Вы находитесь на странице: 1из 29

PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipoglikemia
1. Definisi
Hipoglikemia secara harafiah berarti kadar glukosa darah di bawah
nilai normal. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa
darah < 60 mg/dl atau <80mg/dl disertai gejala klinis. Hipoglikemia
dapat terjadi pada pasien diabetes melitus (DM) maupun non-DM
(Prianto, 2014
2. Etiologi
Faktor predisposisi hipoglikemia (Soelistijo, Novida, & Rudijanto,
2015)
- Pengurangan/Keterlambatan makan
- Kesalahan dosis obat
- Latihan jasmani yang berlebihan
- Penurunan kebutuhan insulin
- Pengendalian gula darah yang ketat
- Penggunaan obat-obat yang mempunyai potensi
hipoglikemik

3. Patofisiologi
Tubuh akan bereaksi terhadap penurunan glukosa darah dengan
stimulasi sekresi hormon kontra-regulasi. Pada kadar glukosa (KG)-
plasma mencapai <75,6 mg/dL (<4,2 mmol/L) sekresi insulin endogen
oleh pankreas ditekan. Pada KG-plasma <60,4 mg/dL (<3,8 mmol/L)
terjadi peningkatan sekresi hormon kontra-regulasi: glukagon,
epinefrin (adrenalin), kortisol, dan growth hormone. Pada KG-plasma
<57,6 mg/dL atau <3,2 mmol/L sekresi hormon menimbulkan gejala
klasik autonomic. Hipoglikemia pada diabetes paling sering
disebabkan oleh penggunaan obat sulfonilurea dan insulin.
4. Manifestasi klinis

Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple yang


merupakan panduan klasifikasi klinis hipeglikemia. Triad tersebut meliputi: a)
keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa plasma yang rendah; b) kadar
glukosa plasma yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c)
gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat.

Gejala dan tanda klinis hipoglikemia tergantung pada stadiumnya. Pada


stadium parasimpatik didapatkan penurunan tekanan darah, rasa lapar dan
mual. Pada stadium gangguan otak ringan, didapatkan rasa lemah, lesu, sulit
bicara, dan kesulitan menghitung sementara. Pada stadium simpatik, didapatkan
keringat dingin pada muka, bibir, atau gemetar pada tangan. Pada stadium
gangguan otak berat didapatkan ketidaksadaran dengan atau tanpa kejang. Pada
pasien diabetes yang relatif masih baru, keluhan dan gejala yang terkait dengan
gangguan sistem saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau berkeringat lebih
menonjol dan biasanya mendahului keluhan dan gejala disfungsi serebral yang
disebabkan oleh neuroglikopeni seperti gangguan konsentrasi atau koma. Pada
pasien diabetes lama, intensitas keluhan otonomik cenderung berkurang atau
menghilang yang menunjukkan kegagalan progresif aktivasi sistem saraf
otonomik.

5. Klasifikasi
Menurut Clayton (2015), berdasarkan beratnya gejala, hipoglikemia dapat
dibedakan menjadi:
1. Hipoglikemia ringan : terdapat gejala otonom. Individu masih dapat
mengatasinya sendiri.
2. Hipoglikemia Sedang : terdapat gejala otonom dan neuroglikopenik.
Individu masih dapat mengatasinya sendiri.
3. Hipoglikemia Berat : Individu membutuhkan bantuan dari orang lain.
Ketidaksadaran mungkin terjadi. Glukosa darah plasma biasanya <2,8
mmol / L.

6. Penatalaksanaan
1. Menurut Rush&Louis (2004)
Manajemen penatalaksanaan hipoglikemia bergantung pada derajat
hipoglikemia pasien.
a. Hipoglikemia ringan-sedang
1. Setelah diagnosis hipoglikemia ditegakkan dengan pemeriksaan
glukosa darah kapiler, maka pasien segera diberikan glukosa oral.
2. Glukosa oral sebanyak 10-20 g, idealnya dalam bentuk tablet, jelly
atau 150-200 ml minuman yang mengandung glukosa (seperti teh
atau jus buah segar). Pemberian makanan tinggi lemak seperti
coklat sebaiknya tidak diberikan karena dapat menghambat absorpsi
glukosa.
3. Bila gejala tidak berkurang dalam 15 menit ulangi pemberian
b. Hipoglikemia berat
1. Terapi berdasarkan derajat kesadaran pasien
2. Jika pasien tidak sadar, maka pastikan airway, breathing,
circulation pasien aman dan stabil.
3. Berikan glukosa intravena sebagai tindakan darurat, sebelum
dipastikan penyebab penurunan kesadaran. Berikut terapi untuk
hipoglikemia berat berdasarkan kadar glukosa

Tabel. Pedoman Terapi Glukosa Pada Hipoglikemia


(Rush&Louis, 2004)
Kadar Glukosa Terapi Hipoglikemia
(mg/dl)
< 30 Injeksi IV Dex 40 % (25cc) bolus 3 flacon
30-60 Injeksi IV Dex 40 % (25cc) bolus 2 flacon
60-100 Injeksi IV Dex 40 % (25cc) bolus 1 flacon

4. Setelah pemberian terapi di atas dilakukan follow up berikut


a. Periksa kadar glukosa darah lagi, 30 menit sesudah pemberian
terapi
b. 30 menit sesudah pemberian terapi di atas, ulangi pemberian
glukosa 1 flaccon lagi sebanyak 2-3 kali untuk mencapai kadar
glukosa darah 120 mg/dl.
c. Jika GDS > 100 mg/dl selama 3 kali berturut-turut maka GDS
dipantau setiap 2 jam, dan bila GDS >200 maka diganti dengan
Infus dex 5% atau NaCl 0,9%
5. Hentikan pemakaian obat untuk sementara
6. Jika Hipoglikemi tidak teratasi maka berikan antagonis insulin,
seperti adrenalin, kortison dosis tinggi atau glukagon 1 gr secara
IM.

