Вы находитесь на странице: 1из 16

Energi Batubara dan Teknologi

Teknologi Pembakaran Pada PLTU Batubara

POSTED ON JANUARY 16, 2016 UPDATED ON JANUARY 16, 2016

Pendahuluan

Klasifikasi kualitas batubara secara umum terbagi 2, yaitu pembagian secara ilmiah dalam hal
ini berdasarkan tingkat pembatubaraaan, dan pembagian berdasarkan tujuan penggunaannya.
Berdasarkan urutan pembatubaraannya, batubara terbagi menjadi batubara muda (brown
coal atau lignite), sub bituminus, bituminus, dan antrasit. Sedangkan berdasarkan tujuan
penggunaannya, batubara terbagi menjadi batubara uap (steam coal), batubara kokas (coking
coal atau metallurgical coal), dan antrasit.

Batubara uap merupakan batubara yang skala penggunaannya paling luas. Berdasarkan
metodenya, pemanfataan batubara uap terdiri dari pemanfaatan secara langsung yaitu
batubara yang telah memenuhi spesifikasi tertentu langsung digunakan setelah melalui proses
peremukan (crushing/milling) terlebih dulu seperti pada PLTU batubara, kemudian
pemanfaatan dengan memproses terlebih dulu untuk memudahkan penanganan (handling)
seperti CWM (Coal Water Slurry), COM (Coal Oil Mixture), dan CCS (Coal Cartridge
System), dan selanjutnya pemanfataan melalui proses konversi seperti gasifikasi dan
pencairan batubara

Pada PLTU batubara, bahan bakar yang digunakan adalah batubara uap yang terdiri dari kelas
sub bituminus dan bituminus. Lignit juga mulai mendapat tempat sebagai bahan bakar pada
PLTU belakangan ini, seiring dengan perkembangan teknologi pembangkitan yang mampu
mengakomodasi batubara berkualitas rendah.

Gambar 1. Skema pembangkitan listrik pada PLTU batubara

(Sumber: The Coal Resource, 2004)

Pada PLTU, batubara dibakar di boiler menghasilkan panas yang digunakan untuk mengubah
air dalam pipa yang dilewatkan di boiler tersebut menjadi uap, yang selanjutnya digunakan
untuk menggerakkan turbin dan memutar generator. Kinerja pembangkitan listrik pada PLTU
sangat ditentukan oleh efisiensi panas pada proses pembakaran batubara tersebut, karena
selain berpengaruh pada efisiensi pembangkitan, juga dapat menurunkan biaya
pembangkitan. Kemudian dari segi lingkungan, diketahui bahwa jumlah emisi CO2 per satuan
kalori dari batubara adalah yang terbanyak bila dibandingkan dengan bahan bakar fosil
lainnya, dengan perbandingan untuk batubara, minyak, dan gas adalah 5:4:3. Sehingga
berdasarkan uji coba yang mendapatkan hasil bahwa kenaikan efisiensi panas sebesar 1%
akan dapat menurunkan emisi CO2 sebesar 2,5%, maka efisiensi panas yang meningkat akan
dapat mengurangi beban lingkungan secara signifikan akibat pembakaran batubara. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa teknologi pembakaran (combustion technology)
merupakan tema utama pada upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan batubara secara
langsung sekaligus upaya antisipasi isu lingkungan ke depannya.

Pada dasarnya metode pembakaran pada PLTU terbagi 3, yaitu pembakaran lapisan tetap
(fixed bed combustion), pembakaran batubara serbuk (pulverized coal combustion /PCC), dan
pembakaran lapisan mengambang (fluidized bed combustion / FBC). Gambar 3 di bawah ini
menampilkan jenis jenis boiler yang digunakan untuk masing masing metode
pembakaran.

Gambar 2. Tipikal boiler berdasarkan metode pembakaran

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)

Pembakaran Lapisan Tetap

Metode lapisan tetap menggunakan stoker boiler untuk proses pembakarannya. Sebagai
bahan bakarnya adalah batubara dengan kadar abu yang tidak terlalu rendah dan berukuran
maksimum sekitar 30mm. Selain itu, karena adanya pembatasan sebaran ukuran butiran
batubara yang digunakan, maka perlu dilakukan pengurangan jumlah fine coal yang ikut
tercampur ke dalam batubara tersebut. Alasan tidak digunakannya batubara dengan kadar abu
yang terlalu rendah adalah karena pada metode pembakaran ini, batubara dibakar di atas
lapisan abu tebal yang terbentuk di atas kisi api (traveling fire grate) pada stoker boiler. Bila
kadar abunya sangat sedikit, lapisan abu tidak akan terbentuk di atas kisi tersebut sehingga
pembakaran akan langsung terjadi pada kisi, yang dapat menyebabkan kerusakan yang parah
pada bagian tersebut. Oleh karena itu, kadar abu batubara yang disukai untuk tipe boiler ini
adalah sekitar 10 15%. Adapun tebal minimum lapisan abu yang diperlukan untuk
pembakaran adalah 5cm.
Gambar 3. Stoker Boiler

