Вы находитесь на странице: 1из 10

MAKALAH

ANALISIS KASUS SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA


NEGARA MENURUT UUD 1945 SETELAH AMANDEMEN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Ptun & Konstitusi

Disusun Oleh :
Putra Muhammadin (D1A113237)

UNIVERSITAS MATARAM
FAKULTAS HUKUM
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Secara konseptual diadakannya lembaga-lembaga Negara atau alat-alat perlengkapan
Negara adalah selain untuk menjalankan fungsi Negara juga untuk menjalankan fungsi
pemerintahan secara actual. Dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia dikenal
beberapa istilah yang dipergunakan untuk mengidentiifkasian lembaga nengara atau organ-organ
penyelenggaraan Negara. Di dalam konstutusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949, pada
masa ini dipergunakan istilah alat-alat kelengkapan Federal pada Undang-undang Dasar
Sementara (UUDS) 1950 dengan Istilah alat-alat perlengkapan negara. Istilah Lembaga
Negara dalam UUD 1945 tidak ditemui, hanya istilah badan pada pasal 23 ayat (5) untuk
menyebut Badan Pemeriksa Keuangan demikian juga pada pasal II Aturan Peralihan dan
Penjelasannya hanya dikenal dengan istilah badan. Perlengkapan Negara ini mempunyai
fungsi masing-masing yang saling mendukung, memperkuat kedudukan masing-masing.
Lembaga-lembaga Negara harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain
saling berhubungan dalam rangka penyelengaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan
Prof. Jimly Asshidiqie adalah actual governmental process.
Jadi, meskipun dalam prakteknya tipe lembaga-lembaga Negara yang diadopsi setiap
Negara bisa berbeda, secara konsep, lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi
sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi
Negara dan ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.
Dalam Negara hukum yang demokratik, hubungan antara infra struktur politik (Socio
Political Sphere) selaku pemilik kedaulatan (Political Sovereignty) dengan supra struktur politik
(Governmental Political Sphere) sebagai pemegang atau pelaku kedaulatan rakyat menurut
hukum (Legal Sovereignty), terdapat hubungan yang saling menentukan dan saling
mempengaruhi. Oleh karena itu, hubungan antar dua komponen struktur ketatanegaraan tersebut
ditentukan dalam UUD, terutama supra struktur politik telah ditentukan satu sistem, bagaimana
kedaulatan rakyat sebagai dasar kekuasaan tertinggi negara itu dibagi-bagi dan dilaksanakan oleh
lembaga- lembaga negara.
Untuk memahami kedudukan dan hubungan lembaga negara terlebih dahulu harus
memahami konteks sejarah dan suasana politik yang terjadi. Kedudukan lembaga Negara dapat
dilihat dari konteks Negara dan konteks masyarakat. Lembaga negara dalam konteks negara
dapat diketahui melalui sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang berlaku
sebagaimana yang dianut dalam UUD 1945. Dalam konteks masyarakat dapat dilihat dari kerja
Infrastruktur Politik masyarakat yang meliputi partai politik (political party), golongan
kepentingan (interest group), golongan penekan (pressure group), alat komunikasi politik (media
political communication), dan tokoh politik (political figure) dalam mempengaruhi dan
mengarahkan kebijakan- kebijakan penyelenggara Negara. Keberadaan lembaga Negara yang
beraneka ragam dan memiliki kedudukan dan fungsi masing-masing yang berbeda sesuai dengan
tujuan lemabaga Negara tersebut di Indonesia dalam pelaksanaanya tentu tidak semudah seperti
yang kita bayangkan. Banyak hal yang mungkin dapat terjadi dalam hubungannya antar lembaga
Negara, seperti sengketa misalnya. Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas, maka
dalam makalah ini akan mengupas lebih dalam mengenai analisis terhadap sengketa antar
lembaga Negara yang ada di Indonesia.
2. RUMUSAN MASALAH

