Вы находитесь на странице: 1из 31

BAB 2.

DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

BAB
2 DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN
DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama keberadaan dan perubahan zat aktif di dalam tubuh.Jalur
perjalanan obat di dalam tubuh digambarkan pada skema berikut ini (Gambar 2.1).

TITIK TANGKAP DEPOT

PLASMA

ELIMINASI
ABSORPSI
(penyerapan)
→bentuk bebas → (peniadaan)

Bentuk Metabolit
terikat

BOTRANSFORMASI
(perubahanhayati)

Gambar 2.1.Jalur perjalanan obatdidalam tubuh

Penetrasi zat aktif kedalam sistem peredaran darah karena proses penyerapan dan peniadaannya karena difusi
merupakan suatu peristiwa rumit dan berbeda untuk setiap bahan, kecuali satu fenomena yang sama yaitu pelintasan melalui
membran biologik.

2.1. MEMBRAN BIOLOGIK


2.1.1. SIFAT MEMBRAN
Rintangan atau sawar yang dihadapi zat aktif sebelum mencapai titik tangkap atau sebelum mengalami perubahan
atau peniadaan berbeda untuk setiap zat aktif. Sawar tersebut dapat merupakan sejumlah lapisan sel (misalnya kulit), atau
hanya satu sel basal (epitel usus halus), ataupun bahkan yang berukuran lebih kecil dari sel itu sendiri (membran antar sel
atau pembatas organ intraseluler seperti inti atau mitokondria).

Model membran:
Overton (1902) : membran lipida esensial.
Davson danDanielli (1936-1943) serta Stein dan Danielli (1956)
: lembaran lipida protein yang terdiri atas dua basal lipida monomolekuler (fosfolipida, kolesterol) yang
kutub hidrofobnya menghadap ke bagian dalam, dan kutub hidrofilnya yang merupakan basal protein
yang berada di fase berair. Tebal susunan molekuler tersebut sekitar 75 Å, membentuk gambaran tiga
dimensi asimetrik yang diperoleh dengan mikroskop elektron. Dua kutub hidrofil mengandung protein
dan ujung fosfolipida yang polar (salah satu di antaranya yang berada pada permukaan luar
mempunyai lapisan protein globuler) mengelilingi daerah pusat hidrofob (Gambar 2.2).
Singer dan Nicholson
: konsep model “mosaik cair” (Gambar 2.3). Matriks membran terdiri atas 2(dua) lapisan lipida protein
globuler yang tidak berkesinambungan dan saling menyesuaikan, menurut susunan yang teratur atau
tidak teratur. Gugusan polarnya terletak pada permukaan membran yang kontak dengan cairan intra
atau ekstraseluler, sedangkan gugus non polar menghadap ke arah dalam. Pori-pori yang tampak pada
sumbu utama protein globuler tebalnya ±85 Å.

Gambar 2.2. Model membran konsep Stein dan Danielli. Gambar 2.3.Model membran struktur “mosaik”

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 7


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

2.1.2. MEKANISME LINTAS MEMBRAN


a. Filtrasi
Filtrasi (difusi secara konvensi; flux liquidien) adalah mekanisme penembusan pasif melalui pori-pori suatu
membran (Gambar 2.4) :

membran
Kompartemen Kompartemen Kompartemen Kompartemen
80-100Å dalam
luar luar dalam
7-10Å

Gambar 2.4. Gambar 2.5.


Perlintasan membran secara filtrasi Perlintasan membran secara difusi pasif

Penembusan air terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik atau osmotik; semua senyawa yang berukuran
cukup kecil dan larut dalam air dapat melewati kanal membran. Sebagian besar membran (membran seluler, epitel usus halus
dan lain-lain) berukuran kecil (4-7 Å) dan hanya dapat dilalui oleh molekul dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih
kecil dari 150 untuk senyawa yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas rantai panjang. Sebaliknya sel-
sel endotelium vaskuler mempunyai pori-pori dengan ukuran lebih besar dari 40 Å, sehingga dapat melewatkan cairan yang
mengandung molekul-molekuldengan bobot molekul lebih tinggi menuju ruang antar sel (contoh : filtrasi glomerulus).

b. Difusi pasif “pH partisi hipotesis”


Difusi pasif (Gambar 2.5) menyangkut senyawa yang dapat larut dalam komponen penyusun membran.Penembusan
terjadi karena adanya perbedaaan konsentrasi atau elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan.

Hukum difusi Fick :


DAK Konsentrasi dalam fase lemak
V = P (Ce − Ci ) = (Ce − Ci ) dengan K =
ΔX Konsentrasi dalam fase air
V = waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan di kedua sisi membran
P = tetapan permeabilitas
Ce dan Ci = konsentrasi fraksi bebas dari zat aktif pada kedua kompartemen.
D = koefesien difusi molekul
K = koefesien partisi
A dan ∆X = luas permukaan dan tebal membran

Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada
dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan. Jika ukuran molekul tidak dapat melalui kanal-kanal
membran, maka polaritas yang kuat dari bentuk terionkan akan menghambat proses difusi transmembran. Hanya fraksi zat
aktif yang tak terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif.
Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam kuat atau basa kuat, derajat ionisasi berperan pada
hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa
lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melintasi membran tergantung kelarutan bentuk tak terionkan didalam lemak,
jumlah bentuk yang tak terionkan, serta derajat ionisasi molekul.
Derajat ionisasi tergantung pada dua faktor, (persamaan Henderson Hasselbach) yaitu:
- Tetapan disosiasi dari senyawa atau pKa. (pH dimana bentuk terionkan dan bentuk tak terionkan jumlahnya sama).
- pH cairan dimana terdapat molekul zat aktif; pH di kedua sisi dapat berbeda.

konsentasi bentuk terionkan [𝐼]


Untuk asam : pH = pKa + log = pKa + log [𝑈𝐼]
konsentasi bentuk tak terionkan

konsentasi bentuk tak terionkan [𝑈𝐼]


Untuk basa : pH = pKa + log = pKa + log [𝐼]
konsentasi bentuk terionkan

Pada setiap molekul tertentu, perjalanan lintas membran sangat berbeda pada setiap daerah saluran pencernaan, karena
pH saluran cerna beragam antara 1-3,5 untuk lambung 5-6 untuk duodenum dan ± 8 pada ileum. Penyerapan efektif terutama
terjadi pada bentuk yang tak terionkan yaitu zat aktif bersifat asam lemah pada lambung, sedangkan difusi basa lemah di
lambung akan berkurang, namun penyerapannya didalam usus halus menjadi sangat berarti karena bentuk tak terionkan yang
larut lemak terdapat dalam jumlah yang banyak.

Gambar 2.6 berikut, merupakan penerapan persamaan Henderson-Hasselbach pada penembusan transmembran dari
bentuk asam lemah takterionkan (asam asetil slisilat, pKa = 3) pada setiap bagian saluran cerna. Pada lambang konsentrasi

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 8


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

bentuk tak terionkan yang dapat berdifusi dari asam asetil salisilat lebih besar dibandingkan konsentrasinya saat berada di
usus dan di lambung difusi pasif tejadi lebih tinggi
LAMBUNG (pH =1) PLASMA (pH = 7,4)
1 = 3 + ( -2 ) 7,4 – 3 = 4,4
[𝐼] [𝐼]
log [𝑁𝐼] = -2 log [𝑁𝐼] = 4,4
[𝐼] 1 [𝐼] 25.000
[𝑁𝐼]
= [𝑁𝐼]
=
100 1

USUS (pH = 5,5)


5,5 = 3 + 2,5
[𝐼]
log [𝑁𝐼] = 2,55
[𝐼] 3,17 [𝐼] 25.000
[𝑁𝐼]
= [𝑁𝐼]
=
1 1

Gambar 2.6. Penerapan persamaan Henderson-Hasselbach pada penembusan transmembran

c. Transpor Aktif
Pada transport aktif (Gambar 2.7) diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini merupakan suatu bagian dari membran,
berupa enzim atau paling tidak senyawa protein dengan molekul yang dapat membentuk komplek pada permukaan membran.
Komplek tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan lainnya, lalu pembawa kembali
menuju permukaan asalnya (transport selalu terjadi dalam arah tertentu, pada bagian usus pelaluan terjadi dari mukosa
menuju serosa)
Sistem transport aktif bersifat jenuh artinya jika semiua molekul membawa telah digunakan maka kapasitas
maksimalnya tercapai. Sistem, ini menunjuk kan adanya suatu kekususan untuk setiap molekul atou suatu kelompok molekul.
Oleh sebab itu dapat terjadi persaigan beberapa molekul yang berafinitas tinggi dapat menghambat kompetisi transpor dari
molekul yang afinitasnya lebih rendah.
Ttranspor dari satu sisi membran ke sisi yang lain dapat terjadi dengan mekanisme perbedaan konsentrasi (atau
perbedaan elektro kimia jika molekulnya berupa ion).
Transpor aktif ini memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisa adenosin trifosfat (ATP) di bawah pengaruh suatu
ATP-ase. Jadi semua senyawa yang menghambat reaksi pembebasan energi, (seperti ion CN-) akan mempengaruhi transpor
aktif (inhibitor non kompetitif).
Kebalikan dari proses difusi dimana laju pelintasan membran tergantung pada perbedaan konsentrasi di kedua sisi
membran yang berkurang karena adanya difusi, maka laju transpor aktif tidak tergantung pada konsentrasi.
Transpor aktif berperan pada penyerapan kembali tubuler dari glukosa, peniadaan sejumlah asam-asam endogen
(asam 5-hidroksi indolasetat dan lain-lain) dari jaringan otak, serta peniadaan penisilin melalui urine dan sebagainya.
Kompartemen Kompartemen Kompartemen
Kompartemen
luar dalam luar dalam
pembawa

obat

ATP

pembebasan yang
tanpa kehilangan
memerlukan energi
energi
Gambar 2.7. Perlintasan membran secara Gambar 2.8. Perlintasan membran secara difusi sederhana
transpor aktif

d. Difusi Sederhana
Difusi sederhana (Gambar 2.8) merupakan cara perlintasan membran yang memerlukan suatu pembawa dengan
karakteristik tertentu (kejenuhan, spesifik dan kompetitif). Pembawa tersebut bertanggung jawab terhadap transpor aktif.
Tetapi disini perlintasan terjadi akibat gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi. Difusi sederhana bertanggung
jawab terhadap penetrasi glukosa ke bagian dalam sel darah.

e. Pinositosis
Pinositosis (Gambar 2.9) merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekul-molekul besar dan terutama oleh
molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi dengan pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran.Mekanisme ini
mirip dengan fagositosis bakteri oleh lekosit.

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 9


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

Kompartemen Kompartemen Kompartemen membran Kompartemen


membran
luar dalam luar dalam
obat
-
kation anion
difusi

-
Komplek netral
pasif
-
kation anion

Gambar 2.9. Pinositosis Gambar 2.10. Transpor oleh pasangan ion

f. Transpor Oleh Pasangan Ion


Transpor oleh pasangan ion (Gambar 2.10) adalah suatu cara perlintasan membran dari suatu senyawa yang sangat
mudah terionkan pada pH fisiologik (amonium kuarterner).
Perlintasan terjadi dengan pembentukan kompleks yang netral (pasangan ion) dengan senyawa endogen seperti musin,
dengan demikian memungkinkan terjadinya difusi pasif kompleks terebut melalui membran.

2.2 ABSORPSI DAN JALUR UTAMA PEMBERIAN OBAT


2.2.1. ABSORPSI PADA PEMBERIAN OBAT ENTERAL
2.2.1.1 Pemberian Obat Per Oral
Pemberian obat per oral adalah cara yang paling kuno, lebih fisiologis, lebih menyenangkan, harga relatif murah dan
lebih cocok serta praktis bagi kebanyakan orang. Oleh sebab itu 80% obat-obatan diberikan per oral.
Penyerapan obat sebenarnya dapat terjadi di sepanjang saluran cerna asalkan zat aktif tersebut dapat diserap. Kecuali
pada esofagus, penyerapan obat terjadi sepanjang canalis buccalis. Penyerapan obat beragam menurut bagian saluran cerna.

a. Rongga Mulut.
Kondisi yang cocok untuk terjadinya absorpsi obat dalam rongga mulut adalah: epitel berbentuk feriseluler tipis, pH
agak asam dan kaya vaskularisasi sehingga memungkinkan penembusan yang cepat munuju pembuluh darah. Dengan
demikian konsentrasi zat aktif yang mencapai darah lebih tinggi dari pada konsentrasi setelah penyerapan pada bagian bawah
saluran cerna. Aliran darah efferent melalui vena maxallaris dan sublingualis menuju vena jugularis eksterna dengan
membawa zat aktif. Zat aktif yang diserap di rongga mulut terhindar dari pH yang berbeda-neda pada daerah saluran cerna.
Juga terhindar dari pengaruh enzim dan flora bakteri serta kemungkinan pembentukan kompleks dengan senyawa makanan
yang dapat mengubah aktivitas dan atau mengubah konsentrasi obat. Semua mekanisme perlintasan membran dapat terjadi di
sepanjang saluran cerna.
Walaupun ada keuntungan pemberian obat secara perlingual dan sublingual, namun tidak semua obat dapat diberikan
dengan cara ini, karena rasa sejumlah senyawa merupakan penghambatan utama keberadaan obat di dalam rongga mulut.
Cara pemberian sublingual lebih berarti untuk hormon-hormon tertentu yang dirusak di dalam saluran cerna.
Keefektifannya terbukti pada pemberian nitrogliserin pada penderita angina pectoris.

b. Lambung
Fungsi fisiologik lambung terutama adalah sebagai motorik dan sekretorik. Vaskularisasi pada bagian permukaan
penyerapan terbatas, sehingga jika dibandingkan dengan penyerapan di usus, maka proses penyerapan di lambung hanya
terjadi dalam jumlah sedikit. Gastrectomi lebih membawa resiko terhadap penyerapan obat dibandingkan pada penyerapan
makanan.
Penyerapan obat di lambung tergantung pada keadaan lambung yang penuh atau kosong. Saat saluran cerna berada
dalam keadaan istirahat,spincter pylorus agak membuka dan senyawa yang diberikan per-oral dapat melintasi celah tersebut
dengan mudah dan akan diserap di usus halus. Jika zat aktif terdapat dalam lambung yang kosong, maka penyerapan secara
filtrasi atau difusi pasif terjadi lebih cepat. Demikian pula, air dan molekul-molekul yang berukuran kecil dengan mudah
dapat masuk ke peredaran darah. Untuk bahan lain penyerapannya akan lebih besar bila derajat ionisasinya rendah dan
mempunyai bentuk tak terionkan yang lebih larut-lemak. Demikian juga karena pH lambung, bahan elektrolit yang bersifat
asam lemah dapat mencapai darah dengan cepat, sedangkan alkaloida tidak dapat diserap sama sekali.
Pada saat lambung berisi makanan, maka senyawa yang lama berada di lambung akan berdifusi lebih lambat. Hal ini
disebabkan oleh adanya pengenceran zat aktif dalam lambung dan kontak dengan permukaan penyerap yang terbatas,
akibatnya penembusan ke dalam peredaran darah lebih sedikit. Namun keadaan tersebut juga menguntungkan pada
pemberian obat yang dapat mengiritasi mukosa lambung.

c. Usus Halus
Karakteristik anatomi dan fisiologi usus (dengan makrovilli dan mikrovillinya) lebih menguntungkan untuk
penyerapan obat (Gambar 2.11), seperti halnya juga penyerapan zat makanan.

