Вы находитесь на странице: 1из 4

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan komponen reduksi gula yang tinggi dari substrat
fermentasi bioetanol dengan menggunakan rumput laut E. cottonii. E. cottonii kering diambil dari
Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Rumput laut dihidrolisis menggunakan selulosa selama 24 jam
dengan berbagai konsentrasi enzim (19, 36, dan 52 AU) dan suhu (40 dan 50 C). Pengurangan gula
dianalisis dengan metode Nelson-Somogy kemudian uji signifikansi statistik (t-test) diolah dengan
menggunakan software SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reduksi gula adalah 8,045 mg / mL,
diperoleh selama 12 jam proses hidrolisis menggunakan selulosa 36 AU pada suhu 50 C. Namun, hasil
hidrolisis ini tidak berbeda nyata (diuji dengan analisis uji-t) dengan hasil yang ditunjukkan oleh hidrolisis
enzim selulosa 19 AU pada temperatur 50 C yang menghasilkan 7,937 mg / mL komponen gula reduksi.

INTRODUCING

Salah satu sumber daya kelautan yang populer di Indonesia adalah rumput laut, memang
pengembangan budidaya rumput laut cukup baru-baru ini. Sayangnya, hanya 20-23% budidaya rumput
laut di Indonesia yang menghasilkan bahan baku meski produk olahannya baik dengan nilai tambah
lebih banyak. Beberapa jenis rumput laut adalah Euchema cottoni dan Gracilaria, dengan perkiraan rasio
hasil 70:30. Indonesia mengekspor 80% dari E. cottoni, sementara 80% produk Glacilaria dikonsumsi di
dalam negeri (Rachbini et al., 2011 di Nurdin, 2012). Buton, Sulawesi Tenggara merupakan salah satu
penghasil rumput laut E. cottoni dan telah mencapai 70.313 ton (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
Perikanan dan Perikanan dalam Berita Ekspor, 2013). Menurut Harvey (2009) di Wiratmaja (2011),
rumput laut secara kimia terdiri dari air (27,8%), protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,60%), dan
serat kasar (3,0%), dan abu (22,25%), sedangkan Suriawiria (2003) menyatakan bahwa rumput laut
terdiri dari 11,28% kadar air, 36,05% kadar abu, 0,42% lemak, kadar protein 1,86%, kandungan serat
8,96% dan 41,43% karbohidrat. Jung et al. (2012) telah membuktikan bahwa makroalga (berarti rumput
laut) merupakan bahan potensial untuk biorefinery dengan pengenalan klasifikasi taksonomi, habitat,
kapasitas cadangan karbon, juga dapat diolah dalam limbah pertanian. Disimpulkan bahwa penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk pemanfaatan rumput laut sebagai biomassa dan biorefinery baru yang
menjanjikan. Penemuan bioetanol rumput laut akan mendukung kebijakan Pemerintah, terutama dalam
penyediaan energi biofuel terbarukan. Sari dkk. (2013) membuat etanol dari selulosa Gracillaria
verrucosa dan ganggang merah E. cottonii dan tingkat konversi selulosa alga merah dan fermentasi oleh
bakteri Clostridium acetobutylicum diperoleh pada kondisi fermentasi pH 6,0 selama 10 hari. Nilai
konversi selulosa alga merah setiap 1 kilogram selulosa gracillaria verrucosa menghasilkan 21,56%
bioetanol dengan kemurnian 17,04% dan satu kilogram E. cottonii menghasilkan etanol 18,40% dengan
kemurnian 8,42%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan awal kapas Euchema
yang dihidrolisis oleh enzim selulosa sebelum fermentasi menghasilkan substrat yang dapat
meningkatkan kadar glukosa pada produksi bioetanol. Langkah fermentasi setelah itu dilakukan dengan
S. cereviceae yang mampu mengubah gula menjadi etanol.

BAHAN DAN METODE

2.1. Bahan baku dan bahan kimia

Rumput kering E. cottonii yang dipasok dari Buton, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Bahan lainnya adalah
air suling, Nelson A, Nelson B, Arsenomolibdat, dan enzim selulosa (CV Endsany Jaya Engineering
Surakarta). Peralatan yang digunakan adalah seperangkat alat bantu kimia, neraca analitik,
spektrofotometer Jenway 6305, pusaran, kompor listrik, dan pengaduk hotplate.

