Вы находитесь на странице: 1из 23

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Sebagai fuqoha’ dalam mengemukakan hakekat perkawinan hanya menonjolkan

aspek lahiriyah yang bersifat normatif. Seolah-olah akibat sahnya sebuah perkawinan hanya

sebatas timbulnya kebolehan terhadap sesuatu yang sebelumnya sangat dilarang, yakni

berhubungan badan antara laki-laki dengan perempuan. Dengan demikian yang menjadi inti

pokok pernikahan itu adalah akad (pernikahan) yaitu serah terima antara orang tua calon

mempelai wanita dengan calon mempelai laki-laki.

Perkawinan umat Islam di Indonesia juga mengacu pada pedoman hukum Islam.

Dengan perkataan lain hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan hukum

Islam sebagaimana pemahaman kalangan fuqoha’. Perkawinan juga bertujuan untuk

memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta membangun masa depan

individu keluarga dan masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, jika telah ada

kesepakatan antara orang pemuda dengan seorang pemudi untuk melaksanakan akad nikah

pada hakekatnya kedua belah pihak telah sepakat untuk merintis jalan menuju kebahagiaan

lahir batin melalui pembinaan yang ditetapkan agama.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas, terdapat beberapa hal yang berkaitan erat dengan permasalahan ini yang

akan penulis bahas

1. Apa Pengertian,,syarat dan Rukun Pernikahan


2

2. Bagaimana kedudukan ijab qabul dalam akad nikah dan apa persyratannya

3. Bagaimana hukum penikahan via telepon

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan

Akad (nikah dari bahasa Arab ‫ )عقد‬atau ijab qabul, merupakan ikrar pernikahan. Yang

dimaksud akad pernikahan adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dari qabul

dari pihak calon suami atau wakilnya. Menurut syara’ nikah adalah satu akad yang berisi

diperbolehkannya melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz ‫( انكاح‬menikahkan)

atau ‫( تزويج‬mengawinkan). ‫ ويطلق‬Kata nikah berasal dari bahasa Arab, nikaahun (‫)النكاح‬yang

merupakan masdar dari kata kerja nakaha (‫)نكح‬yan REPUBLIKA.CO.ID, Akad nikah yang

dilangsungkan melalui telepon dimana wali mengucapkan ijabnya di satu tempat dan calon

suami mengucapkan kabulnya dari tempat lain yang jaraknya berjauhan. Meskipun tidak

saling melihat, ucapan ijab dari wali dapat didengar dengan jelas oleh calon suami.

Begitu pula sebaliknya, ucapan kabul calon suami dapat didengar dengan jelas oleh wali

pihak perempuan. Bagaimana kedudukan ijab dan kabul dalam kasus tersebut? Dalam
3

Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan ulama fikih berpendapat bahwa ijab dan kabul

dipandang sah apabila telah memenuhi beberapa persyaratan.

Meski begitu, mereka berbeda pendapat dalam menginterpretasikan istilah ”satu majelis”

tersebut: apakah satu majelis itu diartikan secara fisik sehingga dua orang yang berakad

harus berada dalam satu ruangan yang tidak dibatasi oleh pembatas yang menghilangkan

arti “satu ruangan”.

Atau diartikan secara nonfisik sehingga ijab dan kabul harus diucapkan dalam satu upacara

yang tidak dibatasi oleh kegiatan-kegiatan yang menghilangkan arti ”satu upacara” tersebut,

seperti perbuatan atau perkataan yang tidak ada kaitannya dengan acara akad nikah. Antara

ijab dan kabul harus bersambung.

Imam Syafi‘i lebih cenderung memandangnya dalam arti fisik. Wali dan calon suami

harus berada dalam satu ruangan sehingga mereka dapat saling memandang. Hal ini

dimaksudkan agar kedua pihak saling mendengar dan memahami secara jelas ijab dan kabul

yang mereka ucapkan. Sehingga ijab dan kabul benar-benar sejalan dan bersambung.

