Вы находитесь на странице: 1из 8

BENGKULU, KOMPAS.

com - Kasus kekerasan seksual di Bengkulu terus meninggi dalam


beberapa tahun terakhir. Meninggalnya Yn seorang siswi di Bengkulu yang diperkosa 14 remaja
beberapa waktu lalu ternyata bukan kasus terakhir, masih ada kasus lain bermunculan yang
menyayat rasa kemanusiaan.

Kasus kekerasan seksual terbaru di Bengkulu pada bulan Agustus 2017, seorang remaja putri
diperkosa rekannya, depresi karena anak diperkosa, ibu korban hidup dengan jalan gantung diri.

Direktur yayasan Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Susi
Handayani menyatakan, pada tempo enam bulan atau semester pertama 2017 telah terjadi 121
Kasus pemerkosaan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Bengkulu. Kasus pemerkosaan
terhadap anak mencapai 46 kasus dan dewasa 75 kasus.

"Ini angka yang cukup tinggi, sebelumnya sepanjang 2016 ada 176 kasus kekerasan terhadap
perempuan 115 pemerintah pemerkosaan," kata Susi, Selasa (22/9/2017).

Pelaku pemerkosaan melibatkan laki-laki dewasa, remaja bahkan anak-anak. Dia menyebutkan,
dalam catatan advokasi PUPA ada beberapa faktor penyebab kekerasan seksual terhadap
perempuan pelaku kasus pemerkosaan.

Pertama, pergaulan, tontonan pornografi ini sering terjadi pada remaja pria.

"Mereka tak sadar, tindakannya itu juga menjadikannya sebagai korban sekaligus," ujarnya.

Kedua, eksistensi, teori maskulinitas yang menyatakan pria dapat menguasai tubuh perempuan.
Tindakan ini dilakukan oleh laki-laki yang intovert (tertutup), penyendiri, merasa direndahkan
oleh teman sepermainan, pemarah dan sering dilecehkan.

"Akhirnya ia berusaha menunjukkan eksistensinya, faktor ini internal," ujarnya.

Ketiga, faktor keluarga, pelaku juga bisa melakukan karena di dalam keluarga sering melihat
orang tua yang kerap dilihat anak perempuan, tidak menghargai anak, sering Melakukan
kekerasan terhadap istri dan anak-anak.

"Bila dalam keluarga sering mengalami kekerasan, maka ini bisa saling," sebutnya.

Keempat, masyarakat, masyarakat sering lengah melihat kondisi di sekitarnya, masyarakat abai.
"Ada kasus di Bengkulu, masyarakat sering melihat anak-anak bermain dalam sebuah rumah
kosong, rahasia terkena anak-anak itu menyekap dan melakukan tindakan kekerasan seksual
pada seorang anak perempuan," kata dia.

Kelima, faktor keamanan negara yang tidak adil dalam memberikan efek. "Misalnya pelaku pria
yang berumur di bawah 14 tahun dibebaskan, harusnya mereka diberi sanski yang memperbaiki
prilaku pelaku anak," ucapnya.
Terhadap kebijakan negara Susi mendorong agar DPR-RI segera mengesahkan RUU Penghapus
Kekerasan Seksual (PKS).

"RUU ini sangat melindungi dan memberikan kepastian hukum bagi perempuan korban
perkosaan, ini melengkapi KUHP Yang tidak memberikan kepastian hukum terhadap tindakan
pelecehan seksual, " kata Susi, di Bengkulu, Selasa (22/8/2017).

Dalam RUU itu disebutkan bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan,
menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh yang Terkait hasrat seksual
seseorang, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang
itu tidak dapat memberikan kebebasan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa
dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara
fisik, psikis, seksual,kerugian secara ekonomi, Sosial, budaya, dan/atau politik.

Dalam RUU itu pula hak yang harus diterima korban, rehabilitasi, dan pemulihan. "RUU ini
melengkapi KUHP dan beberapa peraturan yang belum sempurna untuk melindungi korban
kekerasan seksual," kata Susi.

