Вы находитесь на странице: 1из 16

ASUHAN KEFARMASIAN

Definisi Pharmaceutical Care dan Pharmaceutical Public Health

Pharmaceutical care adalah patient centered practice yang mana merupakan praktisi yang
bertangung jawab terhadap kebutuhan terapi obat pasien dan memegang tanggung jawab terhadap
komitmen (Cipole dkk, 1998). Menurut American Society of Hospital Pharmacists (1993), asuhan
kefarmasian (Pharmaceutical care) merupakan tanggung jawab langsung apoteker pada pelayanan
yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang ditetapkan yang
memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tapi
juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk tidak
menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metode pemberian,
pemantauan terapi obat dan pemberian informasi dan konseling pada pasien. Asuhan kefarmasian
adalah konsep yang melibatkan tanggung jawab farmasis yang menuju keberhasilan outcome
tertentu sehingga pasien membaik dan kualitas hidupnya meningkat (Heppler and Strand, 1990).

Outcome yang dimaksud adalah (Heppler and strand, 1990) :

1. Merawat Penyakit

2. Menghilangkan atau menurunkan gejala

3. Menghambat atau memperlama proses penyakit

4. Mencegah penyakit atau gejala

Pharmautical public health didefinisikan bahwa apoteker dapat menerapkan ketrampilan farmasi,
pengetahuan dan sumber daya untuk mendukung data-data objektif dengan tujuan menetapkan,
menangani dan memantau kebutuhan kesehatan yang nyata dari populasi. (Armstrong dkk,2005)

Pharmaceutical Public Health juga didefinisikan sebagai penerapan dari pengetahuan, ketrampilan
dan sumber daya dari ilmu pengetahuan dan seni dalam pencegahan penyakit, memperpanjang
hidup, mendukung, melindungi dan memperbaiki kesehatan dalam suatu komunitas (WHO, 2006)

Tanggung Jawab Apoteker dalam Ruang Lingkup Pharmaceutical Care

Fungsi dari asuhan kefarmasian adalah (Heppler and strand, 1990) :

1. Identifikasi aktual dan potensial masalah yang berhubungan dengan obat.

2. Menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan obat / Drug Related Problem (DRP).

3. Mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dangan obat.

Apoteker bertanggung jawab dalam menjalankan Pharmaceutical Care, antara lain :


1. Menetapkan kebutuhan terapi obat pasien sepanjang waktu, yang artinya (a) semua kebutuhan
terapi obat pasien digunakan sewajarnya dalam segala kondisi, (b) Terapi obat oleh pasien adalah
yang paling efektif, (c) Terapi obat yang diterima oleh pasien adalah yang paling aman, dan (d)
pasien sanggup dan mau untuk menjalankan medikasi.

2. Tanggung jawab apoteker termasuk dalam menjalankan identifikasi, resolusi, dan pencegahan
kesalahan terapi obat (drug therapy problems)

3. Menjamin bahwa tujuan terapi dapat digunakan baik untuk pasien. Praktisi pharmaceutical
care bertanggung jawab untuk memantau kondisi pasien untuk memastikan bahwa pengobatan
mencapai hasil yang diinginkan

4. These responsibilities are fulfilled by caring for each patient as an individual in a way that
benefits the patient, minimizes harm, and is honest, fair, and ethical.

5. Praktisi pharmaceutical care memenuhi tanggung jawab Klinis dengan cara menemukan
standar professional dan ethical behavior prescribed dalam filsafat dari Praktik Asuhan Kefarmasian.

6. Standar dalam sikap frofesional termasuk menyediakan asuhan kefarmasian dalam specified
standard of care, membuat keputusan secara etis, menunjukan collegiality, kolaborasi, memelihara
kompetensi, menerapkan research findings where appropriate, and being sensitive to limited
resources

7. It is the pharmaceutical care practitioner's responsibility to hold colleagues accountable to the


same standards of professional performance. The success of the practice will depend upon it.

8. Melakukan yang terbaik untuk pasien. Dalam segala kasus, tidak membuat kesalahan.
Mengatakan yang sebenarnya pada pasien. Be fair. Setia. Mengakui that the patient is the ultimate
decision maker. Selalu menjaga prifasi pasien.

