Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemeriksaan Radiologi merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan
untuk mengetahui Anatomi dan Fisiologi dari suatu organ sehingga pada
kelainan Patologis maupun Traumatis dapat membantu dalam menentukan
diagnosa. Sejak awal ditemukannya sinar-x oleh Wilhelm Cornad Rontgen
pada tahun 1895 dan kemudian diproduksinya peralatan radiologi, teknik
radiografi sangat memberikan manfaat bagi penegakkan diagnosa suatu klinis.
Dalam hal diatas yang melaksanakan tugas tersebut ialah seorang
radiographer yang dituntut untuk bisa menghasilkan gambaran yang baik untuk
menegakkan diagnosa, maka dari itu dalam makalah ini akan diuraikan
bagaimana teknik pemeriksaan Ossa Pedis pada kasus Fraktur dengan proyeksi
Antero Posterior (AP) dan Oblique Medial Rotation.
Fraktur atau patah tulang adalah keadaan dimana hubungan atau kesatuan
jaringan tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur (elastisitas) dengan
kekuatan yang memadai, apabila trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka
terjadi Fraktur (patah tulang). Penyebab terjadinya Fraktur adalah trauma, stres
kronis dan berulang maupun pelunakan tulang yang abnormal.
Teknik radiografi yang digunakan pada Ossa Pedis adalah proyeksi :
Proyeksi Antero Posterior (AP), Proyeksi AP Oblique - Medial Rotation,
Proyeksi AP Oblique - Lateral Rotation, Proyeksi Lateral Mediolateral,
Proyeksi Lateral Lateromedial, Proyeksi Lateral Lateromedial Metode
Weight Bearing dalam buku pedoman radiologi Bontrager.
Teknik pemeriksaan Ossa Pedis yang sering digunakan dalam permeriksaan
Ossa Pedis di RSUD Kabupaten Buleleng adalah proyeksi AP dan AP Oblique
Medial Rotation. Pada laporan kasus ini, penulis ingin mengetahui manfaat
pemeriksaan Ossa Pedis dengan proyeksi AP dan AP Oblique Medial Rotation
di Instalasi Radiologi RSUD Kabupaten Buleleng untuk mendukung diagnosa
pada kasus fraktur.
Dengan alasan diatas maka penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam
bentuk laporan kasus dengan judul Teknik Pemeriksaan Radiologi Ossa
1
Pedis Pada Kasus Fraktur di Instalasi Radiologi RSUD Kabupaten
Buleleng.
2
1.6 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam memahami laporan kasus ini, maka penulis
membuat sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan pembatasan masalah dan sistematika
penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi tentang anatomi Ossa Pedis, Patologi Ossa Pedis,
Teknik pemeriksaan Ossa Pedis.
Bab III Pembahasan
Bab ini berisi tentang hasil dan pembahasan penelitian.
Bab IV Penutup
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran.
Daftar Pustaka
Lampiran
3
BAB II
TINJAUAN MATERI
Ossa Pedis terdiri atas 26 tulang, yaitu : 14 Ossa phalang, 5 Ossa metatarsal
dan 7 Ossa tarsal. Os tarsal terdiri atas os cuneiforme medial, os cuneiforme
intermedial, os cuneiforme lateral, os cuboideum, os navicular, os
calcaneus, os talus. Berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi 3 yaitu:
2.1.1 Forefoot (Ossa metatarsal dan Ossa phalang).
2.1.2 Midfoot (Ossa cuneiforme, os navicular, dan os cuboideum).
2.1.3 Hindfoot (os talus/astragalus, dan os calcaneus/os calcis).
4
2.2 Patologi Ossa Pedis
2.2.1 Fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah keadaan dimana hubungan atau
kesatuan jaringan tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur
(elastisitas) dengan kekuatan yang memadai, apabila trauma
melebihi dari daya lentur tersebut maka terjadi Fraktur (patah
tulang). Penyebab terjadinya Fraktur adalah trauma, stres kronis dan
berulang maupun pelunakan tulang yang abnormal. Fraktur terjadi
apabila :
a. Trauma (benturan).
Ada dua trauma/benturan yang dapat mengakibatkan Fraktur,
yaitu: benturan langsung, benturan tidak langsung.
b. Tekanan/stres yang terus menerus dan berlangsung lama.
