Вы находитесь на странице: 1из 4

tersebut dilengkapi dengan kompetensi peadagogik, yaitu kemampuan dan kemauan untuk

mendidik (Ditjen Dikti Depdiknas,2009-6)

Kompetensi guru bahasa Indonesia yang turun menjadi kendala dalam pembelajaran
bahasa indonesia berbasis kompetensi dan ekologi yakni,kompetensi profesional. Meskipun
tidak semua,namun teridentifikasi bahwa sebagian besar guru bahasa Ini tidak menguasai
materi pembelajaran dengan baik. Sebagai contoh, hasil survei yang diadakan terhadap guru
bahasa Indonesia, termasuk wawancara mendalam saat pendidikan dan latihan profesi guru,
masih banyak guru bahasa Indonesia yang memiliki tidak cukup pengetahuan tentang kaidah
bahasa Indonesia. Bahkan hampir semua guru tidak memiliki kompetensi explanatoris
kaidah-kaidah dimaksut. Misalnya, sejumlah besar guru tidak dapat menentukan bentuk yang
baku diantara subjek dan subyek, dan antara propinsi dan provinsi. Apalagi setelah diberikan
jawaban bahwa bentuk bakunya adalah subjek dan provinsi,kemudian diikuti dengan
pertanyaan mengapa subjek,dan mengapa provinsi? tidak ada satu pun yang dapat
menjelaskannya.

Kondisi ini tidak cukup hanya memprihatinkan tetapi sangat mengkhawatirkan bagi
pencapaian mutu proses dan hasil pembelajaran. Ini sebagai bukti bahwa guru bahasa
Indonesia tidak membaca, meskipun selalu mewajibkan peserta didik untuk membaca. Hak
ini pun melanggar prinsip keteladanan (mewajibkan anak membaca tetapi gurunya sendiri
tidak pernah membaca) sebagai sebagian dari kompetensi personal. Kondisi yang sama masih
juga terjadi pasca sertifikasi guru yang konon bertujuan untuk meningkatkan kompetensi
guru agar tercapai taraf profesional.

KETERBATASAN PUSTAKA

Keterbatasan pustaka masih saja menjadi alasan klasik bagi setiap guru, termasuk
guru bahasa Indonesia. Guru pada sekolah-sekolah yang berada jauh dari dari perkotaan
masih mengandalkan bahan cetak untuk peningkatan kemampuan pada bidang keahliannya.
Setelah diamati berulang-ulang, ternyata keterbatasan pustaka ini hanyalah alasan pembenar.

Keterbatasan pustaka disebabkan oleh keterbatasan dana untuk penggadaannya.


Setelah menjadi guru yang profesional yang ditandai dengan diperoleh sertifikat pendidik,
ternyata hanya sebagian kecil yang berusaha untuk sunguh-sungguh menjadi profesional
dengan penggadaan buku dan membacanya untuk meningkatkan kompetensi profesional.
Sebagian besarnya sibuk menikmati tunjangan profesi untuk berbagai urusan lain, sementara
penggadaan pustaka tidak pernah dianggarkan. Jika kemudian pemerintah menggandakan
internet sampai ke desa-desa dengan mobil internet kendala gagap teknologi dapat menjadi
alasan berikutnya.

Keterbatasan pustaka untuk matapelajaran bahasa Indonesia juga merupakan


tanggung jawab Badan Bahasa. Kaidah bahasa Indonesia yang dirumuskan dalam konggres
Bahasa (kini suda yang ke-9) tidak cepat sampai, bahkan belum sampai ke sekolah-sekolah.
Badan Bahasa dengan keterbatasan dana dan personil di kantor-kantor bahasa di setiap
provinsi telah berupaya untuk menyebar luaskan berbagai buku rujukan. Namun, pertanyaan
besar segera muncul, jika semua hasil kodefikasi yang dirumuskan oleh Badan Bahasa itu
disampaikan di sekolah-sekolah, apakah guru bahasa Indonesia mau membacanya?

SIKAP BAHASA DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN

Sikap bahasa di lingkungan pendidikan tidak berbeda jauh dengan sikap bahasa
masyarakat Indonesia pada umumnya. Sikap bahasa sesungguhnya merupakan reaksi
pemakainya terhadap gengsi bahasa yang tergambar pada kesadaran norma kebahasaan dan
kemauan untuk menerapkan norma dimaksut dalam pemakaian secara taat asas.

Sikap guru dan siswa terhadap bahasa Indonesia dapat diteropong melalui kesadaran
penggunaan kaidah bahasa Indonesia siswa yang berpotensi menguasai bahasa asing,
terutama bahasa Inggris, tampak mengendur sikap positifnya. Hal kaidah bahasa Indonesia
merupakan urusan guru bahasa Indonesia dan siswa yang berminat pada pelajaran bahasa
Indonesia. Demikian pula halnya sikap guru mata Pelajaran lainnya terhadap bahasa
Indonesia.

