Вы находитесь на странице: 1из 17

1.

Pengkajian
a. Biodata

Berat badan bayi biasanya kurang dari 2500 gram serta umur kehamilan biasanya antara 24

sampai 37 minggu (Pantiawati, 2010 : 28-29). Angka kejadian tertinggi BBLR adalah pada usia

ibu dibawah 20 tahun khususnya pada multigravida dengan jarak kehamilan yang terlalu dekat,

dan pada keluarga dengan ekonomi rendah (Masitoh et al., 2014 : 151).

b. Keluhan utama

Bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram (Mitayani, 2013 : 175).
c. Riwayat kesehatan

1) Riwayat penyakit sekarang

pada riwayat penyakit sekarang ditemukan umur kehamilan biasanya antara 24 sampai 37

minggu, rendahnya berat badan pada saat kelahiran, berat biasanya kurang dari 2500 gram,

kurus, lapisan lemak subkutan sedikit atau tidak ada, kepala relative lebih besar dibandingkan

badan, 3 cm lebih besar dibandingkan lebar dada, kelainan fisik mungkin terlihat, nilai APGAR

pada 1 sampai 5 menit, 0 sampai 3 menunjukkan kegawatan yang parah, 4 sampai 6 kegawatan

yang sedang, dan 7 sampai 10 normal (Pantiawati, 2010 : 29).

2) Riwayat penyakit dahulu

Ibu dengan riwayat melahirkan BBLR pada partus sebelumnya mempunyai kemungkinan untuk

melahirkan anak berikutnya dengan BBLR (Amirudin & Hasmi, 2014).

d. Riwayat kehamilan dan persalinan

1) Riwayat prenatal

Pada umumnya ibu hamil dengan pemeriksaan ANC < 4 kali berisiko bayi lahir dengan

BBLR (Amalia, 2011 : 258).

2) Riwayat natal

Umur kehamilan biasanya antara 24 sampai 37 minggu, berat biasanya kurang dari 2500 gram,
nilai APGAR pada 1 sampai 5 menit, 0 sampai 3 menunnjukkan kegawatan yang parah, 4 sampai

6 kegawatan yang sedang, dan 7 sampai 10 normal (Pantiawati, 2010 : 29).


3) Riwayat post natal

Pada bayi BBLR, biasanya bayi pergerakannya lemah dan kurang, tangisan lemah, pernafasan

belum teratur dan sering mengalami serangan apnea, reflek tonus leher lemah, reflek menghisap

dan menelan serta reflek batuk belum sempurna, dan tali pusat berwarna kuning

kehijauan (Maryanti, et al., 2012 : 167-168).

e. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum

Bayi BBLR memiliki berat kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang dari 45 cm, pernafasan
belum teratur dan sering mengalami serangan apnea, dan bayi BBLR mudah mengalami

hipotermia (Maryanti et al., 2012 : 174-175).

Penilaian keadaan umum bayi berdasarkan nilai APGAR


Tabel 2.2 Apgar Skor
APGAR 0 1 2
Appearance (Warna Pucat Badan merah, Seluruh tubuh
kulit) ekstremitas biru kemeraha-
merahan
Pulse Rate Tidak ada < 100 >100
(Frekuensi nadi)
Grimace (Reaksi Tidak ada Sedikit gerakan Batuk atau
rangsang) mimik bersin
(grimace)
Activity Tidak ada Ekstremitas Gerakan aktif
(Tonus otot) dalam sedikit
fleksi
Respiration (Pernafasan) Tidak ada Lemah atau Baik atau
tidak teratur menangis

Sumber : (Sondakh, 2013 : 158)

Keterangan :

Nilai 7-10 : Kondisi baik

Nilai 4-6 : Depresi pernafasan sedang

Nilai 0-3 : Depresi pernafasan berat


Tabel 2.3 Penilaian Balard Score (Aspek Kematangan fisik)
SCORE
SIGN
-1 0 1 2 3 4 5 TOTAL SCORE
smooth superficial cracking, parchment, (NEUROMUSCULAR
Sticky, gelatinous, leathery,
pink, peeling pale deep + PHYSICAL)
Skin friable, red, cracked,
visible &/or rash, areas, rare cracking, -10
transparent translucent wrinkled
veins few veins veins no vessels
-5
mostly 0
Lanugo none sparse abundant thinning bald areas
bald 5
heel-toe anterior creases 10
Plantar >50 mm faint red creases
40-50mm: -1 transverse over entire 15
Surface no crease marks ant. 2/3
<40mm: -2 crease only sole 20
stippled raised 25
full areola
barely flat areola areola areola
Breast imperceptable 5-10 mm 30
perceptable no bud 1-2 mm 3-4 mm
bud 35
bud bud
well- 40
lids open sl. curved formed &
lids fused curved thick 45
pinna flat pinna; firm
Eye / Ear loosely: -1 pinna; soft cartilage 50
stays soft; slow instant
tightly: -2 but ready ear stiff
folded recoil recoil
recoil
testes in testes
scrotum testes testes
Genitals scrotum flat, upper down,
empty, descending, pendulous,
(Male) smooth canal, good
faint rugae few rugae deep rugae
rare rugae rugae