Tekanan kronis berulang dalam jangka waktu lama akan
mengakibatkan Fraktur (patah tulang) yang kebanyakan pada
tulang tibia, fibula (tulang-tulang pada betis) atau metatarsal pada
olahragawan, militer maupun penari. Contoh: Seorang yang
senang baris berbaris dan menghentak-hentakkan kakinya, maka
mungkin terjadi patah tulang di daerah tertentu.
c. Adanya keadaan yang tidak normal pada tulang.
Kelemahan tulang yang abnormal karena adanya proses patologis
seperti tumor maka dengan energi kekerasan yang minimal akan
mengakibatkan fraktur yang pada orang normal belum dapat
menimbulkan fraktur.
5
2.4.1 Penjelasan Proteksi Radiasi
Semua zat radioaktif dan radiasi pengion dapat menimbulkan
resiko bahaya radiasi baik untuk kesehatan dan keselamatan Pedisia
dan lingkungannya, jika tidak dikendalikan dengan baik. Proteksi
radiasi adalah suatu system untuk mengendalikan bahaya tersebut
dengan menggunakan peralatan proteksi dan kerekayasaan yang
canggih serta mengikuti peraturan proteksi yang sudah dibakukan.
Kemungkinan bahaya radiasi itu disebabkan penyinaran tubuh
sebelah luar (eksternal), jika sumber radiasi berada di luar tubuh dan
mungkin disebabkan penyinaran dalam tubuh jika sumber radiasi
berada di dalam tubuh.
Dengan alasan itulah Pemerintah mengeluarkan peraturan-
peraturan yang bertujuan mengurangi akibat-akibat yang merugikan
ini berupa PP no 11, 12, 13 tahun 1975, sedangkan ketentuan
pelaksanaannya dikeluarkan melalui SK Dirjen BATAN no.
24/DJ/II/1983. Di dalamnya dijelaskan ruang lingkupnya sbb :
Ketentuan keselamatan kerja dimaksudkan sebagai petunjuk
bagi mereka yang bekerja dengan sumber radiasi pangion dibidang
kesehatan, industri, pendidikan, penelitian dan
sebagainya. Ketentuan yang terdapat dalam buku petunjuk ini
memuat dasar-dasar proteksi radiasi antara lain mengatur :
a. NILAI BATAS DOSIS radiasi yang diijinkan
b. Persyaratan kerja dengan sumber radiasi
c. Prosedur kerja yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh setiap
orang yang bekerja dengan sumber radiasi.
Adapun konsep atau latar belakang peraturan yang mendasari batas-
batas dosis seperti yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Radiasi pangion dapat menimbulkan akibat biologi yang
merugikan
b. Pengetahuan orang tentang akibat biologi dari radiasi dan
mekanismenya terus berkembang
6
Jadi masuk akal apabila konsep maupun nilai batas dosis pada suatu
waktu berubah mengikuti perkembangan pengetahuan. Agar dapat
memahami Konsep proteksi radiasi marilah lebih dahulu kita tinjau
masalah efek biologi dan radiasi.
7
b. Meminimalkan terjadinya efek stokastik hingga ke tingkat yang
cukup rendah yang masih dapat diterima oleh setiap anggota
masyarakat.
Pengalaman telah membuktikan bahwa dengan menggunakan sistem
pembatasan dosis terhadap penyinaran tubuh (baik radiasi eksterna
maupun internal) kemungkinan resiko bahaya radiasi dapat diabaikan
Petugas Proteksi Radiasi dengan mengikuti Peraturan Proteksi
Radiasi dan menggunakan peralatan proteksi yang canggih dapat
menyelamatkan pekerja radiasi dan masyarakat pada umumnya.
Prosedur yang biasa diapakai untuk mencegah dan mengendalikan
bahaya radiasi adalah :
a. Meniadakan bahaya radiasi
b. Mengisolasi bahaya radiasi dari Pedisia
c. Mengisolasi Pedisia dari bahaya radiasi
Untuk menerapkan tiga prinsip proteksi radiasi di atas dilaksanakan
oleh Petugas Proteksi Radiasi. Prinsip utama cukup jelas dengan
mentaati dan melaksanakan peraturan proteksi radiasi ; kedua dengan
merancang tempat kerja dan menggunakan peralatan proteksi radiasi
yang baik dan penahan radiasi yang memadai sehingga kondisi kerja
dan lingkungannya aman dan selamat; dan ketiga memerlukan
pemonitoran dan pengawasan secara terus menerus baik pekerja
radiasi maupun lingkungannya dengan menggunakan alat
pemonitoran perorangan, pemonitoran lingkungan dan surveimeter.
