Вы находитесь на странице: 1из 25

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan


merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu
bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga
masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh
perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dari sistem
rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami dapat
dialami oleh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan
hipertensi dalam kehamilan harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga medik
baik di pusat maupun di daerah.1
Hipertensi merupakan tanda terpenting guna menegakkan diagnosis
hipertensi dalam kehamilan. Tekanan diastolik menggambarkan resistensi perifer,
sedangkan tekanan sistolik menggambarkan besaran curah jantung. Pada
preeklampsia peningkatan reaktivitas vaskular dimulai umur kehamilan 20 minggu,
tetapi hipertensi dideteksi umumnya pada trimester II. Tekanan darah menjadi
normal beberapa hari pascapersalinan kecuali beberapa kasus preeklampsia berat
kembalinya tekanan darah normal dapat terjadi 2-4 minggu pascapersalinan.
Timbulnya hipertensi adalah akibat vasospasme menyeluruh dengan ukuran
tekanan darah 140/90 mmHg selang 4 jam. Dipilihnya tekanan diastolik 90
mmHg sebagai batas hipertensi karena batas tekanan diastolik 90 mmHg yang
disertai proteinuria, mempunyai korelasi dengan kematian perinatal tinggi.
Mengingat proteinuria berkorelasi dengan nilai absolut tekanan darah diastolik,
maka kenaikan (perbedaan) tekanan darah tidak dipakai sebagai kriteria hipertensi,
hanya sebagai tanda waspada.1
Morbiditas janin seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan
berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi
ateroplasental. Kematian janin diakibatkan hipoksia akut karena sebab sekunder
terhadap solusio plasenta atau vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin
terhambat (IUGR).2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi dalam Kehamilan


2.1.1 Definisi dan Klasifikasi
Klasifikasi penyakit hipertensif yang mempersulit kehamilan dibagi menjadi
4 jenis:3
1. Hipertensi gestasional dahulu disebut hipertensi terinduksi kehamilan. Jika
tidak timbul sindrom preeklamsia, dan hipertensi menghilang pada 12 minggu
pascapartum, diagnosis diganti menjadi hipertensi transisional.
2. Preeklamsia dan eklamsia.
3. Superimposed preeklamsia.
4. Hipertensi kronis.
Hipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension) adalah hipertensi
yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang
setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklamsia
tetapi tanpa proteinuria.1
Preeklamsia diartikan sebagai hipertensi yang terjadi setelah usia gestasi 20
minggu disertai proteinuria. Eklamisa merupakan keadaan kejang pada penderita
preeklamsia yang tidak dapat dikaitkan dengan penyebab lain.4
Superimposed preeklamsia atau sindrom preeklamsia yang bertumpang tindih
pada hipertensi kronis adalah hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklamsia
atau hipertensi kronik disertai proteinuria.1
Hipertensi kronis adalah adanya hipertensi presisten, oleh berbagai sebab,
sebelum kehamilan atau sebelum umur kehamilan 20 minggu, atau melebihi 42 hari
postpartum.5

2.2 Diagnosis
2.2.1 Hipertensi Gestasional
Diagnosis hipertensi gestasional ditegakkan pada perempuan yang memiliki
tekanan darah 140/90 mmHg untuk pertama kalinya setelah pertengahan
kehamilan, tetapi tidak mengalami proteinuria. Hampir separuh perempuan tersebut

2
selanjutnya mengalami preeklamsia, yang meliputi tanda-tanda, seperti proteinuria
dan trombositopenia atau gejala, seperti nyeri kepala atau nyeri epigastrik.
Hipertensi gestasional diklasifikasikan ulang sebagai hipertensi transisional jika
tidak timbul bukti preeklamsia, dan tekanan darah kembali ke normal pada 12
minggu pascapartum.3
Hipertensi gestasional, bila disertai keadaan sebagai berikut:1
Tekanan darah 140/90 mmHg meningkat pertama kali selama kehamilan
Tidak ditemukan proteinuria
Tekanan darah kembali normal < 12 minggu post partum
Diagnosa terakhir pada saat post partum
Dapat ditemukan gejala menyerupai preeklamsia seperti nyeri epigastrik atau
trombositopeni
2.2.2 Preeklamsia
Meskipun preeklamsia lebih dari sekedar hipertensi gestasional sederhana
ditambah proteinuria, timbulnya proteinuria tetap merupakan kriteria diagnostik
objektif yang penting. Proteinuria didefinisikan sebagai ekskresi protein dalam urin
yang melebihi 300 mg dalam 24 jam, rasio protein: kreatinin urin 0,3, atau
terdapatnya protein sebanyak 30 mg/dL (carik celup 1+) dalam sampel acak urin
secara menetap.3
Semakin berat hipertensi atau proteinuria, semakin pasti diagnosis
preeklamsia, dan semakin mungkin terjadi komplikasi yang merugikan. Serupa
dengan hal tersebut, temuan laboratorium yang abnormal pada pemeriksaan fungsi
ginjal, hati, dan hematologi akan semakin memastikan diagnosis preeklamsia.3
Preeklamsia, bila disertai keadaan sebagai berikut:1
Tekanan darah 140/90 mmHg setelah 20 minggu usia kehamilan
Proteinuria, adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama
dengan 1+ dipstick

