Вы находитесь на странице: 1из 5
~*~) h US ae A _ —_ - * Mengubah Energi Sisa Menjadi Prioritas Utama Sayyid Quthb mengatakan, “Orang yang hidup pa,. dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdj dan mati sebagai orang kerdil. Tapi Orang yan hidup bagi orang lain akan hidup sebagaj Orang besar dan mati sebagai orang besar.” Sebentar. Kira-kira kita selama ini masuk kategori mana: kerdil atau besar? Berapa waktu yang kita gunakan untuk memikirkan dan mengelola dakwah, tarbiyah dan kemajuan umat? Berapa pengorbanan yang kita berikan untuk “memer- dekakan” diri kita Gari belenggu egoisme pribadi? Maaf, barangkali kita sangat disibukkan dengan masalah- masalah diri kita sendiri, repot dengan keluarga, bingung mengelola organisasi, stress mengelola waktu, nervous memangj potensi sehingga kita kehilangan banyak sekali momentum di sekitar kita. Banyak saudara-saudara kita terjerumus narkoba, bahkan banyak pula anak-anak yang jadi korban. Banyak tetangga kita teraniaya karena ketidak pedulian kita. Bahkan, naudzubillah, banyak para simpatisa® dan kader yang merindu dibina malah kita “binasakan” karen@ Adak-serjus mengelolanya, $e by ‘ iene Pe Kaidah Sayyid Quthb di atas tak saja berlaku bagi kehidupan individu. Sama sekali tidak. Tapi bisa merambah ranah amal jama’i ketika amal islami kita tak beranjak dari “kesibukan berkutat masalah diri sendiri.” Ini kaidah umum untuk menggesa potensi keshalihan menjadi kontribusi kebaikan. Maka simak juga keprihatinan Syakib Arselan, pemikir Muslim asal Syiria yang menulis buku Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Orang Barat Maju. Ia menjelaskan jawaban itu dengan kalimat sederhana tapi mengena, “Karena orang-orang Barat lebih banyak berkorban daripada kaum Muslimin. Mereka memberi lebih demi agama mereka ketimbang apa yang diberikan kaum Muslimin bagi agamanya’’ (Tarbawi ,edisi 5 Th.1) Nah Iho, kena juga kita. Berarti....? Ya, selama ini barangkali kita belum serius seserius merexa. Padahal ini sudah diperingatkan Allah dalam Al-Qur’an mulai dari Al- Baqarah 120, 217; At-Taubah 32-33; Ash-Shaff, Al-Fath; dan Surat Jumu’ah. Semua berbicara tentang “keseriusan mereka” dalam menghalangi kaum Muslimin untuk memajukan laju agamanya. Dan itu sudah kewajiban mereka untuk berbuat seperti itu, nggak salah, justru menegaskan kekafiran mereka. Makanya jangan hanya “sekadar marah” lalu kecewa dan lupa, tapi bagaimana kita selama ini menggunakan seluruh potensi, waktu, dan tenaga kita? Maka tunjukkan dong keislaman kita jangan sekadar berkoar-koar saja! Maka, kalau yang kita gunakan hanyalah waktu sisa, tenaga-tenaga ampas saia, pikiran-pikiran kosong semata, me n kecil saja dari harta, masak kita berharap has i mac ikau, wahai Saudaraky, ima? Ah mengada-ada D’ . 