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 10


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

Gambar 2.11.Skema usus halus dengan villi dan perfusinya

Pentingnya permukaan penyerapan terutama karena banyaknya lipatan-lipatan mukosa usus yang berupa valvula
conniventes atau lipatan Kerckring, yang terutama banyak terdapat di daerah duodenum dan jejunum.Di daerah tersebut villi-
villi usus tertutup oleh epitel bagaikan sikat yang terdiri dari bulu-bulu halus (mikrovilli) dan mempunyai aktifitas yang kuat.
Adanya anyaman kapiler darah dan getah bening pada setiap lipatan memungkinkan terjadinya penyerapan yang kuat.
Gerakan usus dan gerakan villi usus di sepanjang saluran cerna akan mendorong terjadinya penembusan menuju pembuluh
darah. Keadaan pH serta tebal dinding yang beragam di setiap bagian usus menyebabkan perbedaan penembusan yang cukup
besar pada molekul zat aktif terutama molekul asam yang penyerapannya dipengaruhi oleh pH lambung.
Meskipun panjang duodenum hanya ± 20 cm, bagian pertama duodenum memegang peranan yang sangat penting
pada proses penyerapan terutama Fe dan kalsium serta gula dan asam amino. Demikian pula untuk pengaliran dua arah dari
air dan elektrolit. Di samping itu adanya getah empedu dan getah pankreas yang dapat melarutkan lemak akan mempermudah
penyerapannya.
Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya perlintasan membran dengan intensitas yang besar,
dan disini lebih banyak terjadi difusi pasif. Difusi pasif berkaitan dengan sejumlah senyawa yang larut-lemak atau fraksi-
fraksi tak terionkan yang larut-lemak.
Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena konsentrasi obat-obat yang tinggi dalam liang
usus akan meningkatkan gradien difusi, hal yang sama terjadi pada bagian usus sebelah bawah dan pada penyerapan
susjacent.
Transpor aktif juga berperan di usus halus dan di sini terjadi persaingan terhadap pembawa yang sama atau terjadi
penjenuhan sistem transpor yang dapat membatasi perlintasan membran. Pinositosis juga berperan terutama di ileum
terhadap molekul-molekul yang tidak larut.

2.2.1.2. Pemberian per-Rektal


Pemberian obat per-rektal, merupakan pilihan lain pemberian obat parenteral dan merupakan cara yang penting
karena kapasitas penyerapan di bagian akhir dari usus tidak dapat diabaikan.
Cara rektal dapat mengurangi pengaruh pH lambung atau enzim-enzim lambung yang dapat merusak zat aktif. Cara
ini juga sudah mencegah inaktivasizat aktif yang sudah diserap ke peredaran darah oleh hati. Bahan yang terserap di bagian
akhir usus secara langsung menuju vena haemorroidales superior menuju vena porta di hati.
Cara pemberian rektal dapat dilakukan bila pemberian per-oral tidak memungkinkan, baik karena sifat obat itu
sendiri, atau karena keadaan penderita antara lain menghindari dimuntahkannya obat.

2.2.2. ABSORPSI PADA PEMBERIAN PARENTERAL


2.2.2.1. Pemberian Intravena dan Intra Arteri
Pemberian intravena dan pemberian intra arterial menghilangkan semua masalah penyerapan karena zat aktif
langsung masuk kedalam peredaran darah.

a. Pemberian Intramuskular dan Subkutan


Pemberian obat secara intramuskular dan subkutan sering dilakukan, jika dikehendaki suatu efek yang cepat,
terutama bila pemberian intravena dinyatakan lebih berbahaya dan pemilihan cara enteral tidak memungkinkan, misalnya
obat dirusak oleh enzim lambung. Cara intramuskular dan subkutan menunjukan karakteristik yang mirip, namun penyerapan
zat aktif terjadi lebih cepat jika obat disuntikkan secara intramuskular dibanding disuntikkan secara subkutan.
Perbedaan kecepatan tersebut disebabkan sebelum mencapai kapiler darah, obat harus berdifusi ke dalam senyawa
dasar penyusun jaringan penghubung. Jaringan seluler subkutan lebih kaya akan jaringan penghubung dibandingkan dengan
jaringan muskuler. Peningkatan efek farmakologik sebagai hasil perubahan viskositas senyawa dasar oleh hialuronidase
merupakan faktor yang penting dalam penembusan zat aktif menuju sistem peredaran darah. Faktor penentu lainnya yang
mempengaruhi laju penyerapan adalah perfusi jaringan. Permeabilitas kapiler kutan dan muskuler lebih besar dari
permeabilitas kapiler usus, namun vaskularisasi jaringan muskuler lebih baik dibanding vaskularisasi jaringan subkutan.
Dalam jaringan muskuler terdapat permukaan penyerap yang potensial hingga penyerapannya jauh lebih cepat. Laju
penyerapan zat aktif dapat diperlambat atau dipercepat tergantung pada pelebaran pembuluh darah (akibat panas dan
sebagainya) atau penyempitan (adrenalin, dingin dan sebagainya).

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 11


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

Mekanisme perlintasan membran pada pemberian intramuskular dan subkutan tersebut di atas terutama terjadi
secara difusi pasif atau sederhana yang disebabkan oleh adanya gradien konsentrasi. Pada kedua keadaan tersebut, irigasi
yang kuat akan meningkatkan gradien konsentrasi, akibatnya akan terjadi peningkatan penyerapan.
Larutan obat dalam air dapat berdifusi dengan mudah, sebaliknya larutan dalam minyak yang tidak tercampur
dengan senyawa dasar akan membentuk mikrokristal. Mekanisme penembusan mikrokristal dalam supensi belum jelas.
Senyawa dalam keadaan padat dapat dimasukkan dalam jaringan subkutan dalam bentuk pellet (susuk) yang penyerapannya
sangat lambat hingga menjamin efek obat dalam jangka waktu yang lama.

c. Pemberian Per-Inhalasi
Pemberian secara inhalasi bertujuan untuk mendapatkan efek sistemik, khususnya yang bertujuan untuk pembiusan.
Hal ini disebabkan besarnya kemampuan penyerapan dari epitel paru yang mencapai 90 m2. Intensitas vaskularisasi paru
menyebabkan peningkatan fungsi permukaan membran kapiler alveolus, hal ini sangat berperan dalam fenomena difusi pasif.
Karakter fisiko-kimia dari pembius bentuk gas atau cair yang menguap memungkinkan tercapainya suatu
keseimbangan yang cepat antara udara alveoli dan darah. Sebaliknya ukuran partikel suatu aerosol harus lebih kecil dari 3
µm agar pemberian zat aktif dalam bentuk ini dapat mencapai alveoli dan dapat menimbulkan efek sistemik setelah
menembus kapiler alveolus.

2.3. DISTRIBUSI OBAT DALAM TUBUH


Setelah melewati tahap penyerapan yang pada pemberian secara sistemik atau setelah pemberian intravaskular, zat
aktif berada di dalam peredaran darah. Hal ini lebih berarti bila zat aktif cepat meninggalkan tempat penyerapan dan segera
menunjukkan kerja farmakologis obat karena telah mencapai sasaran di dalam tubuh, dan selanjutnya mengalami perubahan
hayati dan peniadaan.
Menurut Schanker, zat aktif yang meninggalkan peredaran darah akan terikat di tiga tempat yaitu :
- Reseptor sebagai tempat aktif : keterikatan pada tempat tersebut memberikan efek farmakologi.
- Aseptor atau tempat depot : tempat pasif yang keterikatannya reversibel dan tidak memberikan efek farmakologi.
- Bagian enzimatik : tanpa efek farmakologi, tetapi menentukan biotransformasinya menjadi metabolit aktif atau in-aktif.
Endotel kapiler, merupakan hambatan awal pada proses difusi menuju jaringan, tetapi hambatan ini dengan mudah
dapat dilewati oleh sebagian besar zat aktif, baik yang terionkan ataupun tidak yang disebabkan oleh besarnya pori-pori. Zat
aktif ditemukan pula dalam cairan interstitial di sekitar sel (hanya sedikit yang tertinggal di dalam pembuluh darah).
Perlintasan membran seluler atau intraseluler terjadi seperti perlintasan membran pada umumnya. Molekul-molekul
yang larut air dan berukuran kecil dapat melalui pori-pori “aqueous”. Transpor aktif dapat terjadi akibat adanya gradien
konsentrasi; sedangkan difusi pasif selalu terjadi karena gradien konsentrasi sebagai fungsi dari kelarutan bentuk tak
terionkan dalam lemak dan karena derajat ionisasi sebagai fungsi pKa molekul dan pH cairan yang berada di kedua sisi
membran.
Tetapi permeabilitas membran dan kesanggupan molekul menembusnya bukan merupakan satu-satunya faktor yang
berpengaruh pada penyebaran zat aktif. Berbagai faktor, yaitu afinitas struktur biokimia tertentu, vaskularisasi jaringan,
karakter spesifik, dan cara pemberian dapat mempengaruhi proses difusi zat aktif. Selain pengaruh hal tersebut di atas, maka
faktor lain yang sangat menentukan terjadinya perlintasan adalah adanya ikatan molekul pada protein plasma. Ikatan
plasmatik peka terhadap perubahan penyebaran dan aktivitas farmakodinamik dan kinetika peniadaan zat aktif.

2.3.1 IKATAN OBAT PADA PLASMA


Meski ikatan antara zat aktif dan protein plasma tidak terlalu kuat, namun fenomena tersebut berperan pada
penyebaran zat aktif dalam jaringan, karena konsentrasi zat aktif dalam cairan interstitial ekstraseluler dapat lebih rendah dari
konsentrasi dalam plasma.
Albumin adalah protein plasma yang paling banyak (40 g/l). Albumin tersebut memungkinkan terjadinya ikatan
pada sebagian besar senyawa obat, terutama bentuk anion(asam asetil salisilat, sulfonamida, anti vitamin K, dan lain-lain).
Bentuk kation juga mempunyai afinitas yang tidak dapat diabaikan. Peran globulin tidak terlalu nyata dan hanya berpengaruh
pada senyawa tertentu seperti steroida dan tiroksin yang mempunyai afinitas tertentu terhadap globulin.
Sifat alami ikatan obat dan plasma berbeda tergantung pada zat aktif:
- ikatan elektrostatik untuk molekul terionkan (sejumlah tempat pengion terbatas dan kemungkinan terjadi penjenuhan)
- Ikatan hidrogen atau ikatan Van Der Waals untuk molekul yang tak terionkan. Penjenuhan ikatan praktis tidak mungkin
karena tidak terbatasnya tempat ikatan. Dapat terjadi satu atau beberapa jenis ikatan antara molekul dengan protein.
Zat aktif tidak terikat pada protein plasma: walaupun molekul yang larut air dan berukuran kecil tidak mempunyai
afinitas, tetapi karena pH darah, molekul larut lemak dapat mempunyai afinitas yang bermakna.
Selanjutnya ikatan zat aktif dan protein pada umumnya mengikuti hukum aksi masa; jadi terdapat keseimbangan
bolak balik antara bentuk bebas dengan bentuk terikat yang merupakan ketersediaan obat dalam plasma dan jumlah setiap
bentuk beragam tergantung pada senyawanya. Jumlah bentuk bebas, awalnya tergantung pada difusi zat aktif yang masuk ke
dalam plasma serta akitivitas dan lamanya dalam peredaran.
Sebenarnya, hanya obat bentuk bebas yang dapat berdifusi; kompleks zat aktif dan protein tidak dapat melintasi
membran. Gradien konsentrasi hanya tergantung pada konsentrasi bentuk bebas dalam plasma dan difusi (pasif atau
sederhana) yang terus terjadi hingga tercapai keseimbangan dengan bentuk bebas dalam semua cairan seluler atau
ekstraseluler (Gambar 2.12).

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 12


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

PLASMA CAIRAN INTERSELULER Bila 90% obat terikat pada protein plasma, berarti hanya 10% yang berada
dalam bentuk bebas dan dapat berdifusi. Dalam plasma terdapat keseimbangan
1 Bentuk bebas Bentuk bebas 1 antara bentuk bebas dengan bentuk terikat, dan terdapat pula keseimbangan
antara bentuk bebas di kedua sisi membran

9 Bentuk terikat

Gambar 2.12. Pengaruh ikatan plasma terhadap difusi obat

Hanya obat bentuk bebas yang tidak terikat dengan reseptor farmakologik dan ikatan ini yang menentukan
efektivitas klinik dari zat aktif. Jadi penilaian efektivitas suatu obat merupakan fungsi dari “kadar plasmatiknya”.
Bentuk yang terikat tidak aktif, tetapi ikatan ini hanya bersifat sementara. Bila sebagian bentuk bebas di
metabolisme dan atau ditiadakan maka bentuk terikat akan melepaskan bentuk bebasnya. Jadi ikatan plasma memperbaiki
efek farmakologi dengan memperpanjang efek obat dan mengurangi intensitas efek awal.
Pada skema terapetik, efek farmakologik suatu obat hanya tergantung pada bentuk bebasnya. Suatu senyawa dengan
ikatan plasmatik yang kuat, semula menjenuhkan tempat ikatan sambil melepaskan dosis-awal, dan selanjutnya menjamin
dosis-rawat sesuai dengan fraksi bebas yang dilepaskan. Beberapa obat yang mempunyai afinitas kuat terhadap protein
plasma:
- fenilbutazon 98%
- sulfamida 96%
- digitoksin 95%
- etil biskumasetat 90%
- tiopental 75%
- salisilat 64%

Interaksiobat sebagai akibat terjadinya ikatan plasmatik pada obat tertentu dapat menyulitkan langkah berikutnya.
Ikatan plasmatik tersebut tidak spesifik, beberapa molekul dapat memiliki satu afinitas pada protein yang sama dengan titik
tangkap protein yang sama. Hal tersebut menimbulkan terjadinya persaigan antara molekul-molekul untuk menempati titik
tangkap. Molekul yang mempunyai ikatan protein paling stabil akan menyingkirkan molekul lain dari tempat ikatannya dan
hal ini akan meningkatkan jumlah bentuk bebasnya.
Contoh klasik adalah persaigan antara fenibutazon dengan dikumarol. Dikumarol mempuyai afinitas protein yang
besar (98%), tetapi masih lebih kecil dari afinitas fenibutazon (99,8%). Jadi fenilbutazon akan menggeser dikumarol, dan ini
menyebabkan bentuk antikoagulan yang terikat menurun menjadi 96% dan akibatnya mudah menimbulkan pendarahan.
Pengurangan ikatan yang hanya 2%, ternyata telah menduakalikan bentuk bebasnya dari 2% menjadi 4%. Mekanisme sejenis
menyebabkan timbulnya bahaya hipoglikemi pada pemberian antidiabetik sulfamida (tolbutamida) bersamaan dengan
pemberian fenilbutazon

2.3.2.IKATAN OBAT PADA JARINGAN (DEPOT)


Ikatan protein plasma menyusun bentuk ikatan yang reversibel untuk sejumlah molekul. Jarigan-jarigan tertentu
mempunyai kapasitas ikatan yang sangat tinggi terhadap berbagai senyawa. Konsentrasi obat di jaringan dapat mencapai
tingkat yang lebih tinggi dibandingkan konsentrasi dalam plasma. Berbagai mekanisme pelarutan, pengikatan pada struktur
biokimia tertentu bersaing mengisi “depot” obat dan umumnya proses tersebut memenuhi keseimbangan hukum massa.
Pelepasan bentuk aktif dari depot tersebut menjelaskan adanya efek obat lanjutan, meskipun pengobatan telah dihentikan,
dan hal ini dapat menimbulkan efek yang tidak dikehendaki.
Jaringan berlemak merupakan tempat depot yang penting, yang berbeda pada setiap individu (50% dari berat total
pada orang gemuk, 10% pada orang berpuasa atau orang yang membatasi makan). Senyawa obat atau senyawa lainnya yang
mempuyai koefisien partisi yang tinggi atau sangat larut-lemak, paling mudah membentuk depot. Tiga jam setelah
penyuntikan tiopental, 70% dari dosis yang diberikan berada dalam jarigan berlemak. Umumnya, jarigan berlemak
merupakan suatu depot yang inert karena vaskularisasinya lemah, obat secara perlahan kembali memasuki peredaran darah
dalam jumlah yang setara dengan jumlah yang ditiadakan, tanpa menunjukkan efek farmakologi. Hal tersebut teramati pada
pestisida DDT yang sangat larut-lemak dan dapat menimbulkan toksisitas akibat pelepasannya bentuk bebas; hal ini tampak
pada pengurusan tubuh yang drastis.
Jaringan tertentu, seperti hati dan otak dapat menimbun zat aktif dalam jumlah yang sangat tinggi: afinitas
pengikatan protein di organ tersebut kadang-kadang menimbulkan proses yang nyaris ireveribel. Demikian juga zat aktif
kuinakrin (anti malaria) yang ditemukan di hati pada konsentrasi jauh lebih tinggi daripada konsentrasi dalam plasma karena
terikat secara selektif pada nukleoprotein hepatosit.

