Вы находитесь на странице: 1из 65

Gangguan kepribadian skizotipal adalah suatu gangguan psikiatri yang tergolong serius, dimana gambaran

pentingnya adalah pola defisit sosial dan interpersonal pervasif yang ditandai dengan ketidaknyamanan mendadak
dengan orang lain dan berkurangnya kapasitas untuk membangun suatu hubungan yang dekat. Pasien skizotipal
menunjukkan bentuk distorsi kognitif serta persepsi dan perilaku eksentrik yang dimulai pada masa dewasa awal.
Individu dengan gangguan kepribadian skizotipal biasanya tampak aneh dan sangat mencolok. Mereka memiliki
pemikiran yang ajaib/magis, ide-ide yang ganjil, ilusi, dan derealisasi yang biasa mereka tunjukkan berupa
kepercayaan pada indera ke enam, telepati, merasa bahwa dirinya memiliki kekuatan pikiran, serta memiliki fantasi
yang aneh. Kadangkala isi pikiran mereka dipenuhi fantasi yang berkaitan dengan ketakutan dan fantasi yang
biasanya hanya muncul pada masa kanak-kanak.
2.2 Epidemiologi
Studi penelitian pada komunitas gangguan kepribadian skizotipal melaporkan bahwa prevalensi kasus tersebut
dalam populasi klinis terlihat jarang (0%-1.9%), dengan estimasi prevalensi tertinggi pada populasi umum sebesar
3.9% yang dilaporkan oleh National Epidemiologic Survey on Alcohol and Related Conditions.
Berdasarkan studi prevalensi yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa prevalensi seumur hidup dari kasus
gangguan kepribadian skizotipal ini lebih banyak pada laki-laki, pada perempuan berkulit hitam, individu dengan
income yang rendah, dan individu dengan riwayat perceraian ataupun perpisahan.
2.3 Etiologi
 Genetik
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 15.000 pasangan kembar di Amerika Serikat, antar-kembar monozigot,
insidennya jauh lebih tinggi beberapa kali dibandingkan kembar dizigot. Begitu juga dengan kembar monozigot baik
yang diasuh bersama ataupun yang diasuh terpisah akan menunjukkan kesamaan, berupa ukuran kepribadian,
temperamen, minat pekerjaan, pengisian waktu luang, serta sikap sosial. Selain itu juga lazim juga ditemukan
gangguan kepribadian klaster A, terutama skizotipal ini pada pasien yang memiliki riwayat keluarga penderita
skizofrenia.
 Psikososial
Pembentukan kepribadian terjadi selama masa pertumbuhan anak dan paling sering di lingkungan rumah.
Ketidaksempurnaan lingkungan rumah akan mengarah ke pembentukan suatu gaya kepribadian. Lingkungan rumah
yang secara signifikan bersifat maladaptif, traumatis, dan merusak psikis anak dapat berpotensi menimbulkan
gangguan kepribadian yang beragam pada awal masa dewasa. Hal-hal tersebut dapat berupa trauma berat yang
terjadi di rumah, seperti orang tua meninggal, kurangnya kehangatan emosional di rumah, dan rumah seakan kaku,
dingin, formal sehingga anggota keluarga hampir tidak merasa aman. Selain itu, komunikasi antar orang tua yang
terputus-putus, pola kebiasaan orang tua untuk menginvestigasi anak dalam hal pemberian hukuman yang kurang
baik, dan tidak terpenuhinya tanggung jawab orang tua dalam merawat anak menyebabkan komunikasi dan interaksi
sosial antar anggota keluarga memburuk. Pada beberapa keluarga, sering juga ditemukan orang tua yang memiliki
pengetahuan magis yang dapat memberikan pengajaran kepercayaan yang salah pada anak. Hal inilah yang dapat
berpotensi merusak pembentukan kepribadian anak saat masih dalam masa perkembangan mental.
2.4 Gambaran Klinis
Orang dengan gangguan kepribadian skizotipal akan menunjukan suatu bentuk komunikasi dan pikiran yang
terganggu. Meskipun tidak ada gangguan pikiran sebenarnya, namun pembicaraan mereka bersifat khas dan aneh
yang hanya dapat dimengerti maknanya oleh sesama pasien sendiri dan sering membutuhkan interpretasi terlebih
dahulu. Salah satu khas dari gambaran pasien skizotipal adalah adanya kepercayaan pasien terhadap tahayul dan
keyakinan bahwa kekuatan peramal itu ada dan merek percaya bahwa mereka memiliki kekuatan khusus lain berupa
pikiran. Pasien juga cenderung memiliki dunia sendiri yang berisi khayalan dan ketakutan layaknya seperti anak-
anak. Pasien juga kerap mengakui adanya ilusi persepsi atau makropsia, misalnya melihat orang lain tampak seperti
kayu.
Individu dengan gangguan skizotipal mungkin tidak mengetahui perasaan mereka sendiri namun sangat
sensitif terhadap perasaan atau reaksi orang lain terhadap dirinya, terutama reaksi yang negatif seperti rasa marah
atau tidak senang. Kadangkala cara bicara mereka sangat aneh dan ganjil sehingga hanya diri mereka sendiri yang
mampu mengerti artinya. Khas lain dari pasien dengan gangguan kepribadian skizotipal adalah mereka memiliki
kemampuan yang rendah dalam berinteraksi dengan orang lain sehingga hubungan interpersonalnya buruk sekali.
Mereka terisolasi secara sosial. Tingkah laku yang aneh itu akhirnya membuat mereka kerap dikucilkan dan tidak
memiliki banyak teman.
Gejala gangguan kepribadian skizotipal ini menunjukan suatu bentuk laten dari skizofrenia. Apabila berada di bawah
tekanan, pasien skizotipal akan dapat mengembangkan tingkah laku psikotik dan akan tampak seperti penderita
skizofrenia, hanya bedanya pada individu ini gejala psikotik tersebut hanya tampak dalam waktu yang singkat dan
segera menghilang. Kadangkala terapis harus lebih berhati-hati menegakkan antara skizotipal atau skizofrenia.
Pasien dengan gejala yang lebih berat dapat megalami depresi dan anhedonia.
2.5 Diagnosis
Pasien dengan gangguan kepribadian skizotipal sulit dianamnesis dikarenakan cara berkomunikasi kepada pasien
yang tidak lazim. Namun, kasus ini dapat didiagnosis dari gejalanya, berupa keanehan berpikir, perilaku, dan
penampilan pasien. Berikut adalah kriteria diagnostik skizotipal.
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Kepribadian Skizotipal
A. Pola defisit sosial dan interpersonal pervasif yang ditandai dengan ketidaknyamanan mendadak dan berkurangnya
kapasitas untuk membangun hubungan yang dekat disertai distorsi kognitif serta persepsi dan perilaku eksentrik
yang dimulai pada masa dewasa awal dan dalam berbagai konteks kehidupan, seperti yang ditunjukkan oleh lima
(atau lebih) hal berikut ini:
(1) ide-ide referensi (tidak termasuk waham rujukan)
(2) keyakinan aneh atau pikiran magis yang memengaruhi perilaku dan tidak konsisten dengan norma subkultural
(cth., keyakinan pada tahayul, telepati, peramal, atau “indera keenam”; pada anak dan dewasa, khayalan atau
preokupasi yang bizar)
(3) pengalaman persepsi yang tidak baisa, termasuk ilusi yang berkaitan dengan tubuh
(4) pikiran dan pembicaraan yang aneh (cth., samar berputar, metaforis, stereotipik, atau terlalu terinci)
(5) kecurigaan atau gagasan paranoid
(6) afek menyempit atau tidak sesuai
(7) perilaku atau penampilan ganjil, eksentrik, atau aneh
(8) tidak memiliki teman dekat atau orang kepercayaan
(9) ansietas sosial yang berlebihan dan tidak menghilang dengan keakraban dan cenderung disertai dengan rasa
takut paranoid daripada penilaian negatif mengenai diri sendiri
B. Tidak hanya terjadi selama perjalanan gangguan skizofrenia, gangguan mood dengan ciri psikotik,atau gangguan
psikotik lainnya serta tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung atau suatu keadaan medis umum
Catatan: jika kriteria terpenuhi sebelum onset skizofrenia, tambahkan “pramorbid”, cth “ gangguan kepribadian
skizotipal (pramorbid)

2.6 Diagnosis Banding


Individu dengan gangguan kepribadian skizotipal dapat dibedakan dengan pasien skizofrenia dengan tidak
adanya gejala psikotik yang berlangsung lama dan stabil terus, walaupun gejala tersebut muncul pada individu
dengan kepribadian skizotipal, namun pada skizotipal biasanya berlangsung dalam waktu yang singkat dan segera
menghilang. Sedangkan perbedaan gangguan ini dengan gangguan kepribadian paranoid adalah tidak tampak
adanya tingkah laku yang aneh dan ganjil pada individu dengan kepribadian paranoid. Pada paranoid terdapat khas
kecurigaan berlebihan, namun tidak didapatkan adanya perilaku yang aneh pada pasien.
Pasien dengan gangguan kepribadian skizotipal dan menghindar juga menunjukkan gejala yang hampir sama,
misalnya keanehan pasien yang dapat dilihat dari perilaku, cara berpikir, persepsi dan komunikasi. Selain itu adanya
riwayat keluarga skizofrenia yang jelas juga terdapat pada gangguan kepribadian menghindar. Adanya rasa takut
terhadap penolakan karena pasien kehilangan keinginan untuk membangun hubungan dengan orang lain. Pasien
dengan gangguan delusi dan gangguan mood juga menunjukkan dengan gambaran psikosis. Perubahan kepribadian
dan penyalahgunaan substansi kronis karena kondisi medis umum juga dapat dipertimbangkan. Gangguan
kepribadian skizoid juga hampir menyerupai skizotipal, namun tidak disertai tingkah laku aneh, eksentrik dan distorsi
kognitif dan persepsi. Pada gangguan kepribadian narsisistik juga menunjukkan hilangnya keinginan utk membentuk
suatu hubungan dengan alasan takut terlihat tidak sempurna di hadapan orang lain.
2.7 Tatalaksana
2.7.1 Psikoterapi
Klinisi harus sensitif saat menghadapi pasien dengan gangguan kepribadian skizotipal. Terapis tidak boleh
menganggap konyol aktivitas tersebut atau menjadi bersikap menghakimi keyakinan atau aktivitas pasien dalam
berpola pikir yang aneh, bahkan beberapa terlibat dalam pemujaan, praktek religious yang aneh, dan ilmu gaib.
Psikoterapi yang digunakan dapat berupa psikoterapi kelompok yang meliputi terapi suportif, terstruktur, dengan
lingkungan terbatas, terapi perilaku-kognitif, interpersonal, dan terapi keluarga. Terapi keluarga cukup baik
dilakukan pada pasien ini untuk membantu mengungkapkan pola komunikasi berulang dan membantu keluarga
mengerti bahwa gejala pasien pada kenyataannya memiliki fungsi yang sangat penting di dalam mempertahankan
homeostasis suatu keluarga. Selain itu juga
2.7.2 Farmakoterapi
Menurut Paul Markovitz, jenis medikasi yang digunakan untuk pasien skizotipal dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu untuk pasien skizotipal yang lebih terlihat seperti skizofrenia dalam kepercayaan dan perilakunya, mereka
diobati dengan dosis rendah antipsikotik, seperti thiothixene. Obat antipsikotik lebih baik digunakan bersama
dengan psikoterapi. Bagi pasien skizotipal yang lebih mengarah ke obsesif-kompulsif diberikan SSRI, seperti
Sertraline. Lamotigine sebagai anticonvulsant dapat diberikan untuk gejala isolasi sosial yang ditunjukkan pasien
Fluoxetine (Prozac) adalah contoh antidepresan yang dapat dipakai untuk mengobati gejala gangguan kepribadian
skizotipal. Antidepresan menyebabkan efek samping berupa mual, diare, anoreksia, dan muntal sehingga anoreksi
paling lazim terjadi. Namun beberapa orang mengalami pertambahan berat badan. Selain itu, efek sampingnya
adalah ansietas pada minggu pertama, insomnia, mimpi buruk,
Antidepresan juga berguna jika ada komponen depresif pada individu. Pada penelitian open-label untuk percobaan
fluoxetione pada sejumlah pasien yang didiagnosa skizotipal dan menunjukan perbaikan pada gejala depresi,
ansietas, ansietas interpersonal, sensitivitas interpersonal, dan psikosis, namun hanya 4 dai 22 pasien dengan
skizotipal tanpa disertai kondisi komorbid dari gangguan kepribadian borderline (Markowitz et al, 1991 dalam
Herperts et al, 2007). Meskipun demikian, tidak ada evidens yang reliable untuk efikasi antidepesan pada
pengobatan gejala skizotipal.
Antipsikotik dapat menyebabkan efek samping seperti: kegelisahan, mulut dan hidung kering, kembung, gangguan
pencernaan, ketidaknyamanan terhadap suhu dingin, nyeri sendi atau otot, kuku dan rambut rapuh atau rambut,
kesadaran menurun, oliguria, dan kejang-kejang.
2.8 Prognosis
Gangguan kepribadian skizotipal yang disertai gangguan kepribadian borderline, dependen dan menghindar
berhubungan dengan kejadian skizofrenia atau episode psikosis. Skizotipal sama dengan gangguan kepribadian
borderline, dependen, dan menghindar, yaitu merupakan komponen dari spectrum skizofrenia. Gejala ini dapat
berkembang menjadi psikosis jika individu tersebut terpapar dengan tantangan hidup yang sulit sehingga
mengharuskan mereka berhadapan dengan kenyataan yang ada. Suatu studi penelitan telah dilakukan untuk melihat
follow up dari pasien dengan kriteria bentuk laten skizofrenia selama 15 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa
individu dengan skizotipal lebih banyak yang mengarah ke skizofrenia daripada gangguan kepribadian borderline.
Studi yang dilakukan oleh Thomas McGlashan melaporkan bahwa 10 persen pasien gangguan kepribadian skizotipal
akhirya melakukan bunuh diri. Studi retrospektif menunjukan bahwa banyak pasien yang dianggap skizofrenia,
sebenarnya memiliki gangguan kepribadian skizotipal, dan menurut pemikiran klinis terkini, skizotipal adalah
kepribadian pramobid pasien dengan skizofrenia. Meskipun demikian, beberapa orang tetap mempertahankan
kepribadian skizotipal yang dapat stabil sepanjang hidup mereka sehingga mereka dapat beraktivitas seperti orang
sehat di luar keanehan mereka tersebut.

Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan dengan variasi kognitif dan gangguan
tingkah laku. Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan fungsi gangguan
kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum; tremor, asteriksis,
nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urin merupakan gejala neurologis yang umum.
Biasanya delirium mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam atau hari), perjalanan yang singkat dan
berfluktuasi dan perbaikan yang cepat jika faktor penyebab diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi masing-masing ciri
karakteristik tersebut dapat bervariasi pada pasien individual. Delirium dapat terjadi pada berbagai tingkat usia
namun tersering pada usia diatas 60 tahun. Menggigau merupakan gejala sementara dan dapat berfluktuasi
intensitasnya, kebanyakan kasus dapat sembuh dalam waktu 4 minggu atau kurang. Akan tetapi jika delirium
dengan fluktuasi yang menetap lebih dari 6 bulan sangat jarang dan dapat menjadi progresif kearah dementia

B. EPIDEMIOLOGI
Delirium merupakan kelainan yang sering pada :
- sekitar 10 sampai 15 persen adalah pasien bedah dan 15 sampai 25 persen
pasien perawatan medis di rumah sakit. Sekitar 30 persen pasien dirawat di ICU bedah dan ICU jantung. 40 sampai
50 pasien yang dalam masa penyembuhan dari tindakan bedah pinggul memiliki episode delirium.
- Penyebab dari pasca operasi delirium termasuk stress dari pembedahan, sakit pasca operasi, pengobatan
anti nyeri, ketidakseimbangan elektrolit, infeksi, demam, dan kehilangan darah.
- Sekitar 20% pasien dengan luka bakar berat dan 30-40 % pasien dengan sindrom imunodefisiensi didapat
(AIDS)
- Usia lanjut merupakan faktor resiko dari terjadinya delirium, sekitar 30 – 40 persen dari pasien yang dirawat
berusia 65 tahun dan memiliki episode delirium

C. ETIOLOGI
Penyebab utama delirium :
1. Penyakit pada CNS – encephalitis, space occupying lesions, tekanan tinggi intrakranial setelah episode
epilepsi.
2. Demam - penyakit sistemik
3. Intoksikasi dari obat-obatan atau zat toksik
4. Withdrawal alkohol
5. Kegagalan metabolik – kardiak, respiratori, renal, hepatik, hipoglikemia
Faktor predisposisi.
 Demensia
 Obat-obatan multipel
 Umur lanjut
 Kecelakaan otak seperti stroke, penyakit Parkinson
 Gangguan penglihatan dan pendengaran
 Ketidakmampuan fungsional
 Hidup dalam institusi
 Ketergantungan alkohol
 Isolasi sosial
 Kondisi ko-morbid multipel
 Depresi
 Riwayat delirium post-operative sebelumnya
Faktor pencetus (presipitasi).
Penyakit akut berat (termasuk, tetapi tak terbatas kondisi di bawah ini)
- Infeksi, dll 10-35%
- Intoksikasi obat/racun 22-39%
- Withdrawal benzodiazepin
- Withdrawal alkohol ± defisiensi thiamin
- Ensefalopati metabolik (25%)
- Asam basa dan gangguan elektrolit
- Hipoglikemia
- Hipoksia atau hiperkapnia
- Gagal hepar/ginjal
 Polifarmasi
 Bedah dan anestesi
 Nyeri post op yang tak dikontrol baik
 Neurologis 8% (anoksia, stroke, epilepsi, dll)
 Perubahan dari lingkungan keluarga
 'sleep deprivation'
 Albumin serum rendah
 Demam/hipothermia
 Hipotensi perioperati
 Pengekangan fisik
 Pemekaian kateter terus menerus
 Kardiovaskular 3%
 Tak ditemukan penyebab 10%
Medikasi terkait delirium :
Beberapa jenis obat-obatan, baik yang resmi dan terlarang dapat menyebabkan delirium, antara lain :
1. Sedatif hipnotik
1.1. Benzodiazepin
1.2. Kloralhidrat, barbiturat
1.3. Anti kolinergik
1.4. benztropin, oksibutirin
2. Antihistamin mis difenhidramin
3. Antispasmodik misal : belladona, propanthelin
4. Fenothiazin misal: thioridazin
5. Antidepresan trisklik
6. Antiparkinson misal levodopa, amantadin, pergolid, bromokriptin
7. Analgetik misal opiat (khususnya pethidin), jarang : NSAID,aspirin
8. Obat anestesi
9. Antipsikotik, khususnya beefek antikolinergik, misal klozapin
10. Steroid : dapat tergantung dosis
11. Antagonis histamin- 2, khususnya simetidin, tetapi juga golongan ranitidin.
12. Antibiotik:aminoglikosid, penicillin, sefalosporin, sulfonamid dan beberapa flurokuinolon seperti siprofloksasin.
13. Obat kardiovaskuler dan antihipertensi, kinin,digoxin (padakadar normal),amiodaron, propanolol, methiodopa
14. Antikonvulsan : fenitoin, karbamazepin, valproat, pirimidin, klonazzepam,klobazam.
15. Lain-lain : lithium, flunoksilin, metoclopramid,imunosupresan.
D. PATOFISIOLOGI
Tanda dan gejala delirium merupakan manifestasi dari gangguan neuronal, biasanya melibatkan area di korteks
serebri dan reticular activating sistem. Dua mekanisme yang terlibat langsung dalam terjadinya delirium adalah
pelepasan neurotransmiter yang berlebihan (kolinergik muskarinik dan dopamin) serta jalannya impuls yang
abnormal. Aktivitas yang berlebih dari neuron kolinergik muskarinik pada reticular activating sistem, korteks, dan
hipokampus berperan pada gangguan fungsi kognisi (disorientasi, berpikir konkrit, dan inattention) dalam delirium.
Peningkatan pelepasan dopamin serta pengambilan kembali dopamin yang berkurang misalnya pada peningkatan
stress metabolik. Adanya peningkatan dopamin yang abnormal ini dapat bersifat neurotoksik melalui produksi
oksiradikal dan pelepasan glutamat, suatu neurotransmiter eksitasi. Adanya gangguan neurotransmiter ini
menyebabkan hiperpolarisasi membran yang akan menyebabkan penyebaran depresi membran.
Berdasarkan tingkat kesadarannya, delirium dapat dibagi tiga:
1. Delirium hiperaktif
Ditemukan pada pasien dalam keadaan penghentian alkohol yang tiba-tiba, intoksikasi Phencyclidine (PCP),
amfetamin, dan asam lisergic dietilamid (LSD)
2. Delirium hipoaktif
Ditemukan pada pasien Hepatic Encefalopathy dan hiperkapnia
3. Delirium campuran

Mekanisme delirium belum sepenuhnya dimengerti. Delirium dapat disebabkan oleh gangguan struktural dan
fisiologis. Hipotesis utama adalah adanya gangguan yang irreversibel terhadap metabolisme oksidatif otak dan
adanya kelainan multipel neurotransmiter.
Asetilkolin
Obat-obat anti kolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan acute confusional states dan pada pasien
dengan gangguan transmisi kolinergik seperti pada penyakit Alzheimer. Pada pasien dengan post-operative delirium,
aktivitas serum anticholonergic meningkat.
Dopamin
Diotak terdapat hubungan reciprocal antara aktivitas kolinergic dan dopaminergic. Pada delirium, terjadi
peningkatan aktivitas dopaminergic
Neurotransmitter lain
Serotonin: ditemukan peningkatan serotonin pada pasien hepatic encephalopathy dan sepsis delirium. Agen
serotoninergic seperti LSD dapat pula menyebabkan delirium. Cortisol dan beta-endorphins: pada delirium yang
disebabkan glukokortikoid eksogen terjadi gangguan pada ritme circadian dan beta-endorphin.
Mekanisme inflamasi
Mekanisme inflamasi turut berperan pada patofisiologi delirium, yaitu karena keterlibatan sitokoin seperti
intereukin-1 dan interleukin-6, Stress psychososial dan angguan tisur berperan dalam onset delirium
Mekanisme struktural
Formatio retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur perhatian kesadaran dan jalur utama
yang berperan dalam delirium adalah jalur tegmental dorsalis yang keluar dari formatio reticularis mesencephalic ke
tegmentum dan thalamus. Adanya gangguan metabolik (hepatic encephalopathy) dan gangguan struktural (stroke,
trauma kepala) yang mengganggu jalur anatomis tersebut dapat menyebabkan delirium.

E. DIAGNOSIS
Kriteria diagnostic delirium berdasar DSM IV :

Untuk Delirium karena kondisi medis umum:


1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian,
mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan berfluktuasi sepanjang
hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium bahwa
gangguan disebabkan oleh pengobatan umum, atau obat-obatan, atau gejala putus obat.
Untuk Delirium Intoksikasi Zat:
1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian, mempertahankan
perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium (A) atau (B)
A. Gejala dalam kriteria 1 dan 2 berkembang selama intoksikasi zat
B. Pemakaian medikasi secara etiologi berhubungan dengan gangguan.

Untuk Delirium Putus Zat :


1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian, mempertahankan
perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium bahwa gejala dalam
kriteria (1) dan (2) berkembang selama , atau segera setelah suatu sindroma putus
Untuk Delirium Karena Penyebab Multiple:
1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian, mempertahankan
perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari), dan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium bahwa delirium telah
memiliki lebih dari satu penyebab (misalnya lebih dari satu penyebab kondisi medis umum, suatu kondisi
medis umum ditambah intoksikasi zat atau efek samping medikasi).
Untuk Delirium Yang Tidak Ditentukan:
Kategori ini harus digunakan untuk mendiagnosis suatu delirium yang tidak memenuhi kriteria salah satu tipe
delirium yang dijelaskan pada bagian ini.

F. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Dementia
Gangguan psikotik akut dan sementara
Schizophrenia
Gangguan mood [affective]
Delirium Dementia
Onset akut Onset perlahan-lahan
berfluktuasi Stabil atau progresif
gangguan kesadaran Kesadaran normal
organisasi pikiran terganggu Organisasi pikiran kurang
Sering terjadi gangguan persepsi Jarang terjadi gangguan persepsi
Kewaspadaan selalu terganggu Kewaspadaan normal

G. GEJALA KLINIS DARI DELIRIUM :

Gangguan kesadaran
 Disorientasi
 Konsentrasi kurang
Tingkah laku
 hiperaktif
 hipoaktif
Pikiran
 Bizarre
 Ideas of reference
 waham
Mood
 cemas, Irritable
 depresi
Persepsi
 Illusi
 Hallusinasi (visual)
Memori
 terganggu

*Fluctuating course, worse in the evening

Gambaran kunci dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, yang dalam DSM IV digambarkan sebagai
penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan,
mempertahankan atau mengalihkan perhatian. Keadaan delirium mungkin didahului selama beberapa hari oleh
perkembangan kecemasan, mengantuk, insomnia, halusinasi transient, mimpi menakutkan di malam hari,
kegelisahan.

1. kesadaran (arousal)
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan delirium. Satu pola ditandai oleh
hiperaktivitas yang berhubungan dengan peningkatan dari kesiagaan. Pasien dengan delirium yang berhubungan
dengan pemusatan zat seringkali mempunyai delirium hiperaktif yang juga dapat disertai dengann tanda otonomik,
seperti kulit kemerahan, pucat, berkeringat, takikardi, pupil berdilatasi, mual-muntah dan hipertermi. Pasien dengan
gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai sedang depresi, katatonik atau mengalami depresi.
2. Orientasi
Orientasi terhadap waktu, tempat dan orang harus di uji pada pasien dengan delirium. Orientasi terhadap
waktu seringkali hilang, bahkan pada kasus deliriun yang ringan orientasi terhadap tempat dan kemampuan untuk
mengenali orang lain mungkin juga terganggu pada kasus yang berat.
3. Bahasa dan Kognisi
Kelainan dapat berupa bicara yang melantur, tidak relevan atau membingungkan (inkoheren) dan gangguan
kemampuan untuk mengerti pembicaraan. Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien delirium
adalah fungsi ingatan dan kognitif umum. Kemampuan untuk menyusu, mempertahankan dan mengingat kenangan
munkin terganggu, walaupun ingatan kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Pasien delirium juga mempunyai
waham yang tidak sistematis, kadang-kadang paranoid.
4.Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan umum untuk membedakan stimulus
sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang dengan pengalaman masa lalu mereka. Halusinasi juga
relatif sering pada pasien delirium. Halusinasi paling sering adalah visual atau auditorik, walaupun halusinasi dapat
taktil atau olfaktorius. Ilusi visual dan auditoris juga sering pada delirium.
5. Mood
Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran dan rasa takut yang tidak beralasan. Kelainan mood
lain yang sering adalah apati, depresi, dan euforia.