Perangi Bengkulu Dari Kekerasan Seksual Terhadap Anak

 2017-11-21

Police Watch News

MPW - Bengkulu - Kita masih Teringat masalah Kasus seorang putri remaja SMP di desa RL
Bengkulu yang pernah terjadi satu tahun lalu, kemudian kita juga dikejutkan dengan kasus
kejahatan seksual yang sungguh biadap yang baru saja kembali dialami sebut saja Bunga remaja
kelas Satu SMP dari Kecamatan HPB di Bengkulu yang dilakukan oleh terduga pelakunya 20
orang.

Kini dengan peristiwa kejahatan seksual serupa yang dilakukan orang tak dikenal terhadap 2
anak siswi SD warga Kecamatan MN Bengkulu, Peristiwa keji dan biadap ini terjadi 3 hari lalu
disalah satu kebun sawit. Kasus yang dilaporkan beberapa media di Bengkulu ini dilaporkan.

Peristiwa ini bermula sebut saja Putri dan temannya berjalan menuju rumah sahabatnya untuk
bermain. Tiba-tiba tak disangka - sangka ditengah perjalan Putri dan temannya dihampiri
seorang pria tak dikenal menggunakan sepeda motor, lalu menawarkan jasa untuk mengantar
kerumah temannya, namun pelaku bukannya mengantar ke rumah teman putri tetapi membawa
kedua anak tersebut ke kebun sawit.

Putri mengalami kekerasan seksual sampai pendarahan saat diselamatkan oleh warga
masyarakat, sedang kan teman Putri pada saat kekerasan seksual berlangsung teman Putri diikat
pelaku di pohon sawit sambil dipaksa melihat petistiwa keji itu dan pelaku memaksa korban
untuk memegang penis pelaku. Lalu pertanyaannya "Ada Apakah dengan Bengkulu, ngapo kasus
kejahatan seksual tak henti-hentinya", Tanya Arist

haruskah korban terus bertambah kembali?, masyarakat Bengkulu bergerak?, demikian


disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Senin 20
November 2017 disela-sela acara peringatan Hari Anak Universal di Jakarta.

Arist menambahkan, peristiwa ini harus segera diakhiri. Sungguhlah kita tidak adil, berdosa dan
kejam sebagai anggota masyarakat jika kita membiarkan peristiwa kejahatan seksual terhadap
anak ini terus berlangsung.

Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai lembaga independen dibidang pembelaan dan
perlindungan anak di Indonesia mengajak semua komponen masyarakat yang ada di Bengkulu
berbulat tekat apapun profesi dan latar belakang masing-masing,anggota masyarakat untuk
memerangi dan mengakhiri kejahatan seksual pada anak.

Bengkulu harus menjadi wilayah atau zona anti kekerasan seksual terhadap anak. Aparat
penegak hukum harus dibantu untuk mengungkap tabir segala bentuk kejahatan terhadap anak
termasuk kekerasan seksual yang telah mencekam di Bengkulu. Warga Bengkulu pasti bisa jika
dilakukan secara bersama.
Sudahlah tiba saatnya, masyarakat Bengkulu menyelenggarakan doa bersama, paling tidak
dilakukan dirumah masing-masing untuk memohon pertolongan dan kekuatan dari Allah agar
masyarakat bersama pemerintah diberi kekuatan untuk menghentikan segala bentuk kejahatan
seksual terhadap anak. Rumah dan lingkungan sosial anak termasuk lingkungan sekolah, harus
ramah dan bersahabat terhadap anak ( Why )

30 Anak SD Korban Seksual, 6 Jadi Pelaku

Daerah SABTU, 25 NOVEMBER 2017 , 21:25:00 WIB | LAPORAN: ALEXANDER

RMOL Bengkulu

RMOL. Dipenghujung tahun 2017 ini, Yayasan Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan Untuk
Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu, mencatat di Provinsi Bengkulu telah terjadi 148 kasus
kekerasan terhadap perempuan, 72.3 persen diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual.

Di Kota Bengkulu sendiri, terhitung selama Januari sampai dengan Oktober, sedikitnya ada
sekitar 3O anak SD menjadi korban seksual. Enam menjadi pelaku kekerasan seksual, dua
diantaranya terlibat hubungan seksual.

