Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB
2 DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN
DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH
Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama keberadaan dan perubahan zat aktif di dalam tubuh.Jalur
perjalanan obat di dalam tubuh digambarkan pada skema berikut ini (Gambar 2.1).
PLASMA
ELIMINASI
ABSORPSI
(penyerapan)
→bentuk bebas → (peniadaan)
Bentuk Metabolit
terikat
BOTRANSFORMASI
(perubahanhayati)
Penetrasi zat aktif kedalam sistem peredaran darah karena proses penyerapan dan peniadaannya karena difusi
merupakan suatu peristiwa rumit dan berbeda untuk setiap bahan, kecuali satu fenomena yang sama yaitu pelintasan melalui
membran biologik.
Model membran:
Overton (1902) : membran lipida esensial.
Davson danDanielli (1936-1943) serta Stein dan Danielli (1956)
: lembaran lipida protein yang terdiri atas dua basal lipida monomolekuler (fosfolipida, kolesterol) yang
kutub hidrofobnya menghadap ke bagian dalam, dan kutub hidrofilnya yang merupakan basal protein
yang berada di fase berair. Tebal susunan molekuler tersebut sekitar 75 Å, membentuk gambaran tiga
dimensi asimetrik yang diperoleh dengan mikroskop elektron. Dua kutub hidrofil mengandung protein
dan ujung fosfolipida yang polar (salah satu di antaranya yang berada pada permukaan luar
mempunyai lapisan protein globuler) mengelilingi daerah pusat hidrofob (Gambar 2.2).
Singer dan Nicholson
: konsep model “mosaik cair” (Gambar 2.3). Matriks membran terdiri atas 2(dua) lapisan lipida protein
globuler yang tidak berkesinambungan dan saling menyesuaikan, menurut susunan yang teratur atau
tidak teratur. Gugusan polarnya terletak pada permukaan membran yang kontak dengan cairan intra
atau ekstraseluler, sedangkan gugus non polar menghadap ke arah dalam. Pori-pori yang tampak pada
sumbu utama protein globuler tebalnya ±85 Å.
Gambar 2.2. Model membran konsep Stein dan Danielli. Gambar 2.3.Model membran struktur “mosaik”
membran
Kompartemen Kompartemen Kompartemen Kompartemen
80-100Å dalam
luar luar dalam
7-10Å
Penembusan air terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik atau osmotik; semua senyawa yang berukuran
cukup kecil dan larut dalam air dapat melewati kanal membran. Sebagian besar membran (membran seluler, epitel usus halus
dan lain-lain) berukuran kecil (4-7 Å) dan hanya dapat dilalui oleh molekul dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih
kecil dari 150 untuk senyawa yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas rantai panjang. Sebaliknya sel-
sel endotelium vaskuler mempunyai pori-pori dengan ukuran lebih besar dari 40 Å, sehingga dapat melewatkan cairan yang
mengandung molekul-molekuldengan bobot molekul lebih tinggi menuju ruang antar sel (contoh : filtrasi glomerulus).
Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada
dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan. Jika ukuran molekul tidak dapat melalui kanal-kanal
membran, maka polaritas yang kuat dari bentuk terionkan akan menghambat proses difusi transmembran. Hanya fraksi zat
aktif yang tak terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif.
Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam kuat atau basa kuat, derajat ionisasi berperan pada
hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa
lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melintasi membran tergantung kelarutan bentuk tak terionkan didalam lemak,
jumlah bentuk yang tak terionkan, serta derajat ionisasi molekul.
Derajat ionisasi tergantung pada dua faktor, (persamaan Henderson Hasselbach) yaitu:
- Tetapan disosiasi dari senyawa atau pKa. (pH dimana bentuk terionkan dan bentuk tak terionkan jumlahnya sama).
- pH cairan dimana terdapat molekul zat aktif; pH di kedua sisi dapat berbeda.
Pada setiap molekul tertentu, perjalanan lintas membran sangat berbeda pada setiap daerah saluran pencernaan, karena
pH saluran cerna beragam antara 1-3,5 untuk lambung 5-6 untuk duodenum dan ± 8 pada ileum. Penyerapan efektif terutama
terjadi pada bentuk yang tak terionkan yaitu zat aktif bersifat asam lemah pada lambung, sedangkan difusi basa lemah di
lambung akan berkurang, namun penyerapannya didalam usus halus menjadi sangat berarti karena bentuk tak terionkan yang
larut lemak terdapat dalam jumlah yang banyak.
Gambar 2.6 berikut, merupakan penerapan persamaan Henderson-Hasselbach pada penembusan transmembran dari
bentuk asam lemah takterionkan (asam asetil slisilat, pKa = 3) pada setiap bagian saluran cerna. Pada lambang konsentrasi
bentuk tak terionkan yang dapat berdifusi dari asam asetil salisilat lebih besar dibandingkan konsentrasinya saat berada di
usus dan di lambung difusi pasif tejadi lebih tinggi
LAMBUNG (pH =1) PLASMA (pH = 7,4)
1 = 3 + ( -2 ) 7,4 – 3 = 4,4
[𝐼] [𝐼]
log [𝑁𝐼] = -2 log [𝑁𝐼] = 4,4
[𝐼] 1 [𝐼] 25.000
[𝑁𝐼]
= [𝑁𝐼]
=
100 1
c. Transpor Aktif
Pada transport aktif (Gambar 2.7) diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini merupakan suatu bagian dari membran,
berupa enzim atau paling tidak senyawa protein dengan molekul yang dapat membentuk komplek pada permukaan membran.
Komplek tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan lainnya, lalu pembawa kembali
menuju permukaan asalnya (transport selalu terjadi dalam arah tertentu, pada bagian usus pelaluan terjadi dari mukosa
menuju serosa)
Sistem transport aktif bersifat jenuh artinya jika semiua molekul membawa telah digunakan maka kapasitas
maksimalnya tercapai. Sistem, ini menunjuk kan adanya suatu kekususan untuk setiap molekul atou suatu kelompok molekul.
Oleh sebab itu dapat terjadi persaigan beberapa molekul yang berafinitas tinggi dapat menghambat kompetisi transpor dari
molekul yang afinitasnya lebih rendah.
Ttranspor dari satu sisi membran ke sisi yang lain dapat terjadi dengan mekanisme perbedaan konsentrasi (atau
perbedaan elektro kimia jika molekulnya berupa ion).
Transpor aktif ini memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisa adenosin trifosfat (ATP) di bawah pengaruh suatu
ATP-ase. Jadi semua senyawa yang menghambat reaksi pembebasan energi, (seperti ion CN-) akan mempengaruhi transpor
aktif (inhibitor non kompetitif).
Kebalikan dari proses difusi dimana laju pelintasan membran tergantung pada perbedaan konsentrasi di kedua sisi
membran yang berkurang karena adanya difusi, maka laju transpor aktif tidak tergantung pada konsentrasi.
Transpor aktif berperan pada penyerapan kembali tubuler dari glukosa, peniadaan sejumlah asam-asam endogen
(asam 5-hidroksi indolasetat dan lain-lain) dari jaringan otak, serta peniadaan penisilin melalui urine dan sebagainya.