Adapun tatalaksana hipoglikemia sebagaimana dikutip langsung dari buku


Clinical Pathway yang diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia (PAPDI) tahun 2015 adalah pemberian gula murni sebesar 30
gram (2 sendok makan) atau sirup-permen gula murni pada pasien sadar atau
stadium permulaan, dan penggunaan protokol sebagai berikut untuk pasien tidak
sadar:14

1. Pemberian larutan Dekstrosa 40% sebanyak 50 ml dengan bolus intravena


(IV)
2. Pemberian cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf (500 cc).
3. Periksa GDS, bila:
1. GDS < 50 mg/dl, berikan bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV
2. GDS <100 mg/dl, berikan bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV
4. Periksa GDS setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40%, bila:
1. GDS <50 mg/dl, berikan bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV
2. GDS <100 mg/dl, berikan bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV
3. GDS 100-200 mg/dl, tanpa bolus Dekstrosa 40%
4. GDS >200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip
Dekstrosa 10%
5. Setelah poin no (4), dilakukan 3 kali berturut-turut hasil GDS > 100 mg/dl,
lakukan pemantauan GDS setiap 2 jam dengan protokol no (4).
6. Setelah poin no (5) dilakukan 3 kali berturut-turut hasil GDS > 100 mg/dl,
lakukan pemantauan GDS setiap 4 jam dengan protokol no (5).
7. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6
jam:
1. GDS < 200 mg/dl, jangan berikan insulin
2. GDS 200-250 mg/dl, berikan 5 unit insulin
3. GDS 250-300 mg/dl, berikan 10 unit insulin
4. GDS 300-350 mg/dl, berikan 15 unit insulin
5. GDS > 350 mg/dl, berikan 20 unit insulin
8. Bila hipoglikemia belum teratasi, pertimbangkan pemberian antagonis
insulin, seperti: Deksametason 10 mg IV bolus, dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam
dan Manitol 1,5-2 g/KgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain penurunan
kesadaran.

B. Ketoasidosis Diabetikum (KAD)


1. Definisi
2. Etiologi
Gambar 1. Trias ketoasidosis diabetikum, terdiri dari hiperglikemia, ketonemia
dan asidosis metabolik. Patut diperhatikan bahwa banyak kelainan lain yang
dapat menyebabkan salah satu komponen dari KAD.

3. Patofisiologi

Gambar 4. Patogenesis KAD dan KHH, perhatikan perbedaan yang


terletak pada defisiensi insulin absolut dan relatif. FFA (free fatty acid
Defisiensi insulin relative atau absolute yang disertai dengan temuan
hormone terutama hormone glukagone, katekolamin selain hormone
pertumbuhan dan kortisol, dapat menyebakan pembentukan berlebihan glukosa
dan keton pada hati. Kekurangan insulin dan produksi berlebihan hormone stress
meningkatkan lipolisis disertai pelepasan NEFA dari jaringan adipose ke dalam
sirkulasi. Pada saat terjadi defisiensi insulin, peningkatan level glukagon,
katekolamin dan kortisol akan menstimulasi produksi glukosa hepatik melalui
mekanisme peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis (Gambar 4).
Hiperkortisolemia akan menyebabkan peningkatan proteolisis, sehingga
menyediakan prekursor asam amino yang dibutuhkan untuk glukoneogenesis.
Insulin rendah dan konsentrasi katekolamin yang tinggi akan menurunkan uptake
glukosa oleh jaringan perifer. Kombinasi peningkatan produksi glukosa hepatik
dan penurunan penggunaan glukosa perifer merupakan kelainan patogenesis
utama yang menyebabkan hiperglikemia baik pada KAD maupun KHH.
Hiperglikemia akan menyebabkan glikosuria, diuresis osmotik dan dehidrasi,
yang akan menyebabkan penurunan perfusi ginjal terutama pada KHH.
Penurunan perfusi ginjal ini lebih lanjut akan menurunkan bersihan glukosa oleh
ginjal dan semakin memperberat keadaan hiperglikemia.

Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotic yang mengarah


pada dehidrasi dan kekurangan elektrolit. Deplesi atau penurunan
kadar NA memburuk karena penurunan reabsorbsi natrium karena
defisiensi insulin. Asidosis metabolic menyebabkan penurunan
pertukaran Kalium intrasel dengan ion hydrogen, dan defisiensi
insulin juga defisiensi insulin juga menimbulkan penurunan kalium
dari sel. Proses tersebut dapat meningkatkan kalium plasma.
Mekanisme KAD menginduksi koma belum jelas diketahui pasti.
Namun gangguan kesadaran umumnya berhubungan dengan
konsentrasi dan osmolalitas glukosa plasma. Koma yang terjadi
berhungan dengan prognosis yang buruk. Hal tersebut karena otak
yang tidak sadar tidak lagi menggunakan benda keton yang
bersirkulasi sehingga benda keton lebih cepat menumpuk
mengakibatkan perburukan asidosis metabolic.
Gambar 5. Mekanisme produksi badan keton. (a) Peningkatan
lipolisis menghasilkan produksis asetil KoA dari asam lemak, sebagai
substrat sintesis badan keton oleh hati. Defisiensi insulin menyebabkan
penurunan utilisasi glkosa dan penurunan produksi oksaloasetat. (b)
Jumlah oksaloasetat yang tersedia untuk kondensasi dengan asetil KoA
berkurang; dan (c) menyebabkan asetil KoA digeser dari siklusi TCA dan
(d) mengalami kondensasi untuk membentuk asetoasetat diikuti reduksi
menjadi beta-hidroksibutirat.

4. Manifestasi klinis
Gejala klinis
Poliuria
Penurunan berat badan
Kelemahan
Penglihatan kabur
Pernapasan kussmaul
Nyeri abdomen, terutama pada anak
Kram tungkai
Mual dan muntah
Konfusi dan mengantuk
Koma (10% kasus)
5. Diagnosis
Anamnesis:
-penyebab presipitasi?
- Apakah pasien menderita DM saat ini menjalani terapi dan
mengalami masalah?