"Dibanding tahun 2013 sebanyak 244 angka itu mengalami penurunan. Tapi bukan berarti kita
harus diam dan pasrah dengan kondisi ini. Tentu, se-segera mungkin harus ada solusi atas
penanganan kasus tersebut," ungkap Direktur Yayasan PUPA Bengkulu, Susi Handayani, Sabtu
(25/11/2017) dalam kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan 2017, Sinergisitas
Untuk Layanan Berpihak Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

Untuk pencegahan, lanjut Susi panggilan akrabnya. Tidaklah harus bergantung pada satu pihak
saja. Melainkan peran stake holder terkait dan masyarakat juga sangat berpengaruh.

"Sinergisitas antara pemerintah dan masyarakat untuk mencegah tingkat kekerasan seksual di
Provinsi Bengkulu juga sangat penting," jelasnya.

Sementara itu, Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bengkulu, Firman Jonaidi, mengungkapkan,
penguatan pemahaman akan pemicu terjadinya kekerasan seksual telah pihaknya lakukan ke
sekolah- sekolah.

"Namun, peran orang tua juga dinilai sangat penting untuk mengawasi gerak- gerik anak diluar
jam sekolah," pungkasnya.[N14]

28 Kekerasan Seksual Terjadi di Bengkulu Tahun Ini


Red: Ratna Puspita
STRAITS TIMES

Kekerasan Seksual (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU — Organisasi Peduli Perempuan, Cahaya Perempuan


Womens Crisis Center (WCC) menyebutkan sejak awal 2017 hingga saat ini terjadi 28 kasus
kekerasan seksual di Provinsi Bengkulu. "Itu yang kami dampingi saja, masih ada kasus lainnya
yang didampingi oleh organisasi lain," kata Direktur Cahaya Perempuan WCC Artety Sumeri di
Bengkulu, Senin (25/9).

Menurut dia, perlu perhatian lebih dari semua kalangan untuk mengurangi kasus kekerasan
seksual itu, khususnya yang terjadi pada perempuan dan anak. "Masyarakat harus diedukasi lagi
agar tidak menjadi korban atau pun pelaku, ke depan juga penting adanya kurikulum khusus di
sekolah terkait ini," kata dia.

Penyebab tingginya kekerasan seksual, dia melanjutkan, salah satunya karena kurangnya
pengetahuan dan kesadaran keluarga mengenai kesehatan seksual dan reproduksi. Dia
menambahkan sebagian besar warga masih menganggap tabu jika membicarakan tentang alat
reproduksi, sehingga anak-anak tidak mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang itu.

"Karena awam, anak-anak menjadi rentan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual, mereka
juga tidak cakap mengenali adanya bahaya di sekelilingnya," kata Artety.

Dalam memperingati Hari Kesehatan Seksual, Cahaya Perempuan WCC bersama organisasi
perempuan yang ada di Bengkulu melakukan kegiatan diskusi kritis mencoba merangkum
program edukasi kesehatan reproduksi keluarga. "Pada dasarnya keluarga merupakan basis
pertahanan pertama dan tempat terbaik untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi, dan
mencegah terjadinya kekerasan seksual," ujarnya.

KOTA BENGKULU, bengkulunews.co.id -Yayasan Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan


untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu mencatat ada 148 kasus kekerasan terhadap
perempuan dan 72.3 persen kasus kekerasan seksual di Provinsi Bengkulu, dari Januari hingga
Oktober 2017. Data itu menurun dari tahun sebelumnya.
“Dibanding tahun-tahun sebelumnya, tahun 2017 tingkat kejahatan seksual terhadap anak
menurun. Meskipun begitu harus ada penanganan dan pencegahan,” kata Direktur Yayasan Pupa
Bengkulu Susi Handayani, Sabtu (25/11/2017).

Susi mengatakan dari 148 kasus kota Bengkulu menjadi tuan rumah kasus terbanyak tindak
kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak se-provinsi Bengkulu.

“Di Kota Bengkulu ada sebanyak 30 siswa Sekolah Dasar yang menjadi korban kekerasan
seksual. Enam orang siswa menjadi pelaku dan dua diantaranya terlibat hubungan seksual,”
ungkap Susi.

Susi menambahkan tingginya tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak
dikarenakan masih kurangnya pengawasan dari orang tua sehingga memberi peluang kepada
pelaku untuk melakukan tindak kekerasan seksual.