A. Bagaimana analisis kasus sengketa lembaga Negara antara Mahkamah Agung (MA) dengan
Komisi Yudisial (KY)?
B. Bagaimana analisis kewenangan penyelesaian sengketa antara LPSK dan Kepolisian?
BAB II
PEMBAHASAN
Lembaga Negara merupakan lembaga pemerintahan Negara yang berkedudukan di pusat
yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan
UUD 1945 sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi Negara, yaitu MPR
sebagai lembaga tertinggi Negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi
Negara. Namun setelah perubahan, lembaga Negara berdasarkan ketentuan UUD adalah MPR,
DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau
tertinggi negara. UUD 1945 menjelaskan prinisip kedaulatan yang tercermin dalam pengaturan
penyelenggaraan Negara. UUD 1945 memuat pengaturan kedaulatan hukum, rakyat, dan negara
karena didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang berdasarkan pada hukum,
proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dan hubungan antar Negara RI dengan Negara luar
dalam konteks hubungan internasional.
Untuk mengetahui bagaimana proses penyelenggaraan Negara menurut UUD, maka
Prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan harus dicermati karena mempengaruhi hubungan
dan mekanisme kelembagaan antar lembaga Negara. Dengan penegasan prinsip tersebut,
sekaligus untuk menunjukan ciri konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk
menghindari adanya kesewenang-wenangan kekuasaan. Adanya pergeseran prinsip pembagian
ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa dampak pada pergeseran
kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan
Negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perubahan prinsip yang
mendasari pemisahan kekuasaan antar lembaga Negara adalah adanya pergeseran kedudukan
lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan MPR dirubah menjadi dilaksanakan
menurut UUD.
Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat
dalam prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan
tegas. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat Presiden dan
Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di bidang pengawasan keuangan ada BPK. Namun,
dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja
antar lembaga Negara yang mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan
Negara. Untuk memahami pengertian lembaga atau organ Negara secara lebih dalam.
Lembaga Negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi,
sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk
karena keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum
terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu
mengakibatkan pada perubahan kelembagaan Negara. Hal ini tidak saja karena adanya
perubahan terhadap butir-butir ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan Negara, tetapi
juga karena perubahan hukum dan ketatanegaraan. Beberapa prinsip-prinsip mendasar yang
menentukan hubungan antar lembaga Negara diantaranya adalah Supremasi Konstitusi, Sistem
Presidentil, serta Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances.
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan pemisahan
kekuasaan (separation of power) tetapi sering disebut dengan istilah pembagian kekuasaan
(distribution of power). Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi
(eksekutif) tetapi juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang atau kekuasaan
legislatif bersama-sama dengan DPR sebagai bagian dari legislator. Sedangkan, masalah
kekuasaan kehakiman (yudikatif) dalam UUD 1945 sebelum perubahan dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Walaupun masing-
masing lembaga sudah mempunyai fungsi dan kewenangannya, namun seringkali antar lembaga
Negara ini mengalami sengketa antar lembaga seperti pada contoh sengketa lembaga Negara
antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudial (KY) dan kasus Kewenangan Penyelesaian
Sengketa antara LPSK dan Kepolisian yang akan kami bahas dan analisis pada makalah ini.

A. SENGKETA LEMBAGA NEGARA ANTARA MAHKAMAH AGUNG (MA) DAN KOMISI


YUDISIAL (KY)