Survei secara acak di beberapa sekolah menengah di kota kupang menunjukan bahwa
profil sikap, minat dan penggunaan bahasa Indonesia berdasarkan kaidah secara taat asas
dapat diungkapkan hal-hal sebagai berikut ini:

a. Secara verbal, sebagian besar guru berpendapat sama yakni, sikap positif
terhadap bahasa Indonesia merupakan keharusan. Ketika ditanya langsung
alasannya, tidak ada jawaban yang mengindikasikan pemahaman mereka
tentang fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia.
b. Berbeda dengan pernyataan verbal tersebut di atas, realitas penggunaan
bahasa/prilaku berbahasa yang di tampilkan tidak menggambarkan sikap
positif. Penelusuran terhadap portofolio guru, termasuk guru bahasa
Indonesia,ternyata jauh dari harapan.
c. Kondisi bapak A dan B di atas ditemukan pula pada siswanya. Bahkan
sebagian besarsiswanya memperlihatkan kegelisahan mereka ketika nanti
berhadapan dengan soal ujian nasional.

Kenyataan ini membuat kita perlu mempertanyakan sikap positif terhadap bahasa Indonesia
yang sesungguhnya. Sikap merupakan kristalisasi dari cara pandang sehingga semestinya
sikap positif itu sebangun dengan pemakaian sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan.

REGULASI DAN KURANG MEMAKSA

Sikap positif juga dapat timbul regulasi banci. Kita senantiasa disuguhi relugasi
tentang bahasa Indonesia yang hanya mengandalkan sanksi bagi yang melanggar. Kondisi ini
cocok ketika sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki rasa malu jika melakukan
tindakan melanggar aturan. Untuk saat ini, ketika orang tidak merasa malu (atau setidak-
tidaknya tidak merasakan apa-apa) jika melanggar aturan, bukanlah hal yang mustahil jika
semua regulasi tentang kaidah bahasa Indonesia dan kaidah pemakaiannya kini menjadi hal
yang sia-sia. Regulasi yang kurang memaksa bisa dilihat pada pedoman umum penggunaan
ejaan-ejaan bahasa Indonesia yang Disempurnakan. (Edisi) (Moelino 1997:137-418) yang
ditetapkan berdasarkan Kepmendikbud Nomor 0543a/U/1987 tanggal 9 september 1987.
Pedoman ini belum dihayati secara sungguh-sungguh oleh oleh setiap warga negara
Indonesia, termasuk sebagian besar guru bahasa Indonesia. Regulasi yang berusia 40 tahun
(edisi pertama tahun 1972) belum juga dihayati sebagai wujut kesadaran norma kebahasaan
bagi Masyarakat Indonesia .

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009,pasal 25 sampai dengan pasal 45


memperlihatkan kelonggaran (=kurang memaksa) dalam hal norma pemakaian. Pasal 28
misalnya, tidak cukup kuat meyakinkan presiden,wakil presiden, dan pejabat negara untuk
tidak menggunakan bahasa Inggris ketika menyampaikan pidato pada forum Internasional di
Indonesia. Demikian pula pasal 37 tentang informasi produk barang atau jasa luar negeri
yang beredar di Indonesia yang sebagiannya masih menggunakan bahasa asing. Ketentuan
penggunaan bahasa Indonesia pada pasal 26 sampai dengan pasal 39 akan diatur dalam
peraturan presiden sebagai ketentuan pelaksanaan pasal (73) pun mundur penetapannya,
padahal batas waktu sesuia dengan 73 yakni selambat-lambatnya 2 Tahun setelah
diundangkan (artinya seharusnya 2011).

Perpres mengenai penggunaan bahasa Indonesia yang rancangannya sudah


dideminasikan berulang-ulang belum disahkan. Meskipun banyak kelonggaran, namun
karena belum disahkan maka tidak patut dibahas atau pun dirujuk dalam makalah ini. Hanya
kita berharap kiranya sejumlah pasal mengenai sanksi yang ringan dan longgar dapat
memperoleh jalan keluar melalui kehendak yang kuat untuk menjadikan bahasa Indonesia
bermartabat dan bergengsi. Hal demikian diperlukan untuk mendorong sikap bangga dan
setia terhadap bahasa Indonesia yang berdampak pada meningkatkan proses dan mutu
pembelajaran bahasa Indonesia pada berbagai lembaga pendidikan di Indonesia.

ALTERNATIF PENANGGULANGAN

Вам также может понравиться