Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Tata hukum suatu negara adalah tata hukum yang ditetapkan atau disahkan oleh negara itu.
Jadi, tata hukum Indonesia adalah tata hukum yang ditetapkan oleh pemerintah negara Indonesia.
Aturan-aturan hukum yang berlaku di Indonesia berkembang secara dinamis sesuai dengan
perkembangan zaman dan perkembangan kebutuhan masyarakat dalam rangka untuk memenuhi
perasaan keadilan berdasarkan kesadaran hukum masyarakat tersebut. Bahwa aturan-aturan saling
berhubungan dan saling menentukan, misalnya :
Hukum Pidana saling berhubungan dengan Hukum Acara Pidana dan saling menentukan
satu sama lain, karena hukum pidana tidak akan dapat diterapkan tanpa adanya hukum
acara pidana. Dan sebaliknya jika tidak ada hukum pidana maka hukum acara pidanan
tidak akan berfungsi.
Hukum keluarga berhubungan dan saling menentukan dengan Hukum waris. Agar harta
kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meneninggal dunia dapat dibagikan
kepada para ahli warisnya yang ditentukan oleh hukum waris.
Oleh karena itu, aturan-aturan didalamnya berubah pula menurut kebutuhan masyarakat
itu. Aturan demi aturan akan diganti dengan yang baru apabila aturan yang lama dianggap sudah
tidak sesuai lagi dengan keinginan masyarakat untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum.
Penggantian aturan-aturan lama dengan aturan-aturan baru di dalam masyarakat atau negara
merupakan kejadian penting di dalam tata hukum masyarakat atau negara. Oleh karenanya, perlu
dicatat/ditulis dan diingat. Dengan demikian, sejarah tata hukum Indonesia memuat kejadian-
kejadian penting mengenai tata hukum Indonesia pada masa lalu yang dicatat dan diingat serta
harus dipahami oleh bangsa Indonesia.
Buku I Tentang Orang ; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga,
yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subjek
hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran,
kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian, dan hilangnya hak keperdataan. Khusus
untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuanya telah dinyatakan tidak berlaku dengan
disahkannya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Buku II Tentang Kebendaan ; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang
mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subjek hukum yang berkaitan dengan benda,
antara lain ; hak-hak kebendaan, waris dan peminjaman. Yang dimaksud dengan benda
meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal
dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya
selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak ; dan (iii) benda tidak
berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian
ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan disahkannya UU Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah
dinyatakan tidak berlaku dengan disahkannya UU Tentang Hak Tanggungan.
Buku III Tentang Perikatan ; mengatur tentang hukum perikatan atau disebut juga
dengan perjanjian (walaupun istilah ini sesungguhnya mempunyai makna yang berbeda),
yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subjek hukum di bidang
perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul
dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-
syarat dan tat acara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan,
(KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Karena isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer,
khusunya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
Buku IV Tentang Daluarsa Dan Pembuktian ; mengatur hak dan kewajiban subjek
hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam
hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Tetapi setelah berjalannya waktu Para Ahli berpikir bahwa tidak tepat menempatkan buku
ke-4 dalam struktur KUHPer karena pembuktian dan daluarsa tidak termasuk ke dalam ruang
lingkup hukum materiil maka seharusnya buku ke-4 mengenai daluarsa dan pembuktian diatur
didalam hukum formil.
CHAPTER 3
A. Hukum Pribadi
Berdasarkan hukum pribadi yang mengatur sebagai siapa saja yang menjadi pribadi
hukum. Maka terbagi menjadi dua bagian yaitu :
Subjek Hukum Pribadi Kodrati (Persoon) adalah manusia yang mempunyai hak
dan kewajiban sejak lahir sampai meninggal. Apabila meninggal, maka hak dan
kewajibannya akan beralih pada ahli warisnya. Subjek hukum ini berstatus otonom,
yaitu dapat bertindak sendiri untuk mengurusi kepentingannya. Ia juga mempunyai
hak bersikap-tindak (“handelingsbevoegd ”) yang mempunyai akibat hukum (orang
yang sudah dewasa dan berakal sehat). Tetapi tidak setiap pribadi dianggap
mampu/cakap untuk melaksanakan hak tersebut contohnya
(handelingsonbekwaan) atau orang yang belum dewasa dan orang yang akal
pikirannya tidak sehat.
Subjek Hukum Pribadi Ciptaan Hukum/Badan Hukum ( Rechts Persoon).
Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan
tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban seperti dapat mengadakan
hubungan hukum, terlibat peristiwa hukum dst. Contohnya (i) Perseroan Terbatas,
diatur didalam UU No. 4 Tahun 2007, (ii) Yayasan, diatur didalam UU No.16
Tahun 2011, (iii) Koperasi, diatur didalam UU No. 12 Tahun 1967.
Tiap orang menurut hukum Istilah domisili ini, jika mengacu kepada KUH Perdata, diuraikan
dalam BAB III, Buku I tentang Orang (persoon). Menurut Subekti (1996:19), persoon berarti
pembawa hak atau subyek dalam hukum. Pada awalnya, yang dianggap subyek hukum adalah
orang (natuurlijke persoon), akan tetapi dalam perkembangannya, badan hukum (rechtpersoon)
pun diakui sebagai subyek hukum.
Domisili ini mengemuka dalam hukum karena menurut hukum tiap orang harus mempunyai
tempat tinggal yang dapat dicari. Tempat yang dapat dicari inilah yang disamakan dengan
Domisili. Kata domisili berasal dari bahasa Belanda domicilie, artinya tempat kedudukan atau
disebut juga tempat tinggal.
