Вы находитесь на странице: 1из 45

BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas pasien
Nama : An. Y
Umur : 14 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jl. Letkol Saman Sei Putri RT.01
MRS : 11 Juli 2016

II. Anamnesa
Keluhan Utama :
Mata kiri berwarna merah sejak 1 minggu yang lalu

Anamnesa Khusus :
Satu minggu SMRS os mengeluh mata kirinya berwarna merah.
Mata merah tersebut juga terasa perih dan gatal. Saat aktivitas os merasa
bila matanya tersebut berair. Kemudian os menggunakan obat tetes mata
yang dibeli sendiri di apotik, namun keluhannya tidak berkurang. Demam
tidak ada, kotoran mata tidak ada, riwayat terkena benda asing pada mata
disangkal. Karena keluhannya tidak berkurang, os memutuskan untuk
berobat ke poli mata RSUD Raden Mattaher.
Riwayat penyakit dahulu :
Tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya
Hipertensi (-), DM (-), Riwayat alergi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang
mengalami keluhan yang sama
Riwayat gizi : Baik
Keadaan sosial ekonomi : Sosial ekonomi menengah

1
III. Penyakit Sistemik
Tidak ada riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita

IV.PEMERIKSAAN FISIK
4.1 Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : Afebris
Kepala : Normocephale
Mata : Status Oftalmologi
THT : Telinga : normotia, secret -/-, serumen -/-
Hidung : Deviasi septum (-), secret -/-
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis
Mulut : Lidah kotor (-), tonsil T1-T1, tidak hiperemis
Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba
Thoraks :
Jantung : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Datar, soepel, nyeri tekan (-), tympani, bising usus (+)
normal
Ekstremitas
Superior : akral hangat (+/+), oedem (-/-)
Inferior : akral hangat (+/+), oedem (-/-)

2
4.2 Status Oftalmologis
Pemeriksaan OS OD
Visus Dasar 6/6 6/6
Pergerakan bola mata

- Duksi Baik Baik


- Versi Baik Baik

Palpebra
Superior Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
laserasi (-) laserasi (-)
Inferior Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
laserasi (-) laserasi (-)

Konjungtiva
Konjungtiva tarsus Hiperemis (+), Anemis (-), Hiperemis (-), Anemis (-),
superior Papil (-), folikel (-), lytiasis Papil (-), folikel (-
(-) ),lytiasis (-)
Konjungtiva tarsus Hiperemis (+), Anemis (-), Hiperemis (-), Anemis (-),
inferior Papil (-), folikel (-), lytiasis Papil (-), folikel (-

3
(-) ),lytiasis (-)
Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (+), Injeksi konjungtiva (-),
Injeksi Silier (-), Kimosis (- Injeksi Silier (-), Kimosis
), Ekimosis (-) (-), Ekimosis (-)
Kornea

Jernih Jernih

Limbus Kornea

Arcus sinilis - -
Bekas jahitan - -
Sklera
Sklera biru - -
Episkleritis - -
Skleritis - -
COA
Normal Normal
Iris
Warna Coklat Coklat
Kripta Normal Normal
Prolaps - -
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Isokoria - -
Ukuran 3 mm 3 mm
RCL + +
RCTL + +
Lensa
Kejernihan Jernih Jernih

4
Pemeriksaan Slit Lamp
Silia Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Conjungtiva tarsus Papil (-), folikel (-). Papil (-), folikel (-)
Conjungtiva bulbi Injeksi (+), hiperemis (-) Injeksi (+), hiperemis (-)
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata depan Normal Normal
Iris Kripta iris normal Kripta iris normal
Lensa Jernih Jernih
Tekanan Intra Okuler
Palpasi / Digital Normal Normal
Tonometer Schiotz Tidak dilakukan Tidak dilakukan
VISUAL FIELD
Konfrontasi Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
FUNDUSKOPI
Tidak dilakukan

XI. Pemeriksaan Lain-lain : tidak dilakukan

XII. Diagnosa : Konjungtivitis OS ec Virus

XIII. Diagnosa Banding : Konjungtivitis ec bakteri


: Konjungtivitis alergi

XIV. Usulan Pemeriksaan : Apusan Sekret Konjungtiva untuk dilakukan


pewarnaan Gram,Giemsa dan KOH

5
XV. Rencana tidakan :
Medikamentosa :
Cenfresh 4 x gtt 1 OS
Cendo Troboson 6 x gtt 1 OS

Edukasi :
Menjelaskan bahwa pasien menderita peradangan pada selaput mata
(konjungtiva)
Menjelaskan kepada penderita supaya tidak mengucek-ucek mata
Menganjurkan memakai pelindung mata
Pasien diminta untuk meneteskan dan menggunakan obat secara teratur dan
menjaga daya tahan tubuh dengan makan makanan yang bergizi dan istirahat yang
cukup untuk mempercepat penyembuhan penyakit

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi

Konjungtivitis adalah peradangan konjungtiva yang ditandai oleh


dilatasi vaskular, infiltrasi selular dan eksudasi, atau radang pada selaput lendir
yang menutupi belakang kelopak dan bola mata. Konjungtivitis dibedakan
menjadi akut dan kronis yang disebabkan oleh mikro-organisme (virus, bakteri,
jamur, chlamidia), alergi, iritasi bahan-bahan kimia. Peradangan tersebut
menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata
merah.

Gambar 1. Konjungtivitis

2.2.Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersammbungan
dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea di limbus. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian yaitu:

7
1. Konjungtiva palpebralis yang menutupi permukaan posterior dari palpebra
2. Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera
3. Konjungtiva forniks atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.

Namun, secara letak areanya, konjungtiva dibagi menjadi 6 area yaitu area
marginal, tarsal, orbital, forniks, bulbar dan limbal.

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan


melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
dan menjadi konjungtiva bulbaris.

Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan


melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Konjungtiva bulbaris melekat
longgar ke kapsul tenon dan sclera di bawahnya, kecuali di limbus (tempat kapsul
Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm).

Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika
semilunaris) terlelak di kantus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada
beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula)
menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona
transisi yang mengandung baik elemen kulit dan membran mukosa.

Konjungtiva forniks struktumya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi


hubungan dengan jaringan dibawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-
lekukan. Juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu,
pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata.

8
Gambar 2. Anatomi Konjungtiva .

Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.

Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan


lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga
membentuk pleksus limfatikus yang banyak.

Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik)


nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.

9
2.3. Histologi Konjungtiva

1) Lapisan epitel konjungtiva

Terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat,
superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas
karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata
terdiri dari sel-sel epitel skuamosa bertingkat.

2) Sel-sel epitel superficial

Mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus.


Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi
lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea.Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus
dapat mengandung pigmen.

3) Stroma konjungtiva

Dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan fibrosa
(profundus):

Lapisan adenoid

Mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung


struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid
tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini
menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat
papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler.

Lapisan fibrosa

Tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus.


Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva.
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.

4) Kelenjar air mata asesori ( kelenjar Krause dan wolfring )

10
Struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma.
Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas,dan sisanya
diforniks bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas.

2.4. Fungsi Konjungtiva.

Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan


kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata,
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas
lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa
mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada
mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.

