Вы находитесь на странице: 1из 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai
adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran
nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh
dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan
ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang
lebih tinggi lagi pada masa akan datang serta mengganggu proses tumbuh-kembang
anak dan kualitas hidup pasien1.
Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering menyebabkan
anak harus membatasi kegiatan olahraga serta aktifitas seluruh keluarga, juga dapat
merusak fungsi sistem saraf pusat dan menurunkan kualitas hidup penderitanya.
Selain itu, mortalitas asma relatif tinggi. WHO memperkirakan terdapat 250.000
kematian akibat asma.
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan
tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan
frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah
menghindari faktor pencetus.
1.2 Tujuan
Mahasiswa kepaniteraan klinik senior dapat mampu mengetahui,
memahami, dan menjelaskan tentang :
1. Definisi Asma Bronkial
2. Epidemiologi Asma Bronkial
3. Etiologi Asma Bronkial
4. Patogenesis Asma Bronkial
5. Patofisiologi Asma Bronkial
6. Diagnosis Asma Bronkial
7. Diagnosa Banding Asma Bronkial
8. Tatalaksana Asma Bronkial
9. Pencegahan Asma Bronkial
10. Prognosis Asma Bronkial

1.3 Manfaat
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi, dan mengembangkan teori yang telah di sampaikan mengenai
Asma Bronkial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asma


Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Infeksi kronik menyebabkan peningkatan
hiperresponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang. Kumpulan
tanda dan gejala episodik berulang berupa wheezing (mengi) dan/atau batuk dengan
karakteristik khas berupa muncul secara episodik dan/atau kronik; cenderung pada
malam hari/dini hari (noktural); musiman; ada faktor pencetus di antaranya aktivitas
fisik; dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan; serta
adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab
lain sudah disingkirkan.1,2

2.2 Epidemiologi
Prevalensi asma diketahui mengalami peningkatan selama periode 20 tahun
terakhir ini. Prevalensi asma diperkirakan sekitar 5-10% di dunia dengan estimasi
sekitar 23.4 juta orang menderita asma, termasuk 7 juta di antaranya adalah kelompok
anak-anak. World Health Organization (WHO) memprediksi 250.000 kematian asma
yang dilaporkan di seluruh dunia setiap tahunnya. Terdapat perbedaan prevalensi
asma di setiap negara maupun daerah. 2
Di Indonesia, prevalensi asma adalah sebesar 4.5% dengan prevalensi asma
pada anak usia 1-4 tahun sebesar 3.8% dan anak usia 5-14 tahun sebesar 3.9%. Pada
kelompok anak-anak terdapat kecenderungan lebih tinggi terjadi pada anak laki-laki
dibadingkan anak perempuan dengan rasio 2:1 dan rasio berubah menjadi 1:1 pada
kelompok usia pubertas.
Meskipun faktor genetik dianggap sebagai faktor predisposisi paling penting
dalam perkembangan asma, faktor lingkungan juga turut berperan dalam munculnya
asma. Faktor risiko asma di antaranya: jenis kelamin, usia, riwayat atopi pada
keluarga, lingkungan, ras, asap rokok, polusi, dan infeksi respiratorius. Prevalensi
asma meningkat pada kelompok umur sangat muda dan kelompok usia tua

2.3 Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:3
1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik
2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan
laut, susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca

2.4. Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan
ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas
hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan
penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi
paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang
asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar kemungkinannya
mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki penyakit atopi terkait
lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik.4
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada
sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen
Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari
prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-
selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel
tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF,
yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan
sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak
mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel
dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif.
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan
komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan.
Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal.
Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan
makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi
molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran
respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2,
selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan
transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF
untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi,
sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat.
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur
sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut,
ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of
Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau
Transforming Growth Factors (TGF-), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas
menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling.
Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan,
kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran
respiratori dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi,
neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk
kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien
yang meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan
lamanya penyakit.

Gambar 1. Patogenesis Asma


Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan
kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan
berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan
perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting pada
patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien
yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh
sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid.
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus.

Faktor Risiko Faktor Risiko


Inflamasi

Hiperaktivitas Obstruksi
Bronkus Bronkus

Faktor Risiko Gejala

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,


nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan
refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit dan
limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis
memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya
menimbulkan hiperaktivitas bronkus.
2.5 Patofisiologi Asma
2.5.1 Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan
oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang
diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin,
triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast,
neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal
dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos
saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi
deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana
saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein
plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.4
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh
penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas
adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan
volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks.
Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara
pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru.
Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara
mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal .
Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya
kelelahan dan gagal nafas.
Gambar 2. Bronkus pada Asma Bronkial

2.5.2 Hiperaktivitas saluran respiratori


Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang menyebabkan
penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan
dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh
terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding
saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut.
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8g% didapatkan
penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik
asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic
Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus
seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung
terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus
tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran
nafas untuk mengeluarkan mediatornya.