Pemeriksaan Fisik
-Dehidrasi
-hipotensi (postural), syok
-ketosis (nafas berbau aseton)
-asidosis (napas berbau kussmaul)
-penyebab presipitasi, misal pneumonia, ISK
-komplikasi DM, terutama penyakit cardiovaskuler
-hipotermia
-statis lambung

Pemeriksaan di tempat tidur


-Glukosa darah (strip tes)
-Keton urine (Ketostix)
-Keton darah (Strip tes dan alat ukur)
Laboratorium

6. Pemeriksaan penunjang
7. Penatalaksanaan
Penatalaksaan awal KAD pada orang dewasa
Cairan dan elektrolit
Volume
1 liter pada jam pertama, 2 liter pada 4 jam berikutnya, 1 liter setiap
4-6 jam, setelah itu volume disesuaikan dengan respon pasien

Cairan
Isotonic (salin normal) umumnya 150 mmol/L
Hipotonic (salin setengah normal) 75 mmol/L bila natrium serum
melebihi 150 mmol/L (tidak lebih dari 1-2 liter, pertimbangkan
pemberian dextrose 5% disertai peningkatan insulin)
Pertimbangkan pemberian dextrose 5% sebanyak 1 liter setiap 4-6
jam bila glukosa darah menurun hingga 15 mmol/L (pasien dehidrasi
kronis dapat memerlukan infuse salin secara simultan atau selang-
seling)

Kalium
Berikan kalium 20 mmol/L pada pemberian pertama cairan, kecuali
bila kalium plasma awal > 5,5 mmol/L
Setelah itu, tambahkan dosis kurang dari 1 liter cairan. Bila K plasma
<3,5 mmol/L tambahkan KCL 4 mmol/L (hopokalemia kronik dapat
memerluka lebih banyak pengganti cairan KCL progresif)
Bila K plasma >5,5 mmol/L tanpa penambahan KCL.

Insulin
Insulin intravena kontinu
5-10 unit/jam (rata-rata 6 unit/jam) pada pemberian awal sampai
glukosa darah turun menjadi 15 mmol/L. kemudian sesuaikan dosis
(biasanya 1-4 unit/jam) selama pemberian infuse dextrose untuk
mempertahankan glukosa darah 5-10 mmol/L hingga pasien kembali
makan.
Injeksi intramuscular segera 20 unit, kemudian 5-10 unit/jam hingga
glukosa darah turun 15 mmol/L. setelah itu ubah dosis menjadi 6
unit/jam subkutan hingga pasien kembali makan.

Tindakan lain
Cari tahu dan atasi penyebab pencetus (infeksi, infark miokardium)
Hipotensi biasanya berespon terhadap pemberian cairan adekuat
namun infuse koloid diperlukan.
Pantau tekanan vena sentral pada pasien lansia atau bila ditemukan
penyakit jantung.
Pasang selang NGT bila tingkat kesadaran terganggu untuk
menghindari aspirasi lambung
Pasang kateter urine bila tingkat kesadaran terganggu atau pasien
tidak berkemih selama 4 jam setelah terapi.
Pemantauan EKG dapat mendeteksi hiperkalemia atau hipokalemia
Pasang ventilasi mekanik pada sindrom gawat napas, hindari
kelebihan cairan.
Berikan manitol hingga 1 gr/kg IV bila dicyrigai edema serebral.
Atasi komplikasi tromboembolik spesifik bila ditemukan

Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah:


1. Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi)
2. Penggantian cairan dan garam yang hilang
3. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan
pemberian insulin.
4. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD
5. Mencegah komplikasi dan mengembalikan keadaan fisiologis normal serta
menyadari pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan.
Berikut adalah beberapa tahapan tatalaksana KAD :
Berikut adalah beberapa tahapan tatalaksana KAD :
Penilaian Klinik Awal
1. Pemeriksaan fisik (termasuk berat badan), tekanan darah, tanda asidosis
(hiperventilasi), derajat kesadaran (GCS), dan derajat dehidrasi.
5% Turgor Kulit menurun, mukosa kering
10 % Capilary refill 3 detik, mata cowong
>10 % Shock, nadi lemah, hipotensi
2. Konfirmasi biokimia: darah lengkap (sering dijumpai gambaran lekositosis),
kadar glukosa darah, glukosuria, ketonuria, dan analisa gas darah.
Resusitasi
1. Pertahankan jalan napas.
2. Pada syok berat berikan oksigen 100% dengan masker.
3. Jika syok berikan larutan isotonik (normal salin 0,9%) 20 cc/KgBB bolus.
4. Bila terdapat penurunan kesadaran perlu pemasangan naso-gatrik tube untuk
menghindari aspirasi lambung.
Observasi Klinik
Pemeriksaan dan pencatatan harus dilakukan atas :
Frekwensi nadi, frekwensi napas, dan tekanan darah setiap jam.
Suhu badan dilakukan setiap 2-4 jam.
Pengukuran balans cairan setiap jam.
Kadar glukosa darah kapiler setiap jam.
Tanda klinis dan neurologis atas edema serebri :
1. Pusing,
2. Penurunan Nadi / frekuensui denyut jantung
3. Perubahan status neurologis : gelisah, iritable drowsiness, kejang,
inkontenensia urine, reflek cahaya menurun, penurunan fungsi saraf
kranial.
4. Peningkatan tekanan darah.

EKG : untuk menilai gelombang T, menentukan tanda hipo/hiperkalemia.


Keton urine sampai negatif, atau keton darah (bila terdapat fasilitas).
Interpretasi Kadar keton darah

* Normal : < 0,5 mmol/L.


* Hiperketonimia : > 1 mmol/L

Rehidrasi
. Penurunan osmolalitas cairan intravaskular yang terlalu cepat dapat
meningkatkan resiko terjadinya edema serebri. Langkah-langkah yang harus
dilakukan adalah:
1. Tentukan derajat dehidrasi penderita.
2. Gunakan cairan normal salin 0,9%.

Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravskular dan


ekstravaskular serta perbaikan perfusi ginjal. Pada keadaan tanpa gangguan
kardiak, salin isotonik (0,9%) dapat diberikan dengan laju 15-20 ml/kgBB/jam
atau lebih selama satu jam pertama (total 1 sampai 1,5 liter cairan pada dewasa
rata-rata). Pemlihan cairan pengganti selanjutnya bergantung kepada status
hidrasi, kadar elektrolit serum dan keluaran urin. Secara umum NaCl 0,45%
dengan laju 4 sampai 14 ml/kgBB/jam mencukupi apabila kadar natrium serum
terkoreksi normal atau meningkat. Salin isotonik dengan laju yang sama dapat
diberikan apabila kadar natrium serum terkoreksi rendah
3. Total rehidrasi dilakukan 48 jam, bila terdapat hipernatremia (corrected Na)
rehidrasi dilakukan lebih perlahan bisa sampai 72 jam.
4. 50-60% cairan dapat diberikan dalam 12 jam pertama.
5. Sisa kebutuhan cairan diberikan dalam 36 jam berikutnya.