Pada konjungtiva terdapat beberpa jenis kelenjar yang dibagi menjadi 2 grup
besar, yaitu:

a. Penghasil musin
Sel goblet, terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada
daerah inferonasal.
Crypts of henle, terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis
superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.
Kelenjar Manz, mengelilingi daerah limbus.

b. Kelenjar assesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause


dan kelenjar wolfering. Kedua kelenjar ini terletak dibawah substansi propia.

Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun


karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai
darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain
itu, air mata bukan merupakan medium yang baik.

11
2.5. Epidemiologi Konjungtivitis

Konjungtivitis adalah diagnosa yang mencakup bermacam-macam


kelompok penyakit yang terjadi di seluruh dunia dan mengenai semua umur,
semua status sosial dan kedua gender. Meskipun tidak ada tokoh yang dapat
dipercaya yang mendata insidensi atau prevalensi dari konjungtivitis, kondisi ini
telah disebutkan sebagai salah satu penyebab paling sering dari pasien untuk
memeriksakan sendiri dirinya.

Konjungtivitis jarang menyebabkan kehilangan penglihatan yang


permanen atau kerusakan struktur, tapi dampak ekonomi dari penyakit ini dalam
hal kehilangan waktu kerja, meskipun tidak terdokumentasi, sangat tidak
diragukan lagi.

Sekitar 2% dari seluruh kunjungan ke dokter adalah untuk pemeriksaan


mata dengan 54% nya adalah antara konjungtivitis atau abrasi kornea. Untuk
konjuntivitis yang infeksius, 42% sampai 80% adalah bakterial, 3% chlamydial,
dan 13% sampai 70% adalah viral. Konjungtivitis viral menggambarkan hingga
50% dari seluruh konjungtivitis akut di poli umum. Occular cicatrical pemphigoid
dan konjungtivitis neoplasma jarang tampak.

2.6. Etiologi Konjungtivitis


Konjungtiva bisa mengalami peradangan akibat:

Infeksi virus atau bakteri

Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang.

Iritasi oleh angin, debu asap dan polusi udara lainnya; sinar ultraviolet dari
las listrik atau sinar matahari.

12
2.7. Gambaran Klinik Konjungtivitis

1. Hiperemi

Mata merah adalah tanda tipikal dari konjungtivitis. Injeksi konjungtival


diakibatkan karena meningkatnya pengisisan pembuluh darah konjuntival,yang
muncul sebagian besar di fornix dan menghilang dalam perjalanannya menuju ke
limbus.
Hiperemi tampak pada semua bentuk konjungtivitis, tetapi penampakan/
visibilitas dari pembuluh darah yang hiperemi, lokasi mereka,dan ukurannya
merupakan kriteria penting untuk differensial diagnosa. Seseorang juga dapat
membedakan konjungtivitis dari kelainan lain seperti skleritis atau keratitis
berdasar pada injkesinya. Tipe-tipe injeksi dibedakan menjadi:

Gambar 3. Bentuk-bentuk injeksi pada konjungtiva.

Gambar 4. Hiperemi pada konjungtivitis

13
2. Discharge (sekret)

Sekret merupakan produk kelenjar , yang pada konjungtiva bulbi


dikeluarkan oleh sel goblet. Sekret konjungtiva bulbi pada konjungtivis dapat
bersifat:
Air, disebabkan infeksi virus atau alergi
Purulen, oleh bakteri atau klamidia.
Hiperpurulen, disebabkan oleh gonokok atau meningokok
Mukoid, oleh alergi atau vernal.
Serous, oleh adenovirus.

Bila pada sekret konjungtiva bulbi dilakukan pepemriksaan sitologik


dengan pulasan gram (mengidentifikasi organisme bakteri) pulasan Giemsa
(menetapkan jenis dan morfologi sel) maka didapatkan kemungkinan penyebab
sekret seperti terdapatnya:
Limfosit, monosit, sel berisi nukleus sedikit plasma, maka infeksi disebabkan
virus.
Leukosit, PMN oleh bakteri.
Eosinofil, basofil oleh alergi.
Sel epitel dengan badan inklusi basofil sitoplasma oleh klamidia
Sel raksasa MN oleh trakoma.
Keratinisasi dengan filamen oleh pemfigus atau dry eye, dan
Badan Guarneri eosinofilik oleh vaksinia.

Gambar 5. Sekret pada konjungtivitis.

14
BAKTERI FUNGUS &
VIRUS ALERGI
PARASIT
PURULEN NONPURULEN
Sekret Sedikit Banyak Sedikit Sedikit Sedikit
Air mata Banyak Sedang Sedang Sedikit Sedang
Gatal Sedikit Sedikit - - Hebat
Injeksi Umum Umum Lokal Lokal Umum
Nodul preaurikualar Sering Jarang Sering Sering -
Biasanya
Pewarnaan usapan Monosit Bakteri Bakteri negatif Eosinofil
Limfosit PMN PMN
Sakit tenggorokan &
panas Kadang Kadang - - -

Tabel 1. Diagnosa banding konjungtivitis.

3. Epifora

Diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, terbakar atau gatal.


Kurangnya sekresi airmata yang abnormal mengesankan keratokonjungtivitis
sicca.4

Gambar 6. Epifora pada konjungtivitis

4. Pseudoptosis

Pseudoptosis adalah turunnya palpebra superior karena infiltrasi sel-sel


radang ke muskulus muller (M. Tarsalis superior). Keadaan ini dijumpai pada
konjungtivitis berat. Misalnya Trachoma dan keratokonjungtivitis epidemika.4

15
5. Khemosis (edema konjungtiva)

Adanya kemosis mengarahkan kita secara kuat pada konjungtivitis alergik


akut, tetapi dapat muncul juga pada konjungtivitis gonokokkal akut atau
konjungtivitis meningokokkal, dan terutama pada konjungtivitis adenoviral.
Kemosis dari konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien dengan trikinosis.
Meskipun jarang, kemosis mungkin timbul sebelum adanya infiltrat atau eksudasi
seluler gross.

Gambar 7. Kemosis pada konjungtivitis.

6. Hipertrofi papil

Hipetropi papil merupakan reaksi konjungtiva non spesifik yang muncul


karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di dasarnya oleh fibril.
Ketika pembuluh darah yang membentuk substansi dari papila (bersama
dengan elemen selular dan eksudat) mencapai membran basement epitel,
pembuluh darah tersebut akan bercabang menutupi papila seperti kerangka dari
sebuah payung. Eksudat inflamasi akan terakumulasi diantara fibril, membenetuk
konjungtiva seperti sebuah gundukan.pada kelainan yang menyebabkan nekrosis
(contoh:trakoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan
ikat.
Ketika papila berukuran kecil, konjungtiva biasanya mempunyai
penampilan yang halus dan merah normal. Konjungtiva dengan papila berwarna
merah sekali menandakan kelainan disebabkan bakteri atau klamidia (contoh:

16
konjungtiva tarsal yang berwarna merah sekali merupakan karakteristik dari
trakoma akut).
Injeksi yang ditandai pada tarsus superior, menandakan konjungtivitis
vernal dan konjungtivitis giant papillary dengan sensitifitas terhadap lensa kontak/
pada tarsal inferior, gejala tersebut menandakan keratokonjungtivitis atopik.
Papila yang berukuran besar juga dapat muncul pada limbus, terutama
pada area yang secara normal dapat terekspos ketika mata sedang terbuka. Disitu
gejala nampak sebagai gundukan gelatin yang dapat mencapai kornea.
Papila limbal adalah tanda khas dari keratokonjungtivitis vernal tapi
langka pada keratokonjungtivitis atopik.