6. Gejala penyerta
a. Gangguan tidur bangun
Tidur pasien secara karakteristik terganggu. Pasien seringkali mengantuk selama siang hari dan dapat
ditemukan tidur sekejap ditempat tidurnya atau diruang keluarga. Tetapi tidur pada pasien delirium hampir selalu
singkat dan terputus-putus. Pasien seringkali mengalami eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur, dikenal
sebagai sundowning. Kadang-kadang mimpi menakutkan di malam hari dan mimpi yang mengganggu pasien terus
berlangsung ke keadaan terjaga sebagai pengalaman halusinasi.
b. Gejala neurologis
gejala neurologis yang sering menyertai berupa disfagia, tremor, asteriksis, inkordinasi dan inkontinensia
urin. Tanda neurologis fokal juga ditemukan sebagai bagian pola gejala pasien dengan delirium.

H. MANAGEMENT PENGOBATAN
Pengobatan secara langsung baik identifikasi dari underlying physical cause maupun menilai pengobatan dari
anxietas, distress, dan problem prilaku.
- pasien perlu penentraman hati, dan reorientasi untuk mengurangi anxietas, cara ini perlu dilakukan dengan
sering.
- Keluarga pasien perlu diberitahukan dan diterangkan secara jelas mengenai penyakit pasien agar
mengurangi kecemasannya sehingga keluarga pasien dapat menolong pasien dalam perawat menjadi lebih
tentram.
- Pada perawatan di rumah sakit pasien sebaiknya dirawat di ruangan yang tenang juga cukup cahaya agar
pasien dapat tahu dimana dia berada namun dengan penerangan dimana tidak mengganggu tidur pasien.
- Keluarga maupun teman perlu menemani dan menjenguk pasien.
- Penting untuk memberi sedapat mungkin sejak terjadi perburukan dari delirium.
- Dosis yang kecil dari benzodiazepin atau obat hypnotic lain sangat berguna untuk membut pasien tidur saat
malam. Benzodiazepin harus dihindari saat siang dimana efek sedasinya dapat meningkatkan disorientasi.
- Ketika pasien dalam keadaan yang menderita dan gangguan prilaku, monitor pengobatan antipsikotik secara
hati-hati dapat sangat berharga. Ikuti dengan dosis inisial yng cukup untuk mengobati situasi akut, dosis obat
oral secara reguler dapat diberikan secara adekuat agar pasien tidak mengantuk berlebihan. Haloperidal
dapat diberikan dimana dosis harian 10-60mg. Jika perlu dosis pertama antara 2-5mg dapat diberikan
intramuskular.
Pengobatan Farmakologis Delirium :
Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis dan insomnia.
Obat yang terpilih untuk psikosis adalah Haloperidol. Droperidol (Inapsine) adalah suatu butyrophenone yang
tersedia sebagai suatu formula intravena alternative , walaupun monitoring elektrokardiogram adalah sangat
penting pada pengobatan ini. Golongan phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium karena obat tersebut
disertai dengan aktifitas antikolinergik yang bermakna.Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine
dengan waktu paruh pendek atau dengan hydroxyzine (Vistaril), 25 sampai 100mg.

1. Pengobatan termasuk pengobatan pada penyakit yang mendasari dan identifikasi medikasi yang
mempengaruhi derajat kesadaran.
2. Olanzapine (Zyprexa) : adalah obat neuroleptic atipikal, dengan efek ekstrapiramidal yang ringan,
efektif untuk pengobatan delirium yang disertai agitasi. Dosisnya dimulai dengan 2,5mg, dan
meningkat sampai 20 mg po jika dibutuhkan. Olanzepine dapat menurunkan ambang kejang, namun
sisanya dapat ditoleransi dengan cukup baik.
3. Risperidone (risperidal), juga efektif dan dapat ditoleransi dengan baik, dimulai dengan 0,5 mg dua
kali sehari atau 1mg sebelum waktu tidur, meningkat sampai 3 mg 2 kali sehari jika dibutuhkan.
4. Haloperidol (haldol), dpat digunakan dengan dosis yang rendah (0.5 mg sampai dengan 2 mg 2 kali
sehari), jika dibutuhkan secara intravena. Efek samping ekstra pyramidal dapat terjadi, dapat
ditambahkan sedative, misalnya lorazepam diawali 0,5 mg sampai 1 mg setiap 3 sampai 8 jam jika
dibutuhkan.
I. PROGNOSIS
Setelah identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, gejala delirium biasanya menghilang dalam periode 3-7
hari, walaupun beberapa gejala mungkin membutuhkan waktu sampai 2 minggu untuk menghilang secara lengkap.
Semakin lanjut usia pasien dan semakin lama pasien mengalami delirium semakin lama waktu yang diperlukan bagi
delirium untuk menghilang. Ingatan tentang apa yang dialami selama delirium, jika delirium telah berlalu, biasanya
hilang timbul, dan pasien mungkin menganggapnya sebagai mimpi buruk, sebagai pengalaman yang mengerikan
yang hanya diingat secara samar-samar.

Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah mencapai pertumbuhan &
perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak organik, diikuti keruntuhan perilaku dan
kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan
pembentukan pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif.1
Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai gangguan kesadaran.2
Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat kronik / progresif serta terdapat gangguan fungsi
luhur (Kortikal yang multiple) yaitu ; daya ingat , daya fikir , daya orientasi , daya pemahaman , berhitung ,
kemampuan belajar, berbahasa , kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut , Biasanya disertai hendaya fungsi
kognitif , dan ada kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi, perilaku sosial atau
motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada penyakit kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang
secara primer atau sekunder mengenai otak.
Klasifikasi
Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan struktur otak,sifat klinisnya dan
menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).1,2
Menurut Umur:1
 Demensia senilis (>65th)
 Demensia prasenilis (<65th)

Menurut perjalanan penyakit:


 Reversibel
 Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, Defisiensi vitamin B, Hipotiroidism,
intoksikasi Pb)
Menurut kerusakan struktur otak
 Tipe Alzheimer
 Tipe non-Alzheimer
o Demensia vaskular
o Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia) o Demensia Lobus frontal-temporal
o Demensia terkait dengan HIV-AIDS o Morbus Parkinson
o Morbus Huntington
o Morbus Pick
o Morbus Jakob-Creutzfeldt
o Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker o Prion disease
o Palsi Supranuklear progresif o Multiple sklerosis
o Neurosifilis
Berdasarkan PPDGJ III demensia termasuk dalam F00-F03 yang merupakan gangguan mental organik dengan
klasifikasinya sebagai berikut ;
 F 00 Demensia pada penyakit Alzheimer
 F00.0 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini
 F00.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan Onset Lambat
 F00.2 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan, tipe tidak khas atau tipe campuran F00.9 Demensia pada
penyakit Alzheimer YTT (Yang Tidak Tergolongkan)
 F 01 Demensia Vaskular
 F01.0 Demensia Vaskular Onset akut
 F01.1 Demensia Vaskular Multi-Infark
 F01.2 Demensia Vaskular Sub Kortikal
 F01.3 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
 F01.8 Demensia Vaskular lainnya
 F01.9 Demensia Vaskular YTT
 F02 Demensia pada penyakit lain
 F02.0 Demensia pada penyakit PICK
 F02.1 Demensia pada penyakit Creutzfeldt-Jakob
 F02.2 Demensia pada penyakit Huntington
 F02.3 Demensia pada penyakit parkinson
 F02.4 Demensia pada penyakit HIV
 F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT –YDK (Yang Di -Tentukan-Yang Di-Klasifikasikan ditempat lain)
 F03 Demensia YTT
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada F00-F03 sebagai berikut :
1. .X0 Tanpa gejala tambahan
2. .X1 Gejala lain, terutama waham
3. X2 Halusinasi
4. .X3 Depresi
5. X4 Campuran lain

Epidemiologi
Demensia dianggap penyakit yang timbul pada akhir hidup karena cenderung berkembang terutama pada orang tua.
Sekitar 5% sampai 8% dari semua orang di atas usia 65 tahun memiliki beberapa bentuk demensia, dan jumlah ini
meningkat dua kali lipat setiap lima tahun di atas usia itu. Diperkirakan bahwa sebanyak setengah daripada orang
berusia 80-an menderita demensia.4
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi demensia sedang hingga berat
bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat
mencapai 5 persen, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen.1,2,4
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya menderita jenis demensia yang
paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer (Alzheimer’s diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer
meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6 persen pada
pria dan 0,8 persen pada wanita. Pada usia 90 tahun, prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien dengan demensia
tipe Alzheimer membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah (nursing home bed). 1,2,4
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan
dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita
demensia. Demensia vaskuler meliputi 15 hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling
sering ditemui pada seseorang yang berusia antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada
wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.1,5
Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1 hingga 5 persen kasus adalah trauma
kepala, demensia yang berhubungan dengan alkohol, dan berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan
gangguan pergerakan, misalnya penyakit Huntington dan penyakit Parkinson.
1. Demensia Alzheimer
Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya diberi nama dengan namanya dalam
tahun 1907, saat ia menggambarkan seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan demensia progresif selama
4,5 tahun. Diagnosis akhir Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak; meskipun demikian,
demensia Alzheimer biasanya didiagnosis dalam lingkungan klinis setelah penyebab demensia lain telah
disingkirkan dari pertimbangan diagnostik.2,5

Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Kemungkinan faktor genetik dan lingkungan yang sedang diteliti (APoE atau β
Secretase). Berdasarkan hasil riset, menunjukan adanya hubungan antara kelainan neurotransmitter dan enzim-
enzim yang memetabolisme neurotransmitter tersebut.
Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak
yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron.
Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler,
kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non
spesifik.
Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor
genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut
terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika. Faktor risiko terjadinya penyakit
Alzheimer diantaranya yaitu usia lebih dari 65 tahun, faktor keluarga dan abnormalitas pada gen ApolipoproteinE
(APoE) terutama pada ras kaukasian.

Patogenesis
Pasien umumnya mengalami atrofi kortikal dan berkurangnya neuron secara signifikan terutama saraf kolinergik.
Kerusakan saraf kolinergik terjadi terutama pada daerah limbik otak (terlibat dalam emosi) dan kortek (Memori dan
pusat pikiran). Terjadi penurunan jumlah enzim kolinesterasi di korteks serebral dan hippocampus sehingga terjadi
penurunan sintesis asetilkolin di otak.
Di otaknya juga dijumpai lesi yang disebut senile (amyloid) plaques dan neurofibrillary tangles, yang terpusat pada
daerah yang sama di mana terjadi defisit kolinergik sehingga plak tersebut berisi deposit protein yang disebut ß-
amyloid. Amyloid adalah istilah umum untuk fragment protein yang diproduksi tubuh secara normal. Beta-amyloid
adalah fragment protein yang terpotong dari suatu protein yang disebut amyloid precursor protein (APP), yang
dikatalisis oleh β-secretase. Pada otak orang sehat, fragmen protein ini akan terdegradasi dan tereliminasi.

Sejumlah patogenesis penyakit alzheimer yaitu:


1) Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan melalui gen autosomal dominant.
Individu keturunan garis pertama pada keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali
lebih besar dibandingkan kelompok kontrol normal. Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan
familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximal log arm, sedangkan pada familial
late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19.
Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun
terdapat neurofibrillary tangles (NFT), ssenile plaque dan penurunan. Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang
menggambarkan kelainan histopatolgi pada penderita alzheimer.
Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50% adalah monozygote dan 50% adalah
dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyakit alzheimer. Pada sporadik non
familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa
kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer
2) Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno
blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan
saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan
kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.
Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a. Manifestasi klinik yang sama
b. Tidak adanya respon imun yang spesifik
c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. Timbulnya gejala mioklonus
e. Adanya gambaran spongioform

3) Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer.
Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada
susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS).
Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi
neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan
ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.
Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat
sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler
dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.

4) Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer didapatkan kelainan serum protein
seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzheimer dengan
penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda
karena peranan faktor immunitas.
5) Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan
dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary
tangles.
6) Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita Alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting
seperti:
a. Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik
dan otopsi jaringan otak pada penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase,
asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin.
Adanya defisit presinaptik dan postsynaptic kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis
superior, nukleus basalis, hipokampus. Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada
dibandingkan jenis neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu
didapatkan kehilangan cholinergik Marker.
Pada penelitian dengan pemberian scopolamine pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya
daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer.

b. Noradrenalin
Kadar metabolisme norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada jaringan otak penderita alzheimer.
Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks
serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal noradrenergik.
Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita alzheimer menunjukkan adanya
defisit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi
noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.
c. Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter region hipothalamus, dimana tidak
adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial,
kemungkinan disebabkan karena potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.
d. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri
penderita alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari meynert. Penurunan serotonin pada
subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada
posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan
dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis
e. MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok
yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk
deaminasi terutama dopamin. Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan
frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal dan menurun pada nukleus basalis dari meynert.
Gejala Klinik
Penyakit ini menyebabkan penurunan kemampuan intelektual penderita secara progresif yang mempengaruhi fungsi
sosialnya, meliputi penurunan ingatan jangka pendek atau kemampuan belajar atau menyimpan informasi,
penurunan kemampuan berbahasa, kesulitan menemukan kata atau kesulitan memahami pertanyaan atau petunjuk,
ketidakmampuan menggambar atau mengenal gambar dua-tiga dimensi, dan lain-lain.
Kategori Gejala pada Alzheimer
Awitan dari perubahan mental penderita alzheimer sangat perlahan - lahan, sehingga pasien dan keluarganya tidak
mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat beberapa stadium perkembangan penyakit
alzheimer yaitu:

 Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)


 Memory : new learning defective, remote recall mildly impaired
 Visuospatial skills : topographic disorientation, poor complex contructions
 Language : poor woordlist generation, anomia
 Personality : indifference,occasional irritability
 Psychiatry feature : sadness, or delution in some
 Motor system : normal
 EEG : normal
 CT/MRI : normal
 PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion
 Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)
 Memory : recent and remote recall more severely impaired
 Visuospatial skills : spatial disorientation, poor contructions
 Language : fluent aphasia
 Calculation : acalculation
 Personality : indifference, irritability
 Psychiatry feature : delution in some
 Motor system : restlessness, pacing
 EEG : slow background rhythm
 CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent
 PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion

 Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)


 Intelectual function : severely deteriorated
 Motor system : limb rigidity and flexion poeture
 Sphincter control : urinary and fecal
 EEG : diffusely slow
 CT/MRI : ventricular and sulcal enlargeent
 PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion
Gbr. 4 Penyakit Alzheimer

Diagnosa
Menegakkan penyakit Alzheimer harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, serta didukung
oleh pemeriksaan penunjang yang tepat. Untuk diagnosis klinis penyakit Alzheimer diterbitkan suatu konsensus oleh
the National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer’s Disease
and Related Disorders Association (ADRDA). (Tabel 1)
a. Anamnesis
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset),lamanya,dan bagaimana laju progresi penurunan fungsi kognitif yang
terjadi. Seorang usia lanjut dengan kehilangan memori yang berlangsung lambat selama beberapa tahun
kemungkinan menderita penyakit Alzheimer. Hampir 75% pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala
memori,tetapi gejala awal juga dapat meliputi kesulitan mengurus keuangan, berbelanja,mengikuti
perintah,menemukan kata,atau mengemudi. Perubahan kepribadian, disinhibisi, peningkatan berat badan atau
obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-temporal dementia (FTD),bukan penyakit Alzheimer. Pada pasien
yang menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah penyakit
Alzheimer,demensia multi-infark,atau campuran keduanya.
Bila dikaitkan dengan berbagai penyebab demensia,makan anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai fator
risiko seperti trauma kepala berulang,infeksi susunan saraf pusat akibat sifilis,konsumsi alkohol
berlebihan,intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik,serta penggunaan obat-obat jangka panjang (sedatif dan
tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus selalu menjadi bagian dari evaluasi,mengingat bahwa pada penyakit
Alzheimer terdapat kecenderungan familial.
b. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem motork kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan
motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain
umumnya timbul pada FTD, Demensia dengan Lewy Body (DLB), atau demensia multi-infark.
 Pemeriksaan Kognitif dan Neuropsikiatrik
Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the mini mental
status examination (MMSE), yang dapat pula digunakan untuk memantau perjalanan penyakit. Pada penyakit
Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik,category generation (menyebutkan sebanyak-banyaknya
binatang dalam satu menit),dan kemampuan visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodik
visual sering merupakan abnormalitas neuropsikologis awal yang terlihat pada penyakit Alzheimer,dan tugas yang
membutuhkan pasien untuk menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambar setelah jeda waktu tertentu akan
menunjukkan defisit pada sebagian pasien penyakit Alzheimer.
Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter harus menentukan dampak kelainan terhadap memori
pasien,hubungan di komunitas,hobi,penilaian, berpakaian,dan makan. Pengetahuan mengenai status fungsional
pasien sehari-hari akan membantu mengatur pendekatan terapi dengan keluarga.
Tabel. Pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE)
NILAI
NO TES
MAKSIMAL

ORIENTASI

1 Sekarang (tahun), (musim), (Bulan), (tanggal), Hari apa ? 5

2 Kita berada dimana? (Negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit), (lantai/kamar) 5

REGISTRASI
3 Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja, atau koin), setiap benda 1 detik, 3
pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk setiap nama
benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebut dengan benar dan
catat jumlah pengulangan.

ATENSI DAN KALKULUS

4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5
5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata “WAHYU” (Nilai diberi pada
huruf yang benar sebelum kesalahan ; misalnya uyahw = 2 nilai.

MENGINGAT KEMBALI (RECALL)

5 Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas 3

BAHASA

6 Pasien disuruh menyebut nama benda yang ditunjukkan (pensil, buku) 2

7 Pasien disuruh mengulangi kata-kata: “namun”, “tanpa”, “bila”. 1

8 Pasien disuruh melakukan perintah : “Ambil kertas ini dengan tangan anda!, 3
lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai!”.

9 Pasien disuruh membaca dan melakukan perintah “Pejamkanlah mata anda” 1

10 Pasien disuruh menulis dengan spontan 1

11 Pasien disuruh menggambar bentuk di bawah ini 1

Total 30

Skor
 Nilai 24-30 : Normal
 Niali 17-23 : Gangguan kognitif Probable
 Nilai 0-16 : Gangguan kognitif definit

Tabel 1. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer


Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:
- Demensia yang tidtegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan
the mini-mental test,Blessed Dementia Scale,atau pemeriksaan sejenis,dan dikonfirmasi
oleh tes neuropsikologis
- Defisit pada dua atau lebih area kognitif
- Tidak ada gangguan kesadaran
- Awitan antara umur 40 dan 90,umunya setelah umur 65 tahun
- Tidak adanya kelinan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit
progresif pada memori dan kognitif
Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
- Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia,apraksia,dan agnosia
- Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku
- Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama,terutama bila sudah dikonfirmasi secara
neuropatologi
- Hasil laboratorium yang menunjukkan
- Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG,seperti peningkatan atktivitas slow-
wave
- Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh
pemeriksaan serial
Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer,setelah
mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
- Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
- Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi,insomnia,inkontinensia,delusi,
halusinasi,verbal katastrofik,emosional,gangguan seksual,dan penurunan berat badan
- Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien,terutama pada penyakit tahap
lanjut,seperti peningkatan tonus otot,mioklunus,dan gangguan melangkah
- Kejang pada penyakit yang lanjut
- Pemeriksaan CT normal untuk usianya
Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok
adalah:
- Onset yang mendadak dan apolectic
- Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis,gangguan sensorik,defisit lapang
pandang,dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit;dan kehang atau gangguan
melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
- Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia,tanpa adanya gangguan neurologis
psikiatrik,atau sistemik alin yang dapat menyebabkan demensia,dan adandya variasi
pada awitan,gejala klinis,atau perjalanan penyakit
- Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk
menyebabkan demensia,namun penyebab primernya bukan merupakan penyabab
demensia
Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
- Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer
- Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau atutopsi
Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran
khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer,seperti:
- Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
- Awitan sebelum usia 65 tahun
- Adanya trisomi-21
- Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson

4.Pemeriksaan Penunjang
a. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi
yang bilateral, simetris, sering kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr). Beberapa penelitian
mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital,
korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937).
Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:
1. Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang berisi protein neurofilamen,
ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus,
dorsal raphe dari inti batang otak.

Gbr. 5 Neurofibrillary tangles pada penyakit Alzheimer

NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak manula, down syndrome, parkinson,
SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.
2. Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi filamen-filamen abnormal,
serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia. Amloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan
dengan kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks
piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan
auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer.
Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan penurunan kolinergik. Kedua gambaran
histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.
3. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit alzheimer sangat selektif. Kematian
neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan
pada hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra.
Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergik terutama pada
lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.Telah ditemukan
faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini
merupakan harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer.
4. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini
berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada korteks
temporomedial, amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital,
hipokampus, serebelum dan batang otak.
5. Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula,
dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama
dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit
parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit alzheimer.
b. Pemeriksaan radiologi2
 MRI atau Ct-Scan otak alah pemeriksaan radiologi yang utama. Pada penderita Alzheimer, MRI atau
CT-scan akan menunjukkan atrofi serebral atau kortikal yang difus.
 SPECT scan. Pemeriksaan ini akan menunjukkan penurunan perfusi jaringan di daerah
Temporoparietalis bilateral yang biasanya terjadi pada penderita Alzheimer.
 PET Scan .Pemeriksaan ini menunjukkan penurunan aktivitas metabolic di daerah temporoparietalis
bilateral.
 Indikasi MRI/CT Scan pada penderita demensia
 Awitan terjadi pada usia < 65 tahun.
 Manifestasi Klinis timbul < 2 tahun
 Tanda atau gejala neurologi asimetris.
 Gambaran klinis Hidrosefalus tekanan normal {NPH (Normal pressure hydrocephalus)}2
c. EEG
Pemeriksaan ini menunjukkan penurunan aktivitas alfa dan peningkatan aktivitas teta yang menyeluruh.2
d. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya
untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor,
BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan secara selektif.

Prognosis
Pasien dengan penyakit Alzheimer mempunyai survival rate 5-10 tahun setelah diagnosis ditegakkan dan seringkali
meninggal karena infeksi. Penurunan kognitif serta sifat ketergantungan yang dialami pasien Alzheimer memberikan
beban mental, fisik, dan ekonomi yang berat terutama kepada keluarga dan kerabat dekat yang mengurus pasien.2

2. Demensia Vaskular
Demensia vascular ialah sindrom demensia yang disebabkan disfungsi otak akibat penyakit serebrovaskular atau
stroke. Demensia vascular merupakan penyebab demensia kedua tersering setelah demensia Alzheimer.2

A. Epidemiologi
Sepertiga penderita pascastroke yang masih hidup didiagnosis demensia vascular.2

B. Etiologi
Stroke, penyakit infeksi SSP kronis (meningitis, sifilis, dan HIV), penggunaan alcohol kronis, pajanan kronis terhadap
logam (keracunan merkuri, arsenic, dan aluminium), trauma kepala berulang pada petinju professional, penggunaan
obat-obatan jangka panjang, obat-obatan sedative, dan analgetik.2

C. Patofisiologi
Mekanisme demensia vaskular :
a. Degenerasi yang disebabkan faktor genetic, peradangan, atau perubahan biokimia.
b. Aterosklerosis, infark thalamus, ganglia basalis, jaras serebral, dan area di sekitarnya.
c. Trauma, lesi di serebral terutama di lobus frontalis dan temporalis, korpus kalosum, dan mesensefalon.
d. Kompresi, TIK meningkat, dan hidrosefalus kronis (NPH
Sebagai fungsi diensefalon dan lobus temporalis lebih dominan untuk memori jangka panjang dibandingkan dengan
korteks lainnya. Kegagalan dalam tes fungsi verbal (afasia) berhubungan dengan gangguan di hemisfer serebral
dominan, khususnya di bagian perisilvian dari lobus frontalis, temporalis, dan parientalis. Kehilangan kemampuan
membaca dan berhintung berhubungan dengan lesi di hemisfer serebri dominan bagian posterior. Gangguan
menggambar dan membangun bentuk sederhana dan kompleks dengan balok, tongkat, serta mengatur gambar,
biasanya terjadi bila terdapat lesi di lobus parientalis hemisfer serebri nondominan.2
D. Fisiologi Demensia vaskuler
a. Lokasi Infark. Infark di lobus temporalis menyebabkan gangguan memori, lesi di
lobus parientalis dapat mengakibatkan gangguan orientasi spasial, apraksi, agnosia
serta gangguan fungsi luhur lain. Depresi lebih sering terjadi pada lesi di hemisfer kiri
daripada di hemisfer kanan.2
b. Jumlah lesi. Bila seseorang telah mempunyai lesi di otak dan kemudian lesinya
bertambah karena ia mengalami stroke berulang, maka deficit yang timbul bukan
aditif melainkan berlipat ganda.2
c. Ukuran lesi. Gangguan mental cenderung terjadi bila volume infark melebihi 50ml.
Pada demensia dengan infark yang letaknya strategis, lesi kecil dapat mengakibatkan
gangguan kognitif yang berat.2

E. Manifestasi Klinis
Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang mengganggu kegiatan harian seseorang seperti:
mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar, dan kecil.2 Pada demensia jenis ini tidak didapatkan
gangguan kesadaran. Gejala dan disabilitas telah timbul paling sedikit 6 bulan pasca stroke.2

F. Diagnosis
Untuk menentukan demensia diperlukan kriteria yang mencakup :
a. Kemampuan intelektual menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan dan lingkungan.2
b. Defisit kognitif selalu melibatkan memori, biasanya didapatkan gangguan berpikir abstrak, menganalisis
masalah, gangguan pertimbangan, afasia, apraksia, kesulitan konstruksional, dan perubahan kepribadian.
c. Kesadaran masih baik.2

Pedoman diagnostik untuk menentukan demensia vaskular antara lain :


a. Terdapat gejala demensia seperti di atas.
b. Hendaklah fungsi kognitif biasanya tidak merata (mungkin terdapat hilangnya daya ingat, gangguan daya
berpikir, gejala neurologis daya ingat, gangguan daya berpikir, gejala neurologis fokal). Titik (insight) dan
daya nilai (judgment) secara relative tetap baik.
c. Awitan yang mendadak atau deteriorasi yang bertahap, disertai gejala neurologis fokal, meningkatkan
kemungkinan diagnosis demensia vaskule.
d. Pedoman diagnostic untuk demensia vaskuler awitan akut : Biasanya terjadi secara cepat sesudah
serangkaian stroke akibat thrombosis serebrovaskuler, embolisme, atau perdarahan. Pada kasus yang jarang,
satu infark yang besar dapat menjadi penyebab.