2.2. Metode

2.2.1 Persiapan rumput laut Rumput laut direndam selama 2 jam lalu dicuci dan dikeringkan. Setelah itu,
proses reduksi ukuran (dipotong-potong). Timbang 10 gram masing-masing, masukkan 100 ml
Erlenmeyer.

2.2.2 Persiapan enzim selulase. Larutan selulase (1 g enzim selulase: 1 ml air suling) disentrifugasi pada
centrifuge 7000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan padatan dan cairan kemudian menghidrolisis
larutan ini. Untuk enzim selulase 19 AU diperoleh 5 g enzim yang dilarutkan dalam 5 ml air suling. Begitu
pula untuk mendapatkan enzim selulase 36 AU dan 52 AU.

2.2.3 Proses Hidrolisis. Hidrolisis yang dilakukan pada konsentrasi selulase adalah 19,36, dan 52 AU
sedangkan suhu 40 dan 50 C. Untuk menjaga panas dan suhu juga untuk diaduk saat terhidrolisis,
peralatan yang digunakan adalah pengaduk hotplate pada suhu 100 rpm dan termometer untuk
memantau suhu. Proses hidrolisis dilakukan selama 24 jam dengan metode pengambilan sampel.

2.2.4 Penentuan gula reduksi dalam sampel. Siapkan 1 ml larutan sampel ke dalam tabung reaksi bersih,
tambahkan 1 ml reagen Nelson, dan kemudian diperlakukan seperti dalam penyusunan kurva standar
larutan glukosa.

2.2.5 Desain Eksperimental Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap
(complete randomized design / CRD) dengan 2 faktor. Faktor 1 adalah konsentrasi enzim selulase yang
terdiri dari tiga variasi, yaitu 19, 36, dan 52 AU. Faktor 2 adalah suhu Proses hidrolisis yang terdiri dari
dua variasi, yaitu 40 dan 50 C. Dari dua faktor tersebut didapat 6 kombinasi perlakuan. Parameter yang
dianalisis adalah kadar gula reduksi. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan
software SPSS dengan uji beda nyata (t test).

HASIL DAN DISKUSI

3.1. Karakteristik rumput laut E. cottonii

E. cottonii adalah salah satu jenis rumput laut ganggang merah (Rhodophyta) yang memiliki lingga halus
dan silinder, dan warnanya bervariasi pada hijau, hijau kuning, abu-abu, dan merah. Rumput laut ini
tumbuh melekat pada substrat dalam bentuk cakram (Atmaja et al., 1996 di Wiratmaja, 2011). Rumput
laut adalah senyawa makroalga organik tinggi, terutama karbohidrat dalam bentuk monomer dan
polimer. Isi dari spesies rumput laut alga merah termasuk Polisakarida, Karagenan, Agar, Selulosa, Lignin
Monosakarida, Glukosa, Galaktosa, dan Agarose (Jung, et al., 2012). Selulosa rumput laut adalah
komponen yang bisa dikonversi menjadi bioetanol. Menurut uji proksimat, bahwa E. cottonii terdiri dari
kadar air 75,32%, kadar abu 4,13%, kadar protein 1,76%, lemak 0,35%, serat kasar 2,60% dan
karbohidrat15,85%. Selain itu, Kim et al. (2010) juga menunjukkan komposisi rumput laut E. cottonii
mengandung 7,11% selulosa. Komponen organik lignoselulosa banyak terdapat di alam dan terdiri dari
tiga jenis polimer, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Komponen ini merupakan bahan penting
untuk menghasilkan produk yang bermanfaat seperti gula dari fermentasi, bahan kimia, dan biofuel.
Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa menggunakan media air dan dibantu dengan katalis asam
atau enzim. Studi sebelumnya (Nurdin, 2012) telah menganalisis kualitas rumput laut pasca panen E.
cottonii di Buton, Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dikembangkan untuk mengetahui potensi rumput
laut untuk menghasilkan bioetanol melalui substrat fermentasi dengan reduksi gula tertinggi.