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)

Pada pembakaran dengan stoker ini, abu hasil pembakaran berupa fly ash jumlahnya sedikit,
hanya sekitar 30% dari keseluruhan. Kemudian dengan upaya seperti pembakaran NOx dua
tingkat, kadar NOx dapat diturunkan hingga sekitar 250 300 ppm. Sedangkan untuk
menurunkan SOx, masih diperlukan tambahan fasilitas berupa alat desulfurisasi gas buang.

Pembakaran Batubara Serbuk (Pulverized Coal Combustion/PCC)

Saat ini, kebanyakan PLTU terutama yang berkapasitas besar masih menggunakan metode
PCC pada pembakaran bahan bakarnya. Hal ini karena sistem PCC merupakan teknologi
yang sudah terbukti dan memiliki tingkat kehandalan yang tinggi. Upaya perbaikan kinerja
PLTU ini terutama dilakukan dengan meningkatkan suhu dan tekanan dari uap yang
dihasilkan selama proses pembakaran. Perkembangannya dimulai dari sub critical steam,
kemudian super critical steam, serta ultra super critical steam (USC). Sebagai contoh PLTU
yang menggunakan teknologi USC adalah pembangkit no. 1 dan 2 milik J-Power di teluk
Tachibana, Jepang, yang boilernya masing masing berkapasitas 1050 MW buatan Babcock
Hitachi. Tekanan uap yang dihasilkan adalah sebesar 25 MPa (254.93 kgf/cm2) dan suhunya
mencapai 600/610 (1 stage reheat cycle). Perkembangan kondisi uap dan grafik
peningkatan efisiensi pembangkitan pada PCC ditunjukkan pada gambar 4 di di bawah ini.
Gambar 4. Perkembangan kondisi uap PLTU

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)

Pada PCC, batubara diremuk dulu dengan menggunakan coal pulverizer (coal mill) sampai
berukuran 200 mesh (diameter 74m), kemudian bersama sama dengan udara pembakaran
disemprotkan ke boiler untuk dibakar. Pembakaran metode ini sensitif terhadap kualitas
batubara yang digunakan, terutama sifat ketergerusan (grindability), sifat slagging,
sifat fauling, dan kadar air (moisture content). Batubara yang disukai untuk boiler PCC
adalah yang memiliki sifat ketergerusan dengan HGI (Hardgrove Grindability Index) di atas
40 dan kadar air kurang dari 30%, serta rasio bahan bakar (fuel ratio) kurang dari 2.
Pembakaran dengan metode PCC ini akan menghasilkan abu yang terdiri diri dari clinker
ash sebanyak 15% dan sisanya berupa fly ash.

Gambar 5. PCC Boiler

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)

Ketika dilakukan pembakaran, senyawa Nitrogen yang ada di dalam batubara akan
beroksidasi membentuk NOx yang disebut dengan fuel NOx, sedangkan Nitrogen pada udara
pembakaran akan mengalami oksidasi suhu tinggi membentuk NOx pula yang disebut
dengan thermal NOx. Pada total emisi NOx dalam gas buang, kandungan fuelNOx mencapai
80 90%. Untuk mengatasi NOx ini, dilakukan tindakan denitrasi (de-NOx) di boiler saat
proses pembakaran berlangsung, dengan memanfaatkan sifat reduksi NOx dalam batubara.
Gambar 6. Proses denitrasi pada boiler PCC

(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)

Pada proses pembakaran tersebut, kecepatan injeksi campuran batubara serbuk dan udara ke
dalam boiler dikurangi sehingga pengapian bahan bakar dan pembakaran juga melambat. Hal
ini dapat menurunkan suhu pembakaran, yang berakibat pada menurunnya
kadar thermal NOx.

Selain itu, sebagaimana terlihat pada gambar 6 di atas, bahan bakar tidak semuanya
dimasukkan ke zona pembakaran utama, tapi sebagian dimasukkan ke bagian di sebelah
atas burner utama. NOx yang dihasilkan dari pembakara utama selanjutnya dibakar melalui 2
tingkat. Di zona reduksi yang merupakan pembakaran tingkat pertama atau disebut pula
pembakaran reduksi (reducing combustion), kandungan Nitrogen dalam bahan bakar akan
diubah menjadi N2. Selanjutnya, dilakukan pembakaran tingkat kedua atau pembakaran
oksidasi (oxidizing combustion), berupa pembakaran sempurna di zona pembakaran
sempurna. Dengan tindakan ini, NOx dalam gas buang dapat ditekan hingga mencapai 150
200 ppm. Sedangkan untuk desulfurisasi masih memerlukan peralatan tambahan yaitu alat
desulfurisasi gas buang.