Tabel : Skor Iskemik Hachinski2


Riwayat dan Gejala Skor

Awitan mendadak 2

Deteriorasi bertahap 1

Perjalanan Klinis fluktuatif 2

Kebingungan malam hari 1

Kepribadian relative tidak terganggu 1

Depresi 1

Keluhan somatic 1
Emosi labil 1

Riwayat hipertensi 1

Riwayat penyakit serebrovaskuler 2

Arteriosklerosis penyerta 1

Keluhan neurologi fokal 2

Gejala neurologi fokal 2

Skor iskemik Hachinski berguna untuk membedakan demensia Alzheimer dengan demensia vaskuler
 Bila skor ≤ 4 : demensia Alzheimer
 Bila skor ≥ 7 : demensia Vaskuler

B. Diagnosis banding7
Diagnosis difokuskan pada hal-hal berikut ini:
A. Demensia Tipe Alzheimer lawan Demensia vaskuler
Secara klasik, demensia vaskuler dibedakan dengan demensia tipe Alzheimer dengan adanya perburukan penurunan
status mental yang menyertai penyakit serebrovaskuler seiring berjalannya waktu. Meskipun hal tersebut adalah
khas, kemerosotan yang bertahap tersebut tidak secara nyata ditemui pada seluruh kasus. Gejala neurologis fokal
lebih sering ditemui pada demensia vaskuler daripada demensia tipe Alzheimer, dimana hal tersebut merupakan
patokan adanya faktor risiko penyakit serebrovaskuler.

B. Demensia Vaskuler lawan Transient Ishemic Attacks


Transient ischemic attacks (TIA) adalah suatu episode singkat dari disfungsi neurologis fokal yang terjadi selama
kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15 menit). Meskipun berbagai mekanisme dapat mungkin terjadi, episode TIA
biasanya disebabkan oleh mikroemboli dari lesi arteri intrakranial yang mengakibatkan terjadinya iskemia otak
sementara, dan gejala tersebut biasanya menghilang tanpa perubahan patologis jaringan parenkim. Sekitar sepertiga
pasien dengan TIA yang tidak mendapatkan terapi mengalami infark serebri di kemudian hari, dengan demikian
pengenalan adanya TIA merupakan strategi klinis penting untuk mencegah infark serebri. Dokter harus membedakan
antara episode TIA yang mengenai sistem vertebrobasiler dan sistem karotis. Secara umum, gejala penyakit sistem
vertebrobasiler mencerminkan adanya gangguan fungsional baik pada batang otak maupun lobus oksipital,
sedangkan distribusi sistem karotis mencerminkan gejala-gejala gangguan penglihatan unilateral atau kelainan
hemisferik. Terapi antikoagulan, dengan obat-obat antipletelet agregasi seperti aspirin dan bedah reksonstruksi
vaskuler ekstra dan intrakranial efektif untuk menurunkan risiko infark serebri pada pasien dengan TIA.

C. Delirium
Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit daripada yang ditunjukkan oleh klasifikasi berdasarkan
DSM IV. Secara umum, delirium dibedakan dengan demensia oleh awitan yang cepat, durasi yang singkat, fluktuasi
gangguan kognitif dalam perjalanannya, eksaserbasi gejala yang bersifat nokturnal, gangguan siklus tidur yang
bermakna, dan gangguan perhatian dan persepsi yang menonjol.

Tabel . Perbedaan Klinis Delirium dan Demensia.


Gambaran Delirium Demensia
Riwayat Penyakit akut Penyakit Kronik
Awal Cepat Lambat laun
Sebab Terdapat penyakit lain (infeksi, Biasanya penyakit otak kronik
dehidrasi, guna/putus obat) (sptAlzheimer, demensia
vaskular)
Lamanya Ber-hari/-minggu Ber-bulan/-tahun
Perjalanan sakit Naik turun Kronik Progresif
Taraf Kesadaran Orientasi Naik turun, terganggu periodik Normal intak pada awalnya
Afek Cemas dan iritabel Labil tapi tak cemas
Alam pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya
Bahasa daya ingat Lamban. Inkoheren, inadekuat, angka Sulit menemukan istilah tepat
pendek terganggu nyata Jangka pendek dan panjang
terganggu
Persepsi Halusinasi (visual) Halusinasi jarang terjadi kecuali
sundowning
Psikomotor Retardasi, agitasi, campuran Normal
Tidur Terganggu siklus tidurnya Sedikit terganggu siklus tidurnya
Atensi dan kesadaran Amat terganggu Sedikit terganggu
Reversibilitas Sering reversibel Umumnya tak reversibel
Penanganan Segera Perlu tapi tak segera

D. Depresi
Beberapa pasien dengan depresi memiliki gejala gangguan fungsi kognitif yang sukar dibedakan dengan gejala pada
demensia. Gambaran klinis kadang-kadang menyerupai psuedodemensia, meskipun istilah disfungsi kognitif terkait
depresi (depression-related cognitive dysfunction) lebih disukai dan lebih dapat menggambarkan secara klinis. Pasien
dengan disfungsi kognitif terkait depresi secara umum memiliki gejala-gejala depresi yang menyolok, lebih
menyadari akan gejala-gejala yang mereka alami daripada pasien dengan demensia serta sering memiliki riwayat
episode depresi.

E. Skizofrenia
Meskipun skizofrenia dapat dikaitkan dengan kerusakan fungsi intelektual yang didapat (acquired), gejalanya lebih
ringan daripada gejala yang terkait dengan gejala-gejala psikosis dan gangguan pikiran seperti yang terdapat pada
demensia.

F. Proses penuaan yang normal


Proses penuaan yang normal dikaitkan dengan penurunan berbagai fungsi kognitif yang signifikan, akan tetapi
masalah-masalah memori atau daya ingat yang ringan dapat terjadi sebagai bagian yang normal dari proses
penuaan. Gejala yang normal ini terkadang dikaitkan dengan gangguan memori terkait usia, yang dibedakan dengan
demensia oleh ringannya derajat gangguan memori dan karena pada proses penuaan gangguan memori tersebut
tidak secara signifikan mempengaruhi perilaku sosial dan okupasional pasien.

C. Farmakoterapi demensia
Penatalaksanaan untuk penderita Alzheimer mencakup terapi simtomatik dan rehabilitatif. Sasaran terapi
simtomatik adalah mengurangi gejala kognitif, perilaku dan psikiatrik.

Tabel : Jenis, dosis, dan efek samping obat-obat demensia.2


Nama Obat Golongan Indikasi Dosis Efek Samping

Donepezil Penghambat DA ringan Dosis awal 5 mg/hr bila perlu, Mual, muntah,
Kolinesterase sedang setelah 4-6 minggu menjadi diare, insomnia
10mg/hr.

Galantamine Penghambat DA ringan Dosis awal 8 mg/hr; setiap bulan Mual, muntah,
kolinesterase sedang dosis dinaikkan 8 mg/hr hingga diare, anoreksia
dosis maksimal 24 mg/hr.

Rivastigmine Penghambat DA ringan Dosis awal 2x1,5mg/hr; setiap Mual, muntah,


kolinesterase sedang bulan dinaikkan 2x1,5mg/hr pusing, diare,
hingga dosis maksimal 2x6 mg/hr. anoreksia

Memantine Penghambat DA sedang Dosis awal 5mg/hr; setelah 1 Pusing, nyeri


reseptor berat minggu , dosis dinaikkan menjadi kepala, konstipasi
NMDA 2x5 mg/hr dan seterusnya hingga
dosis maksimal 2x10 mg/hr

Tabel : Jenis, dosis dan efek samping pengobatan untuk gangguan Psikiatrik dan perilaku pada demensia. 2
Depresi

Nama Obat Dosis Efek Samping

Sitalopram 10-40mg/hr Mual, mengatuk, nyeri kepala, tremor, dan disfungsi seksual

Esitalopram 5-20 mg/hr Insomnia, diare, mual, mulut kering, dan mengantuk

Sertralin 25-100mg/hr Mual, diare, mengantuk, mulut kering, dan disfungsi seksual

Fluoksetin 10-40mg/hr Mual, diare, mengantuk, insomnia, tremor, dan ansietas

Venlaflaksin 37,5-225mg/hr Nyeri kepala, mual, anoreksia, insomnia, dan mulut kering

Duloksetin 30-60mg/hr Penurunan nafsu makan, mual, mengantuk, dan insomnia

Agitasi, ansietas dan perilaku obsesif

Quetiapin 25-300mg/hr Mengantuk, pusing, mulut kering, konstipasi, dyspepsia, dan


peningkatan berat badan.

Olanzapin 2,5-10mg/hr Peningkatan berat badan, mulut kering, peningkatan nafsu


makan, pusing, mengantuk, dan tremor

Risperidon 0,5-1mg 3x/hr Mengantuk, tremor, insomnia, pandangan kabur, pusing, nyeri
kepala, mual, dan peningkatan berat badan.

Ziprasidon 20-80 mg/hr Kelelahan, mual, interval QT memanjang, pusing, diare, dan gejala
ekstrapiramidal.

Divalproex 125-500 mg Mengantuk, kelemahan, diare, konstipasi, dyspepsia, depresi,


2x/hr ansietas, dan tremor.

Gabapentin 100-300 mg Konstipasi,dyspepsia, kelemahan, hipertensi, anoreksia, vertigo,


3x/hr pneumonia, peningkatan kadar kretinin

Alprazolam 0,25-1mg 3x/hr Sedasi, disartria, inkoordinasi, gangguan ingatan

Lorazepam 0,5-2mg 3x/hr Kelelahan, mual, inkoordinasi, konstipasi, muntah, disfungsi


seksual

Insomnia

Zolpidem 5-10mg malam Diare, mengantuk


hari

Trezodon 25-100 mg Pusing, nyeri kepala, mulut kering, konstipasi.


malam hari

Terapi dengan menggunakan pendekatan lain


Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk penguat metabolisme serebral umum,
penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu
penghambat monoamine oksidase tipe B), dapat memperlambat perkembangan penyakit ini.
Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko penurunan fungsi kognitif pada wanita pasca menopause, walau
demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif
menggunakan ginkgo biloba dan fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat efek positif terhadap fungsi kognisi.
Laporan mengenai penggunaan obatantiinflamasi nonsteroid (OAINS) memiliki efek lebih rendah terhadap
perkembangan penyakit Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat dalam pencegahan penyakit.7

D. Terapi psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan demensia. Keinginan untuk
melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka
panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan
bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya.
Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikit
menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror
katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self) menghilang.
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif sehingga mereka dapat
memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya. Mereka juga bisa mendapatkan dukungan
dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga
dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas
yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan
fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara “berdamai” dengan
defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk
membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat.
Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut membantu pasien
untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan
dijauhi oleh keluarganya.7

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “shizein” yang berarti “terpisah” atau “pecah”, dan “phren” yang artinya
“jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif, dan perilaku. Secara umum,
gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gangguan dalam
hubungan interpersonal.
Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan mental dengan karakter abnormalitas
dalam persepsi atau gangguan mengenai realitas. Abnormalitas persepsi dapat berupa gangguan komunikasi sosial
yang nyata. Sering terjadi pada dewasa muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien dan dilakukan observasi
tingkah laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan laboratorium.
Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat
yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai oleh
penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted), kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda, namun hilang timbul dengan
manifestasi klinis yang amat luas variasinya. Menurut Eugen Bleuler, skizofrenia adalah suatu gambaran jiwa yang
terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni atara proses pikir, perasaan, dan perbuatan.
Epidemiologi
John McGrath PhD dari Pusat Penelitian Kesehatan Mental Queensland, Wacol, Australia, dalam simposium
bertema Psychosis Round the World, yang membahas data terbaru epidemiologi skizofrenia, memberikan presentasi
sistematik untuk memandang kejadian skizofrenia. Ia mengatakan, kejadian skizofrenia pada pria lebih besar
daripada wanita. Kejadian tahunan berjumlah 15,2% per 100.000 penduduk, kejadian pada imigran dibanding
penduduk asli sekitar 4,7%, kejadian pada pria 1,4% lebih besar dibandingkan wanita. Di indonesia, menurut
dr.Irmasyah, hampir 70% mereka yang dirawat di bagian psikiatri karena skizofrenia. Angka di masyarakat berkisar 1-
2% dari seluruh penduduk pernah mengalami skizofrenia dalam hidup mereka.2
Etiologi
Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai sejak dulu. Meskipun demikian
pengetahuan tentang faktor penyebab dan patogenesisnya masih minim diketahui. Adapun beberapa faktor etiologi
yang mendasari terjadinya skizofrenia, antara lain:

Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang turut menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan
dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur.
Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang
tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%; bagi kembar dua telur
(heterozigot) 2-15%; bagi kembar satu ttelur (monozigot) 61-86%.
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri)
melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada
lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak.
Endokrin
Dahulu dikira bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh gangguan endokrin. Teori ini dikemukakan karena
skizofrenia sering timbul pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium. Tetapi
hal ini tidak dapat dibuktikan.
Metabolisme
Ada orang yang menyangka bahwa skizofrenia disebabkan oleh gangguan metabolisme, karena penderita dengan
skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat. Ujung extremitas agak sianotik, nafsu makan berkurang dan berat
menurun. Hipotesis ini tidak dibenarkan oleh banyak sarjana. Belakangan ini teori metabolisme mendapat perhatian
lagi karena penelitian dengan memakai obat halusinogenik, seperti meskalin dan asam lisergik diethilamide (LSD-25).
Obat-obat ini dapat menimbulkan gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala skizofrenia, tetapi reversibel.
Mungkin skizofrenia disebabkan oleh suatu inborn error of metabolism, tetapi hubungan terakhir belum ditemukan.
Teori-teori tersebut di atas ini dapat dimasukkan ke dalam kelompok teori somatogenik, yaitu teori yang mencari
penyebab skizofrenia dalam kelainan badaniah. Kelompok teori lain adalah teori psikogenik, yaitu skizofrenia
diaggap sebagai suatu gangguan fungsional dan penyebab utama adalah konflik, stress psikologis dan hubungan
antarmanusia yang mengecewakan.
Kemudian muncil teori lain yang menganggap skizofrenia sebagai suatu sindrom yang dapat disebabkan oleh
bermacam-macam penyebab, antara lain keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit
badani seperti lues otakm atherosclerosis otak dan penyakit lain yang belum diketahui.
Akhirnya timbul pendapat bahwa skizofrenia itu suatu gangguan psikosomatis, gejala-gejala pada badan hanya
sekunder karena gangguan dasar yang psikogenik, atau merupakan manifestasi somatic dari gangguan psikogenik.
Tetapi pada skizofrenia justru kesukarannya adalah untuk menentukan mana yang primer dan mana yang sekunder,
mana yang merupakan penyebab dan mana yang hanya akibat saja.
Neurokimia
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh overaktivitas pada jaras dopamine mesolimbik.
Hal ini didukung oleh temuan bahwa amfetamin, yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamine, dapat
menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia; dan obat antipsikotik (terutama antipsikotik generasi pertama atau
antipsikotik tipikal/klasik) bekerja dengan memblok reseptor dopamine, terutama reseptor D2.2,3
Pemeriksaan Fisik
1. Status fisik
Sifat keluhan pasien penting untuk menentukan dibutuhkan atau tidaknya suatu pemeriksaan fisik lengkap. Gejala
fisik seperti nyeri kepala dan palpitasi memerlukan pemeriksaan medis yang menyeluruh untuk menentukan bagian
dari proses somatik. Bila ada, yang berperan menyebabkan penderitaan tersebut. Hal yang sama dapat digunakan
pada gejala mental misalnya depresi, ansietas, halusinasi, dan waham kejar, yang bisa jadi merupakan ekspresi dan
proses somatik. Terkadang keadaan menyebabkan kita perlu menunda pemeriksaan medis lengkap. Misalnya,
pasien dengan waham atau panik dapat menunjukkan perlawanan sikap bertahan atau keduanya. Pada keadaan ini,
riwayat medis harus diperoleh dari anggota keluarga bila memungkinkan. Namun, kecauali ada alasan mendesak
untuk melanjutkan pemeriksaan fisik, hal itu sebaiknya ditunda sampai pasien menurut.

Pemeriksaan Neurologis
Selama proses anamnesis pada kasus tersebut, tingkat kesadaran dan atensi pasien terhadap detil pemeriksaan,
pemahaman, ekspresi wajah, cara bicara, postur, dan cara berjalan perlu diperhatikan. Pemeriksaan neurologis
dilakukan untuk dua tujuan. Tujuan pertama dicapai melalui pemeriksaan neurologis rutin, yaitu terutama dirancang
untuk mengungkap asimetri fungsi motorik, persepsi, dan refleks pada kedua sisi tubuh yang disebabkan oleh
penyakit hemisferik fokal. Tujuan kedua tercapai dengan mencari untuk memperoleh tanda yang selama ini dikaitkan
dengan disfungsi otak difus atau penyakit lobus frontal. Tanda ini meliputi refleks mengisap, mencucur,
palmomental, dan refleks genggam serta menetapnya respons terhadap ketukan di dahi. Sayangnya, kecuali refleks
genggam, tanda seperti itu tidak berkaitan erat dengan patologi otak yang mendasari.2

2. Status mental
 Deskripsi umum
o Penampilan
Postur, pembawaan, pakaian, dan kerapihan. Penampilan pasien skizofrenia dapat berkisar dari orang yang sangat
berantakan, menjerit-jerit, dan teragitasihingga orang yang terobsesi tampil rapi, sangat pendiam, dan imobil.
o Perilaku dan aktivitas psikomotor yang nyata
Kategori ini merujuk pada aspek kuantitatif dan kualitatif dari perilaku motorik pasien. Termasuk diantaranya adalah
manerisme, tik, gerakan tubuh, kedutan, perilaku streotipik, ekopraksia, hiperaktivitas, agitasi, sikap melawan,
fleksibilitas, rigiditas, gaya berjalan, dan kegesitan.
o Sikap terhadap pemeriksa
Sikap pasien terhadap pemeriksa dapat dideskripsikan sebagai kooperatif, bersahabat, penuh perhatian, tertarik,
balk-blakan, seduktif, defensif, merendahkan, kebingungan, apatis, bermusuhan, suka melucu, menyenangkan, suka
mengelak, atau berhati-hati.
 Mood dan afek
Mood didefinisikan sebagai emosi menetap dan telah meresap yang mewarnai persepsi orang tersebut terhadap
dunia.
Afek didefinisikan sebagai responsivitas emosi pasien saat ini, yang tersirat dari ekspresi wajah pasien, termasuk
jumlah dan kisaran perilaku ekspresif.
 Kakteristik gaya bicara
Pasien dapat digambarkan sebagai banyak bicara, cerewet, fasihm pendiam, tidak spontan, atau terespons normal
terhadap petunjuk dari pewawancara. Gaya bicara dapat cepat atau lambat, tertekan, tertahan, emosional,
dramatis, monoton, keras, berbisik, cadel, terputus-putus, atau bergumam. Gangguan bicara, contohnya gagap,
dimasukkan dalam bagian ini.
 Persepsi
Gangguan persepsi, seperti halusinasi dan ilusi mengenai dirinya atau lingkungannya, dapat dialami oleh seseorang.
Sistem sensorik yang terlibat (contohnya: auditorik, visual, olfaktorik, atau taktil) dan isi ilusi atau halusinasi tersebut
harus dijelaskan.
 Halusinasi senestik
Halusinasi senestik merupakan sensasi tak berdasar akan adanya keadaan organ tubuh yang terganggu. Contoh
halusinasi senestik mencakup sensasi terbakar pada otak, sensasi terdorong pada pembuluh darah, serta sensasi
tertusuk pada sumsum tulang.
 Ilusi
Sebagaimana dibedakan dari halusinasi, ilusi merupakan distorsi citra yang nyata, sementara halusinasi tidak
didasarkan pada citra atau sensasi yang nyata. Ilusi dapat terjadi pada pasien skizofrenik selama fase aktif, namun
dapat pula terjadi dalam fase prodromal dan selama periode remisi.
 Isi pikir dan kecenderungan mental
o Proses pikir (bentuk pemikiran)
Pasien dapat memiliki ide yang sangat banyak atau justru miskin ide. Dapat terjadi proses pikir yang cepat, yang bila
berlangsung sangat ekstrim, disebut flight of ideas. Seorang pasien juga dapat menunjukkan cara berpikir yang
lambat atau tertahan. Gangguan kontinuitas pikir meliputi pernyataan yang bersifat tangensial, sirkumstansial,
meracau, suka mengelak, atau perseveratif.
Bloking adalah suatu interupsi pada jalan pemikiran sebelum suatu ide selesai diungkapkan. Sirkumstansial
mengisyaratkan hilangnya kemampuan berpikir yang mengarah ke tujuan dalam mengemukakan suatu ide, pasien
menyertakan banyak detail yang tidak relevan dan komentar tambahan namun pada akhirnya mampu ke ide semula.
Tangensialitas merupakan suatu gangguan berupa hilangnya benang merah pembicaraan pada seorang pasien dan
kemudian ia mengikuti pikiran tangensial yang dirangsang oleh berbagai stimulus eksternal atau internal yang tidak
relevan dan tidak pernah kembali ke ide semula. Gangguan proses pikir dapat tercermin dari word salad (hubungan
antarpemikiran yang tidak dapat dipahami atau inkoheren), clang association (asosiasi berdasarkan rima), punning
(asosiasi berdasarkan makna ganda), dan neologisme (kata-kata baru yang diciptakan oleh pasien melalui kombinasi
atau pemadatan kata-kata lain).
o Isi pikir
Gangguan isi pikir meliputi waham, preokupasi, obsesi, kompulsi, fobia, rencana, niat, ide berulang mengenai bunuh
diri atau pembunuhan, gejala hipokondriakal, dan kecenderungan antisosial tertentu.
 Sensorium dan kognisi
Pemeriksaan ini berusaha mengkaji fungsi organik otak dan inteligensi pasien, kemampuan berpikir abstrak, serta
derajat tilikan dan daya nilai.
o Kesadaran
Gangguan kesadaran biasanya mengindikasikan adanya kerusakan organik pada otak.
o Orientasi dan memori
Ganggaun orientasi biasanya dibagi berdasarkan waktu, tempat, dan orang.
o Konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi pasien terganggu karena berbagai allasan. Gangguan kognitif, ansietas, depresi, dan stimulus internal,
seperti halusinasi auditorik, semuanya dapat berperan menyebabkan gangguan konsentrasi.
o Membaca dan menulis
o Kemampuan visuospasial
Pasien diminta untuk menyalin suatu gambar, misalnya bagian depan jam dinding atau segilima bertumpuk.
o Pikiran abstrak
Kemampuan untuk menangani konsep-konsep. Pasien mungkin memiliki gangguan dalam membuat konsep atau
menangani ide.
o Informasi dan inteligensi
 Impulsivitas, Kekerasan, Bunuh diri, dan Pembunuhan
Pasien mungkin tidak dapat mengendalikan impuls akibat suatu gangguan kognitif atau psikotik atau merupakan
hasil suatu defek karakter yang kronik, seperti yang dijumpai pada gangguan kepribadian.
Perilaku kekerasan lazim dijumpai di antara pasien skizofrenik yang tidak diobati. Waham yang bersifat kejar,
episode kekerasan sebelumnya, dan defisit neurologis merupakan faktor resiko perilaku kekerasan atau impulsif.
Kurang lebih 50 persen pasien skizofrenik mencoba bunuh diri, dan 10 sampai 15 persen pasien skizofrenia
meninggal akibat bunuh diri. Mungkin faktor yang paling tidak diperhitungkan yang terlibat dalam kasus bunuh diri
pasien ini adalah depresi yang salah diagnosis sebagai afek mendatar atau efek samping obat. Faktor pemicu lain
untuk bunuh diri mencakup perasaan kehampaan absolut, kebutuhan melarikan diri dari penyiksaan mental, atau
halusinasi auditorik yang memerintahkan pasien mebunuh diri sendiri.
Saat seorang pasien skizofrenik benar-benar melakukan pembunuhan, hal itu mungkin dilakukan dengan alasan yang
aneh atau tak disangka-sangka yang didasarkan pada halusinasi atau waham.
 Daya nilai dan tilikan
Daya nilai : aspek kemampuan pasien untuk melakukan penilaian sosial. Dapatkah pasien meramalkan apa yang akan
dilakukannya dalam situasi imajiner. Contohnya: apa yang akan pasien lakukan ketika ia mencium asap dalam
suasana gedung bioskop yang penuh sesak?
Tilikan: tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya. Pasien dapat menunjukkan penyangkalan total
akan penyakitnya atau mungkin menunjukkan sedikit kesadaran kalau dirinya sakit namun menyalahkan orang lain,
faktor eksternal, atau bahkan faktor organik. Mereka mungking menyadari dirinya sakit, namun menganggap hal
tersebut sebagai sesuatu yang asing atau misterius dalam dirinya.
 Realiabilitas
Kesan psikiater tentang sejauh mana pasien dapat dipercaya dan kemampuan untuk melaporkan keadaanya secara
akurat. Contohnya, bila pasien terbuka mengenai penyalahgunaan obat tertentu secara aktif mengenai keadaan
yang menurut pasien dapat berpengaruh buruk (mislnya, bermasalah dengan hukum), psikiater dapat
memperkirakan bahwa realiabilitas pasien adalah baik.2,3

3. Pemeriksaan tambahan
Tes psikologis: tes inteligensi, tes kepribadian, tes ketangkasan atau bakat, dan tes neuropsikologis.
 Tes inteligensi
Dapat ditentukan HI (hasil bagi inteligensi) atau IQ (Intelligence Quotient) sebagai suatu cara numerik untuk
menyatakan taraf inteligensi. Rumusnya sebagai berikut:

Umur mental
HI= ------------------------- x 100
Umur kalender

Umur mental didapat dari tes inteligensi. Umur kalender diambil paling tinggi 15 (biarpun sebenarnya lebih), karena
tes inteligensi yang ada sekarang sukar untuk mengukur perbedaan inteligensi di atas umur 15 tahun.