Kompartemen Kompartemen Kompartemen
Kompartemen
luar dalam luar dalam
pembawa
obat
ATP
pembebasan yang
tanpa kehilangan
memerlukan energi
energi
Gambar 2.7. Perlintasan membran secara Gambar 2.8. Perlintasan membran secara difusi sederhana
transpor aktif
d. Difusi Sederhana
Difusi sederhana (Gambar 2.8) merupakan cara perlintasan membran yang memerlukan suatu pembawa dengan
karakteristik tertentu (kejenuhan, spesifik dan kompetitif). Pembawa tersebut bertanggung jawab terhadap transpor aktif.
Tetapi disini perlintasan terjadi akibat gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi. Difusi sederhana bertanggung
jawab terhadap penetrasi glukosa ke bagian dalam sel darah.
e. Pinositosis
Pinositosis (Gambar 2.9) merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekul-molekul besar dan terutama oleh
molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi dengan pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran.Mekanisme ini
mirip dengan fagositosis bakteri oleh lekosit.
-
Komplek netral
pasif
-
kation anion
a. Rongga Mulut.
Kondisi yang cocok untuk terjadinya absorpsi obat dalam rongga mulut adalah: epitel berbentuk feriseluler tipis, pH
agak asam dan kaya vaskularisasi sehingga memungkinkan penembusan yang cepat munuju pembuluh darah. Dengan
demikian konsentrasi zat aktif yang mencapai darah lebih tinggi dari pada konsentrasi setelah penyerapan pada bagian bawah
saluran cerna. Aliran darah efferent melalui vena maxallaris dan sublingualis menuju vena jugularis eksterna dengan
membawa zat aktif. Zat aktif yang diserap di rongga mulut terhindar dari pH yang berbeda-neda pada daerah saluran cerna.
Juga terhindar dari pengaruh enzim dan flora bakteri serta kemungkinan pembentukan kompleks dengan senyawa makanan
yang dapat mengubah aktivitas dan atau mengubah konsentrasi obat. Semua mekanisme perlintasan membran dapat terjadi di
sepanjang saluran cerna.
Walaupun ada keuntungan pemberian obat secara perlingual dan sublingual, namun tidak semua obat dapat diberikan
dengan cara ini, karena rasa sejumlah senyawa merupakan penghambatan utama keberadaan obat di dalam rongga mulut.
Cara pemberian sublingual lebih berarti untuk hormon-hormon tertentu yang dirusak di dalam saluran cerna.
Keefektifannya terbukti pada pemberian nitrogliserin pada penderita angina pectoris.
b. Lambung
Fungsi fisiologik lambung terutama adalah sebagai motorik dan sekretorik. Vaskularisasi pada bagian permukaan
penyerapan terbatas, sehingga jika dibandingkan dengan penyerapan di usus, maka proses penyerapan di lambung hanya
terjadi dalam jumlah sedikit. Gastrectomi lebih membawa resiko terhadap penyerapan obat dibandingkan pada penyerapan
makanan.
Penyerapan obat di lambung tergantung pada keadaan lambung yang penuh atau kosong. Saat saluran cerna berada
dalam keadaan istirahat,spincter pylorus agak membuka dan senyawa yang diberikan per-oral dapat melintasi celah tersebut
dengan mudah dan akan diserap di usus halus. Jika zat aktif terdapat dalam lambung yang kosong, maka penyerapan secara
filtrasi atau difusi pasif terjadi lebih cepat. Demikian pula, air dan molekul-molekul yang berukuran kecil dengan mudah
dapat masuk ke peredaran darah. Untuk bahan lain penyerapannya akan lebih besar bila derajat ionisasinya rendah dan
mempunyai bentuk tak terionkan yang lebih larut-lemak. Demikian juga karena pH lambung, bahan elektrolit yang bersifat
asam lemah dapat mencapai darah dengan cepat, sedangkan alkaloida tidak dapat diserap sama sekali.
Pada saat lambung berisi makanan, maka senyawa yang lama berada di lambung akan berdifusi lebih lambat. Hal ini
disebabkan oleh adanya pengenceran zat aktif dalam lambung dan kontak dengan permukaan penyerap yang terbatas,
akibatnya penembusan ke dalam peredaran darah lebih sedikit. Namun keadaan tersebut juga menguntungkan pada
pemberian obat yang dapat mengiritasi mukosa lambung.
c. Usus Halus
Karakteristik anatomi dan fisiologi usus (dengan makrovilli dan mikrovillinya) lebih menguntungkan untuk
penyerapan obat (Gambar 2.11), seperti halnya juga penyerapan zat makanan.
Pentingnya permukaan penyerapan terutama karena banyaknya lipatan-lipatan mukosa usus yang berupa valvula
conniventes atau lipatan Kerckring, yang terutama banyak terdapat di daerah duodenum dan jejunum.Di daerah tersebut villi-
villi usus tertutup oleh epitel bagaikan sikat yang terdiri dari bulu-bulu halus (mikrovilli) dan mempunyai aktifitas yang kuat.
Adanya anyaman kapiler darah dan getah bening pada setiap lipatan memungkinkan terjadinya penyerapan yang kuat.
Gerakan usus dan gerakan villi usus di sepanjang saluran cerna akan mendorong terjadinya penembusan menuju pembuluh
darah. Keadaan pH serta tebal dinding yang beragam di setiap bagian usus menyebabkan perbedaan penembusan yang cukup
besar pada molekul zat aktif terutama molekul asam yang penyerapannya dipengaruhi oleh pH lambung.
Meskipun panjang duodenum hanya ± 20 cm, bagian pertama duodenum memegang peranan yang sangat penting
pada proses penyerapan terutama Fe dan kalsium serta gula dan asam amino. Demikian pula untuk pengaliran dua arah dari
air dan elektrolit. Di samping itu adanya getah empedu dan getah pankreas yang dapat melarutkan lemak akan mempermudah
penyerapannya.
Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya perlintasan membran dengan intensitas yang besar,
dan disini lebih banyak terjadi difusi pasif. Difusi pasif berkaitan dengan sejumlah senyawa yang larut-lemak atau fraksi-
fraksi tak terionkan yang larut-lemak.
Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena konsentrasi obat-obat yang tinggi dalam liang
usus akan meningkatkan gradien difusi, hal yang sama terjadi pada bagian usus sebelah bawah dan pada penyerapan
susjacent.
Transpor aktif juga berperan di usus halus dan di sini terjadi persaingan terhadap pembawa yang sama atau terjadi
penjenuhan sistem transpor yang dapat membatasi perlintasan membran. Pinositosis juga berperan terutama di ileum
terhadap molekul-molekul yang tidak larut.
Mekanisme perlintasan membran pada pemberian intramuskular dan subkutan tersebut di atas terutama terjadi
secara difusi pasif atau sederhana yang disebabkan oleh adanya gradien konsentrasi. Pada kedua keadaan tersebut, irigasi
yang kuat akan meningkatkan gradien konsentrasi, akibatnya akan terjadi peningkatan penyerapan.