Penggantian Natrium
Koreksi Natrium dilakukan tergantung pengukuran serum elektrolit.
Monitoring serum elektrolit dapat dilakukan setiap 4-6 jam.
Kadar Na yang terukur adalah lebih rendah, akibat efek dilusi hiperglikemia
yang terjadi.

Artinya : sesungguhnya terdapat peningkatan kadar Na sebesar 1,6 mmol/L


setiap peningkatan kadar glukosa sebesar 100 mg/dL di atas 100 mg/dL.
Bila corrected Na > 150 mmol/L, rehidrasi dilakukan dalam > 48 jam.
Bila corrected Na < 125 mmol/L atau cenderung menurun lakukan koreksi
dengan NaCl dan evaluasi kecepatan hidrasi.
Kondisi hiponatremia mengindikasikan overhidrasi dan meningkatkan risiko
edema serebri.

Penggantian Kalium
Pada saat asidosis terjadi kehilangan Kalium dari dalam tubuh walaupun
konsentrasi di dalam serum masih normal atau meningkat akibat berpindahnya
Kalium intraseluler ke ekstraseluler. Konsentrasi Kalium serum akan segera turun
dengan pemberian insulin dan asidosis teratasi.
1. Pemberian Kalium dapat dimulai bila telah dilakukan pemberian cairan
resusitasi, dan pemberian insulin. Dosis yang diberikan adalah 5 mmol/kg
BB/hari atau 40 mmol/L cairan.
2. Pada keadaan gagal ginjal atau anuria, pemberian Kalium harus ditunda,
pemberian kalium segera dimulai setelah jumlah urine cukup adekuat.
Setelah fungsi ginjal telah terjaga dengan baik, cairan infus harus
ditambahkan 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai keadaan
pasien stabil dan dapat menerima suplementasi oral. Kemajuan yang baik
untuk terapi pergantian cairan dinilai dengan pemantauan parameter
hemodinamik (perbaikan tekanan darah), pengukuran masukan/keluaran
cairan dan pemeriksaan klinis. Pergantian cairan harus memperbaiki defisit
perkiraan dalam waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum akibat
terapi tidak boleh melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam. Pada pasien dengan
gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolalitas serum dan penilaian
rutin status jantung, ginjal serta mental harus dilakukan bersamaan dengan
resusitasi cairan untuk menghindari overloading iatrogenik.

Penggantian Bikarbonat
1. Bikarbonat sebaiknya tidak diberikan pada awal resusitasi.Pemberian
bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat.
2. Adapun alasan keberatan pemberian bikarbonat adalah:
Menurunkan pH intraselular akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat.
Efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan
Hipertonis dan kelebihan natrium
Meningkatkan insidens hipokalemia
Gangguan fungsi serebral
Terjadi hiperkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keton.
3. Terapi bikarbonat diindikasikan hanya pada asidossis berat (pH < 7,1 dengan
bikarbonat serum < 5 mmol/L) sesudah dilakukan rehidrasi awal, dan pada
syok yang persistent. walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan
hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian
bikarbonat.
3. Jika diperlukan dapat diberikan 1-2 mmol/kg BB dengan pengenceran dalam
waktu 1 jam, atau dengan rumus: 1/3 x (defisit basa x KgBB). Cukup diberikan
dari kebutuhan.

Pemberian Insulin
Insulin
Kecuali episode KAD ringan, insulin regular dengan infus intravena
kontinu merupakan pilihan terapi. Pada pasien dewasa, setelah hipokalemia (K+
<3,3 mEq/L) disingkirkan, bolus insulin regular intravena 0,15 unit/kgBB diikuti
dengan infus kontinu insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam (5-7 unit/jam pada
dewasa) harus diberikan. Insulin bolus inisial tidak direkomendasikan untuk
pasien anak dan remaja; infus insulin regular kontinu 0,1 unit/kgBB/jam dapat
dimulai pada kelompok pasien ini. Insulin dosis rendah ini biasanya dapat
menurunkan kadar glukosa plasma dengan laju 50-75 mg/dL/jam sama dengan
regimen insulin dosis lebih tinggi. Bila glukosa plasma tidak turun 50 mg/dL dari
kadar awal dalam 1 jam pertama, periksa status hidrasi; apabila memungkinkan
infus insulin dapat digandakan setiap jam sampai penurunan glukosa stabil
antara 50-75 mg/dL.
Pada saat kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dL di KAD dan 300 mg/dL di
KHH maka dimungkinkan untuk menurunkan laju infus insulin menjadi 0,05-0,1
unit/kgBB/jam (3-6 unit/jam) dan ditambahkan dektrosa (5-10%) ke dalam cairan
infus. Selanjutnya, laju pemberian insulin atau konsentrasi dekstrosa perlu
disesuaikan untuk mempertahakan kadar glukosa di atas sampai asidosis di KAD
atau perubahan kesadaran dan hiperosmolaritas di KHH membaik.

1. Insulin hanya dapat diberikan setelah syok teratasi dengan cairan resusitasi.
2. Insulin yang digunakan adalah jenis Short acting/Rapid Insulin (RI).
3. Dalam 60-90 menit awal hidrasi, dapat terjadi penurunan kadar gula darah
walaupun insulin belum diberikan.
4. Dosis yang digunakan adalah 0,1 unit/kg BB/jam atau 0,05 unit/kg BB/jam
pada anak < 2 tahun.
5. Pemberian insulin sebaiknya dalam syringe pump dengan pengenceran 0,1
unit/ml atau bila tidak ada syringe pump dapat dilakukan dengan microburet
(50 unit dalam 500 mL NS), terpisah dari cairan rumatan/hidrasi.
6. Penurunan kadar glukosa darah (KGD) yang diharapkan adalah 70-100
mg/dL/jam.
7. Bila KGD mencapai 200-300 mg/dL, ganti cairan rumatan dengan D5 Salin.
8. Kadar glukosa darah yang diharapkan adalah 150-250 mg/dL (target).
9. Bila KGD < 150 mg/dL atau penurunannya terlalu cepat, ganti cairan dengan
D10 Salin.
10. Bila KGD tetap dibawah target turunkan kecepatan insulin.
11. Jangan menghentikan insulin atau mengurangi sampai < 0,05 unit/kg BB/jam.
12. Pemberian insulin kontinyu dan pemberian glukosa tetap diperlukan untuk
menghentikan ketosis dan merangsang anabolisme.
13. Pada saat tidak terjadi perbaikan klinis/laboratoris, lakukan penilaian ulang
kondisi penderita, pemberian insulin, pertimbangkan penyebab kegagalan
respon pemberian insulin.
14. Pada kasus tidak didapatkan jalur IV, berikan insulin secara intramuskuler
atau subkutan. Perfusi jaringan yang jelek akan menghambat absorpsi insulin.