 Tes kepribadian
Tes kepribadian lebih sukar dibuat, dipakai dan dinilai sehingga reliabilitas dan validitas kurang dari tes inteligensi.
Hal ini disebabkan antara lain karena begitu banyaknya sifat kepribadian manusia dan sukarnya mencari parameter
atau indikatro yang tepat dan dapat diukur untuk suatu sifat kepribadian tertentu. Kepribadian adalah keseluruhan
perilaku manusia atau perannya dalam hubungan antar manusia, pribadinya dapat dibedakan dari pribadi lain. Peran
ini bukan saja perilaku yang nyata, tetapi juga sikap internal, kecenderungan bertindak dan hambatan. Kepribadian
dapat dievaluasi dengan cara observasi, wawancara, atau melalui daftar pertanyaan, tes melengkapi kalimat atau tes
proyeksi.

 Tes neuropsikologis
Tes neuropsikologis merupakan tes yang mempelajari hubungan antara otak dan perilaku dengan menggunakan
prosedur tes yang terstandarisasi dan objektif. Tes ini menguji kemampuan kognitif. Tujuan tes neuropsikologis
adalah identifikasi, kuantifikasi, dan deskripsi perubahan kognitif dan perilaku yang disebabkan oleh disfungsi otak.
Dalam hal ini, ranah (domain) yang dievaluasi adalah kemampuan berbahasa, memori, penalaran dan pertimbangan
intelektual, fungsi visual-motor, fungsi sensori-perseptual, dan fungsi motorik.2,3

Pemeriksaan Penunjang
Meskipun pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan penunjang, tetapi peranannya penting dalam menjelaskan
dan menkuantifikasi disfungsi neurofisiologis, memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis. Hasil pemeriksaan
laboratorik harus dapat diintegrasikan dengan data riwayat penyakit, wawancara dan pemeriksaan psikiatrik untuk
memperoleh gambaran komprehensif tentang diagnosis dan pengobatan yang diperlukan oleh pasien.
Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai tes apa saja yang digunakan sebagai penyaring, tetapi beberapa tes
berikut patut untuk dipertimbangkan:
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Elektrolit serum
3. Glukosa darah
4. Tes fungsi hepar
5. Tes fungsi ginjal
6. Kalsium serum
7. Uji fungsi tiroid
8. Pemeriksaan penyaring untuk sifilis (VDRL dan TPHA)
9. Tes urin untuk obat terlarang.2,3
Gambaran klinis
Skizofrenia merupakan penyakit kronik. Sebagian kecil dari kehidupan mereka berada dalam kondisi akut
dan sebagian besar penderita berada lebih lama (bertahun-tahun) dalam fase residual yaitu fase yang
memperlihatkan gambaran penyakit yang “ringan”. Selama periode residual, pasien lebih menarik diri atau
mengisolasi diri, dan “aneh”. Gejala-gejala penyakit biasanya terlihat lebih jelas oleh orang lain. Pasien dapat
kehilangan pekerjaan dan teman karena ia tidak berminat dan tidak mampu berbuat sesuatu atau karena sikapnya
yang aneh. Pemikiran dan pembicaraan mereka samar-samar sehingga kadang-kadang tidak dapat dimengerti.
Mereka mungkin mempunyai keyakinan yang salah yang tidak dapat dikoreksi. Penampilan dan kebiasaan-kebiasaan
mereka mengalami kemunduran serta afek mereka terlihat tumpul. Meskipun mereka dapat mempertahankan
inteligensia yang mendekati normal, sebagian besar performa uji kognitifnya buruk. Pasien dapat menderita
anhedonia yaitu ketidakmampuan merasakan rasa senang. Pasien juga mengalami deteorisasi yaitu perburukan yang
terjadi secara berangsur-angsur.
Gejala Positif dan Negatif
Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi afek mendatar atu menumpul, miskin
bicara (alogia) atau isi bicara, bloking, kurang merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara
sosial.
Gangguan Pikiran
- Gangguan proses pikir
Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir. Pikiran mereka sering tidak dapat dimengerti oleh orang lain dann
terlihat tidak logis. Tanda-tandanya adalah:
1. Asosiasi longgar: ide pasien sering tidak menyambung. Ide tersebut seolah dapat melompat dari satu topik
ke topik lain yang tak berhubungan sehingga membingungkan pendengar. Gangguan ini sering terjadi
misalnya di pertengahan kalimat sehingga pembicaraan sering tidak koheren.
2. Pemasukan berlebihan: arus pikiran pasien secara terus-menerus mengalami gangguan karena pikirannya
sering dimasuki informasi yang tidak relevan.
3. Neologisme: pasien menciptakan kata-kata baru (yang bagi mereka meungkin mengandung arti simbolik)
4. Terhambat: pembicaraan tiba-tiba berhenti (sering pada pertengahan kalimat) dan disambung kembali
beberapa saat kemudian, biasanya dengan topik lain. Ini dapat menunjukkan bahwa ada interupsi.
5. Klang asosiasi: pasien memilih kata-kata berikut mereka berdasarkan bunyi kata-kata yang baru saja
diucapkan dan bukan isi pikirannya.
6. Ekolalia: pasien mengulang kata-kata atau kalimat-kalimat yang baru saja diucapkan oleh seseorang.
7. Konkritisasi: pasien dengan IQ rata-rata normal atau lebih tinggi, sangat buruk kemampuan berpikir
abstraknya.
8. Alogia: pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disengaja (miskin pembicaraan) atau dapat berbicara
dalam jumlah normal tetapi sangat sedikit ide yang disamapaikan (miskin isi pembicaraan).
- Gangguan isi pikir
1. Waham: suatu kepercayaan palsu yang menetap yang taksesuai dengan fakta dan kepercayaan tersebut
mungkin “aneh” atau bisa pula “tidak aneh” tetapi sangat tidak mungkin dan tetap dipertahankam
meskipun telah diperlihaykan bukti-bukti yang jelas untuk mengkoreksinya. Waham sering ditemui pada
gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada skizofrenia.
Semakin akut skizofrenia semakin sering ditemui waham disorganisasi atau waham tidak sistematis:
a. Waham kejar
b. Waham kebesaran
c. Waham rujukan
d. Waham penyiaran pikiran
e. Waham penyisipan pikiran
2. Tilikan
Kebanyakan pasien skizofrenia mengalami pengurangan tilikan yaitu pasien tidak menyadari penyakitnya serta
kebutuhannya terhaap pengobatan, meskipun gangguan yang ada pada dirinya dapat dilihat oleh orang lain.
Gangguan Persepsi
- Halusinasi
Halusinasi paling sering ditemui, biasanya berbentuk pendengaran tetapi bisa juga berbentuk penglihatan,
penciuman, dan perabaan. Halusinasi pendengaran dapat pula berupa komentar tentang pasien atau peristiwa-
peristiwa sekitar pasien. Komentar-komentar tersebut dapat berbentuk ancaman atau perintah-perintah langsung
ditujukan kepada pasien (halusinasi komando). Suara-suara sering diterima pasien sebagai sesuatu yang berasal dari
luar kepala pasien dan kadang-kadang pasien dapat mendengar pikiran-pikiran mereka sendiri berbicara keras.
Suara-suara cukup nyata menurut pasien kecuali pada fase awal skizofrenia.
- Ilusi dan depersonalisasi
Pasien juga dapat mengalami ilusi atau depersonalisasi. Ilusi yaitu adanya misinterpretasi panca indera terhadap
objek. Depersonalisasi yaitu adanya perasaan asing terhadap diri sendiri. Derealisasi yaitu adanya perasaan asing
terhadap lingkungan sekitarnya misalnya dunia terlihat tidak nyata.

Gangguan Perilaku
Salah satu gangguan aktivitas motorik pada skizofrenia adalah gejala katatonik yang dapat berupa stupor
atauh gaduh gelisah. Paien dengan stupor tidak bergerak, tidak berbicara, dan tidak berespons, meskipun ia
sepenuhnya sadar. Sedangkan pasien dengan katatonik gaduh gelisah menunjukkan aktivitas motorik yang tidak
terkendali. Kedua keadaan ini kadang-kadang terjadi bergantian. Pada stupor katatonik juga bisa didapati
fleksibilitas serea dan katalepsi. Gejala katalepsi adalah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk waktu yang
lama. Sedangkan fleksibilitas serea adalah bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan seperti pada lilin
atau malam dan posisi itu dipertahankan agak lama.
Gangguan perilaku lain adalah stereotipi dan manerisme. Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau
mengambil sikap badan tertentu disebut stereotipi. Misalnya, menarik-narik rambutnya, atau tiap kali bila mau
menyuap nasi mengetuk piring dulu beberapa kali. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa
tahun. Stereotipi pembicaraan dinamakan verbigrasi, kata atau kalimat diulang-ulangi, hal ini sering juga terdapat
pada gangguan otak orgnaik. Manerisme adalah stereotipi tertentu pada skizofrenia, yang dapat dilihat dalam
bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya berjalan.
Gangguan Afek
Kedangkalan respons emosi, misalnya penderita menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya
sendiri sepertti keadaan keluarganya dan masa depannya. Perasaan halus sudah hilang. Parathimi, apa yang
seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah. Paramimi,
penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis. Parathimi dan paramimi bersama-sama dinamakan
incongruity of affect dalam bahasa inggris dan inadequat dalam bahasa belanda.
Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan, misalnya sesudah membunuh anaknya
penderita menangis berhari-hari, tetapi mulutnya seperti tertawa.semua ini merupakan gangguan afek dan emosi
yang khas untuk skizofrenia. Gangguan afek dan emosi lain adalah:
Emosi berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti pada penderita sedang bersandiwara.
Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik
(emotional rapport). Karena itu sering kita tidak dapat merasakan perasaan penderita. Karena terpecah-belahnya
kepribadian, maka dual hal yang berlawanan mungkin timbul bersama-sama, misalnya mencintai dan membenci satu
orang yang sama; menangis dan tertawa tentang satu hal yang sama. Ini dinamakan ambivalensi afektif.1-3
Diagnosis
Adanya halusinasi atau waham tidak mutlak untuk diagnosis skizofrenia; gangguan pada pasien didiagnosis
sebagai skizofrenia apabila pasien menunjukkan dua gejala yang terdaftar sebagai gejala 3 sampai 5 pada kriteria A
(1.waham 2. Halusinasi 3. Bicara kacau 4. Perilaku yang sangat kacau/katatonik 5. Gejala negatif, yaitu: afek medatar,
alogia, atau anhedonia). Hanya dibutuhkan satu gejala kriteria A bila wahamnya bizare atau halusinasinya terdiri atas
suara yang terus-menerus memberi komentar terhadap perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang
saling bercakap-cakap. Kriteria B membutuhkan adanya hendaya fungsi, meski tidak memburuk, yang tampak selama
fase aktif penyakit. Gejala harus berlangsung selama paling tidak 6 bulan dan diagnosis gangguan skizoafektif atau
gangguan mood harus disingkirkan. Setidaknya salah satu hal ini harus ada:
1. Gema pikiran (thought echo)
2. Waham kendali, pengaruh, atau pasivitas
3. Suara-suara halusinasi yang terus-menerus mengomentari perilaku pasien atau saling mendiskusikan pasien, atau
suara halusinasi lain yang berasal dari bagian tubuh tertentu; dan
4. Waham persisten jenis lain yang secara budaya tidak sesuai dan sangat tidak masuk akal.
Diagnosis juga dapat ditegakkan bila setidaknya dua hal berikut ada:
1. Halusinasi persisten dalam modalitas apapun, bila terjadi setiap hari selama sekurangnya 1 bulan, atau bila disertai
waham
2. Neologisme, kata baru yang diciptakan oleh pasien, seringkali dengan menggabungkan suku kata atau dari kata-
kata lain.
3. Perilaku katatonik, seperti eksitasi, postur atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme, dan stupor
4. Gejala negatif, seperti apatis yang nyata, miskin isi pembicaraan, dan respons emosional tumpul serta ganjil (harus
ditegaskan bahwa hal ini bukan disebabkan depresi atau pengobatan antipsikotik).
Jenis – Jenis Skizofrenia
a. Tipe paranoid
Skizofrenia tipe ini ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau lebih waham atau halusinasi auditorik yang sering
serta tidak adanya perilaku spesifik yang sugestif untuk tipe hebrefrenik atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe
paranoid terutama ditandai dengan adanya waham kejar atau kebesaran. Pasien skizofrenia paranoid biasanya
mengalami episode pertama penyakit pada usia yang lebih tua dibanding pasien skizofrenia hebefrenik dan
katatonik. Pasien yang skizofrenianya terjadi pada akhir usia 20-an atau 30-an biasanya telah memiliki kehidupan
sosial yang mapan yang dapat membantu mengatasi penyakitnya, dan sumber ego pasien paranoid cenderung lebih
besar dibanding pasien skizofrenia hebefrenik atau katatonik. Pasien skizofrenia paranoid menunjukkna regresi
kemampuan mental, respons emosional, dan perilaku yang lebih ringan dibandingkan pasien skizofrenia tipe lain.
Pasien skizofrenia paranoid biasanya tegang, mudah curiga, berjaga-jaga, berhati-hati, dan terkadang bersikap
bermusuhan atau agresif, namun mereka kadang-kadang dapat mengendalikan diri mereka secara adekuat pada
situasi sosial. Inteligensi mereka dalam area yang tidak dipengaruhi psikosisnya cenderung tetap utuh.
b. Tipe disorganized
Skizofrenia tipe disorganized (sebelumnya disebut hebefrenik) ditandai dengan regresi nyata ke perilaku primitif, tak
terinhibisi, dan kacau serta dengan tidak adanya gejala yang memenuhi kriteria tipe katatonik. Onset subtipe ini
biasanya dini, sebelum usia 25 tahun. Pasien hebefrenik biasanya aktif namun dalam sikap yang nonkonstruktif dan
tak bertujuan. Gangguan pikir menonjol dan kontal dengan realitas buruk. Penampilan pribadi dan perilaku sosial
berantakan, respons emosional mereka tidak sesuai dan tawa mereka sering meledak tanpa alasan jelas. Seringai
atau meringis yang tak pantas lazim dijumpai pada pasien inim yang perilakunya paling baik dideskripsikan sebagai
konyol atau tolol.
c. Tipe katatonik
Pasien mempunyai paling sedikit satu dari beberapa bentuk katatonia:
- Stupor katatonik atau mutisme yaitu pasien tidak berespons terhadap lingkungan atau orang. Pasien
menyadari hal-hal yang sedang berlangsung di sekitarnya.
- Negativsme katatonik yaitu pasien melawan semua perintah-perintah atau usaha-usaha untuk
menggerakkan fisiknya.
- Rigiditas katatonik yaitu pasien secara fisik sangat kaku atau rigid.
- Postur katatonik yaitu pasein mempertahankan posisi yang tak biasa atau aneh.
- Kegembiraan katatonik yaitu pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin dapat mengancam jiwanya
(misalnya, karena kelelahan).
d. Tipe tak terinci
Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikosis aktif yang menonjol (misalnya: kebingungan,
inkoheren) atau memenuhi kriteria skizofrenia tetapi tidak dapat digolongkan pada tipe paranoid, katatonik,
hebefrenik, residual, dan depresi pasca skizofrenia.
e. Tipe residual
Pasien dalam keadaan remmsi dari keadaan akut tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual (penarikan diri
secara sosial, afek datar atau tak serasi, perilaku eksentrik, asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis).
f. Skizofrenia simpleks
Skizofrenia simpleks adalah sulatu diagnosis yang sulit dibuat secara meyakinka karena bergantung pada pemastian
perkembangan yang berlangsung perlahan, progresif dari gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa
adanya riwayat halusinasi, waham atau manifestasi lain tentang adanya suatu episode psikotik sebelumnya, dan
disertai degan perubahan-perubahan yang bermakna pada perilaku perorangan, yang bermanifestasi sebagai
kehilangan minat yang mencolok, kemalasan, dan penarikan diri secara sosial.1,3

Patofisiologi
Neurobiologi
Terdapat peningkatan jumlah penelitian yang mengindikasikan adanya peran patofisiologis area otak
tertentu, termasuk sistem limbik, korteks frontal, serebelum, dan ganglia basalis. Keempat area ini saling terhubung
sehingga disfungsi satu area dapat melibatkan proses patologi primer di tempat lain. Pencitraan otak manusia hidup
dan pemeriksaan neuropatologi jaringan otak postmortem menyatakan sistem limbik sebagai lokasi potensial proses
patologi primer pada setidaknya beberapa, bahkan mungkin sebagian besar, pasien skizofrenia.
Dua are yang menjadi subjek penelitian aktif adalh waktu ketika suatu lesi neuropatologi terlihat di otak
serta interaksi lesi tersebut dengan stresor sosial dan lingkungan. Dasar penampakan abnormalitas otak mungkin
terletak pada pembentukan abnormal atau pada degenerasi neuron setelah pembentukan. Namun, fakta bahwa
kembar monozigotik memiliki angka kejadian bersama sebesar 50% menyiratkan adanya interaksi yang masih sangat
sedikit diketahui antara lingkungan dan timbulnya skizofrenia. Di lainppihak, faktor yang mengatur ekspresi gen baru
mulai dipahami. Meski kembar monozigotik mempunyai informasi genetik yang sama, regulasi gen yang berbeda
sepanjang hidup mungkin menyebabkan salah satu kembar monozigotik mengalami skizofrenia, sementara
kembarannya tidak.
Neuroanatomik, Neurofungsional, dan Neurokognitif
CT-scan dan MRI secara konsisten menunjukkan peningkatan volume ventrikel lateral dan ketiga pada pasien
skizofrenia. Studi ini umumnya juga menunjukkan pengurangan volume otak secara keseluruhan pasien skizofrenia
dan pengurangan tertentu dalam ukuran dari struktur lobus temporal medial, seperti amigdala dan hipokampus.
Selain itu, penelitian telah melaporkan penurunan ukuran dari thalamus dan kelainan pada garis tengah daerah
perkembangan. Tak satu pun dari perubahan ini spesifik untuk skizofrenia, meskipun beberapa telah terbukti ada
pada pasien dengan episode penyakit pertama dan tidak menggunakan obat sebelumnya.
Teknik fungsional neuroimaging, seperti tomografi emisi positron (PET), menunjukkan secara in vivo pengukuran
metabolisme glukosa regional atau aliran darah otak, dimana keduanya mencerminkan aktivitas neuron regional.
Sebagian besar penelitian telah mendeteksi perubahan aktivitas di korteks prefrontal, struktur ganglia basalis,
daerah temporo-limbik, dan thalamus, menunjukkan fungsi sirkuit cortico-striato-thalamo-kortikal yang terganggu.
Penurunan aktivitas dalam korteks prefrontal pada pasien skizofrenia sering diamati selama tugas aktivasi kognitif
dan memori kerja. Selama halusinasi pendengaran aktif, aktivasi abnormal thalamus, striatum, limbik, dan daerah
paralimbik telah terdeteksi. Pasien skizofrenia yang menampilkan kelainan pada bagian prefrontal, thalamic, dan
cerebellar, menunjukkan gangguan dalam sirkuit pontine-cerebellar-thalamic-frontal.
Neurokimia
Penemuan menunjukkan bahwa disregulasi dopamin yang kompleks terjadi dengan aktivitas hiperdopaminergik
dalam proyeksi mesencephalic ke striatum limbik dan aktivitas hipodopaminergik di neokorteks. Bukti dari kegiatan
hiperdopaminergik termasuk hubungan antara efektivitas dopamin reseptor yang mengikat obat dan pengurangan
gejala positif serta peningkatan reseptor D2 dalam studi postmortem dan PET.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa berbagai gejala positif berhubungan dengan kelainan dalam penyimpanan
dopamin presynaptic, pelepasan, transportasi, dan reuptake dalam sistem mesolimbik. Hipo-aktivitas dari sistem
dopamin ditunjukkan dari penemuan penurunan onset dopamin pada pasien dengan gejala negatif, dan dalam
beberapa penelitian agonis dopamin telah terbukti memperbaiki gejala negatif. Pencitraan fungsional juga
menunjukkan bahwa hipo-frontalitas akan lebih parah pada pasien dengan gejala negatif.
Serotonergik, glutamatergic, dan sistem neurotransmitter lainnya (misalnya, gamma-aminobutyric acid [GABA])
telah diselidiki pada skizofrenia, terutama mengacu pada interaksi dengan sistem dopaminergik.. Dalam studi
tentang sistem GABAergic, penurunan dekarboksilase asam glutamat, enzim GABA-sintesis, telah diamati dalam
korteks prefrontal pada pasien skizofrenia, dan perubahan dalam subtipe neuron GABAergic telah dilaporkan.
Sistem opioid juga telah dianggap sebagai kandidat yang berpotensial yang terlibat dalam skizofrenia, didasarkan
terutama pada kesamaan antara efek farmakologis dari terjadinya tanda opioid dan kejiwaan. Hipotesis telah
diusulkan pada peningkatan maupun penurunan level dari berbagai peptide opioid sebagai faktor yang mendasari
sebagai penyebab gejala skizofrenia. Namun, penelitian klinis berdasarkan hipotesis sering menghasilkan hasil
variable atau bermacam-macam.5

Differential Diagnose
Gangguan Psikotik Lain
Gejala psikotik pada skizofrenia dapat identik dengan gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat, gangguan
skizoafektif, dan gangguan waham. Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia berupa gejala yang berdurasi
setidaknya 1 bulan tapi kurang dari 6 bulan. Gangguan psikotik singkat merupakan diagnosis yang sesuai bila gejala
berlangsung setidaknya 1 hari tapi kurang dari 1 bulan dan bila pasien tidak kembali ke keadaan fungsi pramorbidnya
dalam waktu tersebut. Jika suatu sindrom manik atau depresif terjadi bersamaan dengan gejala utama skizofrenia,
gangguan skizoafektif adalah diagnosis yang tepat. Waham nonbizar yang timbul selama sekurangnya 1 bulan tanpa
gejala skizofrenia lain atau gangguan mood patut didiagnosis sebagai gangguan waham.
Gangguan Kepribadian
Berbagai gangguan kepribadian mungkin memiliki sebagian gambaran yang sama dengan skizofrenia.
Gangguan kepribadian skizotipal, skizoid, dan ambang adalah gangguan kepribadian dengan gejala yang paling mirip.
Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif yang parah dapat menyamarkan suatu proses skizofrenik yang mendasari.
Tak seperti skizofrenia, gangguan kepribadian memiliki gejala ringan dan riwayat terjadi seumur hidup pasien.
Gangguan ini juga tidak memiliki tanggal awitan yang dapat diidentifikasi.
Gangguan Waham
Konsep utama mengenai penyebab gangguan waham adalah perbedaanya dengan skizofrenia dan gangguan
mood. Gangguan waham lebih jarang daripada skizofrenia maupun gangguan mood, onsetnya lebih lambat daripada
skizofrenia dan dominasi perempuan kurang nyata daripada gangguan mood. 3

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Waham.3


A. Waham tidak bizar ( melibatkan situasi yang terjadi dalam kehidupan nyata, seperti merasa
diikuti, diracuni, terinfeksi, dicintai dari jauh, atau dikhianati pasangan atau kekasih, atau
menderita suatu penyakit) sekurang-kurangnya 1 bulan.

B. Kriteria A skizofrenia tidak terpenuhi. Catatan: halusinasi taktil dan olfaktori dapat terjadi
gangguan waham jika sesuai dengan tema waham.

C. Berbeda dengan dampak waham atau hasil akhirnya, fungsi tidak terganggu secara nyata
dan perilaku tidak secara jelas, aneh, atau bizar.

D. Jika episode mood telah terjadi bersamaan dengan waham, durasi totalnya singkat
dibandingkan durasi periode waham.

E. Gangguan tidak disebabkan efek fisiologis suatu zat secara langsung (c/o: penyalahgunaan,
suatu obat) atau kondisi medis umum.

Jenis-jenis waham.3
Pada tipe waham ini, orang lain, biasanya dengan status lebih tinggi,
Waham erotomania
jatuh cinta kepada dirinya.

Pada tipe waham ini, terdapat kekuatan, pengetahuan, penghargaan,


Waham kebesaran identitas yang berlebihan atau hubungan khusus terhadap orang yang
terkenal atau dewa.

Waham cemburu Pada tipe waham ini, pasangan seksual seseorang dianggap tidak setia.

Pada tipe waham ini, orang (atau seseorang yang dekat) dianggap
Waham kejar
diperlakukan dengan kasar.

Pada tipe waham ini, orang mempunyai beberapa cacat fisik atau
Waham somatik
kondisi medis umum.

Pada tipe waham ini ciri khas lebih dari satu tipe di atas tetapi tidak ada
Waham campuran
tema yang menonjol.

Penatalaksanaan
Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan kemungkinan lebih
besar penderita menuju ke kemunduran mental.
Farmakoterapi
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan gejala aktif dan
mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama: antagonis reseptor dopamin, dan antagonis
serotonin-dopamin.
Antagonis Reseptor Dopamin
Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama terhadap gejala positif. Obat-
obatan ini memiliki dua kekurangan utama. Pertama, hanya presentase kecil pasien yang cukup terbantu untuk
dapat memulihkan fungsi mental normal secara bermakna. Kedua, antagonis reseptor dopamin dikaitkan dengan
efek samping yang mengganggu dan serius. Efek yang paling sering mengganggu aalah akatisia adan gejala lir-
parkinsonian berupa rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda dan sindrom neuroleptik
maligna.
Antagonis Serotonin-Dopamin
SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal ayng minimal atau tidak ada, berinteraksi dengan subtipe reseptor
dopamin yang berbeda di banding antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun
glutamat. Obat ini juga menghasilkan efek samping neurologis dan endokrinologis yang lebih sedikit serta lebih
efektif dalam menangani gejala negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut sebagai obat antipsikotik atipikal ini
tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas dibanding agen antipsikotik antagonis
reseptor dopamin yang tipikal. Golongan ini setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol untuk gejala positif
skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif, dan lebih sedikit, bila ada, menyebabkan gejala ekstrapiramidal.
Beberapa SDA yang telah disetujui di antaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin, sertindol, kuetiapin, dan
ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan antagonis reseptor dopamin, sebagai obat lini pertama
untuk penanganan skizofrenia.
Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen antipsikotik, pada subtipe manik, kombinasi untuk
menstabilkan mood ditambah penggunaan antipsikotik. Pada banyak pengobatan, kombinasi ini digunakan
mengobati keadaan skizofrenia.2,3,6
Kategori obat: Antipsikotik – memperbaiki psikosis dan kelakuan agresif.4
Nama Obat

Haloperidol (Haldol) Untuk manajemen psikosis. Juga untuk saraf motor dan suara pada anak dan
orang dewasa. Mekanisme tidak secara jelas ditentukan, tetapi diseleksi oleh
competively blocking postsynaptic dopamine (D2) reseptor dalam sistem
mesolimbic dopaminergic; meningkatnya dopamine turnover untuk efek
tranquilizing. Dengan terapi subkronik, depolarization dan D2 postsynaptic
dapat memblokir aksi antipsikotik.

