Вы находитесь на странице: 1из 26

ARTIKEL ILMIAH

PERAN WANITA DALAM DUNIA POLITIK DI INDONESIA

Oleh Kelompok 6:

Rio Gumelar (21501091075)

Bambang Pristiyanto (21501091090)

Nur Khofifah (21601091108)

Iik Sakinah (21601091110)

Novia Anggun Mahfiroh (21601091112)

Dosen Pengampuh:
Dra. Nurul Umi Ati, M. AP

UNIVERSITAS ISLAM MALANG

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

2017
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Makalah Perilaku
dan Pengembangan Organisasi ini yang berjudul Budaya Organisasi, untuk memenuhi Tugas
mata kuliah Perilaku dan Pengembangan Organisasi.

Dengan terselesaikannya Tugas Makalah ini tidak lepas dari dukungan dan dorongan
dari semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini. Pada kesempatan ini
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah Perilaku dan
Pengembangan Organisasi.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Tugas Makalah yang berjudul Budaya
Organisasi ini masih banyak kekurangan serta masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, demi
kesempurnaan penulisan tugas ini.

Akhir kata kami selaku penulis berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan dapat digunakan sebagai pembanding wacana.

Malang, 9 Oktober 2017

Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 2

1.3 Tujuan ..................................................................................................................... 2

1.4 Manfaat .................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan Politik .................................................................................................... 3


2.2 Peran Ganda Wanita ................................................................................................ 4

2.3 Dunia Politik dan Perempuan .................................................................................. 5

2.4 Pandangan Islam terhadap Politik Perempuan ....................................................... 16

BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK

Persamaan hak wanita dalam berbagai bidang kehidupan sudah menjadi sebuah
tuntutan, keterampilandan prestasi yang ditunjukkan oleh wanita saat ini sudah memunculkan
anggapan bahwa antara kaum wanita dan pria tidak berbeda jauh.Keterampilan dan prestasi
tersebut dapat dilihat dari kepemimpinan dan peranan wanita dalam kehidupan politik di
Indonesia.Wanita memiliki kekuatan berupa ketegaran, kesabaran, ketegasan, dan ketepatan
dalam mengambil sebuah keputusan merupakan ciri yang ada pada diri wanita sekaligus
menggambarkan bagaimana kepemimpinannya.Tidak hanya itu, beban dan tanggung jawab
seorang wanita jauh lebih besar dibandingkan tanggung jawab seorang pria.Selain
mengemban tugas sebagai ibu rumah tangga wanita juga memiliki tanggung jawab diluar
tanggung jawab kewanitaan lainnya,dengan hal itu wanita dikatakan memiliki peran ganda
dalam kehidupan sosial.Dalam bidang politik itu sendiri, penetapan keterlibatan wanita
didalam dunia politik sebesar 30% yang merupakan syarat yang harus dipenuhi.Kesetaraan
yang ada pada wanita dan pria merupakan halyang tidak sia-sia apabila wanita berusaha
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, untuk dapat terus bersaing dengan pria sesuai
dengan kemampuan dan sifat kewanitaannya.

KATA KUNCI: Wanita, Peranan.


ABSTRACT

Equality of women in various areas of life has become a demands, skills and
achievements shown by women nowadays has led to the notion that between women and men
do not differ greatly. These skills and achievements can be seen from the leadership and role
of women in political life in Indonesia. Women have the strength of the hardness, patience,
firmness, and accuracy in taking a decision is a trait that exist in women as well as describe
how his leadership. Not only that, the burden and responsibility of a woman is far greater
than a man's responsibility. In addition to performing duties as a housewife, women also have
responsibilities outside of other female responsibilities, with women being said to have
multiple roles in social life. In the field of politics itself, the determination of women's
involvement in the political world by 30% which is a requirement that must be met. Equality
that exists in women and men is not a waste if women try according to the ability they have,
to be able to continue to compete with men in accordance with the ability and the nature of
femininity.

KEYWORDS: Woman, Role.

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan jaman telah banyak mengubah pandangan tentang wanita, mulai dari
pandangan yang menyebutkan bahwa wanita hanya berhak mengurus rumah dan selalu
berada di rumah.Sedangkan pria adalah makhluk yang berada di luar rumah. Kemudian
dengan adanya perkembangan jaman dan emansipasi wanita menyebabkan wanita
memperoleh hak yang sama dengan laki-laki.

Perjuangan untuk memperoleh hak yang sama sangat tegas dimulai dari zaman
RA. Kartini, yang sangat bersemangat untu mengubah persepsi masyarakat saat itu
tentang keberadaan wanita.Dengan demikian adanya persamaan hak di berbagai bidang
kehidupan telah menggeser pandangan terdahulu, sebagaimana dikemukakan
Nilakusuma Wanita dan pria mempunyai tempatnya masing-masing di dalam
kehidupan bermasyarakat. Dan kedua jenis manusia tersebut dapaat menempati
tempatnya masing-masing tanpa menjadi kurang hak yang sama, karena
fikiran,kecerdasan, menentukan nilai yang sama antara pria dan wanita. Memang
banayak pekerjaan oleh pria dan wanita dengan tidak meninggalkan sifat-sifat asli
wanita.malah menjadi jawatan atau presidenpun tidak akan meninggalkan sifat-sifat asli
wanita tadi, karena jabatan-jabatan ini, kecerdasan dan fikiranlah yang memegang
peranan banyak.