Berdasarkan hasil kongres WHO di New Delhi (1988), maka pada tahun 1990, badan dunia di bidang
kesehatan tersebut mengakui/merekomendasi/menetapkan kemampuan untuk diserahi tanggung
jawab kepada farmasis yang secara garis besar adalah sebagai berikut (Anonim, 1990) :

1. Memahami prinsip-prinsip jaminan mutu (quality assurance) obat sehingga dapat


mempertanggung jawabkan dan fungsi kontrol.

2. Menguasai masalah-masalah jalur distribusi obat (dan pengawasannya), serta paham prinsip-
prinsip penyediaannya.

3. Mengenal dengan baik struktur harga obat (sediaan obat).

4. Mengelola informasi obat dan siap melaksanakan pelayanan informasi.

5. Mampu memberi advice yang informatif kepada pasien tentang penyakit ringan (minor
illnesses), dan tidak jarang kepada pasien dengan penyakit kronik yang telah ditentukan dengan jelas
pengobatannya.

6. Mampu menjaga keharmonisan hubungan antara fungsi pelayanan medik dengan pelayanan
farmasi
Manajemen risiko adalah bagian yang mendasar dari tanggung jawab apoteker. Dalam upaya
pengendalian risiko, praktek konvensional farmasi telah berhasil menurunkan biaya obat tapi belum
menyelesaikan masalah sehubungan dengan penggunaan obat. Pesatnya perkembangan teknologi
farmasi yang menghasilkan obat-obat baru juga membutuhkan perhatian akan kemungkinan
terjadinya risiko pada pasien.

Apoteker berada dalam posisi strategis untuk meminimalkan medication errors, baik dilihat dari
keterkaitan dengan tenaga kesehatan lain maupun dalam proses pengobatan. Kontribusi yang
dimungkinkan dilakukan antara lain dengan meningkatkan pelaporan, pemberian informasi obat
kepada pasien dan tenaga kesehatan lain, meningkatkan keberlangsungan rejimen pengobatan
pasien, peningkatan kualitas dan keselamatan pengobatan pasien di rumah. Data yang dapat
dipaparkan antara lain dari menurunnya (46%) tingkat keseriusan penyakit pasien anak,
meningkatnya insiden berstatus nyaris cedera (dari 9% menjadi 8-51%) dan meningkatnya tingkat
pelaporan insiden dua sampai enam kali lipat. (effect of pharmacist-led pediatrics medication safety
team on medication-error reporting (Am J Health-Sist Pharm, 2007, vol64;1422-26)).

Apoteker berperan utama dalam meningkatkan keselamatan dan efektifitas penggunaan obat.
Dengan demikian dalam penjabaran, misi utama Apoteker dalam hal keselamatan pasien adalah
memastikan bahwa semua pasien mendapatkan pengobatan yang optimal. Hal ini telah dikuatkan
dengan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa kontribusi Apoteker dapat menurunkan
medication errors.

Dalam relasi antara dokter sebagai penulis resep dan apoteker sebagai penyedia obat (pelayanan
tradisional farmasi), dokter dipercaya terhadap hasil dari farmakoterapi. Dengan berubahnya situasi
secara cepat di sistem kesehatan, praktek asuhan kefarmasian diasumsikan apoteker bertanggung
jawab terhadap pasien dan masyarakat tidak hanya menerima asumsi tersebut.

Peran apoteker dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua aspek yaitu aspek manajemen
dan aspek klinik. Aspek manajemen meliputi pemilihan perbekalan farmasi, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan dan distribusi, alur pelayanan, sistem pengendalian (misalnya memanfaatkan IT).
Sedangkan aspek klinik meliputi skrining permintaan obat (resep atau bebas), penyiapan obat dan
obat khusus, penyerahan dan pemberian informasi obat, konseling, monitoring dan evaluasi.
Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada pasien yang menerima pengobatan dengan
risiko tinggi. Keterlibatan apoteker dalam tim pelayanan kesehatan perlu didukung mengingat
keberadaannya melalui kegiatan farmasi klinik terbukti memiliki konstribusi besar dalam
menurunkan insiden/kesalahan.

