Вы находитесь на странице: 1из 22

PRESENTASI KASUS

KERATITIS Staphylococcus sp.

Pembimbing:
dr. Yulia Fitriani, Sp.M

Disusun oleh :
J. Arinda. P
G4A016123

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS REFERAT

KERATITIS Staphylococcus sp.

Disusun oleh:
J. Arinda. P G4A013092

diajukan untuk memenuhi persyaratan mengikuti program profesi dokter pada


SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal, Oktober 2017

Pembimbing,

dr. Yulia Fitriani, Sp. M


NIP. 19820730 201412 2 001
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat,

hidayah dan inayah-Nya, sehingga referat dengan judul “Keratitis Staphylococcus

sp.” ini dapat diselesaikan. Referat ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu

Penyakit Mata. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik untuk

perbaikan penulisan di masa yang akan datang.

Penulis menyadari referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak penulis harapkan demi referat yang lebih
baik. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini bermanfaat bagi

semua pihak yang ada di dalam maupun di luar lingkungan RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto. Terima kasih.

Purwokerto, Oktober 2017

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 2


KATA PENGANTAR ......................................................................................... 3
DAFTAR ISI ........................................................................................................ 4
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Mata ..................................................................... 6
B. Definisi ...................................................................................................... 11
C. Etiologi ...................................................................................................... 11
D. Epidemiologi ............................................................................................ 12
E. Patofisiologi .............................................................................................. 12
F. Gejala Klinis.............................................................................................. 14
G. Penegakan Diagnosis ................................................................................ 15
H. Penatalaksanaan ........................................................................................ 17
I. Komplikasi ................................................................................................ 19
J. Prognosis ................................................................................................... 20
III. KESIMPULAN ............................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang
pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Peradangan
kornea yang dapat bersifat akut maupun kronis yang disebabkan oleh
berbagai faktor antara lain bakteri, jamur, virus atau karena alergi-
imunologi.9
Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi
menjadi keratitis pungtata superfisialis, keratitis marginal dan keratitis
interstitial. Kemudian berdasarkan bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi
keratitis sika, keratitis flikten, keratitis nurmularis dan keratitis
neuroparalitik.9 Keratitis akan memberikan gejala seperti rasa nyeri,
fotofobia, dan adanya sekret yang purulen yang biasa terdapat pada keratitis
bakterial.10
Keratitis bakterial dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu
kerusakan epitelium kornea maupun infeksi pada area yang telah mengalami
erosi. Organisme yang sering menyebabkan infeksi ini adalah
Staphylococcus aureus, Pseudomonas pyocyanea, Streptococcus
pneumoniae, E. Coli, Proteus, Klebsiella, N.gonorrhoea, N.meningitidis,
dan C.diphtheriae.2
Variasi geografi yang luas dari epidemiologi keratitis adalah keratitis
bakteri yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan iklim. Penyebab keratitis
90% disebabkan oleh bakteri, jenis bakteri seperti Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Stapylococcus aeroginosa, dan Moraxella.9
Sthapylococcus adalah organisme gram-positif yang paling umum,
biasanya terdapat pada flora normal mata. Keratitis Sthapylococcus lebih
sering terjadi pada kasus kornea yang compromised.3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Histologi Kornea