Gambar 8. Hipertrofi papil pada konjungtivitis

7. Hipertrofi folikel

Terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan limfoid dari


konjungtiva yang biasanya mengandung germinal center.
Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler putih
atau abu-abu. Pada pemeriksaan menggunakan slit lamp, pembuluh darah kecil
dapat naik pada tepi folikel dan mengitarinya. Terlihat paling banyak pada kasus
konjungtivitis viral dan pada semua kasus konjungtivitis klamidial kecuali
konjungtivitis inklusi neonatal, pada beberapa kasus konjungtivitis parasit, dan
pada beberapa kasus konjungtiitis toksis diinduksi oleh medikasi topikal seperti
idoxuriridine, dipiverin, dan miotik.
Folikel pada fornix inferior dan pada batas tarsal mempunyai nilai
diagnostik yang terbatas, tetapi ketika diketemukan terletak pada tarsus (terutama

17
tarsus superior), harus dicurigai adanya konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik
(mengikuti medikasi topikal).

Gambar 9. Hipertrofi folikel pada konjungtivitis.

8. Pseudomembran dan membran

Merupakan reaksi konjungtiva terhadap infeksi berat atau konjungtivitis


toksik. Terjadi oleh karena proses koagulasi kuman atau bahan toksik. Bentukan
ini terbentuk dari jaringan epitelial yang nekrotik dan kedua-duanya dapat
diangkat dengan mudah, baik yang tanpa perdarahan (pseudomembran) karena
hanya merupakan koagulum pada permukaan epitelial atau yang meninggalkan
permukaan dengan perdarahan saat diangkat (membran) karena merupakan
koagulum yang melibatkan seluruh epitel.

Gambar 10. Pseudomembran pada konjungtivitis.

18
9. Formasi pannus

Pertumbuhan konjungtiva atau pembuluh darah diantara lapisan bowman


dan epitel kornea atau pada stroma yang lebih dalam. Edema stroma, yang mana
menyebabkan pembengkakan dan memisahkan lamela kolagen, memfasilitasi
terjadinya invasi pembuluh darah.

10. Phlyctenules
Menggambarkan manifestasi lokal pada limbus karena alergi terhadap
toxin yang dihasilkan mikroorganisme. Phlyctenules dari konjungtiva pada
mulanya terdiri dari perivaskulitis ulserasi dari konjungtiva, dasar ulkus
mempunyai banyak leukosit polimorfonuklear.

11. Granuloma

Adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan area bulat merah
dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul pada kelainan sistemik
seperti tuberkulosis atau sarkoidosis atau mungkin faktor eksogen seperti
granuloma jahitan postoperasi atau granuloma benda asing lainnya. Granuloma
muncul bersamaan dengan bengkaknya nodus limfatikus preaurikular dan
submandnibular pada kelainan seperti sindroma okuloglandular parinaud.

12. Adenopati preaurikuler

Beberapa jenis konjungtivitis akan disertai adenopoti preaurikular. Dengan


demikian setiap ada radang konjungtiva harus diperiksa adalah pembebasan dan
rasa sakit tekan kelenjar limfe preaurikuler.

19
2.8. Patofisiologi Konjungtivitis

Konjungtiva mengandung epitel skuamosa yang tidak berkeratin dan


substansia propria yang tipis, kaya pembuluh darah. Konjungtiva juga memiliki
kelenjar lakrimal aksesori dan sel goblet.

Konjungtivitis alergika disebabkan oleh respon imun tipe 1 terhadap


alergen. Alergen terikat dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE terjadi,
menyebabkan degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi bertingkat dari
peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast, juga mediator
lain termasuk triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin,
tromboksan, dan leukotrien. histamin dan bradikinin dengan segera menstimulasi
nosiseptor, menyebabkan rasa gatal, peningkatan permeabilitas vaskuler,
vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi konjungtiva.

Konjungtivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun


penjamu dan kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat menginvasi dari
tempat yang berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di dalam sel
mukosa konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan viral memulai reaksi bertingkat
dari peradangan leukosit atau limfositik meyebabkan penarikan sel darah merah
atau putih ke area tersebut. Sel darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva
dan berakumulasi di sana dengan berpindah secara mudahnya melewati kapiler
yang berdilatasi dan tinggi permeabilitas.

Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang


menutupi konjungtiva. Rusaknya lapisan ini memudahkan untuk terjadinya
infeksi. Pertahanan sekunder adalah sistem imunologi (tear-film immunoglobulin
dan lisozyme) yang merangsang lakrimasi.

20
2.9. KLASIFIKASI KONJUNGTIVITIS

I. Konjungtivitis karena agen infeksi


A. Konjungtivitis Bakteria
B. Konjungtivitis Klamidia. (Trakoma)
C. Konjungtivitis Virus
C.1. Konjungtivitis Folikuler Virus Akut
1. Demam Faringokonjungtival
2. Keratokonjungtivitis Epidemika
3. Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks
4. Konjungtivitis Hemoragika Akut
C.2. Konjungtivitis Virus Kronik
1. Blefarokonjungtivitis
2. Blefarokonjungtivitis Varicella-Zoster
3. Keratokonjungtivitis Morbilli
II. Konjungtivitis Imunologik (Alergi)
A. Reaksi Hipersensitifitas tipe cepat
1. Konjungtivitis demam jerami (hay fever)
2. Konjungtivitis vernalis
3. Konjungtivitis atopik
B. Reaksi Hipersensitifitas tipe lambat
1. Phlyctenulosis
III. Konjungtivitis akibat kelaianan autoimun
1. Keratokonjungtivitis sicca
IV. Konjungtivitis Kimia atau Iritatif
1. Konjungtivitis iatrogenik pemberian obat topikal
2. Konjungtivitis pekerjaan oleh bahan kimia dan iritans

21
I. Konjungtivitis Karena Agen Infeksi

A. Konjungtivitis bakteri

Suatu konjungtivitis yang disebabkan bakteri dapat saja akibat infeksi


gonokok, meningokok, staphylococcus aereus, streptococcus pneumoniae,
hemophilus influenzae dan escherichia coli.

Memberikan gejala sekret mukopurulen dan pupulen, kemosis


konjungtiva, edema kelopak, kadang kadang disertai keratis dan blefaritis.
Terdapat papil pada konjungtiva dan mata merah. Konjungtivitis bakteri ini
mudah menular.

Tanda dan gejala pada konjungtivitis bakterial ini dibagi


berdasarkan gejala klinis dan onsetnya, yaitu:

1. Konjungtivitis Mukopurulen Akut

Konjungtivitis ini ditandai dengan adanya hiperemi konjungtiva dan


adanya sekret mukopurulen. Bakteri yang biasanya menyebabkan penyakit ini
yaitu StaphylococcuS aureus, Pneumococcus, Streptococcus
pneumoniae,Haemophilus aegypticus, dan Koch-Weeks bacillus.

2. Konjungtivitis Purulen Akut

Konjungtivitis ini disebut juga konjungtivitis hiperakut, dan ditandai


dengan respon inflamasi yang lebih berat. Penyakit ini disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae, StaphylococcuS aureus, dan Streptococcus pneumoniae.

