Вы находитесь на странице: 1из 30

LAMPIRAN

Pada bagian lampiran ini akan disajikan sebuah tulisan reflektif tentang makna
kemahabaikan Tuhan dan adanya kejahatan dalam dunia ciptaan Tuhan ini, dalam perpektif
teologi Islam. Tulisan ini berasal dari orasi ilmiah yang disampaikan penulis pada acara
pengukuhan Guru Besar filsafat agama di STAIN Kediri, tanggal 21 September 2006.
251

JIKA TUHAN MAHA BAIK DARI MANAKAH DATANGNYA


KEJAHATAN: THEODICY DALAM KHAZANAH
INTELEKTUAL ISLAM KLASIK

Kagum dengan pendapat spiritual Dalai Lama, Richard Gere pernah


bertanya pada pemimpin spiritual Tibet ini tentang agama yang sebenarnya
dia anut dalam keseharian. Dengan senyum penuh di muka, Dalai Lama
menjawab agama saya yang sebenarnya adalah kebaikan. (Gede Prama,
2006).

Some years ago, when the “death of God” theology was a faud, I remember
seeing a bumper sticker that read: “My God’s not dead; sorry about yours,”
I guess my bumper sticker reads: “My God is not cruel; sorry about yours.”
(Harold S. Kushner, 1981).

PENDAHULUAN

Dalam mengawali perkuliahan Filsafat Agama, khususnya ketika berbicara tentang


keberadaan Tuhan, “menu” pertanyaan ini biasanya selalu dikemukakan lebih dulu sebagai
sajian pembuka: “Mengapa manusia harus berfilsafat jika Tuhan sudah memberi wahyu
untuk menunjukkan keberadaan diri-Nya?” Pertanyaan itu dapat dikemukakan dalam bentuk
sebaliknya: “Mengapa Tuhan perlu mengutus para nabi dan rasul untuk menunjukkan
keberadaan diri-Nya jika manusia dapat menemukan kebenaran tentang keberadaan Tuhan
melalui filsafat?”
Terhadap pertanyaan ini kajian Filsafat Agama biasanya selalu merujuk kepada St.
Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa jika Tuhan tidak mewahyukan diri-Nya maka
hanya sedikit orang yang memiliki pengetahuan tentang Tuhan. Dia menambahkan bahwa
tidak semua orang ditakdirkan menjadi filosof; dan hanya sedikit orang yang memiliki
kemampuan untuk menyusun pemikirannya agar bisa sampai pada pengetahuan tentang
adanya Tuhan. Di samping itu, diperlukan banyak waktu untuk mencapai tingkatan
intelektual yang terlatih sehingga orang bias berfikir secara filosofis. Tanpa wahyu manusia
juga tidak akan bias mengambil manfaat dari adanya dimensi spiritual dalam kehidupannya.
Yang jelas akal sangat terbatas dan mudah keliru, sehingga secara tidak sadar orang akan
sering terjerumus dalam kekeliruan cara berfikirnya. Wahyu, dengan demikian, akan
252

membetulkan atau mengkoreksi kesalahan cara berfikir manusia. Mengenai pertanyaan


kedua, Aquinas menjelaskan bahwa tidak semua orang mau menerima otoritas kitab suci
yang bersumber dari wahyu Tuhan. Oleh karena itu peran rasio masih sangat diperlukan
untuk meyakinkan mereka tentang kebenaran doktrin agama dengan memanfaatkan rumus-
rumus filsafat yang mendukung kebenaran doktrin agama tersebut.
Meskipun Kitab Suci dan akal bisa bekerjasama dan dapat dipandang sebagai satu
jalan dengan dua jalur untuk mengetahui adanya Tuhan, masih terdapat berbagai kebenaran
tentang Tuhan yang terlalu tinggi bagi akal manusia untuk menjangkaunya. Menurut para
teolog, kita masih perlu menerima kebenaran wahyu semata-mata dengan keyakinan, dan
keyakinan seperti itu akan memperkokoh apa yang kita anggap sebagai pengetahuan murni
tentang Tuhan. Keyakinan seperti itulah yang diperlukan manusia jika ia ingin mencapai
kesadaran tertinggi tentang Tuhan.
Ada dua pendapat tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan tentang
Tuhan: Pengetahuan tentang Tuhan hanya bisa diperoleh melalui pernyataan Tuhan sendiri
melalui wahyu-Nya; dan melalui cara alternatif yang diperoleh dengan pemikiran rasional
semata. Akal, tanpa bantuan wahyu, mampu memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Dari
perspektif inilah maka muncul dua bentuk teologi, yaitu teologi wahyu dan teologi natural.
Wahyu, dengan demikian, merupakan pernyataan diri Tuhan yang ditangkap manusia
lewat berbagai medium, bias berupa mimpi, firman yang disampaikan, atau melalui tindakan
Tuhan dalam perjalanan sejarah manusia. Dalam agama Yahudi Tuhan menyampaikan
wahyu-Nya berdasarkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan bangsa Israel. Dalam
agama Kristen Tuhan menyampaikan wahyu-Nya melalui pernyataan diri Yesus Kristus dari
Nazareth. Dalam hal ini Kitab Suci adalah bentuk rekaman dari pernyataan diri Tuhan. Akal,
yang menjadi landasan bagi perumusan teologi natural, menegaskan bahwa alam (nature)
sendiri telah memberikan bukti-bukti bukan saja tentang adanya Tuhan, tetapi juga tentang
sifat-sifat-Nya.
Penegasan bahwa akal, tanpa bantuan wahyu, mampu memperoleh pengetahuan
tentang Tuhan didasarkan pada asumsi bahwa sudah menjadi watak akal manusia untuk
mencari pengetahuan semacam itu. Tokoh utama dalam teologi natural adalah St. Thomas
Aquinas. Dia berkeyakinan bahwa kemampuan akal manusia untuk mencapai pengetahuan
tentang adanya Tuhan hampir tanpa batas.

ARGUMEN MENENTANG TEISME


253

Meskipun kajian Filsafat Agama hanya didominasi oleh upaya-upaya untuk


membuktikan adanya Tuhan, ada juga sejumlah argumen yang mencoba menolak bukti-bukti
teisme tersebut. Orang-orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan, terutama kaum
materialis, menuduh bahwa pengetahuan yang diberikan oleh agama tentang adanya Tuhan
dan klaim kebenaran lainnya hanyalah ilusi, khayalan belaka. Paling tidak, pengetahuan yang
diberikan oleh agama itu tidak meyakinkan dan tidak bisa membawa kepada kebenaran.
Secara a priori, bukti-bukti yang menentang keberadaan Tuhan menyebutkan bahwa konsep
tentang keberadaan Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang secara logika incoherent, tidak
selaras. Di sisi lain, secara a posteriori dinyatakan bahwa dunia dengan keadaannya seperti
ini lebih tepat jika disebut tidak menunjukkan adanya Tuhan. Argumen-argumen yang
menentang keberadaan Tuhan ini biasanya meliputi the presumption of atheism, the problem
of evil, problem with omnipotence, heaven and hell, immortality, petitionary prayers, dan the
arguments from autonomy. Dalam tulisan ini hanya dibahas satu aspek saja dari sekian
asumsi atheisme tersebut, yaitu the problem of evil, khususnya bagaimana persoalan ini
dibahas dalam khazanah pemikiran Islam abad tengah, dengan mengacu pada salah satu
pemikir Mu’tazilah generasi kedua, al-Qadi ‘Abd al-Jabbar al-Hamadzani (w. 1025).
Sebagaimana agama-agama besar lain di dunia, Islam memandang adanya kejahatan
sebagai suatu probelam yang teramat rumit, dan telah mengakibatkan banyak perselisihan di
antara para ahli teologi. Hampir semua orang pernah mengalami adanya kejahatan. Tetapi
tidak setiap orang menaruh perhatian terhadap bagaimana kejahatan itu muncul di dunia ini.
Di satu sisi, kejahatan dirasakan sebagai suatu ancaman yang datang dari luar terhadap diri
kita, dan menjadikan diri kita sebagai korban. Di sisi yang lain, manusia sendiri bisa berbuat
jahat, atau bahkan menjadi sumber kejahatan, seperti mengakibatkan orang lain menderita. 1
Terjadinya kejahatan di dunia ini telah membangkitkan berbagai bentuk pemikiran spekulatif
di antara para ahli teologi dan filosof terkait dengan sifat Tuhan, sebab jika memang Tuhan
adalah maha baik dan benar-benar maha perkasa maka tentunya dia berkuasa untuk
menghilangkan kejahatan. Tetapi karena kejahatan masih selalu terjadi di dunia ini maka
kesimpulan yang segera muncul ialah Tuhan tidak benar-benar maha baik dan maha kuasa.2
Dalam kerangka monoteisme, terjadinya kejahatan sering disebut sebagai hambatan
terbesar bagi keimanan. Adanya kejahatan telah menjadi teka-teki teramat pelik bagi
monoteisme sebab Tuhan bukan saja diyakini sebagai sumber segala kebaikan, tetapi juga
sebagai pencipta dari semua makhluk yang serba terbatas, sedang Tuhan sendiri kekuasaan-

1
Paul Ricoeur, “Evil,” The Encyclopedia of Religion (New York: Macmillan, 1987), vol. 5, h. 200.
2
John Hick, Evil and the God of Love (London: Macmillan, 1960), h. 5.
254

Nya tiada terbatas.3 Islam sebagai agama monoteis juga menganggap adanya kejahatan
sebagai suatu persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan mudah. Sejak awal pertumbuhan
teologi Islam, problem tentang kejahatan ini telah menjadi salah satu persoalan yang paling
banyak dibicarakan di antara para ahli teologi. Bahkan sebenarnya problem kejahatan ini pula
yang telah menjadi subjek perdebatan paling serius di awal pembentukan teologi Islam,
terkait dengan persoalan “pelaku dosa besar.” 4 Persoalan ini pula yang telah memunculkan
berbagai aliran teologi dalam Islam, dari yang cenderung rasionalistis hingga fatalistis, dan
aliran sempalan yang sangat ekstrim. Semua aliran ini muncul sebagai bentuk respon atas
wacana bagaimana “menghukumi” status pelaku dosa besar tersebut, apakah dia masih bisa
disebut mukmin atau sudah masuk dalam kategori kafir.
Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar al-Hamadzani, sebagai seorang tokoh Mu’tazilah yang sangat
produktif, di dalam mengembangkan wacana teologisnya tidak lepas dari pijakan awal yang
menjadi “titik tolak bersama” para mutakallimin tersebut. Namun di dalam kajian yang telah
ia kembangkan dalam berbagai karyanya, terutama al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa’l-‘Adl
dan Syarh al-Ushul al-Khamsaah, persoalan pelaku dosa besar ini sidah tidak lagi menjadi
fokus perhatiannya, tetapi telah dikembangkan pada aspek yang lebih luas, terkait dengan arti
tanggungjawab manusia di hadapan kemahakuasaan dan kemahaadilan Tuhan. Pelaku dosa
besar pada hakekatnya adalah orang yang melakukan tindak kejahatan. Apa yang disebut
sebagai kejahatan? ‘Abdul al-Jabbar menggunakan istilah al-qabih, al-syarr dan al-fasad
untuk menunjuk arti kejahatan, yang kesemuanya adalah sinonim.5 Tulisan ini akan mengkaji
pandangan ‘Abd al-Jabbar tentang problem kejahatan dan untuk menjelaskan bagaimana dia
mempertahankan makna kemahaadilan Tuhan, sebagai salah satu doktrin pokok Mu’tazilah.
Berbicara tentang kemaha-adilan tuhan dihadapkan pada realitas kejahatan itulah sebenarnya
yang menjadi inti persoalan theodicy. Namun terlebih dahulu akan dibahas arti kejahatan
secara teoritis sebagai kerangka acuan untuk mengkaji pandangan-pandangan ‘Abd al-Jabbar
selanjutnya.