Tatalaksana edema serebri


Terapi harus segera diberikan sesegera mungkin saat diagnosis edema serebri
dibuat, meliputi:
1. Kurangi kecepatan infus.
2. Mannitol 0,25-1 g/kgBB diberikan intravena dalam 20 menit (keterlambatan
pemberian akan kurang efektif).
3. Ulangi 2 jam kemudian dengan dosis yang sama bila tidak ada respon.
4. Bila perlu dilakukan intubasi dan pemasangan ventilator.
5. Pemeriksaan MRI atau CT-scan segera dilakukan bila kondisi stabil.

Fase Pemulihan
Setelah KAD teratasi, dalam fase pemulihan penderita dipersiapkan untuk: 1)
Memulai diet per-oral. 2) Peralihan insulin drip menjadi subkutan.
Memulai diet per-oral.
1. Diet per-oral dapat diberikan bila anak stabil secara metabolik (KGD < 250
mg/dL, pH > 7,3, bikarbonat > 15 mmol/L), sadar dan tidak mual/muntah.
2. Saat memulai snack, kecepatan insulin basal dinaikkan menjadi 2x sampai
30 menit sesudah snack berakhir.
3. Bila anak dapat menghabiskan snacknya, bisa dimulai makanan utama.
4. Saat memulai makanan, kecepatan insulin basal dinaikkan menjadi 2x
sampai 60 menit sesudah makan utama berakhir.

Menghentikan insulin intravena dan memulai subkutan.


1. Insulin iv bisa dihentikan bila keadaan umum anak baik, metabolisme
stabil, dan anak dapat menghabiskan makanan utama.
2. Insulin subkutan harus diberikan 30 menit sebelum makan utama dan
insulin iv diteruskan sampai total 90 menit sesudah insulin subkutan
diberikan.
3. Diberikan short acting insulin setiap 6 jam, dengan dosis individual
tergantung kadar gula darah. Total dosis yang dibutuhkan kurang lebih 1
unit/kg BB/hari atau disesuaikan dosis basal sebelumnya.

Dapat diawali dengan regimen 2/7 sebelum makan pagi, 2/7 sebelum makan
siang, 2/7 sebelum makan malam, dan 1/7 sebelum snack menjelang tidur.
TERAPI KAD
Prinsip terapi KAD adalah dengan mengatasi dehidrasi, hiperglikemia, dan
ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit penyerta yang
ada.Pengawasan ketat, KU jelek masuk HCU/ICU
Fase I/Gawat :
1. REHIDRASI, NaCl 0,9% atau RL 2L loading dalam 2 jam pertama, lalu 80 tpm
selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama 18 jam (4-6L/24jam)
2. INSULIN, 4-8 U/jam sampai GDR 250 mg/dl atau reduksi minimal
3. Infus K (TIDAK BOLEH BOLUS)
Bila K+ < 3mEq/L, beri 75mEq/L
Bila K+ 3-3.5mEq/L, beri 50 mEq/L
Bila K+ 3.5 -4mEq/L, beri 25mEq/L
Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam

4. Infus Bicarbonat
Bila pH<7,0 atau bicarbonat < 12mEq/L
Berikan 44-132 mEq dalam 500cc NaCl 0.9%, 30-80 tpm
Pemberian Bicnat = [ 25 HCO3 TERUKUR ] x BB x 0.4
5. Antibiotik dosis tinggi, Batas fase I dan fase II s ekitar GDR 250 mg/dl atau
reduksi

Fase II/maintenance:
1. Cairan maintenance
Nacl 0.9% atau D5 atau maltose 10% bergantian
Sebelum maltose, berikan insulin reguler 4U
2. Kalium
Perenteral bila K+ <4mEq
Peroral (air tomat/kaldu 1-2 gelas, 12 jam
3. Insulin reguler 4-6U/4-6jam sc
4. Makanan lunak karbohidrat komlek peras
Penanganan diabetic ketoacidosis secara rinci diperlihatkan pada dibawah ini,
yakni 0.9% akan pulih kembali selama defisit cairan dan elektrolite pasien
semakin baik. Insulin intravena diberikan melalui infusi kontinu dengan
menggunakan pompa otomatis, dan suplement potasium ditambahkan kedalam
regimen cairan. Bentuk penanganan yang baik atas seorang pasien penderita
DKA (diabetic ketoacidosis) adalah melalui monitoring klinis dan biokimia yang
cermat.
Terapi cairan

Rata-rata kekurangan cairan pada penderita KAD adalah 3-5 L, sedangkan


pada SHH sekitar 10 L atau lebih.2 Terapi cairan inisial diarahkan untuk ekpansi
volume intravaskular, interstisial, dan intraselular yang mengalami penurunan
pada kondisi krisis hiperglikemik dan restorasi dari perfusi renal.3Pemberian
resusitasi cairan dengan NaCl 0,9% intravena dengan kecepatan 15-20
ml/KgBB/jam atau 1-1,5 L/jam harus dimulai secepatnya dengan pemantauan
status hidrasi setiap jam.1 Terapi cairan berikutnya tergantung dari tanda
hemodinamik, status hidrasi, serum elektrolit, dan volume urin.3Secara umum,
0,45% NaCl diberikan 250-500 ml/jam bila serum natrium yang terkoreksi normal
atau meningkat; sebaliknya, 0,9% NaCl diberikan dengan kecepatan yang sama
bila serum natrium yang terkoreksi rendah. Terapi cairan yang berhasil
ditentukan dari monitoring hemodinamik (peningkatan tekanan darah), penilaian
input output cairan (0,5-1 ml/kg/jam), nilai pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan klinis. Terapi cairan seharusnya memperbaiki perkiraan defisit
cairan dalam 24 jam pertama. Pada pasien geriatrik, terutama dengan gagal
ginjal atau jantung, monitoring osmolalitas serum dan penilaian ketat terhadap
kondisi jantung, ginjal, dan status mental harus dilakukan ketika resusitasi cairan
untuk menghindari adanya kelebihan cairan (fluid overload).1,2