Larutan obat dalam air dapat berdifusi dengan mudah, sebaliknya larutan dalam minyak yang tidak tercampur
dengan senyawa dasar akan membentuk mikrokristal. Mekanisme penembusan mikrokristal dalam supensi belum jelas.
Senyawa dalam keadaan padat dapat dimasukkan dalam jaringan subkutan dalam bentuk pellet (susuk) yang penyerapannya
sangat lambat hingga menjamin efek obat dalam jangka waktu yang lama.
c. Pemberian Per-Inhalasi
Pemberian secara inhalasi bertujuan untuk mendapatkan efek sistemik, khususnya yang bertujuan untuk pembiusan.
Hal ini disebabkan besarnya kemampuan penyerapan dari epitel paru yang mencapai 90 m2. Intensitas vaskularisasi paru
menyebabkan peningkatan fungsi permukaan membran kapiler alveolus, hal ini sangat berperan dalam fenomena difusi pasif.
Karakter fisiko-kimia dari pembius bentuk gas atau cair yang menguap memungkinkan tercapainya suatu
keseimbangan yang cepat antara udara alveoli dan darah. Sebaliknya ukuran partikel suatu aerosol harus lebih kecil dari 3
µm agar pemberian zat aktif dalam bentuk ini dapat mencapai alveoli dan dapat menimbulkan efek sistemik setelah
menembus kapiler alveolus.
PLASMA CAIRAN INTERSELULER Bila 90% obat terikat pada protein plasma, berarti hanya 10% yang berada
dalam bentuk bebas dan dapat berdifusi. Dalam plasma terdapat keseimbangan
1 Bentuk bebas Bentuk bebas 1 antara bentuk bebas dengan bentuk terikat, dan terdapat pula keseimbangan
antara bentuk bebas di kedua sisi membran
9 Bentuk terikat
Hanya obat bentuk bebas yang tidak terikat dengan reseptor farmakologik dan ikatan ini yang menentukan
efektivitas klinik dari zat aktif. Jadi penilaian efektivitas suatu obat merupakan fungsi dari “kadar plasmatiknya”.
Bentuk yang terikat tidak aktif, tetapi ikatan ini hanya bersifat sementara. Bila sebagian bentuk bebas di
metabolisme dan atau ditiadakan maka bentuk terikat akan melepaskan bentuk bebasnya. Jadi ikatan plasma memperbaiki
efek farmakologi dengan memperpanjang efek obat dan mengurangi intensitas efek awal.
Pada skema terapetik, efek farmakologik suatu obat hanya tergantung pada bentuk bebasnya. Suatu senyawa dengan
ikatan plasmatik yang kuat, semula menjenuhkan tempat ikatan sambil melepaskan dosis-awal, dan selanjutnya menjamin
dosis-rawat sesuai dengan fraksi bebas yang dilepaskan. Beberapa obat yang mempunyai afinitas kuat terhadap protein
plasma:
- fenilbutazon 98%
- sulfamida 96%
- digitoksin 95%
- etil biskumasetat 90%
- tiopental 75%
- salisilat 64%
Interaksiobat sebagai akibat terjadinya ikatan plasmatik pada obat tertentu dapat menyulitkan langkah berikutnya.
Ikatan plasmatik tersebut tidak spesifik, beberapa molekul dapat memiliki satu afinitas pada protein yang sama dengan titik
tangkap protein yang sama. Hal tersebut menimbulkan terjadinya persaigan antara molekul-molekul untuk menempati titik
tangkap. Molekul yang mempunyai ikatan protein paling stabil akan menyingkirkan molekul lain dari tempat ikatannya dan
hal ini akan meningkatkan jumlah bentuk bebasnya.
Contoh klasik adalah persaigan antara fenibutazon dengan dikumarol. Dikumarol mempuyai afinitas protein yang
besar (98%), tetapi masih lebih kecil dari afinitas fenibutazon (99,8%). Jadi fenilbutazon akan menggeser dikumarol, dan ini
menyebabkan bentuk antikoagulan yang terikat menurun menjadi 96% dan akibatnya mudah menimbulkan pendarahan.
Pengurangan ikatan yang hanya 2%, ternyata telah menduakalikan bentuk bebasnya dari 2% menjadi 4%. Mekanisme sejenis
menyebabkan timbulnya bahaya hipoglikemi pada pemberian antidiabetik sulfamida (tolbutamida) bersamaan dengan
pemberian fenilbutazon
2.3.3.PERFUSI JARIGAN
Permukaan yang terbuka pada sejumlah kapiler dan aliran darah berperan pada fenomena penyerapan; faktor-faktor
tersebut juga berpegaruh pada difusi zat aktif menuju jaringan. Price (1960) menyatakan terdapat hubugan erat antara kadar
zat aktif dalam jarigan dan peranan perfusi
Kelompok pertama terdiri dari organ-organ seperti jantung, hati, paru, otak, ginjal dan kelenjar endokrin yang kaya
akan vaskularisasi. Setelah penyuntikan intravena, organ-organ tersebut dapat menahan 70% senyawa yang diberikan dan
sesuai dengan beratnya, hati dapat menahan sekitar 50% senyawa.
Kelompok kedua terdiri dari organ kulit dan otot bergaris yang dapat menahan 15% senyawa.
Sumsum tulang dan jaringan berlemak yang tergolong dalam kelompok ketiga ternyata menyimpan 10% dari dosis
yang diberikan.
Akhirnya, kelompok keempat terdiri dari jaringan yang lain yaitu tulang, phaneres, ligament, tulang rawan dan lain-
lain, dan saluran cernamengikat obat dalam persentase yang kecil dari dosis yang diberikan.
Cairan Jaringan
darah astrocytes
ekstraseluler serebral
bentuk bebas bentuk bebas bentuk bebas
Hal yang sama, perlintasan molekul-molekul yang tidak larut lemak dari plasma menuju cairan sefalo-rakhidien
dihambat oleh sel-sel epitel dari pleksus menuju endotel kapiler.
Dari cairan ekstraseluler yang tidak mengandung protein dan obat hanya berada dalam bentuk bebas, maka obat
dapat berdifusi menuju jaringan saraf. Repartisi intraserebral tidak homogen dan umumnya konsentrasi yang lebih tinggi
terdapat di otak bagian kelabu. Dari sel-sel otak (serebral), molekul dapat kembali menuju plasma, melalui transpor aktif atau
difusi pasif, yang menyebabkan derajat konsentrasi obat dalam serebral menjadi lebih tinggi dibandingkan konsentrasi obat
dalam darah. Lamanya efek obat anti pertumbuhan pada sistem saraf pusaf terjadi karena lambatnya fenomena bolak balik
difusi transmembran (dan transeluler ).
Dari cairan sefalo-rakhidian,zat aktif dapat juga difusi kedalam plasma dan hal ini sangat mudah terjadi pada
molekul yang larut lemak, tetapi sangat sulit untuk bahan yang larut-air. Hal yang sama juga terjadi pada asam lemah yang
merupakan metabolit mediator otak,yaitu serotonindan dopamin. Penghambatan transpor aktif dari asam 5-hidroksi
indolasetat (5 HIAA) dan asam vanilmandelat (VMA) oleh probenesid menyebabkan ekskresi metabolit tersebut kedalam
plasma dan menyebabkan penimbunan dalam cairan sefalo-rakhidian.