Dengan demikian apoteker bertanggung jawab langsung pada pasien tentang biaya, kualitas, hasil
pelayanan kefarmasian.

Implementasi Asuhan Kefarmasian

Pelaksanaan dan Tanggung Jawab Pharmacetical care meliputi

Assesment
- Bertemu dengan pasien

- Menetapkan hubungan terapi

- Memperoleh informasi yang relevan dari pasien

- Menetapkan siapa pasien anda dengan cara mempelajari alasan untuk menemui, demografi
pasien, pengobatan dan informasi klinis yang lainnya.

- Membuat keputusan terapi rasional menggunakan Pharmacotherapy Workup

- Menetapkan kebutuhan obat pasien yang dijumpai (indikasi,efektifitas,keamanan,kepatuhan),


identifikasi DRP.

Care plan

- Menetapkan tujuan terapi

- Negosiasi dan and agree upon endpoints and timeframe for pharmacotherapies with the
patient

- Memilih intervensi yang tepat untuk : resolusi DRP

- Menghargai goal terapi

- Mencegah masalah terapi obat

- Mempertimbangkan alternative terapi

- Memilih Farmakoterapi yang specifik untuk pasien

- Memilih intervensi tanpa obat

- Edukasi pasien

- Membuat jadwal follow-up evaluation

- Menetapkan jadwal secara tepat dan sesuai secara klinis untuk pasien

Follow-up evaluation

- Menetapkan bukti klinis/ lab pasien outcome terbaru dan mebandingkan terhadap tujuan
terapi yang ditetapkan sebagai efektifitas terapi obat

- Evaluasi efektifitas farmakoterapi

- Menetakan bukti klinis/lab adverse effect untuk mnetapkan keamanan terapi obat
- Evaluasi keamanan farmakoterapi

- Menetapkan kepatuhan pasien

- Status dokumen klinis dan perubahan dalam farmakoterapi yang diperlukan

- Membuat keputusan sebagai yang diatur dengan terapi obat.

- Menilai pasien untuk DRP terbaru

- Identifikasi DRP yang baru dan penyebabnya

- Jadwalkan evaluasi selanjutnya

- Sediakan perawatan lanjutan

(Cipole dkk, 1998)

Asuhan Kefarmasian Sebagai Ruh Good Pharmacy Practice (GPP)

WHO & FIP telah menerbitkan panduan Good Pharmacy Practice (GPP) dan menghimbau semua
negara untuk mengembangkan standar minimal praktik farmasi. Apoteker sebagai bagian dari
tenaga kesehatan mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mewujudkan pelayanan kefarmasian
yg berkualitas.

Good Pharmacy Practice (GPP) atau Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) adalah cara untuk
melaksanakan pelayanan kefarmasian yang baik secara komprehensif, berupa panduan yang berisi
sejumlah standar bagi para Apoteker dalam menjalankan praktik profesinya di sarana pelayanan
kefarmasian. Good Pharmacy Practice (GPP) merupakan praktek kefarmasian yang tanggap
terhadap kebutuhan masyarakat yang menggunakan jasa apoteker untuk memberikan pelayanan
yang optimal, asuhan berbasis bukti.

Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik [CPFB] (=Good Pharmacy Practice [GPP]) adalah suatu
pedoman, sebagai perangkat untuk memastikan Apoteker dalam memberikan setiap pelayanan
kepada pasien di Apotek, Puskesmas, Klinik maupun Rumah Sakit agar memenuhi standar mutu dan
merupakan cara untuk menerapkan Pharmaceutical Care (Asuhan Kefarmasian).

Pelaksanaan konteks Good Pharmacy Practice (GPP) yang berlandaskan konsep asuhan kefarmasian
(pharmaceutical care) memerlukan persyaratan-persyaratan sebagai berikut (Sudjaswadi, 2001):

1. GPP mensyaratkan bahwa perhatian pertama dan utama seorang apoteker di semua aspek
adalah mengenai kesejahteraan pasien.
2. GPP mensyaratkan bahwa inti dari kegiatan farmasi adalah untuk membantu pasien
menggunakan obat-obatan terbaik, meliputi persediaan obat dan produk perawatan kesehatan
lainnya dengan kualitas terjamin, menyediakan informasi dan saran yang tepat, pemberian obat,
kapan saat membutuhkan obat, dan pemantauan efek penggunaan obat-obatan.