2.3.3.PERFUSI JARIGAN
Permukaan yang terbuka pada sejumlah kapiler dan aliran darah berperan pada fenomena penyerapan; faktor-faktor
tersebut juga berpegaruh pada difusi zat aktif menuju jaringan. Price (1960) menyatakan terdapat hubugan erat antara kadar
zat aktif dalam jarigan dan peranan perfusi

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 13


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

Kelompok pertama terdiri dari organ-organ seperti jantung, hati, paru, otak, ginjal dan kelenjar endokrin yang kaya
akan vaskularisasi. Setelah penyuntikan intravena, organ-organ tersebut dapat menahan 70% senyawa yang diberikan dan
sesuai dengan beratnya, hati dapat menahan sekitar 50% senyawa.
Kelompok kedua terdiri dari organ kulit dan otot bergaris yang dapat menahan 15% senyawa.
Sumsum tulang dan jaringan berlemak yang tergolong dalam kelompok ketiga ternyata menyimpan 10% dari dosis
yang diberikan.
Akhirnya, kelompok keempat terdiri dari jaringan yang lain yaitu tulang, phaneres, ligament, tulang rawan dan lain-
lain, dan saluran cernamengikat obat dalam persentase yang kecil dari dosis yang diberikan.

2.3.4. CARA PEMBERIAN


Difusi melintasi membran oleh sebagian besar molekul tergantung pada mekanisme pengaruh perbedaan
konsentrasi. Penyuntikan intravena secara langsung menyebabkan konsentrasi obat dalam plasma yang tinggi, meningkatkan
perpindahan molelul dan kadar obat dari dalam plasma ke cairan interstitial;kadar tersebut semakin besar bila laju
penyuntikan makin cepat. Jadi jaringan dengan perfusi tinggi lebih peka pada efek toksik obat dankarena vaskularisasinya,
jarigan tersebut menerima jumlah obat yang cukup banyak.
Jalur pemberian kurang berpegaruh pada fenomena penyerapan dan kadar obat dalam plasma, yang lebih berperan
ialah waktu: semakin kecil perbedaan waktu pemberian maka difusi semakin lambat.
Faktor-faktor tersebut, cara pemberian, vaskularisasi jaringan dan afinitas spesifik pada jaringan, dipengaruhi oleh
kinetik bifase senyawa tertentuyang lebih dikenal dengan istilah redistribusi (penyebaran kembali).
Pentobarbital (nesdonale) merupakan senyawa pembius beraksi cepat yang diberikan secara intravena. Efek relatif
cepat dan hilang dengan cepat pula (sekitar 15 menit). Cepatnya peniadaan dapat menerangkan berlalunya efek pembiusan
satu jam setelah penyuntikan dan hanya 15% senyawa yang ditiadakan. Tampaknya ada ketidaksesuaian antara efek
farmakologik yang singkat dengan lamanya senyawa di dalam tubuh yang mengikuti kinetika waktu masuk dan keluarnya zat
aktif. Dalam menit pertama, penyuntikan intravena menjamin berhasilnya suatu penyebaran ke jaringan dengan perfusi
tinggi, seperti otak dan di sini dapat ditemukan zat aktif dalam jumlah besar. 15 menit setelah penyuntikan konsentrasi obat
dalam otak menurun secara nyata, sebaliknya kadar yang tinggi terdapat dalam jaringan berlemak. Repartisi pada fase
pertama terutama tergantung pada cara pemberian dan intensitas peredaran darah, sedangkan munculnya afinitas kedua
terutama ditentukan oleh molekul yang sangat larut lemak untuk jaringan berlemak, yang mendapat vaskularisasi sedikit dan
tidak sebaik fase pertama.

2.3.5. CARA MASUK OBAT KE DALAM SISTEM SARAF PUSAT


Secara umum mekanisme difusi transmembran dapat juga diterapkan pada perlintasan zat aktif menuju jaringan
saraf. Kadang-kadang kekhususan anatomi fisiologi menyebabkan penyebaran zat aktif yang tidak sama, obat-obat tertentu
dapat mencapai sel-sel saraf dengan mudah,sedangkan yang lain tidak dapat melewati sawar tersebut.
Jalan menuju saraf pusat dapat terjadi melalui kapiler serebral (sawar hemato-ensefalik)atau melalui cairan sefalo
rakhidien (sawar hemato-meninges). Dengan cara tertentu molekul-molekul yang larut-lemak berhasil mencapai tujuan lebih
cepat bila mempunyai koefisien partisi yang tinggi, dan perfusi otak yang baik dapat mempertahankan konsentrasi obat.
Seperti diketahui bahwa hanya bentuk obat bebas dalam plasma yang berdifusi. Sebaliknya senyawa yang larut-air dan yang
terionkan (kecuali yang mengalami transpor aktif ) sulit mencapai jaringan saraf dan didalam plasma hanya ditemukan pada
konsentrasi yang sangat rendah.
Permeabilitas kapiler darah pada ensefalon (otak ) sangat rendah, hal ini berbeda dengan kapiler dari organ-organ
lain yang mempunyai hubungan terbuka dengan cairan interstisial. Endotelium kapiler serebral dilapisi sel-sel glial
(astrocytes) yang membentuk satulapisan yang sangat tipis,sulit diterobos oleh molekul yang larut air (Gambar 2.13).

Cairan Jaringan
darah astrocytes
ekstraseluler serebral
bentuk bebas bentuk bebas bentuk bebas

bentuk terikat bentuk terikat

Gambar 2.13. Difusi obat dari darah menuju sel otak

Hal yang sama, perlintasan molekul-molekul yang tidak larut lemak dari plasma menuju cairan sefalo-rakhidien
dihambat oleh sel-sel epitel dari pleksus menuju endotel kapiler.
Dari cairan ekstraseluler yang tidak mengandung protein dan obat hanya berada dalam bentuk bebas, maka obat
dapat berdifusi menuju jaringan saraf. Repartisi intraserebral tidak homogen dan umumnya konsentrasi yang lebih tinggi
terdapat di otak bagian kelabu. Dari sel-sel otak (serebral), molekul dapat kembali menuju plasma, melalui transpor aktif atau
difusi pasif, yang menyebabkan derajat konsentrasi obat dalam serebral menjadi lebih tinggi dibandingkan konsentrasi obat
dalam darah. Lamanya efek obat anti pertumbuhan pada sistem saraf pusaf terjadi karena lambatnya fenomena bolak balik
difusi transmembran (dan transeluler ).
Dari cairan sefalo-rakhidian,zat aktif dapat juga difusi kedalam plasma dan hal ini sangat mudah terjadi pada
molekul yang larut lemak, tetapi sangat sulit untuk bahan yang larut-air. Hal yang sama juga terjadi pada asam lemah yang
merupakan metabolit mediator otak,yaitu serotonindan dopamin. Penghambatan transpor aktif dari asam 5-hidroksi

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 14


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

indolasetat (5 HIAA) dan asam vanilmandelat (VMA) oleh probenesid menyebabkan ekskresi metabolit tersebut kedalam
plasma dan menyebabkan penimbunan dalam cairan sefalo-rakhidian.
Bahan yang larut lemak,terionisasi lemah pada pH darah (karena hanya satu fraksi tak terionkan yang larut dalam
lemak)dengan afinitas lemah pada protein plasma menyebabkan jalur menuju saraf pusat lebih mudah : semua molekul harus
memenuhi kriteria-kriteria tersebut untuk mempunyai efek pada saraf pusat. Sebaliknya,molekul-molekul larut-air tidak
dapat atau sulit mencapai sel-sel otak. Neurotoksisitas dari melekul dapat diturunkan dengan mengubah strukturnya;dengan
adanya amonium kuarterner (NH4) pada molekul atropin menyebabkan senyawa tersebut lebih larut-air sehingga akan
kehilangan efek pada saraf pusat.
Derajat ionisasi yang tergantung pada pH darah dapat mempengaruhi proses perlintasan membran pada saraf pusat :
pembasaan darah akan mempermudah pelarutan asam lemah dan menurunkan fraksi tak terionkan dalam plasma. Demikian
juga perfusi Na-bikarbonat menyebabkan peningkatan difusi barbiturat dari cairan sefalo-rakhidian menuju plasma,
fenomena ini menguntungkan jika terjadi intoksikasi oleh senyawa hipnotik.
Perubahan sifat fisiko-kimia molekul dan perubahan cairan yang terdapat di dua sisi membran bukan merupakan
faktor tunggal yang mempengaruhi difusi zat aktif ke dalam sistem saraf pusat. Pada keadaan patologik,permeabilitas
membran dapat berubah : penisilin merupakan molekul larut-air yang pada individu sehat tidak menembus sawar hamato-
ensefalik, namun dapat menembus jaka terjadi proses peradangan dari meninges (selaput otak).

2.3.6.DIFUSI LINTAS PLASENTA


Membran sel yang memisahkan darah ibu dengan darah janin tidak merintangi berbagai proses difusi (ini berbeda
dengan membran biologik yang lain). Dan membran ini dikenal dengan istilah sawar ”foeto-plasental”. Untuk zat aktif
seperti halnya bahan makanan maka perlintasan terjadi melalui villichoriale yang terdiri dari epitel trofoblastik, jaringan
mesenkim dan endotel vaskuler.Permeablilitas membran plasenta behubungan erat dengan umur kehamilan,pada akhir
kehamilan tebal plasenta turun dari 25 um menjadi 2 um. Meski demikian tidak ada kontak antara darah ibu dan darah
janinwalaupun permukaannya berhubung erat hingga mencapai 11m2 pada akhir kehamilan.
Plasenta mempunyai sifat khas yang mengatur perlintasan membran.
Pinositosis hanya berperan padalintas plasenta. Transport aktif juga mempunyai peran yang cukup penting pada
akhir kehamilan,tetapi mekanisme difusi pasif tetap yang paling penting untuk perlintasan tersebut
Molekul-molekul akan lebih mudahmelintasi plasenta bila konsentrasi bentuk bebasnya cukup besar serta koefisien
partisi (larut-lemak ) dan derajat ionisasinya yang kecil. Molekul-molekulnya yang larut dalam air hanya dapat lewat jika
ukurannya kecil.
Pemahaman sifat fisiko-kimia yang karakteristik dari molekul sangat penting terutama pada pemberian obat selama
kehamilan. Adanya resiko yang dapat terjadi pada janin akibat obat-obat tertentu yang larut-lemak dapat dijelaskan oleh
penetrasinya yang cepat dalam jumlah yang bermakna kedalam janin (antivitamin K, morfin,sulfamida dan sebagainya).
Setelah masuk sirkulasi darah janin,molekul-molekul mengikuti tata aturan penyebaran obat yang samaseperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Keseimbangan antara darah ibu dan jaringan-jaringan janin dapat tercapai dalam waktu paling tidak
40 menit (ini menjelaskan mengapa selama bedah sesar,ekstraksi janin dilakukan sedapatnya 10-15 menit setelah ibu dibius).
Jaringan janin tertentu peka pada aksi obat : jaringan saraf janin yang myelinisasinya belum sempurna akan lebih
permeabel dibandingkan orang dewasa. Hati juga mengalami hal yang sama, mendapatkan fungsi yang besar namun ketidak
matangan enzimatik janin menyebabkan proses perubahan hayati yang tidak lengkap karena perubahan hayati yang sempurna
terjadi pada organ maternal dan plasenta yang kaya akan enzim. Tetapi bagaimana mekanisme perlindungan janin dari
pengaruh luar masih kurang jelas.
Yang perlu diperhatikan adalah pengaturan pemberian obat pada wanita hamil atau pada wanita yang peka.
Perlintasan obat melalui plasenta obat pada hewan dapat terjadi, dengan demikian perlu diperhatikan akibat yang sama pada
manusia,kasus thalidomit merupakan contoh yang dramatis.

2.4.ELIMINASI (PENIADAAN) OBAT


Penyerapan dan difusi di dalam tubuh memungkinkan zat aktif mencapai titik ikatan; secara simultan hal ini
berperan dalam proses peniadaan yang merupakan proses akhir nasib obat dalam tubuh. Seperti pada fase penyerapan dan
penyebaran, fase peniadaan berperan pada aktifitas serta toksisitas obat.
Aturan umum perlintasan membran juga berlaku pada peniadaan.Namun perlintasan peniadaan terjadi dengan arah
berbeda dalam arah penyerapan dan penyebaran, yaitu dari jaringan menuju darah kemudian dari darah menuju keluar
tubuh.Molekul-molekul obat dikeluarkan dari tubuh tanpa atau setelah mengalami perubahanhayati.
Pada umumnya molekul yang lebih larut-air lebih mudah ditiadakan, sebaliknya senyawa yang larut-lemak diubah menjadi
bentuk yang kurang larut-lemak. Metabolik yang kurang larut-lemak ini lebih mudah dikeluarkan melalui ginjal yang
merupakanjalur peniadaan obat-obat yang terpenting.
Fenomena pasif dari difusi transmembran merupakan proses penting dalam peniadaan obat,tergantung jalur keluaran
dan gradien konsentrasi. Proses peniadaan tergantung pada penyebaran senyawa yang dipengaruhi oleh cara pemberian dan
fenomena penyerapan,misalnya bentuk bebas yang berdifusi,peran gradien konsentrasi serta ikatan pada protein plasma.
Adanya fiksasi pada tempat penimbunan (jaringan lemak misalnya) akan memperlambat perniadaan total.