Tuntutan persamaan hak wanita dengan pria tentunya didasarkan pada beberapa
anggapan bahwa antara wanita dan pria tidak banyak terdapat perbedaan, sesuai dengan
yang disampaikan oleh presiden pertama Indonesia yakni Ir. Soekarnoe ini tidak
menjadi bukti bahwa kwalitas otak perempuan itu kurang dari kwalitas otak kaum pria
atau ketajaman otak perempuan kalah dengan ketajaman otak pria. Kwalitasnya sama,
ketajamannnya sama hanya kesempatan bekerjanya yang tidak sama, kesempatan
berkembangnya yang tidak sama. Maka oleh karena itu, justru dengan alasan kurang
dikasihnya kesempatan oleh masyarakat sekarang pada kaum wanita, makakita wajib

1
berikhtiar membongkar ketidak adilan masyarakat terhadap kaum wanita itu. Dari
penjelasan tersebut kita mengetahui bahwa presiden pertama Indonesia sangat
mendukung adanya emansipasi wanita, kaum wanita tidak lagi melulu berada didalam
rumah tetapi juga mempunyai kesempatanuntuk berwawasan luas dan mengepakkan
lebar sayap kariernya, dengan kata lain bahwa wanita perlu mendapat kesempatan untuk
menunjukkan kemampuannya dalam mengisi pembangunan sesuai dengan yang dicita-
citakan bersama.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang dibahas dalam penulisan makalah ini adalah:


1. Bagaimanakah Pendidikan Politik itu?
2. Bagaimanakah Peran Ganda perempuan?
3. Bagaimanakah Dunia Politik dan Perempuan?
4. Bagaimanakah Pandangan Islam terhadap Politik Perempuan?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:


1. Mengetahui Pendidikan Politik.
2. Mengetahui Peran Ganda Perempuan.
3. Mengetahui Dunia Politik dan Perempuan.
4. Mengetahui Pandangan Islam terhadap Politik Perempuan

1.4 Manfaat

Kegunaan penyusunan makalah ini adalah:


Sebagai bahan pembelajaran dan pengetahuan tentang Peran Wanita dalam
Dunia Politik di Indonesia.
Bagi penulis salah satu menyelesaikan tugas mata kuliah Perilaku Organisasi
dan mengetahui Peran Wanita dalam Dunia Politik di Indonesia.
Bagi pembaca hasil penulisan makalah ini dapat menambah wawasan tentang
Peran Wanita dalam Dunia Politik di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan Politik

Representasi perempuan dalam bidang politik boleh dikatakan masih jauh dari
apa yang kita harapkan. Pendidikan politik merupakan salah satu aktivitas yang
bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada setiap
individu maupun kelompok. Proses pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas
dapat menjadi warga negara yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta
memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini ditekankan karena pada
realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan antara peranan yang dilakukan oleh
kaum pria dan perempuan pada berbagai peran, utamanya pada peran-peran publik.
Oleh karena itu, peningkatan peran perempuan dalam pembangunan yang berwawasan
gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, mempunyai arti yang
penting dalam upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria
dan perempuan agar dapat terwujud kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai
kegiatan khususnya bidang politik.
Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan
pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi
yang sehat, adil dan realistis.Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik
perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan pilar-
pilar demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang aspiratif
dan pro terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini perlu mendapat
perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu ditangani adalah masalah
pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga dengan tumbuh berkembangnya
kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka diharapkan mampu memanfaatkan
kesempatan dan peluang yang ada sesuai potensi yang dimiliki dan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative
Action) harus segera diubah dengan srategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) di semua
bidang kehidupan, khususnya di semua lini dan strata untuk mempercepat persamaan
akses, partisipasi, kontrol, serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki.

3
Berdasarkan Inpres Nomor 9 tahun 2000, eksekutif hanya mengikat untuk
melaksanakan PUG. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan jumlah kebijakan pelaksanaan
PUG yang akan mengikat seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah,
penyelenggara pemilu, dan partai politik sebagai pilar demokrasi untuk mendorong
pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan di bidang politik melalui
peningkatan keterwakilan perempuan dalam pengambil kebijakan. Gerakan perempuan
dan pemerhati masalah perempuan, melakukan upaya yang sangat keras
memperjuangkan masuknya kuota sebesar 30% keterwakilan perempuan sebagai jumlah
minimal dalam paket UU politik dari hulu ke hilir.

2.2 Peran Ganda Wanita

Wanita dalam kehidupannya mempunyai beban tugas yang lebih berat


dibandingkan dengan pria.Peran ganda dari seorang wanita masa kini, selain memiliki
tanggung jawab didalam rumah tangga sebagai ibu juga diluar rumah sebagai wanita
karier. Peran wanita ini secara sederhana menurut suwondo dikemukakan sebagai
berikut:

a. Sebagai warga Negara dalam hubungannya dengan hak hak dalam bidang sipil
dan politik, termasuk perlakuan terhadap wanita dalam paertisipasi tenaga kerja
(fungsi ekstern)
b. Sebagai ibu dalam rumah tangga dan istri dalam hubungan rumah tangga
(fungsi intern)

Fungsi intern dan ektern tersebut merupakan dasar peran yang dimiliki wanita
terutama mereka yang memiliki karier, sehingga wanita harus benar-benar dapat
mengatur perannya agar kedua peran tersebut tidak ada yang terabaikan. Jika tidak,
maka kehidupan akan tidak seimbang.Sehingga tidakjarang diantara mereka memilih
salah satu peran, yang akibatnya terdapat salah satu peran yang dikorbankan.Apabila
terus memilih karier yang tidak jarang di antara mereka menyebabkan keretakan bahkan
perceraian rumah tangga, atau wanita itu sendiri memilih kariernya dengan
mengabaikan perkawinan.Sehingga yang bersangkutan tetaphidup tanpa didampingi
suami atau tetap lajang. Sedangkan bagi wanita yang telah bersuami meilih peran yang

4
kedua,berarti yang bersangkutan mengorbankan kariernya atau keluar dari pekerjaan
dan menjadi ibu rumah tangga yang tinggal diam didalam rumah. Sehingga halini patut
disayangkan karena potensi yang terdapat dalam diri wanjta tersebut menjadi terbenam,
bahkan terkubur selamanya. Dengan demikian,wanita yang memilih satu perannya saja
dianggap kurang baik dalam membina kehidupan, karena itu wanita yang ungguldan
tangguh ia dapat berjuang menghadapi berbagai tantangan apabila memilih peran ganda,
tetapi jangan lupa harus terdapat saling pengertian dan saling mengisi kehidupan dalam
rumah tangganya.