Bahan yang larut lemak,terionisasi lemah pada pH darah (karena hanya satu fraksi tak terionkan yang larut dalam
lemak)dengan afinitas lemah pada protein plasma menyebabkan jalur menuju saraf pusat lebih mudah : semua molekul harus
memenuhi kriteria-kriteria tersebut untuk mempunyai efek pada saraf pusat. Sebaliknya,molekul-molekul larut-air tidak
dapat atau sulit mencapai sel-sel otak. Neurotoksisitas dari melekul dapat diturunkan dengan mengubah strukturnya;dengan
adanya amonium kuarterner (NH4) pada molekul atropin menyebabkan senyawa tersebut lebih larut-air sehingga akan
kehilangan efek pada saraf pusat.
Derajat ionisasi yang tergantung pada pH darah dapat mempengaruhi proses perlintasan membran pada saraf pusat :
pembasaan darah akan mempermudah pelarutan asam lemah dan menurunkan fraksi tak terionkan dalam plasma. Demikian
juga perfusi Na-bikarbonat menyebabkan peningkatan difusi barbiturat dari cairan sefalo-rakhidian menuju plasma,
fenomena ini menguntungkan jika terjadi intoksikasi oleh senyawa hipnotik.
Perubahan sifat fisiko-kimia molekul dan perubahan cairan yang terdapat di dua sisi membran bukan merupakan
faktor tunggal yang mempengaruhi difusi zat aktif ke dalam sistem saraf pusat. Pada keadaan patologik,permeabilitas
membran dapat berubah : penisilin merupakan molekul larut-air yang pada individu sehat tidak menembus sawar hamato-
ensefalik, namun dapat menembus jaka terjadi proses peradangan dari meninges (selaput otak).
Ginjal mempunyai perfusi yang sangat besar yaitu 20% dari debit jantung, atau lebih kurang 1 liter darah yang lewat
tiap menit di dalam arteria renalis. Pada setiap nefron terdapat dua anyaman kapiler yaitu glomerulus yang terdiri atas
pembuluh darah arteri serta darah arteri kapiler yang dialirkan menuju jaringan tubuler arteria-renalis.Darah vena dialirkan
melalui vena renales, dan selanjutnya kembali pada sirkulasi umum (menuju vena cava inferior).
Pentingnya permukaan kontak dan tepi yang tipis dari endotelium vaskuler dan epitel nefron memberikan peluang
pertukaran antara darah kapiler ginjal dan cairan tubuler. Semua nefron berperan pada proses peniadaan obat, juga pada
pembentukan air kemih. Mekanisme yang sama juga terjadi pada filtrasi glomerulus dan penyerapan kembali serta sekresi
tubuler.
Filtrasi glomerulus merupakan fenomena pasif yang erat hubungannya dengan parameter kardiovaskuler, khususnya
tentang debit jantung dan tekanan arteri. Semua pengurangan aktivitas jantung akan mengurangi debit jantung dan debit
ginjal sedangkan semua pengurangan tekanan arteri akan menurunkan tekanan perfusi dalam arteri renalis dan menurunkan
tekanan perfusi dalam arteria renalis dan menurunkan jumlah filtrat dan akibatnya terjadi diuresis.
Filtrasi glomerulus sangat efektif karena jumlah dan besarnya pori-pori endothelium glomerulus. Glomerulus dapat
menyaring hingga 1/5 volume plasma yang melalui lumen kapsul: volume dari ultrafiltrat glomerulus mencapai 120-130 ml
tiap menit. Besarnya pori-pori dapat menyebabkan lolosnya sejumlah partikel dalam plasma, kecuali molekul-molekul besar
dengan berat molekul di atas 68.000. Jadi ultrafiltrat dari protein plasma komposisinya sama dengan plasma, hal ini
menunjukkan bahwa proses ultrafiltrasi glomerulus terjadi secara difusi. Hampir pada semua obat, konsentrasi zat aktif yang
terdapat dalam filtrat sama dengan konsentrasi dalam plasma. Hal itu juga berarti bahwa berkaitan dengan ikatan plasmatik,
hanya satu fraksi bebas yang terdapat dalam ultrafiltrat dan seimbang dengan fraksi dalam plasma.Beberapa molekul obat
tidak dapat berdifusi melalui membran glomerulus, karena berat molekulnya yang besar sehingga molekul-molekul tersebut
tetap tinggal di dalam lumen vaskuler dan digunakan untuk ekspansi vaskular (misalnya dekstran, polivinilpirolidon dan
sebagainya).
Laju ultrafiltrasi glomerulus (180 liter per 24 jam) dan jumlah ultrailtratnya berbeda secara bermakna dibandingkan
dengan air kemih (1,5 liter per 24 jam), di satu sisi keduanya berbeda secara bermakna dan di sisi lain perbedaan
komposisinya berkaitan erat dengan aktivitas intensif tubulus renalis, sesuai dengan fenomena penyerapan kembali dan
pengeluaran. Dengan adanya proses ini, konsentrasi molekul-molekul yang terdapat di dalam ultrafiltrat glomerulus sama
dengan konsentrasi dalam plasma, dan selanjutnya dikeluarkan dari tubuh dengan laju yang berbeda.
Jika molekul yang tersaring di sepanjang tubulus renalis tidak mengalami perubahan, maka jumlah obat yang keluar
dari tubuh dalam satu menit dalam air kemih (= U x V) adalah sama dengan jumlah obat yang melalui darah per menit dalam
ultrafiltrat glomerulus (= P x F).
Keterangan:
U = konsentrasi dalam air kemih
V = volume air kemih per menit
P = konsentrasi dalam plasma
F = volume filtrat glomerulus
Klirens dari suatu molekul obat (atau jumlah plasma yang terinci per menit) adalah sama dengan volume ultrafiltrat
glomerulus:
UxV
Klirens =
P
Bila klirens molekul di atas 120-130 ml/menit, maka selama melalui tubulus, mekanisme aktif sekresi telah membantu
proses ditiadakan. Sebaliknya, bila klirens lebih rendah dari volume ultrafiltrat, maka fenomena reabsorpsi bertindak
memperlambat peniadaan.
Dari perhitungan yang mengabaikan pengaruh-pengaruh luar, ternyata waktu-paruh biologik (waktu yang diperlukan
agar konsentrasi zat aktif dalam darah menurun separuhnya) adalah:
- 70 menit jika hanya terjadi proses filtrasi
- 7 menit jika terjadi sekresi melalui tubulus renalis
- 7 hari jika terjadi penyerapan kembali tubulus, dalam hal ini konsentrasi dalam air kemih tidak melampaui konsentrasi
plasma.
Perhitungan ini menggambarkan secara nyata bahwa peran peniadaan obat melalui ginjal berkaitan erat dengan
aktivitas obat.
