Вы находитесь на странице: 1из 8

BAB IV

PEMBAHASAN
4.1.Hasil Pengamatan
NO SAMPEL ABSORBANSI STANDAR ABSORBANSI
A1
A2
A3 KEDELAI 0,27 4 PPM 0,33
A4
A5
B1
B2
B3
B4
B5

4.2.PEMBAHASAN
Pada pratikum Ilmu Kimia Pangan kali ini untuk menentukan kadar protein
dalam kedelai menggunakan metode biuret. Kadar protein yang ada di kedelai
sebesar 0,03 % atau 0,03 gr/100ml.
Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl disebut sebagai
kadar protein kasar (crude protein) karena terikut senyawaan N bukan protein,
misalnya urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin,
dan pirimidin (Sudarmadji 1996). Analisa ini dibagi menjadi 3 tahapan :
Proses destruksi (oksidasi)
Destruksi protein melupiti ganguan dan kerusakan yang mungkin terjadi pada
struktur sekunder dan tersier protein. Sampel ditimbang lalu ditambahkan 0,1 gr
HgO dan 1 gr K2SO4 sebagai katalis. Destruksi merupakan proses pengubahan
N protein menjadi ammonium sulfat. Proses ini berlangsung selama sampel yang
ditambah dengan katalisator direaksikan dengan H2SO4 pekat dan dididihkan
diatas pemanas labu kjeldahl. Penambahan asam sulfat dilakukan dalam ruang
asam untuk menghindari S yang berada didalam protein terurai menjadi SO2 yang
sangat berbahaya. Setelah penambahan asam sulfat larutan menjadi keruh. Asam
sulfat pekat berfungsi untuk mendestruksi protein menjadi unsur-unsurnya,
sedangkan katalisator berfungsi untuk mempercepat proses destruksi dan
menaikkan titik didih asam sulfat. Tiap 1 gr K2SO4 menaikkan titik didih 30C.
Dari proses ini semua ikatan N dalam bahan pangan akan menjadi ammonium
sulfat (NH4SO4) kecuali ikatan N=N;NO;dan NO2. Amoniak dalam asam sulfat
terdapat dalam bentuk ammonium sulfat. Pada tahap ini juga menghaslkan CO2,
H2O, dan SO2 yang terbentuk adalah hasil reduksi dari sebagian asam sulfat dan
menguap. Reaksi yang terjadi selama destruksi:
HgO+H2SO4 HgSO4 + H2O
2HgSO4 Hg2SO4 + SO2 + 2On
Hg2SO4 + 2H2SO4 2HgSO4 + 2H2O + SO2
(CHON) + On + H2SO4 CO2 + H2O + (NH4)2SO4 + SO2
Katalisator
(sudarmadji, 1996)
Proses pemanasan dilakukan kurang lebih 2 jam sampai larutan jernih
larutan yang jernih menunjukkan bahwa semua partikel padat bahan telah
terdestruksi menjadi bentuk partikel yang larut tanpa ada partikel padat yang
tersisa. Larutan jernih yang telah mengandung senyawa (nh4)2so4 ini kemudian
didinginkan supaya suhu sampel sama dengan suhu luar sehingga penambahan
perlakuan lain pada proses berikutnya dapat memperoleh hasil yang diinginkan.
Proses destilasi
Pada tahap destilasi, amonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3).
Prinsip destilasi adalah memisahkan cairan atau larutan berdasarkan perbedaan
titik didih. Dari hasil destruksi protein, labu destruksi didinginkan kemudian
dilakukan pengenceran dengan penambahan aquades. Pengenceran dilakukan
untuk mengurangi kehebatan reaksi bila ditambah larutan alkali. Larutan
dijadikan baa dengan menambahkan NaOH 60 % , lalu corong ditutup dan
ditambahkan aquades kurang lebih setengah bagian. Sampel harus dimasukkan
terlebih dahulu kedalam alat destilasi sebelum NaOH, karena untuk menghindari
terjadinya superheating. Fungsi penambahan NaOH adalah untuk memberikan
suasana basa karena reaksi tidak dapat berlangsung dalam keadaan asam.
Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditnagkap oleh larutan asam
standar. Untuk menampung NH3 yang keluar, digunakan asam borat dalam
erlenmeyer dantelah ditambahkan indikator toshiro ( metil merah + metil biru)
menghasilkan larutan berwarna biru tua. Indikator ini digunakan untuk
mengetahui asam dalam keadaan berlebih. Hasil destilasi ( uap NH3 dan air)
