Вы находитесь на странице: 1из 3

BAB IV

ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki usia 22 tahun, mahasiswa status belum menikah, dibawa ke rumah
sakit oleh orang tuanya dengan kondisi pasien compos mentis, dengan sebab utama ingin
bunuh diri.
1 bulan yang lalu, pasien mulai menjadi lebih pendiam dan pemurung. Pasien
tidak mau lagi berangkan ke kampus untuk kuliah, os hanya mengahbiskan waktunya
dirumah dan menolah untuk bertemu dengan teman-temannya. Pasien masih bisa merawat
diri dan melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik.
1 minggu yang lalu pasien sering melamun dan setiap diajak bicara jawabannya
ngelantur dan tidak nyambung. Pasien juga sering ketakukan dan sulit tidur.
3 hari yang lalu pasien mulai tidak mau makan, os hanya mau minum susu dan
menolak ketika diberi makan nasi. Pasien lebih banyak menghabiskan waktu dengan
mengurung diri di kamar dan tidur. Pasien juga sering mondar mandir di dalam rumah tanpa
ada tujuan dan sering menangis tiba-tiba tanpa alasan. Pasien merasa kepalanya berat dan
sulit berbicara karena ada sesuatu yang memegang kuat di kepalanya.
3 jam yang lalu pasien tiba-tiba mengambil pisau dari dapur dan ingin bunuh diri
dengan alasan ingin masuk surga. Ayah pasien berhasil merebut pisau dari pasien kemudian
pasien segera dibawa ke Rumah Sakit Ernaldi Bahar.
Saat dilakukan wawancara psikiatri, pasien bisa menyebutkan nama, umur, alamat
dan yang mengantar dengan benar. Pasien tidak mengetahui bahwa dirinya sakit. Pasien
tampak terlihat sedih dan kehilangan minat. Ketika ditanya yang dirasakannya saat ini, pasien
hanya menunduk tindak menjawab dan ekspresi muka menunjukan kesedihan. Perubahan
perilaku pasien dilihat pertama kali oleh kedua orang tuanya semenjak anaknya mulai
menggarap skripsi. Semenjak itu pasien menjadi lebih pendiam dan suka menyendiri. Pasien
juga terlihat memiliki perasaan bersalah, tidak berguna dan sempat memiliki ide bunuh diri
karena masalahnya tersebut. Pasien dan keluarga mengatakan bahwa pasien tidak pernah
memiliki keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat penyakit yang sama di keluarga
disangkal. Riwayat penyakit fisik lain disangkal. Pasien mengatakan bahwa dia tidak
merokok, tidak mengkonsumsi minuman keras atau menggunakan zat terlarang.
Berdasarkan autoanamnesis dan pemeriksaan status mental, didapatkan gejala klinis
bermakna berupa pasien lebih pendiam, sering melamun, sering menyendiri, suka mengurung
diri, nafsu makan berkurang, emosi yang labil. Status psikiatri, keadaan umum kompos
mentis, tampak sedih, perhatian dan konsentrasi berkurang, kontak psikis yang menurun,
mood/afek hipotimik/appropriate. Bentuk pikir logis realis, arus pikir koheren, dan merasa
tidak berguna, ide bunuh diri ada. Persepsi halusinasi auditorik dan visual tidak ada. Dapat
disimpulkan pasien memiliki kelainan perhatian, kelainan pikiran dan perasaan sehingga
pasien dapat disimpulkan mengalami gangguan jiwa. Gejala tersebut didominasi dengan
gejala non psikotik sehingga didiagnosis gangguan jiwa non psikotik.
Pada status internus tidak ditemukan adanya kelainan dan pada pemeriksaan status
neurologi juga tidak ditemukan adanya kelainan, sehingga gangguan mental organik dapat
disingkirkan dan didiagnosis gangguan jiwa non psikotik non organik.
Dari autoanamnesis dan aloanamnesis serta pemerikan status mental, pasien tidak
