpantau secara rutin)
b. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres dingin
serta ekstra minum
(R : mengurangi pajanan sinar sementara)
c. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi
(R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari hipertermi).
3. Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
gangguan integritas kulit dengan kriteria :
tidak terjadi decubitus
Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.
Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal /
Bayi. EGC. Jakarta
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama.
Jakarta.
Amin, Hardi. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC
NOC Jilid 2. Mediaction. Jogjakarta