2.5.3 Otot polos saluran respiratori


Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur
filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui
hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas
mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada
tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran
nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul
sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya edema
adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis.
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein
kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk
berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan
inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder
terhadap geometri saluran nafas.

2.5.4 Hipersekresi mukus


Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran
nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi
saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami
perbaikan dengan bronkodilator.
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan
perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi
terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal datri
mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang
mengalami lisis.
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan
mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet
yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya
pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan
besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator
inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel
mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.

2.6. Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan
batruk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini
hari, musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/atau atopi pada
pasien atau keluarga.5
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi lebih
definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru
sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau
yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamine,
metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan salin
hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk mendukung
diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

Dalam membuat diagnosis asma, diagnosis harus mencakup derajat asma dan
beratnya serangan asma yang terjadi, misalnya asma episodik jarang serangan ringan,
asma episodik jarang serangan sedang, asma episodik jarang serangan berat, dan
lainnya.
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak secara arbitreri PNAA membagi asma anak
menjadi 3 derajat penyakit6
Parameter klinis Asma episodic Asma episodic Asma persisten
Kebutuhan obat, jarang sering (asma berat)
dan faal paru (asma ringan) (asma sedang)
1.Frekuensi serangan 3-4x /1tahun 1x/bulan 1/bulan
2.Lama serangan <1 minggu 1 minggu Hampirsepanjang
tahun, tidak ada remisi
3.Intensitas serangan Ringan Sedang Berat
4.diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
5.Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
<3x/minggu >3x/minggu
6.Pemeriksaan fisis Normal, tidak Mungkin terganggu Tidak pernah normal
diluar serangan ditemukan kelainan (ditemukan kelainan)
7.Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non steroid/ Perlu, steroid inhalasi
steroid inhalasi dosis Dosis 400 g/hari
100-200 g
8.Uji faal paru PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%
(di luar serangan) Variabilitas 20-30%
9.Variabilitas faal 20% 30% 50%
paru
(bila ada serangan)

2.6.1 Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala
batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk
dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang
timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang
timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya tidak
terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit mengungkapkan
kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien
berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.
2.6.2 Pemeriksaan fisik
Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.
Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai adanya
retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam batas
normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama
pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan
dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi, seperti dermatitis
atopi dapat ditemukan5,6
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi
kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem dinding
bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas
mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi basah
kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak dengan
komponen ekspiratori yang lebih menonjol
Tabel 2. Penetuan Derajat Serangan Asma7

Parameter klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman


Fungsi paru, henti napas
Laboraturium
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi : Bayi : Bayi :
Menangis keras Tangis pendek Tidak mau
& lemah minum /
Kesulitan makan
menetek dan
makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
Duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal Kata-kata
kalimat
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya kebingungan
Irritable Irritable Irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering Nyaring, Sangat Sulit /
hanya pada Sepanjang nyaring, Tidak terdengar
akhir ekspirasi Terdengar
ekspirasi inspirasi tanpa
stateskop
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
Bantu respiratorik paradox
Torako-
Abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/
Retraksi ditambah ditambah Hilang
Interkosta Retraksi Napas cuping
suprasternal hidung
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:
Usia frekuensi napas normal
<2 bulan < 60 / menit
2-12 bulan < 50 /menit
1-5 tahun < 40 / menit
6-8 tahun < 30 / menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia Frekuensi nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit
1-2 tahun < 120 / menit
3-8 tahun < 110 / menit

Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,


<10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg Tanda
kelelahan
Otot
respiratorik
PEFR atau FEV1 (% Nilai Nilai terbaik)
- Prabronkodilator dugaan/ 40-60% <40%
- Pascabronkodilator >60% 60-80% <60%
>80% Respon < 2
jam
SaO2 % >95% 91-95% 90%
PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada
AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2 (hipoksemia).
Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi
memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1
yang mencapai <70% nilai normal.
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat
membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total
umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan
pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi positif,
maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan

2.7. Diagnosis banding


Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma.
Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi pada keadaan
aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napas congenital, fibrosis kistik
dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan, mengi biasanya ditemukan
pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan jantung dan gastrointestinal.
Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan oleh respiratory syncitial virus
merupakan penyebab mengi yang umum.pada anak yang lebih besar, mengi berulang
dapat terjadi pada disfungsi pita suara. Selain itu, batuk berulang jug dapat ditemukan
pada tuberculosis terutama pada daerah dengan penyebaran tinggi Tuberculosis. Dari
sesak yang di timbulkan juga dapat di sebabkan oleh kelainan jantung bawaan
maupun aspirasi benda asing.8

2.8.Tatalaksana Asma
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan
jangka panjang. Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya.

