Вы находитесь на странице: 1из 12

Analisis “Psychology In Law”

Dalam Persidangan Tindak Pidana Terosisme


Terdakwa Abu Bakar Baasyir
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Psikologi Hukum

Oleh:

RABINDRA WICAKSANA 153112330020142

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NASIONAL
2015

Universitas Nasional
Jl.Sawo Manila, Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta 12520 (021)-7806700, fax 021-7802718website
www.unas.ac.id, Email : info@unas.ac.idEmail Hubungan Internasional :
intl_department@unas.ac.id
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1


1.1. Latar Belakang ..................................................................................................2

BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................4


2.1 Psychology in Law, Psychology and Law & Psychology of Law ....................4
2.2 Peran Psikologi dalam Hukum ...........................................................................5

BAB III Kajian, Anailisa dan Kesimpulan ..........................................................7


3.1 Analisa Kasus Menggunakan Metode Psychology In The Law .........................7
3.2 Kesimpulan ........................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................10


Bab I
Latar Belakang Kasus

Latar Belakang Kasus

Selasa, 12 April 2011 , 05:50:00


JPNN.com
Persidangan Abu Bakar Baasyir
Saksi Ahli Sebut Ada Unsur Terorisme

JAKARTA - Sidang latihan bersenjata dengan terdakwa Abu Bakar


Baasyir (ABB) kembali digelar kemarin (11/4) di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendatangkan psikolog Sarlito
Wirawan sebagai saksi ahli.

Dalam kesaksiannya, Sarlito menyebut, ada unsur terorisme pada latihan


bersenjata di hutan pegunungan Jantho, Aceh Besar, tersebut. Sebab,
terorisme adalah upaya untuk memunculkan perasaan takut pada masyarakat
luas.

Nah, rasa takut ituah yang kemudian dirasakan sebagian warga di sekitar
pegunungan tempat latihan bersenjata tersebut dihelat. Tepatnya adalah
beberapa orang yang berniat berburut yang sempat ditangkap, meski akhirnya
dilepaskan.

Indikator dari rasa takut tersebut, alumnus Universitas Indonesia itu, warga
yang sempat ditangkap tadi melapor ke polisi. Kondisi itu berbeda ketika
warga melihat latihan serupa yang dilakukan oleh personel TNI atau tentara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), meskipun sama-sama bersenjata.

Warga takut karena yang dilihat saat itu adalah warga asing. "Munculnya
ketakutan ini adalah unsur dari terorisme," tandasnya.

1
Unsur terorisme lainnya, lanjut Sarlito, adalah adanya motivasi tertentu
yang ingin dicapai oleh pembuat teror. Unsur terorisme lainnya, tiap kali
beraksi para teroris selalu ingin menyampaikan pesan.

"Para teroris juga tidak menghiraukan korban. Sering jatuh korban di luar
sasaran yang dituju," papar Sarlito.

Meski demikian, Sarlito menerangkan kalau kejadian di Aceh sejatinya


belum masuk dalam fase pelaksanaan aksi teror. Dia menjelaskan, para
peserta latihan bersenjata tersebut terpaksa melakukan aksi terorisme karena
dalam posisi terjepit.

"Pemicu utamanya adalah, mereka lebih dulu disergap polisi. Jadi, sempat
menimbulkan saling tembak yang semakin membuat warga takut," jelasnya.

Dampak ketakutan warga semakin menjadi setelah video rekaman latihan


bersenjata tersebut diunggah di internet dan juga tersebar lewat media massa.
Ketakutan yang dirasakan warga itu, lanjut Sarlito, bisa membekas sampai
tahunan. Terutama, bagi warga yang menyaksikan langsung pelatihan
bersenjata tersebut.

Selama Sarlito memaparkan kesaksian sesuai dengan bidang ilmu yang


dimiliki, ABB tidak mengikuti persidangan. Dia memilih mendekam
sementara di tahanan PN Jakarta Selatan. Setelah pemeriksaan saksi ahli
rampung, ABB baru masuk ruang sidang.
Terkait dengan kesaksian tersebut, ABB menilai jika keterangan dari ahli
itu sangat tekstual. "Insya Allah saya mengajukan saksi ahli agama," tandas
ABB.

2
Sidang pemeriksaan saksi ahli dilanjukan Rabu depan (13/4). Majelis
hakim masih mendengar satu keterangan saksi ahli dari JPU. Yaitu, Khoirul
Huda, ahli hukum pidana.

Koordinator Tim Pembela Muslim Achmad Michdan menambahkan,


keterangan dari Sarlito itu melampaui keahliannya. "Tidak bisa langsung
menyebut pelatihan bersenjata itu adalah terorisme," katanya.

Jika landasannya adalah ketakutan warga, Michdan mempertanyakan


apakah saksi ahli itu sudah melakukan konseling terhadap masing-masing
warga untuk mengetahui rasa ketakutan tersebut.