Kesinambungan ijab dan kabul yang merupakan esensi dari “satu ruangan” itu merupakan

manifestasi kerelaan dan ketulusan dari kedua pihak yang berakad. Selain itu, bersatunya

ruangan akad erat kaitannya dengan tugas dua orang saksi, yakni memberitahukan pihak

lain, bila diperlukan, bahwa kedua suami istri itu benar-benar telah melakukan akad sesuai

dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.1

1
Muhamad Syuwaidah, Syekh kamil, Fiqh Wanita, Jakarta, 2006, Pustaka Alkautsar,
4

Menurut Imam Syafi'i, dua orang saksi harus melihat secara langsung dua orang yang

berakad. Dua orang saksi tidak cukup hanya mendengar ucapan ijab dan kabul yang

diucapkan oleh mereka. Jadi, Imam Syafi‘i berpendapat bahwa kesaksian tuna netra tidak

dapat diterima karena ia tidak dapat melihat langsung pihak yang berakad.

Pun, akad nikah tidak sah bila dilakukan di malam gelap gulita tanpa alat penerang. Lebih

lanjut Imam Syafi‘i mengatakan tugas saksi adalah memberitahu pihak lain bila diperlukan

bahwa kedua suami istri itu benar-benar telah melakukan akad sesuai dengan ketentuan

yang beriaku. Agar dapat melaksanakan tugas, kedua saksi harus mengetahui secara pasti

bahwa suami istri itu telah melakukan akad.

Kepastian itu diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran yang sempuma. Meskipun

keabsahan suatu ucapan atau perkataan dapat dipastikan dengan pendengaran yang jelas,

namun kepastian itu harus diperoleh dengan melihat secara langsung wali dan calon suami.

Apabila wali berteriak keras mengucapkan ijab dari satu tempat, kemudian disambut oleh

kabul calon suami dengan suara keras pula dari tempat lain, dan masing-masing pihak saling

mendengar ucapan yang lain, maka akad nikad seperti itu tidak sah.

Karena, kedua saksi tidak dapat melihat dua orang yang melakukan ijab dan kabul dalam

satu ruangan. Dengan demikian, menurut Imam Syafi‘i, akad nikah melalui telepon tidak

dapat dipandang sah karena syarat tersebut di atas tidak terpenuhi

g berarti nikah. [1]

Sedangkan menurut istilah, ada beberapa definisi tentang pernikahan antara lain :
5

a) Menurut Al-Syafi’i

Pernikahan ialah suatu akad yang mengandung pemilikan wathi’ dengan lafadz nikah atau

tazwij atau yang searti dengan kedua lafadz tersebut.2

b) Sedang dalam UU No. I tahun 1974

Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.[3]

Dari beberapa Dari beberapa pengertian tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan pernikahan adalah suatu akad/perikatan untuk menghalalkan

hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian

hidup keluarga diliputi rasa tenteram, serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah

dan menggunakan lafadz/ziwaj tertentu. pengertian tersebut, secara umum dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pernikahan adalah suatu akad/perikatan untuk

menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan

kebahagian hidup keluarga diliputi rasa tenteram, serta kasih sayang dengan cara yang

diridhai Allah dan menggunakan lafadz/ziwaj tertentu.

Perkawinan dilihat dari segi hukum

Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu pejanjian. Oleh Q.IV : 21

(surat An-nisa : 21), menyatakan “……….perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”,

2
Hamdani S. A. Al, Risalah Nikah, Jakarta, Pustaka Amani, 1989.
6

disebut dengan kata-kata “mitsaaqaan ghaliizhaan”

Juga dapat dikemukakan sebagai alas an untuk untuk mengatakan perkawinan itu

merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya :

a. Cara mengaakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah

dan dengan rukun dan syarat tertentu.

b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya

yaitu dengan prosedur talaq, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.

2. Segi social dari suatu perkawinan

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah bahwa orang

yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari

mereka yang tidak kawin.3

3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting.

Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacaa perkawinan

adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungka menjadi pasangan suami istri atau

saling minta menjadi pasangan hidupnya denganmempergunakan nama Allah sebagai

diingatkan oleh Q.IV. : 1 surat Annisa ayat 1.