2.2.3 Penanda Keparahan Preeklamsia


Banyak kalangan menggunakan kategori dikotom ringan dan berat yang
dikeluarkan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists. Karena itu,
pada banyak klasifikasi, diberikan kriteria untuk diagnosis preeklamsia berat,

3
sedangkan kelompok alternatifnya dapat dinyatakan secara tidak langsung ataupun
secara khusus disebut ringan, kurang berat, atau tidak berat.3
Nyeri kepala atau gangguan penglihatan, seperti skotomata, dapat merupakan
gejala pendahulu eklamsia. Nyeri epigastrik atau nyeri kuadran kanan atas sering
timbul pada nekrosis hepatoseluler, iskemia hepar, dan edema hepar yang
meregangkan kapsula Glissoni. Nyeri khas ini sering disertai peningkatan kadar
transaminase hepar dalam serum. Trombositopenia juga khas untuk preeklamsia
yang memburuk. Trombositopenia mungkin disebabkan oleh pengaktifan dan
agregasi trombosit, serta hemolisis mikroangiopati yang dicetuskan oleh
vasospasme yang hebat. Faktor lain yang menandakan preeklamsia berat meliputi
terkenanya ginjal atau jantung, serta restriksi pertumbuhan janin yang nyata, yang
menunjukkan durasi preeklamsia berat.3
Preeklamsia berat diartikan sebagai berikut:4
Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik 110 mmHg
pada dua kali pengukuran
Proteinuria >5g/24 jam atau dipstick +3 s/d +4 pada dua kali pengukuran
selang 4 jam.
Oliguria kurang dari 500 mL dalam 24 jam
Gangguan otak yang presisten
Edema paru
Nyeri epigastrium
Gangguan fungsi hati
Trombositopenia (<100.000 sel/mm3)
Restriksi pertumbuhan janin

4
Kelainan Tidak Berat Berat
Tekanan darah diastolic < 100 mmHg 110 mmHg
Teanan darah sistolik < 160 mmHg 160 mmHg
Proteinuria +1/+2 +3/+4
Nyeri kepala Tidak ada Ada
Gangguan penglihatan Tidak ada Ada
Nyeri abdomen atas Tidak ada Ada
Oliguria Tidak ada Ada
Kejang (eklamsia) Tidak ada Ada
Kreatinin serum Normal Meningkat
Trombositopenia Tidak ada Ada
Peningkatan transaminase serum Minimal Sangat meningkat
Restriksi pertumbuhan janin Tidak ada Nyata
Edema paru Tidak ada Ada
Tabel 1. Penanda Keparahan Penyakit Hipertensi dalam Kehamilan.

2.2.4 Eklamsia
Timbulnya kejang pada perempuan dengan preeklamsia yang tidak
disebabkan oleh penyebab lain dinamakan eklamsia. Kejang yang timbul
merupakan kejang umum dan dapat terjadi sebelum, sesaat, atau setelah persalinan.3
Pasien biasanya tidak mengalami aura dan mungkin mengalami satu sampai
beberapa serangan kejang dengan interval tidak sadar yang bervariasi. Kejang yang
terjadi mempunyai tipe tonik-klonik dan ditandai oleh apnea. Hiperventilasi (untuk
mengkompensasi asidosis respiratorik dan asidosis laktat) umum terjadi setelah
kejang. Demam merupakan tanda prognostik buruk. Lidah tergigit sering terjadi
dan juga berbagai komplikasi lainnya meluputi aspirasi, trauma kepala, patah tulang
dan lepasnya retina.2
2.2.5 Superimposed Preeklamsia
Hipertensi yang mendasari kronis didiagnosis pada wanita dengan
didokumentasikan tekanan darah 140/90 mm Hg sebelum kehamilan atau
kehamilan sebelum 20 minggu, atau kedua. Penyakit-penyakit ini dapat
menyulitkan diagnosis dan tatalaksana pada perempuan yang baru pertama kali

