Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Kompetensi guru bahasa Indonesia yang turun menjadi kendala dalam pembelajaran
bahasa indonesia berbasis kompetensi dan ekologi yakni,kompetensi profesional. Meskipun
tidak semua,namun teridentifikasi bahwa sebagian besar guru bahasa Ini tidak menguasai
materi pembelajaran dengan baik. Sebagai contoh, hasil survei yang diadakan terhadap guru
bahasa Indonesia, termasuk wawancara mendalam saat pendidikan dan latihan profesi guru,
masih banyak guru bahasa Indonesia yang memiliki tidak cukup pengetahuan tentang kaidah
bahasa Indonesia. Bahkan hampir semua guru tidak memiliki kompetensi explanatoris
kaidah-kaidah dimaksut. Misalnya, sejumlah besar guru tidak dapat menentukan bentuk yang
baku diantara subjek dan subyek, dan antara propinsi dan provinsi. Apalagi setelah diberikan
jawaban bahwa bentuk bakunya adalah subjek dan provinsi,kemudian diikuti dengan
pertanyaan mengapa subjek,dan mengapa provinsi? tidak ada satu pun yang dapat
menjelaskannya.
Kondisi ini tidak cukup hanya memprihatinkan tetapi sangat mengkhawatirkan bagi
pencapaian mutu proses dan hasil pembelajaran. Ini sebagai bukti bahwa guru bahasa
Indonesia tidak membaca, meskipun selalu mewajibkan peserta didik untuk membaca. Hak
ini pun melanggar prinsip keteladanan (mewajibkan anak membaca tetapi gurunya sendiri
tidak pernah membaca) sebagai sebagian dari kompetensi personal. Kondisi yang sama masih
juga terjadi pasca sertifikasi guru yang konon bertujuan untuk meningkatkan kompetensi
guru agar tercapai taraf profesional.
KETERBATASAN PUSTAKA
Keterbatasan pustaka masih saja menjadi alasan klasik bagi setiap guru, termasuk
guru bahasa Indonesia. Guru pada sekolah-sekolah yang berada jauh dari dari perkotaan
masih mengandalkan bahan cetak untuk peningkatan kemampuan pada bidang keahliannya.
Setelah diamati berulang-ulang, ternyata keterbatasan pustaka ini hanyalah alasan pembenar.
Sikap bahasa di lingkungan pendidikan tidak berbeda jauh dengan sikap bahasa
masyarakat Indonesia pada umumnya. Sikap bahasa sesungguhnya merupakan reaksi
pemakainya terhadap gengsi bahasa yang tergambar pada kesadaran norma kebahasaan dan
kemauan untuk menerapkan norma dimaksut dalam pemakaian secara taat asas.
Sikap guru dan siswa terhadap bahasa Indonesia dapat diteropong melalui kesadaran
penggunaan kaidah bahasa Indonesia siswa yang berpotensi menguasai bahasa asing,
terutama bahasa Inggris, tampak mengendur sikap positifnya. Hal kaidah bahasa Indonesia
merupakan urusan guru bahasa Indonesia dan siswa yang berminat pada pelajaran bahasa
Indonesia. Demikian pula halnya sikap guru mata Pelajaran lainnya terhadap bahasa
Indonesia.
Survei secara acak di beberapa sekolah menengah di kota kupang menunjukan bahwa
profil sikap, minat dan penggunaan bahasa Indonesia berdasarkan kaidah secara taat asas
dapat diungkapkan hal-hal sebagai berikut ini:
a. Secara verbal, sebagian besar guru berpendapat sama yakni, sikap positif
terhadap bahasa Indonesia merupakan keharusan. Ketika ditanya langsung
alasannya, tidak ada jawaban yang mengindikasikan pemahaman mereka
tentang fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia.
b. Berbeda dengan pernyataan verbal tersebut di atas, realitas penggunaan
bahasa/prilaku berbahasa yang di tampilkan tidak menggambarkan sikap
positif. Penelusuran terhadap portofolio guru, termasuk guru bahasa
Indonesia,ternyata jauh dari harapan.
c. Kondisi bapak A dan B di atas ditemukan pula pada siswanya. Bahkan
sebagian besarsiswanya memperlihatkan kegelisahan mereka ketika nanti
berhadapan dengan soal ujian nasional.
Kenyataan ini membuat kita perlu mempertanyakan sikap positif terhadap bahasa Indonesia
yang sesungguhnya. Sikap merupakan kristalisasi dari cara pandang sehingga semestinya
sikap positif itu sebangun dengan pemakaian sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan.
Sikap positif juga dapat timbul regulasi banci. Kita senantiasa disuguhi relugasi
tentang bahasa Indonesia yang hanya mengandalkan sanksi bagi yang melanggar. Kondisi ini
cocok ketika sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki rasa malu jika melakukan
tindakan melanggar aturan. Untuk saat ini, ketika orang tidak merasa malu (atau setidak-
tidaknya tidak merasakan apa-apa) jika melanggar aturan, bukanlah hal yang mustahil jika
semua regulasi tentang kaidah bahasa Indonesia dan kaidah pemakaiannya kini menjadi hal
yang sia-sia. Regulasi yang kurang memaksa bisa dilihat pada pedoman umum penggunaan
ejaan-ejaan bahasa Indonesia yang Disempurnakan. (Edisi) (Moelino 1997:137-418) yang
ditetapkan berdasarkan Kepmendikbud Nomor 0543a/U/1987 tanggal 9 september 1987.
Pedoman ini belum dihayati secara sungguh-sungguh oleh oleh setiap warga negara
Indonesia, termasuk sebagian besar guru bahasa Indonesia. Regulasi yang berusia 40 tahun
(edisi pertama tahun 1972) belum juga dihayati sebagai wujut kesadaran norma kebahasaan
bagi Masyarakat Indonesia .
ALTERNATIF PENANGGULANGAN