3 eee kita beranjak dari sisa Se tenai ns energi prima dengan mendahsyatkan sega a Pt yang ada, Menurut KH. Hilmy Aminuddin dal am memaknaj tajarrud sebagai ketulusan pengabdian Kader davah bukanlah meninggalkan semuanya demi da wah, tapi membawa semuanya demi kejayaan dakwah. Maka kalau kita berpikir quantum, maka tak ada lagi waktu untuk berleha-leha. Sebab setiap waktu adalah mo- mentum tarbiyah, minimal bagi diri kita. Termasuk memberdayakan energi ibadah untuk meningkatkan kualitas diri dan percaya diri. Sebab ibadah yang kita lakukan akan menjadi energi, kekuatan yang tak pernah henti, nyali yang nggak mati-mati, maupun ide yang tak layu lalu pergi. Kata Utsman bin Affan, “Bila hati bersih, maka ia tidak akan kenyang untuk terus membaca Al-Qur’an.” ~ Karena setiap ibadah yang kita lakukan, apabila digali dengan sepenuh kontemplasi akan mampu menghasilkan kebaruan yang tak Pernah padam. Semuanya. Shalat, puasa, zakat, haji, tilawah, ziarah, dan semua aktivitas tarbiyah untuk mendahsyatkan jiwa. Maka aneh bin hyata kalau tapi usahanya asal-asal, menyindir kita dengan ce Orang ingin hasil yang maksimal an saja. Yahya bin Mu’adz rdik, begini: “Menurutky ada e F . , nai k Nsipuan Paling besar. m hal yang termasu | pertama, mengharap ampunan dari Allah tapi terus. a menerus melakukan dosa tanpa penyesalan. ae ,Kedua, merasa dekat dengan Allah tetapi ti 2 mmelakukan ketaatan. etapi tidak , Ketiga, menunggu tanaman surga tetapi selalu menyemai penih amalan neraka. 4. Keempat, mencari istana orang-orang yang taat tetapi selalu berbuat maksiat. 5. Kelima, menanti pahala tapi tak mau beramal. 6. Keenam, mendambakan kasih sayang Allah tetapi selalu melanggar ketentuan-Nya. Karena tarbiyah tak bisa dikelola dengan tenaga sisa, maka saatnya untuk mengubah cara pandang kita. Yakni menciptakan suasana tarbiyah yang menyenangkan bukan membosankan, tilawah yang melembutkan jiwa bukan membuat gundah gulana, taushiyah yang me nggugah bukan membuat orang jengah atau ogah sehingga memilih tidur saja, program yang cerdas dan jnovatif bukan pasif, serta pengembangan diri yang integratif. Kita bisa belajar dari Mush’ab bin Umair yang all-out untuk menjadi da’i, dan duta pertama Islam, mengubah Yatsrib menjadi Madinatul Hijrah, Madinatul Munawarah, Kota yang penuh cahaya. Atau belajar dari Khalid bin Walid yang menghabiskan seluruh waktunya untuk berjihad, “Berada di suatu malam yang sangat dingin untuk berjihad di jalan Allah lebih aku senangi daripada Mendapatkan hadiah seorang pengantin di malam Pengantin.” BR pa bayangkan dulu sebentar perbandingan ini, Stop! Mi fara heran bila saking cintanya Khalid unty, berithad sehingga ia tidak begitu banyak hafalan Qur’annya “Jihad telah menyibukkan aku dari Al-Qur’an.” But, ini bukan untuk justifikasi, alasan kita untuk nggak sempat tilawah dan hafal qur’an. Sebab kesibukan kita sesungguhnya tak sesibuk Khalid dan kita pun barangkali masih lebih memilih bermalam indah dengan pengantin baru daripada berdingin gelap berjihad di jalan Allah. Dan uniknya, benar-benar unik, justru kita bisa khatam satu juz sehari pada saat mukhoyam, padahal saat itu sedang disibukkan dengan aneka program yang menyita seluruh energi kita. Di saat mukhoyam bisa kok saat longgar tak bisa? Tentu untuk bisa khatam satu juz sehari tak perlu menunggu instruksi mukhoyam. Kembali kepada diri sendiri: mau atau tidak mendahsyatkan diri?! Demikian juga untuk berprestasi tak perlu harus menginap dulu di “madrasah Nabi Yusuf” sebagai para ulama dahulu. Justru sekaranglah, gunakan seluruh waktu kita untuk berkarya, semaksimal kemampuan kita. Sebelum maksimal jangan gampang mengeluh lelah maupun berkeluh kesah.

Вам также может понравиться