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 15


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

2.4.1. ELIMINASI LEWAT AIR KEMIH


Mekanisme yang menjamin peniadaan obat sama dengan mekanisme yang menjamin pembentukan urine. Peran ini
diawali pada nefron yang merupakan kesatuan anatomi-fisiologik dari ginjal (Gambar 2.14).
Setiap nefron (1 juta tiap ginjal), merupakan tubulus yang panjang dengan epitel monoseluler, dan terdiri dari dua
bagian dengan fungsi yang berbeda, yaitu bagian glomerulus dan bagian tubulus.
Bagian glomerulus terletak pada daerah perifer ginjal (Gambar 2.15) di dalam korteks ginjal.Glomerulus tersebut
terbentuk dari kapsul Bowman, dan tubuli nefron yang melekuk, terdiri dari jaringan kapiler arterial.Glomeruli ginjal
merupakan keseluruhan kapsul Bowman dan glomerulus vaskuler yang membentuk badan Malpighi yang dapat dilihat
dengan mata telanjang (berukuran 200-300 𝜇m).
Bagian tubulus atau disebut tubulus renalis, diawali dengan tubulus contortus proximalis, yang terletak di dalam
korteks dan kemudian membentuk kapsul Bowman.Selanjutnya adalahloop dari Henle, yang mengikuti nefron, tertanam
cukup dalam di medulla; ini didahului oleh tubulus contortus distalis yang terletak di dalam korteks.Tubulus distalis
menyebar ke dalam tubulus coligentes yang diakhiri oleh pori-uriniferes dalam kantong.Air kemih dikumpulkan melalui
ureter dan selanjutnya dialirkan ke dalam vesica urinaria (kandung kemih).

Gambar 2.14.Skema nefron Gambar 2.15.Anatomi ginjal

Ginjal mempunyai perfusi yang sangat besar yaitu 20% dari debit jantung, atau lebih kurang 1 liter darah yang lewat
tiap menit di dalam arteria renalis. Pada setiap nefron terdapat dua anyaman kapiler yaitu glomerulus yang terdiri atas
pembuluh darah arteri serta darah arteri kapiler yang dialirkan menuju jaringan tubuler arteria-renalis.Darah vena dialirkan
melalui vena renales, dan selanjutnya kembali pada sirkulasi umum (menuju vena cava inferior).
Pentingnya permukaan kontak dan tepi yang tipis dari endotelium vaskuler dan epitel nefron memberikan peluang
pertukaran antara darah kapiler ginjal dan cairan tubuler. Semua nefron berperan pada proses peniadaan obat, juga pada
pembentukan air kemih. Mekanisme yang sama juga terjadi pada filtrasi glomerulus dan penyerapan kembali serta sekresi
tubuler.
Filtrasi glomerulus merupakan fenomena pasif yang erat hubungannya dengan parameter kardiovaskuler, khususnya
tentang debit jantung dan tekanan arteri. Semua pengurangan aktivitas jantung akan mengurangi debit jantung dan debit
ginjal sedangkan semua pengurangan tekanan arteri akan menurunkan tekanan perfusi dalam arteri renalis dan menurunkan
tekanan perfusi dalam arteria renalis dan menurunkan jumlah filtrat dan akibatnya terjadi diuresis.
Filtrasi glomerulus sangat efektif karena jumlah dan besarnya pori-pori endothelium glomerulus. Glomerulus dapat
menyaring hingga 1/5 volume plasma yang melalui lumen kapsul: volume dari ultrafiltrat glomerulus mencapai 120-130 ml
tiap menit. Besarnya pori-pori dapat menyebabkan lolosnya sejumlah partikel dalam plasma, kecuali molekul-molekul besar
dengan berat molekul di atas 68.000. Jadi ultrafiltrat dari protein plasma komposisinya sama dengan plasma, hal ini
menunjukkan bahwa proses ultrafiltrasi glomerulus terjadi secara difusi. Hampir pada semua obat, konsentrasi zat aktif yang
terdapat dalam filtrat sama dengan konsentrasi dalam plasma. Hal itu juga berarti bahwa berkaitan dengan ikatan plasmatik,
hanya satu fraksi bebas yang terdapat dalam ultrafiltrat dan seimbang dengan fraksi dalam plasma.Beberapa molekul obat
tidak dapat berdifusi melalui membran glomerulus, karena berat molekulnya yang besar sehingga molekul-molekul tersebut
tetap tinggal di dalam lumen vaskuler dan digunakan untuk ekspansi vaskular (misalnya dekstran, polivinilpirolidon dan
sebagainya).
Laju ultrafiltrasi glomerulus (180 liter per 24 jam) dan jumlah ultrailtratnya berbeda secara bermakna dibandingkan
dengan air kemih (1,5 liter per 24 jam), di satu sisi keduanya berbeda secara bermakna dan di sisi lain perbedaan
komposisinya berkaitan erat dengan aktivitas intensif tubulus renalis, sesuai dengan fenomena penyerapan kembali dan
pengeluaran. Dengan adanya proses ini, konsentrasi molekul-molekul yang terdapat di dalam ultrafiltrat glomerulus sama
dengan konsentrasi dalam plasma, dan selanjutnya dikeluarkan dari tubuh dengan laju yang berbeda.
Jika molekul yang tersaring di sepanjang tubulus renalis tidak mengalami perubahan, maka jumlah obat yang keluar
dari tubuh dalam satu menit dalam air kemih (= U x V) adalah sama dengan jumlah obat yang melalui darah per menit dalam
ultrafiltrat glomerulus (= P x F).

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 16


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

Keterangan:
U = konsentrasi dalam air kemih
V = volume air kemih per menit
P = konsentrasi dalam plasma
F = volume filtrat glomerulus

Klirens dari suatu molekul obat (atau jumlah plasma yang terinci per menit) adalah sama dengan volume ultrafiltrat
glomerulus:

UxV
Klirens =
P

Bila klirens molekul di atas 120-130 ml/menit, maka selama melalui tubulus, mekanisme aktif sekresi telah membantu
proses ditiadakan. Sebaliknya, bila klirens lebih rendah dari volume ultrafiltrat, maka fenomena reabsorpsi bertindak
memperlambat peniadaan.
Dari perhitungan yang mengabaikan pengaruh-pengaruh luar, ternyata waktu-paruh biologik (waktu yang diperlukan
agar konsentrasi zat aktif dalam darah menurun separuhnya) adalah:
- 70 menit jika hanya terjadi proses filtrasi
- 7 menit jika terjadi sekresi melalui tubulus renalis
- 7 hari jika terjadi penyerapan kembali tubulus, dalam hal ini konsentrasi dalam air kemih tidak melampaui konsentrasi
plasma.
Perhitungan ini menggambarkan secara nyata bahwa peran peniadaan obat melalui ginjal berkaitan erat dengan
aktivitas obat.
Fenomena penyerapan kembali tubulus berperan nyata dalam pembentukan air kemih: pengurangan volume dari 180
liter filtrat menjadi 1,5 liter air kemih menunjukkan fenomena tersebut. Pentingnya proses penyerapan kembali air (99%),
menyangkut kepentingan reabsorpsi natrium yang sebagian terjadi karena pengaruh mekanisme hormonal (ADH).
Pengurangan volume air kemih yang terbentuk pada tubulus renalis yang menyebabkan adanya gradien konsentrasi yang
mendorong difusi obat dari cairan tubulus menuju plasma, dengan demikian konsentrasi intratubulus menjadi lebih besar dari
konsentrasi plasma. Perlintasan membran ginjal terjadi seperti halnya membran yang lain yaitu senyawa yang paling larut-
lemak dan fraksi tak terionisasi dari asam/basa lemah yang lebih mudah diserap kembali. Derajat ionisasi merupakan fungsi
dari pH cairan sekitar dan pH plasma relatif tetap, sedangkan pH air kemih dapat bervariasi, walaupun, dalam keadaan
normal bersifat asam.Sebenarnya ginjal bukan berperan untuk mengeluarkan sisa-sisa kotoran, tetapi juga berpartisipasi
mempertahankan homeostatis; sebagian melalui fungsinya dengan sekresi ion H + pada tubulus distalis.Keragaman pH pada
lumen tubulus mempengaruhi keseimbangan antara bentuk yang terionkan dan yang tak terionkan, dengan demikian
penyerapan kembali elektrolit lemah mengalami perubahan.
Untuk asam lemah, penurunan pH mengurangi ionisasi molekul, sedangkan bentuk tidak terionkan yang larut lemak
konsentrasinya di dalam saluran cerna lebih besar dari konsentrasi dalam plasma ; hal ini menguntungkan proses penyerapan
kembali. Pada keadaan fisiologis normal, asam asetil salisilat mudah diserap kembali pada tubulus renalis. Oleh sebab itulah
alkalinisasi air kemih melalui perfusi natrium bikarbonat merupakan cara yang sering dilakukan pada overdosis obat untuk
pengeluaran senyawa-senyawa seperti asam asetil salisilat atau barbiturat (Gambar 2.16). Sebaliknya, juga berlaku untuk
basa lemah yang peniadaannya dipengaruhi oleh keasaman air kemih.
Sifat-sifat fisiko kimia dari molekul zat aktif dan pH larutan menentukan terjadinya penyerapan kembali.Namun perlu
diperhatikan bahwa adanya ikatan plasmatik dan gradien difusi hanya tergantung pada bentuk yang tidak terikat.

konsentasi bentuk terionkan (I)


pH = pKa + log
konsentasi bentuk tak terionkan (NI)

PLASMA AIR KEMIH Alkalinisasi air kemih mendorong terjadinya ionisasi molekul dan mencegah penyerapan
pH = 7,4 bila pH = 5 kembali melalui tubulus : sehingga asam asetil salisilat lebih cepat dikeluarkan
7,4 = 3 + 4,4 5= 3 + 2
[𝐼] [𝐼]
log [𝑁𝐼] = 4,4 log [𝑁𝐼] =
[𝐼] 25.000 [𝐼] 100
[𝑁𝐼]
= [𝑁𝐼]
=
1 1

bila pH = 8
8=3+5
[𝐼] 25.000 [𝐼] 100.000
[𝑁𝐼]
= [𝑁𝐼]
=
1 1

Gambar 2.16. Penerapan persamaan Henderson-Hasselbach pada peniadaan melalui air kemih asam asetil salisilat (pKa = 3)

Sekresi tubuler merupakan suatu mekanisme aktif yang ikut berperan dalam pengeluaran senyawa asing dari tubuh
bersama air kemih. Sekresi tubuler akan membantu pengeluaran obat-obat tertentu secara cepat. Terdapat dua sistem transpor
pada tubulus contortus proximal, sebagian untuk asam-asam organik: penisilin, metabolit glukoronat atau sulfat, yang lain
untuk basa-basa organik seperti kinina, amonium kuartener dan sebagainya.
Kedua sistem tersebut merupakan kriteria transpor aktif transmembran. Tidak ada tipe transpor yang spesifik untuk
suatu molekul, adanya persaingan untuk transporer yang sama dapat terjadi antara beberapa molekul. Contoh klasik adalah

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 17


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

penisilin dan probenesid.Penisilin merupakan senyawa yang larut air dan mencapai tubulus proksimal untuk disekresi (harga
klirens penisilin lebih besar dari penyaringan glomerulus yaitu 500 ml/menit); laju peniadaan tidak begitu penting karena
obat tersebut mempunyai batas efek terapetik dan mengharuskan penderita disuntik ulang.Untuk memperpanjang efek
terapetik penisilin maka penisilin diberikan bersama dengan probenesid. Sistem peniadaan probenesid pada transporer yang
sama, maka probenesid akan memperlambat peniadaan penisilin karena ionisasi probenesid yang kuat akan mencegah
penyerapan kembali penisilin.
Asam para-aminohipurat merupakan tipe yang sama dengan senyawa yang dikeluarkan oleh ginjal. Pengeluarannya
relatif terjadi sejak awal pengaliran darah dalam ginjal dan hal tersebut menguntungkan untuk menentukan penentuan aliran
darah glomerulus.

2.4.2.EKSKRESI (PENGELUARAN) LEWAT EMPEDU


Pengaliran darah hati menuju canaliculi biliaris serta zat aktif dan/atau metabolitnya yang terbentuk di dalam hati
mengikuti hukum umum perlintasan membran.Difusi pasif molekul-molekul tergantung pada ukurannya, sifat fisiko-kimia
serta perbedaan konsentrasi. Mekanisme transpor aktif berperan penting pada peniadaan obat, khususnya pada metabolit
yang lebih polar dibandingkan senyawa induknya (misalnya turunan glukuronat). Seperti pada ginjal, maka pada empedu
juga terdapat dua sistem transpor aktif transmembran. Peran peniadaan obat lewat empedu tidak dapat diabaikan, terutama
metabolit-metabolit tertentu yang lebih polar dari senyawa induk (misalnya derivat glukuronat). Mekanisme transpor aktif ini
penting untuk beberapa molekul antibiotika, terutama tetrasiklin dan sebagainya.Hal ini karena obat dapat menembus saluran
empedu sampai konsentrasi yang cukup untuk pengobatan infeksi.
Dengan adanya cairan empedu di dalam duodenum, maka zat aktif dan atau metabolitnya dapat dikeluarkan melalui
pembentukan garam, atau zat aktif diserap kembali di usus, jika sifat-sifat fisiko-kimianya dapat melewati sawar usus dan
masuk kembali dalam sirkulasi (siklus entero-hepatik).Fenomena ini menyebabkan obat lebih lama berada di dalam tubuh
dan pengeluaran secara definitif baru terjadi melalui ginjal (Gambar 2.17).

HEPAR

vena porta
canalis biliaris
vena mesentrica
superior

INTESTIN

Gambar 2.17. Siklus entero-hepatik

2.4.3. ELIMINASI LEWAT FESES


Zat aktif atau metabolit yang ditiadakan malalui empedu tidak mengalami siklus entero-hepatik. Di dalam feses
terdapat pula senyawa yang disekresi oleh getah saluran cerna,seperti sekresi ludah (saliva).Feses dapat pula mengandung
sejumlah molekul yang dikeluarkan oleh saluran cerna dan tidak diserap kembali oleh mukosa usus.Obat-obat tertentu dapat
digunakan untuk memberikan efek terapi setempat pada system pencernaan (misalnya sulfaguanidin, bismut dan sebagainya).

2.4.4. ELIMINASI LEWAT PARU


Sistem pernapasan berperan untuk pengeluaran beberapa senyawa yang berbentuk gas atau zat yang mudah menguap
pada suhu tubuh.Gradien tekanan parsiil capillo-alveolaire yang positif dapat mendorong terjadinya difusi pasif sehingga
terjadi pengeluaran gas tersebut.Intensitas pertukaran melalui membran berhubungan erat dengan fenomena ventilasi yang
menjamin pembaharuan udara alveoli dan aliran darah pada paru. Secara umum pada proses difusi akan terjadi
keseimbangan antara tekanan parsiil udara di dalam alveoli dan darah kapiler paru. Penerapan fenomena difusi alveolo-
kapiler misalnya pada pengujian alkohol melalui napas, terutama bagi pengendara mobil.