2.3 Dunia Politik dan Perempuan

Hiruk pikuk pesta demokrasi lima tahunan, utamanya dalam menyambut pemilu
legislatif lalu, setidaknya disesaki oleh maraknya wacana keterwakilan politik
perempuan dalam panggung politik elektoral Indonesia. Praktis, selama lebih dari tiga
dasawarsa, publik politik nasional terus menyimak gugatan intens kaum perempuan
terhadap kontruksi budaya dan relasi sosial-politik pasca reformasi yang masih bias
jender, dan terindikasi menyimpan potensi untuk tetap memarjinalisasi dan
mendominasi perempuan. Gugatan kaum perempuan ini sejalan dengan kian
menguatnya isu keadilan dan kesetaraan jender yang makin mendapat tempat dalam
wacana politik masyarakat dan ruang-ruang kebijakan negara. Meski negara kini relatif
akomodatif terhadap wacana dan tuntutan keterwakilan politik perempuan (seperti
tercermin dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum), namun harus
disadari bahwa ruang ekspresi politik perempuan yang diberikan negara (dan para elite
partai) masih jauh dari spirit keadilan dan keseteraan. Kendati penetapan kuota 30
persen melalui akomodasi negara sudah di uji-coba sejak pemilu 2004 lalu, namun
ditilik dari aspek sejarah pertumbuhan representasi politik perempuan di parlemen,
faktual masih berlangsung secara fluktuatif.
Catatan representasi politik perempuan menunjukkan angka naik turun dari
waktu ke waktu terkait keterlibatan perempuan dalam arena politik praktis, khususnya
di lembaga legislatif. Anggota DPR Sementara 19501955 misalnya, berhasil
mengakomodasi 9 kursi (3,8%) dari 236 kursi anggota legislatif terpilih saat itu. Jumlah
keterwakilan perempuan hasil Pemilu 19551960 naik menjadi 17 kursi (6,3%) dari 272

5
anggota parlemen terpilih. Representasi perempuan di parlemen secara kuantitatif
kembali naik turun. Di era Konstituante (1956-1959) peroleh kursi legislatif perempuan
turun menjadi 25 kursi (5,1%) dari 488 kursi anggota Konstituante. Bagitu pun di era
Orde Baru, keterwakilan politik perempuan di parlemen juga mengalami pasang-surut.
Pemilu pertama Orde Baru (19711977) berhasil menempatkan perempuan pada 36
kursi parlemen (7,8%), Pemilu 1977 29 kursi (6,3%), dan Pemilu 1982 39 krusi (8,5%)
dari 460 anggota DPR terpilih pada tiga periode Pemilu tersebut. Selanjutnya, Pemilu
1987 berhasil menempatkan perempuan pada 65 kursi (13%) dari 500 kursi DPR, dan
terus mengalami penurunan pada Pemilu 1992-1997, 19971999, dan 19992004
menjadi 62 kursi (12,5%), 54 kursi (10,8%), dan 46 kursi (9%) dari masing-masing 500
kursi yang berhasil di raih anggota DPR dari masing-masing periode pemilu tersebut.
Berikutnya, Pemilu 2004 kembali menaikkan jumlah anggota legislatif perempuan
menjadi 63 orang (11,45%) dari 550 anggota DPR terpilih, dan Pemilu 2009 berhasil
menempatkan 99 anggota legislatif perempuan (17,68%) dari 560 calon anggota DPR
terpilih hasil Pemilu 2009. Pada pemilu 2014 yang baru lalu terjadi penurunan capaian
kursi perempuan di legislative, kendati berbagai upaya seperti affirmative action dan
strategi lainya sudah diterapkan.
a. Repreesentasi Perempuan dalam Politik.
Representasi politik perempuan merupakan satu elemen penting jika kita
ingin menempatkan konteks demokratisasi Indonesia dalam perspektif demokrasi
yang ramah jender (gender democracy). Berbeda dengan para politisi laki-laki yang
lebih asyik dengan narasi-narasi politik besar, kalangan aktivis perempuan
tampaknya lebih fokus dan konsisten untuk memperjuangkan kuota 30 persen
representasi politik perempuan sebagai agenda perjuangan bersama. Setidaknya,
dalam satu dekade ini, kita menyaksikan sebuah geliat kuat dari hampir seluruh
organ dan elemen perjuangan perempuanbaik dari kalangan politisi, aktivis LSM,
ormas, akademisi, jurnalis perempuan, bahkan para artis dan selebritisyang
mengarahkan hampir seluruh energi politiknya ke satu titik: mengupayakan
representasi politik perempuan yang lebih proporsional, adil, dan setara. Tak
berlebihan, jika banyak pengamat dan aktivis mengatakan, wacana representasi
politik perempuan kian nyaring dan menggema sejalan dengan bergulirnya era
liberalisasi politik hasil reformasi politik 1998.Sebab, semasa Orde Baru, wacana

6
representasi politik perempuan dalam narasi besar demokratisasidus implementasi
hak asasi manusia, hak sipil dan politik, termasuk hak ekonomi, sosial, dan budaya
perempuanhampir tak mendapat tempat untuk besemai.Wacana representasi
politik perempuan dalam kerangka demokratisasi, praktis tenggelam dalam gerusan
narasi besar developmentalisme, sebuah program pembangunan yang pragmatis dan
represif yang bersumber dari ideologi pertumbuhan dan pengendalian stabilitas
politik ketat, yang demikian intens digenjot oleh rezim Soeharto ketika itu. Padahal,
jika kita menyimak dengan seksama catatan sejarah perjalanan politik perempuan
negeri ini, secara kualitatif, nilai dan semangat perjuangan perempuan Indonesia di
masa awal revolusi terlihat lebih substantif dan membumi tidak artifisial seperti
terekam dalam wacana politik Indonesia kontemporer. Kini, seiring dengan
perjalanan waktu, peran, posisi, dan aktualisasi perempuan dalam kancah kehidupan
sosial-politik kian menyusut. Di era Demokrasi Terpimpin, peran sosial-politik
perempuan cenderung terfragmentasi sebagai konsekuensi dinamika politik saat itu
yang cenderung konfliktual.Kendati posisi politik perempuan saat itu relatif kuat,
dalam praktiknya mereka tetap berada pada posisi subordinat dan kerap digunakan
sebagai instrumen politik negara.
Di era Orde Baru, kendati pemerintah Soeharto memiliki political will
membentuk kementerian yang khusus menangani masalah perempuan, akan tetapi
orientasi politik negara korporatik yang menyuburkan pola politik patron-client dan
kultur hegemoni politik lelaki tetap saja menjadi struktur atas dari bangunan
budaya politik rezim ini. Perempuan diperbolehkan melakukan peran sosial-
politiknya, akan tetapi sebatas fungsi normatifnya, di bawah kendali ketat negara
korporatik. Memasuki era reformasi, para Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan (terutama di era kepemimpinan Khofifah Indar Parawansa), secara gigih
terus mengangkat isu kesetaraan jender sebagai mainstream. Namun, kerja keras
para menteri perempuan, para aktivis, dan berbagai organisasi perempuan di Tanah
Air untuk mewujudkan persamaan hak terus saja terbentur oleh kultur patriarki dan
praktik politik anti partisipasi. Salah satu penyebab penting yang mendasari, dalam
struktur masyarakat patriarkis, konstruksi sosial-budaya perempuan kerap digunakan
sebagai alat legitimasi kekuasaan.Legitimasi (dan dominasi) ini terlihat dari sikap
masyarakat yang kian menempatkan seksualitas perempuan sebagai komoditas; alat