Pembakaran Lapisan Mengambang (Fluidized Bed Combustion/FBC)

Pada pembakaran dengan metode FBC, batubara diremuk terlebih dulu dengan
menggunakan crusher sampai berukuran maksimum 25mm. Tidak seperti pembakaran
menggunakan stoker yang menempatkan batubara di atas kisi api selama pembakaran atau
metode PCC yang menyemprotkan campuran batubara dan udara pada saat pembakaran,
butiran batubara dijaga agar dalam posisi mengambang, dengan cara melewatkan angin
berkecepatan tertentu dari bagian bawah boiler. Keseimbangan antara gaya dorong ke atas
dari angin dan gaya gravitasi akan menjaga butiran batubara tetap dalam posisi mengambang
sehingga membentuk lapisan seperti fluida yang selalu bergerak. Kondisi ini akan
menyebabkan pembakaran bahan bakar yang lebih sempurna karena posisi batubara selalu
berubah sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik dan mencukupi untuk proses
pembakaran.

Karena sifat pembakaran yang demikian, maka persyaratan spesifikasi bahan bakar yang akan
digunakan untuk FBC tidaklah seketat pada metode pembakaran yang lain. Secara umum,
tidak ada pembatasan yang khusus untuk kadar zat terbang (volatile matter), rasio bahan
bakar (fuel ratio) dan kadar abu. Bahkan semua jenis batubara termasuk peringkat rendah
sekalipun dapat dibakar dengan baik menggunakan metode FBC ini. Hanya saja ketika
batubara akan dimasukkan ke boiler, kadar air yang menempel di permukaannya (free
moisture) diharapkan tidak lebih dari 4%. Selain kelebihan di atas, nilai tambah dari metode
FBC adalah alat peremuk batubara yang dipakai tidak terlalu rumit, serta ukuran boiler dapat
diperkecil dan dibuat kompak.

Bila suhu pembakaran pada PCC adalah sekitar 1400 1500, maka pada FBC, suhu
pembakaran berkisar antara 850 900 saja sehingga kadarthermal NOx yang timbul dapat
ditekan. Selain itu, dengan mekanisme pembakaran 2 tingkat seperti pada PCC, kadar NOx
total dapat lebih dikurangi lagi.

Kemudian, bila alat desulfurisasi masih diperlukan untuk penanganan SOx pada metode
pembakaran tetap dan PCC, maka pada FBC, desulfurisasi dapat terjadi bersamaan dengan
proses pembakaran di boiler. Hal ini dilakukan dengan cara mencampur batu kapur (lime
stone, CaCO3) dan batubara kemudian secara bersamaan dimasukkan ke boiler. SOx yang
dihasilkan selama proses pembakaran, akan bereaksi dengan kapur membentuk gipsum
(kalsium sulfat). Selain untuk proses desulfurisasi, batu kapur juga berfungsi sebagai media
untuk fluidized bed karena sifatnya yang lunak sehingga pipa pemanas (heat exchanger tube)
yang terpasang di dalam boiler tidak mudah aus.

Gambar 7. Tipikal boiler FBC

(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)

Berdasarkan mekanisme kerja pembakaran, metode FBC terbagi 2 yaitu Bubbling FBC
dan Circulating FBC (CFBC), seperti ditampilkan pada gambar 7 di atas. Dapat dikatakan
bahwa Bubbling FBC merupakan prinsip dasar FBC, sedangkan CFBC merupakan
pengembangannya.

Pada CFBC, terdapat alat lain yang terpasang pada boiler yaitu cyclone suhu tinggi. Partikel
media fluidized bed yang belum bereaksi dan batubara yang belum terbakar yang ikut terbang
bersama aliran gas buang akan dipisahkan di cyclone ini untuk kemudian dialirkan kembali
ke boiler. Melalui proses sirkulasi ini, ketinggian fluidized bed dapat terjaga, proses denitrasi
dapat berlangsung lebih optimal, dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi dapat tercapai.
Oleh karena itu, selain batubara berkualitas rendah, material seperti biomasa, sludge, plastik
bekas, dan ban bekas dapat pula digunakan sebagai bahan bakar pada CFBC. Adapun abu
sisa pembakaran hampir semuanya berupa fly ash yang mengalir bersama gas buang, dan
akan ditangkap lebih dulu dengan menggunakan Electric Precipitatorsebelum gas buang
keluar ke cerobong asap (stack).