Fenomena penyerapan kembali tubulus berperan nyata dalam pembentukan air kemih: pengurangan volume dari 180
liter filtrat menjadi 1,5 liter air kemih menunjukkan fenomena tersebut. Pentingnya proses penyerapan kembali air (99%),
menyangkut kepentingan reabsorpsi natrium yang sebagian terjadi karena pengaruh mekanisme hormonal (ADH).
Pengurangan volume air kemih yang terbentuk pada tubulus renalis yang menyebabkan adanya gradien konsentrasi yang
mendorong difusi obat dari cairan tubulus menuju plasma, dengan demikian konsentrasi intratubulus menjadi lebih besar dari
konsentrasi plasma. Perlintasan membran ginjal terjadi seperti halnya membran yang lain yaitu senyawa yang paling larut-
lemak dan fraksi tak terionisasi dari asam/basa lemah yang lebih mudah diserap kembali. Derajat ionisasi merupakan fungsi
dari pH cairan sekitar dan pH plasma relatif tetap, sedangkan pH air kemih dapat bervariasi, walaupun, dalam keadaan
normal bersifat asam.Sebenarnya ginjal bukan berperan untuk mengeluarkan sisa-sisa kotoran, tetapi juga berpartisipasi
mempertahankan homeostatis; sebagian melalui fungsinya dengan sekresi ion H + pada tubulus distalis.Keragaman pH pada
lumen tubulus mempengaruhi keseimbangan antara bentuk yang terionkan dan yang tak terionkan, dengan demikian
penyerapan kembali elektrolit lemah mengalami perubahan.
Untuk asam lemah, penurunan pH mengurangi ionisasi molekul, sedangkan bentuk tidak terionkan yang larut lemak
konsentrasinya di dalam saluran cerna lebih besar dari konsentrasi dalam plasma ; hal ini menguntungkan proses penyerapan
kembali. Pada keadaan fisiologis normal, asam asetil salisilat mudah diserap kembali pada tubulus renalis. Oleh sebab itulah
alkalinisasi air kemih melalui perfusi natrium bikarbonat merupakan cara yang sering dilakukan pada overdosis obat untuk
pengeluaran senyawa-senyawa seperti asam asetil salisilat atau barbiturat (Gambar 2.16). Sebaliknya, juga berlaku untuk
basa lemah yang peniadaannya dipengaruhi oleh keasaman air kemih.
Sifat-sifat fisiko kimia dari molekul zat aktif dan pH larutan menentukan terjadinya penyerapan kembali.Namun perlu
diperhatikan bahwa adanya ikatan plasmatik dan gradien difusi hanya tergantung pada bentuk yang tidak terikat.
PLASMA AIR KEMIH Alkalinisasi air kemih mendorong terjadinya ionisasi molekul dan mencegah penyerapan
pH = 7,4 bila pH = 5 kembali melalui tubulus : sehingga asam asetil salisilat lebih cepat dikeluarkan
7,4 = 3 + 4,4 5= 3 + 2
[𝐼] [𝐼]
log [𝑁𝐼] = 4,4 log [𝑁𝐼] =
[𝐼] 25.000 [𝐼] 100
[𝑁𝐼]
= [𝑁𝐼]
=
1 1
bila pH = 8
8=3+5
[𝐼] 25.000 [𝐼] 100.000
[𝑁𝐼]
= [𝑁𝐼]
=
1 1
Gambar 2.16. Penerapan persamaan Henderson-Hasselbach pada peniadaan melalui air kemih asam asetil salisilat (pKa = 3)
Sekresi tubuler merupakan suatu mekanisme aktif yang ikut berperan dalam pengeluaran senyawa asing dari tubuh
bersama air kemih. Sekresi tubuler akan membantu pengeluaran obat-obat tertentu secara cepat. Terdapat dua sistem transpor
pada tubulus contortus proximal, sebagian untuk asam-asam organik: penisilin, metabolit glukoronat atau sulfat, yang lain
untuk basa-basa organik seperti kinina, amonium kuartener dan sebagainya.
Kedua sistem tersebut merupakan kriteria transpor aktif transmembran. Tidak ada tipe transpor yang spesifik untuk
suatu molekul, adanya persaingan untuk transporer yang sama dapat terjadi antara beberapa molekul. Contoh klasik adalah
penisilin dan probenesid.Penisilin merupakan senyawa yang larut air dan mencapai tubulus proksimal untuk disekresi (harga
klirens penisilin lebih besar dari penyaringan glomerulus yaitu 500 ml/menit); laju peniadaan tidak begitu penting karena
obat tersebut mempunyai batas efek terapetik dan mengharuskan penderita disuntik ulang.Untuk memperpanjang efek
terapetik penisilin maka penisilin diberikan bersama dengan probenesid. Sistem peniadaan probenesid pada transporer yang
sama, maka probenesid akan memperlambat peniadaan penisilin karena ionisasi probenesid yang kuat akan mencegah
penyerapan kembali penisilin.
Asam para-aminohipurat merupakan tipe yang sama dengan senyawa yang dikeluarkan oleh ginjal. Pengeluarannya
relatif terjadi sejak awal pengaliran darah dalam ginjal dan hal tersebut menguntungkan untuk menentukan penentuan aliran
darah glomerulus.
HEPAR
vena porta
canalis biliaris
vena mesentrica
superior
INTESTIN
Orang dewasa juga dapat mengalami masalah perkaitan dengan pengeluaran obat melalui air susuternak. Pemakaian
pengobatan mastitis pada sapi perah merupakan awal dari kepekaan terhadap antibiotika pada manusia.Sediaan-sediaan
tertentu yang secara luas digunakan pada pertanian, teretama yang daya larut dalam lemak besar, seperti
pestisidadanherbisida, dapat dikeluarkan melalui susu ternak.
Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dan toksisitas obat, maka peniadaan melaluiperubahan hayati
mempunyai peran yang cukup penting. Karena ginjal berperan pada proses peniadaan, maka mengingat kinetika obat yang
dapat mencapai organ tersebut perlu diperhatikan aturan penggunaan untuk semua obat pada penderita dengan kegagalan
ginjal.
Hal yang sama terjada pada penderita kegagalan hati dimana terjadi gangguan fungsi perubahan hayati dan
pengeluaran empedu.
Tabel 2.1.Contoh induksi enzimatik oleh beberapa obat dan faktor eksogen
Senyawa yang metabolismenya
Induktor
ditingkatkan
Asap rokok 3,4-Benzopiren Nikotin
Barbiturat
Difenilhidantoin
Antikoagulian kumarin
Digitoksin
Barbiturat
Anestesi lokal
Hormon steroid
Kodein
Bilirubin
DDT
DDT, Lindana Antipirin
Heksobarbital
Difenilhidrantoina Kortisol
Pentobarbital
Etanol Tolbutamid
Difenilhidantoin
Amidopirin
Fenilbutason
Kortisol
Glutetimeda Glutetimida
Hidrokarbon polisiklik 3,4 Benzopiren
Meprobamat Meprobamat
Walapun terjadi keragaman dan multiplikasi senyawa kimia, namun perubahan tersebut berbatas dan dapat dibagi
menjadi 4 tipe perubahan yaitu oksidasi, reduksi, hidrolisa,yang dapat membentuk metabolit golongan polar dan konyugasi
yang meningkatkan kelarutannya. Struktur kimia dengan gugus fungsionalnya menunjukkan jenis reaksinya.
