Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB I
PENDAHAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam aplikasi budi daya para petani ikan biasanya melakukan pemeliharaan
terhadap induk ikan yang diperoleh dari hasil budi daya dengan cara induk jantan
dan betina dipelihara secara terpisah. Hal ini lebih memudahkan dalam
pengelolaan, pengontrolan, dan yang terpenting dapat mencegah terjadinya
memijah di luar kehendak ”mijah maling”. Kolam induk berupa kolam tanah,
kolam tembok, atau kolam tanah dengan pematang dari tembok. Tidak ada
ketentuan khusus tentang ukuran kolam untuk pemeliharaan induk. Biasanya
kolam induk hanya disesuaikan dengan kondisi lahan dan keuangan.
Untuk memudahkan dalam pengelolaan dan efisiensi penggunaan kolam,
maka luas kolam induk jantan dan betina masing-masing berkisar 15–30 meter
ersegi. Setiap kolam dilengkapi dengan saluran pemasukan dan pengeluaran air.
Di kedua saluran ini biasanya dilengkapi dengan saringan agar induk-induk
tersebut tidak keluar atau kabur. Kepadatan penebaran induk antara 3–4 kg/m2,
sedangkan ketinggian air dikolam induk antara 60–75 cm. Agar diperoleh
kematangan induk yang memadai, setiap hari induk di beri pakan bergizi. Jenis
pakan yang diberikan berupa pakan buatan berupa pelet sebanyak 3–5 % perhari
dari bobot induk yang dipelihara.
Hal yang perlu dilakukan dalam mengelola kualitas air kolam induk yaitu
dengan pergantian air seminggu sekali atau ketika kualitas air sudah menurun dan
melakukan pengukuran parameter kualitas air.
Tabel. Kisaran optimum parameter kualitas air sesuai SNI
No. Kisaran Optimum Parameter Kualitas Air
1. Suhu : 25 - 30 °C
2. pH : 6,5 - 8,5
3. Oksigen terlarut : > 4 mg/l
4. Kecerahan : 25 - 30 cm
5. Ammonia (NH3) : < 0,01 mg /l
Hal yang perlu dilakukan dalam memantau kesehatan induk adalah
Melakukan pengamatan visual setiap hari untuk memeriksa adanya gejala
penyakit yang menyerang induk ikan (kondisi ikan aktif atau berada dipermukaan
air, gerakan ikan agresif, tubuh ikan apakah terdapat penyakit), Menggunakan
sistem biosecurity pada area budidaya untuk mencegah masuk dan
menyebarnya patogen pada unit budidaya dengan cara membuat pagar keliling di
area budidaya, memasang tempat cuci tangan dan foot bat di depan pintu masuk
area budidaya, mencuci bersih peralatan kerja sebelum dan sesudah digunakan
dan meningkatkan sistem kekebalan induk melalui aplikasi imunostimulan,
probiotik dan vitamin.
5
Agar dapat memperoleh produktivitas yang tinggi dalam budidaya ikan harus
dilakukan seleksi terhadap ikan yang akan digunakan. Seleksi menurut Tave
(1995) adalah program breeding yang memanfaatkan phenotipic variance
(keragaman fenotipe) yang diteruskan dari tetua kepada keturunannya. Keragaman
fenotipe merupakan penjumlahan dari keragaman genetik, keragaman lingkungan
dan interaksi antara variasi lingkungan dan genetik. Seleksi merupakan aplikasi
genetik dimana informasi genetik dapat digunakan untuk melakukan seleksi.
Seleksi ikan yang paling mudah dilakukan oleh para pembudidaya ikan adalah
melakukan seleksi fenotipe dibandingkan dengan seleksi genotipe. Seleksi
fenotipe dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu seleksi fenotipe kualitatif dan
seleksi fenotipe kuantitatif.
Menurut Tave (1986), seleksi fenotipe kualitatif adalah seleksi ikan
berdasarkan sifat kualitatif seperti misalnya warna tubuh, tipe sirip, pola sisik
ataupun bentuk tubuh dan bentuk punggung, dan sebagainya yang diinginkan.
Fenotipe kualitatif ini merupakan sifat yang tidak dapat diukur tetapi dapat
dibedakan dan dikelompokkan secara tegas. Sifat ini dikendalikan oleh satu atau
beberapa gen dan sedikit atau tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Sedangkan seleksi fenotipe kuantitatif adalah seleksi terhadap penampakan ikan
atau sifat yang dapat diukur, dikendalikan oleh banyak pasang gen dan
dipengaruhi oleh lingkungan. Adapun ciri-ciri atau parameter yang dapat diukur
antara lain adalah panjang tubuh, bobot, persentase daging, daya hidup,
kandungan lemak, protein, fekunditas, dan lain sebagainya.