2.8.1. Tatalaksana Asma Jangka Panjang


Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah9 :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk bermain
dan berolah raga.
2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada
PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan
tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Tujuan tatalaksana saat serangan:
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.
Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu
tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan atau bila
tujuan telah tercapai dan stabil 1 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan penurunan
pelan pelan (step down).
Syarat step up:
1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah
dilakukan.
2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan caranya.
3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 minggu.
4. Efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) tidak ada.
ICS baru boleh dinaikkan.
Syarat step down:
1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik.
2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut.
3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis
terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya.
2.8.2. Tatalaksana Medikamentosa
Tujuan pengobatan asma adalah agar penderita dapat hidup normal, bebas dari
serangan, serta memiliki fungsi faal paru senormal mungkin dan mencegah atau
mengurangi reaktivasi saluran respiratorius.9
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan
serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah
tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu.
Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat
profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi
kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan
walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan
pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 8
minggu.

Obat obat Pereda (Reliever)(10)


1. Bronkodilator
a. Short-acting 2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma
akut pada anak. Reseptor 2 agonist berada di epitel jalan napas, otot
pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik,
hepar, dan pankreas.
Obat ini menstimulasi reseptor 2 adrenergik menyebabkan
perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos
jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti
peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan
berkurangnya pelepasan mediator sel mast9,10.
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada
2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor 1, 2,
dan sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah,
palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi
efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping,
terutama pada jantung dan CNS.
2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3
0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dicapai dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek
puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 4 semprotan tiap 3 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 10 semprotan tiap 1 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada
keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas.
Efek samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1
mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,
dilanjutkan dengan 0,1 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,
agitasi, palpitasi, dan takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan 2 agonist inhalasi,
tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit,
obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi 2 agonist dan
anticholinergick10.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin
IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama.
Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan
absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi.
Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk
ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian
besar dieksresi bersama urin.

Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :

1 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
1 9 tahun : 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam
> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.

2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi 2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis
anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
untuk usia diatas 6 tahun 8 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 10 tetes. Efek
sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik
inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada
anak10.

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan10 :
Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang
cukup lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid
hirupan sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk


mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 24 jam.
Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon
dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali sehari selama 3 5 kali
sehari.

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat


ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat
sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain
di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi


kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1
mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 6
jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari
setiap 6 8 jam.
Obat obat Pengontrol
Obat obat asma pengontrol pada anak anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled 2-agonist, theofilin,
cromones, dan long acting oral 2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling
efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal
dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam
pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi
pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-
gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di
rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial,
dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya
down regulation receptor 2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari
(respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan
sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)


Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin
hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang
membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA
adalah sebagai berikut :
LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;
Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per
hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya
preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming
growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis,
hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan
fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

Ada 2 preparat LTRA :


a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali
sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan
dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan
asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat
mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu pemantauan
fungsi hati.
3. Long acting 2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian
ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV 1
pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway
remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi
fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol
(Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini
mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang
bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan
glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid
inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan
SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung.
Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi
dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai
10mg/kgBB/hari.

2.8.3. Terapi Suportif


a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula
hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,
sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit
sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan
nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan
pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran
helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan
sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan
oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek
diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi
peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya
retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang
memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5
kali kebutuhan rumatan.
2.8.4. Cara Pemberian Obat

UMUR ALAT INHALASI


< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat
perenggang (spacer)
5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler)
>8 tahun Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut
(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi
efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek
terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler,
Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk
ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic,
Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan
menggunakan bekas gelas atau botol minuman atau menggunakan botol susu dengan
dot susu yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.
2.8.5. Tatalaksana Serangan
1. Tatalaksana di rumah
Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau
teofilin. Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih cepat
dan efek samping sistemiknya minimal. Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang
dapat digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa spacer atau nebulizer.
Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan terjadi
perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.
2. Tatalaksana di ruang emergency
Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat
serangannya. Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi.
Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat
diulang dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat
antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk
penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat
dilakukan dengan cepat dan jelas.