3
Geddes MacGregor, Philosophical Issues in Religious Thought (Boston: Houghton Mifflin, 1973), h. 147.
4
Dosa besar (al-kaba’ir), sebagaimana ditulis oleh Zuhdi Hasan Jar Allah, terdiri dari dua jenis: pertama adalah
syirik atau menyekutukan Tuhan, suatu dosa yang tak akan diampuni dan pelakunya akan kekal selamanya di
neraka; dan kedua ialah dosa yang lebih ringan dari yang pertama, tetapi masih tetap merupakan dosa yang
serius. Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagaimana dikutip pula oelh Jar
Allah, dosa besar ini meliputi pembunuhan yang dilarang oleh Allah, kecuali dengan alas an yang legal, mencaci
maki orang tua, memberikan kesaksian yang palsu, sihir, memakan harta anak yatim, memakan harta riba,
meninggalkan medan perang, dan menuduh berbuat orang perempuan berbuat zina. Lihat Zuhdi Hasan Jar
Allah, al-Mu’tazilah (Kairo: Syirkat al-Musahamat al-Misriyah, 1947), h. 15. Hadits dikutip dari Sahih Muslim,
vol. 1, h. 63-64. Perbuatan dosa besar yang dimaksud dalam konteks ini ialah pembunuhan terhadap Utsman b.
Affan, khalifah ketiga.
5
‘Abd al-Jabbar al-Hamadzani, al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa’l-‘Adl, vol. 14, h. 41-42; George F. Hourani,
Islamic Rationalism: The Ethics of ‘Abd al-jabbar (Oxford: Clarendon Press, 1971), h. 49.
255

KEJAHATAN DALAM WACANA TEOLOGI DAN FILSAFAT

Adanya kejahatan di dunia ini telah menimbulkan banyak pemikiran spekulatif


tentang Tuhan. Seperti telah disinggung di muka, pemikiran spekulatif tersebut bisa
berbentuk apakah Tuhan benar-benar Maha Kuasa, atau bahkan yang lebih ekstrim lagi,
apakah Dia benar-benar ada. Persoalan ini sampai sekarang masih cukup krusial untuk
dibicarakan, meskipun hal ini telah dibahas oleh Epicurus (341-270 S.M.). Tentang adanya
kejahatan ini Epicurus menyatakan:

Mungkin Tuhan berkehendak untuk menghilangkan kejahatan dan Dia tidak mampu;
atau Dia mampu tetapi tidak berkehendak; atau sebenarnya Dia menghendaki dan
mampu. Jika Dia menghendaki tetapi tidak mampu berarti Dia lemah, hal mana tidak
sesuai dengan sifat Tuhan. Jika Dia mampu tetapi tidak menghendaki berarti Dia
bersifat irihati, yang tentunya tidak selayaknya terjadi pada diri Tuhan. Jika Dia tidak
menghendaki dan tidak juga mampu berarti dia lemah dan irihati, dan oleh karenanya
Dia bukan Tuhan. Jika Dia berkehendak dan mampu, hal mana sesuai dengan sifat
Tuhan, maka dari manakah sumber kejahatan itu? Atau mengapa Dia tidak mau
menghilangkan kejahatan itu?6

Berdasarkan pandangan Epicurus di atas, dapat diasumsikan bahwa jika Tuhan adalah
mahabaik dan benar-benar mahakuasa, Dia pasti mampu menghilangkan semua bentuk
kejahatan masih banyak dijumpai di dunia ini, sehingga dapat disimpulkan lebih jauh:
Mungkin Tuhan tidak mutlak baik, atau kekuasaan-Nya terbatas.7 Atau, dengan ungkapan
yang lebih sederhana, Tuhan tidak bisa disebut mahakuasa sekaligus mahabaik jika kejahatan
itu nyata kelihatan di dunia ini.8 Hampir sama dengan ungkapan di atas, St. Agustine, ahli
teodisi ternama Abad Tengah, menyatakan: “Bisa jadi Tuhan dapat menghapuskan kejahatan
atau Dia tidak meghendakinya. Jika Dia tidak dapat maka Dia bukan mahakuasa, dan jika Dia
tidak menghendaki maka Dia bukan yang mahabaik.”9 Pandangan yang lain lagi
dikemukakan oleh St. Thomas Aquinas yang secara tegas menempatkan kemahakuasaan
Tuhan dalam pengertian kemahabaikan-Nya yang tak terbatas (infinite goodness),
sebagaimana diungkap kembali oleh M.B. Ahern dalam kutipan berikut: “Jika satu atau dua
hal yang tidak bertentangan adalah tidak terbatas, yang lain akan disisihkan secara pasti.

6
M.B. Ahern, The Problem of Evil (London: Routledge & Kegan Paul, 1971), h. 2.
7
John Hick, Evil and God of Love (London: McMillan, 1966), h. 5.
8
H.J. McCloskey, “God and Evil,” The Philosophical Quarterly, vol. 10, no. 39 (1960), h. 97.
9
John W. Steen, “The Problem of Evil: Ethical Consideration,” Canadian Journal of Theology, vol. 11, no. 4
(1965), h. 255, dikutip dari Augustine, Confession, Buku ke-7, Bab 5.
256

Tetapi Tuhan adalah kebaikan yang tak terbatas. Oleh karena itu jika Tuhan ada maka
kejahatan harus musnah. Tetapi kejahatan tetap ada. Konsekwensinya Tuhan tidak ada.” 10
Pembahasan tentang kejahatan telah mendapat perhatian begitu besar dari para
pemikir klasik dan Abad Tengah. Namun sampai sekarang pun persoalan ini masih terus
menjadi perdebatan yang tak pernah bisa diselesaikan di antara para teolog, dan dipandang
sebagai teka-teki atau misteri yang tak pernah bisa diungkap secara tuntas. Menurut J.L.
Macky, kejahatan merupakan suatu problem hanya bagi orang yang percaya akan adanya
Tuhan yang bersifat mahakuasa dan mahabaik. Oleh karena itu, adanya kejahatan bukanlah
problem ilmiah maupun problem praktis, tetapi problem logika yang menuntut seseorang
mampu menjelaskan dan mengompromikan sejumlah keyakinan. Dengan demikian adanya
kejahatan tidak bisa dikesampingkan bagitu saja dengan mengatakan kejahatan adalah
sesuatu yang harus dihadapi, bukan sekedar untuk diwacanakan.11
Di samping kecenderungan untuk memandang kejahatan sebagai suatu misteri yang
runit untuk dipecahkan, ada pemikir lain yang cenderung menyederhanakan persoalan
tersebut dengan menyatakan meskipun kejahatan adalah suatu problem yang dapat
dinyatakan dengan ungkapan sederhana, ia tetap merupakan persoalan yang amat krusial.
Seandainya benar bahwa Tuhan yang mahabaik dan mahakuasa harus menciptakan suatu
dunia yang bebas dari segala bentuk kejahatan apa pun, adanya kejahatan mengharuskan
adanya beberapa kemungkinan berikut: Mungkin Tuhan tidak ada, atau mungkin Dia bukan
yang mahakuasa atau bukan yang mahabaik; atau mungkin ada dua kekuatan, yang satu baik
dan tidak satu pun yang mahakuasa.12 Semua penjelasan ini menunjukkan bahwa realitas
kejahatan bertentangan dengan ide tentang adanya Tuhan. Oleh karena itu signifikansi
pembahasan mengenai problem kejahatan ialah problem mendamaikan hipotesa antara
adanya Tuhan yang mahabaik dengan adanya kejahatan dan dunia yang serba tidak
sempurna. Atau, karena sifat mahakuasa sudah bisa dipandang sebagai sifat yang pasti ada
pada Tuhan maka muncullah pertanyaan bagaimana mungkin Tuhan bisa menjadi mahakuasa
dan sekaligus mahabaik jika masih ada kejahatan.13
Berkenaan dengan hakekat kejahatan itu sendiri, John Hick menyatakan bahwa pada
umumnya kejahatan dapat dibedakan menjadi dua bentuk: kejahatan moral dan kejahatan
non-moral. Kejahatan moral adalah segala bentuk immoralitas atau semua kejahatan yang

10
M.B. Ahern, The Problem of Evil, h. 3, dikutip dari St. Thomas Aquinas, Summa Theologicae, vol. 1,
Pertanyaan 2, Artikel 3.
11
J.L. Macky, “Evil and Omnipotence,” Mind, vol. 64, no. 254 (1962), h. 187.
12
H.J. McCloskey, “ The Problem of Evil,” The Journal of Bible and Religion, vol. 30, no. 3 (1962), h. 187.
13
Ibid.
257

berasal dari tingkah laku dan sifat manusia, seperti sifat egoistis, irihati, tamak, curang,
dengki, pengecut, atau dalam bentuk yang lebih besar: peperangan. Sedangkan kejahatan
non-moral ialah kejahatan yang timbul di luar perbuatan manusia. Kejahatan jenis ini
termasuk semua kejahatan fisik dan alamiah (physical and natural evil) yang mengakibatkan
penderitaan dan kerugian pada manusia, baik secara fisik maupun mental. 14 Di samping
kejahatan dalam kategori moral dan non-moral, John Hick mengemukakan tipe lain dari
kejahatan, yaitu yang disebut kejahatan metafisik (metaphysiscal evil). Kejahatan ini pertama
kali dirumuskan oleh Leibniz dan menunjuk pada fakta dasar tentang keterbatasan atau
adanya kekurangan yang terdapat pada alam semesta, dan diasumsikan sebagai penyebab
utama dari timbulnya segala bentuk kejahatan, berupa ketidaksempurnaan alam yang tak
mungkin dihindari.15
Berdasarkan penjelasan di atas maka kejahatan sebagai suatu problem dapat dibahas
dengan skema sebagai berikut: Kejahatan sebagai sesuatu yang tidak riil, kejahatan karena
tidak diperolehnya suatu kebaikan, kejahatan sebagai sesuatu yang riil tetapi dapat
dibenarkan keberadaannya, dan kejahtan moral (evil as unreal, evil as privation, evil as real
but justified, and moral evil).16

Kejahatan sebagai Sesuatu yang Tidak Riil (evil as unreal)

Pertanda ini pertama kali dikemukakan oleh Plotinus (c. 205-270). Ia menganggap
kejahatan sebagai sesuatu yang tidak memiliki realitas. Dia melandasi pandangannya pada
suatu kenyataan bahwa kejahatan adalah suatu tingkat di mana suatu wujud masih tergantung
pada materi, atau sekedar tahapan yang diperlukan dalam sejarah perkembangan alam
semesta. Plotinus sebagaimana dikutip oleh Pistorius, beranggapan bahwa setiap wujud
memiliki sisi yang jahat dan sisi yang baik.17 Lebih tegas dikatakan bahwa kejahatan
hanyalah apa yang Nampak dari luar, sekedar sebagai aspek, pendapat yang keliru, dan
karena adanya pandangan yang terbatas dalam memandang sesuatu. 18 Oleh karena itu
kejahatan hanyalah khayalan yang keberadaannya dianggap sebagai bagian dari realitas yang