7
pemuas hasrat seksual laki-laki. Dalam kekuasaan berstruktur patriarkis, politik
bukan cuma refleksi dari interest kekuasaan dan uang, tapi juga seks.
Terbongkarnya kasus mesum politisi DPR dengan artis dangdut beberapa waktu lalu
membuktikan kebenaran hipotesis menyatunya kekuasaan, uang, dan seks.Kuasa
politik bukan cuma membuat para aktornya menjadi banal (politik haus kuasa), tapi
juga binal (bukan cuma haus uang dan kuasa, tapi juga sarat syahwat). Pesan
penting dari terbongkarnya kasus mesum politisi DPR di atas, kemerosotan moral
politik di level elite bukan hanya ditandai oleh banality of politics, tapi juga oleh
binalitas manusia yang kian menunjukkan watak dasarnya sebagai homo sexus.
Lebih dari itu, mesum DPR kian memperkuat argumen bahwa posisi perempuan di
negeri ini masih berada di bawah kekokohan dominasi budaya politik patriarki.

b. Tantangan Kedepan
Kaum feminis yang menganut paham pluralisme demokratis meyakini
bahwa perempuan tidak bisa dirugikan hanya karena jenis kelaminnya. Sebagai
Manusia, perempuan juga butuh pengakuan atas eksistensi keperempuanannya.
Gerakan feminis menentang pandangan stereotif yang berpotensi memarjinalisasi
peran perempuan sebatas fungsi domestiknya, bukan dalam konteks kehidupan
publik yang lebih luas.Kendati sistem dan arah kebijakan politik pemerintah
terhadap isu perempuan kian responsif jender, namun posisi perempuan dalam
konteks kekuasaan politik tetap saja rentan dari berbagai bentuk manipulasi politik
dan tak jarang dipakai sebagai alat legitimasi politik. Asumsinya sederhana:
perempuan adalah unit dasar dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.Dengan
demikian, kontrol atas peran perempuan merupakan instrumen efektif dalam
mengendalikan seluruh operasi kekuasaan negara.Berbagai regulasi negara
menyangkut isu perempuan membuktikan bahwa konstruksi budaya politik patriarki
sepanjang sejarah amat menentukan kehidupan perempuan. Sejak dekade 1960-an,
gerakan feminisme yang menggeliat di berbagai belahan dunia (termasuk di
Indonesia pada dekade 1990-an), terus menggugat dasar kebijakan negara yang bias
gjender, mendorong peran, fungsi, dan posisi perempuan secara lebih progresif,
serta memprotes berbagai kebijakan konservatif negara dan stigma masyarakat yang
memarjinalisasi aspirasi, hak, dan kepentingan perempuan.

8
Kaum feminis yang peduli pada pentingnya kesetaraan jender dalam
membangun watak bangsa, menuntut perubahan yang progresif atas posisi
perempuan, seperti tercermin dalam polemik isu poligami, isu kekerasan dalam
rumah tangga, isu hak-hak reproduksi perempuan, atau isu peraturan daerah tentang
pelacuran. Menurut Gadis Arivia (2005), hampir seluruh regulasi negara yang
terkait dengan soal perempuan mengandung materi bias jender. Sebab, dalam
struktur masyarakat patriarkis, konstruksi sosial-budaya perempuan kerap digunakan
sebagai alat legitimasi politik.
Dalam konteks demikian, tantangan fundamental gerakan perempuan ke
depan, setidaknya dapat dipetakan ke dalam tujuh isu berikut: Pertama, globalisasi-
neoliberal telah melahirkan kekuatan ekonomi dunia yang berpusat di negara-negara
maju yang diikuti restrukturisasi ekonomi di negara-negara miskin dan sedang
berkembang. Situasi ini telah menciptakan kemiskinan yang makin akut dan
kompleks.Ekonomi global telah menyeret perempuan sebagai obyek dan komoditas
ekonomi (menjadi PRT, PSK, buruh migran, atau pekerja upahan pabrik dan sektor
informal bergaji murah). Kedua, otoriterisme politik negara. Kontrol negara atas
warga negara yang berlebihanterutama kaum perempuantelah berakibat pada
hadirnya berbagai kebijakan negara yang bias hak asasi manusia, bias jender, dan
mereduksi hakekat demokrasi. Munculnya berbagai kebijakan bias jender (seperti
RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi dan perda-perda di berbagai daerah yang
berbasis pada penafsiran sempit atas agama tertentu), adalah sekelumit bukti bahwa
implementasi atas hak-hak sipil dan politik perempuan belum sepenuhnya mendapat
ruang gerak dari negara. Ketiga, kebijakan negara yang tidak pro-rakyat.Seperti kita
tahu, manajemen anggaran negara (APBN/APBD), prioritas pembangunan, dan
manajemen pengelolaan sumber daya alam di negara ini masih sepenuhnya
disandarkan pada pemenuhan kebutuhan para politisi, elite-elite ekonomi, para
investor, dan kepentingan modal global. Kebijakan yang tidak pro-poor ini telah
mereduksi akses masyarakat khususnya perempuan di sektor pendidikan, kesehatan,
pekerjaan dan sumber-sumber kehidupan publik yang mendasar (pangan, energi, air,
tanah, dan hutan). Keempat,fundamentalisme agama. Berbagai gerakan agama yang
disinyalir berupaya melakukan perlawanan terhadap hegemoni Barat dan dominasi
kekuatan kapitalisme yang berpijak pada sikap dan aksi yang radikal, sempit, dan