Sedangkan untuk memaknai "domisili hukum", dapat diperhatikan definisi domisili yang diberikan
oleh Prawirohamidjojo dan Pohan. Menurut Prawirohamidjojo dan Pohan (1991:12), domisili
adalah tempat seseorang harus dianggap selalu hadir dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak
dan pemenuhan kewajiban, juga apabila pada suatu waktu ia benar-benar tidak dapat hadir di
tempat tersebut.
Dengan mengambil intisari pandangan Prawirohamidjojo dan Pohan, sekilas dapat dipahami
bahwa domisili hukum disamakan dengan tempat tinggal yang sah dari seseorang yang melakukan
perbuatan atau hubungan hukum.
Dalam hukum, domisili berkaitan dengan kepastian hukum terkait hal-hal sebagai berikut:
Kepastian untuk menentukan dimana seseorang harus melakukan perkawinan. hal ini berhubungan
dengan suatu peraturan bahwa perkawinan harus dilaksanakan di tempat salah satu pihak ( Pasal
76 KUH Perdata ).
Kepastian untuk menentukan dimana subjek hukum harus dipanggil dan ditarik di muka
pengadilan.
Kepastian untuk menentukan pengadilan mana yang berkuasa terhadap subjek hukum tersebut.
Dalam HIR, pengadilan yang berwenang mengadili seseorang dalam perkara perdata adalah
pengadilan dalam wilayah hukum dimana penggugat/tergugat berdomisili (Pasal 118 ayat 1 dan 2
H.I.R )
Kepastian rumah kematian. Penentuan rumah kematian berkaitan erat dengan ketentuan hukum
waris.
Domisili hukum, apabila ditilik dari berbagai pandangan sarjana hukum, umumnya
dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu domisili sesungguhnya (Eigenlijke Woonplaats) dan
domisili yang dipilih (Gezoken Woonplaats). Berikut adalah penjabaran dari keduanya secara
singkat.
Penggunaan istilah "Domisili Hukum yang Tetap dan Tidak dapat Diubah" kerap kali
dijumpai dalam sebuah surat perjanjian. Istilah ini bisa dikaitkan dengan Pasal 24 ayat 1 KUH
Perdata, yang berbunyi: "dalam suatu akta dan terhadap suatu soal tertentu, kedua pihak atau salah
satu pihak bebas untuk memilih tempat tinggal yang lain daripada tempat tinggal yang
sebenarnya". (Suparni, 2000:7)
Jadi, yang dimaksud dengan "domisili hukum yang tetap dan tidak dapat diubah" adalah
tempat tinggal yang dipilih oleh kedua belah pihak yang akan menentukan pengadilan negeri
manakah yang berwenang memeriksa dan mengadili pihak-pihak tersebut, jika kemudian hari
terjadi sengketa. Misalnya : A mengadakan perjanjian bisnis dengan B. Dalam surat perjanjian
tertera bahwa dalam menyelesaikan perselisihan, kedua belah pihak sepakat memilih "domisili
hukum yang tetap dan tidak dapat diubah" yaitu di pengadilan negeri Denpasar. Seiring waktu,
karena situasi bisnis yang kurang baik, di tengah jalan terjadi perselisihan. B hendak menggugat
A, akan tetapi B sudah tidak lagi tinggal di Denpasar, melainkan pindah ke Medan. Dalam hal ini,
gugatan B hanya bisa di lakukan di pengadilan negeri Denpasar.
Apakah domisili hukum yang seperti dalam perjanjian itu bisa diubah secara sepihak?
jawabannya adalah tentu saja tidak. Mengenai hal ini, Pasal 25 KUH Perdata menyebutkan :"Bila
hal sebaliknya tidak disepakati, masing-masing pihak boleh mengubah tempat tinggal yang dipilih
untuk dirinya, asalkan tempat tinggal yang baru tidak lebih dari sepuluh pal jauhnya dari tempat
tinggal yang lama dan perubahan itu diberitahukan kepada pihak yang lain. (Suparni, 2000:7-8) .
Dari Pasal 25 kita dapat temukan suatu pengecualian bahwa perubahan dapat dilakukan terkait
domisili hukum, jika kedua belah pihak yang tersangkut paut setuju untuk mengubahnya.
Seandainya dapat disetujui, maka perjanjian yang lama harus diganti dengan perjanjian yang baru
dan dalam perjanjian baru dilakukan perubahan pilihan domisili hukum tersebut, misalnya
Pengadilan Negeri Medan, dimana A sekarang tinggal.
C. Hukum Benda adalah hukum yang mengatur hak kebendaan atau bisa disebut dengan hak-
hak yang terikat dengan benda. Benda atau “zaak” adalah segala sesuatu yang dapat dihaki
oleh orang. Disini benda berarti objek sebagai lawan dari subjek/orang dalam hukum. Ada juga
perkataan benda dipakai dalam kekayaan seseorang maka perkataan itu meliputi juga barang-
barang yang tidak terlihat ex: hak piutang. Begitu pula perkataan “Penghasilan” mempunyai
dua pengertian yaitu selain berarti penghasilannya sendiri dari suatu benda (ex: kuda yang
beranak), bisa juga berarti hak untuk memungut penghasilan itu ex : hak memungut uang sewa.
Penghasilan semacam ini disebut dengan “burgerlijke uruchten”.