Penyebaran penyakit ini biasanya melalui saluran genital yang terinfeksi N


gonorrheae dan menular ke mata melalui tangan yang terkontaminasi.

3. Konjungtivitis Membranosa Akut

22
Konjungtivitis ini ditandai dengan pembentukan membran pada
konjungtiva. Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dan
Streptococcus haemolyticus.

Pembentukan membran pada konjungtiva tersebut diakibatkan oleh adanya


deposisi eksudat fibrinosa pada permukaan konjungtiva akibat inflamasi yang
berat. Membran ini kemudian dapat mengalami nekrosis yang menghasilkan
jaringan granulasi pada konjungtiva.

4. Konjungtivitis Pseudomembranosa

Konjungtivitis ini ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada


konjungtiva. Pseudomembran tersebut terbentuk karena adanya koagulasi eksudat
fibrinosa pada permukaan konjungtiva.

Penyakit ini ditandai dengan adanya konjungtivitis mukopurulen akut dan


pembentukan pseudomembran pada fornix dan konjungtiva palpebra.

5. Konjungtivitis Kronik

Konjungtivitis ini ditandai dengan adanya inflamasi yang ringan pada


konjungtiva. Salah satu etiologi konjungtivitis ini yaitu adanya infeksi oleh
bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif lainnya.

Pemeriksaan

Pemeriksaan pada konjungtivitis dilakukan dengan identifikasi bakteri


yang menggunakan pewarnaan Gram atau Giemsa.

Selain itu, dapat dilakukan kultur terhadap bakteri patogen tersebut.


Spesimen yang digunakan berupa usapan pada konjungtiva.

23
Pemeriksaan sensitivitas antibiotik dapat dilakukan, sehingga dapat
ditentukan jenis terapi antibiotik yang sesuai. Namun, sebelum hasil pemeriksaan
sensitivitas tersebut diketahui, terapi antibiotik empiris harus diberikan.

Komplikasi

Pembentukan jaringan parut konjungtiva, yang kemudian dapat


menimbulkan simblefaron, trichiasis, entropion, dan xerosis konjungtiva
Ulkus kornea, dapat menyebabkan infeksi N gonorrhoeae, N kochii, N
meningitidis, dan S aureus secara sistemik
Iridosiklitis
Komplikasi sistemik, seperti arthritis gonorrhoea, endokarditis, dan
septisemia

Penatalaksanaan

Terapi antibakterial broad-spectrum yang diberikan secara topikal, yaitu


kloramfenikol 1%, gentamisin 0,3%, dan tetes mata framisetin.
Penggunaan salep mata sebelum tidur dapat mengurangi perlengketan
kelopak mata pada pagi hari. Jika penggunaan antibiotik tersebut tidak
menimbulkan kesembuhan, dapat digunakan antibiotik topikal lain seperti
ciprofloxacin, ofloxacin, dan gatifloxacin.
Terapi antibiotik sistemik, yang digunakan pada konjungtivitis yang
disebabkan n gonorrhoeae dan n meningitidis. Beberapa obat tersebut
yaitu norfloxacin, cefoxitim, ceftriaxon, dan spectinomycin.
Pada konjungtivitis purulen akut dan mukopurulen, perlu dilakukan irigasi
pada kantung konjungtiva dengan cairan salin untuk membersihkan sekret
pada konjungtiva. Namun, irigasi mata ini tidak boleh dilakukan secara
rutin karena dapat merusak kandungan lisozim air mata.
Pemberian atropin topikal, jika konjungtivitis tersebut melibatkan kornea
sehingga terjadi ulkus kornea.

24
Pemberian tetes mata astringen seperti tetes mata asam zins-boric pada
konjungtivitis bakteri kronik, yang dapat meringankan gejala-gejalanya.
Edukasi terhadap kebersihan di rumah dan lingkungan sekitar untuk
mencegah penularan penyakit.
Penggunaan kacamata hitam, yang dapat mengurangi fotofobia
Pada konjungtivitis mukopurulen, tidak boleh digunakan balut mata
karena dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri
Terapi antiinflamasi dan analgesik, yang dapat digunakan untuk
menyembuhkan gejala nyeri

Pada konjungtivitis purulen akut, terapi tersebut juga diberikan pada pasangan
seksual pasien.

Pencegahan

Pencegahan terhadap penyakit ini yaitu dengan menghindari kontak


langsung dengan pasien konjungtivitis dan imunisasi terhadap bakteri tertentu
penyebab konjungtivitis bakteri.

Prognosis

Konjungtivitis akut biasanya dapat sembuh sendiri dalam 1-3 hari jika
diobati dan 10-14 hari jika tidak diobati. Namun, konjungtivitis yang disebabkan
bakteri S aureus, N meningitidis, dan N gonorrhoeae akan menimbulkan
komplikasi jika tidak diobati segera.

B. Konjungtivitis Klamidial Trakoma

Definisi

Trakoma adalah suatu bentuk konjungtivitis folikular kronik yang disebabkan


oleh Chlamydia trachomatis.

25
Epidemiologi

Cara penularan penyakit ini adalah melalui kontak langsung dengan sekret
penderita trakoma atau melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk,
alat-alat kecantikan, dan lain-lain. Masa inkubasi rata 7 hari (berkisar 5-14 hari).

Etiologi

Penyebabnya adalah virus dari golongan P.L.T (psitacosis lymphogranuloma


trachoma) yang disebut klamidozoa trakoma (chlamis = mantel, zoa = binatang).

Patofisiologi

Jika terjadi invasi kuman, bakteri ataupun virus, maka akan terjadi beberapa reaksi
di dalam jaringan tersebut diantaranya infiltrasi, eksudasi, nekrose, pembentukan
jaringan parut. Reaksi ini didapat juga di konjungtiva dan kornea, jika virus
trakoma memasuki jaringan ini.

Histopatologis

Secara histopatologik pada pemeriksaan kerokan konjungtivitis dengan


pewarnaan Giemsa terutama terlihat reaksi sel-sel polimorfonuklear, tetapi sel
plasma, sel Leber, dan sel folikel (limfoblas) dapat juga ditemukan. Sel Leber
menyokong suatu diagnosis trakoma tetapi sel limfoblas adalah tanda diagnostik
yang penting bagi trakoma. Terdapat badan inklusi Halber Statter-Prowazeck
yang letaknya intraseluler tapi ekstranuklear di dalam sel epitel konjungtiva yang
bersifat basofil berupa granula, biasanya berbentuk cungkup (mantel) seakan-akan
menggenggam nukleus. Kadang-kadang ditemukan lebih dari satu badan inklusi
dalam satu sel.

Gejala

Keluhan pasien menyerupai konjungtivitis bakteri adalah fotofobia, gatal, berair,


eksudasi, edema palpebra, kemosis konjungtiva bulbaris, hipertrofi papil.

26
Klasifikasi

Menurut klasifikasi Mac Callan, penyakit ini berjalan melaui empat stadium :

1. Stadium insipien.
2. Stadium established ( dibedakan atas dua bentuk )
3. Stadioum parut
4. Stadium sembuh.

Stadium 1 (hiperplasi limfoid) : Terdapat hipertropi papil dengan folikel yang


kecil kecil pada konjungtiva tartus superior, yang memperlihattkan penebalan
dan kongesti pada pembuluh darah konjungtiva. Secret yang sedikit dan jernih
bila tidak ada infeksi sekunder. Kelainan kornea sukar diteukan tetapi kadang
kadang dapat ditemukan neovaskularisasi dan keratitis epitelial ringan.