Untuk dapat melakukan pemijahan ikan pada beberapa jenis ikan budidaya
maka harus memahami tentang tingkat kematangan gonad dan faktorfaktor yang
sangat berpengaruh terhadap kematangan gonad. Hal ini harus dipelajari karena
tingkat kematangan gonad ikan sangat mempengaruhi keberhasilan pemijahan
ikan. Walaupun saat ini telah banyak diketemukan hormon-hormon perangsang
pertumbuhan dan pematangan gonad, namun tetap saja membutuhkan waktu
dalam proses pertumbuhan dan pematangannya. Tingkat kematangan gonad ikan
dapat dideteksi dengan melihat tanda-tanda morfologi dan fisiologi sel telur atau
sel sperma. Tanda-tanda morfologis ikan matang gonad untuk ikan betina antara
lain gerakannya lamban, perut gembung, perut bila diraba terasa lunak, kulit
kadang kelihatan memerah, kadang- kadang telur telah keluar pada lubang genital,
lubang genital memerah. Tanda-tanda sel telur matang secara fisiologis adalah:
Polar Body I telah keluar, Germinal Vesicle/GV (Inti sel) telah menepi berada di
depan microfile, warna telur telah transparan, ukuran telur mendekati 1 mm.
Sejenak sebelum Ovulasi GV akan melebur sehingga disebut Germinal Vesicle
Break Down (GVBD).
6
Hatching rate (HR) adalah daya tetas telur atau jumlah telur yang menetas.
Penetasan telur dapat disebabkan oleh faktor gerakan telur, perubahan suhu,
intensitas cahaya, dan kadar oksigen terlarut. Dalam penekanan mortalitas telur,
yang banyak berperan adalah faktor kwantitas air dan kualitas telur selain
penanganan secara intensif. Untuk mendapatkan nilai HR sebelumnya dilakukan
sampling larva untuk mendapatkan jumlah total larva yang berhasil menetas. Nilai
satuan Hatching Rate dinyatakan dengan persen (%). Rumus Hatching Rate
adalah sebagai berikut:
Jumlah telur yang menetas (ekor )
HR x 100%
Jumlah telurt yang terbuahi
Larva yang telah menetas biasanya berwarna hijau dan berkumpul didasar
bak penetasan. Untuk menjaga kualitas air, maka sebaiknya selama pemeliharaan
dilakukan pergantian air setiap 2 hari sekali sebanyak 50-70 %. Pergantian air ini
dimaksudkan untuk membuang kotoran, seperti sisa cangkang telur atau telur
yang tidak menetas dan mati. Kotoran-kotoran tersebut apabila tidak dibuang akan
mengendap dan membusuk di dasar perairan yang menyebabkan timbulnya
penyakit dan menyerang larva. Pembuangan kotoran tersebut dilakukan secara
hati-hati agar larva tidak stress atau tidak ikut terbuang bersama kotoran.
Pada saat ikan berumur 6 hari, maka dapat diberikan pakan berupa Daphnia
sp (kutu air), Tubifex sp (cacing sutra) atau Artemia sp. Pakan tersebut diberikan
secara adlibitum dengan frekuensi 5 kali dalam sehari dan agar tidak mengotori
air pemeliharaan, maka diusahakan tidak ada pakan yang tersisa.
Tata letak kolam merupakan syarat penting di dalam usaha pembenihan dan
erat hubungannya dengan rencana kapasitas produksi serta jenis teknologi yang
diterapkan dalam skala usaha.Untuk kelancaran kegiatan operasional pembenihan,
tata letak bangunan, perkakas, dan peralatan harus disesuaikan dengan fungsi dan
urutan kerjanya. Bangunan yang termasuk sebagai sarana pokok harus terpisah
dari bangunan sarana penunjang dan pelengkap. uatu unit pembenihan ikan harus
mempunyai fasilitas yang lengkap, termasuk peralatan-peralatan yang diperlukan
untuk pengoperasiannya. Sebelum menentukan fasilitas yang diperlukan dalam
pengoperasian suatu unit usaha pembenihan ikan, hendaknya memperhatikan:
jenis ikan yang akan dipelihara, ukuran ikan yang dihasilkan, sistem produksi,
target produksi, sistem pemberian pakan (alami/buatan), dan sistem
penyebaran/pemasaran hasil.
Waktu yang tepat untuk menebar benih lele adalah pagi hari (pukul 08.00-
09.00) atau sore hari (pukul 15.30-16.30). Diperkirakan pada waktu-waktu
tersebut suhu air tidak terlalu panas (stabil). Benih yang sudah ditebar tidak
8
langsung diberi pakan. Sebaiknya puasakan benih selama sehari. Setelah itu baru
diberi pakan. Padat tebar adalah jumlah benih yang ditebar per luas atau volume
kolam. Berdasarkan pengalaman beberapa pelaku budi daya lele, padat tebar yang
diterapkannya 200-400 ekor/m2. Artinya, setiap luas kolam 1 m2 dengan
kedalaman 80-100 cm dapat dipelihara 200-400 ekor benih. Benih yang baru tiba
di kolam sebaiknya jangan langsung ditebar, akan tetapi diadaptasikan terlebih
dahulu (aklimatisasi) agar benih tidak stress akibat perbedaan suhu antara air
dalam wadah pengangkutan dengan air di kolam barunya. Benih yang stress
berpeluang besar menjadi lemah, terkena penyakit, bahkan mati.