2. Rukun dan Syarat Nikah.

Bagi umat Islam, pernikahan itu sah apabila dilakukan menurut hukum pernikahan Islam.

Suatu akad pernikahan dipandang sah apabila telah memenuhi segala rukun dan syarat-

syaratnya, sehingga keadaan akad pernikahan itu diakui oleh syara’.

3
Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2000.
7

Adapun rukun akad pernikahan ada lima yaitu; calon suami, calon isteri, wali nikah, dua

orang saksi, ijab dan qabul.[4] Masing-masing rukun tersebut harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

a) Calon Suami

Syarat calon suami; bukan mahram dari calon isteri, tidak terpaksa, atas kemauan sendiri,

jelas orangnya, tidak sedang menjalankan ihram haji.

b) Calon Isteri

Syarat calon isteri; tidak ada halangan syar’i, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak

sedang dalam iddah, merdeka, atas kemauan sendiri, jelas orangnya, tidak sedang berihram

haji.

c) Wali

Syarat wali; laki-laki, baligh, waras akalnya, tidak dipaksa, adil, tidak sedang berihram haji.

d) Dua Orang Saksi

Syarat dua orang saksi; laki-laki baligh, waras akalnya, adil, dapat mendengar, melihat,

bebas, tidak dipaksa, tidak sedang mengerjakan ihram haji, memahami bahasa yang

digunakan untuk ijab qabul.[5]

e) Shighat (ijab qabul)


8

Syarat shighat (ijab qabul); ada pernyataan mengawinkan dari wali, adanya pernyataan

penerimaan dari calon mempelai pria, memakai kata-kata nikah atau tazwij, atau ijab qabul

bersambungan antara ijab dan qabul jelas maksudnya, orang yang terkait ijab qabul tidak

sedang dalam ihram haji, majlis ijab qabul harus dihadiri minimum empat orang.4

3. Nikah Via Telepon dan Internet.

Adanya sedikit penjelasan di atas yaitu mengenai pengertian, syarat maupun rukun

ijab qabul yang mana Ijab oleh wali dan qobul oleh calon suami. berkenaan atas adanya

pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihubungkan dengan

4
Mahfudh Sahal KH. MA. Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh ( Solusi Problematika Umat
).Surabaya.Ampel Suci.2003
9

pelaksanaan ijab qobul ini, maka penulis mengangkat permasalahan yang mungkin terjadi di

tengah-tengah kehidupan masyarakat kita yaitu sah atau tidak akad nikah yang ijab

qobulnya dilaksanakan melalui telepon dan internet ?

Pada zaman ini, alat ukur sudah berteknologi canggih, termasuk dibidang komunikasi. Alat –

alat itu sudah sangat akrab dengan kehidupan kita sehari – hari.

Wartel ( warung Telekomunikasi ) , HP ( Hand Phone ) dan Warnet ( Warung Internet )

tumbuh bagaikan jamur di musim labuh. Kenyataan tersebut mengilhami sebagian orang

untuk melangsungkan pernikahan lewat telepon dan internet, karena dipandang lebih

praktis apalagi bagi orang yang sangat sibuk. Namun, memutuskan hukum, tidaklah cukup

hanya didasarkan atas pertimbangan kepraktisan semata. Perlu dipertimbangkan aspek –

aspek yang lain. Sebab menurut ajaran Islam, pernikahan merupakan sebuah prosesi yang

sangat sakral.

Pernikahan merupakan Mitsaq al – ghalizh ( tali perjanjian yang kuat dan kokoh ),

bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Dilihat dari fungsinya, pernikahan merupakan satu – satunya cara yang sah untuk

mendapatkan keturunan dan menyalurkan kebutuhan biologis, di samping meningkatkan

ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.[7]

Menikah bukan sekedar formalisasi pemenuhan kebutuhan biologis semata. Lebih dari itu

pernikahan adalah Syari’atun azhimatun ( Syariat Yang Agung ) yang dimulai sejak Nabi

Adam yang saat itu dinikahkan dengan Hawa oleh Allah SWT. Pernikahan adalah sunah

Rasul, karenanya ia merupakan bentuk ibadah bila dimotivasi oleh sunah Rasul itu.
10

Pernikahan merupakan bentuk ibadah Muqayyadah, artinya ibadah yang pelaksanannya

diikat dan diatur oleh ketentuan syart dan rukun.