ditangkap oleh larutan H3BO3 yang terdapat dalam labu erlenmyr dan
membentuk senyawa (NH4)3BO3. Senyawa ini dalam suasan basa akan
melepaskan NH3. Agar kontak antara asam dan amonia lebih baik maka
diusahakan ujung tabung destilasi tercelup sedalam mungkin dalam asam borat.
Penyulingan dihentian jika semua N sudah ditangkap oleh asam borat dalam labu
erlenmeyer atau hasil destilasi tidak merubah kertas lakmus merah serta
menghasilkan larutan berwarna hijau jernih. Ujung selang dibilas dengan aquades,
agar tidak ada ammonia yang tertinggal di selang. Reaksi yang terjadi:
(NH4)SO4 + NaOH Na2SO4 + 2NH4OH
2NH4OH 2NH3 + 2H2O
4NH3 + 2H3BO3 2(NH4)2BO3 + H2
Proses titrasi
Titrasi merupakan tahap akhir pada penetuan kadar protein dalam bahan
pangan ini. Banyaknya asam borat yang bereaksi dengan amonia ( N) dapat
diketahui dengan volume HCL 0,02 N yang dibutuhkan destilat. Titik akhir titrasi
dihentikan sampai larutan berubah dari hijau ke biru (kembali ke warna awal).
Selisih jumlah titrasi blanko dan sampel meurpakan jumlah ekuivalen nitrogen.
Dari analisa yang telah dilakukan, volume yang digunakan untuk menitrasi sampel
HCL 0,02 N.(Lia yulia.2012)
Metode yang kami pratikumkan hanya metode biuret. Uji biuret merupakan
jenis pengujian untuk identifikasi protein secara umum. Berarti uji biuret akan
selalu memberikan hasil positif untuk semua jenis protein. Prinsipnya adalah
pengukuran serapan cahaya oleh ikatan kompleks berwarna ungu yang terjadi bila
protein berekasi deng ion Cu2+ dalam suasanan basa. Reagen biuret terdiri dari
CuSO4 dalam aquades , KI dalam aquades, Na-sitrat, Na2CO3 dan NaOH. CuSO4
sebagai penyedia ion Cu2+ yang nantinya akan membentuk kompleks dengan
protein. KI berfungsi untuk mencegah terjadinya reduksi pada Cu2+ sehingga
tidak mengendap. Na-sitrat dan Na2CO3 berfungsi sebagai buffer dan NaOH
berfungsi sebagai penyedia suasana basa. Suasana basa akan membantu
membentuk Cu(OH)2 yang nantinya akan menjadi Cu2+ dan 2OH-. Hal ini
membantu untuk membentuk kompleks dengan nitrogen dari karbon dari ikatan
peptida dalam larutan basa. Perubahan pada warna sampel uji akan memberika
hasil yang positif atau negatif. Terjadinya warna ungu terbentuk dari ikatan antara
Cu dan N, unsur N terdapat pada peptida menghasilkan CuN yang terjadi dalam
suasana basa. Makin panjang suatu ikatan peptida, maka warna ungu yang
terbentuk makin jelas dan makin pekat. Apabila kadarnya meningkat maka
absorbansi juga meningkat. Reagent biuret adalah larutan berwarna biru muda,
yang berubah menjadi ungu bila bercampur dengan larutan yang mengandung
protein. Pada tes biuret ini penambahan NaOH 0,9% pada protein menyebabkan
terjadinya hidroisis ikatan peptida dari polimer protein. Hidrolisis ini
menghasilkan monomer-monomer asam amino dan ada sebagiab gugus asam
amino yang berubah menjadi amonia. Akibatnya hidrolisis itu jumlah gugus asam
amino berkurang dan pengukuran serapan cahaya oleh ikatan kompleks yang
berwarna ungu dapat terjadi oleh sebab itu protein bereaksi dengan tembaga dalam
ingkungan alkali. Pengukuran nilai absorbansi larutan standar dan larutan sampel
menggunakan spektofotometri. Spektofotmeter merupakan alat yang digunakan
untuk mengukur absorbansi dengan cara melewatkan cahaya dengan panajng
gelombang tertentu pada suatu objek kaca atau kuarsa yang disebut kuvet.
Sebagian dari cahaya tersebut akan diserap dan sisanya akan dilewatkan. Nilai
absorbansi dari cahaya yang diserap sebanding dengan konsentrasi larutan
didalam kuvet( sasongko et al 2010)
Dalam menentukan kadar protein dalam sampel dengan metode biuret, maka
tentukan absorbansi dari larutan standar dengan konsentrasi 4 ppm yang
