Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Makalah Ijtihad
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai inovasi dan produktivitasnya
adalah tantangan serius hokum Islam yang selama ini berjalan secara stagnan, rigid dan
konvensional. Iptek tidak mungkin akan bergerak ke belakang dan pasti bergerak ke depan untuk
merekayasa peradaban manusia dengan kekayaan kreasi dan progresivitasnya. Kalau sekedar
mengandalkan al-turats al-islamiy dengan paradigma konvensional, tentu banyak fenomena
kontemporer yang jatuh pada masalah mauquf (dipending) karena belum ada nash yang
meresponnya. Kalau itu yang terjadi, suara hokum Islam tidak akan didengar lagi gelombang
modernisasi yang sudah sangat maju. Dalam konteks ini, sudah saatnya umat Islam
mengoptimalkan seluruh daya pikirannya untuk dinamisasi, reaktualisasi dan refungsionalisasi
hokum Islam agar formulasi hokum Islam relevan dengan kondisi kekinian yang selalu berubah
setiap saat. Untuk merespon semua itu diperlukan ijtihad dari orang-orang yang memiliki kapsitas
keilmuan yang mumpuni dalam menanggapi berbagai problematika kekinian
(Misbahuddin,2014:129).
Usaha untuk tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari belenggu kekakuan
dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya jalan yang harus dilakukan secara maksimal.
Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-nilai syariat Islam tetap actual dan dapat dipertahankan dalam
kehidupan praktis(Shuhufi,2012:3).
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akn dibahas mengenai pengertian ijtihad, dasar
hukum ijtihad, kedudukan ijtihad, fungsi ijtihad, obyek ijtihad, macam-macam ijtihad, serta syarat-
syarat Mujtahid dan tingkatan-tingkatannya.
B. Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah pada makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana pengertian ijtihad?
2. Bagaimana dasar hukum ijtihad?
3. Bagaimana kedudukan dan fungsi ijtihad?
4. Bagaimana objek ijtihad?
5. Bagaimana macam-macam ijtihad?
6. Bagaimana syarat-syarat mujtahid serta tingkatannya?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad.
3. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi ijtihad.
4. Untuk mengetahui obyek kajian ijtihad.
5. Untuk mengetahui macam-macam ijtihad.
6. Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid dan tingkatannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijtihad berasal dari akar kata ja ha da yang berarti kesulitan dan
kesusahan. Dari sudut ilm sharf kata ijtihad bentuknya mengikuti pola timbangan iftial yang
menunjukkan arti berlebih (mubalagah) dalam melaksanakn suatu perbuatan. Dengan demikian,
dapat dirumuskan bahwa berijtihad bukanlah kegiatan yang mudah atau ringan, tetapi mengandung
kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga dan daya pikir yang maksimal.[1]
Dilihat dari segi kebahasaan, kata ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan untuk
mewujudkan sesuatu. Maka, jika disederhanakan perumusannya, ijtihad bermakna kerja keras dan
bersungguh-sungguh, Dengan demikian, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan maksimal serta
mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dinamakan ijtihad dan pelakunya dinamai
mujtahid(Shuhufi,2012:11-12).
Kemudian, kata tersebut digunakan sebagai salah satu istilah dalam kajian ushul fiqh yang
bermakna usaha maksimal ulama fiqh dalam melakukan kajian untuk memperoleh ketentuan-
ketentuan hukum yang bersfat zanni. Dengan demikian, setiap terungkap istilah ijtihad dalam
pembahasan ilmu ushul fiqh, bermakna usaha-usaha maksimal yang dilakukan para ulama fiqh
untuk merumuskan pemikiran-pemikiran fiqh, baik berupa hasil pemahaman terhadap teks lafal
Alquran dan Sunnah, maupun hasil analisa terhadap persoalan-persoalan actual yang mereka
hadapi. Namun, kekuatan hukum hasil ijtihad bersifat sanni, yakni memiliki peluang benar dan
salah, dengan dugaan terkuat pada benarnya bukan pada salahnya(Shuhufi,2012:12).
Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan ijtihad sebagai pengerahan
daya upaya untuk sampai kepada hukum syara dari dalil yang terinci dengan sumber dari dalil-
dalil syara. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah mengartikannya sebagai daya upaya ahli hukum
Islam semaksimal mungkin dalam menginstinbatkan hukum praktis dari dalil-dalinya yang
terperinci. Muhammad Musa Tuwana juga memberikan definisi ijtihad yang senada yakni dalam
pengerahan segala upaya ahli hukum Islam dalam menggali hukum-hukum syara yang berstatus
cabang dari dalil-dalilnya(Misbahuddin,2014:130).