8
yang sering disebut asas justifikasi yang artinya pembenaran, asas
optimalisasi dan asas limitasi. Penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Asas legislasi atau justifikasi yang artinya pembenaran
Penerapan asas justifikasi dalam pemanfaatan tenaga nuklir
menuntut agar sebelum tenaga nuklir dimanfaatkan, terlebih
dahulu harus dilakukan analisis resiko manfaat. Apabila
pemanfaatan tenaga nuklir menghasilkan manfaat yang lebih
besar dibandingkan dengan resiko akibat kerugian radiasi yang
mungkin ditimbulkannya, maka kegiatan tersebut boleh
dilaksanakan. Sebaliknya, apabila manfaatnya lebih kecil dari
resiko yang ditimbulkan, maka kegiatan tersebut tidak boleh
dilaksanakan. Berikut adalah contoh penerapan asas legislasi atau
justifikasi dalam kehidupan sehari-hari yaitu :
1. Seorang ibu menderita kelainan jantung tetapi ibu tersebut
tidak dapat di roentgen karena ibu tersebut sedang hamil.
Karena ditakutkan radiasi tersebut akan tersalurkan ke
janinnya. Maka pemotretan akan dilakukan setelah ibu
tersebut melahirkan.
2. Jika seseorang pasien datang ke ruang pemeriksaan tanpa
membawa rekomendasi dari dokter maka sebagai radiografer
tidak diharuskan untuk melakukan pemeriksaan terhadap
pasien tersebut.
3. Seorang radiografer tidak boleh seenaknya menggunakan
pesawat roentgen di dalam Rumah Sakit tempat ia bekerja,
misalnya dengan mengekspose binatang peliharaannya untuk
kepentingan pribadinya.
b. Asas Optimalisasi
Penerapan asas ini dalam pemanfaatan zat radioaktif
menuntut agar paparan radiasi yang berasal dari suatu kegiatan
harus ditekan serendah mungkin dengan mempertimbangkan
faktor ekonomi dan sosial. Asas ini dikenal dengan sebutan
9
ALARA (As Low As Reasonably Achievable). Dalam kaitannya
dengan penyusunan program proteksi radiasi, asas optimalisasi
mengandung pengertian bahwa setiap komponen dalam program
telah dipertimbangkan secara saksama, termasuk besarnya biaya
yang dapat dijangkau. Suatu program proteksi dikatakan
memenuhi asas optimalisasi apabila semua komponen dalam
program tersebut disusun dan direncanakan sebaik mungkin
dengan memperhitungkan biaya yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ekonomi.
Tujuan dari asas optimalisasi dalam proteksi radiasi adalah
untuk mendapatkan hasil optimum yang meliputi kombinasi
penerimaan dosis yang rendah, baik individu maupun kolektif,
minimnya resiko dari pemaparan yang tidak dikehendaki, dan
biaya yang murah. Asas optimalisasi sangat ditekankan oleh
ICRP. Setiap kegiatan yang memerlukan tindakan proteksi,
terlebih dahulu harus dilakukan analisis optimalisasi proteksi.
Penekanan ini dimaksudkan untuk meluruskan kesalahpahaman
tentang sistem pembatasan dosis yang sebelumnya dikenal
dengan konsep ALARA (As Low As Reasonably Achievable).
Baik asas optimalisasi maupun ALARA keduanya sangat
menekankan pada pertimbangan faktor-faktor ekonomi dan
sosial, dan tidak semata-mata menekankan pada rendahnya
penerimaan dosis oleh pekerja maupun masyarakat.
Berikut adalah contoh penerapan asas optimalisasi dalam
kehidupan sehari-hari yaitu :
1. Pada saat mengisi kaset radiografer harus memperhatikan
kaset yang akan digunakan, ukuran film yang sesuai dan
jumlah film yang dimasukkan ke dalam kaset.
