Вы находитесь на странице: 1из 2

Aku di Antara Bayangmu

Byuur !!, Suara Anak yang terjatuh dari atas jembatan. Seketika, aku langsung berlari
dan mencoba untuk menyelamatkannya. Kucoba untuk meraih tangannya yang kecil di antara
keruhnya air sungai jakarta. Kuraih tangannya seketika dan membawanya ketepian sungai
untuk berbincang-bincang tentang kejadian tadi. Ia bercerita dengan tatapan tajam seakan yakin
tentang nasib hidupnya kelak. Tubuhnya yang kurus, hitam legam, dan berambut ikal seakan
membawaku teringat tentang masa kecil dahulu.

Hidup sebagai anak jalanan tidaklah seindah hidup anak pejabat, pergaulan disini
seperti hukum rimba tak mengenal aturan, hanya siapa yang kuat dialah yang menang.
Pendidikan kami juga sebatas pendidikan pasar, tak pernah bersekolah karena keterbatasan
biaya. Ketika musim kemarau tiba kami harus minum dari air kali yang keruh. Yang aku
rasakan hanya haus dan lapar di siang hari. Setiap hari menjadi buruh di pasar untuk mencari
uang, ketika itu aku berumur 15 tahun, tepatnya setelah 1 bulan aku pindah ke kota. Setiap
minggu alih profesi sudah biasa, dari mulai kuli bangunan hingga buruh di pasar. Ketika malam
menjelang, dengan beralaskan lantai sembari memegangi perut yang lapar aku terlelap dalam
heningnya malam itu, merebahkan tubuh sejenak untuk mengurangi penatnya hari ini.

Hari esok selalu ada doa dan harapan, dengan badan lemas setengah sadar aku berjalan
di antara gedung-gendung kota. Kaki-kaki kecilku merayap perlahan tanpa arah, tubuhku tak
kuasa untuk mencari uang. Ketika berjalan mendadak perutku sakit dan kepala ku pusing
seketika aku terjatuh di jalanan itu, Aku terbangung di atas kasur dengan selimut, ditangan
kanan tertancap jarum yang mengalirkan air. Kulihat dari jendela ibu-ibu sedang berbincang
dengan seorang dokter. Kepalaku masih pusing dan seluruh badanku sakit. Ketika aku sadar,
ibu itu bertanya tentang kehidupanku, usianya sekitar 49 tahun nampak kerutan di keningnya
serta rambut yang mulai putih.

Aku dibawa kerumahnya yang terletak di samping kota. Disana aku diberi makan
dirwat dan disekolahkan. Walaupun ibu itu tinggal sendirian tapi pekerjaan rumah tidak pernah
ia tinggalkan. Ia tak memiliki kerabat sepertiku. Setiap hari aku harus membantu ibu
membersihkan rumah, ketika musim penghujan tiba ku harus berjalan di bawah guyuran hujan
sejauh 5 KM. Setiap hari harus kulakukan untuk mengubah nasib yang selama ini ada. Aku
menyadari kedatanganku di keluarga ibu itu menyusahkan, aku berusaha untuk mencari
pekerjaan sembari bersekolah.
Diam-diam, di tengah malam aku ingin kabur dari rumah karena merasa kasihan
terhadap ibu yang tua itu. Ku titipkan sebuah surat diatas meja sebagai surat perpisahan kepada
ibu itu. Bekal yang selama ini kudapat membawaku ke sebuah bengkel otomotif, walaupun gaji
yang kudapat tak seberapa aku berusaha untuk menyisihkan uang untuk melanjutkan sekolah.
Berpuluh-puluh tahun aku bekerja disana sembari menyelesaikan S1, banyak cobaan yang aku
rasakan mulai dari gaji yang naik turun hingga bencana yang hampir merenggut nyawaku.
Selama bekerja aku sangat akrab dengan pemilik bengkel, siang hari yang terik membawaku
untuk berbincang dengan pemilik bengkel itu.

“Bagaimana Sekolahmu? Kapan lulus?”, tanya pemilik bengkel

“Alhamdulilah hampir lulus, Mungkin bulan depan.” Jawabku

“Wah kalu sudah lulus ga bekerja disini lagi dong? Ha ha ha.” Kata pemilik bengkel

“Ya enggak gitu bang, kan saya sudah berpuluh tahun disini.” jawabku

Ditengah pembicaraan aku terkaget ketika ia menitipkan sebuah amplop berisi uang 1
juta. Aku tak tahu maksud dari uang itu, aku merasa kecewa dan keesokan harinya aku berhenti
dari bengkel itu

Hari kelulusan yang kutunggu telah tiba, sebelum itu aku ingin melihat kampung
halamanku di kota terlebih dahulu, tak kusangka ketika aku melintas di dekat jembatan aku
melihat seorang anak terjatuh dari jembatan. Setelah aku menolongnya, ia bercerita tentang
masa lalunya, saat itu aku menangis teringat akan ibu yang menolongku dahulu. Tak pikir
panjang setelah bercakap-cakap aku lansung berangkat kerumah ibu yang dulu menolongku,
bertemu dengannya aku langsung menangis di dekapannya dan berkata

“Ibu, Aku lulus, maafkan aku yang dahulu” ucapku haru,

“Ibu akan selalu memaafkanmu nak. Jangan tinggalkan ibu lagi.” Jawabnya lirih

“Iya bu, aku janji” jawabku sembari menangis

Keesokan harinya ibu datang menyaksikan wisudaku, yang bermula dari anak jalanan
berahir dengan gelar sarjana.

Вам также может понравиться