14
Hick, Evil and the God of Love, h. 18. Lihat juga A.M. Fairbrain, The Philosophy of The Christian Religion
(New York and London: McMillan, 1902), h. 134.
15
John Hick, Evil and the God of Love, h. 19. Lihat pula W.D. Niven, “Good and Evil,” Encyclopedia of
Religion and Ethics (New York: Charles Scribner’s sons, 1955), vol. 6, h. 324-325.
16
Skema ini mengikuti uraian yang dibuat oleh H.J. McCloskey, dalam “The Problem of Evil,” h. 187-197.
17
Philippus W. Pistorius, Plotinus and Neoplatonism: An Introductory Study (Cambridge: Bowes and Bowes,
1952), h. 122.
18
Benjamin Fuller, The Problem of Evil in Plotinus (Cambridge: The University Press, 1912), h. 21.
258

disalahfahami. Dia merupakan suatu tahapan yang harus ditempuh untuk mencapai suatu
kesempurnaan, dan oleh karena itu keberadaannya dapat dibenarkan demi tercapainya suatu
tujuan tertentu, atau sebagai suatu faktor integral dalam mencapai kesempurnaan itu sendiri. 19
Jika ide tentang kejahatan sebagai sesuatu yang tidak riil ini diterapkan pada kejahatan
fisik atau alam maka kepedihan dan penderitaan bukanlah kejahatan dalam arti yang
sebenarnya dan demikian pula semua bentuk penyimpangan gejala-gejala alamiah. Hal
tersebut harus difahami sebagai sesuatu yang seharusnya terjadi karena sebab-sebab tertentu
atau karena proses hokum alam yang belum dimengerti. Orang bisa saja mengatakan bahwa
kepedihan dan penderitaan akibat bencana alam dan lain-lain tersebut sebagai kejahatan,
karena ia tidak melihatnya dalam konteks keseluruhan secara utuh. Oleh karena itu
penderitaan yang dialami saat ini bisa disebut tidak seberapa nilainya jika dibandingkan
dengan kejayaan (pahala) yang akan diperoleh oleh manusia kelak, atau bisa dianggap
sebagai sesuatu dengan apa keseluruhan pengalaman hidup akan berproses menjadi lebih baik
dan lebih sempurna.20
Sudah menjadi keyakinan banyak orang bahwa tiada kebahagiaan tanpa penderitaan.
Paling tidak, banyak penderitaan yang merupakan prasyarat bagi diperolehnya kebahagiaan.
Adanya kejahatan bisa dianggap sebagai cobaan bagi manusia untuk bisa mencapai hasil
yang lebih besar. Tidak jarang pula adanya kejahatan bisa dianggap sebagai cobaan bagi
manusia untuk bisa mencapai hasil yang lebih besar. Tidak jarang pula adanya kejahatan bisa
dibenarkan karena berfungsi untuk mengingatkan orang terhadap kemungkinan terjadinya
kejahatan (baca: bahaya) yang lebih besar. Rasa lapar itu sendiri bisa mengakibatkan rasa
sakit. Tetapi ia bisa berfungsi sebagai peringatan bahwa tubuh kita memerlukan tambahan
energy agar kita terhindar dari bahaya yang lebih buruk. Jika tubuh kita tidak peka terhadap
suhu dingin atau panas, mungkin kita tidak akan peduli dengan membekunya atau
terbakarnya bagian tubuh kita. Jika tidak, hal itu pasti akan membahayakan tubuh kita sendiri.
Apabila luka tidak mengakibatkan rasa sakit, keberadaannya mungkin akan dibiarkan saja,
dan hal itu tentu akan berakibat lebih fatal bagi tubuh kita. Jadi rasa sakit bisa berfungsi
sebagai sistim peringatan yang diberikan kepada kita, sebagaimana halnya lampu lalu lintas
di jalan raya yang sangat diperlukan untuk menjaga keselamatan para pengguna jalan,
meskipun kadang-kadang dirasa mengganggu. 21
Kejahatan karena Tidak Diperolehnya Kebaikan (evil as privation of good)

19
Ibid.
20
Ibid.
21
H.J. McCloskey, God and Evil (The Hague: Martinus Nijhoff, 1974), h. 87.
259

Kejahatan jenis ini biasanya dibicarakan dengan mengacu kepada ungkapan yang
sering dikemukakan oleh St. Augustinus, privatio boni, tidak tercapainya suatu kebaikan.22
Pendapat bahwa terjadinya kejahatan adalah karena tidak diperolehnya kebaikan yang
semestinya merupakan jalan tengah antara kejahatan sebagai sesuatu yang tidak riil dengan
kejahatan sebagai sesuatu yang benar-benar riil. Oleh sebab itu pandangan ini dapat dipakai
untuk menolak anggapan bahwa Tuhan bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan.23 Dalam
hal ini St. Augustine menyatakan bahwa kejahatan tidak memiliki hakekat tetapi sekedar
hilangnya suatu kebaikan.24
Tetapi pandangan tentang kejahatan dalam arti tidak diperolehnya kebaikan ini bukan
sekedar hilangnya kebaikan dalam arti seperti sebatang pohon yang tidak memiliki nyawa
sebagaimana layaknya makhluk hidup yang lain. Lebih dari itu, bukanlah suatu kejahatan
apabila suatu makhluk diciptakan dalam tingkat wujud yang lebih rendah dari yang lain:
suatu makhluk yang diciptakan dalam bentuk cacing adalah tidak lebih jelek dari yang
diciptakan dalam bentuk singa. Oleh karena itu manusia yang tidak bermoral adalah orang-
orang yang tindakannya timbul dari tatanan yang kurang baik, sebagaimana halnya kejahatan
fisik timbul dari tidak tercapainya suatu bentuk kebaikan sebagaimana semestinya. 25 Secara
umum pandangan ini menyebutkan bahwa kejahatan adalah sesuatu yang negatif, berupa
kekurangan dan kehilangan. Lebih lanjut St. Augustine menyatakan bahwa ketika tubuh kita
merasa sakit atau terluka maka itu sama artinya dengan terganggunya kesehatan kita. Jika kita
senbuh dari penyakit atau dari luka maka hal itu sama artinya dengan hilangnya penyakit
tersebut, yang berarti penyakit atau luka itu sudah tidak memiliki wujud lagi di tubuh kita.26
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa St, Augustine terlalu simplistis dan
sekaligus merefleksikan cara berfikirnya yang terlalu optimistis tentang dunia ini. Dia melihat
kejahatan sebagai bagian dari keseluruhan gambaran metafisis alam semesta, terutama
diakibatkan oleh pandangan Kristen dalam menginterpretasikan kehidupan, di mana ide
tentang privatio boni memperoleh arti dan pembenarannya. Karena dunia ini diciptakan oleh
Tuhan yang mahakuasa dan mahabaik, kejahatan tidak bisa disebut sebagai bagian yang

22
Hick, Evil and The God of Love, h. 53.
23
McCloskey, “The Problem of Evil,” h. 189.
24
St. Augustine, The City of God (London: J.M. Dent & Son, 1947), h. 320.
25
McCloskey, “The Problem of Evil,” h. 189.
26
St. Augustine, Enchiridion or Manual to Laurentinus Concerning Faith, Hope, and Charity, translated by
Ernest Evan (London: S.P.C.K., 1953), h. 8.
260

positif atau pokok dari alam semesta, tetapi sekedar hilangnya ukuran, bentuk, dan tatanan
alamiah yang semestinya, atau sekedarpenyalahgunaan dari sesuatu yang sebenarnya baik.27
Senada dengan penjelasan St. Augustine di atas, St. Thomas Aquinas dalam Summa
Theologicae menyebutkan:

Kejahatan menunjukkan tidak adanya kebaikan. Tetapi tidak semua hilangnya


kebaikan itu adalah kejahatan, karena hilangnya kebaikan dapat disebut dalam
pengertian privatif dan negatif. Tiadanya kebaikan secara negatif bukanlah kejahatan.
Jika anggapan ini dilanjutkan maka akan dapat disimpulkan sesuatu yang tidak
diperoleh adalah jahat dan juga bahwa segala sesuatu akan jadi jahat karena tidak
memiliki kebaikan yang terdapat pada subjek yang lain, seperti manusia akan jadi
jahat karena ia tidak memiliki suara selembut suara burung atau tidak memiliki
kekuatan seekor singa. Tetapi tiadanya kebaikan dalam pengertian privatifnya adalah
jahat; sebagaimana hilangnya penglihatan adalah kebutaan.28

Dari uraian di atas jelas bahwa Thomas Aquinas menganggap kejahatan, dalam
pengertian paling dasar, adalah hilangnya atau tiada diperolehnya suatu kebaikan, meskipun
bukan setiap tiadanya kebaikan adalah jahat. Karena tiadanya kejahatan bisa disebabkan oleh
faktor negatif dan privatif, dapat difahami bahwa tidak adanya atau tidak dimilikinya
kebaikan sesuai dengan tabiat seseorang adalah jahat. Sebagai contoh adalah tidak jahat sama
sekali bagi seseorang jika ia tidak memiliki sayap, sebab sayap bukan sesuatu yang amat
diperlukan oleh tabiat manusia. Yang benar-benar akan menjadi jahat ialah jika ia tidak
memiliki tangan, sebab sudah menjadi tabiat manusia untuk memiliki tangan tersebut.

Kejahatan sebagai sesuatu yang riil tetapi dibenarkan keberadaannya

Pandangan bahwa adanya kejahatan dapat dibenarkan mengacu kepada pengertian


umum tentang problem kejahatan, dengan mempertanyakan apakah suatu kejahatan secara
moral dapat dibenarkan jika Tuhan yang mahakuasa dan mahabaik benar-benar ada. Jika
adanya kejahatan dapat dibenarkan maka kebaikan (dalam bentuk kompensasi yang
sebanding atas kejahatan tersebut) tampaknya akan menjadi satu-satunya kriteria yang paling
cocok untuk membenarkannya. Maksudnya, terjadinya suatu kejahatan harus seimbang
dengan kebaikan yang akan diperoleh dan bahwa kebaikan tidak bisa dicapai tanpa
melakukan kejahatan tersebut. Ini semua, menurut Ahern, merupakan syarat untuk
diperolehnya pembenaran atas terjadinya kejahatan. Sebagai contoh, secara moral pengendara

27
Hick, Evil and The God of Love, h. 60.
28
St. Thomas Aquinas, Summa Theologicae, translated by Fathers of the English Dominican Province (New
York: Benzinger Brothers, 1974), vol. 1, h. 250.
261

mobil dibenarkan untuk sedikit mencederai seseorang agar ia dapat menghindari bahaya yang
lebih besar, meskipun ia juga harus menyadari bahwa orang tersebut tidak pernah mau
membenarkan tindakan pengemudi mobil itu. Sekalipun demikian, bukan berarti bahwa jika
kejahatan semacam ini dapat dibenarkan pelakunya akan dibiarkan begitu saja tanpa suatu
tuntutan. Kesengajaan dalam menimpakan kejahatan tersebut, dalam batas-batas tertentu,
tetap merupakan kejahatan. Rasa sakit yang biasanya menyertai pembedahan (operasi)
seharusnya tidak secara sengaja ditimpakan kepada penderita, apabila pelaku pembedahan
tersebut secara moral ingin bebas dari tuntutan.29
Berkenaan dengan pendapat bahwa kejahatan non-moral atau kejahatan alamiah
adalah sesuatu yang riil tetapi bisa dibenarkan biasanya didasarkan pada keyakinan bahwa
kejahatan berfungsi sebagai peringatan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia agar mau
mengakui kekuasaan-Nya, atau berfungsi sebagai hukuman Tuhan atas dosa-dosa manusia.
Dalam hal ini Tuhan menyatakan kekuasaan-Nya dengan menyebabkan timbulnya bencana
alam, dengan harapan manusia akan merespon kejadian-kejadian itu dengan perasaan gentar,
sehingga mereka mau tunduk dengan menyembah dan mentaati perintah-perintah-Nya, serta
moral mereka akan menjadi lebih baik. Biasanya kepercayaan seperti ini dikaitkan dengan
tradisi keagamaan mengenai doktrin tentang pertobatan dan keabadian jiwa. 30
Namun persoalan ini masih banyak diperselisihkan: apakah bencana bisa mendorong
tercapainya perbaikan moral dengan membangkitkan sikap takut atau hormat kepada Tuhan?
Sebaliknya bencana alam seperti itu mungkin justru akan mengakibatkan sikap skeptis atau
bahkan mengingkari kebaikan Tuhan sendiri. Jika Tuhan sengaja menimbulkan bencana alam
dengan tujuan membangkitkan sikap hormat mereka pada-Nya maka akan sulit dimengerti
bahwa Tuhan itu mahabaik dan mahatahu. Pertanyaan lain bisa dikemukakan: mengapa
Tuhan harus menggunakan bentuk-bentuk kejahatan fisik semacam itu untuk mencapai tujuan
tujuan tersebut dan tidak memilih cara-cara yang lebih baik yang semestinya ada pada-Nya.31
Apa pun alasannya, penderitaan yang ditimpakan akan melebihi atau tidak sebanding dengan
nilai kebaikan yang akan diperoleh. Lebih dari itu, banyak penderitaan yang justru
mengakibatkan kejahatan moral lebih lanjut, seperti perasaan tersisih, egoistis, sikap
pengecut, licik, dan sikap-sikap negatif lainnya.
Argumen bahwa kejahatan fisik dianggap sebagai hukuman Tuhan atas perbuatan
dosa manusia sering dikaitkan dengan bencana alam seperti gempa, banjir, gunung meletus,