“Tindak kekerasan seksual yang dilakukan pelaku karena adanya peluang. Sehingga ketika
melihat anak, ketika terbuka kesempatan maka terjadilah pemerkosaan atau pencabulan itu,”
ujarnya.

Selanjutnya, kata Susi, untuk penanganan mengurangi dan mencegah kekerasan seksual terhadap
perempuan dan anak tidak bisa dilakukan satu pihak saja. Namun membutuhkan sinergitas antara
pemerintah dan masyarakat.

Sementara dipihak lain, Sekretaris Pendidikan Kota Bengkulu Firman Jonaidi mengatakan untuk
mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, pihaknya sudah mensosialisasikan ke
setiap sekolah. Dalam sosialisai itu, kata Firman, pihaknya meminta kepada pihak sekolah untuk
terus memberikan pemahaman kepada siswa.

“Banyak hal yang harus kita lakukan untuk mencegah kekerasan seksual terhadap perempuan
dan anak, kita sudah mensosialisasikan kepihak-pihak sekolah agar siswa diberi pemahaman
tentang kekerasan seksual,” imbuhnya.

Liputan6.com, Bengkulu - Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Bengkulu


merupakan yang tertinggi di Indonesia. Hal itu terlihat dari catatan Yayasan PUPA yang konsen
terhadap perlindungan perempuan dan anak di Bengkulu.

Yayasan PUPA ini mencatat, sepanjang 2016 hingga triwulan pertama 2017 terjadi 176 kasus
kekerasan seksual di Bengkulu. Di antaranya 115 kasus pemerkosaan terhadap perempuan atau
86 persen, sisanya 14 persen merupakan korban pelecehan seksual.

Lembaga ini juga mencatat 16 persen dari total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak
pada periode ini merupakan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan 4,7 persen
merupakan korban Kekerasan Dalam Perkawinan (KDP).
Direktur Yayasan PUPA Bengkulu Susi Handayani mengatakan, dalam kasus pemerkosaan,
ditemukan 95 persen pelaku memiliki relasi personal dengan para korban. Mereka sehari-hari
berinteraksi dan berada di lingkungan yang sama.

"Ini menandakan bahwa lingkungan terdekat sudah tidak aman lagi bagi perempuan di
Bengkulu," tegas Susi di Bengkulu, Kamis 11 Mei 2017.

Sebanyak 64 persen dari korban perkosaan itu berusia di bawah 18 tahun. Terbanyak berada di
rentang usia antara 13 hingga 18 tahun. Artinya, para korban ini masih berada pada usia sekolah.
Alhasil, putus sekolah merupakan dampak yang seringkali dialami para korban pemerkosaan
tersebut. Selain malu, pihak sekolah juga tidak mau mentolerir para korban pemerkosaan.

"Membangun perlindungan para korban berbasis sekolah harus dilakukan, para korban harus
terus mendapatkan haknya untuk belajar," lanjut Susi.

Dari sisi pelaku, 64 persen adalah pelaku dewasa berada pada rentang usia 24 hingga 40 tahun.
Sebanyak 36 persen pelaku masih terbilang anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Bahkan
ada di antara pelaku merupakan anak usia di bawah 16 tahun, yang secara hukum formal tidak
bisa dipidana dan dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA).

Untuk melindungi para perempuan yang sangat rawan menjadi korban kekerasan seksual di
Bengkulu, seharusnya mekanisme perlindungan dan penyadaran berbasis komunitas harus
dilakukan. Peran pemerintah dan aparat terkait untuk terus menerus melakukan komunikasi
untuk pencegahan, dipastikan akan menekan tingginya angka kasus ini di masa depan.

"Harus ada kontrol dan pemerintah tidak boleh tinggal diam, semua harus bergerak," kata Susi.

Kasus Pemerkosaan Anak 14 tahun di Bengkulu: Deret Panjang


Reviktimisasi terhadap Korban Kekerasan Seksual
14 Nov, 2017

Institute for Criminal Justice reform (ICJR) mengecam keras reviktimisasi korban dalam kasus
pemerkosaan yang menimpa Anak 14 Tahun yang diduga dilakukan oleh 20 orang pelaku pada
Tanggal 4 November 2017 di Bengkulu.