Setelah benih ikan dipanen dari kolam pendederan, benih ikan tersebut
ditampung terlebih dahulu sebelum dipasarkan. Ukuran dan jumlah kolam
tergantung dari jenis dan ukuran ikan, waktu penangkapan/penjualan ke pasar, dan
skala usaha. Kolam penampungan benih dapat berukuran 500-2000 m2 (Kovari,
1983). Pada kolam ini kualitas air harus diperhatikan kandungan oksigen minimal
3 ppm, air harus mengalir dan selalu berganti dengan debit 10-15 lt/detik. Untuk
mengantisipasi fluktuasi suhu, kedalaman kolam ini antara 50-70 cm. Sebagai
penunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan pada fase benih, pakan bisa
diberikan berbentuk crumble dengan presentase pemberian 3% dari bobot total
ikan.
9
BAB III
EVALUASI
11. Kendala apa saja yang biasa terjadi dalam kegiatan pembenihan ?
4. Penyebab utama gurami menjadi ikan mahal, adalah permintaan yang selalu
lebih tinggi dari pasokan. Orang senang dengan gurami karena tekstur dan
rasa dagingnya yang lembut dan lezat. Pada jaringan dagingnya juga tidak
terdapat duri-duri halus seperti halnya ikan mas dan bawal air tawar. Selain
11
itu, rongga perut ikan ini sangat kecil dibanding ikan air tawar lain. Dengan
cara ini pembesaran burayak gurami sampai menjadi putihan untuk ditebar di
kolam pembesaran, akan memakan waktu hampir satu tahun. Kemudian
dengan pakan daun talas, pembesaran putihan ukuran 5 cm. sampai menjadi
ikan konsumsi bobot 0,5 kg, diperlukan waktu lebih dari 1 tahun. Hingga
untuk menghasilkan gurami konsumsi bobot 0,5 kg, diperlukan waktu sekitar
2 tahun sejak pembenihan, sungguh waktu yang sangat lama.
Keterangan :
SGR = Laju pertumbuhan
Wt = Bobot rata-rata benih pada saat akhir pemeliharaan
Wo = Bobot rata-rata benih saat awal tebar
T = lamanya waktu selama pemeliharaan
Contoh untuk menghitung SGR
diketahui
Bobot rata-rata benih pada saat akhir pemeliharaan = 0,3
Bobot rata-rata benih saat awal tebar = 0,001
lamanya waktu selama pemeliharaan = 90
maka untuk menghitung SGR nya adalah
9. Agar larva ikan tidak mengalami stess bisa diatasi dengan cara
penanganan Tahap penanganan larva yang baik yaitu:
1. Mempersiapkan air kolam dengan cara mengisi dengan ketinggian
sekitar 60cm, dan endapkan kurang lebih 1 minggu. Diberi probiotik
juga lebih baik dan diberi pelindung seperti paranet, hal ini guna
menjaga suhu air tetap stabil.
2. Mempersiapkan Bibit dan Penebaran Yang benar, Usahakan bibit
berasal dari pembudidaya yang sudah berpengalaman, ukuran bibit
harus seragam, bibit lele fisiknya harus sempurna dan terlihat sehat, dan
dari indukan bersertifikat.
3. Pemberian pakan yang berkualitas
4. Memperhatikan jumlah padat tebar
13
11. Rusaknya kualitas air akibat polusi lingkungan dan sanitasi yang buruk,
pemberian pakan buatan secara intensif dan tidak memperhatikan konversi
pemberian dapat berdampak buruk bagi kualias air, kesalahan penanganan
pasca panen dan turunnya harga ikan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Alabaster, J.S. dan R. Lloyd. (1984). Water Quality Criteria for Freshwater Fish.
Second edition. London: Butterworth Scientific.
Boon, J.H.; M. Ooms; Th. Wensing dan E.A. Huisman. (1987). Some Aspects of
Gas Bubble Disease in African Catfish (Clarias gariepinus, Burchell
1822). Neth. J. of Agricult. Science, (in press).
Boyd, C. (1979). Water Quality in Warm Water Fish Ponds. Alabama, USA.:
Auburn University Press.
Brett, J.R. (1979). Environmental Factors and Growth. In: W.S. Hoar; O.J.
Randall and J.R. Brett (Editors). Fish Physiology Vol. VIII. New York:
Academic Press.
15
Burdick, G.E.; E.J. Harris; H.J. Dean; T.M. Walker; J. Skea dan D. Cosby. (1964).
The Accumulation of DDT in Lake Trout and the Effect on Reproduction.
Trans. Am. fish. Soc.
Burrows, R.E. (1964). Effects of Accumulated Exoretory Products on Hatchery
Reared Salmonids. Bureau of Sport Fisheries and Wildlife. Res. Rep. No.
66.
Chiba, K. (1965). A study on the Influence of Oxygen Concentration on the
Growth of Juvenile Common carp. Bull. Freshw. Fish. Res. Lab.
Colt, J.E. dan G . Tchobanoglous. (1979). Design of Aeration Systems for
Aquaculture. In: L.J. Allen and E.C. Kinney (Editors). Proc. Bio-
Engineering Symp. for Fishculture. Am. Fish. Soc., FCS publ. 1.