Beberapa saat yang lalu, muncul berbagai usulan agar lembaga Negara dikaji ulang
keberdaannya, sekaligus kewenangan dan kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Karena sejak reformasi, kelembagaan Negara kita tidak jelas desainnya. Masing-masing tidak
taat Patokan konstitusionalismenya. Pemerintah selalu mengatakan bahwa setelah adanya
amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kita menganut antara lain prinsip check and
balances. Pada kenyataannya, prinsip itu tidak sepenuhnya diikuti dalam sistem yang kita
bangun melalui perubahan UUD 1945. Bahkan belakangan muncul persoalan tumpang tindih
kewenangan antar lembaga Negara, dalam hal ini adalah Komisi Yudisial (KY) dengan
Mahkamah Agung (MA).
Kelembagaan Negara dan birokrasi pemerintahan belum sepenuhnya tersentuh reformasi.
Yang di lakukan hanya sebatas menurunkan Presiden Soeharto, tetapi tidak membongkar ulang
birokrasi yang selama 32 tahun dipimpin Presiden Soeharto. Birokrasi, TNI, Kepolisian, dan
Kejaksaan setidaknya belum tersentuh reformasi secara optimal. Menjelang tutup tahun 2005,
KPK membuat MoU dengan Kejaksaan Agung untuk menangani korupsi yang sudah parah di
Indonesia. Salah satu point kesepakatan tersebut adalah di bukanya akses bagi KPK untuk
mengkaji ulang perkara korupsi yang pernah di SP3-kan.
Ketika KPK melakukan penggeledahan di ruangan Ketua MA Bagir Manan, banyak
pihak terkejut dengan peristiwa tersebut. Tindakan KPK dilakukan karena adanya dugaan suap
terhadap beberapa Hakim Agung MA yang di beberkan Probosutedjo, serta mengaitkan kasus
tersebut dengan Bagir Manan. Sengketa antara KPK dengan MA kemudian merembet kepada
sengketa dengan KY, karena Bagir Manan juga menolak datang ke kantor KY untuk diperiksa
dalam kasus yang sama.
KY kemudian mengusulkan kepada presiden SBY supaya diadakan seleksi ulang
terhadap 49 Hakim Agung untuk memperbarui citra kelembagaan Mahkamah Agung yang sudah
terpuruk dimata publik, dan untuk payung hukumnya akan diterbitkan peraturan pemerintah
pengganti undang undang (Perpu). Usulan KY mendapat respon yang positif dari presiden,
meskipun di masyarakat muncul pro dan kontra. Ide seleksi ulang itupun ternyata kurang di
dukung argumentasi yuridis yang kuat bahkan kini nyaris tak terdengar. Secara konstitusional
KY memang memiliki kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim agung kepada DPR dan
memeriksa hakim untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku
hakim (pasal 14 UU No.22 tahun 2004).
Di sisi lain, MA pun memiliki Majelis Kehormatan yang berwenang menilai kecakapan
hakim dan prilaku hakim yang melakukan perbuatan tercela, yakni apabila hakim yang
bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalamnya maupun di luar
pengadilan merendahkan martabat hakim (Pasal 12 UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Tahun
2004). Lalu muncul permasalahan, tentang bagaimana penyelesaian sengketa kewenangan antar
KY dan MA dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku
hakim serta bagaimana penyelesaian sengketa kewenangan antara KY dan MA dalam menilai
kecakapan hakim.
Lembaga baru yang lahir melalui amandemen UUD 1945 adalah mahkamah konstitusi
(MK), yang memilki kewenangan antara lain untuk memutus sengketa kewenangan Lembaga
negara yang kewenanagannya di berikan oleh UUD (Pasal 24 c). Kewenangan MK tersebut lebih
diperjelas dalam UU no.24 tahun 2003 pasal 61, yang menyatakan pemohon adalah lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD negara RI tahun 1945 yang mempunyai
kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Kemudian dalam pasal 63
ditegaskan, MK dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan atau
termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan
sampai ada keputusan MK.
Sengketa antara KY dengan MA sepatutnya diselesaikan secara hukum karena hal ini