2. Pada pemeriksaan Thorax untuk bayi sebaiknya
menggunakan film 18x24 cm atau 24x30 cm. Hal ini
dimaksudkan agar dosis yang diterima pasien dapat
10
diminimalkan dan tidak merugikan pasien dalam hal
ekonomi.
3. Sebelum dilakukan pemeriksaan radiografer terlebih dahulu
harus memberikan instruksi yang jelas kepada pasien agar
pengulangan foto dapat dihindari sehingga pasien tidak
mendapat dosis radiasi yang sia-sia.
c. Asas Limitasi
Penerapan asas ini dalam pemanfaatan tenaga nuklir
menuntut agar dosis radiasi yang diterima oleh seseorang dalam
menjalankan suatu kegiatan tidak boleh melebihi nilai batas yang
telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Yang dimaksud
Nilai Batas Dosis (NBD) ini adalah dosis radiasi yang diterima
dari penyinaran eksterna dan interna selama 1 (satu) tahun dan
tidak tergantung pada laju dosis. Penetapan NBD ini tidak
memperhitungkan penerimaan dosis untuk tujuan medik dan
yang berasal dari radiasi alam. NBD yang berlaku saat ini adalah
50 mSv (5000 mrem) pertahun untuk pekerja radiasi dan 5 mSv
(500 mrem) per tahun untuk anggota masyarakat. Sehubungan
dengan rekomendasi IAEA agar NBD untuk pekerja radiasi
diturunkan menjadi 20 mSv (2000 mrem) per tahun untuk jangka
waktu 5 tahun (dengan catatan per tahun tidak boleh melebihi 50
mSv) dan untuk anggota masyarakat diturunkan menjadi 1 mSv
(100 mrem) per tahun, maka tentunya kita harus berhati-hati
dalam mengadopsinya. Dengan menggunakan program proteksi
radiasi yang disusun secara baik, maka semua kegiatan yang
mengandung resiko paparan radiasi cukup tinggi dapat ditangani
sedemikian rupa sehingga nilai batas dosis yang ditetapkan tidak
akan terlampaui. Berikut adalah contoh penerapan asas limitasi
dalam kehidupan sehari-hari yaitu :
a. Pada saat ingin mengekspose pasien yang perlu diperhatikan
adalah jumlah radiasi yang akan digunakan. Misalnya
seorang pasien dewasa ingin memeriksakan ekstremitas atas
11
(antebrachi), kV yang digunakan sebesar 45. Apabila ada
seorang pasien anak-anak juga ingin memeriksakan
antebrachinya maka kita sebagai radiografer harus
menurunkan kondisi yang tadi digunakan menjadi kV 40
karena dengan kondisi tersebut sudah dapat dihasilkan
gambar radiografi yang bagus karena tebal objek sudah dapat
ditembus dengan kondisi tersebut.
b. Pada pemeriksaan Thorax untuk bayi sebaiknya
menggunakan film 18 x 24 cm atau 24 x 30 cm. Hal ini
dimaksudkan agar dosis yang diterima pasien dapat
diminimalkan.
c. Jika radiografer melakukan foto sinar-x, untuk mengurangi
dosis radiasi yang diterima oleh pasien, kita sebisa mungkin
mengatur luas kolimasi sesuai dengan kebutuhan. Sebab
semakin besar kolimasi maka semakin besar pula radiasi
yang diterima oleh pasien begitupun sebaliknya.
12
Gambar 2.5.1 Proyeksi AP
13
Gambar 2.5.2 AP Oblique - Medial Rotation
Kriteria gambar yang tampak :
Tampak os cuneiform medial, os cuneiform intermedial, metatarsal,
tuberosity, os cuneiform lateral, os cuboid, os calcaneus, sinus tarsi, talus, os
navicular.
14
Gambar 2.5.3 AP Oblique - Lateral Rotation
Kriteria gambar yang tampak :
Tampak os cuneiform medial,os cuneiform intermedial, os navicular, os
talus, os calcaneus, os cuboid.
15
a. Posisi Pasien : Posisikan pasien supine/duduk diatas meja
pemeriksaan. Kemudian untuk kenyamanan pasien, tubuh pasien
diposisikan oblique (LPO/RPO).
b. Posisi Objek : Atur Pedis true lateral, sisi medial Pedis
menempel pada kaset. Fleksikan Pedis sehingga membentuk
sudut 90o terhadap cruris.
c. Central Ray (CR) : Tegak lurus kaset
d. FFD : 100cm
e. Central Point (CP) : Metatarsal III
f. Pasang marker R/L sesuai objek
g. Instruksikan pasien supaya tidak merubah posisi kemudian
ekspose.