5
memeriksakan kehamilan setelah pertengahan gestasi. Kesulitan ini timbul karena
tekanan darah normalnya menurun pada trimester kedua atau awal trimester ketiga
baik pada perempuan normotensif maupun yang mengalami hipertensi kronis.
Karena itu, perempuan yang sebenarnya memiliki penyakit vaskular kronis yang
belum terdiagnosis, yang pertama kali memeriksakan kehamilan pada 20 minggu
gestasi, sering memiliki tekanan darah dalam kisaran normal. Namun, selama
trimester ketiga, seiring dengan kembalinya tekanan darah ke tekanan asal
(hipertensif), mungkin sulit menentukan apakah hipertensi bersifat kronis atau
dicetuskan end-organ yang telah ada dapat tidak memberikan hasil karena banyak
perempuan pengidap kelainan ini memiliki penyakti ringan.3
Pada sebagian perempuan dengan hipertensi kronis, tekanan darah meningkat
ke tingkat yang jelas abnormal, biasanya terjadi selama 24 minggu. Jika disertai
proteinuria, ditegakkan diagnosis preeklamsia yang bertumpang tindih dengan
hipertensi kronis. Preeklamsia jenis ini lazim terjadi lebih awal pada kehamilan
dibandingkan preeklamsia murni.3
Diagnosis preeklamsia yang bertumpang tindih dengan hipertensi kronis bisa
sulit ditegakkan, bahkan oleh dokter yang sudah ahli sekalipun, terutama pada
perempuan yang sudah menderita proteinuria sebelumnya. Karena itu, di awal
kehamilan harus dilakukan pemeriksaan nilai dasar fungsi ginjal dan hati serta
kuantifikasi proteinuria entah melalui analisis urine 24 jam atau rasio
protein/kreatinin.4

Hipertensi Gestasional
TD sistolik 140 atau TD diastolik 90 mmHg setelah 20 minggu pada wanita
yang sebelumnya normotensif

Preeklamsia-Hipertensi dan:
Protein uria : 300 mg/24h, atau
Protein: kreatinin rasi 0.3 atau
Tes carik celup 1+
Atau
Trombositopenia Trombosit <100.000/uL

6
Insufisiensi ginjal Kreatinin > 1.1 mg/dL, kecuali memang sebelumnya
diketahui meningkat
Keterlibatan liver Peningkatan kadar transmirase serum ALT atau AST
Gejala serebral Sakit kepala, gangguan visual, kejang

Tabel 2. Kriteria Diagnosis pada Kehamilang dengan Hipertensi

2.3 Etiologi
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti.
Banyak teori yang dikemukakan tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban
yang memuaskan tentang penyebabnya. Adapun teori-teori tersebut adalah:1
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua pembuluh darah
tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuarta dan arteri arkuarta
memberi cabang arteria radialis. Arteria radialis menembus endometrium
menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang arteri spiralis.
Pada hamil normal dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi
trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi
lapisan otot tersebut sehingga menjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas
juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis sehingga jaringan matriks
menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi
dan dilatasi. Distensi dan vasodolatasi lumen arteri spiralis memberi dampak
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan
aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin
cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin
pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan remodelling arteri
spiralis.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblast
pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot
arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis

7
tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri
spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan remodelling
arteri spiralis sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadi
hipoksia dan iskemia plasenta.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel
Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan remodelling arteri
spiralis, dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang
mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan. Salah satu
oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil
yang sangat toksis khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah.
Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai
bahan toksin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam
kehamilan disebut toxaemia. Radikal hidroksil akan merusak membran sel
yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak
nukleus dan protein sel endotel.
Pada hipertensi dalam kehamilan kadar oksidan khususnya peroksida
lemak meningkat sedangkan antioksidan misal vitamin E pada hipertensi
dalam kehamilan menurun sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida
lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai radikal bebas yang sangat
toksis akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak
membran sel endotel.
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi
kerusakan sel endotel yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel
yang mengakibatkan terganggunya fungsi endotel bahkan rusaknya seluruh
struktur sel endotel. Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel maka akan terjadi :
gangguan metabolisme prostaglandin karena salah satu fungsi sel endotel
adalah memproduksi prostaglandin berakibat menurunnya produksi
prostasiklin, suatu vasodilator kuat.
Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan dimana agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup

8
tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi
trombosit memproduksi tromboksan, suatu vasokonstriktor kuat. Pada
preeklampsia kadar tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin
sehingga terjadi vasokonstriksi dengan terjadi kenaikan tekanan darah.
Peningkatan permeabilitas kapiler
Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor yaitu endotelin. Kadar
NO (vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor)
meningkat.
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Human Leukocyte Antigen Protein G (HLA-G) berperan penting dalam
modulasi sel imun membuat si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta).
Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblast janin dari lisis oleh
sel Natural Killer (NK) ibu. Selain itu adanya HLA-G akan mempermudah
invasi sel trofoblast ke dalam jaringan desidua ibu. Pada plasenta hipertensi
dalam kehamilan, terjadi penurunan HLA-G. Berkurangnya invasi trofoblas
sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak dan gembur sehingga
memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis
4. Teori adaptasi kardiovaskularisasi genetik
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopresor akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel
endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap
bahan vasopresor akan hilang bila diberi prostaglandin sintesa inhibitor.
Prostaglandin ini ternyata adalah prostasiklin.
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap
bahan vasopresor dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-
bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap
vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap
bahan vasopresor
5. Teori genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe
ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial
jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang

9
mengalami preeklamsia, 26% anak perempuannya akan mengalami
preeklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami
preeklamsia
6. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam
sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi.
Pada kehamilan normal plasenta melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-
sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas akibat reaksi stres oksidatif.
Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya
proses inflamasi. Proses apoptosis pada preeklampsia dimana pada
preeklampsia terjadi peningkatan stres oksidatif sehingga produksi debris
apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas
plasenta, misalnya pada plasenta besar, hamil ganda, maka reaksi stres
oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga
makin meningkat. Keadaan ini akan menimbulkan beban reaksi inflamasi
dalam darah ibu jauh lebih besar dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan
normal. Respons inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel dan sel-sel
makrofag/granulosit yang lebih besar sehingga terjadi reaksi sistemik
inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.