29
Ahern, The Problem of Evil, h. 23.
30
McCloskey, God and Evil, h. 90.
31
Ibid., h. 91.
262

dan lain-lain. Di masa lalu, contoh yang sering dikutip oleh para teolog ialah gempa bumi
dahsyat yang melanda Lisabon pada abad ke-18 yang menewaskan 40.000 jiwa. Namun hal
ini masih bisa diperdebatkan, karena tidak ada satu bukti pun yang menunjukkan bahwa
semua korban yang jatuh dalam gempa tersebut adalah penduduk Portugal yang berdosa saja.
Waktu ituVoltaire bertanya: “Apakah Tuhan dalam gempa bumi ini memilih 40.000 orang
yang tergolong jahat dari penduduk Portugal?” 32 Tentu tidak mungkin untuk mengatakan
bahwa hanya orang-orang jahat dan berdosa saja yang menjadi korban dalam malapetaka
tersebut, sebab banyak pula di antara para korban itu, sebagaimana terjadi pada berbagai
bencana lainnya, adalah bayi dan anak-anak yang tak berdosa, dan bahkan binatang. Dapat
disimpulkan bahwa gempa yang amat dahsyat itu, seandainya tetap dianggap sebagai
hukuman dari Tuhan, maka hukuman itu tidak diberikan secara adil berdasarkan kesalahan
para korbannya. Di samping itu, banyak kejahatan fisik yang diderita oleh anak-anak sejak
lahir, seperti kebutaan, cacat tubuh bawaan (deformity), cacat mental, dan lain-lain. Adalah
tidak mungkin untuk menganggap semua bentuk kejahatan ini sebagai hukuman dan bahkan
tidak adil untuk menimpakan penderitaan semacam ini pada anan-anak yang tidak berdosa.33
Argument lain berkenaan dengan evil as real but justified ialah bahwa terjadinya
kejahatan fisik tersebut tak mungkin dihindari tetapi akan mendapatkan kompensasi di balik
kehidupan saat ini. Penderitaan yang diakibatkan oleh bencana alam memang tidak mungkin
bisa dihindarkan, meskipun harus dilakukan upaya-upaya mitigasi. Tuhan pun tidak mungkin
akan mencegahnya, sebab penderitaan itu timbul akibat berlakunya hukum alam yang pada
dasarnya memiliki sebab dan tujuan-tujuan tertentu. Meskipun kejahatan semacam ini tidak
mungkin bisa dihindari, Tuhan diyakini akan memberikan kompensasi atas penderitaan
tersebut berupa kesenangan di balik kehidupan saat ini.34
Karena penjelasan ini menyangkut kemungkinan tentang adanya kompensasi atas
penderitaan manusia pada kehidupan abadi yang akan datang, maka hal itu sekaligus
menunjukkan bahwa problem kejahatan meniscayakan adanya pengertian tentang keabadian
jiwa. Namun tidak semua orang yakin bahwa masih ada kehidupan lain di balik kehidupan
duniawi saat ini. Tetapi sebagaimana ditegaskan oleh Campbell lebih lanjut, orang yang bisa
menerima kemungkinan adanya kehidupan lain di balik kehidupan saat ini akan memperoleh

32
McCloskey, “God and Evil,” h. 102. Dibandingkan dengan jumlah korban meninggal dan hilang serta
kerusakan infrastruktur yang dialami oleh korban Tsunami 26 Desember 2004 di Aceh dan Pulau Nias,
Sumatera Utara, tentu gempa bumi Portugal tersebut belum ada apa-apanya. Namun kedahsyatan gempa bumi
Portugal telah menyadarkan para teolog tentang makna kejahatan alam ini dalam rangka memahami makna
kemahakuasaan dan kebaikan Tuhan sehingga selalu menjadi rujukan dalam membahas masalah kejahatan ini.
33
Ibid.
34
C.A. Campbell, On Selfhood and Godhood (London: George Allen & Unwin, 1957), h. 301.
263

suatu nilai yang tidak bisa dimiliki oleh orang-orang yang mengingkarinya. Pada
kenyataannya, prinsip bahwa kesenangan bisa dijadikan imbalan bagi suatu penderitaan
dalam kehidupan sehari-hari sudah biasa dan bisa diterima dalam pengalaman hidup setiap
orang.
Orang yang telah banyak mengalami penderitaan dalam hidupnya tidak selamanya
akan mengeluh bahwa dirinya telah diperlakukan secara “kurang adil,” sejauh dia masih bisa
mengharap bahwa kebahagiaan atau kesenangan yang lebih besar akan diperolehnya sebagai
imbalan atas penderitaan yang dia alami. Prinsip sederhana tentang kompensasi ini, menurut
Campbell, mampu mengimbangi berbagai bentuk penderitaan yang dialami manusia di dunia
ini dengan kegembiraan di balik kehidupan yang sekarang. 35

Kejahatan Moral

Kejahatan moral bukan berarti sekedar kesalahan moral. Lebih dari sekedar kesalahan
moral, kejahatan dalam bentuk ini mengandung arti menjauhi hukum-hukum Tuhan dan
mengingkari keberadaan-Nya. Sekalipun demikian, orang yakin bahwa Tuhan dalam
menciptakan manusia telah lebih dulu mengetahui bahwa manusia berpotensi melakukan
kejahatan-kejahatan moral. Adalah sangat mudah untuk menemukan berbagai bentuk
kejahatan moral dalam kehidupan sehari-hari, dan adalah sangat wajar untuk mencela
tindakan-tindakan seperti itu serta menganggapnya sebagai suatu perbuatan dosa.36
John Hick berpendapat bahwa semua bentuk kejahatan moral bersumber dari dosa.
Menurut dia, realitas dosa berdampak pada hubungan horizontal manusia dengan alam, di
mana dosa tersebut terekspresikan dalam berbagai bentuk tindakan destruktif terhadap warga
masyarakat dan alam. Oleh karena itu, perbuatan dosa dianggap sebagai inti utama dari
problem kejahatan, dan oleh sebab itu pula adalah sah untuk bertanya mengapa Tuhan yang
mahabaik dan mahakuasa membiarkan adanya dosa.37
Satu upaya untuk menjelaskan problem ini biasanya dikaitkan dengan elaborasi
tentang adanya ‘kehendak bebas’ atau free will. J.L. Mackie menjelaskan bahwa timbulnya
kejahatan tidak bisa dirujukkan kepada Tuhan tetapi kepada adanya kebebasan dalam diri
manusia, karena Tuhan telah memberinya kebebasan kehendak.38 Mackie mulai
argumentasinya dengan membedakan antara jenis-jenis kejahatan tertentu seperti rasa sakit,

35
Ibid., h. 302.
36
McCloskey, God and Evil, h. 113.
37
Hick, Evil and the God of Love, h. 300.
38
Mackie, “Evil and Omnipotence,” h. 208.
264

kemalangan, kesedihan, dan semacamnya di satu sisi, dengan sisi kejahatan lain seperti
kekejaman, keserakahan, kebiadaban, dan lain sebagainya.
Kejahatan dalam bentuk pertama di atas disebut sebagai kejahatan tingkat pertama,
dan kejahatan dalam bentuk kedua disebut kejahatan tingkat kedua. Kejahatan pada tingkat
pertama adalah kejahatan yang terjadi pada diri manusia dan menyebabkan penderitaannya.
Kejahatan pada tingkat kedua adalah kejahatan yang timbul akibat tindakan seseorang yang
menyebabkan penderitaan pada orang lain. Dengan demikian hanya kejahatan pada tingkat
pertama yang dapat dibenarkan, karena secara logika ia merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kebaikan-kebaikan tertentu seperti rasa simpati, belas kasihan,
kepahlawanan, dan kesediaan seseorang untuk berjuang. Sebaliknya, kejahatan pada tingkat
kedua tidak dapat dibenarkan dan hanya dapat dikembalikan pada diri manusia yang harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya dan bukan kepada Tuhan.39
Senada dengan uraian di atas, McCloskey menyatakan bahwa karena kejahatan moral
bersumber dari realisasi kehendak bebas manusia dan karena kehendak bebas itu sendiri
mempunyai nilai yang amat tinggi maka adanya kehendak bebas harus dapat
mengatasiadanya kejahatan moral dan kejahatan alam, bahkan termasuk adanya penderitaan
yang menimpa manusia. Oleh karena itu, adanya kehendak bebaslah yang menjadi penyebab
mengapa manusia melakukan kejahatan, dan sebagai akibatnya penderitaan yang menimpa
dirinya merupakan akibat dari adanya kehendak bebas pada diri orang lain.40
Tetapi mengapa Tuhan yang mahabaik memberikan kebebasan kehendak pada
manusia, meskipun Dia tahu bahwa hal itu akan mendorong terjadinya tindak kejahatan? Ini
merupakan suatu persoalan yang amat serius berkaitan dengan problem kejahatan moral serta
yang paling banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ahli teologi. Apalagi jika diingat
tidak semua teolog percaya sepenuhnya akan kebebasan kehendak ini. Sebagian dari mereka
menyatakan hampir tidak mungkin untuk mempercayai bahwa manusia itu benar-benar
bebas, sebab ia hanya memperoleh kebebasan yang terbatas. Seringkali manusia harus
menyadari bahwa ia terpaksa menerima hal-hal yang sebenarnya tidak diinginkannya.
Berbagai hambatan telah menghalangi dirinya dari cita-cita atau keinginannya.41
Kehendak bebas, dengan demikian, telah dipandang sebagai dasar untuk
membenarkan terjadinya kejahatan moral yang diakui oleh Tuhan sendiri. Dan oleh
karenanya kejahatan moral hanyalah merupakan suatu konsekwensi dan kemungkinan

39
Ibid.
40
McCloskey, “The Problem of Evil,” h. 193.
41
Ibid.
265

kegagalan yang tanpa itu manusia tidak akan dapat memperoleh kemenangan. Kejahatan
moral terjadi karena adanya suatu hipotesa bahwa di sana terdapat suatu subyek yang
memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan dosa atau yang secara moral mampu berbuat
salah. Tuhan telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang cerdik dan pintar yang selalu
menyadari akan semua tindakannya. Berbeda dengan binatang, manusia pada dasarnya akan
menyesali semua tindakan yang merugikan orang lain. Binatang, secara alamiah, diciptakan
dengan tabiat seperti itu, dan tidak bisa berbuat lain terhadap mangsanya kecuali dengan
kekejaman dan kebuasan.42
Berbeda dengan pandangan pesimistis di atas, J.L. Mackie berpendapat bahwa pada
dasarnya manusia adalah bebas, meskipun kebebasannya sering disalahgunakan dan berakibat
pada timbulnya kejahatan. Adalah lebih baik baginya untuk bertindak bebas dengan resiko
melakukan kesalahan, daripada harus menjadi “makhluk otomotif” yang hanya dapat
melakukan hal-hal tertentu dan terbatas dengan cara-cara yang telah digariskan sebelumnya. 43
Sependapat dengan pernyataan di atas, G.H. Joyce mengatakan bahwa manusia harus
memiliki kemampuan untuk memilih yang salah sesuai dengan adanya kebebasan yang
diberikan Tuhan kepadanya sebagai rahmat. Hal itu merupakan penghargaan atas upayanya
yang keras dan imbalan atas jerih payahnya untuk bisa berhasil mencapai keunggulan.
Dengan upayanya yang keras seperti itu manusia akan merasa lebih unggul dan lebih tinggi
martabatnya jika dibandingkan dengan keadaan apabila ia memperoleh apa yang
diinginkannya tanpa suatu usaha apa pun. Manusia tidak selayaknya mendapatkan
penghargaan atas kemenangan yang diperolehnya tanpa menghadapkan pada kemungkinan
untuk gagal.44
Akhirnya harus diakui bahwa tidak ada kata final di antara para ahli teologi dan para
ilmuan dalam mendiskusikan problem kejahatan ini. Masing-masing pihak bersikukuh pada
pendiriannya dan mengambil kesimpulan yang berbeda dari yang lain. W.D. Niven
menyatakan bahwa setiap solusi yang dibuat berkaitan dengan problem kejahatan ini selalu
membiarkan persoalan lama tetap tak terjawab atau justru menimbulkan persoalan-persoalan
baru. Jika Tuhan adalah mahabaik, maka dari manakah datangnya kejahatan. Si Deus bonus,
unde malum?45
Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat dua sudut pandang yang berbeda
berkenaan dengan realitas kejahatan ini. Di satu pihak terdapat para ilmuan yang menyatakan