Menurut ulama’ Hanafiyah, rukun dari pernikahan hanyalah ijab dan qabul saja. Sementara

menurut Jumhur al – Ulama’ ( mayoritas pendapat Ulama’ ) ada empat macam meliputi :

Shighat atau ijab qabul, mempelai wanuta, mempelai laki – laki dan wali. Ada juga yang

memasukkan ulama’ yang memasukkan mahar dan saksi sebagai rukun, tetapi jumhur al –

ulama’ memendang keduanya sebagai syarat.

Dari ketentuan diatas kita dapat pahami bahwa ijab dan qabul adalah satu –satunya rukun

yang disepakati oleh senmua ulama’. Meskipun mereka sepakat hal itu namun keduanya,

baik hanafiyah maupun jumhur al – ulama’ memiliki pengertian tentang ijab dan qabul yang

berbeda. Hanafiyah berpendapat bahwa ijab adalah kalimat yang keluar pertama kali dari

salah satu orang yang melakukan akad, baik itu dari suami atau istri, sedangkan qabul

adalah jawaban dari pihak kedua. Adapun menurut jumhur al – ulama’. Ijab memiliki

pengertian lafald yang keluar dari pihak wali mempelai perempuan atau seseorang yang

mewakili wali. Sementara qabul adalah lafal yang keluar dari pihak laki – laki sebagai

petunjuk kesediaan menikah. Jadi menurut Hanafiyah, boleh – boleh saja ijab itu datang dari

mempelai laki – laki yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan. Berbeda dengan

Hanafiyah, jumhur al – ulama’ yang mengharuskan ijab datang dari wali mempelai

perempuan dan qabul dari mempelai laki – laki.[8]

Melihat kedudukannya yang demikian, prosesnya tentu agak rumit dan ketat. Berbeda

dengan akad jual beli atau muamalah lainnya, seperti termaktub dalam kitab Tanwir Al –
11

Qulub, At – Tanbih, dan Kifayah Al – Akhyar, akad pernikahan hanya dianggap sah jika

dihadiri mempelai laki – laki, seorang wali dan di tambah minimal dua orang saksi yang adil.

Pengertian “ dihadiri “ di sini, mengharuskan mereka secara fisik ( jasadnya ) berada dalam

satu majlis. Hal itu untuk mempermudah tugas saksi dan pencatatan. Sehingga kedua

mempelai yang terlibat dalam akad tersebut pada saat yang akan tidak mempunyai peluang

untuk mengingkarinya.

Karenanya, akad nikah lewat telepon dan internet tidak mendapat pembenaran dalam fiqih.

Sebab tidak dalam satu majlis dan sangat sulit dibuktikan.[9]

Di masa dulu, akad nikah ( ijab dan qabul ) barangkali bukanlah sesuatu yang penting

dibicarakan karena mungkin belum ada cara lain selain hadir di majlis yang telah disepakati.

Sekarang fenomena itu menjadi menarik mengingat intensitas aktivitas manusia semakin

tinggi dan semakin tidak terbatas, sementara kecanggihan alat komunikasi memungkinkan

manusia menembus semua batas dunia dengan alat semacam internet, telepon, faks dan

lain – lain. Bagi orang yang sibuk dan terpisah oleh ruang dan waktu tertentu, alat itu

dipandang lebih praktis dan efisien termasuk untuk melangsungkan prosesi akad nikah

dalam hal ini ijab dan qabul.

Dilihat dari kelazimannya, penggunaan internet untuk komunikasi adalah menu e – mail dan

chating yang secara esensial sama dengan surat, yaitu pesan tertulis yang dikirimkan.