2.4 Faktor Resiko


Preeklamsia sering mengenai perempuan muda dan nulipara, sedangkan
perempuan yang lebih tua lebih berisiko mengalami hipertensi kronis yang
bertumpang tindah dengan preeklamsia. Selain itu, insiden sangat dipengaruhi oleh
ras dan etnis dan karena itu, oleh predisposisi genetik. Faktor lain meliputi pengaruh
lingkungan, sosioekonomi, dan bakan musim.3
Faktor-faktor risiko lain yang berkaitan dengan preeklamsia mencakup
obesitas, kehamilan ganda, usia ibu lebih dari 35 tahun, dan etnis Afrika-Amerika.
Hubungan antara berat badan ibu dan risiko preeklamsia bersifat progresif. Risiko
ini meningkat dari 4.3 persen untuk perempuan yang memiliki indeks masa tubuh
(IMT) <20 kg/m2 menjadi 13.3 persen pada perempuan yang memiliki IMT > 35
kg/m2.3

10
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya
preeklamsia tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang
mempengaruhi terjadinya preeklamsia. Faktor resiko tersebut meliputi: 6
a. Usia
Insiden tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida
tua. Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insiden > 3 kali lipat. Pada
wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun dapat terjadi hipertensi yang menetap.
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua,
primigravida tua resiko lebih tinggi untuk preeklamsia berat.
c. Faktor genetik
Jika ada riwayat preeklamsia pada ibu atau nenek penderita, faktor resiko
meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif yang ditentukan
genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa preeklamsia merupakan penyakit
yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu
penderita preeklamsia atau mempunyai riwayat preeklamsia dalam keluarga.
d. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan
kembar, dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik
e. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklamsia.
Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini atau pada usia
kehamilan muda dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai
dengan pada preeklamsia
f. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya
preeklamsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada wanita
dengan Body Mass Index (BMI)< 20 kg/m menjadi 13,3% pada wanita dengan
Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m

11
2.5 Patofisiologi
Meskipun penyebab preeklamsia masih belum diketahui, bukti manifestasi
klinisnya mulai tampak sejak awal kehamilan, berupa perubahan patofisiologi
tersamar yang terakumlasi sepanjang kehamilan, dan akhirnya menjadi nyata secara
klinis. Tanda klinis ini diduga merupakan akibat vasospasme, disfungsi endotel,
dan iskemia. Meskipun sejumlah besar dampak sindrom preeklamsia pada ibu
bisanya diuraikan per sistem organ, manifestasi klinis ini sering kali multiple dan
bertumpang tindih secara klinis.3
Vasospasme. Spasme arteriol, yang secara konsisten dapat diamati pada
retina, ginjal dan daerah splangnik, menyebabkan hipertensi. Dan lagi, resistensi
terhadap angiotensin II yang normal, hilang beberapa minggu sebelum onset
preeklamsia. sebaliknya, wanita hamil yang normal kehilangan kekebalan terhadap
angiotensin II setelah mendapat penghambat prostaglandin sintetase, misalnya
aspirin, yang melibatkan prostaglandin sebagai mediator reaktivitas pembuluh
darah terhadap angiotensin II selama kehamilan. Lebih lagi, kekebalan terhadap
angiotensi II pada preeklamsia dapat dipulihkan dengan obat-obatan yang
meningkatkan kadar AMP siklik, misalnya teofilin. Karena itu ada hipotesis (Gant)
yang menyatakan bahwa prostaglandin yang disintesis dalam arteriol dapat
mengatur reaktivitas pembuluh darah terhadap angiotensin II dengan mengubah
kadar AMP siklik intraselular dalam otot polos pembuluh darah. Juga terjadi
ketidakseimbangan antara prostasiklin, suatu vasodilator dan inhibitor agregasi
platelet, dengan tromboksan, suatu vasokonstriktor dan aggregator platelet pada
preeklamsia. Peran prostaglandin dan angiotensin II dalam terjadinya preeklamsia
ditekankan pada hipotesis Speroff tentang mekanisme yang terlibat.2
Proteinuria. Perubahan degeneratif dalam glomerulus menyebabkan
kehilangan protein melalui urin. Rasio albumin/ globulin dalam urin pasien
preeklamsia-eklamsia kira-kira 3:1. Dalam kondisi ini, penyakit tubulus ginjal
hanya sedikit berperan terhadap hilangnya protein.2