Istilah ijtihad itu tidak dapat dipisahkan dari istilah rayu (rasionalitas). Istilah rayu dapat
diartikan sebagai upaya pencarian dan perenungan terhadap masalah-masalah tertentu berdasarkan
Al-Quran dan hadis atau prinsip-prinsip umum syariat Islam. Merenung dan mentadabburi
sesuatu adalah pekerjaan rasio. Karena itu, istilah rayu tidak bisa dipisahkan dari kata aql. Al-
Quran sangat menganjurkan kepada umat Islam untuk memaksimalkan potensi akal. Dalam
kaitannya denga ijtihad dibidang fiqh, Imam al-Gazali menyatakan bahwa akal manusia hanya
dapat menetapkan hukum mengenail kasus-kasus tertentu yang secara eksplisit tidak terdapat
dalam wahyu. Pendapat ini mewakili pendapat Sunni pada umumnya. Bagi kelompok ini, wahyu
mempunyai kedudukan yang sangat menentukan dalam menetapkan
hukum(Misbahuddin,2014:131).
Menurut Misbahuddin(2014,131), dengan melakukan analisis dari beberapa definisi yang
dikemukakan tersebut dan membandingkannya dari berbagai sudut pandang, maka dapat ditarik
konklusi dari hakikat dan substansi dari ijtihad itu yaitu:
a. Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.
b. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.
c. Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang bersifat praksis.
d. Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.
B. Dasar Hukum Ijtihad
Menurut Effendi (2005,246), banyak alasan yang menunjukkan kebolehanmelakukan
ijtihad, antara lain :
1. Q.S An-Nisa ayat 59 :
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S: an-Nisa/4:59)
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Quran dan Sunnah, menurut Ali
Hasaballah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk
kembali kepada Allah dan Rasul_nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau
hadist yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan
menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah,
seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang
disebutkan dalam al-Quran karena persamaan illat-nya seperti dalam praktik qiyas (analogi),
atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang
dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat
itu.
2. Hadis yang diriwayatkan dari Muaz bin Jabal. Ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab
pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu
dengan Al-Quran, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad.
Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan : Segala pujian bagi Allah yang telah memberi
taufik atas diri utusa dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Arti
hadis tersebut secara lengkap sebagai berikut :
Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Muaz, sesungguhnya Rasulullah
SAW. Mengutus Muaz ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Muaz, atas dasar apa Anda
memutuskan suatu persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya ; kalau tidak
anda temukan dalam kitab Allah?, dia menjawab dengan dasar Sunnah Rasulullah SAW. Beliau
bertanya lagi : kalau tidak Anda temukan adalam Sunnah Rasulullah?, Muaz menjawab aku
akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata: Segala pujian bagi Allah yang telah
memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW. (HR.Tirmizi)
Menurut Syafei (2010,107-108), bagi seseorang yang sudah memenuhi persayratan
ijtihad, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijutihad, yaitu
:
1. Orang tersebut dihukum fardhuain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa
dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain,
karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa
hal itu termasuk hukum Allah.
2. Juga dihukumi fardhuain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.
Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan
hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
3. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan
habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai
seorang mujtahid.
4. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.
5. Dihukumi haram apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi,
sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara.
C. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad
Masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat
Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik di dalam Al-quran maupun Hadis. Adapun
hal-hal yang bersifat Qatiy, yakni hal-hal yang telah tegas dalilnya seperti wajibnya Shala, Zakat,
Puasa dan lain-lain tidak ada ijtihad padanya(Djalil,2010 :186).
Bila dilihat dari segi akal, tidaklah dapat dikatakan bahwa tiap-tiap hasil ijtihad itu benar.
Menurut akal, yang benar hanya satu yakni bila hasil ijtihadnya tepat. Apabila tidak tepat, berarti
dosa, hal ini ditentag oleh Al-Anbary dan Al-Jahiz. Menurut beliau, tiap-tiap mujtahid adalah
benar dan tidak ada dosa diatasnya(Djalil,2010 :186).
Menurut Djalil (2010:186), tentang kedudukan hasl ijtihad dalam masalah fiqh, terdapat
dua golongan, yaitu :
a. Golongan I
Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alas an karena dalam masalah
tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib
mengikuti hasil ijtihadnya mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam satu masalah adalah
karena berbedanya jangkauan mujtahid-mujtahid.
b. Golongan II
Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya
dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah.
Golngan ini beralasan bahwa Allah SWT telah meletakkan hukum tertentu pada satu masalah
sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat menjangkaunya, sedang terkadang
tidak. Demikian pendapat jumhur dan termasuk AsysyafiI, berdalil dengan hadis, yang artinya
: Siapa yang berijtihad dan ternyata benar, maka mendapat dua pahala, dan (orang yang
berijtihad) ternyata salah maka dapat satu pahala(H.R.Buchari dan Muslim).
Imam Syafiira (150H-240H), penyusun pertama Ushul Fiqh dalam bukunya Ar-Risalah,
ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Quran menegaskan: Maka tidak terjadi suatu
peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk
tentang hukumnya. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Quran yang bisa
menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu,
menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba
hukum-hukm dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketatan
seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalm
hal-hal yang diwajibkan lainnya(Effendi,2005:249).
Pernyataan Imam SyafiI diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad
disamping AL-Quran dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran
riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya
memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat
dipahami kecuali dengan ijtihad dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang
terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan mashalah mursalah. Hal
yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsiphukum dalam Al-Quran dan Sunnah
adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya
itu dapat menjawab berbagai permasalahn yang tidak terbatas jumlahnya (Effendi, 2005: 250).