2.4.5. ELIMINASI LAINNYA


Secara umum dapat dikatakan bahwa hal itu tidak terlalu berarti, kecuali pada kasus khusus, misalnya peniadaan
tanpa perubahan bentuk melalui ludah, oleh sebab itu spiramin sering diberikan pada stomatologi. Peniadaan yang terbatas
ini kadang-kadang dapat digunakan untuk diagnosis adanya alkaloid di dalam air ludah : pengambilan cuplikan ludah pada
saat perlombaan pacuan kuda dapat mengontrol adanya “doping” kuda dengan morfin. Selain itu warna merah dari sekresi
lakrimalis juga disebabkan oleh rifampisin.Walaupun pengeluaran obat melalui keringattelah lama dikenal seperti iodium,
brom, kinin dan sebagainya, namun mekanisme yang terkait belum diketahui dengan jelas, mungkin bersaamaan dengan
pembentukan keringat.
Bentuk yang lain dari peniadaan adalah pengeluara zat aktif melalui air susu ibu (ASI). Dengan mekanisme difusi dan
fenomena transpor aktif, maka konsentrasiobat tertentu dalam air susu lebih tinggi dari dibandingkan konsentrasi plasmatik.
ASI lebih asam dibanding plasma, sehingga senyawa basa (alkaloid) dapat berdifusi dengan mudah.Molekul-molekul
berukuran kecil seperti halnya alkohol dapat segera keluar dan membuat keseimbangan dengan plasma.
Meskipun jumlah yang ditemukan kembali dalam ASI jarang yang melebihi 1% dari dosis yang diberikan, namun hal
ini tidak dapat diabaikan karena sistem enzimatik pada bayi belum matang benar, terutama enzim konyugasi, demikian pula
sistem saraf pada bayi lebih peka dibandingkan pada orang dewasa.

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 18


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

Orang dewasa juga dapat mengalami masalah perkaitan dengan pengeluaran obat melalui air susuternak. Pemakaian
pengobatan mastitis pada sapi perah merupakan awal dari kepekaan terhadap antibiotika pada manusia.Sediaan-sediaan
tertentu yang secara luas digunakan pada pertanian, teretama yang daya larut dalam lemak besar, seperti
pestisidadanherbisida, dapat dikeluarkan melalui susu ternak.
Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dan toksisitas obat, maka peniadaan melaluiperubahan hayati
mempunyai peran yang cukup penting. Karena ginjal berperan pada proses peniadaan, maka mengingat kinetika obat yang
dapat mencapai organ tersebut perlu diperhatikan aturan penggunaan untuk semua obat pada penderita dengan kegagalan
ginjal.
Hal yang sama terjada pada penderita kegagalan hati dimana terjadi gangguan fungsi perubahan hayati dan
pengeluaran empedu.

2.5. OBAT DI DALAM TUBUH


2.5.1. OBAT
2.5.1.1. Umum
Jika senyawa makanan atau senyawa asing lainnya memasuki tubuh maka di dalam tubuh akan terjadi reaksi
metabolisme yang mengikat senyawa tersebut dan selanjutnya ikatan tersebut akan dilepas dengan berbagai proses alami.
Prinsip yang sama juga berlaku untuk senyawa obat.
Penolakan obat dengan cara peniadaan terjadi pada molekul dengan sifat fisiko-kimia yang sfesifik. Molekul yang
akan dikeluarkan melalui paru harus berbentuk gas, sedangkan untuk dibuang melaluiair kemih, maka senyawa harus larut-
air.
Jika molekul tidak mempunyai gugus yang sesuai untuk diadakan maka molekul tersebut akan mengalami trasformasi
terlebih dahulu untuk selanjutnya dapat ditiadakan.
Studi perubahan atau metabolisme dari senyawa organik mencakup bidang penelitian yang luas dan sangat penting
terutama dalam bidang biokimia dan farmakologi.

2.5.1.2. Obat dan Sistem Enzimatik


Molekul obat yang larut-air umumnya dikeluarkan dalam bentuk tidak berubah atau tanpa perubahan yang berarti,
maupun terkonyugasi dalam berbagai jenis subsrat.
Sebagian besar senyawa organik termasuk senyawa obat, pada umumnya larut-lemak dan cenderung tertahan dalam
jaringan lemak.Untuk senyawa yang kurang polar dan sedikit hidrofil maka agar dapat dikeluarkan melalui ginjal, senyawa
tersebut harus mengalami perubahan menjadi bentuk yang dapat dikeluarkan.Mekanisme perubahan ini melibatkan berbagai
enzim dan prosesnya terjadi secara alami.
Sistem enzimatik merupakan sistem yang sangat beragam dan mendasari berbagai perubahan reaksi metabolik.Reaksi
ini dapat terjadi dalam sebagian besar jaringan seperti hati (yang dengan berbagai bentuk dan kualitas dari sel-selnya
berperan dalam reaksi perubahan hayati), ginjal, usus, kelenjar suprarenalis, paru, kulit dan plasma.Enzim-enzim tersebut
terdapat dalam fraksi jaringan terlarut dan mitokondria serta dalam mikrosoma.
Berbagai enzim metabolisme intermedier, enzim mikrosomal tidak menunjukan sifat khas, enzim tersebut dapat
menyesuaikan diri dengan berbagai struktur molekul eksogen dan mengubah semua substrat yang terikat dengannya.
Enzim tersebut berperan dalam fenomena induksi. Produksi sitokrom P450 dirangsang bersamaan waktunya dengan
peningkatan aktivitas enzim oleh sejumlah faktor endogen dan khususnya oleh obat yang dapat berubah (Tabel 2.1).

Tabel 2.1.Contoh induksi enzimatik oleh beberapa obat dan faktor eksogen
Senyawa yang metabolismenya
Induktor
ditingkatkan
Asap rokok 3,4-Benzopiren Nikotin
Barbiturat
Difenilhidantoin
Antikoagulian kumarin
Digitoksin
Barbiturat
Anestesi lokal
Hormon steroid
Kodein
Bilirubin
DDT
DDT, Lindana Antipirin
Heksobarbital
Difenilhidrantoina Kortisol
Pentobarbital
Etanol Tolbutamid
Difenilhidantoin
Amidopirin
Fenilbutason
Kortisol
Glutetimeda Glutetimida
Hidrokarbon polisiklik 3,4 Benzopiren
Meprobamat Meprobamat

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 19


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

Walapun terjadi keragaman dan multiplikasi senyawa kimia, namun perubahan tersebut berbatas dan dapat dibagi
menjadi 4 tipe perubahan yaitu oksidasi, reduksi, hidrolisa,yang dapat membentuk metabolit golongan polar dan konyugasi
yang meningkatkan kelarutannya. Struktur kimia dengan gugus fungsionalnya menunjukkan jenis reaksinya.
Perubahan hayati ini umumnya menghilangkan sifat-sifat terapetik atau toksisitas, kecuali untuk beberapa metabolit
yang menunjukkan suatu aktivitas yang lebih tinggi.

2.5.2. PEMBENTUKAN METABOLIT GOLONGAN POLAR


Reaksi-reaksi yang dapat memungkinkan terjadinya peniadaan terdiri atas dua tahap yaitu pembentukan golongan-
golongan polar (fase I) dan konyugasi (fase II).
Bahasan pertama adalah pembentukan molekul terkonyugasi dan hal ini tercermin pada perubahan molekul yang
kadang-kadang dilanjutkan dengan reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisa.
Metabolit-metabolit yang dihasilkan bersifat kurang larut-lemak dibandingkan dengan senyawa awal dan lebih sukar
diserap oleh sawar seluler.

2.5.2.1. Reaksi Oksidasi


Oksidasi adalah salah satu mekanisme reaksi perubahan obat yang penting dan berperan baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Reaksi oksidasi tersebut terjadi pada berbagai molekul menurut proses khusus tergantung pada masing-
masing tipe struktur kimianya yaitu reaksi hidroksilasi pada golongan alkil,aril dan heterosiklik, reaksi oksidasi alkohol dan
aldehid; reaksi pembentukan N-oksida dan sulfoksida, reaksi desaminasi oksidatif, pembukaan inti dan sebagainya.
Berbagai reaksi dikatalisa oleh sistem enzimatik yang terdapat dalam mikrosom sel dalam fraksi mitokondria atau
fraksi jaringan terlarut dan dalam darah.
Reaksi oksidasi lebih sering terjadi dengan penggabungan sederhana 1 (satu) atau beberapa atom oksigen pada
molekul obat, kadang-kadang reaksi tersebut menyebabkan terbukanya satu siklus atau pemutusan ikatan pada molekul
tersebut.
Suatu senyawa dapat berubah menjadi beberapa metabolit yang teroksidasi dalam beberapa bagian oleh oksidasi
yang berurutan.
Sistem enzimatik mikrosom terdapat pada semua mamalia yaitu pada organ hati, ginjal, paru, mukosa usus, limpa,
kelenjar supra renalis, gonad, plasenta dan kulit.
Reaksi oksidasi dapat dibagi menurut fungsi enzim yang terlibat dan mengkarakteristik reaksi oksidasi dan yang
menjaga keutuhan molekul.
Reaksi oksidasi yang membentuk suatu hasil oksidasi yang lebih polar dibanding molekul induk akan membebaskan
satu molekul H2O akan ikut dalam proses reaksi sebagai oksigen molekuler dan sebagai donor hidrogen, misalnya reaksi
nikotinamid adenine dinukleotida fosfat (NADPH).
Reaksi oksidasi tersebut dikatalisasi oleh sistem enzimatik yang berfungsi dengan satu rantai transpor elektron yang
terletak pada membran mikrosomal, NADPH dependen dan diakhiri oleh sitokhrom P 450 ; pigmen ini kemudian diberi nama
sendiri karena dalam keadaan tereduksi dan adanya CO2, memberikan spektrum serapan karakteristik dengan panjang
gelombang maksimum 450 nm.

2.5.2.1.1.Oksidasi tanpa pemutusan molekul


a. Oksidasi mikrosomal
Sitokrom P450 berperan dalam reaksi hidrolisasi yang pernyataan reaksi secara keseluruhannya adalah :
RH + O2 + 2 e- + 2 H+ → ROH – H2O
Aktivitas sistem enzimatik ini terkait dengan kadar sitokrom P 450. Rendahnya kadar sitokrom P450 pada jaringan hati
manusia merupakan alasan mengapa metabolisme pada manusia terjadi lebih lambat dibanding pada tikus.

a.1. Oksidasi pada atom karbon


Hidroksilasi dapat mengenai struktur hidrokarbon alifatik dan aromatik alamiah.

a.1.1. Hidroksilasi hidrokarbon alifatik


Satu atom oksigen terikat pada atom karbon yang terakhir atau satu sebelum yang terakhir dari rantai alifatik dan
menghasilkan gugus alkohol primer (heksobarbital), sekunder (pentobarbital, meprobamat) atau tersier (amobarbital).

R – CH2– CH2– CH2OH


R – CH2– CH2– CH3
R – CH2– CH – CH3

OH

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 20


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

(i) Hidroksilasi alifatik

(O)
P450 OH

fenilbutazon (metabolit yang bersifat urikosurik)

(O)
CH3CHOH
P450

meprobamat

OH – CH2OH

(O)
P450 CH2CHOH – CH3

sekobarbital

COOH

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 21


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

(O)
P450

(CH3)2C

OH
amobarbital

(ii) Hidroksilasi siklis non aromatik

OH
(O)
P450

antipirin

(iii) Siklisasi oleh oksidasi

(turunan biguanidin yang tidak aktif) (turunan dihidrotiazin yang aktif)

Pada umumnya reaksi ini tidak berhenti pada tahap turunan alkohol, tetapi adanya enzim dalam fraksi yang larut dari
sitoplasma (alkohol dehidrogenase, aldehid dehidrogenase ) akan mengubah gugus alkohol primer menjadi aldehid kemudian
menjadi asam karboksilat.

a.1.2. Hidroksilasi hidrokarbon aromatik


Sebagian besar hasil oksidasi siklis aromatik adalah satu atau lebih gugus hidroksil yang terkait pada posisi tertentu
tergantung gugus yang telah ada pada siklis (efek mesomer donor pada posisi para atau orto).
na

benzena fenol pirokatekol hidrokinon

Kadar setiap tipe metabolit bervariasi tergantun pada sifat senyawa dan spesies hewan.
Fenobarbital diubah menjadi para-hidroksifenobarbital (36%) dan orto-hidroksifenobarbital (2,5%).
Asetanilid berubah menjadi para-hidroksiasetanilid.
Fenilbutason, asam salisilat, naftalin koumarin, kholrdiazepoksid dan sebagainya mengalami tipe oksidasi seperti yang tertera
berikut ini:

(O)
P450

fenobarbital
OH
p-hidroksifenobarbital

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 22


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

(O) OH
P450

zoxazolamin

OH
(O)
P450

imipramin

(O)
P450
OH

(O)
P450

klordiazepoksid OH
a
OH
(O)
P450

fenilbutazon hidroksifenilbutazon (anti radang)

OH
(O)
P450

asam salisilat asam gentisat

Bila pada siklus aromatis disubsitusi dengan rantai alifatis, maka oksidasi terjadi pada gugus pertama dan pada atom
terakhir yang lebih mudah teroksidasi.

a.1.3 Epoksidasi
Epoksidasi adalah suatu bentuk khusus dari pengikatan oksigen diantara dua atom karbon oleh suatu ikatan rangkap.
Epoksidasi merupakan suatu tahap intermedier dalam oksidasi, mekanisme terjadi pada hidrokarbon aromatis seperti benzene
atau naftalen dan turunan halogen tertentu.

(O)

naftalen

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 23


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

fenantren

a.2 Oksidasi pada atom N (N-oksidasi)


Oksidasi metabolik amina, terjadi dengan ikatan 1atom oksigen pada atom nitrogen dan membentuk turunan
hidroksilamin dari amina primer dan sekunder (N-etil-anilin, toluidin, sulfanilamid) atau membentuk oksida amin untuk
amina tersier (trimetilamin, fenotiazin, imipramin, nikotinamid dan sebagainya).

(O)

CH3
imipramin O

(O)

koramin O
(nikotamida) nikotinamida N-oksida

HOH
(O)

anilin N-fenilhidroksilamina

Mekanisme oksidasi pada atom N berbeda dengan mekanisme N-dealkilasi yang berarti terjadinya oksidasi pada
atom karbon.

a.3. Oksidasi pada atom sulfur (S-oksidasi)


Pengikatan satu atau dua atom oksigen pada sulfur mengubah bentuk struktur sulfur alifatik atau aromatis menjadi
sulfoksida dan sulfonat yang mempunyai karakter polar dan lebih larut.

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 24


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

Sulfoksidasi tersebut penting terutama pada sulfur alifatik, sulfur dan fenotiasinanya.

a.4. Desulfurisasi
Pada turunan tio tertentu (tio-urea, tiosemikarbason, organo-fosfor), adanya oksigen akan mengganti atom S dengan
atom O.

S= C O=C

Insektisida parathion asam tiofosfat di dalam tubuh akan aktif hanya setelah terjadi perubahan.