12
2.6 Manifestasi Klinis
Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah hipertensi dan
proteinuria. Gejala ini merupakan keadaan yang biasanya tidak disadari oleh wanita
hamil. Pada waktu keluhan lain seperti sakit kepala, gangguan penglihatan, dan
nyeri epigastrium mulai timbul, hipertensi dan proteinuria yang terjadi biasanya
sudah berat.7
- Tekanan darah.
Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme arteriol sehingga
tanda peringatan awal muncul adalah peningkatan tekanan darah. Tekanan
diastolik merupakan tanda prognostik yang lebih baik dibandingkan tekanan
sistolik dan tekanan diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih menetap menunjukan
keadaan abnormal.
- Kenaikan berat badan.
Peningkatan berat badan yang terjadi tiba-tiba dan kenaikan berat badan
yang berlebihan merupakan tanda pertama preeklampsia. Peningkatan berat
badan sekitar 0,45 kg per minggu adalah normal, tetapi bila lebih dari 1 kg dalam
seminggu atau 3 kg dalam sebulan maka kemungkinan terjadinya preeklampsia
harus dicurigai. Peningkatan berat badan yang mendadak serta berlebihan
terutama disebabkan oleh retensi cairan dan selalu dapat ditemukan sebelum
timbul gejala edema non dependen yang terlihat jelas, seperti edema kelopak
mata, kedua lengan, atau tungkai yang membesar.
- Proteinuria
Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukan adanya suatu penyebab
fungsional dan bukan organik. Pada preeklampsia awal, proteinuria mungkin
hanya minimal atau tidak ditemukan sama sekali. Pada kasus yang berat,
proteinuria biasanya dapat ditemukan dan mencapai 10 gr/l. Proteinuria hampir
selalu timbul kemudian dibandingkan dengan hipertensi dan biasanya terjadi
setelah kenaikan berat badan yang berlebihan.
- Nyeri kepala.
Gejala ini jarang ditemukan pada kasus ringan,tetapi semakin sering
terjadi pada kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa pada daerah
frontalis dan oksipitalis, dan tidak sembuh dengan pemberian analgesik biasa.

13
Pada wanita hamil yang mengalami serangan eklampsi, nyeri kepala hebat
hampir selalu mendahului serangan kejang pertama.
- Nyeri epigastrium
Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupakan keluhan
yang sering ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat menjadi presiktor
serangan kejang yang akan terjadi. Keluhan ini mungkin disebabkan oleh
regangan kapsula hepar akibat edema atau perdarahan.
- Gangguan penglihatan
Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di antaranya pandangan yang
sedikit kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau total. Keadaan ini
disebabkan oleh vasospasme, iskemia,dan perdarahan petekie pada korteks
oksipital.

2.7 Diagnosis Preeklamsia


2.7.1 Gejala subjektif
Pada preeklamsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual muntah. Gejala-
gejala ini sering ditemukan pada preeklamsia yang meningkat dan merupakan
petunjuk bahwa eklamsia akan timbul. Tekanan darah akan meningkat lebih tinggi,
edema dan proteinuria bertambah meningkat.5
2.7.2 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan tekanan sistolik 30 mmHg
dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat 140/90 mmHg pada
preeklamsia ringan dan 160/110 mmHg pada preeklamsia berat. Selain itu akan
ditemukan takikardi, edema paru, perubahan kesadaran, hipertensi ensefalopati, dan
hiperefleksia.5
2.7.3 Pemeriksaan Laboratorium
Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita
preeklampsia yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia
ringan kadarnya secara kuantitatif yaitu 300 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter atau midstream. Sementara pada
preeklampsia berat kadarnya mencapai 500 mg perliter dalam 24 jam atau secara

14
kualitatif +3.5
Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat
hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi
benang fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat
diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada
preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat
dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan
elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal.5

2.8 Penatalaksanaan Preeklamsia


Tujuan utama penanganan preeklamsi adalah mencegah terjadinya
preeklamsia berat atau eklamsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin
dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta mencegah
gangguan fungsi organ vital.3
Penanganan dasar untuk kehamilan dengan komplikasi preeklamsia adalah:
1. Terminasi kehamilan dengan trauma seminim mungkin bagi ibu dan janin
2. Melahirkan janin yang kemudian dapat berkembang
3. Memulihkan kondisi ibu secara utuh
4. Penanganan preeklamsia ringan agar tidak menjadi preeklamsia berat atau
eklamsia
2.8.1 Penanganan Preeklamsia Ringan
Ibu hamil dengan preeklampsia ringan dapat dilakukan rawat inap maupun
rawat jalan. Pada rawat jalan ibu hamil dianjurkan banyak istirahat (tidur miring ke
kiri). Pada umur kehamilan diatas 20 minggu tidur dengan posisi miring dapat
menghilangkan tekanan rahim pada vena kava inferior yang mengalirkan darah dari
ibu ke janin, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah
jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital.
Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan laju filtrasi glomerolus dan
meningkatkan diuresis sehingga akan meningkatkan ekskresi natrium, serta
menurunkan reaktivitas kardiovaskuler, sehingga mengurangi vasospasme.
Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah ke rahim,
menambah oksigenasi plasenta dan memperbaiki kondisi janin dan rahim. Pada

15
preeklampsia tidak perlu dilakukan retriksi garam jika fungsi ginjal masih normal.
Diet yang mengandung 2 g natrium atau 4-6 g NaCl (garam dapur) adalah cukup.
Diet diberikan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam secukupnya.
Tidak diberika obat-obatan diuretik, antihipertensi dan sedative.