Kornea berasal dari bahasa Latin, kornu, yang berarti tanduk. Kornea
merupakan bagian tunika fibrosa yang transparan, tidak mengandung
pembuluh darah, dan kaya akan ujung-ujung serat saraf. Kornea berasal dari
penonjolan tunika fibrosa ke sebelah depan bola mata.1 Kornea
berhubungan dengan sklera pada limbus yang merupakan depresi
sirkumferensial yang dapat disebut juga dengan sulkus sklera. Ketebalan
kornea pada manusia dewasa rata-rata adalah 0,52 mm pada bagian tengah,
dan 0,65 mm pada bagian perifer, dengan diameter 11,75 mm secara
horizontal. 2
Kornea bertanggung jawab terhadap ¾ kekuatan optik dari mata.
Dengan tidak adanya pembuluh darah maka untuk memenuhi kebetuhan
nutrisi dan pembuangan produk metabolik pada kornea dilakukan melalui
aqueous humor pada bagian posterior dan melalui air mata yang melewati
air mata pada bagian anterior. Korena diinervasi oleh cabang pertama dari
nervus trigeminus yang menyebabkan segala kerusakan pada kornea (abrasi
kornea, keratitis, dll) menimbulkan rasa sakit, fotofobia, dan refleks
lakrimasi.3
Secara histologis, kornea dibagi menjadi 5 bagian yaitu:
a. Epitel kornea1,3
Epitel kornea merupakan lanjutan dari konjungtiva disusun oleh
epitel gepeng berlapis tanpa lapisan tanduk. Lapisan ini merupakan lapisan
kornea terluar yang langsung kontak dengan dunia luar dan terdiri atas 5-6
lapis sel. Basal sel kolumnar pada lapis sel pertama melekat dengan
membran basement dibagian bawahnya dengan hemidesmosome. Dua
lapisan diatas sel basal tersebut merupakan sel ”wing”, atau sel payung, dan
dua lapisan diatas berikutnya merupakan sel gepeng.
Epitel kornea ini mengandung banyak ujung- ujung serat saraf
bebas. Sel-sel yang terletak di permukaan cepat menjadi aus dan digantikan
oleh sel-sel yang terletak di bawahnya yang bermigrasi dengan cepat. Stem
cell epitelial ini terletak pada superior dan inferior limbus.
b. Membran Bowman 1,2
Membran Bowman merupakan lapisan fibrosa aseluler yang terletak
di bawah epitel tersusun dari serat kolagen tipe 1.
c. Stroma Kornea1,2
Stroma kornea tersusun dari serat-serat kolagen tipe 1 yang berjalan
secara paralel membentuk lamel kolagen dengan sel-sel fibroblast
diantaranya. Lamel kolagen ini berjalan paralel dengan permukaan kornea
dan bertanggung jawab terhadap kejernihan kornea. Ketebalan stroma
kornea mencakup 90% dari ketebalan kornea. Stroma kornea tidak dapat
beregenerasi.
d. Membran Descemet1,2,3
Membran descemet merupakan membran dasar yang tebal tersusun
dari serat-serat kolagen yang dapat dibedakan dari stroma kornea. Memiliki
ketebalan sekitar 3 mm pada saat lahir dan meningkat ketebalannya
sepanjang usia. Membran Descemet memiliki potensi untuk beregenerasi.
e. Endotel kornea
Lapisan ini merupakan lapisan kornea yang paling dalam tersusun
dari epitel selapis gepeng atau kuboid rendah. Sel-sel ini mensintesa protein
yang mungkin diperlukan untuk memelihara membran Descement. Sel-sel
ini mempunyai banyak vesikel dan dinding selnya mempunyai pompa
natrium yang akan mengeluarkan kelebihan ion-ion natrium ke dalam
kamera okuli anterior. Ion-ion klorida dan air akan mengikuti secara pasif.
Kelebihan cairan di dalam stroma akan diserap oleh endotel sehingga stroma
tetap dipertahankan dalam keadaan sedikit dehidrasi (kurang cairan), suatu
faktor yang diperlukan untuk mempertahankan kualitas refraksi kornea.
Kornea bersifat avaskular (tak berpembuluh darah) sehingga nutrisi
didapatkan dengan cara difusi dari pembuluh darah perifer di dalam limbus
dan dari humor aquoeus di bagian tengah. Kornea menjadi buram bila
endotel kornea gagal mengeluarkan kelebihan cairan di stroma. Pada
manusia dewasa, densitas dari endotel kornea adalah sekitar 2.500 sel/mm2.
Densitas ini berkurang sepanjang usia kurang lebih 0,6% setiap tahun dan
sel-sel endotel tetanga membesar berusaha untuk mengisi ruang kosong.
Sel-sel endotel ini tidak dapat beregenerasi. Pada densitas 500 sel/mm2,
akan terjadi edema kornea dan transparansi menjadi berkurang.