Stadium 2 : Terdapat hipertrofi papiler dan polikel yang matang ( besar ) pada
konjujngtiva tartus superior.pada stadium ini dapat ditemukan pannus Trachoma
yang jelas. Terdapat hipertrofi papil yang berat yang seolah olah mengalahkan
gambaran folikel pada konjungtiva superior. Pannus adlah pembuluh darah yang
terletak didaerah limbus atas dengan infiltrate.

Stadium 3 : terdapat parut pada konjungtiva tartus suprrior yang terlihat sebagai
garis putih yang halus sejajar dengan margo palpebra. Parut folikel pada limbus
kornea disebut cekungan Herbert. Gambaran papil mulai berkurang .

Stadium 4 : Suatu pembentukan parut yang sempurna pada konjungtiva yang


dapat menyebabkan perubahan bentuk pada tartus yang menyebabkan enteropion
dan trikiasis.

Pemeriksaan yang dilakukan pertama kali yaitu menemukan tanda dan gejala dari
trakoma. Untuk mengetahui adanya infeksi trakoma, dapat ditentukan jika
sedikitnya dua dari empat gejala ini terpenuhi:

1. Terdapat lima atau lebih folikel pada tarsal konjungtiva superior

27
2. Pembentukan jaringan parut pada tarsal konjungtiva superior
3. Terdapat keratitis epitel pada limbus superioe
4. Adanya pannus

Terapi

Pengobatan trakoma dengan tetrasiklim 1-1,5 gr/hari peroral diberikan dalam 4


dosis selama 3-4 minggu, doxysiklin 100mg peroral 2x sehari selama 3 minggu
atau erytromicin 1g/hari peroral dibagi dalam 4 dosis selama 3-4 minggu.

Pencegahan

Pencegahan dilakukan dengan higine yang baik, makanan bergizi.

Penyulit

Penyulit trakoma adalah entropion, trikiasis, simblefaron, kekeruhan kornea, dan


xerosis/ keratitis sika.

B. KONJUNGTIVITIS VIRUS
C1. Konjungtivitis Folikuler Virus Akut
1. Demam Faringokonjungtival
Tanda dan gejala
Demam Faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3-40 C, sakit
tenggorokan, dan konjungtivitis folikuler pada satu atau dua mata.
Folikuler sering sangat mencolok pada kedua konjungtiva dan pada
mukosa faring. Mata merah dan berair mata sering terjadi, dan kadang-
kadang sedikit kekeruhan daerah subepitel. Yang khas adalah
limfadenopati preaurikuler (tidak nyeri tekan).1

Laboratorium

28
Demam faringokonjungtival umumnya disebabkan oleh adenovirus tipe 3
dan kadang kadang oleh tipe 4 dan 7. Virus itu dapat dibiakkan dalam sel HeLa
dan ditetapkan oleh tes netralisasi.
Dengan berkembangnya penyakit, virus ini dapat juga didiagnosis secara
serologic dengan meningkatnya titer antibody penetral virus. Diagnosis klinis
adalah hal mudah dan jelas lebih praktis.
Kerokan konjungtiva terutama mengandung sel mononuclear, dan tak ada
bakteri yang tumbuh pada biakan. Keadaan ini lebih sering pada anak-anak
daripada orang dewasa dan sukar menular di kolam renang berchlor.

Terapi
Tidak ada pengobatan spesifik. Konjungtivitisnya sembuh sendiri,
umumnya dalam sekitar 10 hari.

2. Keratokonjungtivitis Epidemika
Tanda dan gejala
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering
pada satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Pada awalnya
pasien merasa ada infeksi dengan nyeri sedang dan berair mata, kemudian
diikuti dalam 5-14 hari oleh fotofobia, keratitis epitel, dan kekeruhan
subepitel bulat. Sensai kornea normal. Nodus preaurikuler yang nyeri
tekan adalah khas. Edema palpebra, kemosis, dan hyperemia konjungtiva
menandai fase akut. Folikel dan perdarahan konjungtiva sering muncul
dalam 48 jam. Dapat membentuk pseudomembran dan mungkin diikuti
parut datar atau pembentukan symblepharon.
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan
subepitel terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepian, dan menetap
berbulan-bulan namun menyembuh tanpa meninggalkan parut. 1
Keratokonjungtiva epidemika pada orang dewasa terbatas pada bagian
luar mata. Namun, pada anak-anak mungkin terdapat gejala sistemik
infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan diare.

29
Laboratorium
Keratokonjungtiva epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19,
29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia). Virus-virus ini dapat
diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes netralisasi.
Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuclear primer;
bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil. 1

Penyebaran
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi
melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kurang
steril, atau pemakaian larutan yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama
anestetika topical, mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat
menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva atau silia. Virus itu dapat
bertahan dalam larutan itu, yang menjadi sumber penyebaran.

Pencegahan
Bahaya kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan dengan
memakai penetes steril pribadi atau memakai tetes mata dengan kemasan
unit-dose. Cuci tangan secara teratur di antara pemeriksaan dan
pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang menyentuh mata khususnya
tonometer juga suatu keharusan. Tonometer aplanasi harus dibersihkan
dengan alcohol atau hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan
dikeringkan dengan hati-hati.

Terapi
Sekarang ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan
mengurangi beberapa gejala. kortikosteroid selama konjungtivitis akut
dapat memperpanjang keterlibatan kornea sehingga harus dihindari. Agen
antibakteri harus diberikan jika terjadi superinfeksi bacterial.

30
3. Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks
Tanda dan gejala
Konjungtivitis virus herpes simplex biasanya merupakan penyakit anak
kecil, adalah keadaan yang luar biasa yang ditandai pelebaran pembuluh
darah unilateral, iritasi, bertahi mata mukoid, sakit, dan fotofobia ringan. Pada
kornea tampak lesi-lesi epithelial tersendiri yang umumnya menyatu
membentuk satu ulkus atau ulkus-ulkus epithelial yang bercabang banyak
(dendritik). Konjungtivitisnya folikuler. Vesikel herpes kadang-kadang
muncul di palpebra dan tepian palpebra, disertai edema hebat pada palpebra.
Khas terdapat sebuah nodus preaurikuler yang terasa nyeri jika ditekan. 1,3

Laboratorium
Tidak ditemukan bakteri di dalam kerokan atau dalam biakan. Jika
konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama mononuclear, namun
jika pseudomembran, reaksinya terutama polimorfonuklear akibat kemotaksis
dari tempat nekrosis. Inklusi intranuklear tampak dalam sel konjungtiva dan
kornea, jika dipakai fiksasi Bouin dan pulasan Papanicolaou, tetapi tidak
terlihat dengan pulasan Giemsa. Ditemukannya sel sel epithelial raksasa
multinuclear mempunyai nilai diagnostic.3
Virus mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah aplikator berujung
kain kering di atas konjungtiva dan memindahkan sel-sel terinfeksi ke
jaringan biakan.3

Terapi
Jika konjungtivitis terdapat pada anak di atas 1 tahun atau pada orang
dewasa, umunya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu terapi. Namun,
antivirus local maupun sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya
kornea. Untuk ulkus kornea mungkin diperlukan debridemen kornea dengan
hati-hati yakni dengan mengusap ulkus dengan kain kering, meneteskan obat
antivirus, dan menutupkan mata selama 24 jam. Antivirus topical sendiri
harus diberikan 7 10 hari: trifluridine setiap 2 jam sewaktu bangun atau

31
salep vida rabine lima kali sehari, atau idoxuridine 0,1 %, 1 tetes setiap jam
sewaktu bangun dan 1 tetes setiap 2 jam di waktu malam. Keratitis herpes
dapat pula diobati dengan salep acyclovir 3% lima kali sehari selama 10 hari
atau dengan acyclovir oral, 400 mg lima kali sehari selama 7 hari.3
Untuk ulkus kornea, debridmen kornea dapat dilakukan. Lebih jarang
adalah pemakaian vidarabine atau idoxuridine. Antivirus topical harus dipakai
7-10 hari. Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan, karena makin
memperburuk infeksi herpes simplex dan mengkonversi penyakit dari proses
sembuh sendiri yang singkat menjadi infeksi yang sangat panjang dan berat.