Sementara untuk saksi ahli yang meringankan ABB, Michdan mengatakan


akan meminta kesaksian dari pihak MUI. Saksi yang akan dibawa tersebut,
akan menjabarkan apakah latihan bersenjata atau disebut I?dad itu halal atau
haram

3
Bab II
Kajian Pustaka

A. Psychology In Law, Psychology And Law & Psychology Of Law


Hukum merupakan hal yang bisa dikatakan mempunyai pengaruh yang
dominan dalam kehidupan manusia untuk mengarahkan kehidupannnya ke arah
yan lebih baik. Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994; Kapardis, 1995)
membagi peran psikologi dalam bidang hukum: psychology in law, psychology
and law, psychology of law.
1. Psychology in law, merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum
seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan.
2. Psychology and law, meliputi bidang psycho-legal research yaitu penelitian
tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, pengacara,
terdakwa.
3. Psychology of law, hubungan hukum dan psikologi lebih abstrak, hukum
sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana masyarakat
mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.

Sedangkan Menurut Craig Haney (Curt Bartol, 1983: 20-22), bahwa


hubungan psikologi dan hukum dapat dilihat dengan tiga metode, yaitu :
“psychology can relate to law in three ways: psychology in the law,
psychology and the law, and psychology o the law”.…the psychology in the law
relationship is the most frequent application of psychology to the legal system. In
this situation, jurits use psychologists and their knowlegde for spesific cases, as by
having them testify about a defendant’s mental condition or consult with attorneys
regarding jury selection. …. psychology and the law, neither psychology nor law
dominates or dictates to the other. …. psychology of the law, concerns itself with
law as a determinant of behavior”.
Craig Haney menjelaskan setiap keterkaitan-keterkaitan psikologi dengan
undang-undang. Hubungan psikologi dalam undang-undang (psychology in the
law) merupakan aplikasi psikologi yang paling sering tampak terhadap sistem

4
hukum. Dalam situasi seperti ini, para juris menggunakan para psikolog dan
pengetahuan mereka untuk kasus-kasus spesifik, seperti dengan menyuruh mereka
memberikan kesaksian tentang kondisi mental seorang terdakwa atau
berkonsultasi dengan para lawyer tentang seleksi juri (dalam sistem peradilan di
negara Anglo Saxon).
Hubungan psikologi dan undang-undang (psychology and the law), psikologi
dipandang sebagai disiplin terpisah yang menganalisis dan menyelidiki sistem
hukum dari suatu persfektif psikologi dan mengembangkan riset dan teori
psikologi. Dengan kajian-kajian yang dirancang dengan baik dan perumusan teori
untuk menyatukan eksperimen-eksperimen, psikologi dapat mengembangkan
suatu kumpulan pengetahuan psikologi yang relevan dengan sistem hukum.
Apakah banyak asumsi hukum tentang perilaku manusia didukung secara
empiris? Dapatkah psikologi ruang sidang/pengadilan yang digunakan oleh para
lawyer didukung oleh prinsip-prinsip psikologi yang diperoleh melalui kajian
ilmiah yang cermat, dirancang dengan baik? Apakah para saksi mata yang begitu
serius diandalkan oleh sistem peradilan dalam pemberian vonis terhadap para
terdakwa secara umum akurat dalam persepsi-persepsi dan ingatan-ingatan
mereka tentang peristiwa-peristiwa yang mengelilingi kejahatan? Di dalam
hubungan psikologi dan hukum, psikologi berusaha untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti ini.
B. Peran Psikologi dalam Hukum
Menurut Costanzo (2006) peran psikologi dalam hukum sangat luas dan. Ia
memberikan tiga peran.
Pertama, psikolog sebagai penasehat. Para psikolog sering kali digunakan
sebagai penasehat hakim atau pengacara dalam proses persidangan. Psikolog
diminta memberikan masukan apakah seorang terdakwa atau saksi layak dimintai
keterangan dalam proses persidangan.
Kedua, psikolog sebagai evaluator. Sebagai seorang ilmuwan, psikolog
dituntut mampu melakukan evaluasi terhadap suatu program. Apakah program itu
sukses atau sesuai dengan tujuan yang ditetapkan? Program-program yang
berkaitan internvensi psikologis dalam rangka mengurangi perilaku

5
kriminal/penyimpangan, misalkan program untuk mencegah remaja untuk
menggunakan NAPZA. Apakah program tersebut mampu mengurangi tingkat
penggunaan NAPZA di kalangan remaja?. Untuk mengetahui hal tersebut, perlu
dilakukan evaluasi program.
Ketiga, Psikolog sebagai pembaharu. Psikolog diharapkan lebih memiliki
peran penting dalam sistem hukum. Psikolog diharapkan menjadi pembaharu atau
reformis dalam sistem hukum. Psikolog diharapkan mampu mengaplikasi ilmu
pengetahuannya ke dalam tataran aplikatif, sehingga sistem hukum, mulai dari
proses penangkapan, persidangan, pembinaan, dan penghukuman berlandaskan
kajian-kajian ilmiah (psikologis).