S= P O=P

Antitumor (tipe tiotepa) terutama ditemukan dalam bentuk beroksigen.

b.Oksidasi non-mikrosomal
Oksidasi alkohol
Alkohol alifatik primer dan sekunder pada umumnya dioksidasi oleh NAD dengan bantuan enzim alkohol
dehidrogenase dan reaksi terjadi secara reversibel.

alkohol
NAD + CH 3CH 2OH CH 3CHO+NADH2
dehidrogenase

Bentuk aldehida diubah menjadi asam yang bersangkutan dan NAD dengan bantuan enzim aldehida-dehidrogenase.
alkohol
NAD + CH 3CH O CH 3COOH +NADH2
dehidrogenase

2.5.2.1.2Oksidasi dengan pemutusan molekul


a.Oksidasi mikrosomal
a.1Desaminasi oksidasi (amino – oksidasi)
Pada mikrosom hati, terdapat sistem enzim berspektrum lebih luas dibanding monoamino-oksidasi yang mengkatalisa
reaksi desaminasi oksidatif.
Amina dioksidasi menjadi aldehid atau keton dengan bahan awal NH3 (amoniak) tergantung struktur rantainya.
Desaminasi hanya mungkin terjadi jika gugusnya tidak terikat langsung pada suatu siklus.
(O) H2O
R – CH2– NH2 R – CH = NH R – CHO + NH3
P450
(O)
R – CH – NH2 R – CH2– CO + NH3
P450
CH3 CH3

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 25


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

C=O

amfetamin

CHO

noradrenalin

a.2Dealkilasi
Reaksi ini merupakan peniadaan radikal yang mula-mula terikat pada atom oksigen, sulfur atau nitrogen. Selain itu
reaksi berlangsung dengan pembebasan aldehid atau keton.

R” R”
(O)
R – O – CH R – OH + O = C

R’ R’
R” R”
(O)
R – S – CH R – SH + O = C

R’ R’
R” R”
(O)
R – NH – CH R – NH2 + O = C

R’ R’
R’dan R”merupakan radikal (senyawa asam) atau hidrogen.

- O - dealkilasi
Reaksi ini dimulai dari meter aromatik (metil atau etil) yang membebaskan fenol dan aldehid yang bersangkutan
(formaldehid dan asetaldehid). Fenasetin diubah menjadi N- asetil para- amino fenol, sedangkan kodein diubah menjadi
morfina

normorfin

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 26


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

- S - dealkilasi
Tio-eter menghasilkan tiol yang bersangkutan.

R S R' CH3 R S R' CH2OH R SH + R'CHO

- N - dealkilasi
Dealkilasi amina sekunder dan tersier membebaskan amina primer, aldehid dan ketan.Reaksi ini berkaitan dengan
reaksi oksidasi dari gugus alkil yang terikat apda amin dan bukan pada oksidasi dari amin itu sendiri.
Beberapa senyawa yang dapat mengalami dealkilasi adalah :
 Adrenalina, efedrina, amina iminodibensilik, khlopromasina, amitriptilina, piramidona, morfina, kokaina, aminofenazon.
 Imipramina mengalami monodemetilasi menjadi desmetilimipramina, tetapi sistem enzimatik pada keadaan ini hanya
memungkinkan demetilasi saja dan terbukti inaktif pada desmetilasi imipramin atau desipramin.

Morfina diubah menjadi normorfina


Kodeina adalah suatu contoh senyawa yang mengalami 2 demetilasi, yang pertama apda nitrogen N dan lainnya oksigen O 3
dan menghasilkan norkodein dan morfin yang ditemukan dalam jumlah yang setara dalam air kemih.

(O)

amidopirin atau aminofenazon 4-metilamino-antipirin

2.5.2.2Reaksi Reduksi
Reaksi ini kurang penting dibanding reaksi oksidasi, reaksi reduksi terutama berperan pada Nitrogen dan turunananya
(azoik dan nitrat), kadang-kadang pada karbon.

H2N + NH2

prontosil sufanilamid

asam p-nitrobenzoat asam p-aminobenzoat

2.5.2.2.1 Reduksi Nitrogen


Contoh reduksi nitrogen yang paling dikenal adalah prontosil, bahan pewarna yang secara in vivo mempunyai sifat
antibakterial karena mampu membebaskan sulfanilamid yang merupakan inti dari sulfamida. Pada reaksi ini di dalam tubuh
senyawa nitrogen direduksi dan diubah menjadi amina primer.

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 27


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

2.5.2.2.2 Reduksi Turunan Nitro


Turunan nitro aromatik (kloramfenikol, nitrobenzen, asam pikrat) direduksi menjadi senyawa amina yang
bersangkutan.Reaksi ini dikatalisa oleh enzim nitro reduktase yang berasal dari mikrosom dan dari fraksi jaringan yang larut
dan disertai peran NADPH dan NADH, yang selanjutnya dihasilkan turunan nitro dan turunan hidroksilamin intermedier.
Dalam kasus nitrat, reduksi oleh enzim bakteri usus dapat mendorong pembentukan nitrit yang toksik.

2.5.2.3 Reaksi Hidrolisa


Ester dan amida dapat dihidrolisa oleh sistem enzim esterase dan amidase yang terdapat dalam fraksi mikrosom hati,
dalam plasma dan jaringan lainnya. Plasma lebih kaya akan enzim esterase dibanding hati.

R-COO-R’+H2O R-COOH+R’-OH

R-CO-NH2+H2O R-COOH+NH3

Esterase plasmatik dan esterase hepatik mempunyai afinitas yang berbeda.Petidin hanya dihidrolisa dalam hati,
sebaliknya esterase dari mikrosom tidak aktif terhadap asetikolin dan tidak peka terhadap eserin.
Amida dihidrolisa kurang cepat dibanding ester.
Di usus, protease dapat merusak senyawa berstruktur peptidik seperti insulin dan ACTH, dengan demikian obat
tersebut tidak dapat diberikan per-oral.Lipase pankreatik atau esterase bakteri dapat membebaskan bagian obat yang aktif
dari bentuk esternya.

2.5.3PEMBENTUKAN TURUNAN KONYUGAT PADA REAKSI KONYUGASI


Reaksi konyugasi sesungguhnya merupakan reaksi antara molekul eksogen atau metabolit dengan substrat endogen,
membentuk senyawa yang tidak atau kurang toksik dan mudah larut dalam air, mudah terionisasi dan selanjutnya sangat
mudah dikeluarkan.
Reaksi konyugasi bekerja pada berbagia substrat alamiah dengan proses enzimatik, terikat pada gugus reaktif yang
telah ada sebelumnya atau yang terbentuk pada fase pertama.

2.5.3.1 Konyugasi Asam Glukoronat


Diantara sejumlah reaksi konyugasi maka konyugasi dengan asam glukoronat lebih sering terjadi. Hal tersebut dapat
diartikan bahwa proses konyugasi merupakan mekanisme awal dari peniadaan obat.
Reaksi konyugasi merupakan reaksi yang sangat sederhana, glukoro-konyugasi terjadi pada sejumlah senyawa
organik pembawa gugus hidroksil (OH), karbosilat (COOH), sulfhidril (SH) atau amina (NH 2).Gugus-gugus tersebut
merupakan pusat konyugasi dan konyugasi amin terkombinasi pada gugus tersebut, dan membentuk senyawa glukoronida.

- Eter O-Glukoronat (alkohol dan fenol)

O
CH – O – CH – (CHOH)2– CH – COOH

CH3
hidroksi-1’glutetimid glukoronat

- Ester O-Glukoronat (asam)


O
– CH – (CHOH)2 – CH – COOH

- N-glukoronat (amina)

O
NH – CH – (CHOH)2 – CH – COOH

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 28


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

Asam glukoronat sebagai hasil oksidasi alkohol primer pada glukosa, di dalam tubuh mudah diubah menjadi bentuk
aktif yaitu bentuk asam uridin difosfat glukoronat (UDPGA). Pengikatan pada aseptor dikatalisa oleh UDP-glukoronil
transferase yang berasal dari mikrosom,atau oleh glukoronil transferase dari jenis yang berbeda. Dalam hal-hal tertentu, asam
glukoronat dapat terlepas dari glukoronida dan pindah ke aseptor lain dibawah pengaruh beta-glukoronidase.
Glukurokonyugasi terutama bekerja di hati tetapi dapat pula terjadi di jaringan lain seperti kulit, ginjal, dan saluran
cerna.
Reaksi glukurokonyugasi tersebut membentuk berbagai tipe glukuronida dengan berbagai jenis gugus fungsional.
- Gugus hidroksil – OH (alkohol dan fenol)
O–R
O

R – OH + UDPGA
eter – O – glukuronat

- Gugus karboksil – COOH (asam alifatik dan aromatik)


O

O – C –R
O

R – COOH + UDPGA
eter – O – glukuronat

- Gugus amina – NH2 (amina, karboksamida, sulfonamida)


NH – R
O

R – NH2 + UDPGA
α – amino-ester : N – glukuronat

- Gugus sulfhidril
S–R
O

R – SH + UDPGA
tio-asetal : – S – glukuronat

Glukosa UDP-Glukosa

UDP-α-gukuronat UDP

COOH
Glukuronil transferase O–R
O
R-OH
Gambar 2.18. Skema glukorokonyugasi

Glukuronida yang terbentuk sangat mudah larut dalam air, hal ini disebabkan ionisasi karboksilat pada pH fisiologi
(pKa antara 3 dan 5) serta karena polarisasi dari asam glukuronat.
Peniadaan glukuronida dapat terjadi melalui ginjal dan empedu. Proses ini tergantung pada berat molekul (BM) dan
turunan yang terkonyugasi. Senyawa metabolit tersebut dapat ditemukan dalam air kemih (BM < 300), dalam empedu (BM
>700) atau dalam keduanya (BM intermedier).

2.5.3.2 Konyugasi dengan Asam Sulfonat


Seperti pada reaksi terdahulu, konyugasi dengan asam sulfonat terjadi pada senyawa dengan gugus OH alkohol dan
fenol, senyawa aromatik dan gugus amina

ROH ROSO3-
ArOH ArOSO3-
ArNH2 ArNSO3-

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 29


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

Alkilsulfat, arisulfat dan N-arisulfat yang terbentuk secara keseluruhan dapat mengalami ionisasi pada pH fisiologik,
sangat larut dan cepat ditiadakan. Ion dapat berasal dari oksidasi asam amina belerang, sistein, metionin dan glutation , tetapi
untuk dapat terkonyugasi harus diaktivasi terlebih dahulu. Reaksi dimulai dari 3-fosfo-adenosin-5’-fosfosulfat (PAPS), yang
mana gugus belerang aktif dipindahkan ke bentuk substrat oleh sulfotranferase atau sulfokinase yang terdapat dalam
sitoplasma sel, hati, ginjal atau usus.
Perlu diperhatikan bahwa fenol dan akrilamin dapat mempunyai mekanisme yang tidak tergantung satu sama lain
seperti pada sulfokonyugasi dan glukurokonyugasi

2.5.3.3 Asetilasi
Reaksi asetilasi terutama terjadi pada amina primer aromatik seperti anilina, asa para-amino salisilat, aminofenazon,
isoniazida dan sulfamida dan lain-lain.
Reaksi konyugsi asetilasi terjadi dalam sel-sel reticulo endothelial system (RES) di hati, limpa usus dan paru dengan
bantuan asetilkoenzim A dan dengan adanya asetilasi.
Kadang-kadang hasil asetilasi menunjukkan karakter spesifik yang belum dapat dijelaskan dan menghasilkan
turunan yang kurang larut dalam air dan mudah mengendap dalam tubulus ginjal, misalnya sulfamida.

asetil koenzim A
NH2 NH– CO – CH3
N-asetiltransferase

sulfanilamid

NH– CO – CH3

isoniazid

2.5.3.4 Pembentukan Turunan Merkapturat


Reaksi konyugasi ini terjadi dengan kombinasi pada sistein atau glutation dengan bantuan enzim dalam fraksi
supernatan dari homogenat jaringan, bekerja terutama pada hati dan ginjal.
Dengan sistein yang terasetilasi, dengan adanya benzil klorida akan terbentuk asam alkali merkapturat, dengan adanya
klorobenzena akan terbentuk asam alkil merkapturat.
Glutation terkonyugasi dengan berbagai karbon aromatik (benzen, naftalen). Pada awalnya reaksi ini membutuhkan
adanya epoksida yang selanjutnya akan mengikat glutation di bawah pengaruh enzim glutationkinase.
Konyugasi pada turunan nitrogen atau halogen aromatik diawali oleh gugus nitrat atau halogen.
S – CH2 – O – CH – COOH

NH – CO – CH3

naftalen asam naftilmerkapturat

glutation glutationkinase
transferase dan peptidase

benzil klorida

benzil sistein

benzil glutation

asetil koenzim A
asetilase

benzil merkapturat

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 30


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

2.5.3.5 Metilasi
Metilasi pada nitrogen, oksigen dan sulfur (S-H) secara luas telah digunakan pada sejumlah obat-obatan. Metilasi
juga terjadi pada gugus amina dari amina primer, sekunder, OH-fenol dan SH-merkaptan.
Contoh senyawa pengmetilasi adalah S-adenosil metionin yang pembentukannya dikatalisa oleh enzim yang berasal
dari fraksi sel yang larut. Gugus metil aktif selanjutnya diubah oleh beberapa metil transferase tidak spesifik.
Istilah O-metilasi digunakan pada turunan nor-kodein dan nor-morfin, N-metilasi pada nor-heksobarbital, serotonin,
atau S-metilasi pada nor-heksobarbital dan dimerkaptopropanol.

O – metilasi

COMT

noradrenalin normetanefrin
COMT = Cathecol Oxy Methyl Transferase

N – metilasi

CH3
histamin 4-metilhistamin

CH3

NH2

2.5.3.6 Konyugasi asam amina


Glikokol atau glisin merupakan asam amino yang lebih sering digunakan untuk konyugasi dengan asam aromatik
(asam benzoat, dan beberapa asam alifatik). Reaksi ini juga dijumpai pada turunan halogen dari asam benzoat, furfural dan
asam empedu.
Proses glisil konyugasi terjadi di dalam ginjal dan hati dengan pengaruh koenzim A dan glisin-N-asilase.

glisin NH

CH2

asam benzoat COOH

2.5.4. KESIMPULAN
Telah dibahas berbagai tipe reaksi yang meliputi reaksi deshidrogenasi alifatik, pemecahan inti, deshalogenasi inti,
deshalogenasi, pembentukan asam tiosianat yang dimulai dari asam sianat.
Perubahan lainnya dapat pula terjadi di usus dengan bantuan getah empedu dan flora usus. Telah dibahas pula
peranan jalur pemberian obat.
Rangkaian bahasan fenomena tersebut di atas menunjukkan kepentingan perubahanhayati obat serta sistem enzimatik
yang terlibat.
Efektivitas setiap enzim berpengaruh pada lama efek farmakologik. Selain itu lingkungan dan faktor genetik,
fisiologik atau patologik dapat mengubah aktivitas farmakologik, pengaruh ini bekerja pada fase metabolik obat.

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 31


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

Pemahaman yang lebih mendalam tentang metabolisme obat-obatan diperlukan untuk menghindari risiko terapetik
yang tidak dikehendaki. Terdapat peraturan baru yang mengharuskan diketahuinya semua metabolit molekul
yangdimaksudkan untuk tujuan terapetik.