9
sepihak, telah menimbulkan ekses baru hadirnya rantai kekerasan dan penindasan
bagi perempuan. Munculnya organisasi-organisasi massa yang mengatasnamakan
agama tertentu serta mewujudkan sikap dan aksinya dengan paham radikal
seringkali menjadikan perempuan sebagai obyek kekerasan. Organisasi ini kerap
membatasi ruang gerak dan ekspresi perempuan baik di bidang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Kelima, liberalisasi politik yang terjadi sejak era reformasi tidak
otomatis diikuti kesiapan lembaga pendidikan dan rekrutmen politik, terutama partai
politik, untuk secara serius dan berkelanjutan untuk membuka kesempatan
partisipasi perempuan dalam politik, terutama untuk menempatkan perempuan
dalam posisi dan tanggung jawab organisatoris yang signifikan, selain
mempersiapkan dan menempatkan perempuan sebagai caleg yang andal dengan
kesempatan yang sama dan setara dengan caleg laki-laki. Keenam, gerakan
perempuan dengan demikian ditantang untuk mampu mendobrak lobi-lobi politisi
laki-laki yang elitis dan budaya politik partai yang cenderung sentralistis dan
patriarkat serta merubah budaya politik dan pola pikir jajaran elite partai agar
memberi ruang dan peluang yang lebih besar pada kader politik perempuan untuk
mendapat pelatihan dan edukasi politik, termasuk memberi kesempatan bagi
perempuan untuk duduk dalam berbagai jabatan/posisi strategis serta dilibatkan
dalam proses pembuatan kebijakan. Ketujuh, meskipun kuota 30 persen sangat
strategis, namun regulasi tersebut hanya salah satu elemen utama dalam upaya
memperkuat representasi politik perempuan. Adalah saatnya, pasca pemilu 2014
kalangan perempuan wajib memperluas makna representasi politik tersebut.
Keterlibatan perempuan dalam sistem politik untuk tujuan representasi memang
diperlukan (necessary), tapi sudah pasti tidak memadai (sufficient). Ini artinya,
upaya go politics dari kalangan perempuan tidak hanya sebagai kegiatan untuk
memasuki proses, mekanisme, lembaga, dan sistem politik (crafting democracy) tapi
juga bagaimana representasi politik perempuan mampu memperluas basis
konstituen (broadening base).
Setidaknya terdapat dimensi utama dalam konteks di atas, yakni
menyangkut upaya untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan
publik; dan usaha untuk membangun basis sosial representasi politik perempuan,
baik melalui lembaga-lembaga representasi politik formal maupun informal,

10
termasuk partisipasi langsung (direct democracy).Terdapat rekoneksi antara gerakan
perempuan (sebagai bagian integral dari gerakan sosial), dengan aksi-aksi politik
perempuan (yang merupakan bagian dari demokrasi representasi).Seperti
dikemukakan Lovenduski (2000), representasi politik yang diusung kalangan aktivis
dan politisi perempuan setidaknya merepresentasikan tiga elemen penting, yakni
mewakili pemilihnya (functional), partai politiknya (ideology) serta konstituen
perempuan sebagai identitas (social).Bagaimana mensinergikan ketiganya dalam
rekoneksitas tindakan-tindakan politik dengan gerakan sosial perempuan,
merupakan tantangan yang harus dijawab kalangan perempuan di tengah-tengah
kritik, keraguan, dan bahkan cibiran masyarakat atas kemampuan dan keberdayaan
mereka.
Gerakan perempuan harus terus melakukan advokasi dan edukasi kritis
pada semua level komunitas perempuan. Beragam perspektif analisis untuk melihat
penindasan sistemik yang dialami perempuan harus diperkenalkan, seperti analisis
feminis Marxian (untuk membedah penindasan yang dialami oleh buruh
perempuan); analisis gerakan feminis Dunia Ketiga (untuk membedah penindasan
perempuan dalam konteks kultur, religi, dan bentukbentuk kekerasan negara); atau
analisis ekofeminis (untuk mengkaji ketertindasan perempuan dari aspek lingkungan
dan sumber-sumber penghidupan alamiah). Beragam perspektif dan strategi
perjuangan perempuan yang ada sesungguhnya tak hanya efektif digunakan sebagai
alat pencerdasan dan penyadaran, tapi lebih dari itu sebagai instrumen dalam
membangun koalisi besar gerakan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan,
keadilan, toleransi, dan demokrasi. Beragamnya organisasi perempuan yang
tumbuh di tanah air harus dilihat secara positif dan diletakkan pada konteksnya,
yakni saling mengisi dan melengkapi. Penyatuan banyak kekuatan dalam sebuah
koalisi besar gerakan perempuan akan kian mempertinggi posisi tawar kaum
perempuan. Nyata, perjuangan untuk mencapai keadilan gender dan mewujudkan
keterwakilan politik perempuan di negeri ini sepertinya masih teramat panjang
untuk dibuktikan, karena ia menyangkut kapabilitas untuk bersaing dan
berkontribusi dalam politik praktis secara signifikan, dukungan basis massa yang
jelas, pengalaman yang relevan, serta visi misi yang tak hanya sejalan dengan partai
politik yang diwakilinya, namun juga harus sebangun dengan harapan dan

11
keprihatinan rakyat.Jika kita meyakini politik tak bermula dari kebencian, tetapi
dari rasa sayang dan nalar untuk membangun bangsa, maka aspirasi politik
perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik bangsa bisa dimaknai
sebagai bentuk penguatan demokrasi kita yang selama ini kental beraroma maskulin
dengan cirinya yang cenderung arogan, culas, dan agresif.