Risperidone Monoaminergic selective mengikat lawan reseptor D2 dopamine selama 20


(Risperdal) menit, lebih rendah afinitasnya dibandingkan reseptor 5-HT2. Juga mengikat
reseptor alpha1-adrenergic dengan afinitas lebih rendah dari H1-
histaminergic dan reseptor alpha2-adrenergic. Memperbaiki gejala negatif
pada psikosis dan menurunkan kejadian pada efek ekstrpiramidal.

Olanzapine Antipsikotik atipikal dengan profil farmakologis yang melintasi sistem


(Zyprexa) reseptor (seperti serotonin, dopamine, kolinergik, muskarinik, alpha
adrenergik, histamine). Efek antipsikotik dari perlawanan dopamine dan
reseptor serotonin tipe-2. Diindikasikan untuk pengobatan psikosis dan
gangguan bipolar.

Clozapine (Clozaril) Reseptor D2 dan reseptor D1 memblokir aktifitas, tetapi nonadrenolitik,


antikolinergik, antihistamin, dan reaksi arousal menghambat efek signifikan.
Tepatnya antiserotonin. Resiko terbatasnya penggunaan agranulositosis pada
pasien nonresponsive atau agen neuroleptik klasik tidak bertoleransi.

Quetiapine Antipsikotik terbaru untuk penyembuhan jangka panjang. Mampu melawan


(Seroquel) efek dopamine dan serotonin. Perbaikan lebih awal antipsikotik termasuk
efek antikolinergik dan kurangnya distonia, parkinsonism, dan tardive
diskinesia.

Aripiprazole Memperbaiki gejala positif dan negatif skizofrenia. Mekanisme kerjanya


(Abilify) belum diketahui, tetapi hipotesisnya berbeda dari antipsikotik lainnya.
Aripiprazole menimbulkan partial dopamine (D2) dan serotonin (5HT1A)
agonis, dan antagonis serotonin (5HT2A).

Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran


Profil Efek
Haloperidol (Haldol) Tab. 2 – 5 mg 5 – 15 mg/hari
Samping
Risperidone (Risperdal) Tab. 1 – 2 – 3 mg 2 – 6 mg/hari Efek
samping
Olanzapine (Zyprexa) Tab. 5 – 10 mg 10 – 20 mg/hari obat anti-
psikosis
Clozapine (Clozaril) Tab. 25 – 100 mg 25 – 100 mg/hari
dapat
Quetiapine (Seroquel) Tab. 25 – 100 mg berupa:
50 – 400 mg/hari  S
200 mg edasi dan
inhibisi
Aripiprazole (Abilify) Tab. 10 – 15 mg 10 – 15 mg/hari
psikomotor
(rasa
mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
 Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut kering, kesulitan miksi&defekasi,
hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).
 Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut,akathisia, sindrom parkinson: tremor, bradikinesia, rigiditas).
 Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (jaundice), hematologik (agranulocytosis),
biasanya pada pemakaian panjang.
Efek samping ini ada yang dapat di tolerir pasien, ada yang lambat, ada yang sampai membutuhkan obat
simptomatik untuk meringankan penderitaan pasien.
Efek samping dapat juga irreversible : Tardive dyskinesia (gerakan berulang involunter pada: lidah, wajah,
mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada
pemakaian jangka panjang (terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan
dengan dosis obat anti-psikosis.
Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik harus dilakukan pemeriksaan laboratorium:
darah rutin, urin lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, untuk deteksi dini perubahan akibat efek samping obat.
Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis atau untuk bunuh diri.
Namun demikian untuk menghindari akibat yang kurang menguntungkan sebaiknya dilakukan “lacage lambung” bila
obat belum lama dimakan.
Interaksi Obat
 Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat (hati-hati pada pasien dengan
hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit jantung).
 Antipsikosis + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus dengan gejala dan gaduh
gelisah yang sangat hebat.
 Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan kejang meningkat, oleh
karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar. Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah
antipsikosis Haloperidol.
 Antipsikosis + antasida = efektivitas obat antipsikosis menurn disebabkan gangguan absorpsi.
Terapi Psikososial
- Pelatihan keterampilan sosial
Peatihan keterampilan sosial kadang-kadang disebut sebagai terapi keterampilan perilaku. Terapi ini secara langsung
dapat mendukung dan berguna untuk pasien bersama dengan terapi farmakologis. Selain gejala yang biasa tampak
pada pasien skizofrenia, beberapa gejala yang paling jelas terlihat melibatkan hubungan orang tersebut dengan
orang lain, termasuk kontak mata yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi wajah yang aneh,
kurangnya spontanitas dalam situasi sosial, serta persepsi yang tidak akurat atau kurangnya persepsi emosi pada
orang lain. Pelatihan keterampilan perilaku diarahkan ke perilaku ini melalui penggunaan video tape berisi orang lain
dan si pasien, bermain drama dalam terapi, dan tugas pekerjaan rumah untuk keterampilan khusus yang
dipraktekkan.

- Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya berfokus pada rencana, masalah, dan hubungan dalam
kehidupan nyata. Kelompok dapat berorientasi perilaku, psikodinamis atau berorientasi tilikan, atau suportif.

- Terapi perilaku kognitif


Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi
distraktibilitas, serta mengoreksi kesalahan daya nilai. Terdapat laporan adanya waham dan halusinasi yang
membaik pada sejumlah pasien yang menggunakan metode ini. Pasien yang mungkin memperoleh manfaat dari
terapi ini umumnya aalah yang memiliki tilikan terhadap penyakitnya.

- Psikoterapi individual
Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting untuk membangun hubungan terapeutik sehingga pasien
merasa aman. Reliabilitas terapis, jarak emosional antaraterapis dengan pasien, serta ketulusan terapis sebagaimana
yang diartikan oleh pasien, semuanya mempengaruhi pengalaman terapeutik. Psikoterapi untuk pasien skizofrenia
sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan dalamm jangka waktu dekade, dan bukannya beberapa sesi, bulan, atau
bahakan tahun. Beberapa klinisi dan peneliti menekankan bahwa kemampuan pasien skizofrenia utnuk membentuk
aliansi terapeutik dengan terapis dapat meramalkan hasil akhir. Pasien skizofrenia yang mampu membentuk aliansi
terapeutik yang baik cenderung bertahan dalam psikoterapi, terapi patuh pada pengobatan, serta memiliki hasil
akhir yang baik pada evaluasi tindak lanjut 2 tahun. Tipe psikoterapi fleksibel yang disebut terapi personal
merupakan bentuk penanganan individual untuk pasien skizofrenia yang baru-baru ini terbentuk. Tujuannya adalah
meningkatkan penyesuaian personal dan sosial serta mencegah terjadinya relaps. Terapi ini merupakan metode
pilihan menggunakan keterampilan sosial dan latihan relaksasi, psikoedukasi, refleksi diri, kesadaran diri, serta
eksplorasi kerentanan individu terhadap stress. 2,3
Komplikasi
Beberapa individu yang mengalami skizofrenia dapat terkena stroke dan mengalami kerusakan otak, yang
tidak disadarinya. Kurangnya kesadaran tentang skizofrenia dan penyakit manik-depresi merupakan keadaan biasa
dialami penderita yang tidak memperhatikan pengobatannya. Terdapat pula komplikasi sosial, dimana penderita
dikucilkan oleh masyarakat. Setelah itu dapat juga menjadi korban kekerasan dan melukai diri sendiri. Pada
komplikasi depresi, penderita dapat melakukan tindakan bunuh diri. Disamping bunuh diri karena depresi dan
halusinasi, penderita skizofrenia yang tadinya tidak merokok, banyak menjadi perokok berat ini diperkirakan karena
faktor obat, yang memblok satu reseptor dalam otak (nikotin). Reseptor nikotin yang menimbulkan rasa senang,
pikiran jernih, mudah menangkap sesuatu. Akibatnya penderita skizofrenia mencari kompensasi dengan mengambil
nikotin dari luar, dari rokok. Dan resiko dari perokok memperpendek usia, karena adanya penyakit saluran
pernapasan, kanker, jantung, dan penyakit fisik lainnya.
Kemudian, dengan penggunaan antipsikotik, ada tekanan terhadap hormon estrogen, testosteron, dan
hormon-hormon tersebut memproteksi tulang sehingga dapat terjadi osteoporosis.4

Prognosis
Sejumlah studi menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun setelah rawat inap psikiatrik yang
pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-20% persen yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik.
Lebih dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat inap berulang, eksaserbasi
gejala, episode gangguan mood mayor, dan percobaan bunuh diri. Namun, skizofrenia tidak selalu memiliki
perjalanan penyakit yang memburuk dan sejumlah faktor dikaitkan dengan prognosis yang baik. Angka pemulihan
yang dilaporkan berkisar dari 10-60%, dan taksiran yang masuk akal adalah bahwa 20-30% pasien terus mengalami
gejala sedang, dan 40-60% pasien tetap mengalami hendaya secara signifikan akibat gangguan tersebut selama
hidup mereka.3

Pencegahan
Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak bisa dicegah. Lantaran
pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini penting, terutama bila sudah ditemukan adanya gejala.
Dengan pengobatan dini, bila telah didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah
terjadinya gejala skizofrenia berkelanjutan.

Depresi merupakan keadaan mood yang menurun ditandai dengan kesedihan, perasaan putus asa, dan tidak
bersemangat. Depresi ini termasuk perasaan murung sampai gangguan distimik menjadi gangguan depresi mayor.7
Depresi ini terjadi tanpa riwayat episode manik, campuran, atau hypomanic. Depresi mayor merupakan gejala
depresi yang berlangsung minimal 2 minggu, dan biasanya orang dengan diagnosis episode depresi mayor juga
mengalami setidaknya empat gejala yang mencakup perubahan dalam nafsu makan dan berat badan, perubahan
dalam tidur dan aktivitas, tidak berenergi, perasaan bersalah, masalah berpikir dan membuat keputusan, dan pikiran
berulang tentang kematian atau bunuh diri.8
Depresi psikotik merupakan gangguan depresi mayor dengan gambaran psikotik seperti halusinasi, delusi,
mutisme, atau stupor. Istilah ini secara umum digunakan pada perasaan yang lebih luas meliputi depresi berat yang
menyebabkan gangguan sosial atau fungsi okupasi yang mencolok.7

2.2 Epidemiologi depresi


Sekitar 15% populasi umum dilaporkan memiliki gejala depresi, dengan 10% melakukan konsultasi ke pelayanan
kesehatan yang karena gangguan depresi. Di Amerika tahun 2010, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
(CDC) memperkirakan prevalensi depresi pada orang dewasa saat ini dari 235.067 orang dewasa, 9% memenuhi
kriteria untuk depresi dan 3,4% yang memenuhi kriteria untuk depresi berat.2 Menurut survei gangguan depresi
mayor sekitar dua kali lipat terjadi pada wanita dibandingkan pada pria yaitu sekitar 20% berbanding 10%. Penyebab
wanita depresi rata-rata disebabkan karena tanggung jawab pengasuhan anak yang lebih besar dan lebih sedikit
kesempatan kerja dibandingkan pria1 atau bisa disebabkan karena faktor hormonal.5
Usia rata-rata onset untuk gangguan depresi mayor adalah sekitar 40 tahun, dengan 50% dari semua pasien memiliki
onset antara usia 20 dan 50. Penyakit depresi juga dapat dimulai pada masa kanak-kanak atau pada usia tua. Data
epidemiologi terbaru menunjukkan bahwa kejadian penyakit depresi dapat meningkat di antara orang-orang muda
lebih dari 20 tahun. Hal ini mungkin terkait dengan peningkatan penggunaan alkohol dan penyalahgunaan obat
dalam kelompok usia ini.8 Prevalensi gejala depresi meningkat sesuai usia. Prevalensi depresi mayor pada anak anak
sekitar 0,5-2,5%, sedangkan pada remaja dan dewasa muda mencapai 3% - 4%. Pada kelompok usia dewasa muda,
terjadi peningkatan angka bunuh diri dibandingkan dengan usia kelompok yang lain. Pada rentang usia 60 tahun,
gejala depresi minor mencapai 25%, dan depresi mayor sekitar 5%, sedangkan pada usia lebih dari 85 tahun gejala
depresi mayor menjadi 15% dan depresi minor menjadi 8%.1 Menurut Epidemiological Catchment Area Study (ECA)
bahwa prevalensi penyakit depresi seumur hidup mencapai 4,9%. Sedangkan menurut National Comorbidity Survey
(NCS) prevalensi depresi seumur hidup dan 1 tahun mencapai 16,6% dan 6,6% dengan durasi episode rata-rata 16
minggu.9
Gangguan depresi mayor juga terjadi paling sering pada orang-orang tanpa hubungan interpersonal yang dekat atau
pada mereka yang bercerai atau terpisah. Sebenarnya tidak ada korelasi yang ditemukan antara status sosial
ekonomi dan gangguan depresi berat.8 Namun menurut penelitian yang dilakukan NCS, gejala depresi mayor 3 kali
lebih banyak terjadi pada orang yang tidak bekerja.9 Selain itu depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan
daripada di daerah perkotaan. Prevalensi gangguan mood tidak berbeda antara ras.8
Individu dengan gangguan mood biasanya memiliki risiko komorbiditas Axis I. Gangguan yang paling sering adalah
penyalahgunaan alkohol, gangguan panik, obsessive kompulsif (OCD), dan gangguan kecemasan sosial. Sebaliknya,
individu dengan gangguan penggunaan narkoba dan gangguan kecemasan juga memiliki peningkatan risiko seumur
hidup atau gangguan mood komorbiditas saat ini. Pada pasien dengan depresi psikotik sangat sedikit pada literatur
akan terjadinya komorbiditas. Namun pada penelitian Matthew ditemukan bahwa depresi psikotik sering komorbid
dengan gangguan cemas terutama gangguan panik.10

2.2.1 Epidemiologi depresi psikotik


Studi epidemiologi untuk prevalensi depresi psikotik di masyarakat menunjukkan sekitar 4 per 1.000 orang dalam
populasi umum mengalami depresi dengan psikotik. Pada orang di atas usia 60 yang mengalami depresi psikotik
dilaporkan antara 14 sampai 30 per 1.000. Dalam sebuah studi Eropa pasien yang memenuhi kriteria untuk depresi
berat mencapai 18,5% yang juga memenuhi kriteria untuk episode depresi mayor dengan fitur psikotik. Sedangkan
studi di Amerika Serikat sekitar 14,7% dari pasien yang memenuhi kriteria untuk depresi berat memiliki riwayat
psikotik. Pada umumnya, depresi psikotik timbul pada pasien yang memiliki rasa perasaan bersalah dan biasanya
mereka sudah pernah berobat sebelumnya, namun terjadi kekambuhan kembali. Episode depresi dengan psikotik
juga lebih lama dibandingkan depresi non psikotik.11
Depresi dengan psikotik ditandai dengan adanya delusi dan halusinasi. Sebanyak 67% orang yang dengan depresi
psikotik mengalami delusi bersamaan dengan halusinasi. Delusi yang paling umum antara lain penganiayaan,
kecurigaan, paranoia, dosa, rasa bersalah, ide referensi, dan somatik. Lebih dari 50% orang dengan depresi psikotik
mempunyai lebih dari satu jenis delusi. Sedangkan untuk halusinasi yang paling umum pada depresi dengan psikotik
adalah halusinasi pendengaran dan visual.10
Selain itu tingkat rawat inap depresi berat dengan psikotik lebih tinggi dibanding dengan non psikotik. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan Coryell et al melaporkan bahwa dari pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa, 25%
memenuhi kriteria untuk depresi psikotik. Prevalensi rawat inap untuk depresi psikotik juga meningkat secara
dramatis sesuai usia. Studi menunjukkan bahwa depresi psikotik pada orang di atas usia 60 yang dirawat inap
memiliki jumlah bervariasi antara 24% sampai 53%.3 Pada depresi dengan psikotik juga memiliki angka pada
retardasi psikomotor, tidak bisa berpikir dan konsentrasi juga rasa bersalah yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan depresi non psikotik.10
Angka mortalitas untuk pasien depresi psikotik secara signifikan lebih besar daripada bagi mereka dengan depresi
nonpsikotik, dengan persentase 41% utnuk depresi psikotik dan 20%, untuk depresi non psikotik.5

2.3 Etiologi
Penyebab munculnya depresi psikotik sama dengan depresi non priskotik. Pada kebanyakan pasien, episode depresi
muncul dari kombinasi familial, biologis, psikologis dan faktor sosial, yang beroperasi dari waktu ke waktu dan
semakin meningkatkan risiko terjadinya gangguan depresi. Mood depresi juga terjadi pada penyakit fisik tertentu
dan sebagai bagian sindrom jiwa yang lainnya, seperti gangguan kecemasan, penyalahgunaan alkohol,
penyalahgunaan zat dan gangguan makan. Banyak penelitian telah melaporkan kelainan biologis pada pasien dengan
gangguan mood.1
Sampai saat ini, monoamine neurotransmitters norepinefrin, dopamin dan serotonin adalah fokus utama dari teori
dan penelitian tentang etiologi gangguan ini. Penelitian menunjukkan bahwa penurunan sensitivitas reseptor
adrenergik dan respon antidepresan klinis berperan langsung untuk sistem noradrenergik dalam depresi. Aktivasi
reseptor ini berpengaruh dalam penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan sehingga berperan dalam terjadinya
depresi. Adanya hasil yang signifikan mengenai selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) seperti fluoxetine untuk
pengobatan depresi menunjukkan bahwa serotonin telah menjadi neurotransmitter paling sering dikaitkan dengan
depresi. Selain itu SSRI dan antidepresan serotonergik lainnya yang efektif dalam pengobatan depresi, data lain
menunjukkan bahwa serotonin terlibat dalam patofisiologi depresi. Kekurangan serotonin dapat memicu depresi,
dan beberapa pasien dengan impuls bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin pada cairan serebrospinal
(CSF) rendah. Dopamin juga berperan dalam depresi. Data menunjukkan bahwa aktivitas dopamin yang berkurang
akan menyebabkan depresi dan sedangkan jika aktivitas dopamin meningkat akan menyebabkan mania.9
Selain pengaruh neurotransmitter, depresi juga dapat disebabkan karena adanya perubahan hormonal. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa orang dengan depresi dikaitkan dengan peningkatan aktifitas hypothalamic pituitary
adrenal (HPA) dan perubahan struktural otak. Peningkatan aktivitas HPA tinggi merupakan ciri dari respon stres
mamalia dan salah satu link yang paling jelas antara depresi dan biologi stres kronis. Hypercortisolema dalam depresi
menunjukkan satu atau lebih dari gangguan sentral anatara lain penurunan serotonin, peningkatan norepinefrin,
Asetilkolin, atau corticotropin releasing hormone (CRH), atau penurunan inhibisi umpan balik dari hippocampus.
Bukti peningkatan aktivitas HPA jelas terdapat dalam 20% sampai 40% pasien depresi yang mengalami rawat jalan
dan 40% sampai 60% pasien depresi dengan rawat inap.8
Data keluarga menunjukkan bahwa jika salah satu orangtua memiliki gangguan mood, seorang anak akan
memiliki risiko antara 10 dan 25 persen untuk gangguan mood. Jika kedua orang tua yang terkena, risiko ini kira-kira
dua kali lipat. Semakin banyak anggota keluarga yang terkena, semakin besar risikonya untuk anak. Risikonya sekitar
5 sampai 10 kali lebih besar jika anggota keluarga yang terkena adalah kerabat tingkat pertama daripada kerabat
yang lebih jauh.1
Beberapa faktor psikososial yang dapat menyebabkan terjadinya depresi antara lain pengalaman buruk di
masa kecil, terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, rendah diri, kehidupan sosial yang terbatas.1 Teori juga
menunjukkan bahwa stress berkepanjangan dapat mempengaruhi fungsi berbagai neurotransmitter dan sistem
sinyal intraneuronal, bahkan mungkin termasuk hilangnya neuron dan pengurangan yang berlebihan dalam kontak
sinaptik yang mengakibatkan seseorang memiliki risiko tinggi mengalami episode berikutnya dari gangguan mood,
bahkan tanpa stressor eksternal. Stressor lingkungan yang paling sering dikaitkan dengan timbulnya sebuah episode
depresi adalah kehilangan pasangan. Faktor risiko lain adalah pengangguran, orang-orang keluar dari pekerjaan tiga
kali lebih mungkin melaporkan gejala episode depresi berat daripada mereka yang bekerja.5

2.4 Klasifikasi
Berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) III, episode depresif
dibagi menjadi episode depresif ringan, depresif sedang, depresi berat tanpa gejala psikotik, depresif berat dengan
gejala psikotik, dan episode depresif lainnya.9

2.5 Manifestasi Klinis


Ada 3 gejala utama pada penderita depresif yaitu afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, juga
berkurangnya energi yang meningkatkan rasa mudah lelah dan penurunan aktivitas. Selain 3 gejala utama, depresi
juga disertai gejala tambahan seperti konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan berkurang,
gagasan tentang rasa bersalah dan tak berguna, pandangan masa depan suram dan pesimistis, gagasan atau
perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang.12
Namun pada beberapa kasus tertentu, anxietas, kegelisahan dan agitasi motorik lebih menonjol daripada depresinya
dan perubahan mood mungkin terselubung oleh ciri tambahan seperti iritabilitias, minum alkohol berlebih, perilaku
histrionik atau preokupasi hipokondrik. Gejala somatik yang khas pada depresi adalah kehilangan minat pada
kegiatan yang disukai, tidak ada reaksi emosional terhadap lingkungan atau peristiwa yang biasanya menyenangkan,
bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih dari biasanya, depresi parah pada pagi hari, kehilangan nafsu makan secara
mencolok sehingga terjadi penurunan berat badan 5% atau lebih dari berat badan terakhir, dan kehilangan libido
mencolok.12
Depresi pada anak-anak dan dewasa muda manifestasi klinis yang lebih menonjol antara lain kesulitan
mempertahankan percakapan, kesulitan berkonsentrasi, penurunan prestasi di sekolah, adanya kelambatan untuk
memproses suatu informasi, kebingungan, gangguan pikiran dan inkoherensi. Depresi dengan psikotik pada anak-
anak dan dewasa muda lebih menonjol dengan adanya halusinasi dibandingan dengan delusi. Halusinasi berupa
halusinasi auditorik, visual, dan somatik. Selain itu juga sering adanya kehilangan nafsu makan, kurang tidur dan
penurunan berat badan yang ekstrim terutama pada anak perempuan.13

2.6 Pedoman Diagnosis


Untuk mendiagnosis tingkat keparahan episode depresif, diperlukan waktu untuk manifestasi klinis dari
depresif sejurang kurangnya 2 minggu, tetapi jika periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa berat
dan berlangsung cepat.12
Pedoman diagnostik untuk episode depresif ringan antara lain :
 Minimal harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi dan ditambah minimal 2 gejala tambahan
 Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
 Lama seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukan

Pedoman diagnostik untuk episode depresif sedang antara lain:12


 Minimal harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi dan ditambah minimal 3 (sebaiknya 4) gejala tambahan
 Lama seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah tangga

Pedoman diagnostik untuk episode depresif berat tanpa gejala psikotik antara lain:12
 Semua 3 gejala utama depresi harus ada dan ditambah minimal 4 gejala tambahan yang diantaranya
harus berintensitas berat
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka pasien
mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci
 Lama seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu, tetapi jika gejala sangat
berat dan onset sangat cepat maka diagnosis masih dapat dibenarkan.
 Pasien sangat tidak mungkin mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, urusan rumah tangga,
kecuali pada taraf yang sangat terbatas

Pedoman diagnostik untuk episode depresif berat dengan gejala psikotik antara lain:12
 Memenuhi kriteria episode depresif berat
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa,
kemiskinan, malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab akan hal itu.
Adanya halusinasi auditorik atau olfaktori berupa suara yang menghina, menuduh atau bau kotoran
dan daging busuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.

Episode depresif lainnya merupakan gambaran yang tidak sesuai dengan gejala episode depresif ringan, sedang,
atau berat, meskipun kesan menunjukkan sifat sebagai depresi. Contoh episode depresif lainnya seperti campuran
gejala depresif (khususnya jenis somatik) yang berfluktuasi dengan gejala non diagnostik seperti ketegangan,
keresahan dan penderitaan, dan campuran gejala depresif somatik dengan nyeri atau keletihan menetap yang bukan
dari penyebab organik12.