Dalam penanganan DKA, hiperglikemia lebih cepat terkoreksi


dibandingkan dengan ketoasidosis. Durasi rata-rata penanganan sampai kadar
glukosa plasma < 250 mg/dl adalah 6 jam dan ketoasidosis (pH > 7,3; bikarbonat
> 18 mmol/L) adalah 12 jam.3 Setelah kadar glukosa plasma ~ 200 mg/dL, 5%
dekstrosa diberikan agar terapi insulin tetap dapat diberikan untuk menghindari
hipoglikemi sampai ketonemia terkoreksi.3,15

Terapi Insulin

Pemberian insulin baik secara intravena continuous atau dengan injeksi


SC atau IM merupakan tatalaksana utama pada KAD.3 Hasil studi menyatakan
terapi insulin tetap efektif baik melalui IV, SC, maupun IM. Pemberian melalui
IV continuous insulin reguler lebih dipilih karena paruh waktu yang singkat dan
mudah dititrasi, bila dibandingkan melalui subkutan dengan onset of action dan
paruh waktu yang relatif lebih lama.3,17

Terdapat dua metode pemberian insulin sesuai rekomendasi, antara lain


pemberian bolus insulin reguler awal (0,1 unit/kg) yang diikuti dengan infus
insulin 0,1 unit/kg/jam, dan pemberian insulin 0,14 unit/kg/jam. 3 Kedua metode
tersebut dinilai ekuivalen dari sisi perbaikan anion gap, perubahan kadar glukosa,
dan penanganan dehidrasi.18 Pemberian dosis awal insulin reguler <0,1
unit/kg/jam yang tidak diawali dengan bolus awal insulin, akan menyebabkan
kadar insulin yang rendah dan tidak adekuat untuk mensupresi produksi badan
keton di liver.3,15

Pemberian insulin dosis rendah tersebut diharapkan mengurangi


konsentrasi glukosa plasma dengan kecepatan 50-75 mg/dl/jam.19 Apabila kadar
glukosa darah tidak turun minimal 10%, maka bolus insulin 0,14 unit/kg diberikan
diikuti dengan infus insulin per jam sesuai dosis sebelumnya. Kadar GDS
kemudian kembali diperiksa setelah satu jam. Ketika glukosa plasma mencapai
200 mg/dL pada KAD atau 300 mg/dL pada SHH, penurunan kecepatan
pemberian insulin dapat dilakukan yaitu menjadi 0,02-0,05 unit/kg/jam.3 Pada
saat tersebut, dekstrosa 5% dan NaCl 0,45% dapat diberikan dengan kecepatan
150-250 ml/jam untuk menjaga kadar glukosa plasma antara 150-200 mg/dL
pada KAD atau 200-300 mg/dL pada SHH sampai klinis KAD dan SHH membaik.3

Penanganan dengan menggunakan insulin analog kerja cepat (lispro dan


aspart) telah terbukti merupakan terapi alternatif yang efektif. Pemberian insulin
kerja cepat setiap 1 atau 2 jam pada penderita KAD ringan atau sedang terbukti
aman dan efektif dibandingkan dengan pemberian insulin reguler. 3 Tingkat
penurunan konsentrasi glukosa darah dan rata-rata durasi pengobatan hampir
serupa dengan insulin reguler intravena kontinu. Namun, pasien dengan KAD
berat, hipotensi atau terasosiasi dengan penyakit kritis lainnya harus tetap
ditangani dengan insulin reguler secara intravena di ICU.

Kalium

Pada keadaan krisis hiperglikemi terjadi defisit total kalium tubuh, namun
hiperkalemia ringan sampai sedang umumnya ditemukan pada pasien
tersebut.3 Terapi insulin, koreksi dari asidosis, dan ekspansi volume
menyebabkan penurunan konsentrasi serum kalium. Pencegahan hipokalemia
dilakukan dengan pemberian kalium yang dimulai setelah konsentrasi serum
kalium turun dibawah batas atas dari nilai normal laboratorium (5,0-5,2 mEq/L).
Tujuan terapi ini adalah untuk menjaga serum kalium dalam batas normal yaitu
4-5 mEq/L. Terapi kalium dapat diberikan sesuai dengan tabel 2.2 Secara umum,
20-30 mEq kalium dalam setiap liter cairan infus cukup untuk menjaga serum
kalium dalam batas normal. Sangat jarang pasien KAD datang dengan
hipokalemia berat. Dalam kasus tersebut, terapi penggantian kalium harus
dimulai dengan terapi cairan dan terapi insulin ditunda dahulu sampai
konsentrasi serum kalium >3,3 mEq/L untuk mencegah aritmia dan kelemahan
otot pernapasan yang mengancam nyawa.15,16
Tabel 1. Terapi kalium sesuai kadar kalium dalam darah pada krisis
hiperglikemik

(Dikutip dari: McNaughton CD, Wesley H, and Slovis C. Diabetes in the Emergency
Department: Acute Care of Diabetes Patients. Clin Diab 2011;29:2)

Terapi bikarbonat

Penggunaan bikarbonat pada KAD masih kontroversial karena para


peneliti percaya ketika badan keton berkurang, akan terdapat jumlah bikarbonat
yang cukup kecuali pada keadaan asidosis berat.3 Asidosis metabolik berat dapat
menyebabkan gangguan kontraksi myocardium, vasodilatasi cerebral dan koma,
dan beberapa komplikasi gastrointestinal.15 Sebuah studi prospektif pada 21
pasien gagal menunjukan keuntungan maupun kerugian pada morbiditas dan
mortalitas pasien KAD yang datang dengan pH antara 6,9 dan 7,1 dengan terapi
bikarbonat.3 Sembilan studi kecil lainnya mendukung bahwa pemberian
bikarbonat tidak memberikan keuntungan dalam meningkatkan fungsi jantung
atau neurologik atau kecepatan penyembuhan dari hiperglikemi dan
ketoasidosis.15 Sebaliknya, efek merugikan dari terapi bikarbonat dilaporkan,
antara lain peningkatan resiko hipokalemia, penurunan uptake oksigen jaringan,
edema cerebral, dan asidosis paradoksikal sistem saraf pusat.3

Belum ada studi mengenai pemberian bikarbonat pada pasien KAD


dengan pH <6,9.3 Asidosis berat menyebabkan efek merugikan terhadap
vaskularisasi, oleh karena itu direkomendasikan pada pasien dewasa dengan pH
<6,9 pemberian 100 mmol natrium bikarbonat (2 ampul) dalam 400 ml larutan
isotonik yang disertai 20 mEq KCl dengan kecepatan pemberian 200 ml/jam
selama 2 jam sampai pH vena >7,0. Apabila pH masih <7,0, pemberian
bikarbonat diulang setiap 2 jam sampai pH mencapai >7,0.