Gambar 8. CFBC Boiler

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)

Pada FBC, bila tekanan di dalam boiler sama dengan tekanan udara luar, disebut
dengan Atmospheric FBC (AFBC), sedangkan bila tekanannya lebih tinggi dari pada tekanan
udara luar, sekitar 1 MPa, disebut dengan Pressurized FBC(PFBC).

Faktor tekanan udara pembakaran memberikan pengaruh terhadap perkembangan teknologi


FBC ini. Untuk BubblingFBC berkembang dari PFBC menjadiAdvanced PFBC (A-PFBC),
sedangkan untuk CFBC selanjutnya berkembang menjadi Internal CFBC (ICFBC) dan
kemudian Pressurized ICFBC (PICFBC).

PFBC

Pada PFBC, selain dihasilkan panas yang digunakan untuk memanaskan air menjadi uap
untuk memutar turbin uap, dihasilkan pula gas hasil pembakaran yang memiliki tekanan
tinggi yang dapat memutar turbin gas, sehingga PLTU yang menggunakan PFBC memiliki
efisiensi pembangkitan yang lebih baik dibandingkan dengan AFBC karena mekanisme
kombinasi (combined cycle) ini. Nilai efisiensi bruto pembangkitan (gross efficiency) dapat
mencapai 43%.
Sesuai dengan prinsip pembakaran pada FBC, SOx yang dihasilkan pada PFBC dapat ditekan
dengan mekanisme desulfurisasi bersamaan dengan pembakaran di dalam boiler, sedangkan
NOx dapat ditekan dengan pembakaran pada suhu relatif rendah (sekitar 860) dan
pembakaran 2 tingkat. Karena gas hasil pembakaran masih dimanfaatkan lagi dengan
mengalirkannya ke turbin gas, maka abu pembakaran yang ikut mengalir keluar bersama
dengan gas tersebut perlu dihilangkan lebih dulu. Pemakaian CTF (Ceramic Tube Filter)
dapat menangkap abu ini secara efektif. Kondisi bertekanan yang menghasilkan pembakaran
yang lebih baik ini secara otomatis akan menurunkan kadar emisi CO2 sehingga dapat
mengurangi beban lingkungan.

Gambar 9. Prinsip kerja PFBC

(Sumber: Coal Note, 2001)

Untuk lebih meningkatkan efisiensi panas, unit gasifikasi sebagian (partial gasifier) yang
menggunakan teknologi gasifikasi lapisan mengambang (fluidized bed gasification)
kemudian ditambahkan pada unit PFBC. Dengan kombinasi teknologi gasifikasi ini maka
upaya peningkatan suhu gas pada pintu masuk (inlet) turbin gas memungkinkan untuk
dilakukan.

Pada proses gasifikasi di partial gasifier tersebut, konversi karbon yang dicapai adalah
sekitar 85%. Nilai ini dapat ditingkatkan menjadi 100% melalui kombinasi dengan
pengoksidasi (oxidizer). Pengembangan lebih lanjut dari PFBC ini dinamakan
dengan Advanced PFBC (A-PFBC), yang prinsip kerjanya ditampilkan pada gambar 10 di
bawah ini. Efisiensi netto pembangkitan (net efficiency) yang dihasilkan pada A-PFBC ini
sangat tinggi, dapat mencapai 46%.
Gambar 10. Prinsip kerja A-PFBC

(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)

ICFBC

Penampang boiler ICFBC ditampilkan pada gambar 11 di bawah ini.

Gambar 11. Penampang boiler ICFBC

(Sumber: Coal Note, 2001)

Seperti terlihat pada gambar, ruang pembakaran utama (primary combustion chamber) dan
ruang pengambilan panas (heat recovery chamber) dipisahkan oleh dinding penghalang yang
terpasang miring. Kemudian, karena pipa pemanas (heat exchange tube) tidak terpasang
langsung pada ruang pembakaran utama, maka tidak ada kekhawatiran terhadap keausan pipa
sehingga pasir silika digunakan sebagai pengganti batu kapur untuk media FBC. Batu kapur
masih tetap digunakan sebagai bahan pereduksi SOx, hanya jumlahnya ditekan sesuai dengan
keperluan saja.

