Вы находитесь на странице: 1из 3

Mengukir Makna “Aku Cinta Sekolah” di Bumi Animha

Oleh: Riky Indra Prihantoro, S.Pd.

“Mendidiklah dengan setulus hati agar tercipta generasi


mandiri!”. Salah satu lirik dalam lagu mars SM3T. Kata-kata
yang sangat mengena dan sarat akan makna.
Di era saat ini mungkin kita takkan mengira bahwa
pendidikan masih “mahal” untuk di beberapa wilayah di
Indonesia. “mahal” dalam makna konotasi, artinya masih jauh
dari kata “layak dan nyaman” untuk bisa bersekolah. Masih
jauh dari kata “menyenangkan” untuk bisa menjadikan sekolah
sebagai rumah kedua bagi para siswa. Bahkan tak sdikit dari
mereka masih beranggapan, “buat apa sekolah?”
Merauke, adalah salah satu kabupaten paling timur
Indonesia. Merupakan kabupaten yang berbatasan langsung
dengan Papua New Guini. Letaknya yang begitu jauh dari
ibukota Negara, membuat kabupaten ini masih sedikit kurang
perhatian dari pemerintah pusat. Keterbatasan sarana
transportasi dan komunikasi di beberapa wilayah di Merauke
membuat kabupaten ini memiliki daerah-daerah yang bisa
disebut sebagai daerah pelosok atau pedalaman. Hal ini
berdampak terhadap pola pikir dan peradaban masyarakan
“pedalaman” tersebut yang masih sedikit primitive. Begitu pula
dalam bidang pendidikan.
Kepedulian dalam bidang pendidikan oleh suku asli
masih sangat kurang. Kebanyakan dari mereka menghabiskan
hidupnya hanya untuk “mencari ……” untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya saja. Tidak jarang para orang tua
mengajak anaknya yang masih kecil-kecil untuk ikut
“mencari……….” bukanya untuk sekolah dan belajar. Pola
hidup yang demikian turut mempengaruhi orientasi anak-anak
usia sekolah terhadap pendidikan dan sekolah. Hanya ada
beberapa orang tua saja yang seringkali memperhatikan dan
menyuruh anak mereka untuk bersekolah. Siswa yang
“dipaksa” untuk bersekolah oleh orang tuanya (jika tidak dapat
pukul) terbukti memiliki kesadaran dan tingkat kehadiran serta
prestasi (kemampuan akademik) lebih tinggi disbanding siswa
lainnya.
Pernah suatu ketika saat sedang santai kami melakukan
sedikit percakapan dengan salah seorang siswa, kami: “nata,
kamu tidak ikut bapak ke laut kah?”.Siswa: “tidak bapak guru,
kata bapak saya harus sekolah”. Kami: “baru kalau kamu tidak
sekolah bapak marahkah”. Siswa:“marah bapak guru, saya bisa
kena pukul”. Dari percakapan singkat tersebut kami
beranggapan, ternyata ada juga orang tua yang berpikiran lebih
maju, yang lebih mengutamakan pendidikan bagi anaknya.
Selain karena paksaan orang tua, kehadiran siswa di
sekolah juga dipengaruhi oleh kondisi alam. Saat saat musim
panas siswa bisa berangkat lebih tempo atau lebih awal dari
pada musim hujan. Tetapi apabila cuara mendung atau hujan,
sampai pukul 10.00 wit terkadang belum ada siswa di sekolah.
Bagi penduduk pedalaman, penunjuk waktu yang mereka
gunakan adalah matahari. Sehingga apabila cuaca mendung,
dan matahari tidak muncul, mereka mengira masih pagi,
sehingga masih tidur di rumah masing-masing.
Di beberapa sekolah seperti di TK dan SD yang ada di
Distrik Kimaam, mereka memberikan sarapan pagi bagi siswa
yang berangkat ke sekolah. Hal ini menjadi daya tarik terhadap
kehadiran siswa. Tidak sedikit siswa yang berangkat sekolah
hanya ikut-ikut teman-temannya saja. Mereka ke sekolah untuk
bertemu dan bermain dengan teman-temannya, selain karena
ingin bermain dengan teman, tujuan anak pergi sekolah juga
karena takut dengan guru.
Namun, dari sekian siswa juga ada beberapa siswa yang
pergi sekolah karena kesadaran pribadi dan memang benar-
benar ingin pintar dan merasa perlu akan pendidikan. Dari
merekalah titik terang untuk perubahan yang lebih baik.

Вам также может понравиться