Namun,melalui surat 013/LPA-Prov.BKL/XI/2017 LPA Bengkulu telah menyatakan bahwa


tindakan yang dilakukan oleh pelaku berupa persetubuhan terhadap anak usia 14 tahun bukanlah
merupakan perkosaan lantaran dilakukan atas dasar suka sama suka. LPA Bengkulu dalam surat
yang sama juga memberikan stigmatisasi terhadap korban dengan menyatakan bahwa korban
“sudah terkenal” lengkap dengan penggunaan tanda kutip.
Respon yang dilakukan LPA ini memprihatinkan karena pernyataan tersebut justru datang dari
lembaga yang menyatakan dirinya sebagai pelindung bagi anak, lembaga inilah yang seharusnya
memberikan pendampingan kepada korban kekerasan seksual khususnya korban anak.

Sudah secara tegas sudah dinyatakan bahwa dalam Pasal 81 ayat (1) UU No 23 tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan UU No 17 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No 23
tahun 2002 tentang Perlindungan anak, bahwa segala bentuk persetubuhan terhadap anak
dibawah 18 tahun merupakan tindak pidana. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku dengan
bentuk apapun termasuk jika didalamnya ada bujuk rayu tidak serta merta menjadikan perbuatan
tersebut tidak dapat dijerat secara pidana.

Pernyataan LPA ini jelas menambah deret panjang fakta memilukan tentang penanganan korban
kekerasan seksual. Sebelumnya pada pertengahan bulan lalu secara mengejutkan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Tito Karnavian dalam wawancaranya dengan BBC
menyarankan polisi untuk menanyakan tentang “nyaman atau tidaknya” korban perkosaan pada
saat terjadi perkosaan. Belum lagi pada awal tahun 2017 Petugas Kepolisian di Polsek Jatinegara
secara gamblang menyatakan bahwa tindakan seorang pelaku yang memegang paha seorang
perempuan di dalam bus transjakarta bukan merupakan pelecehan seksual. Petugas kepolisian
tersebut secara bahkan secara terbuka menyatakan bahwa “pelecehan seksual bisa terjadi jika
korban mengenakan rok mini, kalau pelecehan, kan dia megang payudara atau megang alat
kelaminnya atau barang si laki dikeluarin ditampilin”.

Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi dalam tataran penyelidikan dan penyidikan oleh
kepolisian, pertimbangan-pertimbangan hakim dalam kasus kekerasan seksual tak jarang memuat
hal-hal yang tidak relevan yang cenderung memojokkan korban, Pertama, dalam Putusan
1391/Pib.B/PA/2007/PN. LP kasus pencabulan hakim justru memberikan pertimbangan yang
tidak relevan dengan menjabarkan perbuatan-perbuatan korban yang dinilainya melanggar
ketertiban umum, Kedua, dalam 152 Pid.Sus 2014 PN BB, dalam pertimbangannya, hakim
secara terbuka menyatakan bahwa respon atau tanggapan korban telah melancarkan terjadinya
persetubuhan sehingga hal tersebut dapat dijadikan dasar peringan hukuman.

Fakta-fakta yang terjadi dalam sistem peradilan pidana ini sebenarnya merupakan afirmasi dari
kesalahan pengaturan tindak pidana mengenai kekerasan seksual di Indonesia, pengaturan
kekerasan seksual selama ini meninggalkan situasi korban dalam penanganannya, korban
dipandang hanya sebatas saksi dalam konteks pembuktian, sehingga fokus yang diberikan hanya
melulu pada pelaku tindak pidana bukan pendampingan terhadap korban.

Kendati Mahkamah Agung sudah mengesahkan Peraturan Mahkamah Agung No 3 tahun 2017
tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang memuat tentang
larangan menunjukkan sikap merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi perempuan sebagai
korban oleh hakim, namun pengaturan tersebut hanya berlaku bagi hakim, sehingga perlu ada
jaminan menyeluruh pada setiap tahap proses peradilan pidana bahwa korban tidak boleh
mendapatkan viktimisasi ganda, terlebih dari lembaga yang seharusnya melindunginya.

Maidina Rahmawati

Вам также может понравиться