4. Konjungtivitis Hemoragika Akut


Epidemiologi
Semua benua dan kebanyakan pulau di dunia pernah mengalami epidemic
besar konjungtivitis konjungtivitis hemoregika akut ini. Pertama kali
diketahui di Ghana dalam tahun 1969. Konjungtivitis ini disebabkan oleh
coxackie virus A24. Masa inkubasi virus ini pendek (8-48 jam) dan
berlangsung singkat (5-7 hari).

Tanda dan Gejala


Mata terasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing, banyak mengeluarkan air
mata, merah, edema palpebra, dan hemoragi subkonjungtival. Kadang-kadang
terjadi kemosis. Hemoragi subkonjungtiva umumnya difus, namun dapat
berupa bintik-bintik pada awalnya, dimulai di konjungtiva bulbi superior dan
menyebar ke bawah. Kebanyaka pasien mengalami limfadenopati
preaurikuler, folikel konjungtiva, dan keratitis epithelial. Uveitis anterior
pernah dilaporkan, demam, malaise, mialgia, umum pada 25% kasus.

Penyebaran
Virus ini ditularkan melalui kontak erat dari orang ke orang dan oleh
fomite seperti sprei, alat-alat optic yang terkontaminasi, dan air.
Penyembuhan terjadi dalam 5-7 hari

32
Terapi
Tidak ada pengobatan yang pasti.

C2. Konjungtivitis Virus Kronik


1. Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum
Sebuah nodul molluscum pada tepian atau kulit palpebra dan alis mata
dapat menimbulkan konjungtivitis folikuler menahun unilateral, keratitis
superior, dan pannus superior, dan mungkin menyerupai trachoma. Reaksi
radang yang mononuclear (berbeda dengan reaksi pada trachoma), dengan lesi
bulat, berombak, putih mutiara, non-radang dengan bagian pusat, adalah khas
molluscum kontagiosum. Biopsy menampakkan inklusi sitoplasma eosinofilik,
yang memenuhi seluruh sitoplasma sel yang membesar, mendesak inti ke satu
sisi.3
Eksisi, insisi sederhana nodul yang memungkinkan darah tepi
memasukinya, atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitisnya.

2. Blefarokonjungtivitis Varicella-Zoster
Tanda dan gejala
Hyperemia dan konjungtivitis infiltrate disertai dengan erupsi
vesikuler khas sepanjang penyebaran dermatom nervus trigeminus cabang
oftalmika adalah khas herpes zoster. Konjungtivitisnya biasanya papiler,
namun pernah ditemukan folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer,
yang kemudian berulserasi. Limfonodus preaurikuler yang nyeri tekan
terdapat pada awal penyakit. parut pada palpebra, entropion, dan bulu
mata salah arah adalah sekuele.

Laboratorium
Pada zoster maupun varicella, kerokan dari vesikel palpebra
mengandung sel raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear; kerokan
konjungtiva pada varicella dan zoster mengandung sel raksasa dan

33
monosit. Virus dapat diperoleh dari biakan jaringan sel sel embrio
manusia.

Terapi
Acyclovir oral dosis tinggi (800 mg oral lima kali sehari selama 10
hari), jika diberi pada awal perjalanan penyakit, agaknya akan mengurangi
dan menghambat penyakit.

3. Keratokonjungtivitis Morbilli
Tanda dan gejala
Pada awal penyakit, konjungtiva tampak mirip kaca yang aneh, yang
dalam beberapa hari diikuti pembengkakan lipatan semiluner. Beberapa
hari sebelum erupsi kulit, timbul konjungtivitis eksudatif dengan secret
mukopurulen, dan saat muncul erupsi kulit, timbul bercak-bercak Koplik
pada konjungtiva dan kadang-kadang pada carunculus.
Pada pasien imunokompeten, keratokonjungtivitis campak hanya
meninggalkan sedikit atau sama sekali tanpa sekuel, namun pada pasien
kurang gizi atau imunokompeten, penyakit mata ini seringkali disertai
infeksi HSV atau infeksi bacterial sekunder oleh S pneumonia, H
influenza, dan organism lain. Agen ini dapat menimbulkan konjungtivitis
purulen yang disertai ulserasi kornea dan penurunan penglihatan yang
berat. Infeksi herpes dapat menimbulkan ulserasi kornea berat dengan
perforasi dan kehilangan penglihatan pada anak-anak kurang gizi di
Negara berkembang.
Kerokan konjungtivitis menunjukkan reaksi sel mononuclear, kecuali
jika ada pseudomembran atau infeksi sekunder. Sedian terpulas giemsa
mengandung sel-sel raksasa. Karena tidak ada terapi spesifik, hanya
tindakan penunjang saja yang dilakukan, kecuali jika ada infeksi sekunder.

II. Konjungtivitis Imunologik (Alergik)


A. Reaksi Hipersensitivitas Humoral Langsung

34
1. Konjungtivitis Demam Jerami (Hay Fever)
Tanda dan gejala
Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai
demam jerami (rhinitis alergika). Bianya ada riwayat alergi terhadap
tepung sari, rumput, bulu hewan, dan lainnya. Pasien mengeluh tentang
gatal-gatal, berair mata, mata merah, dan sering mengatakan bahwa
matanya seakan-akan tenggelam dalam jaringan sekitarnya. Terdapat
sedikit penambahan pembuluh pada palpebra dan konjungtiva bulbi, dan
selama serangan akut sering terdapat kemosis berat (yang menjadi sebab
tenggelamnya tadi). Mungkin terdapat sedikit tahi mata, khususnya jika
pasien telah mengucek matanya.

Laboratorium
Sulit ditemukan eosinofil dalam kerokan konjungtiva

Terapi
Meneteskan vasokonstriktor local pada tahap akut (epineprin, larutan
1:1000 yang diberikan secara topical, akan menghilangkan kemosis dan
gejalanya dalam 30 menit). Kompres dingin membantu mengatasi gatal-
gatal dan antihistamin hanya sedikit manfaatnya. Respon langsung
terhadap pengobatan cukup baik, namun sering kambuh kecuali anti-
gennya dapat dihilangkan.