Perubahan hayati ini umumnya menghilangkan sifat-sifat terapetik atau toksisitas, kecuali untuk beberapa metabolit
yang menunjukkan suatu aktivitas yang lebih tinggi.
(O)
P450 OH
(O)
CH3CHOH
P450
meprobamat
OH – CH2OH
(O)
P450 CH2CHOH – CH3
sekobarbital
COOH
(O)
P450
(CH3)2C
│
OH
amobarbital
OH
(O)
P450
antipirin
Pada umumnya reaksi ini tidak berhenti pada tahap turunan alkohol, tetapi adanya enzim dalam fraksi yang larut dari
sitoplasma (alkohol dehidrogenase, aldehid dehidrogenase ) akan mengubah gugus alkohol primer menjadi aldehid kemudian
menjadi asam karboksilat.
Kadar setiap tipe metabolit bervariasi tergantun pada sifat senyawa dan spesies hewan.
Fenobarbital diubah menjadi para-hidroksifenobarbital (36%) dan orto-hidroksifenobarbital (2,5%).
Asetanilid berubah menjadi para-hidroksiasetanilid.
Fenilbutason, asam salisilat, naftalin koumarin, kholrdiazepoksid dan sebagainya mengalami tipe oksidasi seperti yang tertera
berikut ini:
(O)
P450
fenobarbital
OH
p-hidroksifenobarbital
(O) OH
P450
zoxazolamin
OH
(O)
P450
imipramin
(O)
P450
OH
(O)
P450
klordiazepoksid OH
a
OH
(O)
P450
OH
(O)
P450
Bila pada siklus aromatis disubsitusi dengan rantai alifatis, maka oksidasi terjadi pada gugus pertama dan pada atom
terakhir yang lebih mudah teroksidasi.
a.1.3 Epoksidasi
Epoksidasi adalah suatu bentuk khusus dari pengikatan oksigen diantara dua atom karbon oleh suatu ikatan rangkap.
Epoksidasi merupakan suatu tahap intermedier dalam oksidasi, mekanisme terjadi pada hidrokarbon aromatis seperti benzene
atau naftalen dan turunan halogen tertentu.
(O)
naftalen
fenantren
(O)
CH3
imipramin O
(O)
koramin O
(nikotamida) nikotinamida N-oksida
HOH
(O)
anilin N-fenilhidroksilamina
Mekanisme oksidasi pada atom N berbeda dengan mekanisme N-dealkilasi yang berarti terjadinya oksidasi pada
atom karbon.
Sulfoksidasi tersebut penting terutama pada sulfur alifatik, sulfur dan fenotiasinanya.
a.4. Desulfurisasi
Pada turunan tio tertentu (tio-urea, tiosemikarbason, organo-fosfor), adanya oksigen akan mengganti atom S dengan
atom O.
S= C O=C
Insektisida parathion asam tiofosfat di dalam tubuh akan aktif hanya setelah terjadi perubahan.
S= P O=P
b.Oksidasi non-mikrosomal
Oksidasi alkohol
Alkohol alifatik primer dan sekunder pada umumnya dioksidasi oleh NAD dengan bantuan enzim alkohol
dehidrogenase dan reaksi terjadi secara reversibel.
alkohol
NAD + CH 3CH 2OH CH 3CHO+NADH2
dehidrogenase
Bentuk aldehida diubah menjadi asam yang bersangkutan dan NAD dengan bantuan enzim aldehida-dehidrogenase.
alkohol
NAD + CH 3CH O CH 3COOH +NADH2
dehidrogenase
C=O
amfetamin
CHO
noradrenalin
a.2Dealkilasi
Reaksi ini merupakan peniadaan radikal yang mula-mula terikat pada atom oksigen, sulfur atau nitrogen. Selain itu
reaksi berlangsung dengan pembebasan aldehid atau keton.
R” R”
(O)
R – O – CH R – OH + O = C
R’ R’
R” R”
(O)
R – S – CH R – SH + O = C
R’ R’
R” R”
(O)
R – NH – CH R – NH2 + O = C
R’ R’
R’dan R”merupakan radikal (senyawa asam) atau hidrogen.
- O - dealkilasi
Reaksi ini dimulai dari meter aromatik (metil atau etil) yang membebaskan fenol dan aldehid yang bersangkutan
(formaldehid dan asetaldehid). Fenasetin diubah menjadi N- asetil para- amino fenol, sedangkan kodein diubah menjadi
morfina
normorfin
- S - dealkilasi
Tio-eter menghasilkan tiol yang bersangkutan.
- N - dealkilasi
Dealkilasi amina sekunder dan tersier membebaskan amina primer, aldehid dan ketan.Reaksi ini berkaitan dengan
reaksi oksidasi dari gugus alkil yang terikat apda amin dan bukan pada oksidasi dari amin itu sendiri.
Beberapa senyawa yang dapat mengalami dealkilasi adalah :
Adrenalina, efedrina, amina iminodibensilik, khlopromasina, amitriptilina, piramidona, morfina, kokaina, aminofenazon.
Imipramina mengalami monodemetilasi menjadi desmetilimipramina, tetapi sistem enzimatik pada keadaan ini hanya
memungkinkan demetilasi saja dan terbukti inaktif pada desmetilasi imipramin atau desipramin.
(O)
2.5.2.2Reaksi Reduksi
Reaksi ini kurang penting dibanding reaksi oksidasi, reaksi reduksi terutama berperan pada Nitrogen dan turunananya
(azoik dan nitrat), kadang-kadang pada karbon.
H2N + NH2
prontosil sufanilamid
R-COO-R’+H2O R-COOH+R’-OH
R-CO-NH2+H2O R-COOH+NH3
Esterase plasmatik dan esterase hepatik mempunyai afinitas yang berbeda.Petidin hanya dihidrolisa dalam hati,
sebaliknya esterase dari mikrosom tidak aktif terhadap asetikolin dan tidak peka terhadap eserin.
Amida dihidrolisa kurang cepat dibanding ester.
Di usus, protease dapat merusak senyawa berstruktur peptidik seperti insulin dan ACTH, dengan demikian obat
tersebut tidak dapat diberikan per-oral.Lipase pankreatik atau esterase bakteri dapat membebaskan bagian obat yang aktif
dari bentuk esternya.
O
CH – O – CH – (CHOH)2– CH – COOH
│
CH3
hidroksi-1’glutetimid glukoronat
- N-glukoronat (amina)
O
NH – CH – (CHOH)2 – CH – COOH
Asam glukoronat sebagai hasil oksidasi alkohol primer pada glukosa, di dalam tubuh mudah diubah menjadi bentuk
aktif yaitu bentuk asam uridin difosfat glukoronat (UDPGA). Pengikatan pada aseptor dikatalisa oleh UDP-glukoronil
transferase yang berasal dari mikrosom,atau oleh glukoronil transferase dari jenis yang berbeda. Dalam hal-hal tertentu, asam
glukoronat dapat terlepas dari glukoronida dan pindah ke aseptor lain dibawah pengaruh beta-glukoronidase.