c. Partisipasi Politik Wanita


Keberhasilan program pemerintah dan pembangunan yang dicita-citakan
tergantung pada partisipasi seluruh masyarakat, sehingga semakin tinggi partisipasi
masyarakat, maka akan semakin berhasil pencapaian tujuan pembangunan yang
ingin dicapai. Karena itu, dalam program pemerintah sebagai bagian dari
pembangunan sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur masyarakat, yang pada
hakekatnya bahwa pembangunan dilaksanakan dan ditujukan dari masyarakat, oleh
masyarakat, dan untuk masyarakat. Dengan demikian, bahwa setiap masyarakat
sebagai subyek pembangunan tidak lepas dari peranan wanita yang terlibat
didalamnya, sehingga partisipasi wanita perlu untuk diperhitungkan jika tidakingin
disebut bahwa wanita Indonesia ketinggalan dibandingkan dengan wanita di negara-
negara lain. Wanita Indonesia memiliki peranan dalam pembangunan di bidang
politik, baik terlibat dalam kepartaian, legislatif, maupun dalam pemerintahan.
Partisipasi dalam bidang politik ini tidaklah semata-mata hanya sekedar pelengkap
saja melainkan harus berperan aktif di dalam pengambilan keputusan politik yang
menyangkut kepentingan kesinambungan negara dan bangsa.
Hak suara wanita memiliki kesejajaran dengan laki-laki dalam hal
mengambil dan menentukan keputusan, begitupula apabila wanita terlibat dalam
pemilihan umum untuk memilih salah satu partai politik yang menjadi pilihannya,
apalagi ia duduk sebagai pengurus dari salah satu partai, seperti dikemukakan
Nilakusuma (1960:180) yaitu, Kita harus insyaf dan mengerti akan keharusan
adanya partai-partai di suatunegara, dan sumbangan-sumbangan apa yang diberikan
partai untuk pembangunan neegara dan bangsa. Di samping ini, kita harus mengerti
pula. Bahwa partai-partai itu adalah kumpulan dari orang-orang yang mempunyai
ideologi sama, agar di dalam meneruskan suara merupakan kesatuan yang baik.
Dengan mempunyai kesadaran ini, wanitapun dapat berdiri sendiri dengan

12
kecerdasannya, memilih partai yang sesuai dengan cita-citanya. Sungguh
mengecewakan, jika partai-partai itu menjadi sasaran pencari untuk untuk sendiri,
dan wanita dijadikan alatnya karena tidak cukup kesadaran di dalam partai. Jika
wanita duduk di dalam partai, bukanlah semata-mata untuk diberi tugas guna
menyediakan jamuan pada rapat-rapat partainya atau ketika partai kedatangan tamu
agung, tetapi juga memberikan suaranya bersama dengan anggota laki-laki.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kedudukan wanita di dalam politik tidak
dapat dikesampingkan, karena memiliki kemampuan dan kecerdasan yang sama
dengan laki-laki. Walaupun demikian, bahwa hak-hak politik yang dimiliki wanita
pada kenyataannya tidaklah sesuai yang diinginkan, sebagaimana Suwondo
(1981:141) mengemukakan,
1. Kenyataan bahwa jumlah wanita yang duduk dalam badan-badan legislatif
belum memadai, disebabkan oleh sistem pencalonan melalui daftar calon,
dimana wanita dicantumkan di bagian bawah dari daftar.
2. Kenyataan yang menunjukkan bahwa jabatan/kedudukan penentuan
kebijaksanaan (policy making) belum banyak diisi oleh kaum wanita. Maka
dalam rencana Kegiatan Nasional Wanita Indonesia antara lain disarankan
mengenai bidang ini:
a. Menggiatkan pendidikan di kalangan wanita tentang pengetahuan
kewarganegaraan dan perundang-undangan.
b. Meningkatkan partisipasi wanita dibidang pembuatan perundang-undangan
yang perlu segera dikeluarkan mengenai : catatan sipil; adopsi; hukum
waris atas dasar persamaan hak antara pria dan wanita; hukum acara untuk
pengadilan agama; pemberantasan pelacuran; pengadilan anak dan
kesejahteraan anak;
c. Mengusahakan perbaikan dalam bidang pencalonan anggota-anggota
wanita dalam badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif;
d. Mengadakan kegiatan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,
terutama yang menyangkut kedudukan dan kesempatan bagi wanita ;
e. Mengenai peranan wanita dalam kerjasama international:

13
- dalam pelaksanaan kerjasama international, regional, dan sub regional
hendaknya wanita diikutsertakan dalam penentuan kebijaksanaan (policy
making).
- Pemerintah menjamin bahwa wanita terwakili secara seimbang di antara
utusan-utusan inti ke semua badan international, koperensi, termasuk yang
menangani masalah-masalah politik, hukum, pembangunan ekonomi dan
sosial, perencanaan, administrasi dan keuangan, ilmu dan teknologi,
lingkungan dan kependudukan.
- Dalam kerjasama di lingkungan ASEAN, hendaknya segera disertakan
pembentukan Permanent Committee on Women dalam struktur ASEAN.

Partisipasi wanita dalam bidang politik, walaupun masih kurang, nampaknya


wanita telah berusaha ke arah yang lebih baik dengan mengeluarkan peraturan yang
mewajibkan setiap partai peserta pemilu yang dimulai dari tahun 2004
untukmemasukkan anggota legislatif yang terpilih sebanyak 30%, begitupula di badan
legislatif seperti halnya DPR/DPRD Tk.I dan Tk. II anggotanya minimal30 % harus
wanita. Keadaan ini merupakan hal yang menggembirakan walaupun tidak sebagian
atau 50 % wanita, tetapi ke arah proporsi yang seimbang telah dan akan dilaksanakan,
yang berarti mengalami perbaikan dari sebelumnya.Kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri bahwa peranan wanita dalam pembangunan nampaknya harus mendapat
porsi yang seimbang dengan kaum laki-laki, sebagaimana dikemukakan oleh Yusuf
(dalam Tan, 1991 : 35) sebagai berikut, Di bidang kehidupan politik, baik dari segi
eksekutif, legislatif maupun yudikatifnya, kepemimpinan perempuan telah mulai
diperhitungkan walaupun belum seimbang dengan proporsinya dalam masyarakat.
Jumlah menteri dalam cabinet terbatas, itupun hanya kepentingan tertentu saja yang
mestinya ditambah.Sekertaris jendral, direktur jendral dapat dihitung dengan jari.
Apakah jabatan yang penuh tanggung jawab tersebut harus dipegang oleh pemimpin
laki-laki? pemimpin perempuan dengan kualitas yang sama nampaknya belum mungkin
dipercayai memegang jabatan tersebut. Pemimpin perempuan dalam bidang pertahanan
dan keamanan? Nampaknya partisipasi wanita dalam bidang politik ini perlu dikaji
kembali mengingat jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah wanita yang seharusnya
berperan.