2.8.6. Prevalensi diri


Edukasi terhadap pasien dan keluarga
Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi pada pasien
dan orang tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan, identifikasi dan
penghindaran alergen, pengertian tentang kegunaan obat yang dipakai, ketaatan dan
pemantauan, dan yang paling utama adalah menguasai cara penggunaan obat hirup
dengan benar. Edukasi sebaiknya diberikan secara individual secaa bertahap. Pada
awal konsultasi perlu dijelaskan diagnosis dan informasi sederhana tentang macam
pengobatan, alasan pemilihan obat, cara menghindari pencetus bila sudah dapat
diidentifikasi macamnya. Kemudian perlu diperagakan penggunaan alat inhalasi yang
diikuti dengan anak diberi kesempatan mencoba sampai dapat menggunakan dengan
teknik yang benar.
Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat diberikan pada
pasien dan keluarganya:
1. Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh
2. Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi
paparan terhadap faktor pencetus
3. Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller
4. Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan
keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna
mencegah asma menjadi lebih berat.
5. Pemantauan mandiri juga memungkinkan penderita dan dokter menyesuaikan
rencana pengelolaan asma guna mencapai pengendalian asma jangka panjang
dengan efek samping minimal.
6. Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu penderita
menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara:
7. penggunaan obat-obatan dengan benar
8. pemantauan gejala, aktivitas dan PEF
9. mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan rencana
yang sudah diprogramkan;
10. segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara efektif
dengan dokter yang memeriksa;
11. menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi paparan
alergen dan iritan;

2.9. Pencegahan
a. Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak
memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi
kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau.
b. Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
c. Menghindari makanan berpotensi alergen
2.10. Prognosis
Mortalitas asma secara internasional dilaporkan mencapai 0.86 kematian per
100.000 orang di beberapa negara. Angka kematian asma di UK pada tahun 2006
dilaporkan 1.2 kematian per 100.000 orang. Mortalitas terutama terkait dengan
kegagalan fungsi paru-paru.Tingkat absen kerja ataupun absen sekolah terkait asma
juga dilaporkan tinggi. Sedikitnya setengah anak-anak yang didiagnosis asma
memiliki penurunan gejala dan tidak memerlukan terapi ketika menginjak remaja
akhir atau dewasa muda. Akan tetapi pasien dengan kontrol asma yang buruk dapat
memunculkan gejala-gejala kronis dan terjadinya airway remodeling.10
BAB III
KESIMPULAN

Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang


melibatkan banyak sel dan elemennya. Infeksi kronik menyebabkan peningkatan
hiperresponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang. Kumpulan
tanda dan gejala episodik berulang berupa wheezing (mengi) dan/atau batuk dengan
karakteristik khas.

Asma adalah penyakit yang tidak lagi jarang di temukan di Indonesia. Maka
dari itu kita harus dapat mengenali penyebab dan gejala nya. Asma dapat disebabkan
oleh banyak faktor penyebab sebaGai pencetus kekambuhan dari gejala asma
tersebut. Dapat di sebabkan oleh faktor genetik maupun faktor lingkungan. Dari
faktor pencetus tersebut dapat mengaktifkan mediator yang di keluarkan oleh sel
inflamasi yang dapat menyebabkan penyempitan saluran nafas pada pasien asma.

Asma dapat di diagnosis melalui gejala yang di timbulkan, pemeriksaan fisik,


dan juga pemeriksaan penunjang lainnya. Dari diagnosis yang sudah di tegakkan dari
penyakit asma maka penyakit asma tersebut dapat di tatalaksana dengan pemberian
medikamentosa berupa reliever yang merupakan pengobatan pada asma dengan
serangan akut dan controler sebagai pengobatan rutin untuk pencegahan kekambuhan.
Hal penting dalam mentatalaksana penyakit asma ini adalah pemberian edukasi baik
baik orang tua anak dan juga pasien yang bersangkutan mengenai cara pencegahan
dan prognosis dari penyakit asma ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gunardi, Hartono. Kumpulan tips pediatric. Jakarta : Badan Penerbit IDAI


2011:213-215.
2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
3. Pudijiadi, Antonius. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
4. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi
Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96.
5. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.
6. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.
Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.
7. Pudijiadi, H Antonius. Derajat Asma. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia ; 2010. H. 273
8. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam : Manajemen
Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi pertama. Jakarta :
Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106.
9. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS,
Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005.
10. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi
pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.