Di bagian bawah ruang pembakaran utama terpasang windbox untuk mengalirkan angin
ke boiler, dimana angin bervolume kecil dialirkan melalui bagian tengah untuk menciptakan
lapisan bergerak (moving bed) yang lemah, dan angin bervolume besar dialirkan melewati
kedua sisi windbox tersebut untuk menimbulkan lapisan bergerak yang kuat. Dengan
demikian maka pada bagian tengah ruang pembakaran utama akan terbentuk lapisan bergerak
yang turun secara perlahan, sedangkan pada kedua sisi ruang tersebut, media FBC akan
terangkat kuat ke atas menuju ke bagian tengah ruang pembakaran utama dan kemudian turun
perlahan lahan, dan kemudian terangkat lagi oleh angin bervolume besar dari windbox.
Proses ini akan menciptakan aliran berbentuk spiral (spiral flow) yang terjadi secara kontinyu
pada ruang pembakaran utama. Mekanisme aliran spiral dari media FBC ini dapat menjaga
suhu lapisan mengambang supaya seragam. Selain itu, karena aliran tersebut bergerak dengan
sangat dinamis, maka pembuangan material yang tidak terbakar juga lebih mudah.

Kemudian, ketika media FBC yang terangkat kuat tersebut sampai di bagian atas dinding
penghalang, sebagian akan berbalik menuju ke ruang pengambilan panas. Karena pada ruang
pengambilan panas tersebut juga dialirkan angin dari bagian bawah, maka pada ruang
tersebut akan terbentuk lapisan bergerak yang turun perlahan juga. Akibatnya, media FBC
akan mengalir dari ruang pembakaran utama menuju ke ruang pengambilan panas kemudian
kembali lagi ke ruang pembakaran utama, membentuk aliran sirkulasi (circulating flow) di
antara kedua ruang tersebut. Menggunakan pipa pemanas yang terpasang pada ruang
pengambilan panas, panas dari ruang pembakaran utama diambil melalui mekanisme aliran
sirkulasi tadi.

Secara umum, perubahan volume angin yang dialirkan ke ruang pengambilan panas
berbanding lurus dengan koefisien hantar panas secara keseluruhan. Dengan demikian maka
hanya dengan mengatur volume angin tersebut, tingkat keterambilan panas serta suhu pada
lapisan mengambang dapat dikontrol dengan baik, sehingga pengaturan beban dapat
dilakukan dengan mudah pula.

Untuk lebih meningkatkan kinerja pembangkitan, proses pada ICFBC kemudian diberi
tekanan dengan cara memasukkan unit ICFBC ke dalam wadah bertekanan (pressurized
vessel), yang selanjutnya disebut dengan Pressurized ICFBC (PICFBC). Dengan mekanisme
ini maka selain uap air, akan dihasilkan pula gas hasil pembakaran bertekanan tinggi yang
dapat digunakan untuk memutar turbin gas sehingga pembangkitan secara kombinasi
(combined cycle) dapat diwujudkan.

Pembangkitan Kombinasi Dengan Gasifikasi Batubara

Peningkatan efisiensi pembangkitan dengan mekanisme kombinasi melalui pemanfaatan gas


sintetis hasil proses gasifikasi seperti pada A-PFBC, selanjutnya mengarahkan teknologi
pembangkitan untuk lebih mengintensifkan penggunaan teknologi gasifikasi batubara ke
dalam sistem pembangkitan. Upaya ini akhirnya menghasilkan sistem pembangkitan yang
disebut dengan Integrated Coal Gasification Combined Cycle (IGCC).

Karena tulisan ini hanya membahas perkembangan teknologi pembangkitan listrik, maka
penjelasan tentang bagaimana proses gasifikasi batubara berlangsung tidak akan diterangkan
disini.

IGCC

Garis besar diagram alir pembangkit listrik sistem IGCC ditampilkan pada gambar 12 di
bawah ini.
Gambar 12. Tipikal IGCC

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)

Seperti terlihat pada gambar, pada sistem ini terdapat alat gasifikasi (gasifier) yang
digunakan untuk menghasilkan gas, umumnya bertipe entrained flow. Yang tersedia di
pasaran saat ini untuk tipe tersebut misalnya Chevron Texaco (lisensinya sekarang dimiliki
GE Energy), E-Gas (lisensinya dulu dimiliki Dow, kemudian Destec, dan terakhir Conoco
Phillips ), dan Shell. Prinsip kerja ketiga alat tersebut adalah sama, yaitu batubara dan
oksigen berkadar tinggi dimasukkan kedalamnya kemudian dilakukan reaksi berupa oksidasi
sebagian (partial oxidation) untuk menghasilkan gas sintetis (syngas), yang 85% lebih
komposisinya terdiri dari H2 dan CO. Karena reaksi berlangsung pada suhu tinggi, abu pada
batubara akan melebur dan membentuk slag dalam kondisi meleleh (glassy slag). Adapun
panas yang ditimbulkan oleh proses gasifikasi dapat digunakan untuk menghasilkan uap
bertekanan tinggi, yang selanjutnya dialirkan ke turbin uap.