Menurut DSM IV, kriteria untuk episode depresif mayor antara lain adanya 5 (atau lebih) gejala berikut selama
periode 2 minggu dan mewakili perubahan dari fungsi sebelumnya, setidaknya salah satu gejala baik mood depresi
atau kehilangan minat atau kesenangan dengan catatan gejala yang dimaksud bukan termasuk gejala yang jelas
karena kondisi medis umum, atau delusi mood kongruen atau halusinasi. Gejala-gejala tersebut antara lain :
 Adanya mood depresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari. Pada anak-anak dan remaja,
biasanya suasana hati mudah tersinggung.
 Kurang minat atau kesenangan yang nyata pada hampir semua kegiatan yang berlangsung hampir
sepanjang hari, hampir setiap hari.
 Penurunan berat badan yang signifikan (perubahan lebih dari 5% dari berat badan dalam satu bulan),
atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari. Pada anak-anak, biasanya
peningkatan berat badan tidak sesuai yang diharapkan.
 Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
 Agitasi atau retardasi psikomotor yang terjadi hampir setiap hari
 Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi hampir setiap hari
 Adanya pikiran berulang tentang kematian, ide bunuh diri berulang tanpa rencana khusus, atau
usaha bunuh diri.
Gejala untuk episode depresif mayor ini tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran. Gejala tersebut
menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting. Gejala tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (penyalahgunaan obat), obat
atau kondisi medis umum (misalnya, hipotiroidisme). Gejala depresif tersebut bukan disebabkan keadaan berkabung
(setelah kehilangan orang yang dicintai) dimana gejala menetap selama lebih dari 2 bulan atau ditandai oleh
gangguan fungsional ditandai, yang bersamaan dengan ide bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.8

Pada DSM IV kriteria diagnosis untuk menentukan tingkat keparahan episode depresif mayor dengan
psikotik/berulang/ antara lain:8
 Depresif ringan bila adanya sedikit gejala dan gejala tersebut hanya menyebabkan gangguan kecil
dalam fungsi pekerjaan atau dalam kegiatan sosial biasa atau hubungan dengan orang lain.
 Depresif sedang bila gejala depresi menyebabkan gangguan fungsional
 Depresif berat tanpa psikotik adanya banyak gejala untuk membuat diagnosis, dan gejala nyata
mengganggu fungsi pekerjaan atau dengan kegiatan sosial biasa atau hubungan dengan orang lain.
 Depresif berat dengan ciri psikotik yaitu depresif dengan adanya delusi atau halusinasi. Perlu
ditentukan juga apakah psikotik pada mood sesuai atau mood yang tidak sesuai:
 Mood sesuai dengan psikotik yaitu adanya delusi atau halusinasi yang isinya sepenuhnya konsisten
dengan tema depresif tipikal ketidakmampuan pribadi, rasa bersalah, penyakit, kematian, nihilisme,
atau hukuman.
 Mood yang tidak sesuai dengan psikotik yaitu delusi atau halusinasi yang isinya tidak melibatkan
tema depresi khas ketidakmampuan pribadi, rasa bersalah, penyakit, kematian, nihilisme, atau
hukuman layak. Termasuk gejala seperti thought insertion, thought broadcasting, dan delusions of
control..
 Depresi remisi parsial adalah gejala episode depresi mayor tapi kriteria tidak terpenuhi, atau ada
periode tanpa gejala yang signifikan dari episode depresi mayor berlangsung kurang dari 2 bulan
setelah akhir episode depresi mayor.
 Depresif remisi penuh adalah tidak adanya tanda-tanda signifikan atau gejala gangguan depresif
selama 2 bulan terakhir.

2.7 Talaksanana Depresi Psikotik


Mengobati depresi memerlukan terapi holistik dengan pendekatan yang ditujukan untuk individu, mengingat fakta
bahwa setiap orang adalah unik. Pengobatan dengan cara kombinasi dari berbagai prosedur seperti
psikofarmakoterapi, psikoterapi dan pengobatan lain mungkin dapat memberikan hasil yang efisien.6 Tujuan utama
pengobatan pasien pada gangguan mood terutama depesif adalah keselamatan pasien harus terjamin, evaluasi
diagnostik lengkap pasien diperlukan dan rencana pengobatan tidak hanya untuk gejala tetapi juga untuk
kesejahteraan pasien.
Indikasi untuk rawat inap adalah risiko bunuh diri atau pembunuhan, pasien sulit untuk mendapatkan makanan dan
tempat tinggal, prosedur diagnostik, riwayat gejala yang berkembang cepat dan kurangnya support dari lingkungan
sekitar untuk pasien. Pasien juga dapat melakukan rawat jalan jika pasien sering kontrol untuk berobat. Perbaikkan
gejala jika gangguan judgement, penurunan berat badan, atau insomnia minimal.8
Tujuan pengobatan pasien dengan depresi psikotik adalah remisi dimana berkurangnya atau hilangnya gejala
psikotik (halusinasi dan delusi) juga gejala depresi. Pengobatan lini pertama untuk depresi mayor psikotik adalah
dengan antidepresan ditambah dengan antipsikotik atau dengan Electro Convulsive Therapy (ECT). Pengaruh
farmakoterapi dan ECT sebagai pengobatan lini pertama memiliki efek pengaruh yang sama untuk gejala depresi
psikotik.14

2.7.1 Farmakoterapi
Farmakoterapi yang digunakan untuk mengobati depresi dengan psikotik adalah antidepresi dan
antipsikotik. Antidepresi sendiri memiliki 5 golongan yaitu trisiklik/ TCA (amiltriptilin, imipramine, clomipramine, dan
tianeptine), golongan tetrasiklik (mparotiline, amoxapine, mianserin), golongan MAOI-reversible (moclobemide),
selective serotonin reuptake inhibitor/ SSRI (setraline, paroxetine, fluvoxamine, fluoxetine, citalopram), dan golongan
atipikal (trazodone, mirtazapine, venafaxine). Mekanisme kerja obat antidepresi adalah dengan cara menghambat
re-uptake aminergic neurotransmitter dan menghambat penghancuran oleh enzim monoamine oxidase sehingga
menyebabkan peningkatan jumlah aminergic neurotransmitter pada celah sinaps neuron tersebut yang dapat
meningkatkan aktivitas reseptor serotonin. Efek samping dari antidepresi antara lain berupa sedasi, efek
antikolinergik (berupa mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur, dll), efek antiadrenergik alfa (berupa perubahan
EKG, hipotensi), dan efek neurotoksis (tremor halus, gelisah dan agitasi). Efek sampng ini akan berkurang setelah 2-
3minggu pemberian obat dengan dosis yang sama. Gejala intoksikasi dari trisiklik dapat menimbulkan atropine toxic
syndrome dimana terjadi eksitasi SSP, hipertensi, hiperpireksia, konvulsi dan toxic confusional state. Efek onset
primer obat antidepresi sekitar 2-4 minggu sedangkan onset efek sekunder sekitar 12-24 jam dengan waktu paruh
12-48 jam. Pemberian obat antidepresi bisa dilakukan dalam jangka waktu yang lama karena potensi untuk menjadi
ketergantungan sangat minimal.15
Sedangkan untuk obat antipsikotik sendiri memiliki 2 golongan yaitu antipsikotik tipikal dan antipsikosis
atipikal. Antipsikosis tipikal ini terdiri dari phenothiazine (cholrpromazine, perphenazine, trifluoperazine,
fluphenazine, dan thioridazine), butyriphenone (haoperidol), diphenyl-butil-piperidine (pimozide). Antipsikosis
atipikal terdiri dari benzamide (supiride), dibenzodiazepine (clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine), dan
benzisoxasole (resperidone, aripriprazole). Mekanisme kerja obat antipsikosis tipikal adalah dengan cara
memblokade dopamine pada reseptor pasca sinaptik neuron di otak sehingga efektif untuk gejala positif. Sedangkan
obat antipsikosis atipikal bekerja pada reseptor dopamine juga reseptor serotonin sehingga efektif juga untuk gejala
negatif. Efek samping dari antipsikosis antara lain berupa sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otonomik
(hipotensi,efek antikolinergik), gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akhatisia, sindrom parkinson), gangguan
endokrin (amenore, ginekomastia), gangguan metabolik (jaundice), hematologik (agranulositosis). Onset efek primer
sekitar 2-4 minggu, onset efek sekunder sekitar 2-6 jam dengan waktu paruh sekitar 12-14 jam. Pada umumnya
pemberian obat antipsikosis dipertahankan 3bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama
sekali.15

Tabel 1. Daftar obat antidepresan dan efek sampingnya15


Obat Generik Dosis Efek Samping Peringatan Khusus

NE reuptake inhibitor

Despiramine 75-300mg Mengantuk, antikolinergik, BB Diperlukan dosis


naik, agitasi titrasi. Bila terjadi
overdosis dapat
Protiprilin 20-60mg Mengantuk, antikolinergik, BB
berakibat fatal
naik, agitasi

Nortriptilin 40-200mg Mengantuk, antikolinergik, BB


naik

Maprotriptilin 100-225mg Mengantuk, antikolinergik, BB


naik

5-HT reuptake inhibitors

Citalopram 20-60mg Insomnia, sedasi, disfungsi Toleransi lebih baik


seksual dan gangguan saluran daripada trisiklik,
Escitaprolam 10-20 pencernaan keamanan yang tinggi
Fluoxetine 20-40 dalam overdosis..

Fluvoxamine 100-300

Paroxetine 20-50

Setraline 50-150

NE dan 5HT reuptake inhibitor

Amitriptilin 75-300 Mengantuk, antikolinergik, BB Diperlukan dosis


naik titrasi. Bila terjadi
Doxepine 75-300 overdosis dapat
Imipramine 75-300 Mengantuk, antikolinergik, BB berakibat fatal
naik, agitasi, distres saluran
cerna

Trimipramine 75-300 Mengantuk, antikolinergik, BB


naik

Venlafaxine 150-375 Perubahan tidur, distres saluran Dosis yang lebih tinggi
cerna, sindrom diskontinuitas dapat menyebabkan
hipertensi. Dosis titrasi
diperlukan.
Penghentian tiba-tiba
dapat menyebabkan
gejala penghentian.

Duloxetine 30-60 distres saluran cerna, sindrom


diskontinuitas

Pre-post synaptic agents

Nefazodone 300-600 Sedasi

Mirtazprine 15-30 Sedasi, BB naik

Dopamine reuptake inhibitor

Bupoprion 200-400 Insomnia, agitasi, distress


saluran cerna

Mixed action agents


Amoxapine 100-600 Mengantuk, insomnia/ agitasi, Gangguan pergerakan.
BB naik, antikolinergik Perlu dilakukan dosis
titrasi

Clomipramine 75-300 Mengantuk, BB naik Perlu dosis titrasi

Trazodone 50-600 Mengantuk, GI distress, BB naik Bisa terjadi priapismus

Tabel 2. Daftar obat antipsikotik dan efek sampingnya15


Anti psikotik Dosis Dosis (mg/h) sedasi otonomik Efek ekstra
terapeutik piramidal

Chlopromazine 100 150-1600 +++ +++ ++

Thioridazine 100 100-900 +++ +++ +

Pherphenazine 8 8-48 + + +++

Trifluoperazine 5 5-60 + + +++

Fluphenazine 5 5-60 ++ + +++

Haloperidol 2 2-100 + + ++++

Pimozide 2 2-6 + + ++

Clozapine 25 25-200 ++++ + -

Zotepine 50 75-100 + + +

Sulpiride 200 200-1600 + + +

Risperidone 2 2-9 + + +

Quetiapine 100 50-400 + + +

Olanzapine 10 10-20 + + +

Aripriprazole 10 10-20 + + +

Agen farmakologis dari kalangan SSRI secara luas diterima sebagai lini pertama intervensi farmakologis untuk untuk
gangguan depresi berat terutama pada anak dan remaja. Uji klinis secara acak telah menunjukkan kemanjuran
fluoxetine, citalopram, dan sertraline mempunyai efek jika dibandingkan dengan plasebo.8 Efek samping yang umum
diamati dengan fluoxetine termasuk sakit kepala, gejala gastrointestinal, sedasi, dan insomnia, sedangkan efek
samping dari setraline yang umum antara lain anoreksia, diare, muntah dan agitasi. Efek samping citalopram yang
muncul antara lain sakit kepala, mual, insomnia, rhinitis, nyeri perut, lemah, dan gejala seperti flu. Antidepresan
trisiklik umumnya tidak dianjurkan untuk pengobatan depresi pada anak dan remaja karena kurangnya
keefektifannya dan dapat meningkatkan potensi risiko aritmia jantung. Durasi rekomendasi pengobatan
antidepresan saat ini adalah selama 1 tahun pada anak depresi yang telah mencapai respon yang baik, dan kemudian
menghentikan pengobatan pada waktu stres yang relatif rendah untuk masa pengobatan bebas.8
Pengobatan secara farmakoterapi sebaiknya juga dilakukan secara kombinasi antara antidepresan dengan
antipsikotik. Banyak kombinasi alternatif yang tersedia dari antidepresan yang ada (SSRI, trisiklik, serotonin-
norepinefrin reuptake inhibitor) dan antipsikotik (generai pertama dan kedua). Kombinasi yang sering digunakan
antara lain sertraline ditambah olanzapine, fluoxetine ditambah olanzapine, venlafaxine ditambah quetiapine,
amitriptyline ditambah haloperidol, amitriptyline ditambah perphenazine.14 Penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan monoterapi amiltriptilin, monoterapi perphenazine, dan kombinasi antara amilitriptilin dengan
perphenazine menghasilkan angka perbandingan 41%, 19% dan 78%. Hal ini menujukkan bahwa terapi kombinasi
memberikan hasil yang lebih efektif jika dibandingkan dengan monoterapi.10 Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
sertraline ditambah olanzapine digunakan sebagai farmakoterapi awal untuk depresi psikotik unipolar karena
kombinasi ini banyak diberikan pasien. Efek samping dari kombinasi farmakoterapi antara lain terjadi peningkatan
berat badan minimal 2,7 kg ( 54% pasien), sedasi (29 %), peningkatan yang signifikan dalam serum kolesterol,
trigliserida, dan konsentrasi glukosa.14.
Meskipun pengobatan farmakoterapi secara kombinasi dapat memberikan hasil efektif untuk depresi psikotik, ada
beberapa penelitian yang menggunakan monoterapi untuk pengobatan depresi psikotik. Penelitian menunjukkan
bahwa amoxapine (golongan dibenzoxazepine TCA) mempunyai efek antidepresan dan antipsikotik yang efektif
untuk mengobati pasien depresi dengan delusi. Pada penelitian double blind yang dilakukan Anton dan Burch
menunjukkan bahwa penggunaan amiltriptilin ditambah perprenazine pada pasien depresi dengan psikotik selama 4
minggu memiliki hasil yang sama dengan pasien yang menggunakan amoxapine. Pada percobaan double-blind
fluvoxamine selama 6 minggu sebagai monoterapi untuk depresi dengan psikotik menunjukkan tingkat respons yang
sama dengan terapi antidepresan ditambah antipsikotik dan ECT. Selain monoterapi antidepesan, penelitian lain juga
menunjukkan bahwa pemberian monoterapi antipsikotik dapat memberikan hasil yang cukup baik. Antipsikotik yang
dapat diberikan secara monoterapi untuk depresi psikotik adalah golongan antipsikotik atipikal seperti risperidone
dan olanzapine.4 Namun ada penelitian yang mengatakan bahwa memberikan antipsikotik secara monoterapi tidak
memberikan hasil yang adekuat jika dibandingan dengan antidepresan monoterapi.16
Pengobatan antidepresan harus dipertahankan selama minimal 6 bulan atau lebih panjang dari episode sebelumnya.
Pengobatan profilaksis dengan antidepresan efektif dalam mengurangi jumlah dan tingkat keparahan kambuh. Satu
studi menyimpulkan bahwa ketika episode kurang dari 2½ tahun, pengobatan profilaksis mungkin selama 5 tahun.
Episode yang melibatkan keinginan bunuh diri yang signifikan atau penurunan fungsi psikososial dapat menunjukkan
perlu mempertimbangkan pengobatan profilaksis. Ketika pengobatan antidepresan dihentikan, dosis obat harus
dikurangi secara bertahap selama 1 sampai 2 minggu, tergantung pada paruh senyawa tertentu . Beberapa studi
menunjukkan bahwa obat antidepresan secara maintenace tampaknya aman dan efektif untuk pengobatan depresi
kronis.8 .

2.7.2 Electro Convulsive Therapy (ECT)


ECT umumnya lebih cepat efeknya jika dibandingkan farmakoterapi sehingga biasanya ECT digunakan pada pasien
dengan psikosis yang parah yang menyebabkan pasien berisiko besar untuk menyakiti (misalnya, pasien terganggu
oleh halusinasi sehingga tanpa sadar berjalan ke jalan raya yang ramai kendaraan), keinginan bunuh diri aktif dengan
rencana, atau malnutrisi sekunder dengan menolak makanan.14 Selain itu, ECT juga dapat digunakan untuk
mengobati gejala katatonik.8 Selain untuk gejala depresi dengan psikotik, ECT juga dapat digunakan utnuk gejala
depresi nonpsikotik. Sekitar 80% pasien dengan depresi psikotik berespon baik terhadap pengobatan ECT. ECT
umumnya aman dan tidak ada kontraindikasi absolut. Efek samping termasuk masalah kardiopulmonar, aspirasi
pneumonia, patah tulang, luka gigi dan lidah, sakit kepala, mual, dan gangguan kognitif.
ECT biasanya diberikan tiga kali perminggu pada hari bergantian. Kebanyakan pasien melakukan ECT antara 6 sampai
12 perawatan, tetapi beberapa pasien mungkin memerlukan 20 atau lebih.14

2.7.3 Resisten
Pasien yang mengalami resisten terhadap satu atau dua program kombinasi antidepresan dan antipsikotik sebagai
pengobatan awal maka harus melakukan terapi ECT. Sebaliknya, pasien yang awalnya tidak berhasil ECT harus
mendapatkan terapikombinasi farmakoterapi. Untuk pasien yang tidak berespon terhadap kombinasi farmakoterapi
dan yang menolak atau tidak memiliki akses ke ECT, maka bisa menambahkan lithium dan ditambah psikoterapi.
Lithium ditambahkan setelah 4-8 minggu pengobatan berhasil dengan antidepresan plus antipsikotik, dengan dosis
yang cukup untuk mencapai tingkat serum melalui 12 jam dari 0,5-1,0 mEq/L. Setidaknya dua sampai empat minggu
pada tingkat terapeutik diperlukan untuk menentukan apakah augmentasi lithium menguntungkan.4, 14
2.7.4 Terapi Psikososial
Terapi psikososial dapat dibagi menjadi terapi kognitif, terapi interpersonal, dan terapi perilaku. Terapi psikososial ini
mempunyai kelebihan pendekatan mendalam individu mendorong pasien untuk melihat ke dalam solusi, bukan
tergantung pada sumber-sumber eksternal
 Terapi kognitif bertujuan untuk mengurangi episode depresif dan mencegah kekambuhan dengan
membantu pasien mengidentifikasi dan menguji kognisi, mengembangkan pemikiran yang bersifat
alternatif, fleksibel, dan berpikir positif, dan melatih respon kognitif dan perilaku baru. Kelebihan
dari terapi ini adalah orientasi kognitif-perilaku adalah nyata dan obyektif.8 Ada beberapa cara terapi
kognitif untuk mengurangi risiko kambuhnya depresi diantaranya keluar dari pikiran-pikiran yang
bersifat ruminative (berulang-ulang), lebih mengenali diri dan waspada terhadap potensi relaps
terkait dengan pikiran, mencari cara lain untuk menghubungkan antara sesuatu yang berkaitan
dengan depresi dengan pengalaman yang lain dan berusaha berteman dengan aspek pengalaman
yang sulit.17
 Terapi interpersonal biasanya terdiri dari 12 sampai 16 sesi mingguan dan ditandai oleh pendekatan
terapi aktif. Terapi interpersonal tidak menangani fenomena intrapsikis seperti mekanisme
pertahanan dan konflik internal, namun terapi interpersonal menangani perilaku seperti kurangnya
ketegasan, kemampuan sosial yang bermasalah, dan pikiran kacau. Orientasi interpersonal menjadi
lebih luas (misalnya, sosial, keluarga)
 Pada terapi perilaku, pasien belajar untuk berfungsi di masyarakat sedemikian rupa sehingga
mempunyai kekuatan positif. Namun terapi perilaku belum dapat dipastikan keefektifannya untuk
gangguan depresi mayor karena belum banyaknya penelitian mengenai hal ini.8

Terapi psikososial untuk depresi dengan psikotik adalah terapi komitmen dan penerimaan dimana terapi ini
mengajarkan pasien untuk meningkatkan penerimaan mereka terhadap penderitaan tidak dapat dihindari, untuk
hanya melihat gejala psikotik mereka tanpa mempertimbangkan mereka sebagai benar atau salah, dan untuk
mengidentifikasi dan menghargai diri secara pribadi. Sebuah uji coba secara acak menemukan bahwa pada 18 pasien
dengan depresi psikotik unipolar, perbaikan gejala terjadi secara signifikan lebih banyak pasien yang menerima
terapi komitmen dan penerimaan (rata-rata tiga sesi) ditambah perawatan seperti biasa, dibandingkan dengan
pasien yang menerima pengobatan seperti biasa saja. Sebuah studi observasional dari 14 pasien dengan depresi
psikotik yang dirawat dengan depresi berbasis penerimaan dan terapi psikosis selama enam bulan menunjukkan
bahwa terapi ini bermanfaat untuk mengobati depres psikotik.14
Selain terapi psikososial untuk pasien sendiri, perlu dilakukan juga terapi keluarga. Meskipun bukan terapi utama
untuk pengobatan penyakit depresi, tetapi semakin banyak bukti menunjukkan bahwa terapi keluarga membantu
pasien untuk mengurangi dan mengatasi stres dapat mengurangi kemungkinan kambuh. Terapi keluarga
diindikasikan jika gangguan tersebut membahayakan pernikahan pasien atau fungsi keluarga.8 Selain itu, anggota
keluarga harus terlibat dalam perawatan pasien dengan depresi psikotik unipolar, dan belajar mengenai tanda-tanda
dan gejala, pengobatan, dan prognosis penyakit deprei psikotik. Keluarga juga dapat mendorong kepatuhan
terhadap pengobatan.14
Pada pasien depresif sering terjadi gangguan tidur berupa insomnia dapat diberikan terapi berupa antidepresan atau
lithium menopang efek antidepresan dari kurang tidur. Beberapa laporan memberi kesan bahwa kurang tidur
mempercepat respon terhadap antidepresan, termasuk fluoxetine dan nortriptyline.

2.8 Prognosis
Gangguan depresi mayor cenderung menjadi kronis, dan pasien cenderung kambuh. Pasien yang telah dirawat di
rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresi mayor memiliki kesempatan sekitar 50% untuk sembuh pada
tahun pertama. Namun persentase berkurang pada pasien rawat inap yang sering berulang. Pasien yang tidak
sembuh sering menjadi gangguan dysthymic. Sekitar 25% pasien mengalami kekambuhan pada depresi mayor dalam
6 bulan pertama setelah sembuh dari rumah sakit, sekitar 30% sampai 50% dalam 2 tahun berikutnya, dan sekitar
50% sampai 75% dalam 5 tahun. Insiden kambuh lebih rendah pada pasien yang melanjutkan pengobatan
psychopharmacological profilaksis dan pada pasien yang hanya memiliki satu atau dua episode depresi.

NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia
akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik,
psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap
NAPZA. Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada upaya
penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu
zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran (Sadock BJ et
al.,2010).
2.1.1 Narkotika
Menurut UU RI No 22 tahun 1997, Narkotika adalah zat/obat yang berasal dari tanaman/bukan tanaman baik sintetis
maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai dengan menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika terbagi menjadi 3
golongan, yaitu (Kemenkes RI, 2014):
- Golongan I : hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan dan tidak untuk terapi, berpotensi sangat tinggi
untuk menimbulkan ketergantungan. Contoh: heroin/putaw, kokain, ganja.
- Golongan II : berkhasiat pengobatan, sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan untuk terapi ataupun
ilmu pengetahuan dan berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh: morfin, petidin.
- Golongan III : berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan untuk terapi maupun untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan berpotensi ringan dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh: kodein.
2.1.2 Psikotropika
Menurut UU RI No 5 tahun 1997, psikotropika adalah zat/obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika terbagi menjadi 4 golongan, yaitu (Kemenkes RI, 2014):
- Golongan I : berpotensi amat kuat dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh: ekstasi, shabu, LSD
- Golongan II : berpotensi kuat dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh: amfetamin,
metilfenidat/ritalin
- Golongan III : berpotensi sedang dalam menimbulkan ketergantungan, banyak digunakan untuk terapi.
Contoh: pentobarbital, flunitrazepam.
- Golongan IV : berpotensi ringan dalam menimbulkan ketergantungan, sangat luas digunakan untuk
terapi. Contoh : diazepam, bromazepam, fenobarbital, klonazepam, klordiazepoksid, nitrazepam, pil BK, pil
koplo, Dum, MG.
2.1.3 Zat Adiktif Lainnya
1. Minuman beralkohol
Yaitu minuman yang mengandung etanol.
Terbagi menjadi 3 golongan:
 Golongan A mengandung etanol 1%-5% (bir)
 Golongan B mengandung etanol 5%-20% (berbagai jenis minuman anggur)
 Golongan C mengandung etanol 20%-45% (whiskey, vodka, TKW, manson house, johny walker, kamput)
2. Inhalansia
Gas yang mudah dihirup dan solven (pelarut) yang mudah menguap berupa senyawa organic pada berbagai alat
rumah tangga. Contoh: lem, thinner, penghapus cat kuku, bensin.
3. Tembakau
2.2 PENGGOLONGAN NAPZA
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan menjadi tiga golongan (Elvira SD,
2013) :
1. Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa
tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin,
heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.
2. Golongan Stimulan(Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat
pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah : Amfetamin (shabu,
esktasi), Kafein, Kokain
3. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan pikiran dan
seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak
digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin.
2.3 EPIDEMIOLOGI
Jumlah kasus narkoba berdasarkan penggolongannya yang masuk dalam kategori narkotika terus mengalami
peningkatan dalam 5 tahun terakhir sedangkan yang masuk dalam kategori psikotropika jumlah kasusnya kian
menurun, hal ini terlihat jelas pada tahun 2009 jumlah kasus psikotropika 8.779 kasus dan tahun 2010 jumlah kasus
psikotropika menurun secara signifikan menjadi 1.181 kasus (Kemenkes RI, 2014).