2. Konjungtivitis Vernalis
Definisi
Penyakit ini, juga dikenal sebagai catarrh musim semi dan
konjungtivitis musiman atau konjungtivitis musim kemarau, adalah
penyakit alergi bilateral yang jarang.1,3 Penyakit ini lebih jarang di daerah
beriklim sedang daripada di daerah dingin. Penyakit ini hamper selalu
lebih parah selama musim semi, musim panas dan musim gugur daripada
musim gugur.

35
Insiden
Biasanya mulai dalam tahun-tahun prapubertas dan berlangsung 5
10 tahun. Penyakit ini lebih banyak pada anak laki-laki daripada
perempuan.

Tanda dan gejala


Pasien mengeluh gatal-gatal yang sangat dan bertahi mata berserat-
serat. Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi (demam jerami, eczema,
dan lainnya). Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan terdapat banyak
papilla halus di konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebra
superior sering memiliki papilla raksasa mirip batu kali. Setiap papilla
raksasa berbentuk polygonal, dengan atap rata, dan mengandung berkas
kapiler.

Laboratorium
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat
banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas. 1

Terapi
Penyakit ini sembuh sendiri tetapi medikasi yang dipakai terhadap
gejala hanya member hasil jangka pendek, berbahaya jika dipakai untuk
jangka panjang. steroid sisremik, yang mengurangi rasa gatal, hanya
sedikit mempengharuhi penyakit kornea ini, dan efek sampingnya
(glaucoma, katarak, dan komplikasi lain) dapat sangat merugikan.
Crmolyn topical adalah agen profilaktik yang baik untuk kasus sedang
sampai berat. Vasokonstriktor, kompres dingin dan kompres es ada
manfaatnya, dan tidur di tempat ber AC sangat menyamankan pasien.
Agaknya yang paling baik adalah pindah ke tempat beriklim sejuk dan
lembab. Pasien yang melakukan ini sangat tertolong bahkan dapat sembuh
total.

36
3. Konjungtivitis Atopik
Tanda dan gejala
Sensasi terbakar, bertahi mata berlendir, merah, dan fotofobia.
Tepian palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu.
Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa tidak berkembang seperti
pada keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus
inferior. Berbeda dengan papilla raksasa pada keratokonjungtivitis vernal,
yang terdapat di tarsus superior. Tanda-tanda kornea yang berat muncul
pada perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi
berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti dengan
vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea tampak kabur dan
bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan. 1,3
Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema)
pada pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita
dermatitis atopic sejak bayi. Parut pada lipatan-lipatan fleksura lipat siku
dan pergelangan tangan dan lutut sering ditemukan. Seperti dermatitisnya,
keratokonjungtivitis atopic berlangsung berlarut-larut dan sering
mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal,
penyakit ini cenderung kurang aktif bila pasien telah berusia 50 tahun.

Laboratorium
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak
sebanyak yang terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal. 1

Terapi
Atihistamin oral termasuk terfenadine (60-120 mg 2x sehari),
astemizole (10 mg empat kali sehari), atau hydroxyzine (50 mg waktu tidur,
dinaikkan sampai 200 mg) ternyata bermanfaat. Obat-obat antiradang non-
steroid yang lebih baru, seperti ketorolac dan iodoxamid, ternyata dapat
mengatasi gejala pada pasien-pasien ini. Pada kasus berat, plasmaferesis

37
merupakan terapi tambahan. Pada kasus lanjut dengan komplikasi kornea
berat, mungkin diperlukan transplantasi kornea untuk mengembalikan
ketajaman penglihatannya.

B. Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat


1. Phlyctenulosis
Definisi
Keratokonjungtivitis phlcytenularis adalah respon hipersensitivitas
lambat terhadap protein mikroba, termasuk protein dari basil tuberkel,
Staphylococcus spp, Candida albicans, Coccidioides immitis, Haemophilus
aegyptus, dan Chlamydia trachomatis serotype L1, L2, dan L3.

Tanda dan Gejala


Phlyctenule konjungtiva mulai berupa lesi kecil yang keras, merah,
menimbul, dan dikelilingi zona hyperemia. Di limbus sering berbentuk
segitiga, dengan apeks mengarah ke kornea. Di sini terbentuk pusat putih
kelabu, yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari.
Phlyctenule pertama pada pasien dan pada kebanyakan kasus kambuh
terjadi di limbus, namun ada juga yang di kornea, bulbus, dan sangat jarang
di tarsus. 1
Phlyctenule konjungtiva biasanya hanya menimbulkan iritasi dan air
mata, namun phlyctenule kornea dan limbus umumnya disertai fotofobia
hebat. Phlyctenulosis sering dipicu oleh blefaritis aktif, konjungtivitis
bacterial akut, dan defisiensi diet.

Terapi
Phlyctenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein dan protein dari
infeksi sistemik lain berespon secara dramatis terhadap kortikosteroid
topical. Terjadi reduksi sebagian besar gejala dalam 24 jam dan lesi hilang
dalam 24 jam berikutnya. Antibiotika topical hendaknya ditambahkan untuk
blefarikonjungtivitis stafilokokus aktif. Pengobatan hendaknya ditujukan

38
terhadap penyakit penyebab, dan steroid bila efektif, hendaknya hanya
dipakai untuk mengatasi gejala akut dan parut kornea yang menetap. Parut
kornea berat mungkin memerlukan tranplantasi.

2. Konjungtivitis Ringan Sekunder terhadap Blefaritis kontak


Blefaritis kontak yang disebabkan oleh atropine, neomycin,
antibiotika spectrum luas, dan medikasi topical lain sering diikuti oleh
konjungtivitis infiltrate ringan yang menimbukan hyperemia, hipertropi
papiler ringan, bertahi mata mukoid ringan, dan sedikit iritasi. Pemeriksaan
kerokan berpulas giemsa sering hanya menampakkan sedikit sel epitel
matim, sedikit sel polimorfonuklear dan mononuclear tanpa eosinofil. 1
Pengobatan diarahkan pada penemuan agen penyebab dan
menghilangkannya. Blefaritis kontak dengan cepat membaik dengan
kortikosteroid topical, namun pemakaiannya harus dibatasi. Penggunaan
steroid jangka panjang pada palpebra dapat menimbulkan glaucoma steroid
dan atropi kulit dengan telangiektasis yang menjelekkan.

III. Konjungtivitis Akibat Penyakit Autoimun


Keratokonjungtivitis Sicca
Berkaitan dgn. Sindrom Sjorgen (trias: keratokonj. sika, xerostomia,
artritis).
Gejala:
khas: hiperemia konjungtivitis bulbi dan gejala iritasi yang tidak
sebanding dengan tanda-tanda radang.
Dimulai dengan konjungtivitis kataralis
Pada pagi hari tidak ada atau hampir tidak ada rasa sakit, tetapi
menjelang siang atau malam hari rasa sakit semakin hebat.
Lapisan air mata berkurang (uji Schirmer: abnormal)
Pewarnaan Rose bengal uji diagnostik.