Gambar 1. Histologi Kornea3

B. Fisiologi Kornea
Fungsi dari kornea adalah sebagai membran protektif dan sebagai
“jendela” yang dilewati oleh cahaya untuk sampai ke retina.
Transparansi Kornea
Sifat transparan dari kornea dihasilkan oleh berbagai faktor yang
saling berhubungan, yaitu susunan dari lamela kornea, sifat avaskular, serta
keadaan dehidrasi relatif (70%) yang dijaga oleh adanya efek barrier dari
epitelium, endotelium, dan pompa bikarbonat yang bekerja secara aktif pada
endotelium.
Keadaan dehidrasi tersebut dihasilkan oleh evaporasi air dari laporan
air mata prekorneal yang menghasilkan lapisan dengan sifat hipertonis.
Dalam hal ini, endotelium memegang peranan yang lebih besar daripada
epitelium. Demikian pula bila terjadi kerusakan pada endotelium, akan
diperoleh dampak yang lebih besar.1-6
Penetrasi pada kornea yang sehat atau intak oleh obat bersifat
bifasik. Substansi larut lemak dapat melewati epithelium dan substansi larut
air dapat melewati stroma. Obat yang diharapkan untuk dapat menembus
kornea harus memiliki kedua sifat tersebut.4
Metabolisme Kornea
Untuk menyokong sifat fisiologis tersebut, kornea membutuhkan
energi. Adapun sumber energi kornea diperoleh melalui:
 Zat terlarut, misalnya glukosa, masuk ke kornea secara pasif melalui
difusi sederhana maupun secara transpor aktif melalui aqueous
humor, serta melalui difusi dari kapiler perilimbal.
 Oksigen, secara langsung diperoleh dari udara atmosfer melalui
lapisan air mata. Proses ini dijalankan secara aktif melalui epitelium.
Sumber energi ini kemudian diproses / dimetabolisme, terutama oleh
epitelium dan endotelium. Dalam hal ini, karena epitelium jauh lebih tebal
daripada endotelium, suplai energi yang dibutuhkan pun jauh lebih besar,
sehingga akitivitas metabolisme tertinggi di mata dijalankan oleh kornea.4
Kornea adalah jaringan yang braditrofik, yaitu jaringan dengan metabolisme
yang lambat dan karenanya juga penyembuhan yang lambat.5
Sebagaimana jaringan lain, epitelium dapat melangsungkan
metabolisme secara aerobik maupun anaerobik. Secara aerobik, proses yang
terjadi adalah glikolisis (30%) dan heksosa monofosfat (65%). Secara
anaerobik, metabolisme akan menghasilkan karbon dioksida, air, dan juga
asam laktat.2-4
Kornea juga dilengkapi oleh beberapa materi antioksidan untuk
menangkal radikal bebas yang dapat terjadi sebagai efek samping dari
proses metabolisme. Adapun antioksidan yang terkandung dalam jumlah
terbesar pada kornea adalah glutation reduktase, selain terdapat pula
askorbat, superoksida dismutase, serta katalase.
Proteksi dan Persarafan Kornea
Struktur ini menerima persarafan dari cabagn ophtalmik dari nervus
trigeminalis. Kornea sendiri adalah sebuah struktur vital pada mata dan
karenanya juga bersifat sangat sensitif. Sensasi taktil minimal telah dapat
menimbulkan refleks penutupan mata. Adapun lesi pada kornea akan
membuat ujuang saraf bebas terpajan dan sebagai akibatnya, akan timbul
nyeri hebat diikuti refleks pengeluaran air mata beserta lisozim yang
terkandung di dalamnya (epifora) dan penutupan mata secara involunter
(blefarospasme) sebagai mekanisme proteksinya.5
Resistensi Kornea terhadap Infeksi
Epitelium kornea, dengan sifat hidrofobik dan regenerasi cepatnya,
merupakan pelindung yang sangat baik dari masuknya mikroorganisme ke
dalam kornea. Akan tetapi, bila lapisan ini mengalami kerusakan, lapisan
stroma yang avaskular serta lapisan Bowman dapat menjadi tempat yang
baik bagi mikroorganisme, misalnya bakteri, amuba, dan jamur.
Faktor predisposisi yang dapat memicu inflamasi pada kornea di
antaranya adalah blefaritis, perubahan pada epitel kornea (misalnya mata
kering), penggunaan lensa kontak, lagoftalmus, kelainan neuroparalitik,
trauma, dan penggunaan kortikosteroid. Untuk dapat menimbulkan infeksi,
diperlukan inokulum dalam jumlah besar atau keadaan defisiensi imun.
Di dalam kornea itu sendiri, terdapat Streptococcus pneumoniae,
yang merupakan bakteri patogen kornea yang sesungguhnya. Salah satu
bakteri oportunis yang dapat menginfeksi adalah Moraxella liquefaciens.
Umumnya, mikroorganisme ini ditemui pada pengonsumsi alkohol sebagai
akibat dari deplesi piridoksin. Di samping itu, ditemukan pula kelompok
lain, misalnya Serratia marcescens, Mycobacterium fortuitum-chelonei
complex, Streptococcus viridans, Staphylococcus epidermidis, virus,
amuba, dan jamur.
Faktor lain, yaitu defisiensi imun, dapat disebabkan oleh konsumsi
kortikosteroid lokal maupun sistemik, sehingga organisme oportunistik
dapat menyerang dan menginfeksi kornea.2

