Вы находитесь на странице: 1из 2

JawaPos.

com - Dosen Kebidanan Universitas PGRI Adi Buana Surabaya Tetty Rihardini
menuntut RS Aisyiyah Siti Fatimah, Tulangan, Sidoarjo, ke Majelis Kehormatan Disiplin
Ilmu Kedokteran Indonesia (MKDKI). Dia menuding rumah sakit tersebut telah melakukan
keteledoran medis yang berbuntut meninggalnya sang buah hati.

Kejadian berawal pada 24 Oktober pagi. Tepat pukul 08.00, Tetty membawa putranya,
Ahmad Ahza Zaadittaqwa, ke RS Aisyiyah Siti Fatimah. Saat itu, Adit, panggilan akrab
Ahmad Ahza Zaadittaqwa, mengalami demam tinggi yang disertai muntah. Adit merupakan
anak tunggal.

Gigi bocah 1 tahun 9 bulan tersebut memang sedang tumbuh. Namun, Tetty merasa demam
yang dialami Adit tidak normal. Sebelumnya, Tetty mengobati anaknya dengan
menggunakan obat-obatan penurun demam. Namun, upaya itu tak kunjung membuat
kesehatan Adit membaik. Karena itu, Tetty membawa Adit ke RS. Sebelumnya, saya
melakukan pemeriksaan ke dokter spesialis anak dan saya beri antibiotik yang sama, terang
perempuan 36 tahun itu.

Setelah dibawa ke RS Aisyiyah Siti Fatimah dan mendapat perawatan dari dokter, kondisi
Adit tetap tak kunjung membaik. Delapan jam setelah dirawat di RS, tepatnya pukul 16.00,
bibir dan mata Adit membengkak. Dia juga mengalami gatal-gatal pada bagian tersebut. Dia
diberi antibiotik tanpa melakukan pemeriksaan alergi, lanjutnya.

Kondisinya kian memburuk beberapa jam berikutnya. Bibir korban tambah bengkak. Dia
kerap merengek kesakitan. Melihat kondisi itu, Tetty segera melaporkannya kepada petugas,
tapi tak segera mendapat respons.

Kata perawat, saat itu dokter sibuk dan meminta saya bersabar. Padahal, kondisi anak saya
sudah darurat dan butuh pertolongan cepat, tutur Tetty.

Selang beberapa waktu, dokter yang menangani datang dan mengambil tindakan. Sayang,
pukul 21.30 Adit mengembuskan napas terakhir dengan bibir membengkak. Menurut Tetty,
secara teoretis, anaknya dapat tertolong. Namun, karena ada prosedur yang lalai dilakukan,
kematian anaknya tak terhindarkan. Tetty juga sempat menyaksikan pelayanan yang kurang
tepat. Misalnya, pemberian antibiotik yang tidak sesuai takaran. Anak saya diberi antibiotik
yang tidak sesuai dengan berat badannya, ujarnya.

Tetty dan keluarga sudah melaporkan kasus tersebut ke MKDKI. Pihaknya menilai ada celah
pidana dalam kasus itu, yakni adanya kelalaian penanganan dokter sehingga mengakibatkan
anaknya meninggal. Sampai sekarang, saya belum menerima rekam medis atau certificate of
death penyebab pasti kematian anak saya. Seharusnya saya berhak mengetahui, imbuhnya.

Sementara itu, Direktur RS Aisyiyah Siti Fatimah dokter Tjatur Prijambodo menyatakan,
pihaknya sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan Adit. Semua
tindakan yang diambil dokter sesuai standard operating procedure (SOP).

Pihak rumah sakit, lanjut dia, telah melakukan audit internal. Itulah prosedur yang lazim
dilakukan apabila ada pasien yang meninggal. Berdasar hasil audit kami, ini murni risiko
medis, katanya.
Menurut dia, ada sejumlah reaksi dari pasien karena pengobatan yang tidak bisa diprediksi.
Tapi, kami pastikan semua prosedur dari dokter yang menangani (Adit, Red.) sudah sesuai,
tegasnya.

Tjatur menerangkan, kematian pasien diduga kuat disebabkan alergi obat. Saat masuk IGD,
pasien menjalani pemeriksaan riwayat penyakit terdahulu. Tapi, saat ditanya, ada gejala
alergi yang disangkal ibu pasien, terangnya.

Pasien juga pernah menjalani pengobatan di sebuah klinik anak. Berdasar penelusuran tim RS
Aisyiyah Siti Fatimah, Adit pulang dari klinik tersebut atas permintaan sendiri dari pihak
keluarga. Padahal, klinik belum membolehkannya pulang. Hal itu terjadi sebulan sebelum
Adit dirawat di RS Aisyiyah Siti Fatimah.

Вам также может понравиться