“Mendidiklah dengan setulus hati agar tercipta generasi
mandiri!”. Salah satu lirik dalam lagu mars SM3T. Kata-kata yang sangat mengena dan sarat akan makna. Di era saat ini mungkin kita takkan mengira bahwa pendidikan masih “mahal” untuk di beberapa wilayah di Indonesia. “mahal” dalam makna konotasi, artinya masih jauh dari kata “layak dan nyaman” untuk bisa bersekolah. Masih jauh dari kata “menyenangkan” untuk bisa menjadikan sekolah sebagai rumah kedua bagi para siswa. Bahkan tak sdikit dari mereka masih beranggapan, “buat apa sekolah?” Merauke, adalah salah satu kabupaten paling timur Indonesia. Merupakan kabupaten yang berbatasan langsung dengan Papua New Guini. Letaknya yang begitu jauh dari ibukota Negara, membuat kabupaten ini masih sedikit kurang perhatian dari pemerintah pusat. Keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi di beberapa wilayah di Merauke membuat kabupaten ini memiliki daerah-daerah yang bisa disebut sebagai daerah pelosok atau pedalaman. Hal ini berdampak terhadap pola pikir dan peradaban masyarakan “pedalaman” tersebut yang masih sedikit primitive. Begitu pula dalam bidang pendidikan. Kepedulian dalam bidang pendidikan oleh suku asli masih sangat kurang. Kebanyakan dari mereka menghabiskan hidupnya hanya untuk “mencari ……” untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja. Tidak jarang para orang tua mengajak anaknya yang masih kecil-kecil untuk ikut “mencari……….” bukanya untuk sekolah dan belajar. Pola hidup yang demikian turut mempengaruhi orientasi anak-anak usia sekolah terhadap pendidikan dan sekolah. Hanya ada beberapa orang tua saja yang seringkali memperhatikan dan menyuruh anak mereka untuk bersekolah. Siswa yang “dipaksa” untuk bersekolah oleh orang tuanya (jika tidak dapat pukul) terbukti memiliki kesadaran dan tingkat kehadiran serta prestasi (kemampuan akademik) lebih tinggi disbanding siswa lainnya. Pernah suatu ketika saat sedang santai kami melakukan sedikit percakapan dengan salah seorang siswa, kami: “nata, kamu tidak ikut bapak ke laut kah?”.Siswa: “tidak bapak guru, kata bapak saya harus sekolah”. Kami: “baru kalau kamu tidak sekolah bapak marahkah”. Siswa:“marah bapak guru, saya bisa kena pukul”. Dari percakapan singkat tersebut kami beranggapan, ternyata ada juga orang tua yang berpikiran lebih maju, yang lebih mengutamakan pendidikan bagi anaknya. Selain karena paksaan orang tua, kehadiran siswa di sekolah juga dipengaruhi oleh kondisi alam. Saat saat musim panas siswa bisa berangkat lebih tempo atau lebih awal dari pada musim hujan. Tetapi apabila cuara mendung atau hujan, sampai pukul 10.00 wit terkadang belum ada siswa di sekolah. Bagi penduduk pedalaman, penunjuk waktu yang mereka gunakan adalah matahari. Sehingga apabila cuaca mendung, dan matahari tidak muncul, mereka mengira masih pagi, sehingga masih tidur di rumah masing-masing. Di beberapa sekolah seperti di TK dan SD yang ada di Distrik Kimaam, mereka memberikan sarapan pagi bagi siswa yang berangkat ke sekolah. Hal ini menjadi daya tarik terhadap kehadiran siswa. Tidak sedikit siswa yang berangkat sekolah hanya ikut-ikut teman-temannya saja. Mereka ke sekolah untuk bertemu dan bermain dengan teman-temannya, selain karena ingin bermain dengan teman, tujuan anak pergi sekolah juga karena takut dengan guru. Namun, dari sekian siswa juga ada beberapa siswa yang pergi sekolah karena kesadaran pribadi dan memang benar- benar ingin pintar dan merasa perlu akan pendidikan. Dari merekalah titik terang untuk perubahan yang lebih baik.