2.6.FAKTOR FISIOLOGIK DAN FAKTOR PATOLOGIK YANG MENGUBAH AKTIVITAS OBAT


2.6.1AKTIVITAS OBAT
Percobaan dengan kelompok hewan yang homogen (galur, seks, berat, dll) memungkinkan pengamatan reaksi semua
bentuk sediaan (fisik, kimia) pada setiap individu.
Hal yang sama juga terjadi pada manusia, yang mana efek suatu obat tidak perlu selalu tetap. Pemberian suatu sediaan
obat pada seorang individu dan dengan posologi yang sama kadang-kadang memberikan kadar obat dalam darah yang
beragam.
Perbedaan tersebut dapat terjadi karena :
 Penyebab endogen yang sangat erat hubungannya dengan genetik, atau keadaan fisiologik dan patologik, yang berkaitan
dengan fungsi dari berbagai organ tubuh, misalnya sistem persarafan, peredaran darah, endokrin, dan pencernaan.
 Penyebab eksogen yang tergantung pada lingkungannya.
Jumlah zat aktif yang mencapai reseptor spesifik ternyata sangat sedikit dibandingkan dosis pemberian.
Dengan demikian dapat dimengerti bila faktor-faktor yang mempengaruhi berbagai fase farmakokinetik, penyerapan,
difusi, perubahan dan peniadaan juga dapat mempengaruhi aksi farmakologi yang diharapkan.
Besarnya variasi efek yang timbul setelah pemberian obat, tampak jelas terutama untuk senyawa mengalami
perubahan.
Semua faktor genetik, fisiologik, patologik dan lingkungan merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan pada
pengambilan keputusan aturan terapeutik.

2.6.2 FAKTOR FISIOLOGIK


2.6.2.1 Perbedaan Spesies
Terhadap obat pembius atau senyawa toksik, spesies hewan mempunyai perilaku yang sangat beragam.

2.6.2.1.1 Biotransformasi (Perubahanhayati)


Studi tentang degradasi obat menunjukkan bahwa perbedaan sensitivitas disebabkan adanya perbedaan
perubahanhayati. Perubahanhayati tersebut tergantung pada perbedaan sistem enzimatik (mikrosomal atau lainnya) dan pada
cara serta tipe dari metabolisme yang berbeda.

a. Sistem enzimatik
Timbulnya atropin esterase plasmatik pada kambing dan kelinci merupakan tanda-tanda terjadinya keracunan atropin.
Waktu paruh biologik dari heksobarbital dan amidopirin pada manusia ternyata lebih lama dibandingkan pada tikus.
Desaminasi dari efedrin nyata terjadi pada kelinci dan tidak terjadi pada anjing dan tikus. Pada manusia, senyawa
tromeksan mengalami proses dihidroksilasi, namun pada kelinci tromeksan mengalami proses tromeksan dimetabolisme
lebih cepat dibanding pada manusia.
Tikus besar tidak dapat menghidroksilasi koumarin. Sedangkan glukuronil transferase pada kucing mengalami
reduksi.

b. Jenis transformasi (perubahan)


Tergantung pada spesiesnya, untuk senyawa yang sama, mekanismenya dapat berbeda. Untuk mekaniseme
detoksifikasi yang sama, laju perubahannya dapat sangat beragam.
Perbedaan toksisitas anilin pada hewan tergantung pada pembentukan kedua metabolitnya. Metabolit o-aminofenol
sangat toksik pada kucing, anjing dan karnivora lainnya, sedangkan p-aminofenol pada kelinci dan herbivora lainnya jauh
kurang toksik.
Perbedaan glukurokonyugasi pada manusia sangat menguntungkan proses peniadaaan sulfadimetoksin, sebaliknya
pada kelinci yang penting adalah proses asetilasi.
Demetilasi lambat dari imipranin pada manusia dapat menjelaskan aktivitas farmakologik yang sama dari sediaan
tersebut.

2.6.2.1.2. Peniadaan (eliminasi)


Di samping adanya berbagai perubahan zat aktif yang mempermudah proses detoksifikasi maka harus diperhatikan
bahwa setiap spesies mempunyai karakter air kemih tertentu, pH air kemihyang berpengaruh pada proses peniadaan dan
ionisasi molekul obat atau metabolitnya

2.6.2.2. Faktor individu


2.6.2.2.1. Umur
Percobaan telah membuktikan bahwa pada bayi harus dihindari pemberian obat tertentu dan posologi pada bayi tidak
dapat disamakan dengan posologi dewasa.Pakar kandungan dan pakar penyakit anak telah mengetahui hal ini sejak lama
bahwa bayi yang masih menyusu lebih peka pada barbiturat dan opium.
Mulai usia lanjut (60 tahun), kewaspadaan pada obat harus lebih diperhatikan.

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 32


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

Berdasarkan pada dua kelompok umur yang berbeda tersebut, dapat disimpulkan bahwa orang dewasa berumur antara
20-60 tahun.
Kekhususan tersebut dijelaskan melalui perubahan parameter farmakokinetik, perlintasan membran sel,
difusi,perubahan hayati serta peniadaan.

a. Bayi baru lahir dan yang menyusui


Pada minggu-minggu pertama dari kehidupannya dank arena keadaaan fisiologiknya maka reaksi bayi yang menyusu
terhadap obat lebih besar dibandingkan anak-anak dan orang dewasa.Dan bayi yang baru lahir sangat peka terhadap obat.

(i) Difusi
Tubuh bayi yang baru lahir ditandai dengan permeabilitas membran fisiologik yang lebih besar dibandingkan pada
anak-anak dan orang dewasa.
Sawar hemato-ensefalik bayi mudah ditembus oleh sejumlah obat.
Permeabilitas sel-sel otak, hati dan ginjal yang sedang tumbuh pada bayi terhadap salisilat lebih besar sehingga
kemungkinan intoksikasinya pada bayi harus lebih diperhatikan dibandingkan pada anak muda.
Tidak adanya mielinisasi dari serabut-serabut mempercepat penembusan barbiturat ke dalam substansi putih
dibandingkan dalam substansikelabu.
Permeabilitas ini bertanggung jawab terhadap perlintasan dalam peredaran darah suatu senyawa yang digunakan
setempat (neomisina, heksaklorofen)

(ii) Biotranformasi/perubahan hayati


Aktivitas sistem enzim mikrosomal, terutama pada jaringan hati pada manusia-hewan. Aktivitas tersebut akan
meningkat cepat pada pendewasaaan pasca natal. Pada anak, aktivitas menjadi normal setelah tiga bulan, namun
perkembangan sistem tersebut sangat berbeda antar individu.
Karena mekanisme perubahan hayati berbeda, maka bayi yang baru lahir dan amsih menyusu lebih peka terhadap obat
yang hanya aktif setelah mengalami perubahan.
Belum matangnya sistem enzim terjadi pada berbagai sistem reaksi hayati. Dengan demikian penggunaan obat yang
berefek lama dapat membahayakan penderita.
Sistem oksidatif mikrosomal tidak dapat menjamin hidroksilasi dari barbiturat dan asetanilid, oksidasi dari fenotiazin
dan desiminasi oksidatif dari amfetamin.
Kegagalan glukurokonyugasi, yang disebabkan oleh kekurangan UDPG-deshidrogenase dan glukuronil transferase,
sehingga menimbulkan resiko penimbunan obat dalam bentuk bebas.
Toksisitas yang disebabkan oleh kloramfenikolterlihat dari tingginya kadar bentuk bebas dalam plasma sebagai
turunan nitratnya, dan rendahnya jumlah bentuk terkonyugasi yang tidak toksik (35% dibandingkan 90% pada orang
dewasa).
Sulfamida yang bereaksi lambat ditiadakan setelah reaksi glukurokonyugasi dan hal ini sangat berbahaya pada bayi.
Proses glukurokonyugasi yang tidak lengkap terjadi pada kortison, morfin, novobiosin, progesteron, tiroksin, salisilat,
fenasetin dan N-asetil para-aminofenol.
Asetilasi senyawa sulfamida dan isoniazida praktis tidak terjadi.
Rendahnya kadar pseudokolin esterase dalam plasma menyebabkan suksinil kolin tidak dapat dimetabolisme.

(iii) Eliminasi (peniadaan)


Proses klirens pengeluaran suatu senyawa melalui ginjal adalah rendah. Pada bayi yang meyusu dan prematur klirens
ini sangat rendah dan menjadi normal setelah 3-12 bulan untuk peniadaan melalui glomerulus dari bentuk aktif yang tidak
terikat dengan protein plasma dan antara 12-14 bulan untuk sekresi tubuler dari senyawa yang terkonyugasi.Klirens penisilin
ginjal pada bayi terjadi 5 kali lebih rendah dibandingkan pada anak umur 2 tahun.
Sejumlah obat dan khususnya antibiotik (penisilin, streptomisin, sulfanamid) mempunyai waktu-paruh biologik yang
panjang. Perubahan yang tidak sempurna untuk dapat ditiadakan secara normal, akan disebarkan kembali dalam volume
cairan tubuh yang sedikit. Hal ini berbahaya bila keadaan memcapai konsentrasi toksik atau lewat-dosis pada bayi yang baru
lahir.
Anak-anak harus dilindungi dari semua bentuk pengobatan, demikian pula orang-orang usia lanjut.
Pada akhir kehamilan dan pada saat melahirkan, pemberian sejumlah obat harus dibatasi untuk menghindari
penimbunan. Hal ini berbahaya pada bayi yang baru lahir yang tubuhnya belum mampu melakukan proses peniadaan.
Posologi pada bayi harus dilakukan dengan sangat hati-hati dalam mengikuti aturan pemberian obat.
Dengan demikian diperlukan penentuan pembagian umur yaitu : periode pertama dari 15 hari setelah lahir atau
periode neonatal, periode kedua dari 15 hari sampai 30 bulan. Pada setiap rentang umur memerlukan aturan pemberian obat
yang khusus.
Umur 30 bulan merupakan batas penggunaan posologi bayi karena pada usia ini sudah tercapai tingkat perkembangan
fisiologik anak (akhir pertumbuhan gigi). Oleh sebab itulah dan dapat diberikan jenis makanan yang menyamai makanan
orang dewasa.

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 33


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

b. Usia lanjut
Lambat atau cepat, tubuh manusia tua akan mengalami serangkaian perubahan morfologi dan fungsional yang
berakhir dengan kematian. Ketentuan sama dengan penurunan atau kehilangan kemampuan penyesuaian tubuh terhadap
lingkungan di luar tubuh.
Ketuaan merupakan proses pengausan atau penurunan aktivitas fungsi organ tubuh, dan proses ini terjadi dengan laju
yang berbeda pada setiap orang.
Pada tubuh orang tua, efek sedatif barbiturat dan hipnotik akan berkurang dan sebaliknya efek toksiknya semakin
meningkat.
Namun pada umur tersebut tubuh lebih toleran terhadap alkohol dan morfin.
Pada orang usia lanjut ketidakmampuan kerja lebih nyata, kapasitas fungsional dari hati menurun setelah 70 tahun.
Penyerapan obat yang tidak baik dapat menimbulkan keadaan kurang-dosis.Defisiensi enzimatik secara nyata
bertanggungjawab terhadap gangguan metabolisme. Pemakaian obat pada usia lanjut harus berhati-hati karena cukup banyak
obat yang dapat menyebabkan kerusakan hati.
Ketidakmampuan ginjal yang tercermin dari klirens obat yang menurun terutama klirens glomerulus akan
menyebabkan hambatan peniadaan obat, misalnya obat digitalis, digoksin dan sulfamida.
Kadang-kadang sulit untuk membedakan perubahan yang disebabkan oleh modifikasi fisiologik terhadap
patologik,karena tubuh selalu mengandung sisa-sisa semua bentuk tekanan yang pernah dialami selama hidupnya dan sulit
untuk ditelusuri, terutama penyebab dari lingkungan dan makanan.

2.6.2.2.2. Jenis kelamin


Percobaan pada tikus dan mencit dapat menunjukkan tanda-tanda aktivitas obat akibat perbedaan jenis
kelamin.Namun pada subyek manusia, marmut, kelinci dan anjing perbedaan tersebut tidak terlihat dengan jelas.
Pada umumnya efek samping obat yang tidak diinginkan lebih sering dan lebih nyata terjadi pada wanita.
Walaupun jenis kelamin mempengaruhi proses penyebaran dan peniadaan obat, namun faktor individu, terutama
faktor hormonal harus dipertimbangkan.
Hormon androgen mempercepat reaksi hidroksilasi (heksobarbital dan pseudobarbital), N-demetilasi
(piramidon,morfin) dan glukurokonyugasi terutama pada tikus jantan dibandingkan tikus betina.Fenomena ini tidak berlaku
bagi hewan yang dikebiri; testosteron meningkatkan aktivitas enzim-enzim detoksifikasi, sedangkan estrogen mempunyai
efek yang sebaliknya.

2.6.2.2.3. Morfotipe
Pada saat pembentukan fisik suatu individu, tercipta ukuran fisik dan volume kompartemen yang baku. Volume
kompartemen yang baku. Volume berbagai kompartemen tubuh dapat berubah dan berbagai gangguan dapat mengubah fase
farmakokinetik.
Pemberiaan obat yang sama pasologinya pada morfotipe yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan penyebaran dan
akumulasi obat,dengan demikian dapat menyebabkan keadaan kurang-dosis atau lewat-dosis.
Obat-obat yang larut-lemak terikat kuat secara proporsional pada lemak dan jumlah fraksi bebasnya dapat berbeda
tergantung pada setiap individu.Jadi harus diperhitungkan dengan seksama kemungkinan adanya udema dan penimbunan
obat dalam lemak.
Pada obat yang bersifat larut-air,kompartemen cairan tubuh dapat mempengaruhi proses difusi,penyebaran dan klirens
ginjal.
Perhitungan posologi yang didasarkan atas berat badan tanpa mempertimbangkan kekhususan sifat kompartemen akan
mengakibatkan pemberian obat dalam dosis yang tidak dapat dan tidak sesuai dengan masa seluler aktif seperti enzim,ikatan
protein,reseptor farmakodinamika yang berperan pada nasib obat.
Percobaan lebih lanjut menunjukkan bahwa orang dewasa yang bertubuh kecil memerlukan zat aktif dalam
perbandingan yang lebih banyak dibandingkan seseorang yang bertubuh besar.