3. GPP mensyaratkan bahwa bagian integral dari kontribusi apoteker adalah mempromosikan
peresepan yang rasional dan ekonomis, termasuk proses dispensing.

4. GPP mensyaratkan bahwa tujuan dari setiap elemen pelayanan kefarmasian relevan dengan
pasien, didefinisikan secara jelas dan dikomunikasikan secara efektif pada semua yang terlibat.
Kolaborasi multidisiplin antara kesehatan-asuhan secara professional adalah faktor kunci untuk
keberhasilan meningkatkan keselamatan pasien.

SUMBER

Amstrong dkk, 2005, The contribution of community pharmacy to improving the publics health,
Report 3: An overview of evidence-base from 1990 2002 and recommendations for action.

Anonim. 1990. The Role of the Pharmacist in Health Care System

Cipolle dkk, 1998, Pharmaceutical Care Practice: The Clinician's Guide, 2nd Edition.

Hepler and Strand , 1990, Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care

Sudjaswadi, 2001, Farmasi, Farmasis, dan Farmasi Sosial (Pharmacy, Pharmacist, and Social
Pharmacy)

World Health Organitation, 2006, Developing pharmacy practice A focus on patient care HANDBOOK
2006 EDITION. World Health Organitation

PELAYANAN KEFARMASIAN PADA PENYAKIT INFEKSI SALURAN NAPAS

PRINSIP PELAYANAN KEFARMASIAN

Konsep pelayanan kefarmasian lahir karena kebutuhan untuk bisa mengkuantifikasi pelayanan
farmasi klinik yang diberikan, sehingga peran Apoteker dalam pelayanan kepada pasien dapat
terukur.

Penekanan Pelayanan Kefarmasian terletak pada:

Apoteker menentukan kebutuhan pasien sesuai kondisi penyakit

Apoteker membuat komitmen untuk meneruskan pelayanan setelah dimulai secara


berkesinambungan
Prinsip-prinsip Pelayanan Kefarmasian terdiri dari beberapa tahap berikut yang harus dilaksanakan
secara berurutan

PENYUSUNAN DATABASE

Penyusunan database dilakukan dengan menyalin nama, umur, berat badan pasien serta riwayat
obat, riwayat penyakit serta terapi yang diberikan saat ini. Selain itu dalam penyusunan database
harus pula diketahui problem medik yang dialami pasien. Problem medik yang dimaksud meliputi
diagnosis, simtom. Riwayat alergi perlu ditanyakan khususnya pada pasien yang mendapat
antibiotika yang banyak menyebabkan alergi seperti kotrimoksazol, penicillin V, tetrasiklin. Riwayat
obat yang perlu ditanyakan adalah riwayat penggunaan antibiotika satu bulan terakhir. Hal ini
diperlukan untuk memprediksikan antibiotika yang masih sensitif.

ASSESSMEN/EVALUASI

Tujuan yang ingin dicapai dari tahap ini adalah identifikasi problem yang berkaitan dengan terapi
obat. Secara umum problem tersebut meliputi :

Obat Diperlukan

o Obat diindikasikan tetapi tidak diresepkan

o Obat diresepkan namun tidak diminum (noncompliance)

Obat Tidak Sesuai

o Tidak ada problem medik yang membenarkan pemakaian obat

o Obat tidak diindikasikan bagi problem medik yang ada

o Problem medik sudah tidak ada, namun obat masih diresepkan

o Duplikasi terapi

o Tersedia alternatif yang tidak mahal

o Obat tidak tercantum dalam formularium

o Gagal memperhitungkan status kehamilan, usia dan kontraindikasi lainnya

o Obat bebas yang dibeli pasien sendiri tidak tepat

o Penggunaan obat untuk tujuan rekreasional.