Oksigen yang digunakan untuk proses gasifikasi dihasilkan dari fasilitas Air Separation
Unit (ASU). Unit ini berfungsi untuk memisahkan oksigen dari udara melalui
mekanisme cryogenic separation, menghasilkan oksigen berkadar sekitar 95%. Selain
oksigen, pada ASU juga dihasilkan nitrogen yang digunakan sebagai
media inert untuk feedingbatubara ke gasifier, selain dapat pula digunakan untuk
menurunkan suhu pada combustor sehingga emisi NOx dapat terkontrol.

Pada gas sintetis, selain H2 dan CO juga dihasilkan unsur lain yang tidak ramah lingkungan
seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char. Oleh karena itu, gas harus diproses
terlebih dulu untuk menghilangkan bagian tersebut sebelum dikirim ke turbin gas. Gas buang
dari turbin gas kemudian mengalir ke Heat Recovery Steam Generator (HRSG) yang
berfungsi mengubah panas dari gas tersebut menjadi uap air, yang selanjutnya dialirkan
menuju turbin uap. Dengan mekanisme seperti ini, efisiensi netto pembangkitan yang
dihasilkan juga jauh melebihi pembangkitan pada sistem biasa (PCC) yang saat ini
mendominasi. Selain efisiensi pembangkitan, kelebihan lain IGCC adalah sangat rendahnya
kadar emisi polutan yang dihasilkan, fleksibilitas bahan bakar yang dapat digunakan,
penggunaan air yang 30-40% lebih rendah dibanding PLTU konvensional (PCC), tingkat
penangkapan CO2 yang signifikan, slag yang dapat dimanfaatkan untuk material pekerjaan
konstruksi, dan lain lain.
Sebagai contoh adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda, berkapasitas
250MW. Pembangkit ini menghasilkan efisiensi netto sebesar 43% (Low Heating Value),
dengan performansi baku mutu lingkungan yang sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan
sangat rendah yaitu kurang dari 10 ppm, kemudian efisiensi pembuangan sulfur di atas 99%,
tingkat emisi flyash, senyawa klorida dan logam berat mudah menguap yang bisa dibilang
nol, serta air limbah yang bisa diresirkulasi kembali sehingga tidak ada buangan air limbah ke
lingkungan.

Di samping kelebihan tersebut, terdapat pula kelemahan pada sistem IGCC yang
dikembangkan saat ini, misalnya, besarnya kapasitas pembangkitan yang ditentukan
berdasarkan banyaknya unit dan model turbin gas yang akan digunakan. Contohnya untuk
turbin gas GE Frame 7FA yang berkapasitas 275MW. Apabila IGCC akan dioperasikan
dengan kapasitas pembangkitan 275MW, berarti cukup 1 unit yang dipasang. Bila 2 unit yang
akan digunakan, berarti kapasitas pembangkitan menjadi 550MW, dan bila 3 unit maka akan
menjadi 825MW. Kemudian bila kapasitas pembangkitan yang diinginkan adalah di bawah
200MW, maka model yang dipakai bukan lagi GE Frame 7FA, tapi GE 7FA yang
berkapasitas 197MW. Demikian pula bila menghendaki kapasitas pembangkitan yang lebih
kecil lagi, maka GE 6FA yang berkapasitas 85MW dapat digunakan.

Dengan kombinasi antara model dan banyaknya unit turbin gas yang akan digunakan ini,
selain akan membatasi kapasitas pembangkitan pada IGCC, sebenarnya juga akan
mempersempit rentang operasi. Misalnya ketika akan menurunkan beban pada saat operasi
puncak, hal itu mesti dilakukan dengan menurunkan beban pada turbin gas. Penurunan beban
turbin gas ini otomatis akan menurunkan efisiensi pembangkitan dan akibat yang kurang baik
pada emisi polutan yang dihasilkan. Kelemahan lain yang perlu dicermati dari sistem IGCC
saat ini adalah ongkos pembangkitan per kW dan operation &maintenance (O & M) yang
lebih mahal, serta availability factor (AF) yang lebih rendah dibanding PCC.