Gambar 2.1 Jumlah Kasus Narkoba Menurut Penggolongan Tahun 2008-2012 (Kemenkes RI, 2014).
2.4 HEROIN
DEFINISI
Heroin (INN: diacetylmorphine, BAN: diamorphine) adalah semi sintetik opioid yang di sintesa dari morphin yang
merupakan derivat dari opium. Pada kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw. Heroin didapatkan dari
pengeringan ampas bunga opium (Papaverum somniferum) yang mempunyai kandungan morfin dan kodein yang
merupakan penghilang rasa nyeri yang efektif. Heroin merupakan 3.6-diacetyl ester dari morphine (oleh karena itu
disebut juga diasetilmorphine). Nama lain dari heroin: smack, junk, china ehirte, chiva, black tar, speed balling, dope,
brown, dog,negra, nod, white hores, stuff (Elvira SD, 2013).
KARAKTERISTIK
Heroin merupakan narkoba yang sangat sering menimbulkan efek ketergantungan. Heroin ini bentuknya berupa
serbuk putih dengan rasa pahit. Dalam pasaran banyak beredar warnanya putih, coklat atau dadu. Penggunaannya
dengan injeksi atau dihirup atau per oral. Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin (Katzung
BG, 2014).
FARMAKOKINETIK
Absorpsi
Heroin diabsorpi dengan baik di subkutaneus, intramuskular dan permukaan mukosa hidung atau mulut (Katzung
BG, 2014)
Distribusi
Heroin dengan cepat masuk ke dalam darah dan menuju ke dalam jaringan. Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru,
hepar, ginjal dan limpa, sedangkan di dalam otot skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi di dalam otak relatif
rendah dibandingkan organ lainnya akibat sawar darah otak. Heroin menembus sawar darah otak lebih mudah dan
cepat dibandingkan dengan morfin atau golongan opioid lainnya (Katzung BG, 2014).
Metabolisme
Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi morfin, kemudian
mengalami konjugasi dengan asam glukuronik menjadi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat
dibandingkan morfin sendiri. Akumulasi obat terjadi pada pasien gagal ginjal (Katzung BG, 2014).
Ekskresi
Heroin/morfin terutama diekskresi melalui urine (ginjal). 90% diekskresikan dalam 24 jam pertama, meskipun masih
dapat ditemukan dalam urine 48 jam (Katzung BG, 2014).
FARMAKODINAMIK
Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor spesifik yang berlokasi di otak dan medula
spinalis, sehingga mempengaruhi transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu
reseptor μ (mu), δ (delta) dan κ (kappa). Di dalam otak terdapat tiga jenis endogeneus peptide yang aktivitasnya
seperti opiat, yaitu enkephalin yang berikatan dengan reseptor δ, β endorfin dengan reseptor μ dandynorpin dengan
resptor κ. Reseptor μ merupakan reseptor untuk morfin (heroin). Ketiga jenis reseptor ini berhubungan dengan
protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas
pelepasan neurotransmitter terhambat (Katzung BG, 2014).
Menurut National Institute Drug Abuse (NIDA), dibagi menjadi efek segera (shortterm) dan efek jangka panjang (long
term).
Tabel 2.1 Efek jangka pendek dan jangka panjang dari heroin
Short term Long term
Gelisah Adiksi
Depresi pernafasan HIV, hepatitis
Fungsi mental berkabut Kolaps vena
Mual dan muntah Infeksi bakteri
Menekan nyeri Penyakit paru (pneumonia, TBC)
Abortus spontan Infeksi jantung dan katupnya
Pengaruh heroin terhadap wanita hamil:
 Menimbulkan komplikasi serius, abortus spontan, lahir prematur
 Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik memiliki resiko tinggi untuk terjadinya SIDS (Sudden Infant
Death Syndrome)
 Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik dapat mengalami gejala with drawl dalam 24-36 jam
setelah lahir. Gejalanya bayi tambah gelisah, agitasi, sering menguap, bersin dan menangis, gemetar,
muntah, diare dan pada beberapa kasus terjadi kejang umum.
MANIFESTASI KLINIS
Efek pemakaian heroin yaitu kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang selalu berair, kehilangan nafsu makan dan
cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara tidak jelas, tidak dapat berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi
apabila si pecandu putus menggunakan putaw. Sebenarnya sakaw salah satu bentuk detoksifikasi alamiah yaitu
membiarkan si pecandu melewati masa sakaw tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala
sakaw yaitu mata dan hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh badan, sakit perut/diare
dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang ketagihan adalah kesakitan dan kejang-kejang, keram
perut dan menggelepar, gemetar dan muntah-muntah, hidung berlendir, mata berair, kehilangan nafsu makan,
kekurangan cairan tubuh (Sadock BJ et al.,2010).
Intoksikasi Akut (Over Dosis)
Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu narkotik. Gejala over dosis biasanya timbul
beberapa saat setelah pemberian obat (Sadock BJ et al.,2010).
Gejala intoksikasi akut (overdosis):
 Kesadaran menurun, sopor - koma
 Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan pernafasan mungkin bersifat
Cheyene stokes
 Pupil kecil (pin poiny pupil), simetris dan reaktif
 Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata
 Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila pernafasan memburuk danterjadi
syok
 Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin
 Bradikardi
 Edema paru
 Kejang
Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka kematian meningkat bila pecandu narkotik
menggabungkannya dengan obat-obatan yang menimbulkan reaksi silang seperti alkohol, tranquilizer (Sadock BJ et
al.,2010).
Intoksikasi Kronis
Adiksi heroin menunjukkan berbagai segi (Sadock BJ et al.,2010):
1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita ketagihan akan obat tersebut.
2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena faal dan biokimia badan
tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut
3. Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk mendapat efek yang sama.
Walaupun toleransi timbul pada saat pertama penggunaan opioid, tetapi manifes setelah 2-3
minggu penggunaan opioid dosis terapi. Toleransi akan terjadi lebih cepat bila diberikan dalam
dosis tinggi dan interval pemberian yang singkat. Toleransi silang merupakan karakteristik opioid
yang penting, dimana bila penderita telah toleran dengan morfin, dia juga akan toleran terhadap
opioid agonis lainnya, seperti metadon, meperidin dan sebagainya.
Gejala Putus Obat
Gejala putus obat (Sadock BJ et al.,2010) :
 6 – 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah
 12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi), anoreksia
 24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya kelemahan, depresi, nausea,
vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan tulang, kedinginan dan kepanasan yang bergantian,
peningkatan tekanan darah dan denyut jantung,gerakan involunter dari lengan dan tungkai dehidrasi dan
gangguan elektrolit
 Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara berangsurangsur dalam 7-10 hari, tetapi
penderita masih tergantung kuat pada obat. Beberapa gejala ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan.
Pada bayi dengan ibu pecandu obat akan terjadi keterlambatan dalam perkembangan dan pertumbuhan
yang dapat terdeteksi setelah usia 1 tahun.
PEMERIKSAAN
Penampilan pasien, sikap wawancara, gejolak emosi dan lain-lain perlu diobservasi. Petugas harus cepat tanggap
apakah pasien perlu mendapatkan pertolongan kegawat darurat atau tidak, dengan memperhatikan tanda-tanda
dan gejala yang ada (Sadock BJ et al.,2010). Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut (Elvira SD,
2013) :
a. Fisik
 Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada tempat-tempat tersembunyi
misalnya dorsum penis.
 Pemeriksaan fisik terutama ditujukan untuk menemukan gejala intoksikasi/ioverdosis/putus zat dan
komplikasi medik seperti Hepatitis, Eudokarditis, Bronkoneumonia, HIV/AIDS dan lain-lain.
 Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi pupil,cara jalan, sklera ikterik, conjunctiva anemis,
dll.
b. Psikiatrik
 Derajat kesadaran
 Daya nilai realitas
 Gangguan pada alam perasaan (misal cemas, gelisah, marah, emosi labil, sedih, depresi, euforia)
 Gangguan pada proses pikir (misalnya waham, curiga, paranoid, halusinasi)
 Gangguan pada psikomotor (hipperaktif/ hipoaktif, agresif gangguan pola tidur, sikap manipulatif
dan lain-lain).
c. Penunjang
 Analisa Urin
Bertujuan untuk mendeteksi adanya heroin dalam tubuh. Pengambilan urine hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari
saat pemakaian zat terakhir dan pastikan urine tersebut urine pasien. Urin merupakan sampel yang representatif
untuk pendeteksian narkoba dan metabolitnya, cara ini tidak menyakiti, urin memiliki kadar narkoba dan
metabolitnya tinggi sebaliknya hanya dalam waktu singkat dalam darah. Urin harus jernih (sentrifus jika keruh),
tanpa pengawet. Penyimpanan dalam cawan, tabung plastik/gelas yang kering dan bersih. Pada 2-8˚C stabil 48 jam, -
20˚C stabil >48 jam (Elvira SD, 2013).
Tabel 2.2 Perkiraan Waktu Deteksi Dalam Urine Beberapa Jenis Obat
Jenis obat Lamanya waktu dapat dideteksi
Amfetamine 2 hari
Barbiturat 1 hari (kerja pendek)
3 minggu (kerja panjang)
Benzodiazepin 3 hari
Kokain 2-4 hari
Kodein 2 hari
Heroin 1-2 hari
Methadone 3 hari
Morfin 2-5 hari
Penunjang lain
Untuk menunjang diagnosis dan komplikasi dapat pula dilakukan pemeriksaan:
 Laboratorium rutin darah,urin
 EKG
 EEG: pada pemeriksaan EEG, tidak ada pola yang khas.
 Foto toraks
 Dan lain-lain sesuai kebutuhan (HbsAg, HIV, Tes fungsi hati, Evaluasi Psikologik, Evaluasi Sosial)

TATALAKSANA
a. Intoksikasi akut (over dosis)
 Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin
 Oksigenasi yang adekuat
 Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 – 2,0 mg IV (anak-anak 0,01 mg/kgBB)
Efek naloxane terlihat dalam 1 – 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-10 menit. Bila tidak ada respon naloxane 2
mg dapat diulang tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg. Naloxone efektif untuk memperbaiki derjat kesadaran,
depresi pernafasan, ukuran pupil. Pasien masih harus diobservasi terhadap efek naloxone dalam 2-3 jam. Oleh
karena duration of action yang pendek. Untuk mencegah rekulensi efek opiat dapat diberikan infus naloxone 0,4-0,8
mg/jam hingga gejala minimal (menghilang) (Warninghoff JC et al.,2009).
b. Intoksikasi kronis
Hospitalisasi
Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:
1. Terapi kondisi withdrawl
2. Terapi detoksifikasi
3. Terapi rumatan (maintenance)
4. Terapi komplikasi
5. Terapi aftercare
Dengan masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik perlu mendapat prioritas. Disamping pemeriksaan urine
drug screen (untuk mengetahui apakah pasien menggunakan zat lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan
laboratorium rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal, danjantung), juga dilakukan foto thorak. Terapi detoksifikasi
bertujuan agar pasien memutuskan penggunaan zatnya dan mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada
bentuk terapi lain yang harus dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai. Tujuan hospitalisasi lainnya
adalah membantu pasien agar dapat mengidentifikasi konsekwensi yang diperoleh sebagai akibat penggunaan zat
dan memahami resikonya bila terjadi relaps. Dari segi mental, hospitalisasi membatu mengendalikan suasana
perasaannya seperti depressi, paranoid, quilty feeling karena penyesalan perbuatannya dimasa lalu, destruksi diri
dan tindak kekerasan (Warninghoff JC et al.,2009).
Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi zat yang memang harus mendapatkan perawatan karena
kondisinya. Selama perawatan jangka pendek, pasien dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk kondisi
adiksinya, pasien tidak pernah disarankan untuk perawatan jangka panjang (Warninghoff JC et al.,2009).
c. Terapi Withdrawal Opioid
Withdrawal opioid tidak mengancam jiwa, tetapi berhubungan dengan gangguan fisikologis dan distress fisik yang
cukup berat. Kebanyakan pasien dengan gejala putus obat yang ringan hanya membutuhkan lingkungan yang
mendukung mereka tanpa memerlukan obat. Klonidin dapat digunakan untuk mengurangi gejala putus obat dengan
menekan perasaan gelisah, lakrimasi, rhinorrhea dan keringat berlebihan. Dosis awal diberikan 0,1-0,2 mg tiap 8 jam.
Kemudian dapat dinaikkan bila diperlukan hingga 0,8 –1,2 mg/hari, selanjutnya dapat ditappering off setelah 10-14
hari (Allen KM, 2010). Terapi non spesifik (simptomatik) yakni (Allen KM, 2010) :
1. Gangguan tidur (insomnia) dapat diberikan hipnotik sedatif
2. Nyeri dapat diberikan analgetik
3. Mual dan muntah dapat diberikan golongan metoklopamide
4. Kolik dapat diberikan antispasmolitika
5. Gelisah dapat diberikan antiansietas
6. Rhinorrhea dapat diberikan golongan fenilpropanolamin
Terapi detoksifikasi adiksi opioid
Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi adiksi opioid. Namun bila dosis metadon diturunkan,
kemungkinan relaps sering terjadi. Kendala lain adalah membutuhkan waktu lama dalam terapi detoksifikasi, dan
bila menggunakan opioid antagonis maka harus menunggu gejala abstinensia selama 5-7 hari. Dosis metadon yang
dianjurkan untuk terapi detoksifikasi heroin (morfin) adalah 2-3 x 5-10 mg perhari peroral. Setelah 2-3 hari stabil
dosis mulai ditappering off dalam 1-3 minggu. Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual setiap 2-3 x
seminggu) dilaporkan lebihefektif dan efek withdrawl lebih ringan dibandingkan metadone. Terapi alternatif lain
yang disarankan adalah rapid detoxification yang mempersingkat waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien
untuk segera masuk dalam terapi opiat antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi antara lain klinidin naltrexon (Allen
KM, 2010).

Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid


Metadon dan Levo alfa acetyl;methadol (LAAM) merupakan standar etrapi rumatan adiksi opioid. Metadon diberikan
setiap hari, sedangkan LAAM hanya 3 kali seminggu. Pemberian metadon dan LAAM pada terapi rumatan sangat
membantu menekan perilaku kriminal. Untuk terapi maintenance, dosis metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-
100 mg/hari). Untuk menjaga pasien tetap menyenangkan dan diturunkan secara perlahan-lahan. Buprenorphine
dapat pul adigunakan sebagai terapi rumatan dengan dosis antara 2 mg-20 mg/hari. Naltrexone digunakan untuk
adiksi opioid yang mempunyai motivasi tinggi untuk berhenti. Naltrexone diberikan setiap hari 50-100 mg peroral
untuk 2 – 3 kali seminggu (Allen KM, 2010).
Terapi after care
Meliputi upaya pemantapan dalam bidang fisik, mental, keagamaan, komunikasi-interaksi sosial,edukasional,
bertujuan untuk mencapai kondisi perilaku yang lebih baik dan fungsi yang lebih baik dari seorang mantan
penyalahguna zat. Peranan keluarga pada saat ini sangat diperlukan (Allen KM, 2010).
2.5 AMFETAMIN
DEFINISI
Amfetamin adalah suatu stimulan dan menekan nafsu makan. Amfetamin menstimulasi sistem saraf pusat melalui
peningkatan zat-zat kimia tertentu di dalam tubuh. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan heart rate dan
tekanan darah, menekan nafsu makan serta berbagai efek yang lain. Amfetamin biasanya berbentuk bubuk putih,
kuning atau coklat dan kristal kecil berwarna putih. Cara memakai amfetamin yang paling umum adalah dengan
menghirup asapnya (Sadock BJ et al.,2010).
EPIDEMIOLOGI
National Household Survey and Drug Abuse (NHSDA) melporkan pada tahun 1997 terdapat 4,5% dari orang yang
berusia 12 tahun atau lebih menggunakan stimulan bukan atas indikasi medis, hal ini menunjukkan peningkatan yang
drastic dari pada tahun sebelumnya. Persentasi yang paling tinggi setelah penggunaan dalam 1 tahun (1,5%) antara
umur 18-25 tahun, kemudian diikuti oleh umur 12-17 tahun. Sample ini tidak cukup luas untuk mendeteksi
peningkatan dalam penggunaan amfetamin ini disesuaikan dengan data dari ruang emergensi untuk keracunan yang
berkaitan dengan amfetamin atau program tes panghentian obat (Sadock BJ et al.,2010).
ETIOLOGI
Ketergantungan obat, termasuk amfetamin dan zat yang mirip anfetamin dipandang sebagai suatu hasil dari sebuah
proses interaksi dari banyak faktor (social, psikologi, kultural, dan biologi) yang mempengaruhi kebiasaan
penggunaan obat. Proses ini pada beberapa kasus, kehilangan fleksibilitas yang berkaitan dengan penggunaan obat
merupakan tanda ketergantungan obat. Faktor farmakologi diyakini sangat penting dalam kelanjutan penggunaan
dan menuju ke arah ketergantungan dari obat tersebut. Amfetamin memiliki potensi untuk meningkatkan mood dan
efek euforigenik pada manusia dan efek menguatkan pada hewan percobaan. Faktor sosial, kultural, dan ekonomi
merupakan faktor penentu yang sangat berpengaruh terhadap alasan pemakaian, pemakaian yang berkelanjutan,
dan relaps. Pemakaian yang berlebihan lebih jauh berkaitan dengan ketersediaan amfetamin atau obat yang mirip
amfetamin (Katzung BG, 2014).
MEKANISME KERJA
Amfetamin bekerja merangsang susunan saraf pusat melepaskan katekolamin (epineprin, norepineprin, dan
dopamin) dalam sinaps pusat dan menghambat dengan meningkatkan rilis neurotransmiter entecholamin, termasuk
dopamin. Sehingga neurotransmiter tetap berada dalam sinaps dengan konsentrasi lebih tinggi dalam jangka waktu
yang lebih lama dari biasanya. Semua sistem saraf akan berpengaruh terhadap perangsangan yang diberikan
(Katzung BG, 2014).
Efek klinis amfetamin akan muncul dalam waktu 2-4 jam setelah penggunaan. Senyawa ini memiliki waktu paruh 4-
24 jam dan dieksresikan melalui urin sebanyak 30% dalam bentuk metabolit. Metabolit amfetamin terdiri dari p-
hidroksiamfetamin, p-hidroksinorepedrin, dan penilaseton. Karena waktu paruhnya yang pendek menyebabkan efek
dari obat ini relatif cepat dan dapat segera terekskresikan, hal ini menjadi salah satu kesulitan tersendiri untuk
pengujian terhadap pengguna, bila pengujian dilakukan lebih dari 24 jam jumlah metabolit sekunder yang terdapat
pada urin menjadi sangat sedikit dan sulit terdeteksi (Katzung BG, 2014).
GAMBARAN KLINIK
Pengaruh amfetamin terhadap pengguna bergantung pada jenis amfetamin, jumlah yang digunakan, dan cara
menggunakannya. Dosis kecil semua jenis amfetamin akan meningkatkan tekanan darah, mempercepat denyut nadi,
melebarkan bronkus, meningkatkan kewaspadaan, menimbulkan euforia, menghilangkan kantuk, mudah terpacu,
menghilangkan rasa lelah dan rasa lapar, meningkatkan aktivitas motorik, banyak bicara, dan merasa kuat. Dosis
sedang amfetamin (20-50 mg) akan menstimulasi pernafasan, menimbulkan tromor ringan, gelisah, meningkatkan
aktivitas montorik, insomnia, agitasi, mencegah lelah, menekan nafsu makan, menghilangkan kantuk, dan
mengurangi tidur. Penggunaan amfetamin berjangka waktu lama dengan dosis tinggi dapat menimbulkan perilaku
stereotipikal, yaitu perbuatan yang diulang terus-menerus tanpa mempunyai tujuan, tiba-tiba agresif, melakukan
tindakan kekerasan, waham curiga, dan anoneksia yang berat (Elvira SD, 2013).
DIAGNOSIS
Ketergantungan Amfetamin dan Penyalahgunaan Amfetamin
Kriteria DSM-V untuk ketergantungan dan penyalahgunaan dapat diterapkan pada amfetamin dan zat terkait.
Ketergantungan amfetamin dapat mengakibatkan penurunan spiral yang cepat dari kemampuan seseorang untuk
menghadapi kewajiban dan stres yang berkaitan dengan keluarga dan pekerjaan. Seseorang yang menyalahgunakan
amfetamin membutuhkan dosis tinggi amfetamin yang semakin meningkat untuk memeroleh rasa tinggi (high) yang
biasa, dan tanda fisik penyalahgunaan amfetamin (contohnya penurunan berat badan dan ide paranoid) hampir
selalu timbul dengan diteruskannya penyalahgunaan (American Psychiatric Association, 2013).
lntoksikasi Amfetamin
Sindrom intoksikasi kokain (menghalangi reuptake dopamin) dan amfetamin (menyebabkan pelepasan dopamin)
sifatnya serupa. Oleh karena penelitian tentang penyalahgunaan dan intoksikasi kokain dilakukan lebih teliti dan
mendalam dibanding pada amfetamin, literatur klinis tentang amfetamin sangat dipengaruhi temuan klinis pada
penyalahgunaan kokain. Pada DSM-V, kriteria diagnosis intoksikasi amfetamin dan intoksikasi kokain terpisah namun
hampir sama. DSM-V merinci gangguan persepsi sebagai gejala intoksikasi amfetamin. Bila tidak ada uji realitas yang
intak, dipikirkan diagnosis gangguan psikotik terinduksi amfetamin dengan awitan saat intoksikasi. Gejala intoksikasi
amfetamin sebagian besar pulih setelah 24 jam dan umumnya akan hilang sepenuhnya setelah 48 jam (American
Psychiatric Association, 2013).