6
Bab III
Kajian, Analisa dan Kesimpulan

A. Analisa Kasus Menggunakan Metode Psychology In The Law


Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Bab II Kajian Pustaka,
menurut Craig Haney, hubungan psikologi dapat dilihat dengan tiga
metode yaitu psychology in the law, psychology and the law, and
psychology of the law. Dalam kesempatan kali ini penulis ingin kasus
Persidangan Abu Bakar Baasyir dengan difokuskan pada metode
psychology in the law.
Menurut Craig Haney, hubungan psikologi dalam undang-undang
(psychology in the law) merupakan aplikasi psikologi yang paling sering
tampak terhadap sistem hukum. Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum
menghadirkan psikolog Sarlito Wirawan sebagai saksi ahli. Saudara
Sarlito Wirawan berdasarkan keilmuannya dimintai untuk menyatakan
pendapatnya terkait latihan bersenjata di hutan pegunungan Jantho, Aceh
Besar dan apakah kegiatan itu memenuhi unsur terorisme.
Bahwa Jaksa Penuntut Umum memandangkan perlu dihadirkan
seorang saksi ahli yaitu Psikolog untuk menggungkap fakta bahwa
kegiatan tersebut memenuhi unsure-unsur terorisme.
Dalam persidangan tersebut saksi ahli Sarlito Wirawan menyatakan
bahwa ada dua hal setidaknya yang membuktikan bahwa latihan bersenjata
di hutan pegunungan Jantho, Aceh Besar memenuhi unsure terosisme
yaitu:
1. Saksi Ahli Sarlito Wirawan menyatakan bahwa terorisme adalah upaya
untuk memunculkan perasaan takut pada masyarakat luas.
Rasa takut itulah yang kemudian dirasakan sebagian warga di sekitar
pegunungan tempat latihan bersenjata tersebut dihelat. Yang terjadi
adalah beberapa orang yang berniat berburu yang sempat ditangkap,
meski akhirnya dilepaskan.

7
Indikator dari rasa takut tersebut adalah warga yang sempat ditangkap
tadi melapor ke polisi. Kondisi yang berbeda ketika warga melihat
latihan serupa yang dilakukan oleh personel TNI atau tentara Gerakan
Aceh Merdeka (GAM), meskipun sama-sama bersenjata.
Warga takut karena yang dilihat saat itu adalah warga asing.
"Munculnya ketakutan ini adalah unsur dari terorisme," tandasnya.

2. Unsur kedua adalah adanya motivasi tertentu yang ingin dicapai oleh
pembuat teror. Unsur terorisme lainnya, tiap kali beraksi para teroris
selalu ingin menyampaikan pesan.
Menurut Saksi Ahli Sarlito Wirawan, Para teroris juga tidak
menghiraukan korban. Sering jatuh korban di luar sasaran yang dituju,"
papar Sarlito.

Saksi ahli Sarlito Wirawan mengakhiri dengan menerangkan kalau


kejadian di Aceh sejatinya belum masuk dalam fase pelaksanaan aksi
teror. Dia menjelaskan, para peserta latihan bersenjata tersebut terpaksa
melakukan aksi terorisme karena dalam posisi terjepit.
"Pemicu utamanya adalah, mereka lebih dulu disergap polisi. Jadi,
sempat menimbulkan saling tembak yang semakin membuat warga takut,"
jelasnya.
Dampak ketakutan warga semakin menjadi setelah video rekaman
latihan bersenjata tersebut diunggah di internet dan juga tersebar lewat
media massa. Ketakutan yang dirasakan warga itu, lanjut Sarlito, bisa
membekas sampai tahunan. Terutama, bagi warga yang menyaksikan
langsung pelatihan bersenjata tersebut.

B. Kesimpulan
Bahwa karena ketidakmampuan hukum untuk mejelaskan suatu
peristiwa maka dipandang perlu suatu bidang keilmuan lainnya dalam hal
ini Psikologi untuk menyelesaikan suatu perkara. Langkah Jaksa Penuntut

8
Umum mengahadirkan menghadirkan psikolog Sarlito Wirawan sebagai
saksi ahli adalah untuk memastikan apakah terkait latihan bersenjata di
hutan pegunungan Jantho, Aceh Besar dan apakah kegiatan itu memenuhi
unsur terorisme.
Bahwa selanjutnya pendapat saksi ahli akan dipertimbangkan oleh
Majelis Hakim dalam pengungkapan fakta dan pengambilan keputusan
dalam persidangan.

9
DAFTAR PUSTAKA

http://www.jpnn.com/read/2011/04/12/89296/Saksi-Ahli-Sebut-Ada-Unsur-
Terorisme
Hendra Akhidhiat & Rosleny Marliani. 2011. Psikologi Hukum. Bandung : CV.
Pustaka Setia

10

Вам также может понравиться