16
Catatan : Kaset diletakkan ditempat khusus untuk proyeksi metode
weight bearing agar daerah longituninal arch terproyeksi dalam film.
17
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
18
Gambar 3.1.3.1 Pesawat Sinar-X
Merk : SHIMADZU
Serial No : CM6F47827009
Aktivitas Maksimun : 150 Kv, 630 mA
3.1.3.3 Film
19
Gambar 3.1.3.4 Marker
3.1.3.5 Plaster
Gambar 3.1.3.5
Plaster
3.1.3.6 Load Pembagi
20
Gambar 3.1.3.7 Automatic Processing
3.1.3.8 Apron
21
Gambar 3.1.4.1 Proyeksi AP
22
Radiograf :
23
c. Terdapat fraktur pada metatarsal II.
3.2 Pembahasan
3.2.1 Prosedur Pemeriksaan Radiografi Ossa Pedis di Instalasi
Radiologi RSUD Kabupaten Buleleng.
Tahapan yang harus dilakukan dalam pemeriksaan di Instalasi
Radiologi RSUD Kabupaten Buleleng yaitu :
a. Pasien datang ke Istalasi Radiologi Kabupaten Buleleng
dengan membawa surat permintaan foto rontgen.
b. Catat informasi data pasien pada buku registrasi dan billing
sistem.
c. Tulis data identitas pasien pada amplop.
d. Pasien dipersilahkan masuk ke ruang pemeriksaan untuk
dilakukan pemeriksaan
e. Setelah pasien diperiksa, pasien dipersilakan menunggu hasil.
24
1. Posisi pasien dalam keadaan nyaman, sehingga
pemeriksaan bisa dilakukan dengan baik.
2. Pada pemeriksaan Ossa Pedis positioning relative mudah
3. Gambaran yang dihasilkan mampu menampakkan seluruh
Ossa Pedis dengan jelas
4. DenganmenggunakanAPobliquemedialrotationseluruh
toestidaksuperposisi.
5. Ketidak tajaman akibat pergerakan bisa diminimalisir
karena pada saat pemeriksaan posisi pasien nyaman dan
pemeriksaan dilakukan dengan cepat
b. Kekurangan
Padproteksi yang sangat minim dilakukan untuk pasien yaitu
penggunaan apron atau gonad shield pada pasien selama
pemeriksaan dilakukan.
25
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.1.1 Di Instalasi Radiologi RSUD Kabupaten Buleleng dalam melakukan
pemeriksaan memiliki prosedur tersendiri untuk mempermudah
dalam melakukan pemeriksaan.
4.1.2 Teknik pemeriksaan radiografi Ossa Pedis pada kasus Fraktur di
Isntalasi Radiolgi RSUD Kabupaten Buleleng hanya menggunakan
proyeksi Antero Posterior (AP) dan AP Oblique Medial Rotation
karena dengan kedua proyeksi tersebut sudah mampu menampakan
gambaran yang jelas.
4.1.3 Pada pemeriksaan Ossa Pedis di Instalasi Radiologi RSUD
Kabupaten Buleleng mengutamakan kenyamanan pasien, agar
pemeriksaan bisa dilaksanakan dengan baik.
4.2 Saran
4.2.1 Bagi Penulis
Dapat menambah wawasan dan informasi mengenai Teknik
Pemeriksaan Ossa Pedis pada kasus Fraktur.
4.2.2 Bagi Institusi Rumah Sakit
Dadapt memberikan masukan dan saran-saran yang berguna bagi
Rumah Sakit dalam hal ini Instalasi Radiologi umumnya dan
Rdiografer pada khususnya mengenai pemeriksaan Ossa Pedis.
4.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber pustaka bagi mahasiswa Akademi Teknik
Radiodiagnostik dan Radioterapi (ATRO) Bali.
26
DAFTAR PUSTAKA
Merrills. Philip W. Ballinger MS, RT(R), FAERS, Eugene D.Frank MA, RT(R),
FASRT,. 2003. Radiographic Positions & Radiologic Procedures, Tenth Edition,
Mosby.
LAMPIRAN
27
28