39
Pengobatan:
air mata buatan vitamin A topikal
obliterasi pungta lakrimal.

IV. Konjungtivitis Kimia atau Iritatif

1. Konjungtivitis Iatrogenik Pemberian Obat Topikal


Konjungtivitis folikular toksik atau konjungtivitis non-spesifik
infiltrate, yang diikuti pembentukan parut, sering kali terjadi akibat
pemberian lama dipivefrin, miotika, idoxuridine, neomycin, dan obat-obat
lain yang disiapkan dalam bahanpengawet atau vehikel toksik atau yang
menimbulakan iritasi. Perak nitrat yang diteteskan ke dalam saccus
conjingtiva saat lahir sering menjadi penyebab konjungtivitis kimia ringan.
Jika produksi air mata berkurang akibat iritasi yang kontinyu, konjungtiva
kemudian akan cedera karena tidak ada pengenceran terhadap agen yang
merusak saat diteteskan kedalam saccus conjungtivae.
Kerokan konjungtiva sering mengandung sel-sel epitel berkeratin,
beberapa neutrofil polimorfonuklear, dan sesekali ada sel berbentuk aneh.
Pengobatan terdiri atas menghentikan agen penyebab dan memakai tetesan
yang lembut atau lunak, atau sama sekali tanpa tetesan. Sering reaksi
konjungtiva menetap sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan
lamanya setelah penyebabnya dihilangkan.

2. Konjungtivitis Pekerjaan oleh Bahan Kimia dan Iritans


Asam, alkali, asap, angin, dan hamper setiap substansi iritan yang
masuk ke saccus conjungtiva dapat menimbulkan konjungtivitis. Beberapa
iritan umum adalah pupuk, sabun, deodorant, spray rambut, tembakau,
bahan-bahan make-up, dan berbagai asam dan alkali. Di daerah
tertentu,asbut (campuran asap dan kabut) menjadi penyebab utama
konjungtivitis kimia ringan. Iritan spesifik dalam asbut belum dapat
ditetapkan secara positif, dan pengobatannya non-spesifik. Tidak ada efek

40
pada mata yang permanen, namun mata yang terkena seringkali merah dan
terasa mengganggu secara menahun. 1
Pada luka karena asam, asam itu mengubah sifat protein jaringan
dan efek langsung. Alkali tidak mengubah sifat protein dan cenderung
cepat menyusup kedalam jaringan dan menetap di dalam jaringan
konjungtiva. Disini mereka terus menerus merusak selama berjam-jam
atau berhari-hari lamanya, tergantung konsentrasi molar alkali tersebut dan
jumlah yang masuk. Perlekatan antara konjungtiva bulbi dan palpebra dan
leokoma kornea lebih besar kemungkinan terjadi jika agen penyebabnya
adalah alkali. Pada kejadian manapun, gejala utama luka bahan kimia
adalah sakit, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme.
Riwayat kejadian pemicu biasanya dapat diungkapkan.
Pembilasan segera dan menyeluruh saccus conjungtivae dengan air
atau larutan garam sangat penting, dan setiap materi padat harus
disingkirkan secara mekanik. Jangan memakai antidotum kimiawi.
Tindakan simtomatik umum adalah kompres dingin selama 20 menit
setiap jam, teteskan atropine 1% dua kali sehari, dan beri analgetika
sistemik bila perlu. Konjungtivitis bacterial dapat diobati dengan agen
antibakteri yang cocok. Parut kornea mungkin memerlukan transplantasi
kornea, dan symblepharon mungkin memerlukan bedah plastic terhadap
konjungtiva. Luka bakar berat pada kojungtiva dan kornea prognosisnya
buruk meskipun dibedah. Namun jika pengobatan memadai dimulai
segera, parut yang terbentuk akan minim dan prognosisnya lebih baik.

41
BAB III
ANALISA KASUS

Pasien datang pada tanggal 11 Mei 2016 dengan keluhan mata kiri merah
sejak 1 minggu SMRS.
Satu minggu SMRS os mengeluh mata kirinya berwarna merah. Mata
merah tersebut juga terasa gatal dan perih. Saat aktivitas os merasa bila matanya
tersebut berair. Kemudian os menggunakan obat tetes mata yang dibeli sendiri di
apotik, namun keluhannya tidak berkurang. Demam tidak ada, kotoran mata tidak
ada, riwayat terkena benda asing pada matanya disangkal. Karena keluhannya
tidak berkurang, os memutuskan untuk berobat ke poli mata RSUD Raden
Mattaher.
Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan,
Anamnesis :
mata merah dilatasi pembuluh darah disekitar limbus dan konjungtiva
akibat reaksi terhadap peradangan.
Disertai keluhan gatal, rasa mengganjal, dan kadang berair.
Pemeriksaan ekternal mata :
Konjungtiva bulbi : injeksi konjungtiva (+),
Konjungtiva tarsalis superior dan inferior hiperemis

Dari hasil tersebut maka pasien didiagnosis sebagai konjungtivitis orbita dextra &
sinistra et causa virus.

Pasien mendapatkan pengobatan


Cenfresh 4 x gtt 1 OS
Cendo troboson 6 x gtt 1 OS

Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa pada anamnesis
kasus konjungtivitis didapatkan adanya keluhan mata merah, terasa gatal atau

42
panas, mata berair, dan dapat disertai sekret atau eksudat. Penglihatan tidak
terganggu.
Terapi pada kasus ini adalah pemberian obat tetes mata yang mengandung
kortikosteroid untuk mengurangi radang serta obat tetes mata sebagi lubrikan
untuk mengurangi keluhan yang dirasakan pasien.

43
BAB IV
KESIMPULAN

Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian


putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan
timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah.
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan
benda asing, misalnya kontak lensa.
Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini,
mata sangat berair. Konjungtivitis bakteri biasanya mengenai kedua mata. Ciri
khasnya adalah keluar kotoran mata dalam jumlah banyak, berwarna kuning
kehijauan. Konjungtivitis alergi juga mengenai kedua mata. Tandanya, selain
mata berwarna merah, mata juga akan terasa gatal. Produksi air mata juga
berlebihan sehingga mata sangat berair. Konjungtivitis virus biasanya tidak
diobati, karena akan sembuh sendiri dalam beberapa hari. Walaupun demikian,
beberapa dokter tetap akan memberikan larutan astringen agar mata senantiasa
bersih sehingga infeksi sekunder oleh bakteri tidak terjadi dan air mata buatan
untuk mengatasi kekeringan dan rasa tidak nyaman di mata.
Obat tetes atau salep antibiotik biasanya digunakan untuk mengobati
konjungtivitis bakteri. Pada konjungtivitis bakteri atau virus, dapat dilakukan
kompres hangat di daerah mata untuk meringankan gejala. Tablet atau tetes mata
antihistamin cocok diberikan pada konjungtivitis alergi. Selain itu, air mata buatan
juga dapat diberikan agar mata terasa lebih nyaman, sekaligus melindungi mata
dari paparan alergen, atau mengencerkan alergen yang ada di lapisan air mata.
Selain itu dapat diberikan tetes mata yang berfungsi untuk mengurangi
peradangan dan rasa gatal di mata.
Pada dasarnya konjungtivitis bukanlah penyakit yang berat, namun jika
tidak ditatalaksana segera, penyakit ini dapat menimbulkan komplikasi yang
membahayakan mata dan penglihatan.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, Daniel G. dkk. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta.


2000
2. James, Brus, dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005
3. Ilyas DSM, Sidarta,. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 1998
4. Nana Wijana S.D. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Jakarta. Abadi
Tegal.1993
5. Hartono, Yudono RH, Utomo PT, Hernowo AS. Refraksi dalam:
Ilmu
PenyakitMata. Suhardjo, Hartono (eds). Yogyakarta: Bagian Ilm
u Penyakit Mata FK UGM,2007;185-7

45

Вам также может понравиться