Pada keadaan tertentu ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di
rumah sakit yaitu dengan kriteria bila tidak ada perbaikan yaitu tekanan darah,
kadar proteinuria selama lebih dari 2 minggu dan adanya satu atau lebih gejala dan
tanda preeklampsia berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin, berupa pemeriksaan USG
dan Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan
amnion.3
Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilan. Menurut Williams,
kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 sampai 37 minggu. Pada umur
kehamilan <37 minggu bila tanda dan gejala tidak memburuk, kehamilan dapat
dipertahankan sampai aterm tapi jika umur kehamilan >37 minggu persalinan
ditunggu sampai timbul onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan

16
induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan dan tidak menutup
kemungkinan dapat dilakukan persalinan secara spontan.
2.8.2 Penanganan Preeklamsia Berat
Pengelolaan preeklampsia berat mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit organ yang
terlibat dan saat yang tepat untuk persalinan. Penderita preeklampsia berat harus
segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tidur miring ke kiri.
Pengelolaan cairan pada preeklampsia bertujuan untuk mencegah terjadinya edema
paru dan oliguria. Diuretikum diberikan jika terjadi edema paru dan payah jantung.
Diuretikum yang dipakai adalah furosemid. Pemberian diuretikum secara rutin
dapat memperberat hipovolemi, memperburuk perfusi utero-plasenta,
menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin. Antasida
digunakan untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang dapat
menghindari risiko aspirasi asam lambung

17
Anti Hipertensi
Penentuan batas tekanan darah untuk pemberian antihipertensi masih
bermacam-macam, menurut POGI Antihipertensi diberikan jika desakan darah
180/110 mmHg atau MAP 126. Jenis antihipertensi yang diberikan adalah
nifedipine 10-20 mg peroral, dosis awal 10 mg, diulangi setelah 30 menit, dosis
maksimumnya 120 mg dalam 24 jam. Tekanan darah diturunkan secara bertahap.8
Jenis antihipertensi lain yang dapat diberikan adalah:
1. Hidralazin
Dimulai dengan 5 mg intravena atau 10 mg intramuskuler, jika tekanan darah
tidak terkontrol diulangi tiap 20 menit, jika tidak berhasil dengan 20 mg dosis
1 kali pakai secara intravena atau 30 mg intramuskuler dipertimbangkan
penggunaan obat lain. Mekanisme kerjanya dengan merelaksasi otot
padaarteriol sehingga terjadi penurunan tahanan perifer. Jika diberikan secara
intravena efeknya terlihat dalam 5-15 menit. Efek sampingnya adalah sakit
kepala, denyut jantung cepat dan perasaan gelisah, hidralazin termasuk dalam
kategori C (keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum ditetapkan).
2. Labetalol
Termasuk dalam beta bloker, mekanismenya menurunkan tahanan perifer dan
tidak menurunkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Obat ini dapat
diberikan secara peroral maupun intravena yang dimulai dengan 20 mg secara
intravena, jika efek kurang optimal diberikan 40 mg 10 menit kemudian,
penggunaan maksimal 220 mg, jika level penurunan tekanan darah belum
dicapai obat dihentikan dan dipertimbangkan penggunaan obat lain,
dihindari pemberian Labetalol untuk wanita dengan asma atau gagal jantung
kongestif. Jikadiberikan secara intravena efeknya terlihat dalam 2-5 menit
dan mencapai puncaknya setelah 15 menit, obat ini bekerja selama 4 jam.
Labetalol termasuk dalam kategori C (keamanannya pada wanita hamil belum
ditetapkan)
3. Beta-bloker (Atenolol, Metoprolol, Nadolol, Pindolol, Propranolol)
Obat-obat tersebut berhubungan dengan peningkatan insiden dari
kemunduran intrauterine fetal growth dan tidak direkomendasikan untuk

