Goleman (1996) menyimpulkan bahwa kecerdasan atau inteligensi sebagai
sebuah konsep yang tampaknya terlalu sempit untuk menjelaskan keberhasilan atau kesuksesan seseorang. Kesuksesan membutuhkan lebih daripada sekadar cerdas. Kecerdasan emosionallah yang memungkinkan kecerdasan atau inteligensi, yang bersifat kognitif, berfungsi secara optimal. Orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan mudah mengarahkan kognisinya dalam berpikir dan memecahkan masalah.
Goleman menemukan lima domain kecerdasan emosi, yaitu:
1. Memahami emosinya sendiri
Apabila individu tidak mampu mengenali perasaannya sendiri, hidupnya akan dikendalikan oleh perasaan itu. Sementara itu, individu yang memahami perasaannya akan mampu mengarahkan hidupnya. 2. Mengendalikan emosi Merupakan kemampuan yang dibangun berdasarkan kesadaran diri agar sesuai dan dapat diterima oleh lingkungannya. Kemampuan mengendalikan emosi akan sangat membantu dalam mencegah reaksi spontan dari Otak Reptil dan memberi kesempatan bagi Neocortex untuk memegang kendali. 3. Memotivasi diri sendiri Adalah sebuah kemampuan yang sangat diperlukan untuk dapat mengarahkan diri dari sasaran. Individu yang mampu memotivasi dirinya akan setia pada tujuan; kesulitan tidak akan membuatnya berbelok dari tujuannya. Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri akan memungkinkan individu menjadi pelajar yang mandiri yang dapat terus mengembangkan dirinya seumur hidup.
4. Memahami emosi orang lain
Berkaitan dengan kemampuan empati. Memahami emosi orang lain harus didahului oleh kemauan yang tulus, penerimaan atas orang lain apa adanya, serta niat baik agar dapat menjalin hubungan yang baik dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. 5. Menjalin hubungan dengan orang lain Yaitu kemampuan mendengarkan secara efektif dan kemampuan komunikasi yang efektif.
Kecerdasan Spiritual
Menurut Zohar (2000), dengan kedua kecerdasannya (IQ dan EQ),
manusia mampu memahami situasi dan menampilkan perilaku yang sesuai untuk menghadapinya, namun dibutuhkan kecerdasan ketiga, yaitu kecerdasan spiritual untuk membuat manusia melakukan transendensi.
Menurut Cassirer (1944) manusia mempunyai kebutuhan untuk terhubung
dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya itu. Bagi orang-orang beragama, sesuatu itu biasa dimaksudkan sebagai Allah, Tuha, Dewa, dan lain sebagainya, sedangkan bagi yang tidak beragama, hal itu sering dikaitkan dengan alam semesta atau kekuataan-kekuatan hebat lain yang ada. Berbeda dengan spesies lainnya, manusia memang cenderung mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang terkait dengan sesuatu yang lebih besar darinya; manusi mempunyai kecenderungan dan kemampuan berpikir melampaui dirinya (transendental).
Kecenderungan manusia untuk mencari jawaban atas berbagai hal besar
dalam hidupnya menunjukkan bahwa selain sebagai makhluk individual dan makhluk sosial, pada dasarnya manusia juga merupakan makhluk spiritual. Kecenderungan tersebut tidak akan mampu terjawab hanya melalui kecerdasan (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) semata. Ada kecerdasan ketiga yang memungkinkannya, yaitu kecerdasan spiritual (SQ), yang oleh Zohar dan Marshall disebut sebagai kecerdasan tertinggi.
Kecerdasan ini berkaitan erat dengan kehidupan keagamaan walaupun
tidak identik dengan keberagamaan. Untuk menjalankan keagamaan dengan penuh kesadaran dan mendapatkan pemahaman agama, dibutuhkan kecerdasan spiritual, namun kecerdasan spiritual sendiri tidak menjamin ketaatan seseorang dalam beragama.