42
Ibid., h. 116.
43
Mackie, “Evil and Omnipotence,” h. 208.
44
McCloskey, God and Evil, h. 144.
45
W.D. Niven, “Good and Evil,” Encyclopedia of Religion and Ethics (1955), vol. 6, h. 324.
266

bahwa kejahatan adalah riil dan tidak dapat dihindari, dan oleh karenanya tidak sesuai dengan
keyakinan akan adanya Tuhan yang mahabaik dan mahakuasa; di pihak lain terdapat para
teolog yang berpandangan bahwa kejahatan adalah sekedar khayalan dan bukan sesuatu yang
riil, atau bahwa ia adalah riil tetapi keberadaannya dapat dibenarkan sebagai sarana untuk
mencapai kebaikan yang lebih tinggi, atau bahwa ia tak mungkin dihindari karena ia
merupakan konsekwensi dari berlakunya hukum alam.
Meskipun kenyataannya tak satu pun dari sekian banyak solusi yang yang
dikemukakan itu dapat memuaskan semua pihak atau mampu bertahan atas berbagai
kritikan,46 kiranya dapatlah disadari bahwa merupakan suatu kesombongan manusia untuk
‘menghakimi’ Tuhan hanya berdasarkan kemampuan rasionalnya yang terbatas. Bagaimana
mungkin manusia, dengan kemampuan yang terbatas tersebut, dapat begitu yakin dengan
hasil pemikirannya utnuk menyimpulkan bahwa Tuhan adalah tidak sempurna atau bahkan
tidak ada.47

PROBLEM KEJAHATAN DALAM WACANA TEOLOGI ISLAM

Dalam terminologi teologi Islam, kejahatan sering diungkapkan dengan istilah al-
qabih, al-syarr, atau al-fasad. Ketiga istilah ini, menurut al-Qadi ‘Abd al-Jabbar adalah
sinonim.48 Uraian ini disusun berdasarkan pandangan al-Qadi ‘Abd al-Jabbar al-Hamadzani
(w. 1025), seperti tertuang dalam karya-karya utamanya, al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa’l-
‘Adl dan Syarh al-Ushul al-Khamsah, di samping Kitab al-Majmu’ fi’l-Muhith bi’l-Taklif.49
‘Abd al-Jabbar telah mengupas persoalan kejahatan ini secara luas dalam berbagai
bagian dari al-Mughni, terutama pada jilid keenam, bagian pertama, serta dalam beberapa

46
Ibid., h. 116.
47
McCloskey, “The Problem of Evil,” h. 194.
48
‘Abd al-Jabbar al-Hamadzani, al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa’l-‘Adl (Kairo: Wazara al Tsaqafah wa’l-
Irsyad al-Quni, 1965), vol. 14, h. 41-42; George F. Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of ‘Abd al-Jabbar
(Oxford: Clarendon Press, 1971), h. 7.
49
al-Qadi ‘Abd al-Jabbar al-Hamadzani adalah seorang tokoh Mu’tazilah di Basrah. Dia dikenal sebagai
theologian Mu’tazilah terkemuka pada masanya, antara lain karena karya voluminous-nya, al-Mughni fi Abwab
al-Tauhid wa’l-‘Adl, yang diakui sebagai Magnum opus-nya. Edisi asli dari buku ini terdiri dari 20 jilid
(volume). Namun, sebagaimana karya-karya Mu’tazilah pada umumnya, buku ini telah menghilang selama
berabad-abad dan baru ditemukan kembali di sebuah perpustakaan masjid Shan’a, Yaman. Dalam sebuah
ekspedisi yang diprakarsai oleh para ilmuan al-Azhar, Mesir, pada tahun 1951, hanya ditemukan duabelas (12)
jilid saja, yaitu jilid 4 – 9, 11 – 14, 16, dan 20. Belakangan ditemukan dua jilid lagi, yaitu jilid 15 dan 17. Di
Indonesia, pemikiran al-Qadi ‘Abd al-Jabbar memang belum cukup banyak dikaji. Salah seorang penulis yang
perbah mengkaji pemikiran ‘Abd al-Jabbar ialah Dr. Mahasin, dosen UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, dalam
bukunya yang berjudul al-Qadi ‘Abd al-Jabbar Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-Qur’an
(Jogjakarta: LKiS, 2000). Buku ini pun bukan tentang pemikiran teologi Abd al-Jabbar, tetapi tentang kajian
tafsirnya.
267

tempat di dalam Syarh al-Ushul al-Khamsah. Di dalam kedua buku tersebut ‘Abd al-Jabbar
membahas masalah kejahatan ini dalam kaitannya dengan konsep umum Mu’tazilah tentang
kemahaadilan Tuhan yang merupakan tema sentral dari al-Mughni.
Di dalam bahasa Arab, sejauh istilah yang digunakan oleh ‘Abd al-Jabbar sendiri, kata
al-qabih terutama merujuk pada arti estetis, dan berarti “jelek” atau “menjijikkan,” terkait
dengan suatu kualitas fisik. Istilah tersebut kemudian “dipinjam” untuk menunjuk arti etis,
seperti “memalukan” atau “tidak tahu malu” (disgraceful, shameless), sehingga secara umum
memiliki arti jelek dan jahat. ‘Abd al Jabbar mengakui adanya detil perbedaan ini dan
menyimpulkan bahwa arti sebenarnya dari al-qabih terletak pada aspek etisnya, sedangkan
arti metaforisnya terletak pada aspek estetisnya. 50 Dengan demikian kajian ‘Abd al-Jabbar
tentang kejahatan lebih ditekankan pada kejahatan moral, meskipun ia juga membahas
tentang kejahatan fisik, seperti penderitaan, rasa sakit, kesedihan, dan seterusnya. 51
Perhatian utama ‘Abd al-Jabbar dalam pembahasannya mengenai kejahatan terletak
pada obyektifitas nilai. Ia menentang pandangan kelompok subyektifis yang menyatakan
bahwa nilai suatu perbuatan itu ditentukan secara eksklusif oleh adanya kehendak Tuhan. 52
Dengan pendekatan obyektifitas ini ‘Abd al-Jabbar menyatakan bahwa nilai baik-buruk dari
suatu subyek atau tindakan bukan adanya fakta yang tidak dapat diubah karena kemauan,
pernyataan, pemikiran, atau perasaan dari pihak luar sebagai pengamat atau penilai, bahkan
sekalipun pihak luar itu adalah Tuhan sendiri.53 Sebagai tokoh Mu’tazilah, ‘Abd al-Jabbar
mendukung pandangan yang berlaku dalam aliran ini, yaitu bahwa rasio manusia dapat
berfungsi sebagai sumber yang autoritatif bagi pengetahuan moral atau sebagai ukuran baik-
buruk. Ini berarti bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui mana yang baik
dan benar dengan kemampuan intelektualnya semata, bahkan untuk mendefinisikannya
secara independen, terlepas dari adanya kehendak Tuhan.54 Dengan kata lain, nilai baik-buruk
adalah suatu hal yang obyektif, dan manusia dapat mengetahuinya sebagaimana ia dapat
mengenali suatu fenomena yang nampak secara langsung (al-mudrakat). “Secara langsung
kita dapat mengetahui bahwa ketidak-adilan, berbohong, dan tidak tahu berterimakasih atau
tidak mau mengakui kebaikan orang lain (ingratitude) adalah kejahatan, sebagai-mana kita

50
Al-Mughni, vol. 6:1, h. 25; Hourani, Islamic Rationalism, h. 49. Buku Hourani akan banyak dikutip dalam
pembahasan mengenai problem kejahatan menurut pandangan ‘Abd al-Jabbar pada bagian ini.
51
Al-Mughni, vol. 13, h. 229.
52
Hourani, Islamic Rationalism, h. 3.
53
Ibid., h. 51.
54
Ibid., h. 3.
268

secara langsung dapat mengetahui bahwa kejujuran, keadilan dan suka berterimakasih adalah
kebaikan.”55
Dalam salah satu bagian dari al-Mughni, ‘Abd al-Jabbar menyebutkan bahwa
kejahatan bisa berbentuk “rasional” (al-qaba’ih al-aqliyah) atau “juridis” (al-qaba’ih al-
syar’iyah). Kejahatan yang bersifat rasional adalah suatu tindakan yang menjadi jahat karena
karakteristiknya sendiri secara obyektif, bukan karena hubungannya dengan faktor yang lain.
Sebagai contoh disebutkan kezaliman atau ketidak-adilan, berbohong, kehendak jahat (iradat
al-qabih), menyuruh berbuat jahat (amr al-qabih), kebodohan (al-jahl), dan memaksakan
suatu beban kewajiban di luar kapasitas seseorang (taklif ma-la yuthaq). Masing-masing
tindakan ini menjadi jahatseperti kezaliman atau ketidak-adilankarena kezalimannya itu
sendiri, bukan karena dilakukan oleh agen atau subyek tertentu, atau karena dikaitkan dengan
pihak lain di luar karakteristiknya sendiri. Sedangkan kejahatan disebut juridis ialah
kejahatan yang terkait dengan pelanggaran hukum Syari’ah, seperti meninggalkan kewajiban
shalat, zakat atau puasa dan kewajiban-kewajiban Syari’ah lainnya. 56

Dasar-dasar penilaian baik-buruk

Dalam sebuah uraian tentang dasar atau landasan untuk menilai suatu tindakan adalah
jahat, ‘Abd al-Jabbar menyebutkan ada delapan aspek, yaitu ketidak-adilan, kezaliman atau
kesewenang-wenangan (zulm), perbuatan sia-sia (‘abats), berbohong (kidzb), tidak mau
mengakui kebaikan orang lain atau tidak tahu berterima kasih (kufr al ni’mah), kebodohan
(jahl), kehendak berbuat (iradat al-qabih), dan membebani kewajiban di luar kemampuan
seseorang (taklif ma-la yuthaq).57
Sekedar contoh untuk menjelaskan dasar-dasar penilaian tersebut di atas, ‘Abd al-
Jabbar mengatakan bahwa suatu tindakan yang netral bisa menjadi jahat karena dikaitkan
dengan salah satu atau lebih dari dari aspek-aspek di atas. Berbicara, misalnya, adalah
tindakan yang netral. Namun ia bisa menjadi jahat karena hanya sifatnya yang sia-sia, tidak
ada isinya (pointless), atau karena digunakan untuk menyuruh berbuat jahat (amr al-qabih),
dan digunakan untuk berbohong. Di sini ‘Abd al-Jabbar menempatkan kesia-siaan, menyuruh
berbuat jahat, dan berbohong secara bersama sebagai dasar kejahatan dari berbicara tersebut.