Bedanya hanya media yang digunakan untuk menulis pesan. Kalau surat ditulis pada kertas

dan memakan waktu yang relative lama untuk sampai tujuan sedangkan e – mail dan

chating menggunakan computer yang dengan kecanggihannya dapat langsung diakses dan

dijawab seketika itu oleh orang yang dituju.


12

Menurut ulama’ Hanafiyah bahwa akad nikah via telepon dan internet itu sah dilakukan

karena mereka menyamakan dengan akad nikah yang dilakukan dengan surat karena surat

di pandang sebagai khitab ( al – khitab min al – ghaib bi manzilah al – khitab min al – hadhir )

dengan syrat dihadiri oleh dua saksi.

Meskipun penggunaan telephon dan internet untuk melakukan akad nikah jarak jauh ada

yang memperbolehkan namun pendapat itu banyak ditentang oleh jumhur al – ulama’

mengingat pernikahan memilki nilai yang sangat sacral dan bertujuan mewujudkan rumah

tangga sakinah,mawaddah dan rahmah bahkan tatanan social yang kukuh. Oleh karena itu

pelaksanaan akad nikah harus di hadiri oleh yang bersangkutan secara langsung dalam hal

ini mempelai laki –laki, wali dan minimal dua saksi.

Dengan demikian akad nikah melalui media komunikasi ( internet, telepon,faks dan lain –

lain ) tidaklah sah, karena tidak dalam satu majlis dan sulit dibuktikan. Di samping itu sesuai

dengan pendapat Mlikiyah, Syafi;iyah dan Hanabilah yang menyatakan tidak sah akad nikah

dengan surat karena surat adalah kinayah.[10]

‫شرعا على عقد مشتمل على االركان والشروطا‬

Akad nikah merupakan syarat wajib dalam proses atau ucapan perkawinan menurut

Islam akad nikah boleh dijalankan oleh wali atau diwakilkan kepada juru nikah.

‫ وال يصح عقد‬.‫وشروط الصيغة كونها بصريح مشتق انكاح او تزويج ولو بغير العربية جيث فهما العقدان والشاهدان‬

‫ وانما السرط عدم الفسق وفى بعض النسخ بولى ذكر وهو‬.‫النكاح اال بولي غدل او ماذونه والعدالة ليست بشرط في الولى‬

.‫اي الذكور – إختراز عن األنثى فانما ال تزوج نفسها وال غيرها‬


13

Syarat (akad) yaitu adanya akad itu jelas keluar dari lafadz ‫ نكاح‬atau ‫( تزويج‬aku nikahi)

walaupun akad tersebut tanpa menggunakan bahasa arab sekitarnya kedua lafadz itu

dipahami oleh dua orang yang akad dan dua saksi.

Dan tidak sah akad nikah kecuali dengan wali yang adil, atau orang yang mendapatkan ijin

wali. Syarat dalam wali itu disyaratkan tidak fasiq di sebagian nusakh itu harus wali laki-laki

yang lebih diunggulkan dari pada wanita, karena sesungguhnya wanita itu tidak bisa

menikahkan diri sendiri atau menikahkan orang lain.

‫وال يصح عقد النكاح ايضا اال بحضور شاهدى عدل‬

Dan tidak sah juga akad nikah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang adil.

C. Nikah Lewat Telepon Menurut Hukum Islam

Menentukan sah / tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhi / tidaknya rukun-rukun

nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi rukun-

rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin putri, dan ijab qabul.

Namun, jika dilihat dari segi syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada

kelemahan / kekurangan untuk dipenuhi.

Misalnya, identitas calon suami istri perlu dicek ada / tidaknya hambatan untuk kawin (baik

karena adanya larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya

persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon sebelum akad

nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang identitas wali yang tidak bisa

hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon. Juga

para saksi yang sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra

lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang
14

disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang

berbeda lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington

Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam sebagaimana yang telah dilakukan

oleh Prof. Dr Baharuddin yang mengawinkan putrinya di Jakarta (dra. Nurdiani) dengan Drs.

