Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Dalam Hak Cipta, kreasi independen dua seniman yang mirip memang
bisa sama-sama mendapat perlindungan, selama dapat dibuktikan bahwa
kreasi itu tidak dihasilkan dari niat buruk mencontek. Apalagi kalau
contekan itu berasal dari karya seni tradisional yang memang masih
sulit dilindungi secara menyeluruh oleh sistem Hak Kekayaan Intelektual
yang kini umum berlaku, yang umumnya diturunkan dari Perjanjian
Internasional TRIPS 1994 (Agreement on Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights 1994).
Milik bersama
Hak moral
Hak Cipta juga meliputi Hak Moral. Hak Moral tercantum dalam
Konvensi Bern dengan Malaysia dan Indonesia terikat di dalamnya. Hak
Moral bukan hak ekonomi, tetapi ada untuk melindungi integritas ciptaan
serta hak pencipta untuk tetap dicantumkan namanya, sekalipun ia sudah
tidak lagi memiliki hak untuk menerima keuntungan ekonomi dari
ciptaannya.
Jadi minimal, jika ada reproduksi atau pemakaian baru dari karya-karya
tradisi mereka, izin harus tetap dimintakan dan nama kelompoknya juga
harus tetap disertakan. Karena karakter Hak Cipta merupakan hak
individu, yang terjadi kemudian biasanya, seorang seniman Aborigin yang
telah memiliki otoritas dari kaumnya, membuat karya berdasarkan tradisi
mereka. Lalu, ketika karya itu diumumkan, ia mencantumkan namanya
sekaligus nama daerah atau kelompok masyarakat Aborigin yang
memberinya otoritas, sebagai satu kesatuan pemilik.
Selain itu, ada juga potensi perlindungan lain yang ditawarkan hukum,
yakni perlindungan terhadap tanda, nama atau indikasi asal suatu barang,
yang disebut perlindungan Indikasi Asal. Perlindungan ini terdapat dalam
Perjanjian Paris untuk Perlindungan Hak Kekayaan Industrial 1883 (The
Paris Convention for Protection of Industrial Property of 1883). Perjanjian
internasional tersebut melindungi hak-hak kekayaan intelektual selain
Hak Cipta. Sama dengan Konvensi Bern, perjanjian itu juga mengikat
Malaysia dan Indonesia. Perjanjian Paris melarang setiap barang beredar
dengan menggunakan Indikasi Asal yang salah atau menyesatkan.
Padahal, perlindungan Indikasi Asal tidak sesempit itu. Jika Indikasi Asal
diartikan sebagai bagian dari Indikasi Geografis dalam arti luas, hanya
saja belum didaftar, sejarah dan akar budaya setempat, termasuk tradisi
pembuatannya, justru adalah salah satu syarat utama perlindungan, di
samping faktor alamiah lainnya.
Selain itu, karya itu pun masih terbukti tetap dirawat, dikembangkan, dan
menjadi ekspresi identitas kelompok masyarakat yang tinggal di daerah
itu sebagai suatu kesatuan wilayah (cluster). Karena Indikasi Asal
cakupannya paling luas, maka kesatuan wilayah itu bisa saja mencakup
satu kota atau desa, beberapa desa yang bersebelahan dalam suatu
provinsi, sebuah pulau dalam suatu negara, dan bahkan wilayah suatu
negara. Contoh mudah, di dalam dompet atau tas Strandbag, salah satu
merek terkenal Australia, biasanya juga terdapat keterangan Made in
China, Imported by Strandbag, Australia. Keterangan Made in China
itulah Indikasi Asal.
Ternyata, ciri khas keju tradisional Feta, baik dari segi tradisi pembuatan
maupun asosiasi di benak sebagian besar konsumen, menunjukkan bahwa
Feta masih berakar kuat di Yunani. Maka, dengan besar hati, produsen
keju Feta di Perancis, Denmark, dan Jerman harus menghentikan
produksi mereka. Paling tidak, mengganti sebagian unsur produksi
mereka, termasuk pemakaian nama Feta yang terkenal itu, dalam jangka
waktu lima tahun sekaligus mengembalikan kontrol atas produk itu
kepada produsen lokal di Yunani.
Hak Kebudayaan
Singkatnya, Hak Moral, Hak Indikasi Awal, dan Hak Kebudayaan dapat
dipakai untuk tetap mempertahankan kekayaan budaya Indonesia. Untuk
menghormatinya, pemerintah Indonesia harus lebih tegas dan seluruh
masyarakat Indonesia pun harus lebih banyak belajar.
Penulis, esais, dosen Fakultas Hukum Unpad Bandung, dan kandidat Doktor di Law Faculty, University of