55
Erick L. Ormsby, Theodicy in Islamic Thought: The Dispute over al-Ghazali’s ‘Best of All Possible Worlds’
(Princeton: Princeton University Press, 1984), h. 233, dikutip dari al-Mughni, vol. 6:1, h. 58, 61.
56
Al-Mughni, vol. 6:1, 57-60, di bawah judul bab “Penjelasan tentang Bagaimana Suatu Tindakan Bisa Menjadi
Baik atau Wajib.”
57
Al-Mughni, vol 6:1, h. 61-69.
269

Kehendak atau kemauan, dengan cara yang sama, bisa menjadi jahat karena digunakan untuk
hal-hal yang tidak bermanfaat, untuk melakukan kejahatan (a will for evil), atau untuk
menipu dan memanipulasi suatu urusan. Bahkan keyakinan pun bisa menjadi jahat jika
didasarkan pada kebodohan atau angan-angan tanpa dasar dan bukti yang bisa
dipertanggungjawabkan. Jadi kebodohan bisa menjadi dasar yang sebenarnya dari kejahatan
dalam berkeyakinan tersebut. Salah satu contoh lagi yang perlu mendapat perhatian kita di
sini ialah bahwa penderitaan itu sendiri sebenarnya menurut ‘Abd al-Jabbar, bukanlah suatu
kejahatan, kecuali jika disebabkan oleh kesia-siaan atau akibat ketidak-adilan.

Masalah Penderitaan (Suffering, al-Alam)

Di samping kupasannya yang panjang lebar mengenai kejahatan terkait dengan


berbagai aspek yang menyebabkan sesuatu menjadi jahat, ‘Abd al-Jabbar juga membahas al-
alam (penderitaan) sebagai suatu bentuk kejahatan. Kupasannya dalam hal ini sebagian besar
terdapat dalam volume ke-13 dari al-Mughni, yang ia sajikan setelah kasih sayang Tuhan (al-
luthf, divine grace). Penjelasan mengenai penderitaan tersebut menempati separuh pertama
dari keseluruhan isi buku dalam volume ini. Al-Luthf, sebagai tema sentral dalam bagian dari
buku ini, ialah sesuatu yang mendorong seseorang untuk dapat memenuhi kewajibannya, baik
secara suka rela ataupun terpaksa.
Terkait dengan kesengsaraan, al-luthf memainkan peran yang sama dengan seorang
ayah yang harus bersikap ramah, penuh belas kasihan, terhadap anak-anaknya dengan
mendorong mereka untuk belajar guna mendapatkan pendidikan yang baik. 58 Masalah
penderitaan, dengan demikian, jika ditempatkan dalam konteks al-luthf, dapat dibenarkan
dengan penjelasan bahwa jika manusia selalu dimanja dengan berbagai kesenangan mereka
akan cenderung menjadi sewenang-wenang dan sombong. Untuk menegaskan argumennya,
‘Abd al-Jabbar mengutip bunyi ayat “Dan jikalau Allah melapangkan rizqi kepada hamba-
hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi. Tetapi Allah menurunkan
apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia maha mengetahui (keadaan)
hamba-hamba-Nya lagi maha melihat” (Q.S. 42:27). Meskipun terdapat pengulangan dari
materi yang sama yang telah dikupas pada volume 9 dari al-Mughni, kajian ‘Abd al-Jabbar
tentang penderitaan dalam volume 13 ini lebih lengkap dan meliputi berbagai aspek,
khususnya terkait dengan bagaimanakah penderitaan dapat atau tidak dapat disebut jahat,

58
Al-Mughni, vol. 13, h. 9.
270

apakah Tuhan benar-benar menciptakan penderitaan, serta konsekwensi lebih lanjut dari
persoalan-persoalan tersebut.
Penderitaan seperti yang dirasakan dalam bentuk rasa sakit, tidak mungkin terjadi
tanpa penyebab yang menimbulkannya. Penyebab itu sering disebut waha’ atau kelemahan
yang menimbulkan rasa sakit secara langsung. Sebagai efek yang ditimbulkan oleh
kelemahan, penderitaan timbul secara proporsional sesuai dengan penyebab yang diarahkan
padanya.59 Untuk menjelaskan pendapatnya ini ‘Abd al-Jabbar mengambil contoh dengan
membandingkan antara pukulan yang mengenai bagian tubuh yang keras dengan bagian
tubuh yang lunak. Penderitaan akan muncul secara proporsional sesuai dengan tingkat
kelemahan obyek yang menjadi sasaran. Jika orang terkena pukulan pada bagian badannya
yang keras, sekalipun bentuk penyebabnya mungkin sama, maka efeknya akan dirasakan
berbeda ketika pukulan itu mengenai bagian tubuh yang lunak. 60 Demikianlah cara yang
ditempuh oleh ‘Abd al-Jabbar untuk menjelaskan bahwa penderitaan merupakan efek yang
muncul karena kelemahan obyek yang menjadi sasaran.
Mengenai hubungan antara penderitaan dan kejahatan, ‘Abd al-Jabbar menjelaskan
dalam bagian kedua dari al-Mughni volume ke-13, dengan mengacu kepada berbagai
pandangan yang dianut oleh para teolog di masanya. Antara lain disebutkan bahwa menurut
kelompok dualis (al-Tsanawiyah) penderitaan pada dasarnya adalah suatu bentuk kejahatan.
Pendapat yang lain menyebutkan bahwa penderitaan adalah kejahatan jika ditimpakan secara
tidak semestinya (udeservedly) kepada seseorang, baik itu karena dosa yang ia lakukan atau
karena kelalaiannya dalam melaksanakan kewajibannya. Pandangan ini dianut oleh para
pengikut metempsychosis (al-Tanasukhiyah). Sementara pandangan lain menyebutkan bahwa
penderitaan adalah kejahatan kecuali jika bisa mendatangkan manfaat yang semestinya,
namun bukan sebagai kompensasi, tetapi sekedar sebagai pelajaran (i’tibar) agar manusia
lebih berhati-hati dan waspada.61
Selanjutnya ‘Abd al-Jabbar mengemukakan pandangan para tokoh Mu’tazilah antara
lain seperti yang dikemukakan oleh Abu Ali al-Jubba’i. menurut al-Jubba’i, penderitaan
dapat dipandang sebagai suatu kejahatan jika mengenai seseorang secara salah, seperti karena

59
Judith K. Hecker, “Reason and Responsibility: An Explanatory Translation of Kitab al-Tawhid from al-
Mughni fi-Abawab al-Tawhid wa’l-‘Adl by al-Qadi ‘Abd al-Jabbar al-Hamadhani, with Introduction and Notes.”
Ph.D Dissertation, University of California Berkeley, 1975, h. 556; J.R.T.M. Peters, God’s Created Speech: A
Study in the Speculative Theology of The Mu’tazili Qadi al-Qudat Abu al-Hasan ‘Abd al-Jabbar b. Ahmad
Hamadhani (Leiden: Brill, 1976), h. 127.
60
Hecker, ibid., h. 135.
61
‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, ed. ‘Abd al-Karim Uthman (Kairo: Maktabah Wahbah, 1965), h.
127.
271

tidak bisa mendatangkan manfaat, tidak untuk mencegah terjadinya bahaya yang lebih besar,
atau sebagai sesuatu yang semestinya terjadi. Demikian pula jika penderitaan itu terjadi
dalam keadaan di mana maksud dari penyebab timbulnya penderitaan itu sendiri adalah
sebenarnya baik, tetapi tidak bisa diterima dengan perasaan berterimakasih. Sebagai contoh,
jika seseorang bermaksud menolong orang lain yang sedang tenggelam tetapi dalam
memberikan pertolongan itu dia mematahkan tangan korban maka tindakan seperti itu bisa
dinilai sebagai suatu kejahatan. Upaya orang tersebut untuk menolong korban tidak layak
mendapat ucapan terimakasih, sebab pada saat yang sama dia telah melakukan kesalahan
sehingga korban kehilangan tangannya. 62
Berbeda dengan pandangan di atas, Abu Hasyim al-Jubba’i, putra dari Abu Ali al-
Jubba’i, berpendapat bahwa penderitaan adalah jahat karena menimbulkan bahaya (dharar).
Namun ia sependapat dengan bapaknya bahwa penderitaan merupakan suatu kejahatan jika
tidak memenuhi satu dari tiga faktor berikut, yaitu adanya manfaat, mencegah bahaya yang
lebih besar, dan sebagai hukuman yang layak ditimpakan kepada penderitanya. 63
Berdasarkan uraian tersebut, Abu Hasyim memandang adanya penderitaan yang
ditimpakan oleh Tuhan kepada manusia bisa merupakan suatu kejahatan jika dimaksudkan
semata-mata untuk menciptakan penderitaan itu sendiri, tanpa adanya i’tibar. Namun
penderitaan tersebut menjadi suatu kejahatan bukan karena ia salahsebab Tuhan diyakini
tidak akan menimpakan suatu penderitaan tanpa member kompensasi pada
penderitanyatetapi karena hal itu menjadi sia-sia (lam yakun fiha ma’na).64 dengan demikian
ketika Tuhan menimpakan penderitaan kepada seseorang hal itu tidak dapat disebut sebagai
suatu kejahatan sebab bisa jadi Tuhan akan memberikan kompensasi atau karena adanya
manfaat (i’tibar) sehingga penderitaan itu tidak sia-sia adanya.
Masih mengutip pendapat Abu Hasyim, ‘Abd al-Jabbar menyebutkan bahwa adanya
siksa api neraka adalah baik, meskipun kenyatannya amat menyeramkan. Orang yang berbuat
dosa dengan melakukan perbuatan maksiat adalah bagaikan seseorang yang mendesak untuk
segera memperoleh keuntungan atas pekerjaan yang ia lakukan. Kasus serupa dapat
dianalogikan dengan gaji atau bayaran yang diberikan terlebih dahulu untuk suatu pekerjaan,

62
Al-Mughni, vol. 13, h. 227. Kejadian tersebut mirip dengan kasus terbaru yang menjadi pemberitaan di media
TV tanggal 15 September 2006 terkait dengan seorang ibu yang mengadukan sebuah rumah sakit milik
pemerintah provinsi DKI Jakarta kepada pihak kepolisian, karena anaknya yang baru berusia empat bulan harus
diamputasi tangannya hanya karena sakit diare. Rumah sakit tersebut dituduh telah melakukan mal-praktik.
63
Ibid., h. 228.
64
Lam yakun fiha ma’na (pointless) atau sia-sia. Sebagai contoh disebutkan bahwa jika orang membiarkan
dirinya dipukuli oelah orang lain, kemudian ia minta uang sebagai kompensasi atas pemukulan tersebut maka
tindakan itu sendiri tidak salahkarena dimintatetapi ia tetap jahat karena sia-sia. Ibid., h. 229.
272