Keadaan Putus Amfetamin


Setelah intoksikasi amfetamin, terjadi uash dengan gejala ansietas, gemetar, mood disforik, letargi, kelelahan, mimpi
buruk disertai tidur dengan rapid eye moventent yang berulang), sakit kepala, berkeringat hebat, kram otot, kram
perut, dan rasa lapar yang tak terpuaskan. Gejala putus zat biasanya memuncak dalam 2 sampai 4 hari dan hilang
dalam I minggu. Gejala putus zat yang paling serius adalah depresii yang terutama dapat menjadi berat setelah
penggunaan amfetamin dosis tinggi terus-menerus dan dapat dikaitkan dengan ide atau perilaku bunuh diri. Kriteria
diagnosis DSM-V untuk keadaan putus amfetamin merinci bahwa mood disforik dan perubahan fisiologis diperlukan
untuk diagnosis tersebut (American Psychiatric Association, 2013).
Delirium pada lntoksikasi Amfetamin
Delirium yang disebabkan oleh penggunaan amfetamin biasanya muncul akibat amfetamin penggunaan dosis tinggi
atau terus-menerus sehingga deprivasi tidur memengaruhi tampilan klinis. Kombinasi amfetamin dengan zat lain
serta penggunaan amfetamin oleh orang dengan kerusakan otak yang,telah ada sebelumnya juga dapat
menyebabkan timbulnya de lirium. Tidak jarang mahasiswa universitas yang menggunakan amfetamin untuk belajar
kilat menghadapi ujian menunjukkan delirium jenis ini (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Psikotik Terinduksi Amfetamin
Kemiripan klinis psikosis terinduksi amfetamin dengan skizofrenia paranoid telah memicu penelitian intensif tentang
neurokimiawi psikosis terinduksi amfetamin untuk menguraikan patofisiologi skizofrenia paranoid. Tanda gangguan
psikotik terinduksi amfetamin adalah adanya paranoia. Gangguan psikotik terinduksi amfetamin dapat dibedakan
dengan skizofrenia paranoid dengan sejumlah karakteristik pembeda yang ditemukan pada gangguan psikotik
terinduksi amfetamin, yaitu adanya predominasi halusinasi visual, afek yang secara umum serasi, hiperaktivitas,
hiperseksualitas, kebingungan dan inkoherensi, serta sedikit bukti gangguan proses pikir (seperti asosiasi longgar).
Pada beberapa studi, peneliti juga mencatat bahwa meski gejala positilgangguan psikotik terinduksi amfetamin dan
skizofrenia mirip, gangguan psikotik terinduksi amfetamin biasanya tidak memiliki af'ek mendatar dan alogia seperti
pada skizofrenia. Namun, secara klinis, gangguan psikotik terinduksi amf'etamin yang akut mungkin tidak dapat
dibedakan dengan skizofrenia, dan hanya resolusi gejala dalam beberapa hari atau temuan positif pada uji tapis zat
dalam urin yang akhirnya akan menunjukkan diagnosis yang tepat. Terapi pilihan untuk gangguan psikotik terinduksi
amfetamin adalah penggunaan .jangka pendek obat antipsikotik seperti haloperidol (Haldol) (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Mood Terinduksi Amfetamin
Awitan gangguan mood terinduksi amfetarnin dapat terjadi saat intoksikasi atau putus zat. Umumnya, intoksikasi
rnenimbulkan gambaran manik atau mood campuran, sementara keadaan putus zat menimbulkan gambaran mood
depresif (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Ansietas Terinduksi Amfetamin
Amfetamin, seperti kokain, clapat menginduksi gejala yang serupa dengan yang terlihat pada gangguan obsesif-
kompulsif, gangguan panik, dan terutama, gangguan tbbia. Awitan gangguan ansietas terinduksi amfetamin juga
dapat terjadi saat inloksikasi atau putus zat (Sadock BJ et al.,2010).
Disfungsi Seksual Terinduksi Amfetamin
Amfetamin sering digunakan untuk meningkatkan pengalaman seksual; namun, dosis tinggi dan penggunaan jangka
panjang dikaitkan dengan gangguan ereksi dan disfungsi seksual lain. Disfungsi ini diklasifikasikan dalam DSM-V
sebagai disfungsi seksual terinduksi amletamin (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Tidur Terinduksi Amfetamin
Intoksikasi amfetamin dapat mer.rimbulkan insomnia dan deprivasi tidur, sementara orang yang sedang mengalami
keadaan putus amfetamin dapat mengalami hipersomnolen dan mimpi buruk (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan yang Tak-Tergolongkan
Jika suatu gangguan terkait amfetamin (atau lir-amfetamin) tidak memenuhi kriteria satu atau lebih kategori yang
didiskusikan di atas, gangguan tersebut dapat didiagnosis sebagai gangguan terkait amfetamin yang tak-
tergolongkan (Sadock BJ et al.,2010).
TATALAKSANA
Penatalaksanaan intoksikasi amfetamin (Sadock BJ et al.,2010) :
a. Bila suhu badan naik, berikan kompres dingin, minum air dingin, atau selimut hipotermik.
b. Bila kejang, berikan diazepam 10-30 mg per oral atau parenteral; atau klordiazepoksid 10-25 mg per oral
secara perlahan-lahan dan dapat diulang setiap 15-20 menit.
c. Bila tekanan darah naik, berikan obat anti hipertensi.
d. Bila terjadi takikardma, berikan beta-blocker, seperti propanolol, yang sekaligus juga untuk menurunkan
tekanan darah.
e. Untuk mempercepat ekskresi amfetamin, lakukan asidifikasi air seni dengan memberi amonium klorida 500
mg per oral setiap 3-4 jam.
f. Bila timbul gejala psikosis atau agitasi, beri halopendol 3 kali 2-5 mg.
Penatalaksanaan putus amfetamin (Sadock BJ et al.,2010) :
a. Rawat di tempat yang tenang dan biarkan pasien tidur dan makan sepuasnya.
b. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya depresi dengan ide bunuh diri.
c. Dapat diberikan anti depresi.
Terapi pada Psikosis Akibat Penggunaan Amfetamin (Sadock BJ et al.,2010).
Psikosis akibat penggunaan amfetamin sangat mirip dengan skizofrenia paranoid. Pada psikosis akibat penggunaan
amfetamin dapat diberikan klorpromazin tiga kali 50-I 50 mg per oral atau 25-50 mg intra muskular yang dapat
diulang setiap empat jam. Dapat juga dipakai halopenidol tiga kali 1-5 mg.
KOMPLIKASI
Penyalahgunaan amfetamin dalam kurun waktu yang cukup lama atau dengan dosis yang tinggi dapat
mengakibatkan timbul banyak masalah seperti psikosis (pikiran menjadi tidak nyata, jauh dari realitas), kelainan
psikologis dan tingkah laku, perubahan mood atau mental, kesulitan bernapas, kekurangan nutrisi, dan gangguan
jiwa. Dalam keadaan keracunan akut, pengguna amfetamin pada umumnya merasakan euforia, keresahan, agitasi,
dan cemas berlebihan. Kira-kira 5 – 12% pengguna mengalami halusinasi, keinginan untuk bunuh diri, dan
kebingungan. Sebanyak 3% pengguna amfetamin mengalami kejang-kejang (Sadock BJ et al.,2010).
2.6 ALKOHOL
DEFINISI
Alkohol adalah salah satu dari sekelompok senyawa organik yang dibentuk dari hidrokarbon-hidrokarbon oleh
pertukaran satu atau lebih gugus hidroksil dengan atom-atom hidrogen dalam jumlah yang sama; istilah ini meluas
untuk berbagai hasil pertukaran yang bereaksi netral dan mengandung satu atau lebih gugus alkohol (Klagenberg KF
et al., 2007).
EPIDEMIOLOGI
Kira-kira 85% dari semua penduduk Amerika Serikat pernah menggunakan minuman yang mengandung alkohol
sekurang-kurangnya satu kali dalam hidupnya. Dan kira-kira 51% dari semua orang dewasa di Amerika Serikat
merupakan pengguna alkohol saat ini (American Psychiatric Association, 2013).
ETIOLOGI
Faktor Psikoanalisis
Teori psikoanalisis tentang gangguan berhubungan dengan alkohol telah dipusatkan pada hipotesis superego yang
sangat bersifat menghukum dan fiksasi pada stadium oral dari perkembangan psikoseksual. Menurut teori
psikoanalisis, orang dengan superego yang keras yang bersifat menghukum diri sendiri berpaling ke alkohol sebagai
cara menghilangkan stres bawah sadar mereka. Kecemasan pada orang yang terfiksasi pada stadium oral mungkin
diturunkan dengan menggunakan zat seperti alkohol melalui mulutnya. Beberapa dokter psikiatrik psikodinamika
menggambarkan kepribadian umum dari seseorang dengan gangguan berhubungan dengan alkohol adalah pemalu,
terisolasi, tidak sabar, iritabel, penuh kecemasan, hipersensitif, dan terrepresi secara seksual (Sadock BJ et al.,2010).
Faktor Sosial dan Kultural
Beberapa lingkungan sosial menyebabkan minum yang berlebihan. Asrama perguruan tinggi dan basis militer adalah
dua contoh lingkungan dimana minum berlebihan dipandang normal dan perilaku yang diharapkan secara sosial.
Sekarang ini, perguruan tinggi dan universitas mencoba mendidik mahasiswanya tentang resiko kesehatan dari
minum alkohol yang berlebihan (Sadock BJ et al.,2010).
Faktor Perilaku dan Pembelajaran
Sama seperti faktor kultural, faktor perilaku dan pembelajaran juga dapat mempengaruhi kebiasaan minum,
demikian juga kebiasaan didalam keluarga, khususnya kebiasaan minum pada orang tua dapat mempengaruhi
kebiasaan minum. Tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa, walaupun kebiasaan minum pada keluarga memang
mempengaruhi kebiasaan minum pada anak-anaknya, kebiasaan minum pada keluarga kurang langsung
berhubungan dengan perkembangan gangguan berhubungan dengan alkohol seperti yang dianggap sebelumnya,
walaupun hal tersebut memang memiliki peranan penting. Dari sudut pandang perilaku, ditekankan pada aspek
pendorong positif dari alkohol, alkohol yang dapat menimbulkan perasaan sehat dan euforia pada seseorang. Selain
itu, konsumsi alkohol dapat menurunkan rasa takut dan kecemasan yang dapat mendorong seseorang untuk minum
lebih lanjut (Sadock BJ et al.,2010).
FARMAKOKINETIK
Absorpsi
Kira-kira 10% alkohol yang dikonsumsi diabsorpsi di lambung, dan sisanya di usus kecil. Konsentrasi puncak alkohol
didalam darah dicapai dalam waktu 30-90 menit, biasanya dalam 45-60 menit, tergantung apakah alkohol diminum
saat lambung kosong, yang meningkatkan absorbsi atau diminum bersama makanan yang memperlambat absorbsi.
Waktu untuk mencapai konsentrasi puncak dalam darah juga merupakan suatu faktor selama mana alkohol
dikonsumsi, waktu yang singkat menurunkan waktu untuk mencapai konsentrasi puncak. Absorbsi paling cepat 15-
30% (kemurnian -30 sampai -60). Tubuh memiliki alat pelindung terhadap masuknya alkohol. Sebagai contoh, jika
konsentrasi alkohol menjadi terlalu tinggi didalam lambung, mukus akan disekresikan dan katup pilorik ditutup, hal
tersebut akan memperlambat absorbsi dan menghalangi alkohol masuk ke usus kecil. Jadi, sejumlah besar alkohol
dapat tetap tidak terabsorbsi didalam lambung selama berjam-jam. Selain itu, pilorospasme sering kali
menyebabkan mual dan muntah (Katzung BG, 2014).
Metabolisme
Kira-kira 90% alkohol yang diabsorbsi dimetabolisme di hati, sisanya dieksresikan tanpa diubah oleh ginjal dan paru-
paru. Kecepatan oksidasi di hati konstan dan tidak tergantung pada kebutuhan energi tubuh. Tubuh mampu
memetabolisme kira-kira 15 mg/dl setiap jam dengan rentan berkisar antara 10-34 mg/dl per jamnya (Katzung BG,
2014).
Alkohol dimetabolisme dengan bantuan 2 enzim yaitu alkohol dehidrogenase (ADH) dan aldehida dehidrogenase.
ADH mengkatalisasi konversi alkohol menjadi asetilaldehida yang merupakan senyawa toksik. Aldehida
dehidrogenase mengkatalisasi konversi asetaldehida menjadi asam asetat. Aldehida dehidrogenase diinhibisi oleh
disulfiram (An-tabuse), yang sering digunakan dalam pengobatan gangguan terkait alkohol (Katzung BG, 2014).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada wanita memiliki ADH yang lebih rendah dari pada laki-laki, yang
mungkin menyebabkan wanita cenderung menjadi lebih terintoksikasi dibanding laki-laki setelah minum alkohol
dalam jumlah yang sama. Penurunan fungsi enzim yang memetabolisme alkohol akan menyebabkan mudahnya
seseorang terjadi intoksikasi alkohol dan gejala toksik (Katzung BG, 2014).
MANIFESTASI KETERGANTUNGAN DAN MASALAH ALKOHOLISME
a. Manifestasi klinis
Sekitar 80% pasien yang dirujuk akibat ketergantungan alkohol memiliki masalah medis yang serius. Gejala putus
obat umumnya timbul saat pasien sadar. Gambaran komplikasi spesifik sangat bervariasi (Warninghoff JC et
al.,2009);
- Gastrointestinal : hepatitis, sirosis, gastritis, perdarahan gastrointestinal, pankreatitis
- Kardiovaskuler : hipertensi ( menyebabkan meningkatkan kejadian penyakit kanker mulut, esophagus,
hati bahkan payudara)
- Obstetri :sindrom alkohol fetus
- Neurologis : sinkope, kejang, neuropati, status konfusional akut, perdarahan subdural, ensefalopati
- Muskuloskeletal : gout
b. Manifestasi psikiatrik (Sadock BJ et al.,2010).
- Depresi : semua bentuk depresi dapat dicetuskan oleh alkohol. Depresi sendiri dapat menyebabkan
alkoholisme dengan memacu orang untuk minum sebagai usaha untuk mengurangi gejala-gejala depresi.
- Ansietas : gejala sering muncul pada saat putus obat parsial. Seperti halnya depresi, ansietas atau
gangguan panik merupakan predisposisi konsumsi alkohol secara berlebihan sebagai usaha mengurangi
gejala
- Perubahan kepribadian : penurunan standar kepekaan sosial dan perawatan diri sendiri
- Disfungsi seksual : impotensi, ejakulasi lama
- Halusinasi : baik auditorik maupun visual biasanya selama putus obat tetapi dapat pula terjadi tanpa
gambaran delirium lainnya
- Halusinasi alkoholik : halusinasi auditorik yang mengganggu tapi jarang dan terjadi saat sadar.
Progresifitas penyakit ini bergantung kepada banyak faktor diantaranya usia, zat psikoaktif pilihannya, gender, dan
predisposisi faali. Progresifitas adiksi lebih cepat pada remaja daripada orang dewasa. Progresifitas pada perempuan
lebih cepat daripada pada laki-laki (Allen KM, 2010).

DIAGNOSIS
DSM-V menuliskan gangguan berhubungan dengan alkohol dan menyebutkan kriteria diagnostik untuk intoksikasi
alkohol dan putus alkohol.
Gangguan terkait alkohol
Gangguan penggunaan alkohol
Ketergantungan alkohol
Penyalahgunaan alkohol
Gangguan akibat alkohol
Intoksikasi alkohol
Putus alkohol
Sebutkan jika
dengan gangguan persepsi
Delirium intoksikasi alkohol
Delirium putus alkohol
Demensia menetap akibat alkohol
Gangguan psikotik akibat alkohol, dengan waham
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Gangguan psikotik akibat alkohol, dengan halusinasi
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Gangguan mood akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Gangguan kecemasan akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Disfungsi seksual akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Gangguan tidur akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus zat
Gangguan terkait alkohol yang tidak ditentukan
Tabel didasarkan dari DSM-V, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 5. Hak cipta American
Psyciatric Association, Washington 2013.
Ketergantungan Alkohol dan Penyalahgunaan Alkohol
Diagnosis dan gambaran klinis:
Pola penggunaan alkohol sering kali disertai dengan perilaku berikut ini (Rusadi M, 2013):
a. Ketidakmampuan memutuskan atau berhenti minum
b. Usaha berulang untuk mengontrol atau menurunkan minum yang berlebihan dengan tidak minum minuman
keras (periode abstinensia temporer) atau membatasi minum pada waktu tertentu
c. Pesta minuman keras (tetap terintoksikasi sepanjang hari untuk sekurangnya dua hari)
d. Mengkonsumsi kadang-kadang 5 takaran minuman keras (atau ekuivalennya pada bir atau anggur)
e. Periode amnestik untuk peristiwa yang terjadi selama terintoksikasi (blackout)
f. Terus minum walaupun adanya suatu gangguan fisik serius yang telah diketahuinya dieksaserbasi oleh
penggunaan alkohol
g. Minum alkohol yang bukan minuman, seperti bahan bakar atau produk komersial yang mengandung alkohol
Disamping itu orang dengan ketergantungan alkohol dan penyalahgunaan alkohol menunjukkan gangguan fungsi
sosial dan pekerjaan karena penggunaan alkohol, seperti kekerasan saat terintoksikasi, tidak hadir kerja, kehilangan
pekerjaan, masalah hukum (contoh: ditahan karena perilaku terintoksikasi atau kecelakaan lalu lintas saat
terintoksikasi), dan perdebatan atau kesulitan dengan keluarga atau teman karena penggunaan alkohol yang
berlebihan (Rusadi M, 2013).
Intoksikasi Alkohol.
Kriteria Diagnostik untuk Intoksikasi Alkohol
A. Baru saja menggunakan alkohol
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis (misalnya, perilaku seksual atau
agresif yang tidak tepat, labilitas mood, gangguan pertimbangan, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan)
yang berkembang selama atau segera setelah ingesti alkohol
C. Satu (atau lebih) tanda berikut ini, yang berkembang selama atau segera setelah pemakaian alkohol
1) Bicara cadel
2) Inkoordinasi
3) Gaya berjalan tidak mantap
4) Nistagmus
5) Gangguan atensi atau daya ingat
6) Stupor atau koma
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental
lain
Tabel didasarkan dari DSM-V, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 5. Hak cipta American
Psyciatric Association, Washington 2013.

Putus Alkohol
Kriteria Diagnostik untuk Putus Alkohol
A. Penghentian (atau penurunan) pemakaian alkohol yang telah lama dan berat
B. Dua (atau lebih) tanda berikut ini yang berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah
kriteria A
1) Hiperaktivitas otonomik (misalnya, berkeringat atau kecepatan denyut nadi lebih dari 100)
2) Peningkatan tremor tangan
3) Insomnia
4) Mual dan muntah
5) Halusinasi atau ilusi penglihatan, raba atau dengar yang transien
6) Agitasi psikomotor
7) Kecemasan
8) Kejang grand mal
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang serius secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.
D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oelh gangguan mental
lain.
Sebutkan jika:
dengan gangguan persepsi
Tabel didasarkan dari DSM-V, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 5. Hak cipta American
Psyciatric Association, Washington 2013.

Medikasi utama untuk mengendalikan gejala putus alkohol adalah benzodiazepin. Penelitian menunjukkan bahwa
benzodiazepin membantu mengontrol aktivitas kejang, delirium, kecemasan, dan tremor yang berhubungan dengan
putus alkohol. Benzodiazepin dapat diberikan peroral maupun parenteral. Diazepam (Valium) ataupun
chlordiazepoxide (Librium) tidak boleh diberikan IM karena adanya absorbsi yang menentu dari obat jika diberikan
dengan cara tersebut. Benzodiazepin dititrasi mulai dosis tinggi dan menurunkan dosis saat pasien pulih.
Benzodiazepin dalam jumlah yang cukup harus digunakan untuk menjaga pasien tetap tenang dan tersedasi
(Warninghoff JC et al.,2009).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa carbamazepine (Tegretol) dalam dosis 800 mg sehari sama efektifnya
dengan benzodiazepin dan mempunyai manfaat tambahan kemungkinan penyalahgunaan yang minimal
(Warninghoff JC et al.,2009).
Terapi obat untuk intoksikasi dan putus alkohol
Masalah klinis Obat Jalur Dosis Keterangan

Gemetaran dan chlordiazepoxide Oral 25-100 mg tiap 4-6 jam Dosis awal dapat diulangi
agitasi ringan tiap 2 jam sampai pasien
sampai sedang tenang; dosis selanjutnya
harus ditentukan secara
individual dan dititrasi

Halusinosis Diazepam Oral 5-20 mg tiap 4-6 jam Berikan sampai pasien
tenang; dosis selanjutnya
Agitasi parah Lorazepam Oral 2-10 mg tiap 4-6 jam harus ditentukan secara
chlordiazepoxide Intravena 0,5 mg/kg pada 12,5 indivisual dan dititrasi
mg/mnt

Kejang putus Diazepam Intravena 0,15 mg/kg pada 2,5


mg/mnt

Delirium Lorazepam Intravena 0,1 mg/kg pada 2,0


tremens mg/mnt

Delirium
Delirium putus alkohol merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang dapat meningkatkan mortalitas dan
morbiditas yang bermakna. Pasien delirium sangat berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain karena perilaku
yang tidak dapat diperkirakan. Pasien mungkin akan menyerang atau bunuh diri. Delirium tremens yang tidak
diobati, dapat meningkatkan mortalitas sekitar 20%, biasanya bersamaan dengan penyakit medis lainnya seperti
pneumonia, penyakit ginjal, insufisiensi hati atau gagal jantung (Warninghoff JC et al.,2009). Ciri penting dari
sindroma delirium adalah terjadi dalam 1 minggu setelah seseorang menghentikan minum alkohol. Disamping itu
terdapat ciri-ciri berupa (Warninghoff JC et al.,2009) :
1. Hiperaktifitas otonomik, seperti takikardia, diaforesis, demam, kecemasan, insomnia, dan hipertensi
2. Distorsi perseptual, yang paling sering adalah halusinasi visual atau taktil
3. Fluktuasi tingkat aktivitas psikomotor, rentangnya dari hipereksitabilitas sampai letargi.
Kira-kira 5% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit karena alkoholik mengalami DTs. Episode DTs biasanya
mulai pada usia 30-40an setelah minum berat selama 5-15 tahun. Pengobatan terbaik untuk DTs adalah pencegahan.
Pasien yang putus dari alkohol yang menunjukkan salah satu fenomena putus alkohol harus mendapatkan terapi
benzodiazepin, seperti chlordiazepoxide 25-50 mg tiap 2-4 jam hingga pasien lepas dari bahaya. Tetapi jika tanda
delirium terlihat, berikan chlordiazepoxide 50-100 mg tiap 4 jam peroral atau lorazepam intravena jika medikasi oral
tidak memungkinkan (Warninghoff JC et al.,2009).
Pada pengobatan berikan diet tinggi kalori, tinggi karbohidrat, dan multivitamin. Pasien dengan DTs jika diikat
fisiknya akan berbahaya karena pasien dapat berontak terhadap pengikatan sampai mengalami kelelahan yang
berbahaya. Jika pasien tidak dapat dikendalikan maka pasien harus ditempatkan diruangan isolasi. Pasien dapat
mengalami dehidrasi yang disebabkan diaforesis dan demam, hal ini dapat dikoreksi dengan pemberian cairan oral
maupun intravena. Diare, muntah dan anoreksia sering terjadi selama putus alkohol (Warninghoff JC et al.,2009).
Demensia Menetap akibat Alkohol
Keabsahan demensia akibat alkohol (alkohol-induced persisting dementia) masih kontroversial, karena beberapa
klinisi dan peneliti masih sulit untuk membedakan antara efek toksik dari penyalahgunaan alkohol dengan kerusakan
sistem saraf pusat akibat nutrisi yang buruk, trauma multipel, dan kerusakan sistem saraf pusat yang terjadi setelah
malfungsi organ tubuh lainnya (hati, pankreas dan ginjal). Walaupun beberapa penelitian telah menemukan adanya
pembesaran ventrikel dan atrofi kortikal pada seseorang dengan demensia dan riwayat ketergantungan alkohol,
namun penelitian tersebut belum bisa menjelaskan apa sebenarnya penyebab demensia (Allen KM, 2010).
Gangguan Amnestik Menetap Akibat Alkohol
Kriteria diagnostik untuk gangguan amnestik menetap akibat alkohol (alkohol-induced persisting amnestic disorder)
berada dalam kategori DSM-V untuk gangguan amnestik menetap akibat zat.ciri penting gangguan amnestik
menetap akibat alkohol adalah gangguan daya ingat jangka pendek yang diakibatkan penggunaan alkohol berat
dalam jangka waktu yang lama. Gangguan ini jarang terjadi pada usia dibawah 35 tahun (American Psychiatric
Association, 2013).
Gangguan Psikotik Akibat Alkohol
Kreteria diagnostik untuk gangguan psikotik akibat alkohol (alkohol-induced psycotik disorder) (sebagai contoh
halusinasi dan waham) ditemukan di dalam kategori DSM-V tentang gangguan psikotik akibat zat (subtance-induced
psycotic disorder). DSM-V memungkinkan lebih jauh untuk menentukan onset (selama intoksikasi atau putus alkohol)
dan apakah halusinasi atau waham ditemukan. Istilah untuk halusinasi yang terjadi selama putus alkohol yang
digunakan didalam DSM-III R tetapi tidak lagi digunakan dalam DSM-V adalah halusinasi alkohol. Halusinasi yang
paling sering adalah auditorik, biasanya berupa suara-suara, tetapi suara tersebut sering kali tedak terstruktur.
Suara-suara karakteristiknya adalah memfitnah, mencela, atau mengancam. Walaupun beberapa pasien dilaporkan
bahwa suara-suara itu adalah menyenangkan dan tidak menganggu. Halusinasi biasanya berlangsung selama kurang
dari 1 minggu walaupun selama minggu tersebut gangguan test realitas adalah sering. Setelah episode, sebagian
besar pasien menyadari sifat halusinasi dari gejalanya (American Psychiatric Association, 2013).
Halusinasi setelah putus alkohol dianggap merupakan gejala yang jarang, dan sindrom adalah beberapa dari delirium
putus alkohol. Halusinasi dapat terjadi pada semua usia, tetapi biasanya berhubungan dengan orang yang telah
melakukan penyalahgunaan alkohol dalam jangka waktu yang lama. Walaupun biasanya halusinasi menghilang
dalam 1 minggu, tapi pada beberapa kasus dapat menetap. Halusinasi berhubungan dengan putus alkohol harus
dibedakan dengan skizofren yang berhubungan dengan temporal dengan putus alkohol, tidak adanya riwayat klasik
skizofrenia dan halusinasinya biasanya singkat. Halusinasi berhubungan dengan putus alkohol dibedakan dari DTs
oleh karena adanya sensorium yang jernih pada pasien (American Psychiatric Association, 2013).
Pengobatan halusinasi berhubungan dengan putus alkohol sama dengan DTs yaitu dengan benzodiazepin, nutrisi
yang adekuat, dan cairan jika diperlukan. Jika regimen gagal dan pada kasus jangka panjang, antipsikotik dapat
digunakan (American Psychiatric Association, 2013).
Gangguan Berhubungan dengan Alkohol Lainnya
Gangguan mood akibat alkohol (alkohol-induced mood disorder). DSM-V memungkinkan diagnosis gangguan mood
akibat alkohol dengan ciri manik, depresif atau campuran. Gangguan kecemasan akibat alkohol (alkohol-induced
anxiety disorder). DSM-V memungkinkan diagnosis gangguan kecemasan akibat alkohol. DSM-V selanjutnya
menganjurkan agar diagnosis menyebutkan apakah gejala merupakan apakah gejala merupakan kecemasan
menyeluruh, serangan panik, gejala obsesif-kompulsif, atau gejala fobik dan apakah onset selama intoksikasi atau
selama putus alkohol (American Psychiatric Association, 2013).
Kategori gangguan terkait alkohol yang tidak ditentukan adalah gangguan yang berhubungan dengan pemakaian
alkohol yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai ketergantungan alkohol, penyalahgunaan alkohol, intoksikasi
alkohol, putus alkohol, delirium putus alkohol, demensia menetap akibat alkohol, gangguan psikotik akibat alkohol,
gangguan mood akibat alkohol, gangguan kecemasan akibat alkohol, disfungsi seksual akibat alkohol, atau gangguan
tidur akibat alkohol (American Psychiatric Association, 2013).
TATALAKSANA
Psikoterapi
Psikoterapi memusatkan pada alasan seseorang mengapa minum. Fokus spesifik adalah dimana pasien minum,
dorongan premotivasi dibelakang minum, hasil yang diharapkan dari minum, dan cara alternatif untuk mengatasi
situasi tersebut. Melibatkan pasangan yang tertarik dan bekerja sama dalam terapi bersama untuk sekurangnya satu
sesion adalah sangat efektif (Warninghoff JC et al.,2009).
Medikasi
Disulfiram
Disulfiram (antabuse) menghambat secara kompetitif enzim aldehida dehidrogenase, sehingga biasanya minuman
segelaspun biasanya menyebabkan reaksi toksik karena akumulasi asetaldehida didalam darah. Pemberian obat
tidak boleh dimulai sampai 24 jam setelah minuman terakhir pasien. Pasien harus dalam kesehatan yang baik, sangat
termotivasi, dan bekerja sama. Dokter harus memberitahukan pasien akibat meminum alkohol saat menggunakan
obat dan selama 2 minggu setelahnya (Warninghoff JC et al.,2009).
Merekan yang menggunakan alkohol sambil meminum disulfiram 250 mg setiap harinya akan mengalami kemerahan
dan perasaan panas pada wajah, sklera, anggota gerak atas dan dada. Mereka akan menjadi pucat, hipotensif dan
mual juga mengalami malaise yang serius. Pasien juga akan mengalami rasa pusing, pandangan kabur, palpitasi,
sesak dan mati rasa pada anggota gerak. Dengan dosis lebih dari 250 mg maka dapat terjadi gangguan daya ingat
dan konfusi (Warninghoff JC et al.,2009).
Psikotropika
Obat antiansietas dan antidepresan dapat mengobati gejala kecemasan pada pasien dengan gangguan terkait
alkohol (Warninghoff JC et al.,2009).
Terapi Perilaku
Terapi perilaku mengajarkan seseorang dengan gangguan terkait alkohol untuk menurunkan kecemasan. Latihan
ditekankan pada latihan relaksasi, latihan ketegasan, keterampilan mengendalikan diri, dan strategi baru untuk
menguasai lingkungan. Sejumlah program pembiasaan perilaku (operant conditioning) membiasakan orang dengan
gangguan terkait alkohol untuk memodifikasi perilaku minum mereka atau untuk berhenti minum. Dorongan berupa
hadiah keuangan, kesempatan untuk tinggal dalam lingkungan rawat inap yang baik, dan jalur untuk memasuki
interaksi sosial yang menyenangkan (Sadock BJ et al.,2010).
Halfway House
Pemulangan seorang pasien dari rumah sakit sering kali memiliki masalah penempatan yang serius. Rumah dan
lingkungan keluarga lainnya mungkin menghalangi, tidak mendukung, atau terlalu tidak berstruktur. Halfway house
adalah suatu sarana pengobatan yang penting yang memberikan bantuan emosional, konseling, dan pengembalian
progresif ke dalam masyarakat (Sadock BJ et al.,2010)

Вам также может понравиться