C. Definisi
Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada
kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam
penglihatan menurun. Infeksi pada kornea bisa mengenai lapisan superficial
yaitu pada lapisan epitel atau membran bowman dan lapisan profunda jika
sudah mengenai lapisan stroma.2
Keratitis bakterial adalah infeksi bakterial kornea yang serius dan
berpotensi mengancam kemampuan penglihatan mata yang biasanya
didapat pada pasien dengan compromised corneal surface.7
Staphylococcus adalah sel berbentuk bulat, gram positif tersusun
seperti buah anggur, bakteri ini mudah tumbuh pada berbagai media dan
metabolismenya aktif, meragikan banyak karbohidrat dan menghasilkan
pigmen yang bervariasi dari warna putih hingga kuning tua.

D. Etiologi
Faktor risiko umum untuk infeksi keratitis meliputi trauma okular,
memakai lensa kontak, riwayat operasi mata sebelumnya, mata kering,
gangguan sensasional kornea, penggunaan kronis steroid topikal, dan
imunosupresi sistemik. Patogen umum termasuk Staphylococcus aureus,
koagulase-negatif Staphylococcus, Pseudomonas aeruginosa,
Streptococcus pneumonia, dan spesies Serratia. Mayoritas kasus yang
ditemukan di masyarakat adalah keratitis bakteri yang teratasi dengan
pengobatan empirik dan tidak memerlukan kultur bakteri. Apusan kornea
untuk kultur dan tes sensitivitas diindikasikan untuk ulkus kornea dengan
ukuran yang besar, berlokasi di sentral kornea, mencapai daerah stroma.7
E. Epidemiologi
Variasi geografi yang luas dari epidemiologi keratitis bakteri
dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan iklim. Di India dan Nepal,
Steptococcus pneumoniae merupakan bakteri patogen yang lebih dominan.
Sedangkan Pseudomonas sp merupakan spesies bakteri yang lebih banyak
ditemukan dalam penelitian di Banglades, Hongkong dan Paraguay.4
Perbedaan tersebut dipegaruhi oleh faktor ikim dan lingkungan.
Keratitis jamur dan keratitis bakteri lebih sering terjadi pada musim semi.
Hal ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas agrikultur dan/ atau
peningkatan proliferasi dari agen patogen pada periode tersebut. Faktor
predisposisi keratitis bakteri yang sering di Brazil adalah taruma, khususnya
taruma pada kornea. Penelitian Marlon M. Ibrahim dkk menunjukkan
bahwa iklim, lingkungan tempat tinggal mempengaruhi karakteristik dari
keratitis bakteri.6
Menurut Murillo Lopez, sekitar 25.000 orang Amerika terkena
keratitits bakteri per tahun. Kejadian keratitis bakteri bervariasi, dengan
lebih sedikit pada negara negara industri yang secara signifikan lebih sedikit
memiliki jumlah pengguna lensa kontak.