maka resiko apa pun yang timbul dari pekerjaan itu akan tetap dihadapi. Namun ‘Abd al-
Jabbar mengakui bahwa perbuatan maksiat yang dilakukan seseorang di dunia ini tidak bisa
disamakan dengan gaji yang dibayarkan lebih dahulu, sebab keuntungan yang diperoleh
seseorang ketika berbuat maksiat tidak sebanding dengan siksa abadi yang akan dideritanya
di akhirat.65
Terkait dengan kemungkinan bahwa Tuhan akan menimpakan penderitaan, ‘Abd al-
Jabbar menjelaskan tidak benar jika orang berasumsi bahwa penderitaan yang ditimpakan
oleh Tuhan tersebut adalah dimaksudkan untuk mendatangkan suatu kebaikan. Ketika
ditanyakan kepadanya jika Tuhan menimpakan penderitaan itu pada orang yang beriman
adalah untuk tujuan member manfaat, maka jika penderitaan serupa ditimpakan pada orang
kafir bukankah hal itu bisa mengurangi siksa yang akan dideritanya di akhirat? Atas
pertanyaan ini ‘Abd al-Jabbar menjelaskan bahwa semua manusia, baik beriman atau kafir,
berhak memperoleh kompensasi dan manfaat dari Tuhan, dan bahkan bisa saja Tuhan
memberikan kompensasinya di depan (mu’ajjalan) kepada orang-orang kafir. Tetapi jika
Tuhan menundanya hingga di akhirat, maka hal itu akan dipandang sebagai bagian dari siksa
yang ditimpakan padanya. Ini bukan karena orang kafir tersebut berhak atas siksa itu untuk
ditimpakan secara demikian, tetapi karena siksa itu ditunda hingga saat yang tak mungkin
lagi dapat dipenuhi maka hal itu harus diganti dengan sesuatu yang lain. Perlakuan seperti ini
biasanya diterapkan pada orang yang memiliki hutang. Jika orang itu tidak mungkin bisa
membayar hutangnyakarena bangkrut, misalnyatetapi dia masih memiliki aset yang lain
yang sebanding dengan nilai hutangnya, maka ia harus memberikan aset tersebut sebagai
ganti pembayaran hutangnya. 66
Namun pihak lawan masih tetap menyanggah dengan mengatakan jika suatu penyakit
menimpa seseorang (sebagai suatu bentuk penderitaan) layak mendapat kompensasi atau
berfungsi untuk mengurangi hukuman (isqath al-‘iqab) maka tentu akan dikatakan bahwa
penderitaan itu adalah baik karena berguna untuk mencegah suatu kerugian atau kerusakan
yang lebih besar. ‘Abd al-Jabbar dalam merespon keberatan ini meyatakan bahwa pada
dasarnya yang layak diperoleh atas suatu penderitaan adalah kompensasi (‘iwadh), sedangkan
mengurangi atau membatalkan hukuman adalah sekedar pengganti dari kompensasi tersebut.
Lebih tegas dijelaskan di dalam Syarh al-Ushul al-Khamsah bahwa tidak benar jika Tuhan di
dalam meimpakan penderitaan dimaksud untuk mencegah suatu kerugian yang lebih besar,
sebab Tuhan dapat mencegahnya tanpa harus menimpakan suatu penderitaan. Dengan

65
Ibid., h. 293-297.
66
Ibid., h. 372.
273

demikian menimpakan penderitaan dengan tujuan untuk menghindari kerusakan yang lebih
besar akan menjadi sia-sia.67
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua pembahasan ‘Abd al-Jabbar tentang
problem penderitaan mengikuti alur yang sama: bahwa bisa saja Tuhanlah yang menimpakan
penderitaan pada manusia, tetapi hal itu tidak dapat disebut sebagai suatu bentuk kejahatan.
Terjadinya penderitaan bisa mengandung arti kebaikan sejauh hal itu dapat mendatangkan
kebaikan, atau jika penderitaan tersebut dipandang sebagai sesuatu hal yang seharusnya
terjadi, yaitu sebagai suatu hukuman. Tetapi ‘Abd al-Jabbar, sebagaimana disinggung di
muka, menegaskan bahwa penderitaan tidak dimaksudkan untuk mencegah kerusakan yang
lain.

Tuhan dan realitas kejahatan

Mengacu pada prinsip dasar ajaran Mu’tazilah tentang kemahaadilan Tuhan, kaum
Mu’tazilah berpendapat manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri. Hal ini unuk
menegaskan bahwa manusialah yang bertanggungjawab penuh atas semua tindakan yang ia
lakukan, termasuk kebaikan dan kejahatannya. Manusia, dengan demikian, tidak bisa
melemparkan tanggungjawab atas perbuatan jahatnya kepada pihak manapun di luar dirinya
dengan mengatakan bahwa hal itu di luar kemampuannya untuk mencegah atau menghindar
darinya. Hal itu sesuai dengan penegasan ‘Abd al-Jabbar bahwa kejahatan tetap merupakan
kejahatan, terlepas dari siapa yang melakukannya.
Pandangan di atas bertentangan dengan pendapat kelompok Mujbirah (compulsionist)
yang menyatakan bahwa manusia tidak melakukan tindakannya sendiri dalam arti yang
sebenarnya, sebab hanya Tuhan sendirilah yang benar-benar bisa berbuat. Jika suatu
perbuatan dikaitkan dengan manusia maka hal itu hanya berlaku dalam arti metaforis. Namun
bagi kelompok moderat (pengikut Asy’ariyah), manusia masih dipandang sebagai pelaku
(agent) yang melakukan perbuatannya atau pihak yang mampu (the able agent, al-qadir),
namun bukan sebagai pencipta dari tindakan-tindakannya.
Berkenaan dengan tori bahwa manusia bukan satu-satunya pihak yang menyebabkan
kejahatan, dan bahwa dirinya sendiri yang menjadi korban dari kejahatanseperti bencana
alam, penyakit, busung lapar, cacat tubuh bawaan, dan lain-laintidak mungkin manusia
dianggap sebagai penyebab dari semua kejahatan tersebut. Tentu ada pihak lain yang menjadi

67
Syarh al-Ushul al-Khamsah, ed. ‘Abd al-Karim Uthman (Kairo: Maktabat Wahbah, 1965), h. 486.
274

penyebab dari semua bentuk kejahatan tersebut. Sebagaimana telah disinggung di muka,
bahwa bisa jadi Tuhan sendiri yang menimpakan penderitaan pada seseorangsekalipun hal
itu tidak dapat dipandang sebagai suatu kejahatan hal itu menunjukkan bahwa Tuhan dapat
disebut sebagai penyebab terjadinya kejahatan. Tentu saja pandangan di atas banyak
ditentang dan tidak bisa diterima dengan mudah. Bahkan para pengikut Mu’tazilah sendiri
tidak satu suara dalam menyikapi pendapat ini. ‘Abd al-Jabbar menjelaskan perbedaan
pandangan tersebut dalam beberapa tempat di dalam al-Mughni, seperti yang ia kupas dalam
salah satu bab berjudul “Tuhan Mampu Melakukan Sesuatu yang Mungkin Akan Menjadi
Salah atau Jahat Jika Ia Mau Melakukannya.” Di dalam bab ini ‘Abd al-Jabbar menjelaskan
pandangan para tokoh Mu’tazilah, seperti al-Nazzam, al-Aswari, dan al-Jahiz, yang
menyatakan bahwa tidak mungkin Tuhan memiliki kekuatan untuk melakukan kejahatan,
atau tidak memilih sesuatu yang terbaik dan paling tepat (al-ashlah), sebab jika demikian
maka hal itu menunjukkan adanya kekurangan dan kebutuhan pada diri-Nya.68
Sebagian tokoh yang lain, seperti al-Jahiz dan para pengikutnya, Abu Ali dan Abu
Hasyim, menyatakan bahwa Tuhan memiliki kekuatan untuk melakukan hal-hal yang bisa
jadi kelru (the wrong), tetapi Tuhan tidak pernah mau melakukannya, karena Dia mengetahui
kejelekan dari perbuatan itu, dan Dia tidak perlu melakukannya. Abu al-Hudzail menegaskan
lebih lanjut bahwa tidak mungkin Tuhan akan melakukan kesalahan, meskipun Dia memiliki
kekuatan untuk itu.69 ‘Abd al-Jabbar sendiri juga berpandangan bahwa Tuhan sebenarnya
memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu yang keliru jika Dia berkehendak untuk
melakukannya. Menurut ‘Abd al-Jabbar, kebaikan dan kejahatan adalah sama dalam hal
jenisnya sebagai suatu perbuatan, dan bahwa kemampuan bertindak tentu harus mencakup
semua jenis tindakan apa pun. Jika Tuhan memiliki kemampuan untuk berbuat baik maka Dia
pun memiliki kekuatan yang sama untuk melakukan sebaliknya. 70 Pandangan ‘Abd al-Jabbar
ini sebenarnya sejalan dengan pandangan para teolog pada umumnya yang menyatakan
bahwa kekuasaan Tuhan tiada terbatas. ‘Abd al-Jabbar, di dalam al-Mughni, menegaskan
bahwa Tuhan pasti memiliki kekuasaan untuk melakukan jenis perbuatan apa saja yang dapat
dilakukan oleh setiap agen/pelaku yang mampu (al-qadir).71
Sebagaimana para pengikut Mu’tazilah yang lain ‘Abd al-Jabbar berpendapat bahwa
Tuhan dapat berbuat jahat. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa Tuhan benar-benar mau
melakukannya. ‘Abd al-Jabbar tidak setuju dengan pandangan para pengikut Asy’ariyah yang
68
Al-Mughni, vol. 6:1, h. 127.
69
Ibid., h. 128.
70
Islamic Rationalism, h. 99.
71
Anna kulla jins min al-maqdurat yajibu kawnuhu ta’ala qadiran ‘alaihi. Lihat al-Mughni, vol. 6:1, h. 59.
275

menyatakan bahwa Tuhanlah yang menjadikan manusia berbuat jahat sebagai penyebab
pertama. Namun hal itu bukan suatu kejahatan bagi Tuhan, karena Dia tidak melanggar
perintah dari siapa pun. ‘Abd al-Jabbar tidak setuju dengan cara penyelesaian persoalan
seperti itu. Sebab, sebagaimana telah menjadi acuan umum bagi kalangan Mu’tazilah, suatu
perbuatan dikatakan baik atau buruk bukan karena adanya larangan atau menyalahi suatu
perintah, tetapi karena kualitas obyektif dari perbuatan itu sendiri.72 Pada prinsipnya Tuhan
tidak memiliki motif atau kepentingan apa pun untuk berbuat jahat.73

MENYIKAPI REALITAS: SEBUAH CATATAN REFLEKTIF

Penderitaan sebagai salah satu bentuk manifestasi problem kejahatan, telah dialami
oleh umat manusia sejak pertama kali mereka mendiami planet bumi ini. Hampir tidak ada
bayi yang lahir hidup di muka bumi ini tanpa menangis. Itu artinya dia menyadari betapa
berat beban yang akan dia tanggung dalam kehidupan yang akan datang. Namun dia akan
segera berhenti menangis, diam dan merasa tenang, setelah merasakan dekapan kasih sayang
dari ibunya dan asupan air susu ibu yang mengalirkan kehidupan di dalam tubuhnya. Ia
mungkin lupa tentang beban derita yang semula telah ia sadari. Betapa lemahnya manusia
ketika ia begitu mudah lupa, terlena oleh kenikmatan yang sesaat.
Para nabi diutus ke muka bumi, dan para filosof pun lahir melengkapi misi para
nabidengan berspekulasi mencari jawab atas misteri alam yang dihadapi manusia. Para nabi
diutus untuk menunjukkan jalan yang mudah dalam mencapai kebenaran karena dibimbing
wahyu dan kitab suci. Sementara itu para filosof berspekulasi dengan berbagai kemungkinan
salah dan benar, termasuk dalam menjawab misteri mengapa kehidupan dipenuhi penderitaan
dan kejahatan demi kejahatan. Ini bukan berarti bahwa mereka hanya menginginkan adanya
kehidupan yang serba menyenangkan, tanpa problem apa pun.
Siddharta Buddha Gautama (550-480 SM), yang pernah dimanjakan oleh kemewahan
kehidupan istana dan selalu diawasi dan dijaga agar tidak ada satu pun kesusahan
menghampiri dirinya, ternyata justru malah terbelenggu jiwanya. Sang Sakyamuni dan
pendiri Buddhisme ini kemudian memberontak, ingin melepaskan diri dari semua kenikmatan
yang dianggapnya palsu dan superficial itu. Dia ingin menemukan kesejatian hidup dengan
mengembara, mengarungi kehidupan secara utuh, lengkap dengan duka-deritanya. Dia
menginginkan penderitaan itu sebagai realitas untuk dihadapi, bukan dihindari.