dilarutkan 1 ml aquades dan 4 ml reagen biuret tetapi saat di ukur absorbansinya
dengan spektofotometri tidak terbaca, jadi kami ambil 1 ml dari larutan tadi
dengan 1 ml aquades lalu saat di cek absorbansinya sebesar 0,33. Selanjutnya
mengukur absorbansi dari sampel di baca dengan menggunakan spektofotometri
540 nm dihasilkan 0,27 absorbansi dari kedelai. Menurut pengamatan yang
dilakukan di universitas mataram di temukan kadar protein pada kacang kedelai
sebesar 32,6788%. Sedangkan pada tempe 21,6389% hal ini dikarenakan proses
fermentasi ini mampu memecah protein menjadi asam asam amino sehingga lebih
mudah diserap oleh tubh dan meningkatkan kandungan asam lemak linoleat.
Seharusnya, tempe memiliki kadar protein yang lebih tinggi dari kedelai karena
proses fermentasi dalam pembuatan tempe membuat kadar protein dalam tempe
menjadi meningkat. Hal tersebut dapat disebabkan ragi dalam fermentasi tersebut
merombak senyawa-senyawa kompleks seperti protein menjadi asam-asam
amino, dan merombak senyawa-senyawa lain menjadi protein dibandingkan
dengan baan olahanya hal ini dapat dilihat dari persentase kadar protein pada
kedelai lebih tinggi dibandingkan dengan persentase kadar protein pada tempe dan
tahu. Hal ini disebabkan karena pada kedelai belum mengalami proses pengolah
seperti perebusan, pencucian dan lainnya sedangkan pada tempe dan tahu
merupakan produk olahan dari kedelai yang telah mengalami berbagai macam
proses pengolahan sehingga dapat dikonsumsi. Berdasarkan kadar protein yang
telah ditetapkan oleh SNI, untuk kadar protein pada sampel tahu yaitu
menurut SNI 01-3142-1998 minimal 9%. Sedangkan untuk sampel tempe yaitu
menurut SNI no 3144-2009 ditetapkan bahwa kadar protein dalam tempe min
16%. Pada pratikum kami jelas sesuai dengan teori yang di jelaskan diatas tempe
memiliki absorbansi lebih besar dari pada kedelai
Sedangkan untuk sampel tempe yaitu menurut SNI no 3144-2009 ditetapkan
bahwa kadar protein dalam tempe min 16%. Hal ini jelas tidak sesuai dengan
pratikum kami dikarenakan hasil kadar protein yang kami dapatkan adalah sebasar
0,03%. Hal ini di karenakan beberapa faktor yaitu; ketelitian pratikan dalam
membaca atau mencampurkan reagen, alat-alat yang kurang memadai dari alat
cuvet yang kurang bersih atau alat spektofotometri yang sudah lama, Jumlah
larutan yang kurang tepat dalam mencampurkannya, dan pengenceran yang
kurang tepat.
Pengukuran kadar protein dengan menggunakan metode biuret ini memiliki
kelemahan dan kelebihan. Kelemahan menggunakan metode ini adalah hasil yang
ditujukan belum tentu murni merupaka protein, melainkan dapat berupa kadar
senyawa yang mengandung benzena, gugu fenol, atau gugus sulfhidrin juga ikut
terbaca kadarnya. Selain itu, waktu yang digunakan untuk pengukuran
absorbansinya tergolong lama karena harus melakukan proses pemanasan sampel
dengan penangas terlebih dulu. Kelebihan yang bisa diperoleh dengan
menggunakan metode biuret ini adalah reagen yang digunakan hanya satu macam.
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Sasongko et al. 2010. Optimalisasi peningkatan tannin daun nangka dengan


protein Bovine serum albumin (BSA). Jurnal Buletin Peternakan. 34 (3): 154-
158.
Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi, 1996. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. : Yogyakarta: Liberty
Di post oleh lia yulia sitirohmah pada 02
2012http://liayuliasitirohmah.blogspot.co.id/2012/02/kadar-penentuan-kadar-
protein-metode.html diakses tanggal 03 april 2017
Di post oleh dian pada 20 april 2015
https://dianrjg.wordpress.com/2015/04/20/penentuan-protein-metode-biuret/
diakses tanggal 03 april 2017

Вам также может понравиться