14
Karena itu, perlu dikaji kembali bentuk partisipasi yang nyata dalam
kehidupan politik bagi kaum wanita. Partisipasi politik bagi kaum wanita perlu
mendapatkan penjelasan, sehingga pengertian partisipasi menjadi jelas, sehingga
Budiardjo (1981:3) memberikan penjelasannya yaitu, Di Negara-negara demokratis
pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada di
tangan rakyat, yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan
tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang
akan memegang tampuk pimpinan untuk masa berikutnya. Jadi partisipasi politik
merupakan suatu pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah
oleh rakyat. Partisipasi politik seperti di atas tentu saja akan berarti apabila wanita turut
terlibat di dalamnya. Di dalam negara yang sedang belajar menuju demokratis yang
sesungguhnya seperti Indonesia, adanya partisipasi wanita yang lebih besar maka
dianggap menjadi lebih baik. Tingginya tingkat partisipasi wanita dapat ditunjukkan
dalam mengikuti dan memahami masalah politik dan keterlibatannya dalam kegiatan-
kegiatan politik tersebut. Sebaliknya apabila tingkat partisipasi politik bagi wanita itu
rendah maka dianggap kurang baik, dicirikan dengan banyak kaum wanita yang tidak
menaruh perhatian pada masalah politik atau kenegaraan. Akibatnya dikhawatirkan
apabila terjadi kurangnya pendapat mengenai kebutuhan politik wanita yang
dikemukakan, maka kepala negara menjadi kurang tanggap terhadap kebutuhan dan
aspirasi kaum wanita dan menjadi terabaikan, sehingga cenderung akan melayani
kepentingan beberapa kelompok saja. Dengan demikian, bahwa partisipasi politik yang
dapat dilakukan oleh wanita dapat melalui beberapa jalur, yang meliputi:
a. Bagi ibu rumah tangga yang tidak bekerja secara formal dapat berperan aktif
dilingkungannya sendiri melalui berbagai kegiatan yang mendukung program
pemerintah, seperti PKK, Posyandu, KB, dan lain-lain kegiatan yang
menggerakan ibu- ibu ke arah kepentingan bersama. Begitu pula turut memberi
penjelasan akan pentingnya menjadi pemilih dalam pemilu yang berlangsung
lima tahun sekali guna melangsungkan kegiatan demokrasi dan kenegaraan.
b. Wanita yang menginginkan karier di bidang politik dapat menjadi anggota salah
satu partai politik yang sesuai dengan ideologinya, terutama dalam
memperjuangkan kaum wanita, dan yang bersangkutan dapat mencalonkan diri

15
sebagai anggota legislatif untuk dipilih oleh masyarakat pada saat
dilaksanakannya pemilu.
c. Wanita yang memilih karier di eksekutif atau pemerintahan dapat menjalankan
fungsi sesuai dengankemampuan, latar belakang pendidikan dan beban tugas
yang diberikan kepadanya dengan penuh rasa tanggung jawab, apalagi yang
bersangkutan dituntut untuk memiliki keterampilan dan kemampuan memimpin,
sehingga tidak tergantung pada laki-laki. Kegiatan di pemerintahan ini
diharapkan menjadi seorang pengambilan keputusan, seeprti menjadi
lurah/kepala desa, camat, kepala daerah, atau menjadi kepala bidang/bagian
bahkan kepala instansi di tempat kerjanya.
d. Wanita yang bekerja di bidang yudikatif atau berhubungan dengan hukum
sebagai pengacara, jaksa, hakim, atau sebagai polisi penyidik perkara, dapat
bekerja dengan jujur dan adil demi tegaknya hukum itu sendiri, tanpa
membedakan latar belakang agama, suku, budaya, daerah, pendidikan, golongan,
dan lain-lain.

Dengan demikian, bahwa partisipasi yang dilakukan wanita tidak saja sebagai
partisipasi pasif, juga sebaiknya partisipasi aktif sebagai penentu kebijakan di tempat
yang bersangkutan berusaha, agar benar-benar wanita keberadaannya dapat
diperhitungkan.

2.4 Pandangan Islam terhadap Politik Perempuan

Pandangan Islam terhadap Politik Perempuan Islam bukan sekedar agama ritual,
melainkan diin, mencakup dimensi spiritual dan politik atau dengan kata lain
merupakan suatu ideologi. Selaras dengan hal tersebut, Dr. V. Fitzgerald
mengungkapkan bahwa Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga
merupakan sebuah sistem politik. Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa
kalangan dari umat islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis, yang berusaha
memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran islam dibangun atas
fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dan selaras dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain.

16
Aturan islam dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) hubungan manusia
dengan Tuhannya yang diatur dalam hal ibadah mahdah, seperti sholat, zakat, puasa,
haji, dan sebagainya; (2) hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang diatur dalam
hal adab, seperti makan, minum, berpakaian yang menutup aurat, akhlak yang mulia; (3)
hubungan manusia dengan manusia yang lain yang diatur dalam hal muamalah, seperti
ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan sebagainya. Oleh karena itu
pembahasan tentang politik merupakan cabang dari masalah muamalah.

Islam memandang bahwa secara etimologi, politik yang dalam bahasa Arab
disebut dengan kata siyasah yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Pengarang
kamus al-Muhith mengatakan bahwa sustu ar-raiyata siyasatan berarti saya
memerintahnya dan melarangnya. Secara terminologi, politik bermakna usaha untuk
melakukan pengaturan urusan masyarakat dalam segala aspek kehidupan, yang
mencakup aspek pemerintahan, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, sosial, pertahanan
keamanan, hubungan internasional dan sebagainya.