Ario Sutarti yang sedang belajar di Universitas Indiana Amerika Serikat pada hari sabtu

tanggal 13 Mei 1989 pukul 10.00 WIB bertepatan hari jumat pukul 22.00 waktu Indiana

Amerika Serikat.

Karena itu, nikah lewat telepon itu tidak sah dan dibolehkan menurut Hukum Islam, karena

selain terdapat kelemahan /kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun nikah

dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’

sebagai berikut :

1. Nikah itu termasuk ibadah. Karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan

al-Qur’an dan sunnah nabi yang shahih, berdasarkan kaidah hukum:

‫االصل فى العبادة حرام‬

“Pada dasarnya, ibadah itu haram”.

Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa aturan

sendiri).

2. Nikah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu

bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang sacral

dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri, sebagaimana firman Allah

dalam al-Quran surat nisa’ ayat : 21

Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
15

3. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya

penyalahgunaan atau penipuan (gharar/khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan

(confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat

nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi/kaidah fiqih

‫ال ضرر وال ضرارا‬

Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.

Dan hadis Nabi

‫دعما يريبك اال ماال يريبك‬

Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak

meragukan engkau.

‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬

Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah

Kedudukan Ijab Qabul dalam Akad Nikah dan Persyaratan Bersatu majlis Bagi Ijab Qabul

Manifestasi dari perasaan rela sama rela dan suka sama suka dalam akad nikah adalah ijab

dan qabul, oleh karena itu ijab qabul adalah unsure mendasar bagi keabsahan akad nikah.

Ijab berarti menyerahkan amanah Allah yaitu anak perempuan si wali kepada calon suami,

dan qabul berarti sebagai lambing bagi kerelaan menerima amanah Allah. Dengan Ijab qabul

menjadi halal sesuatu yang tadinya haram.5

Syaikh Kamil Muhammad Syuwaidah menulis dalam bukunya bahwa disyaratkan

menyatukan tempat ijab qabul. Begitu juga Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya menukil

Al-fiqh ‘ala Mazahib al-arba’ah menukil kesepakatan ulama mujtahid mensyaratkan bersatu

5
Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2000.
16

majlelis bagi ijab qabul. Dengan demikian apabila tidak bersatu antara majelis mengucapkan

ijab dengan majelis mengucapkan qabulnya, akad nikah dianggap tidak sah.

Dalam hal perkawinan melalui telepon, ijab qabul tidak dilaksanakan dalam satu majelis,

berarti perkawinan melalui telepon tidak sah. Akan tetapi berikut akan dibahas lebih jauh

tentang hukum perkawinan melalui telepon dan dan bagaimana solusinya.

C. Hukum Perkawinan via Telepon

Pada tahun 1989 perkawinan jarak jauh khususnya lewat media telepon telah

dikukuhkan oleh sebuah putusan pengadilan yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta

Selatan No.1751/P/1989. Namun demikian, putusan ini dipandang cukup riskan. Bahkan,

hakim yang memutus perkara tersebut mendapat teguran dari MA karena dianggap dapat

menimbulkan preseden tidak baik. Hal yang dianggap bermasalah adalah rentannya

penipuan dan pemalsuan. Suara atau percakapan bisa dipalsu dan ditiru bahkan satu orang

terkadang mampu menirukan beberapa percakapan atau suara baik suara laki-laki atau

perempuan, anak kecil ataupun orang dewasa dan para pendengar menyangka bahwa

suara-suara tersebut keluar dari banyak mulut, ternyata suara-suara tersebut hanya dari

satu lisan saja.

Menurut pendapat yang menentang ini, karena dalam syariat selalu besikap hati-

hati, maka akad nikah dari mulai ijab, kabul dan mewakilkan lewat telepon sebaiknya tidak

disahkan. Demi kemurnian syari'at dan menjaga kemaluan dan kehormatan agar orang-

orang jahil dan para pemalsu tidak mempermainkan kesucian Islam dan harga diri manusia

meskipun seluruh syarat dan rukun nikah terpenuhi.