Glukurokonyugasi terutama bekerja di hati tetapi dapat pula terjadi di jaringan lain seperti kulit, ginjal, dan saluran
cerna.
Reaksi glukurokonyugasi tersebut membentuk berbagai tipe glukuronida dengan berbagai jenis gugus fungsional.
- Gugus hidroksil – OH (alkohol dan fenol)
O–R
O
R – OH + UDPGA
eter – O – glukuronat
R – COOH + UDPGA
eter – O – glukuronat
R – NH2 + UDPGA
α – amino-ester : N – glukuronat
- Gugus sulfhidril
S–R
O
R – SH + UDPGA
tio-asetal : – S – glukuronat
Glukosa UDP-Glukosa
UDP-α-gukuronat UDP
COOH
Glukuronil transferase O–R
O
R-OH
Gambar 2.18. Skema glukorokonyugasi
Glukuronida yang terbentuk sangat mudah larut dalam air, hal ini disebabkan ionisasi karboksilat pada pH fisiologi
(pKa antara 3 dan 5) serta karena polarisasi dari asam glukuronat.
Peniadaan glukuronida dapat terjadi melalui ginjal dan empedu. Proses ini tergantung pada berat molekul (BM) dan
turunan yang terkonyugasi. Senyawa metabolit tersebut dapat ditemukan dalam air kemih (BM < 300), dalam empedu (BM
>700) atau dalam keduanya (BM intermedier).
ROH ROSO3-
ArOH ArOSO3-
ArNH2 ArNSO3-
Alkilsulfat, arisulfat dan N-arisulfat yang terbentuk secara keseluruhan dapat mengalami ionisasi pada pH fisiologik,
sangat larut dan cepat ditiadakan. Ion dapat berasal dari oksidasi asam amina belerang, sistein, metionin dan glutation , tetapi
untuk dapat terkonyugasi harus diaktivasi terlebih dahulu. Reaksi dimulai dari 3-fosfo-adenosin-5’-fosfosulfat (PAPS), yang
mana gugus belerang aktif dipindahkan ke bentuk substrat oleh sulfotranferase atau sulfokinase yang terdapat dalam
sitoplasma sel, hati, ginjal atau usus.
Perlu diperhatikan bahwa fenol dan akrilamin dapat mempunyai mekanisme yang tidak tergantung satu sama lain
seperti pada sulfokonyugasi dan glukurokonyugasi
2.5.3.3 Asetilasi
Reaksi asetilasi terutama terjadi pada amina primer aromatik seperti anilina, asa para-amino salisilat, aminofenazon,
isoniazida dan sulfamida dan lain-lain.
Reaksi konyugsi asetilasi terjadi dalam sel-sel reticulo endothelial system (RES) di hati, limpa usus dan paru dengan
bantuan asetilkoenzim A dan dengan adanya asetilasi.
Kadang-kadang hasil asetilasi menunjukkan karakter spesifik yang belum dapat dijelaskan dan menghasilkan
turunan yang kurang larut dalam air dan mudah mengendap dalam tubulus ginjal, misalnya sulfamida.
asetil koenzim A
NH2 NH– CO – CH3
N-asetiltransferase
sulfanilamid
NH– CO – CH3
isoniazid
glutation glutationkinase
transferase dan peptidase
benzil klorida
benzil sistein
benzil glutation
asetil koenzim A
asetilase
benzil merkapturat
2.5.3.5 Metilasi
Metilasi pada nitrogen, oksigen dan sulfur (S-H) secara luas telah digunakan pada sejumlah obat-obatan. Metilasi
juga terjadi pada gugus amina dari amina primer, sekunder, OH-fenol dan SH-merkaptan.
Contoh senyawa pengmetilasi adalah S-adenosil metionin yang pembentukannya dikatalisa oleh enzim yang berasal
dari fraksi sel yang larut. Gugus metil aktif selanjutnya diubah oleh beberapa metil transferase tidak spesifik.
Istilah O-metilasi digunakan pada turunan nor-kodein dan nor-morfin, N-metilasi pada nor-heksobarbital, serotonin,
atau S-metilasi pada nor-heksobarbital dan dimerkaptopropanol.
O – metilasi
COMT
noradrenalin normetanefrin
COMT = Cathecol Oxy Methyl Transferase
N – metilasi
CH3
histamin 4-metilhistamin
CH3
NH2
glisin NH
│
CH2
│
asam benzoat COOH
2.5.4. KESIMPULAN
Telah dibahas berbagai tipe reaksi yang meliputi reaksi deshidrogenasi alifatik, pemecahan inti, deshalogenasi inti,
deshalogenasi, pembentukan asam tiosianat yang dimulai dari asam sianat.
Perubahan lainnya dapat pula terjadi di usus dengan bantuan getah empedu dan flora usus. Telah dibahas pula
peranan jalur pemberian obat.
Rangkaian bahasan fenomena tersebut di atas menunjukkan kepentingan perubahanhayati obat serta sistem enzimatik
yang terlibat.
Efektivitas setiap enzim berpengaruh pada lama efek farmakologik. Selain itu lingkungan dan faktor genetik,
fisiologik atau patologik dapat mengubah aktivitas farmakologik, pengaruh ini bekerja pada fase metabolik obat.
Pemahaman yang lebih mendalam tentang metabolisme obat-obatan diperlukan untuk menghindari risiko terapetik
yang tidak dikehendaki. Terdapat peraturan baru yang mengharuskan diketahuinya semua metabolit molekul
yangdimaksudkan untuk tujuan terapetik.
a. Sistem enzimatik
Timbulnya atropin esterase plasmatik pada kambing dan kelinci merupakan tanda-tanda terjadinya keracunan atropin.
Waktu paruh biologik dari heksobarbital dan amidopirin pada manusia ternyata lebih lama dibandingkan pada tikus.
Desaminasi dari efedrin nyata terjadi pada kelinci dan tidak terjadi pada anjing dan tikus. Pada manusia, senyawa
tromeksan mengalami proses dihidroksilasi, namun pada kelinci tromeksan mengalami proses tromeksan dimetabolisme
lebih cepat dibanding pada manusia.
Tikus besar tidak dapat menghidroksilasi koumarin. Sedangkan glukuronil transferase pada kucing mengalami
reduksi.
Berdasarkan pada dua kelompok umur yang berbeda tersebut, dapat disimpulkan bahwa orang dewasa berumur antara
20-60 tahun.
Kekhususan tersebut dijelaskan melalui perubahan parameter farmakokinetik, perlintasan membran sel,
difusi,perubahan hayati serta peniadaan.
(i) Difusi
Tubuh bayi yang baru lahir ditandai dengan permeabilitas membran fisiologik yang lebih besar dibandingkan pada
anak-anak dan orang dewasa.
Sawar hemato-ensefalik bayi mudah ditembus oleh sejumlah obat.
Permeabilitas sel-sel otak, hati dan ginjal yang sedang tumbuh pada bayi terhadap salisilat lebih besar sehingga
kemungkinan intoksikasinya pada bayi harus lebih diperhatikan dibandingkan pada anak muda.