Dosis Salah

o Overdosis atau underdosis

o Dosis benar , namun pasien meminum terlalu banyak (overcompliance)

o Dosis benar, namun pasien meminum terlalu sedikit (undercompliance)

o Interval pemberian yang tidak benar, tidak nyaman, kurang optimal

Efek Obat Berlawanan

o Efek samping

o Alergi

o Drug-induced disease

o Drug-induced lab change

Pelaksanaan assessmen adalah dengan membandingkan antara problem medik-terapi-database


yang disusun, kemudian dikaitkan dengan pengetahuan tentang farmakoterapi, farmakologi.

PENYUSUNAN RENCANA PELAYANAN KEFARMASIAN (RPK)

Rencana Pelayanan Kefarmasian memuat beberapa hal berikut:

1. Rekomendasi terapi

Dalam rekomendasi terapi diajukan saran tentang pemilihan/penggantian obat, perubahan dosis,
interval dan bentuk sediaan.

2. Rencana Monitoring

Rencana monitoring terapi obat meliputi:

a. Monitoring efektivitas terapi.

Monitoring terapi obat pada kasus infeksi saluran pernapasan, dilakukan dengan memantau tanda
vital seperti temperatur khususnya pada infeksi yang disertai kenaikan temperatur. Terapi yang
efektif tentunya akan menurunkan temperatur. Selain itu parameter klinik dapat dijadikan tanda
kesuksesan terapi seperti frekuensi batuk dan sesak pada bronchitis dan pneumonia yang menurun;
produksi sputum pada bronchitis, pneumonia, faringitis yang berkurang; produksi sekret hidung
berkurang dan nyeri muka pada kasus sinusitis menghilang; nyeri tenggorokan pada faringitis
menghilang.

b. Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB) meliputi efek samping obat, alergi, interaksi
obat. ROB yang banyak dijumpai pada penanganan infeksi saluran napas adalah:

Alergi akibat pemakaian kotrimoksazol, ciprofloxacin, dan penicillin V.

Gangguan saluran cerna seperti mual, diare pada pemakaian eritromisin, klindamisin, tetrasiklin.

Efek samping pemakaian antihistamin derivat H1- Bloker seperti kantuk, mulut kering.

3. Rencana Konseling

Rencana konseling memuat pokok-pokok materi konseling yang akan disampaikan. Pada kasus
infeksi saluran pernapasan, pokok-pokok materi konseling meliputi:

Tanda-tanda alergi/hipersensitivitas, Steven-Johnson pada antibiotika yang dicurigai berpotensi


besar, contoh: kotrimoksazol.

Penghentian terapi bila dijumpai tanda hipersensitivitas

Kontinuitas terapi sampai dengan antibiotika habis untuk meminimalkan risiko resistensi.

Langkah-langkah penanganan ROB, agar pasien tidak begitu saja menyetop terapi setelah mengalami
ROB.

Perhatian (caution) yang harus disampaikan pada saat meminum antibiotika seperti cara minum
(sebelum atau sesudah makan), harus diminum dengan air minum yang banyak untuk preparat
sulfonamida untuk menghindari kristaluria.

Terapi suportif pada faringitis, bronkhitis

IMPLEMENTASI RPK

Kegiatan ini merupakan upaya melaksanakan RPK yang sudah disusun. Rekomendasi terapi yang
sudah disusun dalam RPK, selanjutnya dikomunikasikan kepada dokter penulis resep. Metode
penyampaian dapat dipilih antara berbicara langsung (pada apotek di poliklinik atau apotek pada
praktek dokter bersama) atau melalui telpon. Komunikasi antar profesi yang sukses memerlukan
tehnik dan cara tersendiri. Implementasi rencana monitoring adalah dengan melaksanakan
monitoring terapi obat dengan metode seperti yang sudah disebutkan di atas. Demikian pula
implementasi Rencana Konseling dilaksanakan dengan konseling kepada pasien.

FOLLOW-UP

Follow-up merupakan kegiatan yang menjamin kesinambungan pelayanan kefarmasian sampai


pasien dinyatakan sembuh atau tertatalaksana dengan baik. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa
pemantauan perkembangan pasien baik perkembangan kondisi klinik maupun perkembangan terapi
obat dalam rangka mengidentifikasi ada-tidaknya PTO yang baru. Bila ditemukan PTO baru, maka
selanjutnya Apoteker menyusun atau memodifikasi RPK.