Sejarah IGCC dimulai pada tahun 1970 ketika perusahaan STEAG dari Jerman Barat
mengembangan IGCC berkapasitas 170MW. Jauh setelahnya, proyek demonstration
plant IGCC bernama Cool Water diluncurkan di AS pada tahun 1984, yang mengoperasikan
IGCC berkapasitas 120MW sampai dengan tahun 1989. Sampai tulisan ini dibuat, sebenarnya
belum ada unit IGCC yang murni komersial. Penyebab utamanya adalah investasi
pembangunannya yang besar, serta teknologi IGCC yang belum terbukti. Teknologi IGCC
disini maksudnya adalah rangkaian proses dari keseluruhan bangunan (building block) yang
membentuk sistem IGCC utuh. Hal ini perlu ditekankan karena teknologi dari masing
masing unit pada IGCC misalnyagasifier, HRSG, turbin gas, turbin uap, dan yang lainnya
merupakan teknologi yang sudah terbukti. Selama perkembangan yang berlangsung sekitar
20 tahun lebih sejak proyek Cool Water, unit IGCC yang beroperasi secara komersial saat ini
baik di AS maupun di Eropa pada awalnya berstatusdemonstration plant. Contoh
beberapa plant IGCC tersebut adalah

Tampa Electric Polk 250MW IGCC Power Station, terletak di Florida, AS. IGCC ini
beroperasi sejak September 1996 dibawah proyek Tampa, menggunakan gasifier dari
Chevron Texaco (sekarang GE Energy). Bahan bakar yang digunakan adalah batubara
dan petroleum coke (petcoke). Masalah yang dihadapi adalah lebih rendahnya tingkat
konversi karbon dibandingkan dengan nilai yang direncanakan. Pernah pula
terjadi fauling padagas cooler.

Wabash River 260MW IGCC Power Station, terletak di Indiana, AS. Beroperasi sejak
September 1995 dibawah proyek Wabash River, pembangkit ini menggunakan teknologi
gasifikasi dari Global Energy (saat ini bagian dari Conoco Phillips). Sejak berakhirnya
proyek dari Departemen Energi AS (DOE) pada tahun 2001, bahan bakar yang digunakan
adalah petcoke 100%.

Nuon 250MW IGCC Power Station, terletak di Buggenum, Belanda. IGCC ini bermula dari
proyek Demkolec yang dimulai pada bulan Januari 1994. Teknologi yang digunakan adalah
dari Shell, yang bahan bakarnya adalah batubara dicampur dengan biomassa (sludge dan
sampah kayu) untuk lebih mengurangi emisi CO2. Masalah yang pernah terjadi adalah
kebocoran pipa gas cooler dan timbulnya fauling pada gas cooler ketika campuran sludge
sekitar 4-5%.

Gambar 13. Nuon IGCC, Buggenum

(Sumber: Thomas Chhoa, Shell Gas & Power, 2005)

Elcogas 300MW IGCC Power Station, terletak di Puertollano, Spanyol. Pembangkit IGCC
ini beroperasi sejak Juni 1996 dibawah proyek Puertollano, menggunakan teknologi
gasifikasi dari Prenflow (saat ini bagian dari Shell). Bahan bakarnya berupa
campuran petcoke dan batubara berkadar abu 40% dengan perbandingan 50:50. Di bawah
program dari Uni Eropa, plant ini direncanakan sebagai tempat untuk proyek pengambilan
CO2 (CO2 recovery) dan produksi H2.

Dengan mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya efisiensi pembangkitan yang tinggi,


faktor ramah lingkungan, dan teknologi gasifikasi yang sudah terbukti, upaya untuk lebih
mengurangi kelemahan IGCC sudah mulai dilakukan.

Selain dari segi biaya, dilakukan pula upaya untuk lebih meningkatkan efisiensi
pembangkitan, yaitu dengan menambahkan sel bahan bakar (fuel cell) ke dalam sistem IGCC.
Dengan demikian, akan terdapat 3 jenis kombinasi pembangkitan pada sistem yang baru ini
yaitu turbin gas, turbin uap, dan fuel cell. Metode pembangkitan ini disebut
dengan Integrated Coal Gasification Fuel Cell Combined Cycle (IGFC), yang diagram
alirnya ditampilkan pada gambar 16 di bawah ini.

Gambar 14. Tipikal IGFC

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)

Pada sel bahan bakar, pembangkitan listrik dilakukan secara langsung melalui reaksi
elektrokimia antara hidrogen dan oksigen sehingga tingkat kerugian energinya sedikit dan
efisiensi pembangkitannya tinggi. Hidrogen tersebut dapat berasal dari gas alam, gas bio, atau
gas hasil gasifikasi batubara. Berdasarkan material yang digunakan untuk elektrolitnya, sel
bahan bakar terbagi 4 yaitu Phosphoric-Acid Fuel Cell (PAFC), Molten Carbonate Fuel
Cell(MCFC), Solid-Oxide Fuel Cell (SOFC), dan Proton-Exchange Membrane Fuel
Cell (PEFC). Di bawah ini ditampilkan karakteristik dari keempat jenis sel bahan bakar
tersebut.