18
penggunaan jangka panjang pada kehamilan, dosis Propranolol biasa
digunakan >160 mg/hari.
4. Nifedipin
Nifedipin tergolong ke dalam antagonis kalsium (calcium channel blocker).
Obat ini bekerja dengan menghambat influks kalsium pada sel otot polos
pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium
terutama menimbulkan relakasasi arteriol, sedangkan vena kurang
dipengaruhi. Nifedipin bersifat vaskuloselektif sehingga efek langsung pada
nodus SA dan AV minimal, menurunkan resistensi perifer tanpa penurunan
fungsi jantung yang berarti, dan relatif aman dalam kombinasi bersama -
blocker.
Bioavailabilitas oral rata-rata 40-60% (bioavailabilitas oral baik).
Penggunaan nifedipin secara sublingual sebaiknya dihindari untuk
meminimalkan terjadinya hipotensi maternal dan fetal distress akibat
hipoperfusi plasenta.Kadar puncak tercapai dalam waktu 30 menit hingga 1
jam dan memiliki waktu paruh 2-3 jam. Nifedipin bekerja secara cepat dalam
waktu 10-20 menit setelah pemberian oral dengan efek samping yang
minimal.10 Antagonis kalsium hanya sedikit sekali yang diekskresi dalam
bentuk utuh lewat ginjal sehingga tidak perlu penyesuaian dosis pada
gangguan fungsi ginjal.
Efek samping utama nifedipin terjadi akibat vasodilatasi yang berlebihan.
Gejala yang tampak berupa pusing atau sakit kepala akibat dilatasi arteri
meningeal, hipotensi, refleks takikardia, muka merah, mual, muntah, edema
perifer, batuk, dan edema paru.
5. Metildopa
Metildopa merupakan prodrug yang dalam susunan saraf pusat menggantikan
kedudukan DOPA dalam sintesis katekolamin dengan hasil akhir -
metilnorepinefrin. Efek antihipertensinya disebabkan oleh stimulasi reseptor
-2 di sentral sehingga mengurangi sinyal simpatis ke perifer. Metildopa
menurunkan resistensi vaskular tanpa banyak mempengaruhi frekuensi dan
curah jantung. Efek maksimal tercapai 6-8 jam setelah pemberian oral atau
intravena dan efektivitas berlangsung sampai 24 jam.

19
Bioavailabilitas oral rata-rata 20-50%. Pemberian bersama preparat besi
mengurangi absorbsi metildopa sampai 70%, tapi sekaligus mengurangi
eliminasi dan menyebabkan akumulasi metabolit sulfat. Hal ini perlu
diperhatikan pada kehamilan dimana kedua obat ini sering diberikan
bersamaan. Sekitar 50-70% diekskresi melalui urin dalam konjugasi dengan
sulfat dan 25% dalam bentuk utuh.20 Metildopa tidak mempengaruhi aliran
darah ginjal sehingga dapat digunakan pada kasus gangguan ginjal.
Metidopa dikenal sebagai antihipertensi yang aman digunakan di tiap
trimester kehamilan. Penggunaan jangka panjangnya tidak berhubungan
dengan masalah pada janin. Namun, ibu hamil perlu mewaspadai efek sedasi
dari metildopa dan terkadang terjadi peningkatan liver transaminase (tes
Coomb positif). Obat ini perlu dihindari pada wanita dengan riwayat depresi
karena dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya depresi postnatal.

Anti Konvulsan
Pemberian obat antikejang pada preeklampsia bertujuan untuk mencegah
terjadinya kejang (eklampsia). Obat yang digunakan sebagai antikejang antara lain
diazepam, fenitoin, MgSO4. Antikejang yang digunakan adalah MgSO4 yaitu
dengan pemberian dosis awal 8 gram IM (4 gram bokong kanan dan 4 gram bokong
kiri) dengan dosis lanjutan setiap 6 jam diberikan 4 gram. Saat ini magnesium sulfat
tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.
Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan risiko kematian ibu dan didapatkan
50% dari pemberiannya menimbulkan efek flusher (rasa panas). Syarat pemberian
MgSO4 yaitu reflek patella normal, frekuensi pernapasan >16 kali per menit, harus
tersedia antidotum yaitu Kalsium Glukonat 10% (1 gram dalam 10 cc) diberikan
intravena 3 menit. Pemberian MgSO4 harus dihentikan jika terjadi intoksikasi maka
diberikan injeksi Kalsium Glukonat 10% (1 gram dalam 10 cc) dan setelah 24 jam
pasca persalinan. Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4 maka bisa
diberikan tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam atau fenitoin.

20
Skema Terapi Preeklamsia Berat

Preeklamsia berat
Diperbolehkan bersalin
Pemeriksaan kondisi ibu dan janin
Pertimbangkan pemberian MgSO4
Pemberian terapi untuk hipertensi berat

Kontraindikasi untuk managemen konservatif


Gejala menetap atau hipertensi berat
Eklamsia, edema pulmo, sindroma
HELLP
Gangguan fungsi ginjal, koagulopati
Abrupsi
Tanda-tanda fetal distress

YA TIDAK

dilahirkan
Observasi 24-48 jam
Kortikosteroid untuk maturasi paru
PERKEMBANGAN
Evaluasi berkala : tanda vital, urin tamping
KONTRAINIDIKASI
Evaluasi hasil lab untuk sindroma HELLP

Pasien rawat inap


Pemeriksaan kesehatan kehamilan
Evaluasi lab serial fungsi ginjal dan
PERKEMBANGAN sindroma HELLP
Pemeriksaan harian kondisi janin meliputi
KONTRAINIDIKASI perkembangan janin dan volume dari
cairan amnion