F. Patofisiologi
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea mengalami cedera,
stroma yang avaskuler dan membrane bowman mudah terinfeksi oleh
berbagai macam mikroorganisme seperti amoeba, bakteri dan jamur.2
Kornea adalah struktur yang avaskuler oleh sebab itu pertahanan
pada waktu peradangan, tidak dapat segera ditangani seperti pada jaringan
lainnya yang banyak mengandung vaskularisasi. Sel-sel di stroma kornea
pertama-tama akan bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul
dengan dilatasi pembuluh darah yang ada di limbus dan tampak sebagai
injeksi pada kornea. Sesudah itu terjadilah infiltrasi dari sel-sel lekosit, sel-
sel polimorfonuklear, sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat,
yang tampak sebagai bercak kelabu, keruh dan permukaan kornea menjadi
tidak licin.2-9
Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini
dapat dibuktikan dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang
berwarna kehijauan pada kornea. Bila tukak pada kornea tidak dalam
dengan pengobatan yang baik dapat sembuh tanpa meninggakan jaringan
parut, namun apabila tukak dalam apalagi sampai terjadi perforasi
penyembuhan akan disertai dengan terbentuknya jaringan parut. Mediator
inflamasi yang dilepaskan pada peradangan kornea juga dapat sampai ke
iris dan badan siliar menimbulkan peradangan pada iris. Peradangan pada
iris dapat dilihat berupa kekeruhan di bilik mata depan. Kadang-kadang
dapat terbentuk hipopion.2
Pada keratitis bakteri adanya gangguan dari epitel kornea yang intak
dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana
akan terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat
menyebabkan invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang
membantu proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi
pada struktur fimbriasi dan struktur non fimbriasi yang membantu
penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada
area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut
(terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan nekrosis
lamella stroma. Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di
bilik posterior, menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan
menyebabkan adanya hipopion. Toksin bakteri yang lain dan enzim
(meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi
kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea.2
Keratitis bakteri yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus
adalah masalah yang umum, terutama pada individu dengan kornea yang
terganggu. Staphylococcus adalah flora normal penghuni umum wajah dan
bagian depan hidung sehingga memiliki akses yang dekat dengan mata dan
dapat menginfeksi jaringan mata. Penggunaan lensa kontak dengan
pemakaian lama telah dikaitkan dengan keratitis staphylococcus. Infeksi S.
aureus berkembang dengan cepat, dan tanpa perawatan yang tepat dan
segera, dapat menyebabkan jaringan parut kornea, perforasi kornea,
kehilangan penglihatan, dan kebutuhan akan transplantasi kornea.7
S. aureus memproduksi dan mengeluarkan banyak protein, termasuk
koagulase, protein A, alpha, beta-, gamma-, dan delta-toxin, dan leukocidin,
yang semuanya dapat menyebabkan virulensi organisme. Alpha-toxin
adalah toksin hemolitik yang membentuk pori-pori yang menyebabkan
kerusakan selaput pada banyak jenis sel. Sifat sitotoksik alfa-toksin untuk
beberapa jenis sel bisa menjadi mekanisme penting untuk kerusakan
jaringan epitel dan stromal kornea selama terinfeksi S. aureus. Beberapa
peneliti telah menunjukkan peran penting untuk alfa-toksin dalam virulensi
infeksi nonokular.2
BAKTERI TIPE KARAKTERISTIK INFEKSI
Staphylococcus
Progresifitasnya lambat dengan sedikit nyeri
Aureus
Staphylococcus
Progresifitasnya lambat dengan sedikit nyeri
Epidermidis
Ulkus kornea serpiginosa, kornea dengan
Streptococcus
cepat terjadi perforasi dengan melibatkan
Pneumoniae
daerah intraokuler, dan sangat nyeri