3.2. Hasil Hidrolisis Enzimatik

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan gula reduksi tinggi dari proses
hidrolisis. Hasil ini diperoleh dengan membandingkan variasi konsentrasi enzim selulosa yang digunakan
dan suhu selama proses hidrolisis, serta selama proses pengambilan sampel hidrolisis selama 24 jam.
Ada 6 rangkaian percobaan yang harus dilakukan dalam serangkaian percobaan. Hasil rata-rata gula
reduksi yang diperoleh disajikan pada Gambar 1 untuk hidrolisis pada suhu 40 C dan Gambar 2 untuk
hidrolisis pada suhu 50 C. Kandungan gula reduksi tertinggi diperoleh pada hidrolisis selama 12 jam.
Kinerja enzim meningkat mulai pada 0 sampai 12 jam hidrolisis yang ditunjukkan oleh peningkatan kadar
gula reduksi. Namun, pengambilan sampel gula reduksi 18 jam menurun. Ini menunjukkan bahwa enzim
selulase yang digunakan hanya mencapai kerja maksimal sampai 12 jam. Penurunan kadar gula reduksi
setelah 12 jam disebabkan enzim yang digunakan dipengaruhi oleh waktu dan suhu. Semakin lama
penggunaan proses hidrolisis enzim selulase, aktivitas enzim menurun seperti yang ditunjukkan oleh
penurunan kadar gula pengurang (lihat Gambar 1 dan Gambar 2). Kodri (2013) di Gautam et.al (2011)
menyatakan bahwa aktivitas enzim selulosa akan meningkat pada awalnya dan mulai menurun setelah
hari kedelapan. Selain itu, penurunan aktivitas enzim juga karena faktor suhu akibat dari jenis jamur
Trichoderma sp ini tidak tahan suhu yang terlalu tinggi. Sejalan dengan penelitian sebelumnya, Gautam
et.al (2011) memperoleh aktivitas enzim tertinggi pada kisaran suhu 40-50 C untuk produksi enzim
selulase dari Trichoderma sp.