Di dalam syariat islam terdapat aturan-aturan yang berlaku umum pria dan
wanita maupun khusus wanita. Berkaitan dengan masalah politik, tentunya juga ada
yang aturan berlaku umum dan berlaku khusus. Hal-hal yang berlaku umum yaitu: (a)
Hak dan kewajiban untuk memilih dan mengabsahkan seorang kepala negara dalam
sistem pemerintahan islam; (b) Hak memilih dan dipilih sebagai anggota majelis umat ;
(c) Kewajiban amar maruf nahi munkar (d) Kewajiban menasehati dan mengkoreksi
penguasa; (e) Hak menjadi anggota partai politik.

Tidak semua posisi aktor utama maupun figuran depan layar diperbolehkan bagi
kaum wanita. Jadi ada aturan yang berlaku khusus bagi wanita dimana posisi-posisi
strategis dalam struktur pemerintahan islam yang tidak dapat diduduki wanita yaitu
khalifah, wali, qadhi mahkamah mazhalim, panglima perang, dan sebagainya.
Sedangkan dalam pemerintahan saat ini wanita tidak boleh menduduki posisi seperti
presiden, perdana menteri, panglima angkatan bersenjata, kepada departemen atau
menteri, gubernur.

Pembedaan aturan-aturan antara pria dan wanita bukan berarti bahwa islam itu
merendahkan kaum wanita atau wanita menjadi warga kelas dua. Tetapi islam

17
memandang bahwa posisi sebagai penguasa yang duduk di pemerintahan maupun rakyat
itu sama-sama penting. Penguasa adalah pelaksana politik yang bersumber dari
hukumhukum Alloh. Karena itu, keberhasilan pengaturan urusan umat demi tercapainya
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat bergantung tidak hanya kepada pemimpinnya,
tetapi juga kepada seluruh warga masyarakat tersebut. Dengan demikian, islam tidak
memandang orang yang menjabat kepala negara lebih mulia derajatnya karena yang
menentukan kemuliaan itu adalah ketaatannya menjalankan aturan-aturan Alloh.
Seorang ibu rumah tangga yang mengurus anak-anaknya dengan baik dapat lebih mulia
di mata sang Pencipta dibandingkan penguasa atau pemimpin negara yang dzalim.

18
BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian pembahadan diatas, kesimpuln yang dapat penuis kemukakan adalah
sebagai berikut:
1. Peran wanita dalam dunia politik masih dikatakan belum maksimal. Oleh
karena itu ditetapkannya intruksi tentang adanya kesetaraan gender yang bisa
menjadi dasar bagi wanita yang ada di Indonesia untuk berpartisipasi dalam
bidang politik maupun pembangunan. Prestasi dan keterampilan yang tinggi
yang ditunjukkan oleh para kaum wanita di Indonesia bisa membuktikan
bahwa wanita bisa, dan belum mampu meruntuhkan tembok pembatas antara
antara kaum wanita maupun pria dari berbagai bidang termasuk bidang
politik. Perempuan sendiri memiliki makna yang sangat penting untuk
memberikan pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya
pembangunan demokrasi yang sehat, adil dan realistis. Oleh karena itu,
dibutuhkan pendidikan politik bagi kaum wanita secara lebih mendalam
sehingga akan lebih menumbuhkan kesadaran berpolitik bagi para kaum
wanita.
2. Dengan begitu banyak tugas dan peran wanita, maka dapat dikatakan bahwa
wanita memiliki peran ganda, yaitu menjadi wanita sukses (wanita karier)
dengan tanpa meninggalkan kodrat kewanitaannya sebagai ibu rumah tangga
yang menjadi tanggung jawabnya. Salah satu kesuksesan wanita diluar
dunianya dapat dilihat dari bagaimana kepemimpinan wanita tersebut. Bisa
saja kepemimpinan, ambisi, maupun keberhasilan wanita dapat melebihi
kaum pria. Keterlibatan wanita dalam bidang poliik itu sendiri diharapkan
bukan hanya sekedar keterlibatan pasif yang tidak membawa kemajuan
dalam bidak politik, tetapi harus aktif dalam keikutsertaannya serta dapat
memutuskan dan menentukan dalam segala hal agar keberadaan kaum
wanita tidak h keterlibatan pasif yang tidak membawa kemajuan dalam bidak
politik, tetapi harus aktif dalam keikutsertaannya serta dapat memutuskan
dan menentukan dalam segala hal agar keberadaan kaum wanita tidak hanya

19
menjadi hal yang diragukan. Meskipun demikian peran wanita dalam bidang
politik juga dibatasi hanya sebesar 30% saja.
3. Dari berbagai kesibukannya, wanita juga lebih sering mendapatkan
hambatan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya baik dalam
rumah tangga maupun dalam kariernya dibandingkan dengan laki-laki.
Hambatan tersebut lebih sering berupa hambatan fisik, sikap pandang,
maupun hambatan social budaya dan lain-lain. Pada kenyataannya wanita
masih sering dianggap hanya mampu mengatasi masalah-masalah dapur dant
tidak atau kurang mampu dalam mengatasi masalah masalah yang ada dalam
bidang politik itu sendiri. Dalam pemerintahan misalnya, perempuan yang
hendak mencalonkan diri untuk maju dalam posisi strategisseperti contohnya
enjabat sebagai anggota legislatif atau memimpin dalam ingkat daerah,
seringkali dianggap remeh dan dipandang sebelah mata serta kurang
diperhitungkan. Hal ini yang nantinya akan menjadi penyebab keterlibatan
wanita dalam bidang politik menjadi lambat ataupun sangat kurang.

20
DAFTAR RUJUKAN

Adams, Ian. Ab. Ali Noerzaman, Ideologi Politik Mutakhir, Yogyakarta: Qalam, Juli
2004

Abdurrahman, Hafidz, Islam: Politik dan Spiritual, Jakarta: Wadi Press, t.t.

Muslikhati, Siti Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam.


Jakarta: Gema Insani Press, 2004

Patel, Ismail Adam, Perempuan, Feminisme dan Islam, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,
September 2005

Saidah, Najmah dan Khusnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan, Bogor: Idea
Pustaka

Utama, 2003 Zallum, Abdul Qadim, Pemikiran Politik Islam, Bangil: Al-Izzah, 2004

21

Вам также может понравиться