Вам также может понравиться

  • 013-Spo Manajemen Nyeri
    013-Spo Manajemen Nyeri
    Документ2 страницы
    013-Spo Manajemen Nyeri
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • 012-Spo Pelayanan Terintegrasi Gizi
    012-Spo Pelayanan Terintegrasi Gizi
    Документ1 страница
    012-Spo Pelayanan Terintegrasi Gizi
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Formulir Asuhan Gizi
    Formulir Asuhan Gizi
    Документ2 страницы
    Formulir Asuhan Gizi
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Pedoman Transfusi Darah
    Pedoman Transfusi Darah
    Документ3 страницы
    Pedoman Transfusi Darah
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Artikel CARA MENJAGA KESEHATAN PENCERNAAN ANAK (DR - Chintya)
    Artikel CARA MENJAGA KESEHATAN PENCERNAAN ANAK (DR - Chintya)
    Документ3 страницы
    Artikel CARA MENJAGA KESEHATAN PENCERNAAN ANAK (DR - Chintya)
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Artikel CARA MENJAGA KESEHATAN PENCERNAAN ANAK (DR - Chintya)
    Artikel CARA MENJAGA KESEHATAN PENCERNAAN ANAK (DR - Chintya)
    Документ3 страницы
    Artikel CARA MENJAGA KESEHATAN PENCERNAAN ANAK (DR - Chintya)
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Artikel DR, Chintya
    Artikel DR, Chintya
    Документ23 страницы
    Artikel DR, Chintya
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • ARTIKEL KEPUTIHAN (DR - Chintya)
    ARTIKEL KEPUTIHAN (DR - Chintya)
    Документ4 страницы
    ARTIKEL KEPUTIHAN (DR - Chintya)
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Bab 1 Karsinoma Nasofaring
    Bab 1 Karsinoma Nasofaring
    Документ23 страницы
    Bab 1 Karsinoma Nasofaring
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Cover Case Gangguan Mood
    Cover Case Gangguan Mood
    Документ1 страница
    Cover Case Gangguan Mood
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Pap
    Pap
    Документ9 страниц
    Pap
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Case Gangguan Mood
    Case Gangguan Mood
    Документ30 страниц
    Case Gangguan Mood
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Abortus Baru
    Abortus Baru
    Документ32 страницы
    Abortus Baru
    ghinaisyr
    Оценок пока нет
  • PAP 2 Panduan Asuhan Yg Terintegrasi
    PAP 2 Panduan Asuhan Yg Terintegrasi
    Документ8 страниц
    PAP 2 Panduan Asuhan Yg Terintegrasi
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Cover CASE Mci
    Cover CASE Mci
    Документ1 страница
    Cover CASE Mci
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Документ1 страница
    Daftar Isi
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • LS PH2 Varicela
    LS PH2 Varicela
    Документ5 страниц
    LS PH2 Varicela
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Lapsus SINDROM NEFROTIK - Endah.anak
    Lapsus SINDROM NEFROTIK - Endah.anak
    Документ31 страница
    Lapsus SINDROM NEFROTIK - Endah.anak
    kurniafniati
    Оценок пока нет
  • Lapkas Nstemi
    Lapkas Nstemi
    Документ37 страниц
    Lapkas Nstemi
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • To Aipki Git
    To Aipki Git
    Документ1 страница
    To Aipki Git
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Bab I10
    Bab I10
    Документ1 страница
    Bab I10
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Mini Project KESPRO
    Mini Project KESPRO
    Документ27 страниц
    Mini Project KESPRO
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Kespro
    Kespro
    Документ33 страницы
    Kespro
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Daftar Isi Mci
    Daftar Isi Mci
    Документ1 страница
    Daftar Isi Mci
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Minpro Survei
    Minpro Survei
    Документ2 страницы
    Minpro Survei
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • LS PH2 Varicela
    LS PH2 Varicela
    Документ5 страниц
    LS PH2 Varicela
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik
    Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik
    Документ15 страниц
    Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik
    Ibnu Muttaqin
    Оценок пока нет
  • Clinical Science Session
    Clinical Science Session
    Документ1 страница
    Clinical Science Session
    Ibnu Muttaqin
    Оценок пока нет
  • LS PH2 Varicela
    LS PH2 Varicela
    Документ15 страниц
    LS PH2 Varicela
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет
  • Css - Anemia Def Fe - Endah.anak
    Css - Anemia Def Fe - Endah.anak
    Документ16 страниц
    Css - Anemia Def Fe - Endah.anak
    Chintya Putrima Agadita
    Оценок пока нет