mengetahui bahwa dirinya sakit dan alasan dibawa berobat sehingga discriminative insight
dan judgement kurng. Gangguan asosiasi seperti asosiasi longgar, inkoherensi, atau
neologisme juga tidak ada. Gangguan afek dan ambivalensi juga tidak ada. Hanya terdapat
gejala autism berupa penarikan diri dari kehidupan nyata dan tidak ada halusinasi dan
waham.
Dari autoanamnesis dan pemeriksaan status mental didapatkan 3 gejala utama depresi
yang dialami sejak beberapa bulan ini berupa kehilangan minat dan kegembiraan, mudah
lelah, dan afek depresif (hipotimia), disertai 4 gejala tambahan berupa konsentrasi dan
perhatian berkurang, gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri (bunuh diri), tidur
teganggu, dan nafsu makan berkurang. Berdasarkan PPDGJ III dapat ditegakkan diagnosis
aksis I sebagai Episode depresif berat tanpa gejala psikotik (F32.2). Diagnosis aksis II tidak
ada diagnosis. Aksis III tidak ada diagnosis. Aksis IV stresor berupa masalah pendidikan.
Aksis V GAF scale saat ini 80-71.
Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang menggunakan skala nilai depresi dari
Hamilton Depression Rating Scale (HDRS) yang teridiri dari 24 pertanyaan, didapatkan
perasaan sedih yang ada hanya bila ditanya (1); perasaan bersalah (0); keinginan bunuh diri
berupa ide-ide atau gerak-gerak tentang bunuh diri (3);insomnia (early), kadang-kadang
mengeluh sulit tidur, misalnya lebih dari 15 menit (1); insomnia (middle) mengeluh gelisah
dan terganggu sepanjang malam (1);Insomnia (late) bila telah bangun/bangkit dari tempat
tidur, tidak dapat tidur kembali (2); Kerja dan kegiatan berkurangnya waktu aktual yang
dihabiskan dalam kegiatan atau menurunnya produktifitas. Di rumah sakit, diberi nilai 3 bila
pasien tidak menghabiskan waktu paling sedikit 3 jam sehari dalam melakukan kegiatan
diluar tugas bangsal (3); Retardasi sulit diwawancara (3); Agitasi (0); Anxietas psikis tidak
ada kesulitan (0); Anxietas somatik (0); gejala somatik gastrointestinal (0); gejala somatik
umum anggota gerak punggung atau kepala berat. Nyeri punggung, nyeri kepala, nyeri otot.
Hilang tenaga dan kelelahan (1); gejala genital (0); hipokondriasis (0); kehilangan berat
badan jelas berkurang (2); tilikan menyangkal sepenuhnya bahwa dirinya sakit (2); vasiasi
diurnal (0); depersonalisasi dan derealisasi (0);gejala paranoid (0); gejala obsesif kompulsif
(0); ketidakberdayaan (0); keputusasaan mengekspresikan perasaan putus asa, hilang harapan,
pesimis tentang masa depan, yang tidak dapat dihilangkan (3); Perasaan tidak berharga
menunjukkan perasaan tidak berharga (kehilangan harga diri) secara spontan (0). Dari hasil
perhitungan maka didapatkan nilai 22 yang menunjukkan pasien mengalami depresi berat.
Terapi yang diberikan berupa psikofarmaka dan psikoterapi. Psikofarmaka yang
diberikan berupa Fluoxetine 1 x 20 mg sebagai obat anti depresan dan Alprazolm 2 x 0,25 mg
untuk mengurangi gejala insomnia. Psikoterapi pada pasien ini lebih ditekankan kepada
psikoterapi keluarga, dimana keluarga dapat membantu dan mendukung kesembuhan pasien.
Selain itu, psikoterapi suportif ditujukan untuk memberi dukungan dan perhatian kepada
pasien dalam menghadapi masalah, serta memotivasi pasien agar meminum obat secara
teratur, dan rutin kontrol setelah pulang dari perawatan di rumah sakit. Pasien juga diberikan
psikoterapi kognitif, sosial-budaya dan religius.

Вам также может понравиться