Kegiatan lain yang dilakukan dalam follow-up adalah memantau hasil atau outcome yang dihasilkan
dari rekomendasi yang diberikan. Hal ini sangat penting bagi Apoteker dalam menilai ketepatan
rekomendasi yang diberikan.

PELAYANAN KEFARMASIAN PADA INFEKSI SALURAN NAPAS

Infeksi Saluran Napas Atas

Assessmen:

Menilai ada-tidaknya alergi terhadap antibiotika yang diresepkan

Mengkaji ketepatan antibiotika, lama terapi yang digunakan

Mengkaji kesesuaian dosis,bentuk obat terkait kondisi pasien

Mengkaji ada-tidaknya efek samping ataupun ROB yang potensial akan terjadi.

Mengkaji ada-tidaknya interaksi obat, khususnya bila dijumpai peresepan antasida

Mengkaji respon terapi, resistensi maupun kegagalan terapi

Menilai kepatuhan dan faktor yang menyebabkan kegagalan terapi

Rekomendasi

Pemilihan antibiotika dan terapi pendukung

Efek samping obat ataupun ROB, interaksi obat yang potensial serta penanganannya.

Monitor

Efektivitas antibiotika dengan memantau tanda dan gejala infeksi saluran napas atas

Menanyakan efek samping obat yang potensial seperti diare, mual , rash

Konseling

Kontinuitas terapi hingga seluruh antibiotika diminum.


Lama terapi yang tepat untuk mencegah resistensi, infeksi ulangan, maupun penyembuhan yang
tidak tuntas.

Tanda efek samping obat yang potensial dan cara mengatasinya.

Cara pakai obat, khususnya tetes telinga, tetes hidung, obat kumur.

Infeksi Saluran Napas Bawah

Assessmen

Menilai perlu-tidaknya terapi antibiotika

Menilai ada-tidaknya alergi terhadap antibiotika yang diresepkan

Mengkaji ketepatan antibiotika, lama terapi yang digunakan

Mengkaji kesesuaian dosis,bentuk obat terkait kondisi pasien

Mengkaji ada-tidaknya efek samping ataupun ROB yang potensial akan terjadi.

Mengkaji ada-tidaknya interaksi obat, khususnya bila dijumpai peresepan antasida

Mengkaji respon terapi, resistensi maupun kegagalan terapi

Menilai kepatuhan dan faktor yang menyebabkan kegagalan terapi

Rekomendasi

Pemilihan antibiotika dan terapi pendukung

Efek samping obat ataupun ROB, interaksi obat yang potensial serta penanganannya.

Monitor

Bronkhitis

Efektivitas terapi: Frekuensi batuk, volume dan warna sputum

Efek samping obat potensial:

o Takikardia, palpitasi akibat bronkhodilator

o Sedasi, konstipasi akibat pemakaian dekstrometorphan, codein

Interaksi Obat

Pneumonia
Efektivitas terapi: Frekuensi batuk, volume dan warna sputum, sesak napas, nyeri dada, suhu
badan, nadi, leukosit, fungsi paru pada pneumonia berat. Kegagalan antibiotika dalam menurunkan
tanda-tanda infeksi dinilai dalam 48-72 jam setelah dosis pertama diberikan.

Efek samping obat potensial:

o Rash, urtikaria setelah pemberian antibiotika baik pada dosis pertama atau dosis selanjutnya.
Antibiotika selain penicillin yang perlu diawasi karena mempunyai insiden alergi yang cukup besar
adalah cefalosporin, quinolon, kotrimoksazol.

o Takikardia, palpitasi akibat bronkhodilator

Interaksi Obat (lihat monografi obat)

Konseling

Hidrasi secara oral pada pasien rawat jalan untuk mempermudah ekskresi sputum secara spontan.

Kontinuitas terapi hingga seluruh antibiotika diminum, bila pasien mendapat antibiotika.

Lama terapi yang tepat untuk mencegah resistensi, infeksi ulangan, maupun penyembuhan yang
tidak tuntas.