G. Gejala Klinis
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada
pasien yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah,
rasa silau (fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma). Adapun radang
kornea ini biasanya diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena,
seperti keratitis superfisial dan interstisial atau profunda. Keratitis
superfisial termasuk lesi inflamasi dari epitel kornea dan membrane
bowman superfisial terkait.5
Keluhan yang biasanya ditemukan adalah nyeri dan sensasi benda
asing sebagai akibat dari efek mekanik dari kelopak mata dan efek kimia
dari toksin pada ujung saraf. Di samping itu, terdapat pula hiperlakrimasi
sebagai refleks mata, fotofobia karena stimulasi ujung saraf, pandangan
buram, dan kemerahan pada mata karena kongesti pembuluh darah.
Temuan dari pemeriksaan kornea yang diperoleh adalah adanya
defek epitel dengan infiltrat berwarna putih kelabu dengan batas tegas.
Defek kemudian meluas dan terjadilah efema stromal serta pelipatan
membran Descemet serta uveitis anterior. Tampakan ulkus bakteria adalah
area berwarna putih kekuningan dengan bentuk oval atau iregular, batas
ulkus membengkak dan terangkat, basis ulkus tertutup oleh jaringan
nekrotik, dengan edema stroma di sekitar area ulkus. Di samping itu, dapat
pula ditemukan hipopion maupun descemetocele.2
Keratitis Staphylococcus aureus biasanya biasanya berbentuk bulat
atau oval dengan infiltrasi padat dan batas yang berbeda.infeksi cenderung
berkembang perlahan dan infiltrate biasanya dangkal, serta lokasi sekitar
kornea bersih, jika tidak di atasi dengan baik akan terjadi ulkus dengan
infiltrate yang padat.3

Gambar 2. Keratitis Staphylococcus


H. Penegakkan Diagnosis
Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis
morfologis pada pasien yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di
kornea dapat diperkirakan dengan melihat tanda – tanda yang terdapat pada
kornea. Pada keratitis epithelial, perubahan epitel bervariasi secara luas
mulai dari edema ringan dan vakuolasi hingga erosi, pembentukan filament
maupun keratinisasi partial. Pada keratitis stromal, respon struma kornea
dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang bermanifestasi kepada edema
kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke epitel kornea.6
Pemeriksaan fisis pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan
kepada keratitis dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat.
Larutan flouresent dapat menggambarkan lesi epitel superfisial yang
mungkin tidak dapat terlihat dengan inspeksi biasa. Pemeriksaan
biomikroskop (slit lamp) esensial dalam pemeriksaan kornea, apabila tidak
terdapat alat tersebut dapat digunakan sebuah loup dan iluminasi yang
terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya refleksi cahaya sementara
memindahkan cahaya dengan hati – hati ke seluruh kornea. Dengan cara ini
area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat terlihat.6
Larutan floresens diteteskan pada mata dan mata diperiksa dengan
menggunakan slit lamp ataupun dengan iluminasi terang dan melihat
menggunakan loup. Hal tersebut dapat memberikan gambaran defek
epithelial. Pola distribusi flouresensi yang spesifik dapat sebagai informasi
yang berguna dalam menegakkan kemungkinan etiologi dan keratitis
pungtata superfisial.1
Floresensi topikal adalah merupakan larutan nontoksik dan water-
soluble yang tersedia dalam beberapa sediaan : dalam larutan 0,25% dengan
zat anestetik (benoxinate atau proparacaine), sebagai antiseptic (povidone-
iodine), maupun dalam zat pengawet sebagai tetes mata tanpa pengawet 2%
dosis unit. Floresens akan menempel pada defek epithelial pungtata maupun
yang berbentuk makroulseratif (positive stanining) dan dapat memberikan
gambaran akan lesi yang tidak bebrbekas melalui film air mata (negative
staining). Floresens yang terkumpul dalam sebuah defek epithelial akan
mengalami difusi ke dalam strauma kornea dan tampak dengan warna hijau
pada kornea.8
Pada infeksi Sthapylococcus dapat ditemukan gambaran kornea
tampak mirip kristal. Kultur dapat mengandung kokus gram positif satu-
satu, berpasangan atau dalam bentuk rantai. Biopsi kornea di indikasikan
untuk penegakan diagnosis jika tidak ada respon terhadap pengobatan atau
jika hasil dari kultur negatif dalam beberapa kali percobaan.

I. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab
keratitis, menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi
pada kornea, mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi
komplikasi, serta memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal
yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi:
rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya
infiltrat. Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement
sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan
spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga
obat lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi
subepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti keratitis dendritik.
Berhenti memakai lensa kontak, jika dicurigai terjadi infeksi pada
kornea, pasien harus menjalani pemeriksaan menyeluruh oleh dokter mata
sesegera mungkin untuk menyingkirkan ulkus kornea.
Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin,
penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan
tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga
diindikasikan jika terdapat secret mukopurulen, menunjukkan adanya
infeksi campuran dengan bakteri.
Antibiotik sistemik digunakan apabila terdapat ekstensi ke sklera
akibat infeksi atau didapatkan adanya ancaman perforasi pada pasien.
Levofloxacin maupun ofloxacin memiliki penetrasi aqueous dan vitreus
yang baik dengan pemberian oral. Tidak perlu untuk menangani pasien
hingga seluruh lesi di kornea hilang. Akan tetapi penanganan dilaksanakan
hanya hingga pasien dapat mencapai titik kenyamanan.3
Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi.
Salep pada mata berguna sewaktu tidur dan juga berguna sebagai terapi
tambahan. Antibiotik subkonjungtiva membantu pada keadaan ada
penyebaran segera ke sclera atau perforasi. Antibiotik topikal spektrum luas
digunakan pada pengobatan awal. Untuk keratitis yang parah di berikan
dosis loading setiap 5 sampai 15 menit untuk jam pertama dan diikuti oleh
aplikasi setiap 15 menit sampai 1 jam pada jam berikutnya. Pada keratitis
yang kurang parah, rejimen terapi dengan dosis yang kurang frekuen
terbukti efektif. Agen Cycloplegic digunakan untuk mengurangi
pembentukan sinekhia dan untuk mengurangi nyeri.
Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone
menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi kombinasi.
Gatifloksasin dan moksifloksasin (generasi keempat fluoroquinolone) telah
dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik terhadap bakteri gram-positif.
Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata
yang tidak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari
satu agen mungkin diperlukan untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri
non-tuberkulosis. Antibiotik sistemik jarang dibutuhkan, tetapi dapat
diipertimbangkan pada kasus-kasus yang parah atau ketika adanya ancaman
perforasi dari kornea. Terapi sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus
keratitis gonokokal.
Terapi kortikosteroid memiliki Keuntungan penekanan peradangan
dan pengurangan pembentukan jaringan parut pada kornea dan Kerugian
timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal, penghambatan sintesis
kolagen dan peningkatan TIO. Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal
adalah menggunakan dosis minimal kortikosteroid yang bisa memberikan
efek kontrol peradangan. Keberhasilan pengobatan membutuhkan perkiraan
yang optimal, regulasi dosis secara teratur, penggunaan obat antibiotika
yang memadai secara bersamaan, dan follow-up. Kepatuhan dari pasien
sangat penting, dan TIO harus sering dipantau.
Terapi pembedahan, emergency keratoplasty diindikasikan untuk
mengobati suatu descemetocele atau ulkus kornea perforasi pada daerah
nekrosis yang luas dan memerlukan flap konjungtiva untuk mempercepat
penyembuhan. Stenosis atau penyumbatan dari sistem lakrimal yang lebih
rendah yang mungkin mengganggu penyembuhan ulkus harus dikoreksi
melalui pembedahan.1