Tidak adanya mielinisasi dari serabut-serabut mempercepat penembusan barbiturat ke dalam substansi putih
dibandingkan dalam substansikelabu.
Permeabilitas ini bertanggung jawab terhadap perlintasan dalam peredaran darah suatu senyawa yang digunakan
setempat (neomisina, heksaklorofen)
b. Usia lanjut
Lambat atau cepat, tubuh manusia tua akan mengalami serangkaian perubahan morfologi dan fungsional yang
berakhir dengan kematian. Ketentuan sama dengan penurunan atau kehilangan kemampuan penyesuaian tubuh terhadap
lingkungan di luar tubuh.
Ketuaan merupakan proses pengausan atau penurunan aktivitas fungsi organ tubuh, dan proses ini terjadi dengan laju
yang berbeda pada setiap orang.
Pada tubuh orang tua, efek sedatif barbiturat dan hipnotik akan berkurang dan sebaliknya efek toksiknya semakin
meningkat.
Namun pada umur tersebut tubuh lebih toleran terhadap alkohol dan morfin.
Pada orang usia lanjut ketidakmampuan kerja lebih nyata, kapasitas fungsional dari hati menurun setelah 70 tahun.
Penyerapan obat yang tidak baik dapat menimbulkan keadaan kurang-dosis.Defisiensi enzimatik secara nyata
bertanggungjawab terhadap gangguan metabolisme. Pemakaian obat pada usia lanjut harus berhati-hati karena cukup banyak
obat yang dapat menyebabkan kerusakan hati.
Ketidakmampuan ginjal yang tercermin dari klirens obat yang menurun terutama klirens glomerulus akan
menyebabkan hambatan peniadaan obat, misalnya obat digitalis, digoksin dan sulfamida.
Kadang-kadang sulit untuk membedakan perubahan yang disebabkan oleh modifikasi fisiologik terhadap
patologik,karena tubuh selalu mengandung sisa-sisa semua bentuk tekanan yang pernah dialami selama hidupnya dan sulit
untuk ditelusuri, terutama penyebab dari lingkungan dan makanan.
2.6.2.2.3. Morfotipe
Pada saat pembentukan fisik suatu individu, tercipta ukuran fisik dan volume kompartemen yang baku. Volume
kompartemen yang baku. Volume berbagai kompartemen tubuh dapat berubah dan berbagai gangguan dapat mengubah fase
farmakokinetik.
Pemberiaan obat yang sama pasologinya pada morfotipe yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan penyebaran dan
akumulasi obat,dengan demikian dapat menyebabkan keadaan kurang-dosis atau lewat-dosis.
Obat-obat yang larut-lemak terikat kuat secara proporsional pada lemak dan jumlah fraksi bebasnya dapat berbeda
tergantung pada setiap individu.Jadi harus diperhitungkan dengan seksama kemungkinan adanya udema dan penimbunan
obat dalam lemak.
Pada obat yang bersifat larut-air,kompartemen cairan tubuh dapat mempengaruhi proses difusi,penyebaran dan klirens
ginjal.
Perhitungan posologi yang didasarkan atas berat badan tanpa mempertimbangkan kekhususan sifat kompartemen akan
mengakibatkan pemberian obat dalam dosis yang tidak dapat dan tidak sesuai dengan masa seluler aktif seperti enzim,ikatan
protein,reseptor farmakodinamika yang berperan pada nasib obat.
Percobaan lebih lanjut menunjukkan bahwa orang dewasa yang bertubuh kecil memerlukan zat aktif dalam
perbandingan yang lebih banyak dibandingkan seseorang yang bertubuh besar.
enzim lambat dan cepat untuk suatu substrat yang tampaknya serupa. Adanya kekhususan ini memerlukan suatu penyesuaian
cara pemberian obat pada setiap penderita.
Individu tertentu tidak memiliki katalase eritrositer, yang lain menghidrosilasi fenilhidantoin. Contoh lainnya adalah
20% dari populasi wanita Swiss merupakan pembawa alkohol dehidrogenasi atipik yang lebih aktif dibandingkan lainnya.
Dalam keadaan ikterus kronis idiopatik,bilirubin glukurokonyugasi tidak dapat dikeluarkan dan tertimbun didalam
sel-sel hati.
Kelainan genenetik terlihat pada metabolisme glukosida dengan defisiensi enzimatik pada metabolisme
pentose.Kekurangan glukosa 6 fosfat behidrogenase merupakan penyebab anemihemolitik,karena sel darah merah lebih peka
terhadap obat-obat tertentu.
2.6.2.2.5. Kehamilan
Kehamilan mengubah kandungan air dalam jaringan yang dapat mengganggu penyebaran obat.
Wanita hamil menunjukkan ketidakmampuan hati (bersifat sementara) akibat banyaknya hormon luteal dalam tubuh.
Pada saat kehamilan harus diwaspadai pemberian obat yang secara normal dirusak dalam hati karena obat-obat tersebut dapat
menumbulkan resiko penimbunan pada konsentrasi sub-toksik dan akan berbahaya bagi ibu maupun janinnya.
Pada kehamilan, sejumlah reaksi detoksifikasi berkurang.Mekanisme oksidasi tertentu (metabolism aminopirin,
fenasetin atau reaksi hidroksilasi (koumarin, difenil) menurun separuhnya.Demikian pula demetilasi dari petidina menjadi
lebih lemah.
Glukurokonyugasi dihambat oleh progesterone, sedangkan pregnandiol menghambat aktifitas glukuronil transferese.
2.6.3.2.2 Difusi
Difusi penisilin dan streptomisin pada daerah otak dipermudah pada keadaan peradangan di daerah otak. Pada
keadaan meningitis dijumpai kadar zat aktif yang tinggi pada cairan sefalo-rakhidien, dan hal ini yang cukup efektif untuk
pengobatan.
Pada keadaan hipoproteinemia peningkatan obat bentuk bebas pada protein plasma akan meningkat. Dengan demikian
efek terapetik obat akan lebih nyata dibandingkan pemberian pada keadaan normal. Toksisitas obat karena pemberian dosis
berlebihan yang mendadak juga terlihat lebih nyata.
Keadaan asidosis atau alkalosis dapat mempermudah atau menghambat pembentukan ikatan obat pada reseptor-
reseptor.
2.6.5 KESIMPULAN
Tubuh mempunyai kemampuan yang nyata untuk mengubah molekul obat dan senyawa asing lainnya secara bertahap.
Tetapi terdapat sejumlah faktor penyulit yang berpengaruh pada proses metabolisme, baik faktor endogen yang
berkaitan dengan individu, sifat genetik dan keadaan patologinya, maupun faktor eksogen yang berkaitan dengan lingkungan.
Sering dijumpai, laporan pengungkapan akibat pangaruh faktor tersebut tetapi tanpa menganalisa hal-hal yang
terkait.Kadang- kadang sulit diketahui sumber timbulnya faktor penyulit tersebut, karena sejumlah faktor dapat beraksi
secara bersamaan. Oleh sebab itu pemahaman proses interaksi sangat diperlukan agar obat dapat digunakan dalam keadaan
yang tepat.