72
Islamic Rationalism, h. 100.
73
Ibid., h. 102.
276

Para pemulung, tukang becak, para buruh tani yang miskin dengan beban penderitaan
yang berat adalah fenomena yang merata hampir di setiap sudut kehidupan di negeri ini.
Problem sosial ekonomi mereka yang berat sering diabaikan oleh penguasa yang lebih
memihak kepada orang-orang kaya, para pemilik modal besar. Penggusuran dan penistaan
sering ditimpakan secara sewenang-wenang kepada kelompok lemah dan tertindas. Mereka
tentu tidak sama dengan Siddharta Gautama yang menghadang derita untuk menemukan
kesejatian hidup. Mereka, saya yakin, telah menemukan kesejatian hidup mereka sendiri
dalam kesahajaan sehari-hari mereka. Kesejatian hidup mereka bisa jadi lebih autentik
dibandingkan dengan yang diperoleh para selebritis yang selalu menyesaki tayangan
infotainment televisi swasta di negeri kita sepanjang hari.
Kembali kepada pandangan ‘Abd al-Jabbar tentang problem kejahatan, kajian yang ia
lakukan tentang problem yang amat krusial ini pada dasarnya dimaksudkan membela konsep
kemaha-adilan Tuhan (divine justice), sebagai salah satu prinsip utama doltrin Mu’tazilah.
Focus persoalannya diarahkan pada apakah Tuhan benar-benar menciptakan kejahatan di
alam semesta ini. ;Abd al-Jabbar menegaskan bahwa Tuhan tidak pernah menghendaki
adanya kejahatan, dan tidak butuh untuk melakukannya. Adanya penderitaan adalah karena
hal itu layak terjadi pada orang-orang tertentu sebagai bentuk hukuman (di depan disebutkan
sebagai suatu hal yang pasti sebagai hukum alam). Jika tidak, maka si penderita pasti akan
diberi kompensasi oleh Tuhan. Hal ini tidak sulit diterima oleh orang yang masih percaya
pada adanya kehidupan di hari akhirat.
Tentu saja solusi yang terdengar simplistis ini tidak harus dimaknai bahwa kita tidak
perlu peduli dengan berbagai kesusahan yang diderita oelah para korban bencana alam yang
melanda sebagian wilayah negeri kita belakangan ini secara bertubi-tubi. Kita atidak bisa
bersikap acuh (ignorant) dengan mengatakan itu semua adalah urusan Tuhan yang telah
menghendaki semua bencana tersebut terjadi. Kejahatan alam (natural evils) dalam bentuk
malapetaka atau bencana yang menimpa orang lain mengindikasikan adanya kelalaian
kemanusiaan secara universal, sehingga Tuhan perlu memberikan peringatan dalam bentuk
fenomena alam yang menakutkan tersebut. Semua bentuk ketamakan dan kerakusan yang
menyertai kehidupan manusia modern secara tak terkendali telah melukai rasa kemanusiaan
kita, sehingga rasa kemanusiaan kita harus didobrak oleh kejadian-kejadian teramat dahsyat
di depan mata kita. Apakah nurani kita masih tetap tumpul dan bebal meihat akibat dari
kedahsyatan bencana yang menimpa saudara-saudara kita?
Manusia juga sering lalai bahwa bumi yang kita pijak pun tidak selamanya rata dan
mulus, dapat dilalui kendaraan-kendaraan mewah kita dengan lancar dan aman tanpa kendala.
277

Ternyata ada dinamika yang tinggi dari dalam perut bumi yang sering menjadi ancaman bagi
makhluk hidup di atasnya: gempa tektonik yang memunculkan gelombang tsunami, guguran
lava pijar yang meruntuhkan semua kehidupan di lereng perbukitan Merapi, dan terakhir
luapan lumpur panas Banjaran Panji di Sidoarjo. Kiranya Tuhan sedang mengingatkan kita,
sebagaimana Dia telah mengingatkan umat nabi-nabi terdahulu, sebagaimana yang menimpa
bangsa ‘Ad, Tsamud, dan umatnya nabi Nuh, Nabi Musa, dan lain-lain. Jangan dikira ketika
manusia telah memasuki jaman modern Tuhan akan terus membiarkan manusia leluasa
mendustakan firman-firman-Nya. Tetapi memang manusia lebih banyak lalainya dan hanya
ingin dimanja oleh kenikmatan yang memabukkan.
Penderitaan dan kesengsaraan dalam hidup adalah suatu keniscayaan. Bahkan,
mengacu kepada pengalaman Siddharta Gautama di atas, derita itu diperlukan, bukan untuk
kepentingan individu, tetapi untuk kepentingan manusia universal. Alam pada awalnya
adalah ancaman bagi kehidupan manusia, sampai akhirnya manusia mampu menundukkanya.
Namun dasar watak manusia, setelah ia mampu menundukkan alam lantas ia menjadi
sombong dan sewenang-wenang. Saat itulah manusia lalai, dan celakanya, semakin rakus.
Malapetaka, bencana, dan semua bentuk kesengsaraan adalah tantangan agar manusia
menjadi lebih matang, lebih dewasa; agar dia tidak hanya bisa merengek-rengek, minta
dimanjakan. Tanpa harus dimaknai ingin menjastifikasi pandangan kaum Kapitalis-Liberal
dengan kecenderungan Darwinisme-sosialnya, manusia unggul akan tercipta dengan segala
keagungannya manakala secara dewasa dan bijaksana dia mampu mengatasi problem-
problem kemanusiaan, baik yang ditimbulkan oleh alam (natural evils) maupun oleh
persoalan moral manusia (moral evils). Sebaliknya, manusia akan menjadi kerdil dan infantil
manakala ia hanya bisa menangisi penderitaannya sendiri, tidak bisa berbuat yang lain.
Penderitaan tak akan habis atau hilang sama sekali dari kehidupan manusia, baik yang
ringan maupun yang berat. Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan suatu kearifan agung
bagi umatnya untuk memandang kesengsaraan sebagai sesuatu yang pasti. Namun kita tidak
boleh kehilangan keimanan kita dalam kondisi sejelek apa pun. Seberat apa pun derita yang
kita hadapi kita akan tetap selamat, sejauh iman masih dapat kita pertahankan dalam diri kita.
Alangkah mengagumkan kehidupan orang yang beriman. Tidak ada ketetapan Allah
yang diberikan kepadanya kecuali hal itu akan menjadi kebaikan baginya. Dan hal itu tidak
terjadi kecuali pada diri orang yang beriman. Jika ia memperoleh kesenangan ia akan
278

bersyukur, dan itu lebih baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan ia akan bersabar, dan itu
lebih baik baginya.74

IBLIOGRAFI TERPILIH

‘Abd al-Jabbar, al-Qadi Abu al-Hasan. Al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa’l-‘Adl, berbagai
editor. Cairo: Wazarat al-Tsaqafah wa’l-Irsyad al-Qawmi, 1960-1969, vol. 6:1, 6:2, 7, 8,
9, 11, dan 13.
--------. Syarh al-Ushul al-Khamsah, ed. ‘Abd al-Karim ‘Utsman. Cairo: Maktabah Wahbah,
1965.
--------. Kitab al-Majmu’ fi’l-Muhith bi’l-Taklif, ed. J.J. Houben. Beirut: al-Matba’at al-
Kathulikiyah, 1965, 2 vol.
--------. Mutasyabih al-Qur’an, ed. ‘Adnan Muhammad Zarzur. Cairo: Dar al-Turats, 1969, 2
vols.
Ahern, M.B. The Problem of Evil. London: Routledge & Kegan Paul, 1971.
--------. “The Nature of Evil.” Sophia. Vol. 5, No. 3 (1966), h. 35-44.
Aquinas, St. Thomas. Summa Theologicae, trans. by Fathers of the English Dominican
Province. New York: Benzinger Brothers, 1974, vol. 1.
Augustine, St. The City of God. London: J.M. Dent & Son, 1974.
Campbell, Charles A. On Selfhood and Godhood. London: George Allen & Unwin, 1957.
Cauthen, Kenneth. “Theodicy: a Heterodox Alternative,” dikutip dari
http://www.frontiernet.net/~kenc/theodicy2.htm, diakses tanggal 12 Juli 2006.
Dughaym, Samih. Falsafat al_Qudar fi Fikr al-Mu’tazilah. Beirut: Dar al-Tanwir, 1985.
Fuller, Benjamin A. Gould. The Problem of Evil in Plotinus. Cambridge: The University
Press, 1912.
Green, Ronald M. “Theodicy.” The Encyclopedia of Religion (1987), vol. 14, h. 430-441.
Hecker, Judith K. “Reason and Responsibility: An Explanatory Translation of Kitab al-
Tawhid from al-Mughni fi-Abwab al-Tawhid wa al-‘Adl by al-Qadi ‘Abd al-Jabbar al-
Hamadhani, with Introduction and Notes.” Ph. D. Dissertation, University of California
Berkeley, 1975.
Hick, John. Evil and the God of Love. London: Macmillan, 1964.
Hourani, George F. Islamic Rationalism: The Ethics of ‘Abd al-Jabbar. Oxford: Clarendon
Press, 1971.

74
Terdapat beberapa versi dari Hadits di atas, dengan sanad yang berbeda-beda, namun terbanyak diriwayatkan
oleh Imam Ahmad.
279

‘Imarah, Muhammad. Al-Mu’tazilah wa Musykilat al-Hurriyah al-Insaniyah. Beirut: al-


Mu’assasat al-‘Arabiyah, 1988.
Jar Allah, Zuhdi Hasan. Al-Mu’tazilah. Cairo: Shirkat al-Mushamat al-Misriyah, 1947.
Mackie, John L. “Evil and Omnipotence.” Mind, vol. 64, no. 254 (1955), h. 200-212.
MacGregor, Geddes. Philosophical Issues in Religious Thought. Boston: Houghton Mifflin,
1973.
McCloskey, Henry J. God and Evil. The Hague: Martinus Nijhoff, 1974.
--------. “God and Evil.” The Philosophical Quarterly, vol. 10, no. 39 (1960), h. 97-114.
--------. “The Problem of Evil.” The Journal of Bible and Religion, vol. 30, no. 3 (1962), h.
187-197.
Niven, William D. “Good and Evil.” Encyclopedia of Religion and Ethics (1955), vol. 6, h.
318-326.
Ormsby, Erick L. Theodicy in Islamic Thought: The Dispute over al-Ghazali’s “Best of All
Possible World.” Princeton: Princeton University Press, 1984.
Peters, J.R.T.M. God’s Created Speech: A Study in the Speculative Theology of the Mu’tazili
Qadi al-Qudat Abu al-Hasan ‘Abd al-Jabbar b. Ahmad al-Hamadhani. Leiden: Brill,
1976.
Pistorius, Phillipus V. Plotinus and Neoplatonism: An Introductory Study. Cambridge: Bowes
& Bowes, 1952.
Ricouer, Paul. “Evil.” The Encyclopedia of Religion (1987), vol. 5, h. 199-208.
Rood, Rick. “The Problem of Evil: How Can A Good God Allow Evil?” dikutip dari
http://www.leaderu.com/orgs/probe/docs/evil.html, diakses pada tanggal 17 November
2005.
Sabiq, al-Sayyid. Al-‘Aqa’id al-Islamiyah. Cairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1964.
Al-Shahrastani, Abu al-Fath. Al-Milal wa’l-Nihal, ed. ‘Abd al-‘Aziz Muhammad al-Wakil.
Beirut: Dar al-Fikr, n.d. 3 vol.
Steen, John W. “The Problem of Evil: Ethical Consideration.” Canadian Journal of
Theology, vol. 11, no. 4 (1965), h. 255-264.
Steward, David. Exploring the Philosophy of Religion. Engelwood Cliffs, N.J.: Prentice Hall,
1980.
Watt, W. Montgomerry. The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: The
University Press, 1973.
Al-Zamakhshari, Jar Allah Mahmud b. ‘Umar. Al-Kashshaf ‘an Haqa’iq Ghawamid al-Tanzil
wa-‘Uyun al Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1947, vo. 2.

Вам также может понравиться