Indikasi persalinan pada preeklamsia dibagi menjadi dua yaitu:


a) Indikasi ibu
- Usia kehamilan 38 minggu

21
- Hitung trombosit < 100.000 sel/mm
- Kerusakan progresif fungsi hepar dan ginjal
- Suspek solusio plasenta
- Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan
- Nyeri epigastrium hebat persisten, nausea atau muntah
b) Indikasi janin
- IUGR berat
- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reasuring
- Oligohidramnion

2.9 Evaluasi
Rawat Inap di Rumah Sakit merupakan hal yang patut untuk dipertimbangkan
pada pasien dengan hipertensi onset baru dan lebih dianjurkan terlebih kepada
pasien dengan hipertensi yang persisten dan disertai dengan temuan proteinuria.
Evuluasi secara sistematis dapat dilakukan sebagai berikut:8
1. Pemeriksaan yang teliti yaitu melakukan monitor atau pengawasan pada
temuan klinis pasien, seperti pusing kepala, gangguan penglihatan, nyeri
daerah epigastrium, ataupun peningkatn berat badan
2. Pengawasan berat badan
3. Menganalisa protein urin : rasio kreatinin yang masuk dan 2 hari setelahnya
4. Pencatatan tekanan darah dalam posisi duduk dengan ukuran yang sudah
disesuaikan setiap 4 jam.

2.10 Komplikasi
Komplikasi pada ibu terutama berkaitan dengan memburuknya preeklamsia
menjadi eklamsia, solusio plasenta, gagal ginjal, nekrosis hepar, rupture hepar,
anemia hemolitik mikroangiopatik, perdarahan otak, edema paru dan pelepasan
retina. Komplikasi pada janin berhubungan dengan insufisiensi uteroplasenta akut
dan kronis (misal, janin KMK asimetris atau simetreis, lahir mati atau gawat janin
intra partum) serta persalinan dini (komplikasi prematuritas).2
Singkatan HELLP diterapkan untuk pasien-pasien preeklamsia-eklamsia
yang mengalami hemolisis (H), peningkatan enzim hati (EL) dan jumlah trombosit

22
rendah (low platelet, LP). HELLP tampaknya lebih menggambarkan tanda-tanda
penting pasien dengan toksemia kehamilan yang berbahaya daripada sebuah
sindrom baru ditandai dengan hemolisis, apusan darah perifer abnormal,
peningkatan enzim hati, peningkatan kadar bilirubin serum, peningkatan kadar
alanin transaminase (>72 IU/L), peningkatan kadar laktat dehidrogenase (>600
IU/L) dan trombositopenia (<100.000/ m3).2
Namun demikian, ibu-ibu hamil ini harus mendapat perhatian khusus karena
biasanya prognosis ibu dan perinatal yang sangat buruk tanpa diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat, termasuk persalinan segera dengan cara terbaik.2

2.11 Pencegahan
Pemeriksaan antenatal yang rutin dapat menemukan tanda-tanda dini
preeklamsia. Walaupun preeklamsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun
frekuensi preeklamsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan
pengawasan yang baik pada ibu hamil.
Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang
berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini
yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak duduk
dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam, dan
penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat dianjurkan. Mengenal secara
dini preeklamsia dan merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan obat
antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan antenatal
yang baik.8

23
BAB III
KESIMPULAN

Preeklamsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang disebabkan


langsung oleh kehamilan itu sendiri. Preeklamsia adalah timbulnya hipertensi,
edema, disertai proteinuria akibat kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu
atau segera setelah persalinan. Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat
dijelaskan dengan pasti. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
lainnya yang menunjang. Berbagai komplikasi preeklamsia dapat menyebabkan
mortalitas pada ibu dan janin yang dapat terjadi. Tujuan utama penanganan
preeklamsia adalah mencegah terjadinya preeklamsia berat atau eklamsia,
melahirkan janin hidup dan melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya,
mencegah perdarahan intrakranial serta mencegah gangguan fungsi organ vital.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Angsar, M. D. (2013). Ilmu Kebidanan (4 ed.). Jakarta: Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.
2. Benson, R. C., & Pernoll, M. L. (2013). Buku Saku Obstetri dan Ginekologi
(9 ed.). (S. S. Primarianti, & T. Resmisari, Eds.) Jakarta: EGC.
3. Cunningham, F. G., Lenevo, K. J., Bloom, S. L., Spong, C. Y., Dashe, J. S.,
Hoffman, B. L., et al. (2014). Williams Obstetrics (24th ed.). United States:
McGraw-Hill Education.
4. Hollingworth, T. (2014). Differential Diagnosis in Obstetrics and
Gynaecology: An A-Z. (A. Ganda, & M. Surya, Eds.) Jakarta: EGC.
5. Taber, B. Z. (2013). Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi.
(M. S, Ed.) Jakarta: EGC.
6. Manuaba, I. B. (2004). Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Ginekologi. Jakarta:
EGC.
7. Mustafa, R., Ahmed, S., Gupta, A., & Venuto, R. C. (2012). A
Comprehensive Review of Hipertension in Pregnancy. J Pregnancy , 1-19.
8. POGI. (2005). Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan di
Indonesia. Jakarta: Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI.

25

Вам также может понравиться