J. Komplikasi
1) Hypopyon: sebagai proses perluasan pada kasus yang tidak diobati, jaringan
uveal anterior yang disusupi oleh limfosit, sel-sel plasma dan PMNLs
bermigrasi melalui iris ke kamera anterior.
2) Penyembuhan: membentuk jaringan parut atau sikatriks di lokasi
sebelumnya. Sikatriks yang dapat dibagi menjadi 3 yaitu nebula , macula
dan leukoma.
a. Leukoma : di stroma . Dengan mata telanjang bisa dilihat
b. Makula Subepitel. Dengan senter bisa dilihat
c. Nebula di epitel dengan slit lamp atau dengan lup bisa dilihat
3) Ulkus kornea
4) Descemetocoele: membran descemet yang tahan terhadap collagenolysis
dan mengalami perbaikan dengan pertumbuhan epitel kearah anterior
membran kornea.
5) Perforasi

K. Prognosis
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor,
termasuk luasnya dan kedalaman lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidak
nya perluasan ke jaringan orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya
immunocompromised), virulensi patogen, ada atau tidaknya vaskularisasi
dan deposit kolagen pada jaringan tersebut, waktu penegakkan diagnosis
klinis yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lainnya
seperti kultur pathogen, dan diagnosis serta pengobatan yang diberikan.7
III. KESIMPULAN

1. Keratitis adalah peradangan kornea yang ditandai dengan oedema kornea,


infiltrasi seluler dan kongesti siliar. Keratitis diakibatkan oleh terjadinya
infiltrasi sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi
keruh. Keratitis sendiri dibagi menjadi dua yaitu; keratitis superfisial dan
profunda.
2. Keratitis Staphylococcus aureus biasanya biasanya berbentuk bulat atau
oval dengan infiltrasi padat dan batas yang berbeda.infeksi cenderung
berkembang perlahan dan infiltrate biasanya dangkal, serta lokasi sekitar
kornea bersih, jika tidak di atasi dengan baik akan terjadi ulkus dengan
infiltrate yang padat.
3. Pasien dapat mengeluhkan adanya pengeluaran air mata berlebihan,
fotofobia, penurunan visus, sensasi benda asing, iritasi okuler dan
blefarosspasma dan kadang juga di temukan hypopion pada kamera
anterior.
4. Pada umumnya prognosis dari keratitis bakterial Staphylococcus adalah
baik jika di terapi secara tepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Jusuf AA. Diktat Kuliah; Tinjauan Histologi Bola Mata, Alat


Keseimbangan dan Pendengaran.Bagian Histologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2012.
2. Vaughan, Asbury. Lensa. Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta : EGC; 2010.
p 125-35.
3. Kanski JJ. Clinical Ophtalmology: a systematic approach 7th ed. USA:
Elsevier. 2011.
4. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. New Delhi: New Age
International; 2007. p. 89-126.
5. Lang GK, Ophhalmology. Stuttgart: Thieme; 2000.p.117-41.
6. Cassidy L, Oliver J. Ophthalmology at a Glance. Massachusetts: Blackwell
Science; 2005. p.66-8.
7. American Academy of Ophthalmology. Bacterial Keratitis. San Fransisco:
AAO; p.2-22.
8. Ravinder K. Clinical Evaluation of Corneal Ulcer among Patients Attending
Teaching Hospital. International Journal of Contemporary Medical
Research Volume 3. Issue 4. April 2016.
9. Ilyas Sidarta. Ilmu penyakit mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2009. h 147-158.
10. K.Weng Sehu et all. Opthalmologic Pathology. Blackwell Publishing. UK.
2005. p.62.

Вам также может понравиться