Pemantauan Terapi Obat dalam Standar Akreditasi RS versi KARS 2012

29/04/2015 by : mmr
Manajemen obat merupakan komponen yang penting dalam pengobatan paliatif, simtomatik,
preventif, dan kuratif terhadap penyakit dan berbagai kondisi. Manajemen obat mencakup sistem
dan proses yang digunakan rumah sakit sakit dalam memberikan farmakoterapi kepada pasien. Perlu
upaya mutidisiplin dan terkoordinir dari para staf rumah sakit sakit, menerapkan prinsip rancang
proses yang efektif, implementasi dan peningkatan terhadap seleksi, pengadaan, penyimpanan,
pemesanan/peresepan, pencatatan (transcribe), pendistribusian, persiapan (preparing), penyaluran
(dispensing), pemberian, pendokumentasian, dan pemantauan terapi obat. Peran para pemberi
pelayanan kesehatan dalam manajemen obat sangat sentral guna mencapai tujuan pengobatan dan
sasaran keselamatan pasien.

Pasien RS yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat.
Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual
meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO
(pemantauan terapi obat) dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. Aspek ini merupakan bagian penting dalam standar
akreditasi RS versi KARS 2012, khususnya dalam Bab MPO (Manajemen dan Penggunaan Obat).

Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan
terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut mencakup pengkajian
pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD),
serta rekomenasi atau alternatif terapi. PTO harus dilakukan secara berkesinambungan dan
dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat
diketahui. PTO merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsi pelayanan kefarmasian RS dalam
Permenkes 1197/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Kondisi pasien yang perlu dilakukan PTO antara lain:

Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga menerima polifarmasi.

Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.

Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.

Pasien geriatri dan pediatri.

Pasien hamil dan menyusui.

Pasien dengan perawatan intensif.

Pasien yang menerima regimen yang kompleks: Polifarmasi, Variasi rute pemberia , Variasi aturan
pakai, Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi, Drip intravena (bukan bolus), dsb.
Adapun pasien dikatakan menerima obat dengan risiko tinggi, yaitu bila menerima:

obat dengan indeks terapi sempit (contoh: Digoksin, fenitoin),

Obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan hepatotoksik (contoh: OAT),

Sitostatika (contoh: metotreksat),

Antikoagulan (contoh: warfarin, heparin),

Obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh: metoklopramid, AINS),

Obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin

Metode pelaksanaan PTO adalah dengan menggunakan kerangka S-O-A-P sebagai berikut.

S: Subjective

Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh pasien.

Contoh : pusing, mual, nyeri, sesak nafas.

O : Objective

Data obyektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenaga kesehatan. Tanda-tanda obyektif
mencakup tanda vital (tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi, kecepatan pernafasan), hasil
pemeriksaan laboratorium dan diagnostik.
A : Assessment

Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis terkait obat.

P : Plans

Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana yang dapat dilakukan
untuk menyelesaikan masalah.

Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya masalah terkait obat
(Hepler dan Strand). Masalah yang dapat ditemukan antara lain sebagai berikut.

Ada indikasi tetapi tidak di terapi :Pasien yang diagnosisnya telah ditegakkan dan membutuhkan
terapi obat tetapi tidak diresepkan. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua keluhan/gejala klinik
harus diterapi dengan obat.

Pemberian obat tanpa indikasi ,pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan.

Pemilihan obat yang tidak tepat. Pasien mendapatkan obat yang bukan pilihan terbaik untuk
kondisinya (bukan merupakan pilihan pertama, obat yang tidak cost effective, kontra indikasi

Dosis terlalu tinggi

Dosis terlalu rendah

Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)

Interaksi obat

Dalam PTO, petugas perlu memahami jenis-jenis efek samping obat sebagai berikut.

Efek samping yang dapat diperkirakan:

Aksi farmakologik yang berlebihan

Respons karena penghentian obat

Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama


Efek samping yang tidk dapat diperkirakan:

Reaksi alergi

Reaksi karena faktor genetik

Reaksi idiosinkratik

(MA)

Sumber:

Dirjen Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Depkes RI, 2009, Pedoman Pemantauan Terapi Obat.

Sutoto, 2012, Manajemen dan Penggunaan Obat & Pengelolaan Bahan Berbahaya Dalam Standar
Akreditasi Versi KARS 2012.

Вам также может понравиться