menyangkut persoalan kewenangan kelembagaan negara. Akan tetapi kalau sengketa antara KY
dengan MA di bawa ke MK, akan muncul persoalan baru yakni adanya pembatasan dalam pasal
66 UU MK, yang mengecualikan MA sebagai Lembaga negara yang tidak dapat menjadi pihak
dalam sengketa kewenangan lembaga negara pada MK. Artinya permasalahan KY dengan MA
tidak dapat diselesaikan dengan MK. Inilah salah satu kelemahan legislasi kita. Mungkin karena
ada kendala yuridis tersebut akhirnya sengketa kewenangan KY dengan MA diselesaikan secara
dialog antar perseorangan didalam kedua lembaga itu yang di fasilitasi oleh Negara juga. Cara
inipun bukanlah penyelesaian yang tepat atas masalah sengketa kewenangan lembaga negara,
karena secara kelembagaan masih membutuhkan langkah lanjutan.
Persoalan lain yang muncul antara MA dan KY menyangkut penilaian terhadap
kecakapan hakim, siapa di antara dua lembaga tersebut yang berwenang memperpanjang masa
kerja hakim agung. Beberapa saat yang lalu ketua MA Bagir Manan, mengeluarkan Surat
Keputusan (SK) perpanjangan masa pensiun hakim agung atas dirinya dan beberapa hakim
agung karena dinilai memilkiki prestasi kerja luar biasa. UU no.25 tahun 2004 pasal 11 memang
menyatakan, Dalam hal hakim agung telah berumur 65 tahun, dapat di perpanjang sampai
dengan 67 tahun dengan syarat mempunyai prestasi kerja luar biasa serta sehat jasmani dan
rohani berdasarkan surat keterangan dokter.
Namun, tindakan ketua MA ini memunculkan kritikan pedas dan pro-kontra dari berbagai
kalangan karena dinilai tidak etis, menilai dirinya sendiri layak untuk diperpanjang masa
pensiunnya. Pasal 24b ayat 1 UUD 1945 amandemen menegaskan, KY berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung. Pasal 20-23 UU No.22 tahun 2004 menyebutkan, KY melakukan
pengawasan atas perilaku hakim dan mengusulkan penjatuhan sangsi berupa teguran tertulis,
pemberhentian sementara, atau pemberhentian.
Usul KY tersebut disampaikan kepada pimpinan MA atau pimpinan MK untuk
diselesaikan majelis Kehormatan Hakim. Untuk hakim agung diselesaikan oleh majelis
kehormatan MA. Kelemahan dalam pengaturan UU KY yang berbenturan dengan UU MA inilah
yang dijadikan dasar KY untuk terus mereformasi lembaga peradilan (MA) dengan mengajukan
draft Perpu untuk merubah UU no.22 tahun 2004. Melalui draft tersebut KY mengusulkan setiap
hakim agung yang akan di perpanjang masa jabatannya harus mengikuti seleksi yang diadakan
KY.
Usulan dalam draft Perpu tersebut nampaknya lebih proporsional dari pada usulan seleksi
ulang terhadap 49 hakim agung melalui Perpu. Akan tetapi, langkah KY yang mengajukan draft
Perpu kepada Presiden bisa menjadi buruk dimasa mendatang karena intervensi dari kekuasaan
eksekutif, padahal baik KY maupun MA adalah lembaga yang harus dijaga independensinya.
Akan lebih baik kalau penataan kelembagaan KY dilakukan melalui legislative review, sehingga
KY cukup mendesak kepada DPR bersama sama pemerintah untuk merevisi UU KY dan UU
MA. Tidak perlu KY diberi wewenang yang sangat besar, karena kekuasaan yang besar
cenderung bersalah guna. Secara bertahap disempurnakan kelembagaannya, instrumen
hukumnya, dan kemudian ukur kinerjanya. Tidak perlu tergesa-gesa menambah wewenang KY,
karena sampai hari ini masyarakat belum menemukan prestasi luar biasa dari KY. Kita baru
membaca wewenang tentang sepak terjang KY. Kedepan bukan hanya KPK, KY, MA/MK
yang harus mereformasi hukum (kelembagaan peradilan) di Indonesia dan merealisasikan janji
pemberantasan KKN, tetapi DPR dan Presiden-pun harus mewujudkan reformasi hukum secara
bersungguh-sungguh. Peraturan perundangan-undangan yang membelenggu ruang gerak
lembaga penegak hukum harus disempurnakan secepatnya, agar lembaga-lembaga penegak
hukum memkiliki kewenangan yang jelas dan tegas.untuk itu perlu segera mengamandemen UU
MK, UU KY, dan UU MA, sambil melakukan pembenahan pada aparatur penegak hukum dan
membangun kultur hukumnya.

B. KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA LPSK DAN KEPOLISIAN

Sengketa antara Kepolisian dan LPSK masih terus terjadi terkait dengan kewenangan
masing-masing pihak dalam memberikan perlindungan terhadap seorang saksi pelapor yang juga
merupakan tersangka, akan tetapi sengketa tersebut tidak ada penyelesaiannya. Hal ini
dikarenakan kedudukan atau status kedua lembaga tersebut yang berbeda, di mana Kepolisian
sumber kewenangannya berdasarkan UUD dan LPSK sumber kewenangannya berdasarkan UU,
sehingga tidak termasuk kualifikasi lembaga negara yang dapat bersengketa di Mahkamah
Konstitusi (MK), karena Lembaga negara yang diakui untuk bersengketa di MK hanyalah
Kepolisian sedangkan LPSK bukan merupakan lembaga yang diakui dapat bersengketa di MK,
terkait dengan sengketa kewenangannya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Mahfud MD selaku
Ketua Mahkamah Konstitusi bahwa sengketa antara Kepolisian dan LPSK bukanlah merupakan
sengketa kewenangan antar lembaga negara, karena yang bisa SKLN itu antar lembaga negara
yang kewenangannya diberikan UUD 1945. [2]
Apakah LPSK bukan merupakan lembaga negara yang tidak termasuk dalam kualifikasi
lembaga Negara yang tidak dapat bersengketa di MK? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita
bisa mencermati pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dalam pendapat berbeda Putusan
Perkara 027/SKLN-IV/2006, berpendapat bahwa pengertian kewenangan satu lembaga negara
diberikan oleh UUD 1945 tidaklah diartikan bahwa kewenangan tersebut harus secara expressis
verbis tertulis. Pendapat tersebut telah diakomodir oleh pendapat mayoritas hakim konstitusi
dalam Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006 yang pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa
tidak hanya semata-mata penafsiran secara tekstual bunyi dari ketentuan UUD yang memberikan
kewenangan kepada lembaga Negara tertentu, tetapi juga ada kemungkinan kewenangan-
kewenangan implisit yang terdapat dalam suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang
diperlukan guna menjalankan kewenangan pokok tertentu tersebut. Kewenangan-kewenangan
tersebut dapat saja dimuat dalam sebuah undang-undang, menurut pendapat Muhammad
Makhfuzdz.
Penafsiran harus diperluas sedemikian rupa, karena perkembangan dan dinamika
permasalahan yang tidak dapat diantisipasi secara sempurna oleh Pembuat Undang-Undang
(Dasar). Tentu pendapat tersebut memberikan suatu pencerahan baru karena kata
kewenangannya yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dalam pasal 24 C tersebut tidak
hanya ditafsirkan secara tekstual dimana hanya lembaga-lembaga Negara yang dicantumkan
dalam UUD yang dapat bersengketa, melainkan juga Lembaga-Lembaga Negara yang baik
secara implisit atau eksplisit fungsi dan wewenangnya untuk menjalankan nilai-nilai yang ada
atau termuat dalam pasal-pasal UUD 1945, meskipun keberadaan Lembaga tersebut diatur
dengan peraturan yang berada dibawah UUD akan tetapi kewenangannya merupakan
kewenangan yang konstitusional.
LPSK dapat dikualifikasikan sebagai lembaga Negara yang dapat bersengketa di
Mahkamah Konstitusi karena fungsi dan wewenang LPSK telah diatur atau termuat dalam salah
satu pasal yang ada dalam UUD 1945 yaitu pasal 28 G ayat (1) yang menjelaskan bahwa setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, meratabat, dan harta benda.