Tabel 1. Karakteristik Sel Bahan Bakar

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)

Dari tabel di atas terlihat bahwa sel bahan bakar yang sesuai untuk kombinasi pembangkitan
dengan turbin gas adalah SOFC, karena reaksinya menghasilkan suhu yang sangat tinggi.

Dibandingkan dengan PCC, pembangkitan dengan metode IGFC ini secara teoretis mampu
mengurangi emisi CO2sebesar 30%. Kelebihan lainnya adalah tingginya efisiensi
pembangkitan yang dapat dicapai yaitu minimal 55%. Disamping kelebihan tersebut, terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum IGFC benar benar dapat diaplikasikan secara
komersial. Yang pertama adalah urgensi pematangan teknologi IGCC, karena IGFC pada
dasarnya adalah pengembangan dari IGCC. Kemudian, perlunya pengembangan sel bahan
bakar yang berefisiensi tinggi tapi murah, untuk mendukung biaya pembangkitan yang
kompetitif ke depannya.

Penutup

Perkembangan teknologi pembakaran pada PLTU batubara telah disajikan di atas. Secara
umum dapat dikatakan bahwa suatu teknologi yang berkembang tidak terlepas dari hal pokok
yang disebut 3E, yaitu Engineering (sisi teknis), Economy (sisi ekonomis),
dan Environment (sisi lingkungan). Pada tahap awal, faktor Economy mungkin menjadi
pertimbangan utama untuk pembangunan fasilitas pembangkitan, diikuti Engineering, dan
terakhir Environment. Namun seiring dengan upaya pengurangan polusi atau pencemaran
lingkungan yang menyebabkan makin ketatnya baku mutu lingkungan, terlihat bahwa urutan
3E tersebut mulai berubah. Faktor Environment secara perlahan menempati urutan pertama
dalam pertimbangan pengembangan teknologi, kemudian Engineering, dan terakhir
justru Economy.

Mengambil contoh IGCC, adalah wajar bila tahap awal perkembangannya pasti memerlukan
biaya yang besar. Namun seiring dengan menguatnya isu lingkungan dan matangnya
teknologi tersebut, biaya itu akan menurun dan pada waktu tertentu akan kompetitif terhadap
teknologi yang sudah ada. Sebaliknya, teknologi pembangkitan yang ada, misalnya PCC yang
saat ini mendominasi, lambat laun akan semakin mahal untuk mengakomodasi standar mutu
lingkungan yang semakin ketat, dan pada akhirnya justru malah akan membebani dari segi
ekonomi. Di bawah ini ditampilkan perbandingan biaya pembangkitan antara IGCC dan PCC
di AS selama kurun 20 tahun terakhir, dan prediksinya di masa depan.

Gambar 15. Perbandingan Biaya Pembangkitan per kW IGCC dan PCC di AS

(Sumber: JCOAL Journal, vol.3, Jan. 2006)

Dari grafik di atas terlihat bahwa selama 20 tahun terakhir, biaya pembangkitan untuk PCC
meningkat sekitar 50%. Peningkatan tersebut diakibatkan oleh penambahan peralatan untuk
mengurangi beban lingkungan, misalnya fasilitas desulfurisasi (FGD). Sebaliknya, biaya
pembangkitan per kW pada IGCC justru semakin menurun, dan diharapkan pada tahun 2010,
nilainya akan sama dengan pada PCC, yaitu sekitar $1200.

Referensi

Amick, Phil, Coal Gasification Flexibility for Fuels & Products, ConocoPhillips, 2005
Baardson, John A., Coal to Liquids: Shell Coal Gasification with Fischer-Tropsch Synthesis,
Baardson Energy LLC, 2003.

Chhoa, Thomas, Shell Gasification Business in Action, Shell Gas & Power, 2005.

JCOAL, Coal Science Handbook, Japan Coal Energy Center, 2005.

JCOAL, JCOAL Journal Vol. 2, Nov. 2005, Japan Coal Energy Center, 2005.

JCOAL, JCOAL Journal Vol. 3, Jan. 2006, Japan Coal Energy Center, 2006.

JCOAL, JCOAL Journal Vol. 4, Mar. 2006, Japan Coal Energy Center, 2006.

Material Presentasi, Idemitsu Kosan Co., Ltd, 2003.

Sekitan no Kiso Chishiki, Sekitan Shigen Kaihatsu Kabushiki Kaisha.

Shigen Enerugi- Chou Shigen Nenryou Bu, Ko-ru No-to 2001 Nen Ban, Shigen Sangyou
Shinbunsha, 2001.

Sema, Tohru, Karyoku Hatsuden Souron, Denki Gakkai, 2002.

WCI, The Coal Resource, World Coal Institute, 2004

Вам также может понравиться