Penulis berpedoman pada prinsif dasar hukum Islam yaitu mencari kemudahan dan

tidak memberatkan. Sekaligus juga tanpa harus mengabaikan prinsif yang lain tentang

pentingnya suatu kepastian hukum yang dilanadsakan pada istinbath hukum yang kuat.
17

Sebenarnya masalah jarak yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam

pandangan syariah sangat mudah solusinya. Baik yang terpisah adalah pasangannya atau

pun walinya, atau bahkan ketiga pihak yaitu calon suami, calon isteri dan wali semua

terpisah jarak. Bukankah tetap masih dimungkinkan adanya akad nikah.

Solusinya bukan nikah jarak jauh, melainkan adanya taukil atau perwakilan Karena

secara umum, mewakilkan akad itu dibolehkan karena hal ini dibutuhkan oleh umat

manusia dalam hubungan kemasyarakatan. Para Ahli Fiqh sependapat bahwa setiap akad

yang boleh dilakukan oleh orang yang bersangkutan berarti boleh juga diwakilkan kepada

orang lain. Dahulu Nabi saw. Dapat menjadi atau berperan sebagai wakil dalam akad

perkawinan sebagian sahabatnya. Begitu juga Umar bin Umayyah adh-Dhamri pernah

bertindak sebagai wakil Rasulullah (dengan Ummu Habibah), Dalam Hadits Rasul

disebutkan6

yang artinya :

“Ummu Habibah adalah salah seorang yang pernah ikut berhijrah ke habsyah, dikawinkan

oleh Raja Najasyi dengan Rasulullah, padahal pada waktu itu Ummu Habibab berada di

negeri Raja Najasyi itu.”(H.R. Abu Dawud)

Jadi, Seorang ayah kandung dari anak gadis yang seharusnya menjadi wali dalam

akad nikah dan mengucapkan ijab, dibenarkan dan dibolehkan untuk menunjuk seseorang

yang secara syarat memenuhi syarat seorang wali. Dan penunjukan tersebut boleh

dilakukan secara jarak jauh melalui media komunikasi, baik lewat surat tertulis atau

6
KH. Sahal Mahfudh MA. Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh ( Solusi Problematika Umat

).Surabaya.Ampel Suci.2003.hlm. 235.


18

pembicaraan telepon SLI, bahkan boleh lewat SMS, chatting, email, atau Video Conference

3.5 G. Cukup ditetapkan siapa yang akan menjadi wakil dari wali, yang penting tinggalnya

satu kota dengan calon suami. Lalu dilakukanlah akad nikah secara langsung di satu majelis

yang dihadiri oleh minimal 2 orang saksi laki-laki.


19

ANALISIS

Peristiwa akad nikah lewat telepon itu mengundang reaksi yang cukup luas dari

masyarakat contohnya pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad nikah jarak jauh Jakarta-

Bloomington Amerika Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr.

Baharuddin Harahap di Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami drs. Ario sutarto yang sedang

bertugas belaar di program pasca sarjana Indiana University AS, sedangkan calon istri adalah

dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN Jakarta itu. Kedua calon suami istri itu sudah lama

berkenalan sejak sama-sama belajar dari tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya

untuk nikah juga sudah mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak.

Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan alasan

tiadanya beaya perjalanan pulang pergi AS- Jakarta dan studinya agar tidak terganggu, maka

disarankan oleh pejabat pencatat nikah (KUA) agar diusahakan adanya surat taukil

(delegation of authority) dari calon suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya

dalam akad nikah (ijab qobul) nantinya di Jakarta.

Setelah waktu pelaksanaan akad nikah tinggal sehari belum juga datang surat taukil

itu, padahal surat undangan untuk walimatul urs sudah tersebar, maka Baharuddin sebagai

ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan

upacara akad nikah pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain dengan melengkapi pesawat

telepon dirumahnya dengan alat pengeras suara (mikrofon) dan dua alat perekam, ialah
20

kaset, tape recorder dan video. Alat pengeras suara itu dimaksudkan agar semua orang yang

hadir di rumah Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon suami di AS itu bisa

mengikuti upacara akad nikah dengan baik, artinya semua orang yang hadir di dua tempat

yang terpisah jauh itu dapat mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak

7wali mempelai putri dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki ; sedangkan alat

perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas berlangsungnya

akad nikah pada hari itu.