Selain itu juga berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu.
Meskipun tidak disebutkan lembaga mana yang mempunyai tugas untuk melindungi hak-
hak tersebut, akan tetapi pasal tersebut secara implisit telah membuka ruang untuk dibentuknya
suatu lembaga yang mempunyai kewenangan melindungi hak warga negara tersebut.
Oleh karena itu jika kita mencermati fungsi dan kewenang LPSK yang merupakan
lembaga yang memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban agar saksi dan korban
merasa aman dan terlindungi dari ancaman-ancaman yang bisa membahayakan dirinya,
keluarganya ataupun harta bendanya dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan
pidana, sesungguhnya fungsi dan kewenangan tersebut merupakan perwujudan ataupun amanat
dari pasal 28 ayat 1 UUD tersebut, meskipun hanya dikhususkan bagi masyarakat yang menjadi
saksi dan korban.
Dengan demikian terkait dengan kewenangan lembaga Negara yang dapat bersengketa di
Mahkamah Konstitusi harus diperluas maknanya, tidak hanya dibatasi pada lembaga Negara
yang kewenangannya disebutkan dalam UUD, melainkan juga lembaga-lembaga Negara yang
diatur dengan peraturan dibawah UUD, akan tetapi tugas dan fungsinya sesuai dengan nilai-nilai
yang termuat dalam pasal-pasal UUD, hal ini mengingat banyaknya lembaga-lembaga Negara
baru yang dibentuk akhir-akhir ini sehingga potensi untuk bersengketapun semakin besar,
sehingga Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat menyelesaikan persengketaan tersebut agar
tidak terjadi konflik kepentingan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya sehingga
berdampak pada kinerja lembaga-lembaga tersebut yang tidak berjalan efektif, melainkan
terciptanya atau terselenggarannya pemerintahan yang stabil.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Perlu diadakan penataan serta sinkronisasi dan harmonisasi tentang fungsi tugas pokok
dan wewenang masing-masing lembaga Negara agar tidak terjadi kontradiksi dan memunculkan
kompleksitas hubungan antar lembaga Negara. Terlebih Mahkamah Agung (MA) dan Komisi
Yudisial (KY) merupakan lembaga Negara yang terhormat dan memiliki kedudukan yang sangat
penting bagi perlengkapan Negara.
Sengketa yang terjadi antara LPSK dan Kepolisian merupakan suatu sengketa lembaga
Negara yang dapat dikualifikasikan sebagai sengketa lembaga Negara yang dapat
dipersengketakan di Mahkamah Konstitusi (MK). Karena kedua lembaga tersebut sama-sama
menjalankan dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang ada dalam UUD 1945, sehingga keduanya
dapat dikualifikasikan sebagai subyek hukum dalam sengketa lembaga Negara. Meskipun,
keberadaan LPSK tidak secara eksplisit tertuang dalam UUD 1945 akan tetapi fungsi dan
kewenangan yang diberikan kepada LPSK yaitu menegakan nilai-nilai yang ada dalam UUD
1945.
DAFTAR PUSTAKA
Asshidiqie, Jimly. 2010. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: Sinar Grafika.
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konstitusi
Press.
Budiardjo, Miriam, 2002, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
UUD 1945
JURNAL
Insani Istyadi. (2009). Lembaga Independen: Wacana dan realita dalam Penyelenggaraan
Negara, hlm 2.
Widagdo, Luthfi Eddyono. (2010). Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh
Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi. Vol 7 (No 3), hlm 32-33.

Вам также может понравиться