2.6.2.2.4. Kelainan Genetik


Pada tahun 1943, Sawin dan Grick membuktikan adanya hubungan primer antara gen dan enzim(atropin esterase)
dalam plasma kelinci dan sejak itu semakin banyak contoh yang diberikan.Pada saat ini semakin banyak kekhususan atau
penyimpangan fungsional pada manusia yang mendukung faktor herediter yang telah diketahui.
Kasus-kasus tertentu cukup jarang,yang banyak dijumpai adalah pengaruh ras terhadap tata transmisi yang cukup
bervariasi.
Berbagai kesulitan farmakogenetik menyulitkan penggolongan kelainan genetik tersebut.
Kelainan genetik dapat mempengaruhi metabolisme obat dalam tahap yang berbeda untuk setiap obat.
Telah dibuktikan pula beberapa kasus penyerapan yang tidak sempurna dari vitamin B12 dan asam folat sebagai
antagonis insulin dengan suatu inhibitor yang berhubungan pada albumin plasmatik.
Kepekaan pada suksametonium(suksinil kolin)yang digunakan untuk pembiusan total lebih sering terjadi(1 dalam
1500-2000). Hal ini disebabkan adanya pseudokolin esterase atipik yang aktivitasnya lebih lemah dibandingkan pseudokolin
esterase normal.
Aktivitas asetil transferase berkurang dalam 1 bagian populasi, memungkinkan terjadi asetilasi cepat dan asetilasi
lambat yang mempunai resiko terhadap kecelakaan toksisitas isoniasida.Hal itu berupa perubahan dari laju reaksi,afinitas

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 34


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

enzim lambat dan cepat untuk suatu substrat yang tampaknya serupa. Adanya kekhususan ini memerlukan suatu penyesuaian
cara pemberian obat pada setiap penderita.
Individu tertentu tidak memiliki katalase eritrositer, yang lain menghidrosilasi fenilhidantoin. Contoh lainnya adalah
20% dari populasi wanita Swiss merupakan pembawa alkohol dehidrogenasi atipik yang lebih aktif dibandingkan lainnya.
Dalam keadaan ikterus kronis idiopatik,bilirubin glukurokonyugasi tidak dapat dikeluarkan dan tertimbun didalam
sel-sel hati.
Kelainan genenetik terlihat pada metabolisme glukosida dengan defisiensi enzimatik pada metabolisme
pentose.Kekurangan glukosa 6 fosfat behidrogenase merupakan penyebab anemihemolitik,karena sel darah merah lebih peka
terhadap obat-obat tertentu.

2.6.2.2.5. Kehamilan
Kehamilan mengubah kandungan air dalam jaringan yang dapat mengganggu penyebaran obat.
Wanita hamil menunjukkan ketidakmampuan hati (bersifat sementara) akibat banyaknya hormon luteal dalam tubuh.
Pada saat kehamilan harus diwaspadai pemberian obat yang secara normal dirusak dalam hati karena obat-obat tersebut dapat
menumbulkan resiko penimbunan pada konsentrasi sub-toksik dan akan berbahaya bagi ibu maupun janinnya.
Pada kehamilan, sejumlah reaksi detoksifikasi berkurang.Mekanisme oksidasi tertentu (metabolism aminopirin,
fenasetin atau reaksi hidroksilasi (koumarin, difenil) menurun separuhnya.Demikian pula demetilasi dari petidina menjadi
lebih lemah.
Glukurokonyugasi dihambat oleh progesterone, sedangkan pregnandiol menghambat aktifitas glukuronil transferese.

2.6.2.2.6. Keadaan gizi


Keadaan gizi merupakan faktor yang mempengaruhi metabolisme obat terutama pada fase penyerapan dan fase
perubahan.
Selama waktu makan, obat menunjukkan awal kerja yang lambat dan kemampuan kerja yang menurun.Adanya
makanan dalam saluran-cerna dapat mengurangi penyerapan karena terjadinya pengenceran atau interaksi kimia. Saluran-
cerna yang kosong memudahkan proses penyerapan kembali.
Protein serik,cadangan lemak dan protein sel yang bekerja di ginjal, merupakan parameter farmakokinetik yang
tergantung pada keadaan gizi.
Pada tikus, keadaan puasa yang lama dapat menurunkan penyerapan barbital dan asam salisilat.Ionisasi molekul
hidrofil memerlukan transfort aktif dan aktifitas sistem enzimatik dipengaruhi oleh transpor tersebut. Demikian pula volume
dan laju peredaran darah pada usus akan memperlambat proses penyerapan zat aktif.
Kekurangan protein dapat meningkatkan hepatotoksisitas senyawa tertentu dan frekuensi toksisitas terapetik lainnya .
Keadaan puasa pada tikus menyebabkan hambatan metabolisme oksidasi.

2.6.2.2.7. Ritme Biologi


Berbagai percobaan telah membuktikan bahwa ritme biologi sebagai sifat dasar makhluk hidup harus diperhatikan.
Kelenjar suprarenalis secara periodik menunjukkan aktivitasnya pada eosinofil.
Pada mencit, klordiazepoksid menunjukkan toksisitas maksimal bila diberikan antara jam 20.00 dan jam 02.00.
Pada manusia, histamin dan pembebas histamin menunjukkan efek maksimum jika penyuntikan intradermal dilakukan
pada jam 23.00, di saat pengeluaran kortikoid paling sedikit.
Waktu rata-rata pengeluaran salisilat tergantung pada saat pemberian. Kepekaan individu terhadap obat berkaitan
dengan suatu variasi siklus kadar obat yang tersedia dalam jaringan dan cairan tubuh, dan hal ini mempengaruhi variasi
aktivitas enzimatik dan pengeluaran air kemih.
Kelenjar suprarenal dapat menyebabkan regulasi singkat dari aktivitas enzim hati yang mempengaruhi metabolisme
obat.
Para klinisi dan farmakolog harus memperhatikan kepekaan penerimaan seseorang terhadap obat sebagai fungsi dari
ritme waktu.
Masalah kesahihan akan timbul pada percobaan toksisitas yang dilakukan tanpa mempertimbangkan waktu dan
percobaan untuk menentukan cara pemberian obat, terutama untuk obat lepas lambat.

2.6.3 FAKTOR PATOLOGIK


Keragaman kepekaan dan aktivitas obat telah dibuktikan pada berbagai spesies hewan.Kepekaan setiap individu
sepanjang waktu hidupnya merupakan akibat dari perbedaan biologik yang merupakan paduan dua tahap utama
farmakokinetik yaitu ketersediaan hayati dan perubahan hayati suatu obat.Jadi tidak mengherankan bila perbedaan kepekaan
tersebut tampak lebih nyata pada tubuh yang sakit karena fungsi organ yang terganggu.
Nasib suatu obat dapat dipengaruhi oleh faktor keadaan patologik pada semua tahap kehidupan yaitu penyerapan,
penyerapan kembali, transpor plasmatik, difusi penyebaran, degradasi dan peniadaan.Efek obat dapat diturunkan atau
ditingkatkan, namun penurunan lebih jarang terjadi dibandingkan peningkatannya.

2.6.3.1 Faktor penyulit dan penurun efek obat


Penurunan efek obat mungkin merupakan konsekuensi dari penyerapan yang jelek pada saluran cerna, pembuluh
darah atau peningkatan peniadaan melalui ginjal.

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 35


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

2.6.3.1.1 Absorpsi (penyerapan) di saluran cerna


Penyerapan di saluran cerna dapat terganggu oleh adanya perubahan transit, pengeluaran getah lambung dan keadaan
mukosa usus.
a. Transit
Peningkatan transit merupakan waktu kontak zat aktif dengan mukosa usus sehingga dapat mengurangi penyerapan.
b. Pengeluaran getah lambung
Asam klorida lambung mencegah penyerapan zat besi di dalam usus. Tidak adanya pengeluaran faktor intrinsik akan
menyebabkan penyerapan yang jelek dari vitamin B 12. Sedangkan tidak adanya pengeluaran getah empedu menghalangi
penyerapan vitamin K.
c. Keadaan mukosa
Adanya perlukaan pada mukosa usus akan menghambat penyerapan senyawa seperti arsenat pada pemberian yang
lama (mithridatisme).

2.6.3.1.2 Absorpsi (penyerapan) parenteral


Penyerapan parenteral hanya terjadi dalam keadaan renjatan, karena pada keadaan ini terjadi perlambatan peredaran
darah parifer. Hal ini juga terjadi pada jaringan yang mengalami oedema, misalnya pemberian pembius lokal pada penderita
beri-beri akan mengurangi aktivitas obat.

2.6.3.1.3 Eliminasi (peniadaan) lewat ginjal


Peningkatan peniadaan melalui ginjal yang disebabkan alkalosis atau asidosis dapat memperpendek lama-aksi obat,
oleh sebab itulah pembasaan tubuh merupakan pengobatan pilihan pada keracunan barbiturat.

2.6.3.2 Faktor penyulit dan peningkat efek obat


Peningkatan efek dapat disebabkan oleh penyerapan yang berlebihan, kemudahan difusi dan terutama oleh kegagalan
hati atau ginjal.

2.6.3.2.1 Absorpsi/ penyerapan


Penyerapan perkutan yang berlebih dipermudah oleh adanya perlukaan kulit baik karena terbakar, borok atau karena
perlukaan mukosa.

2.6.3.2.2 Difusi
Difusi penisilin dan streptomisin pada daerah otak dipermudah pada keadaan peradangan di daerah otak. Pada
keadaan meningitis dijumpai kadar zat aktif yang tinggi pada cairan sefalo-rakhidien, dan hal ini yang cukup efektif untuk
pengobatan.
Pada keadaan hipoproteinemia peningkatan obat bentuk bebas pada protein plasma akan meningkat. Dengan demikian
efek terapetik obat akan lebih nyata dibandingkan pemberian pada keadaan normal. Toksisitas obat karena pemberian dosis
berlebihan yang mendadak juga terlihat lebih nyata.
Keadaan asidosis atau alkalosis dapat mempermudah atau menghambat pembentukan ikatan obat pada reseptor-
reseptor.

2.6.3.2.3 Keadaan hati


Kegagalan fungsi metabolisme senyawa eksogen berbeda menurut keadaan hati penderita.Dalam kedaan sirosis hati
metabolisme yang berkaitan dengan adanya sitokrom P 450 tampak normal, walaupun kadar pigmen rendah. Klorfromazin
ditiadakan dalam bentuk yang tidak berubah.Dalam keadaan ini respon pada induksi karena pada keadaan sirosis, tubuh
sangat peka terhadap kerja antikoagulan.
Dalam keadaan ikterus karena hepatitis atau obstruksi dan sirosis, fungsi dari glukurokonyugasi dan sulfokonyugasi
akan menurun. Hal tersebut dapat meningkatkan waktu-tinggal sejumlah obat di dalam tubuh.
Hepatitis viral menurunkan kemampuan destruksi alkohol selama beberapa tahun.
Ikterus yang disebabkan oleh obstruksi akan menurunkan katabolisme klorpromazin, heksobarbital, amfetamin dan
kodein. Penimbunan garam-garam empedu yang merupakan inhibitor dari enzimatik bertanggung jawab pada keadaan
tersebut.

2.6.3.2.4 Keadaan ginjal


Keadaan ginjal dan penurunan klirens oleh ginjal akan mempertahankan keberadaan obat di dalam tubuh. Penimbunan
obat terjadi lebih nyata dan konsentrasinya akan meningkat sampai mencapai konsentrasi toksik (kasus streptomisin,
kolistin).
Selain itu kegagalan fungsi ginjal akan menyebabkan hidro-elektrolitik berat yang dapat mengganggu siklus fase
farmakokinetik.
Pemberian obat-obatan pada penderita ginjal harus dilakukan secara hati-hati dengan mengurangi dosis obat. Hal ini
akan lebih baik bila menggunakan obat-obatan yang dimetabolisme di hati (amobarbital, sekobarbital), sedangkan pada
penderita hepatitis akan lebih disukai menggunakan senyawa yang dikeluarkan melalui ginjal (barbital). Jadi perlu dipilih
satu diantara serangkaian obat yang metabolismenya tidak tergantung pada organ yang luka.

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 36


BAB 2. DASAR FISIOLOGIK PERJALANAN DAN NASIB OBAT DI DALAM TUBUH

2.6.3.2.5 Hubungan endokrin dan metabolisme


Karena besarnya hubungan antara hormon dengan proses metabolisme maka kurang berfungsinya endokrin akan
mengganggu metabolisme obat.
Tiroksin dan hormon tiroid dapat menurunkan kadar sitokrom P 450 dan menghambat metabolisme bahan-bahan
eksogen misalnya amfetamin, depresan dan antidepresan pada sistem saraf. Dengan demikian aktivitas dan toksisitas obat-
obat tersebut akan meningkat.

2.6.4 FAKTOR LINGKUNGAN


2.6.4.1 Makanan dan diit
Telah diketahui pentingnya pengaruh keadaan nutrisi dan keadaan kekurangan makanan terhadap efek obat.Telah
terbukti bahwa kekurangan makanan (vitamin, garam-garam mineral dan sebagainya) dapat menghambat fungsi tubuh dan
metabolisme obat.
Aspek lain yang terkait adalah adanya makanan dalam jumlah banyak. Adanya bahan tambahan dan terutama adanya
bahan pencemar.Selajutnya timbul masalah baru yang berkaitan dengan lingkungan yang berpengaruh pada efek obat-obatan.
Insektisida organoklorat memiliki sifat-sifat induksi enzimatik. Keadaan ini akan meningkatkan kepekaan
metabolisme substansi eksogen dalam mikrosom hati.

2.6.4.2 Toksikomania (kecanduaan)


Walaupun kasus kecanduan tidak banyak, namun pada pecandu alkohol dan rokok maka tahap-tahan metabolisme
tertentu dapat dipengaruhi.Alkohol mempengaruhi klirens obat oleh ginjal dan alkohol dapat merupakan induktor pada
alkohol dehidrogenase.Dalam waktu yang lama, kecanduan alkohol dapat menyebabkan berbagai keadaan patologik
misalnya terjadinya sirosis.
Rokok berbahaya, terutama bagian asapnya dan hidrokarbon yang terkandung. Karbon oksida berpengaruh pada
sitokrom P450 dan akan menurunkan hidroksilasi dari anilin hidrokarbon polisiklik yang bersifat induktor.
Akhirnya pengobatan sendiri juga harus dibatasi karena dapat menimbulkan efek kecanduan.

2.6.4.3 Cemaran udara dan air


Jika kita dapat membuktikan beberapa akibat pencemaran udara seperti CO, hidrokarbon dan sebagainya maka sulit
dijelaskan keadaan reaksi dalam tubuh akibat adanya pencemar tersebut.Demikian pula dengan runutan pencemar dalam air.

2.6.4.4 Faktor meteorologi


Faktor meteorologi (sinar, suhu, kelembaban, udara) dan perubahannya yang tiba-tiba dapat mempengaruhi
kompartemen tubuh yang berperan langsung pada metabolisme atau mempengaruhi ritme biologik.
Radiasi ion-ion mempunyai aksi yang lebih kompleks karena radiasi mempunyai kecenderungan untuk mengaktifkan
metabolisme dari senyawa eksogen.Radiasi tersebut meningkatkan pembentukan NADPH dan dapat menghambat oksidasi
mikrosom.

2.6.4.5 Stres dan kelelahan


Beberapa peneliti telah mengungkapkan bahwa keadaan hewan percobaan memperngaruhi molekul-molekul
eksogen.Apa pemikiran selanjutnya terhadap cara hidup sekarang?

2.6.5 KESIMPULAN
Tubuh mempunyai kemampuan yang nyata untuk mengubah molekul obat dan senyawa asing lainnya secara bertahap.
Tetapi terdapat sejumlah faktor penyulit yang berpengaruh pada proses metabolisme, baik faktor endogen yang
berkaitan dengan individu, sifat genetik dan keadaan patologinya, maupun faktor eksogen yang berkaitan dengan lingkungan.
Sering dijumpai, laporan pengungkapan akibat pangaruh faktor tersebut tetapi tanpa menganalisa hal-hal yang
terkait.Kadang- kadang sulit diketahui sumber timbulnya faktor penyulit tersebut, karena sejumlah faktor dapat beraksi
secara bersamaan. Oleh sebab itu pemahaman proses interaksi sangat diperlukan agar obat dapat digunakan dalam keadaan
yang tepat.

MG – Biofarmasi Fakultas Farmasi UTND Medan - 2015 37

Вам также может понравиться