Setelah akad nikah dilangsungkan lewat telepon, tetapi karena surat taukil dari calon suami

belum juga datang pada saat akad nikah dilangsungkan, maka kepala KUA Kebayoran Baru

Jakarta Selatan tidak bersedia mencatat nikahnya dan tidak mau memberikan surat nikah,

karena menganggap perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni hadirnya

mempelai laki-laki atau wakilnya.

Peristiwa nikah tersebut mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat, terutama dari

kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka menganggap tidak sah nikah

lewat telepon itu, antara lain Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri,

ketua umum MUI pusat, dan prof. dr. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat

membenarkan tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak

memberikan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah,

mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan confused (keraguan)

dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat secara sempurna

menurut hukum Islam.

7
Idris Ramulyo, Muhamad, SH.,M.H., Hukum Perkawinan,Hukum Kewarisan, Hukum
21

Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum

safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis

kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai suami istri yang sah. Adapula ulama

yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan

darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat

telepon itu tidak sah secara mutlak. 8

BAB II

KESIMPULAN

Dari uraian yang penulis sampaikan di muka, dapat lah penulis simpulkan dan sarankan

sebagai berikut :

1. nikah lewat telepon tidak boleh dan tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan

hukum syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

8
Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2000.
22

2. penetapan/putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang mengesahkan nikah lewat

telepon No. 175/P/1989 tanggal 20 April 1990 merupakan preseden yang buruk bagi dunia

Peradilan Agama di Indonesia, karena melawan arus dan berlawanan dengan pendapat

mayoritas dari dunia Islam.

3. penetapan peradilan agama tersebut hendaknya tidak dijadikan oleh para hakim

pengadilan agama seluruh Indonesia sebagai yurisprudensi untuk membenarkan dan

mengesahkan kasus yang sama

Dari Uraian panjang diatas, dapat penulis simpulkan bahwa sebaiknya perkawinan lewat

telepon tidak dilakukan, karena rentannya penipuan dan pemalsuan. Penulis berpedoman

pada prinsif dasar hukum Islam yaitu mencari kemudahan dan tidak memberatkan.

Sekaligus juga tanpa harus mengabaikan prinsif yang lain tentang pentingnya suatu

kepastian hukum yang dilanadsakan pada istinbath hukum yang kuat. Sebenarnya masalah

jarak yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan syariah sangat

mudah solusinya. Solusinya adalah bukan nikah jarak jauh, akan tetapi adanya taukil atau

perwakilan.

DAfTAR PUSTAKA

Muhamad Syuwaidah, Syekh kamil, Fiqh Wanita, Jakarta, 2006, Pustaka Alkautsar,
23

Effendi M, Zein MA, Prof, Dr. Satria Effendi,. Problematika Hukum Islam Kontemporer,

Jakarta, Prenada Media.2005.

Idris Ramulyo, Muhamad, SH.,M.H., Hukum Perkawinan,Hukum Kewarisan, Hukum

Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Jaakrta, 2000, Sinar Grafika,

Abu Hafsh Usamah bin kamal bin abdir Razaq, Panduan Lengkap Nikah, Bogor, Pustaka Ibnu

Katsir, 2006,

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah jilid 3,2008, Jakarta, PT Nada Cipta Raya,

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,1986, Jakarta, UI Press

– Al-Jaziri Abdurrahman, al-Fiqh Ala Madhahib al-Arba’ah, Juz IV, Beirut Libanon:

Tijariah Kubra, 1990.

– Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2000.

– Hamdani S. A. Al, Risalah Nikah, Jakarta, Pustaka Amani, 1989.

– Mahfudh Sahal KH. MA. Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh ( Solusi Problematika

Umat ).Surabaya.Ampel Suci.2003

– Ramulya Muhammad Idris, Hukum Pernikahan Islam, Suatu Analisis dari Undang-

undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Bumi Aksara, Cet. Ke-2, 1999.

– Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.

[1]

Вам также может понравиться