Penurunan gula meningkat dari 0 jam sampai 12 jam namun menurun setelah itu. Nilai tertinggi kadar
gula reduksi adalah 8,045 mg / ml atau 0,865% dengan 36 AU dan 50 C selama 12 jam hidrolisis (lihat
Gambar 2 dan Tabel 1). Alasannya di awal proses hidrolisis, masih ada sejumlah besar substrat dan gula
yang tersedia untuk memungkinkan peningkatan kadar glukosa pada waktu-waktu tertentu, namun
setelah itu waktu tertentu akan mengalami penurunan. Namun, ini adalah kesalahan bahwa nilai
glukosa menurun setelah 12 jam hidrolisis. Setelah proses hidrolisis telah mencapai tingkat tertinggi
hasil glukosa harus tampak tren konstan. Taherzadeh (2008) menyatakan bahwa hidrolisis enzimatik
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan hidrolisis asam karena nilai hasil gula tinggi dan
tidak terdegradasi, juga dapat terjadi pada suhu rendah. Ashriyani (2009) yang mempelajari produksi E.
cottonii bietanol menggunakan enzim selulosa yang dihasilkan dari T. viride menyebutkan bahwa proses
hidrolisis untuk mendapatkan gula reduksi hanya mencapai 48 jam dan menurun setelah itu. Hal ini bisa
disebabkan oleh dua hal. Pertama, glukosa menghambat enzim selulosa sehingga mengurangi aktivitas
enzim. Alasan kedua adalah T. viride adalah dengan menggunakan glukosa dari hidrolisis sebagai sumber
karbon yang mempengaruhi produksi glukosa juga akan berkurang. Hasil penelitian ini juga serupa
dengan yang terjadi pada penelitian Ashriyani (2009). Enzim selulosa yang digunakan dalam penelitian
ini akan menggunakan glukosa sebagai sumber karbon. Jadi, setelah 12 jam enzim selulosa dan substrat
tidak seimbang lagi. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah faktor internal
bahan baku (rumput laut) untuk proses hidrolisis, pengangkutan dan penyimpanan rumput laut selama
pengangkutan (dari Buton), adanya mikroba yang mengkonsumsi gula, selain dari bahan baku, juga
dipengaruhi oleh enzim selulosa yang digunakan selama penelitian yang sudah tersimpan untuk
sementara dan membuat kualitas enzim tertentu menurun. Gambar 2 akan terlihat benar jika sumbu y
adalah aktivitas enzim selulosa. Dari waktu ke waktu kinerja enzim akan menurun atau berhenti.
Semakin lama interaksi antara enzim dengan substrat semakin banyak glukosa terbentuk. Namun, pada
waktu tertentu konsentrasi glukosa hidrolisis juga akan menurun. Penurunan ini disebabkan oleh
akumulasi produk yang telah terbentuk sebelumnya dan menyebabkan terhambatnya enzim selulosa.
Penghambat enzim selulosa adalah glukosa dan selobiose. Cellobiose menghambat enzim exogluconase
sedangkan glukosa menghambat enzim -glukosidase (Ambriyanto, 2010). Hidrolisis dengan enzim
selulosa 36 variasi AU dan suhu 50 C menghasilkan gula reduksi 8.045 mg / ml. Hasil ini jauh dari
memuaskan, seperti yang disebutkan oleh Andhi (2010) bahwa kadar gula optimal yang dibutuhkan
untuk aktivitas S. cereviceae selama fermentasi adalah 17-18 g / ml. Jika larutan gula melebihi kadar,
maka S. cereviceae tidak dapat berkembang dengan baik dan jika kadar gula kurang dari 17-18 g / ml, S.
cereviceae akan tetap hidup dan berkembang, walaupun jumlah etanol Hasilnya akan lebih kecil karena
gula yang diolah menjadi etanol juga lebih sedikit. Hasil uji-t menunjukkan bahwa signifikansi nilai t-test
adalah 0,519, lebih besar dari 0,05, berarti tidak ada perbedaan bermakna penggunaan 19 AU dan 36
enzim AU. Dengan demikian keputusannya adalah untuk menghasilkan substrat fermentasi bioetanol
dengan penambahan enzim 19 AU. Menurut Maiorella dkk. (1981) di Ega et al. (2013), 1,0 g glukosa
secara teoritis menghasilkan 0,51 g etanol. Tapi faktanya, etanol hanya diperoleh sekitar 90% dari hasil
teoritis. Sebenarnya etanol yang dihasilkan tidak 90%, karena glukosa juga digunakan selama
pertumbuhan S. cereviceae selama proses fermentasi. Sebenarnya, kemungkinan etanol yang dihasilkan
adalah 1 g glukosa akan menghasilkan 0,357 g etanol atau yield 60-70%. Dari uraian di atas disebutkan,
25 kg bahan baku akan menghasilkan substrat dengan kadar gula 17,5 g dan etanol 6,25 g atau 70% dari
produksi teoritis. Volume 6,25 g etanol adalah 8,01 ml. Dengan demikian, hasilnya hanya 2,4 liter etanol
per tahun, dan dapat disimpulkan bahwa bahan ini tidak sesuai dengan media fermentasi bioetanol,
dibandingkan dengan Saputra et al. (2012) yang meneliti rumput laut Sargassum sebagai bahan
bioetanol dengan hidrolisis asam, glukosa yang diperoleh adalah 28,051 mg / ml atau akan
menghasilkan 0,0571 ml etanol. Jauh berbeda dengan hasil etanol yang dihasilkan dari substrat
fermentasi dalam penelitian ini.

KESIMPULAN

Eucheuma cottonii dapat digunakan sebagai substrat fermentasi bioetanol dalam bentuk gula reduksi
dengan hidrolisis enzimatik dengan menggunakan enzim selulosa. Kondisi terbaik dari hidrolisis enzim
selulosa adalah 36 AU dengan suhu 50 C dan gula reduksi yang diperoleh adalah 8.045 mg / ml atau
0,865%. Namun berdasarkan analisis statistik t-test, hasil reduksi kadar gula tidak berbeda nyata dengan
hasil hidrolisis enzim selulase pada suhu 50 C, 19 AU yang menghasilkan kadar gula reduksi 7,937 mg /
ml atau 0,794%.

Вам также может понравиться