Terapi Fosfat

Pada KAD juga terjadi defisit total fosfat tubuh sejumlah rata-rata 1,0
mmol/kg, namun pada saat presentasi biasanya normal atau meningkat.
Konsentrasi fosfat akan berkurang ketika diberikan insulin. Beberapa studi
prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan pemberian fosfat pada
penderita KAD dan pemberian fosfat berlebihan justru menyebabkan
hipokalsemia berat.3 Pemberian fosfat dengan perhatian khusus kadang
diindikasikan pada penderita KAD dengan disfungsi kardiak, anemia, depresi
napas dan pasien dengan konsentrasi serum fosfat <1,0 mg/dL untuk
menghindari potensi terjadinya kelemahan otot kardiak dan skeletal dan gagal
napas karena hipofosfatemia.16,18 Pemberian 20-30 mEq/L kalium fosfat dapat
ditambahkan pada cairan pengganti. Kecepatan maksimal pemberian fosfat yang
dinilai aman pada hipofosfatemia berat adalah 4,5 mmol/jam (1,5 ml/jam K 2PO4).
Belum ada studi mengenai pemberian fosfat pada penderita SHH.3

Gambar 1. Protokol untuk penanganan pasien dewasa dengan KAD atau SHH.
Kriteria diagnosis untuk KAD: glukosa darah 250 mg/dL, pH arteri 7,3, bikarbonat
15 mEq/L, dan moderate ketonuria atau ketonemia. Kriteria diagnosis untuk
SHH: glukosa darah 600 mg/dl, pH arteri 7.3, serum bicarbonate15 mEq/l, and
ketonuria and ketonemia minimal. 1520 ml/kg/h; serum Na harus dikoreksi
untuk hiperglikemia (setiap 100 mg/dl dari glucose 100 mg/dl, tambahkan 1.6
mEq untuk nilai natrium).

(Dikutip dari: Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN: Hyperglycemic
crises in adult patients with diabetes. Diabetes Care 2009; 32:13351343.)
8. Komplikasi
a. Edema Cerebri

Edema serebral,dapat menimbulkan pembengkakan otak


dalam cranium dan medesak medulla dan batang otak sehingga
menonjol melalui foramen magnum yang mengarah ke henti
napas dan henti jantung.

b. ARDS
Sindrom gawat nafas banyak ditemukan pada penderita usia
<50 tahun, ditandai dengan sesak napas, takipnea, sianosis sentral
dan hipoksia arterial.
c. Tromboembolisme
Biasanya berhubungan dengan dehidrasi berat, peningkatan
viskositas darah, dan hiperkoagulasi. Antikoagulasi profilaktik
pada KAD tidak direkomendasikan untuk diberikan secara rutin,
namun pasien beresiko tinggi sebaiknya mendapat terapi heparin.
C. Status Hiperglikemik Hiperosmolar
1. Definisi
Merupakan istilah yang digunakan untuk kondisi koma
hiperglikemik non ketosis hiperosmolar (HONK). Akan tetapi, saat ini
istilah yang digunakan adalah HHS, karena ketosis ringan dapat terjadi
dan tidak semua pasien mengalami status koma (komatosa).
Hiperglikemia, hiperosmoler, koma non ketotik (HHNK) adalah
komplikasi metabolik akut diabetes, biasanya pada penderita diabetes
mellitus (DM) tipe 2 yang lebih tua. Pada kondisi ini, terjadi
hiperglikemia berat (kadar glukosa serum > 600 mg/dL) yang tanpa
disertai ketosis. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas,
diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Psien dapat menjadi tidak sadar
dan meninggal bila tidak segera ditanganin (Price, 2006).
2. Etiologi
Koma hiperosmolar hipoglikemik nonketotik dapat disebabkan oleh
hal-hal sebagai berikut (Soewondo, 2009) :
1. Infeksi
2. Selulitis
3. Infeksi gigi

4. Pneumonia d. Sepsis
e. Infeksi saluran kemih
2. Pengobatan
a Obat kemoterapi
b Glukokortikoid
c Fenitoin
d Diuretik tiazid
e Propanolol
3. Noncompliance, maksudnya adalah ketidakpatuhan penderita
Diabetes
Melitus terhadap penatalaksanaan yang dianjurkan, misalnya dalam hal
mengkonsumsi makanan, tidak patuh meminum obat, melewatkan
jadwal penyuntikan, dan lain-lain.
4. Diabetes Melitus tidak terdiagnosis.
5. Penyalahgunaan obat, seperti alkohol dan kokain.
6. Penyakit penyerta
a Infark miokard akut
b Tumor yang menghasilkan hormone adrenokortikotropin
c Kejadian serebrovaskular
d Sindrom cushing
e Hipertermia
f Hipotermia
g Trombosis mesenterika
h Pankreatitis
i Emboli paru
j Gagal ginjal
k Luka bakar berat
3. Patofisiologi

Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non


ketotik adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada
kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin
memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun demikian,
penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada
sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan
konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak
dibandingkan natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada
tidak cukup untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah, terutama jika
terdapat resistensi insulin (Soewondo, 2009).
Tidak seperti pasien dengan Keto asidosis diabetik (KAD), pasien
HHNK tidak mengalami ketoasidosis, namun tidak diketahui dengan jelas
alasannya. Faktor yang diduga ikut berpengaruh adalah keterbatasan
ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, konsentrasi asam lemak bebas
yang rendah untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk
menghambat ketogenesis namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia,
dan resistensi hati terhadap glucagon (Soewondo, 2009).
Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya
hiperglikemia. Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk
oleh sel otot dan sel lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai
glikogen pada otot dan hati, dan stimulasi glukagon pada sel hati untuk
glukoneogenesis mengakibatkan semakin naiknya konsentrasi glukosa darah.
Pada keadaan dimana insulin tidak mencukupi, maka besarnya kenaikan
konsentrasi glukosa darah juga tergantung dari status hidrasi dan masukan
karbohidrat oral (Soewondo, 2009).
Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik, dan
mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vascular,
dimana glukoneogenesis dan masukan makanan terus menambah glukosa,
kehilangan cairan akan semakin mengakibatkan hiperglikemia dan hilangnya
volume sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi protein plasma
yang mengikuti hilangnya cairan intravascular menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar ini memicu sekresi hormon anti
diuretik. Keadaan hiperosmolar ini juga akan memicu timbulnya rasa haus
(Soewondo, 2009).
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan
cairan tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul
dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan
hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan.
Keadaan koma merupakan stadium terakhir dari proses hiperglikemik ini,
dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan
hipotensi (Soewondo, 2009).

4. Manisfestasi Klinis

Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui


mempunyai DM, dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau
obat hipoglikemi oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang semakin
memperberat masalah, misalnya diuretic (Soewondo, 2009).
Keluhan pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang.
Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika
dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf
seperti letargi, disorientasi, hemiparesis,
kejang atau koma (Sewondo, 2009).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti
turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas
yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan
peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula
dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah rehidrasi adekuat (Soewondo,
2009).
Perubahan pada status mental dapat bekisar dari disorientasi sampai
koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung
dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum
mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan
pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, local, maupun, mioklonik.
Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversible dengan koreksi deficit
cairan (Soewondo, 2009).
5. Pemeriksaan Penunjang
Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHNK adalah
konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg per dL) dan
osmolaritas serum yang tinggi (> 320 mOsm per kg air [normal = 290
5]), dengan pH lebih besar dari 7,30 dan disertai ketonemia ringan
atau tidak. Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik
dengan anion gap yang ringan (10 12). Jika anion gap nya berat
(>12), harus dipikirkan diagnosis diferensial asidosis laktat atau
penyebab lain. Muntah dan penggunaan diuretik tiazid dapat
menyebabkan alkalosis metabolic yang dapat menutupi tingkat
keparahan asidosis. Konsentrasi kalium dapat meningkat atau normal.
Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen (BUN), dan hematokrit
hampir selalu meningkat. HHNK menyebabkan tubuh banyak
kehilangan berbagai macam elektrolit (Soewondo, 2009).

KAD HHS
Ringan Sedang Berat
pH arteri 7,25-2,3 7,00-7,24 <7,00 7,30
Bicarbonat 15-18 10-15 <10 18
serum
Keton urine Positif (+2) Posiif (>+2) Positif Kecil
(>+2) (<+1)
Osmolalitas Variable Variable Variable >320
serum
Gap Anion 12 12 12
10

Defisiensi cairan dan eletrolit dalam KAD dan HHS


KAD HHS
Cairan ml/kgBB Kira-kira 100 100-200
Natrium mmol/kgBB 7-10 5-13
Kalium mmol/kgBB 3-5 5-15
Fosfat mmol/kgBB 1-1,5 1-2
Magnesium 1-2 1-2
mmol/kgBB
6. Penatalaksanaan
Penanganan HHS sesuai dengan KAD yakni rehidrasi sebagai kunci
pendekatannya. Pasien dapat megalami hipernatremi yang signifikan
(Na serum >150 mmol/L) dengan salin normal sebagian atau
hipotonik 0,45% atau dextrose 5% atau isotonic dapat diberikan.
Penurunan sangat cepat osmolalitas dapat menyebabkan edema paru
sehingga hanya 1-2 liter larutan hipotonis saja yang dapat diberikan.
Banyak pasien yang dapat ditangani tanpa insulin bila metabolisme
dalam kondisi stabil.

a. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK adalah
penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg,
atau total rata-rata 9 L). Penggunaan larutan isotonik akan dapat menyebabkan
overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat mengkoreksi deficit cairan
terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus.
Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal saline per jam. Jika
pasiennya mengalami syok hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma expanders.
Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor
hemodinamik (Soewondo, 2009).
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan
sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan
cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa
diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan
penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal (Soewondo, 2009).

b Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena
konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium
yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan
mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus
dipantau terus menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor
(Soewondo, 2009).
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol/ per L), pemberian
insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat
sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per L). Jika konsentrasi
kalium lebih besar dari 5,0 mEq per L (5,0 mmol per L), konsentrasi kalium harus
diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L, namun sebaiknya konsentrasi kalium
ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq
per L , maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena
yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk
mempertahankan konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan
5,0 mEq per L (Soewondo, 2009).

c Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pemberian
cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian
cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan
perburukan hipotensi, kolaps vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya
diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena, dan diikuti dengan
drip 0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah turun antara 250 mg
per dL (13,9 mmol/L) sampai 300 mg/dl.
Jika konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam,
dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah sudah
mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara intravena
dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan
keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009).

3 Penatalaksanaan Non Medikamentosa


Pasien Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK) biasanya
datang dengan keadaan penurunan kesadaran dan dalam keadaan gawat
darurat, oleh karena itu pemberian obat secara non farmakologi akan kurang
tepat karena memberikan efek yang cukup lama. Penatalaksaan yang tepat bagi
pasien (KHHNK) yaitu secara medikamentosa. Selain itu dapat juga dengan
dilakukan pencegahan penyakit Diabetes Melitus yang biasanya merupakan
penyebab awal
KHHNK, meliputi (Yunir, 2009) :
a. Terapi gizi
Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan
pada status gizi diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual.
b. Latihan jasmani
Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan perubahan metabolik,
yang dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan, dan tingkat kebugaran, juga
oleh kadar insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan
cairan tubuh

4 Identifikasi dan Mengatasi Faktor Penyebab


Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotic kepada
semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi antibiotik
dianjurkan sambil menunggu kultur pada pasien usia lanjut dan pada pasien
hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini, peningkatan konsentrasi C-reactive
protein dan interleukin-6 merupakan indicator awal sepsis pada pasien dengan
HHNK (Soewondo, 2009).

Вам также может понравиться