Sumber
: (Ballard prominent prominent majora & majora majora
JL, clitoris
clitoris & clitoris & minora large, cover
Khoury prominent &
small labia enlarging equally minora clitoris &
JC, labia flat
minora minora prominent small minora
Wedig K,
1991)
Tabel 2.4 Penilaian Balard Score (Aspek Kematangan Neuromuskuler)
SCORE
SIGN
-1 0 1 2 3 4 5
Postur
e
Square
Windo
w
Arm
Recoil
Poplite
al
Angle
Scarf
Sign
Heel
To Ear
Sumber : (Ballard JL, Khoury JC, Wedig K, 1991)

2) Pemeriksaan fisik (Head to Toe)

Kepala dan Leher

Inspeksi : Lingkar kepala kurang dari 33 cm, kepala lebih besar

daripada badan, dan tulang rawan dan daun telinga imatur (Maryanti et al., 2012 : 167-168),

batang hidung cekung, hidung pendek mencuat, bibir atas tipis, dan dagu maju, serta pelebaran

tampilan mata (Mitayani, 2013 : 176).

Palpasi : Ubun-ubun dan sutura lebar (Maryanti et al., 2012 : 167-

168). Adanya penonjolan tulang karena ketidakadekuatan pertumbuhan tulang, dan dahi
menonjol (Mitayani, 2013 : 176). Lingkar kepala kurang dari 33 cm (Maryunani & Puspita, 2013

: 317).

Dada

a) Paru-paru

Inspeksi : Jumlah pernafasan rata-rata antara 40-60 per menit

diselingi dengan periode apnea, pernafasan tidak teratu, dengan flaring nasal melebar, adanya
retraksi (intercostal, suprasternal, substernal) (Pantiawati, 2010 : 31).
Palpasi : Lingkar dada kurang dari 30 cm (Maryunani &

Puspita, 2013 : 317).

Auskultasi : Terdengar suara gemerisik dan dengkuran.

b) Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tampak.

Palpasi : Tulang rusuk lunak, ictus cordis teraba di ICS 4-5.

Auskultasi : Denyut jantung rata-rata 120-160 per menit pada

bagian apikal dengan ritme teratur pada saat kelahiran, kebisingan jantung terdengar pada
seperempat bagian interkostal (Pantiawati, 2010 : 29-30).

Abdomen

Inspeksi : Penonjolan abdomen, tali pusat berwarna kuning

kehijauan (Maryanti, et al., 2012 : 167).

Auskultasi : Peristaltik usus peristaltik dapat dimulai 6-12 jam setelah

kelahiran.

Genetalia

Inspeksi : Pada bayi perempuan ditemukan klitoris yang menonjol

dengan labia mayora yang belum berkembang, sedangkan pada bayi laki-laki skrotum belum

berkembang sempurna dengan ruga yang kecil, dan testis tidak turun ke dalam

skrotum (Pantiawati, 2010 : 31).

Anus

Inspeksi : Pengeluaran mekonium biasanya terjadi dalam

waktu 12 jam, terdapat anus (Maryanti, et al., 2012 : 167).

Ektremitas

Inspeksi : Tonus otot dapat tampak kencang dengan fleksi


ekstremitas bawah dan atas serta keterbatasan gerak, penurunan masaa otot, khususunya pada

pipi, bokong dan paha (Mitayani, 2013 : 176).


Palpasi : Tulang tengkorak lunak

Kulit (intergumen)

Inspeksi : Kulit berwarna merah muda atau merah, kekuning-

kuningan, sedikit venik kaseosa dengan lanugo disekujur tubuh, kulit tampak transparan, halus

dan mengkilap, kuku pendek belum melewati ujung jari (Pantiawati, 2010 : 30).

3) Pemeriksaan neurologis

a) Refleks rooting dan menghisap

Respon bayi dalam menolehkan kepala ke arah stimulus lemah, membuka mulut membuka
mulut, dan mulai menhisap lemah (Sondakh, 2013 : 154).

b) Menelan

Terjadi muntah, batuk atau regurgitasi cairan (Sondakh, 2013 : 154).

c) Ekstrusi

Ekstrusi lidah secara kontinue atau menjulurkan lidah yang berulang-ulang terjadi pada kelainan

SSP dan kejang (Sondakh, 2013 : 154).

d) Moro

Respon asimetris pada pemeriksaan reflek moro (Sondakh, 2013 : 154), fleksi ekstremitas bawah

dan atas serta keterbatasan gerak (Mitayani, 2013 : 176).

e) Tonik leher atau fencing

Reflex tonus leher lemah (Maryanti, et al., 2012 : 167).

f) Glabellar “blink”

Terus berkedip dan gagal untuk berkedip menandakan kemungkianan gangguan

neurologis (Sondakh, 2013 : 155).

g) Palmar grasp

Pada bayi normal jari bayi akan melekuk di sekeliling benda dan menggegamnya seketika bila

jari diletakkan di tangan bayi, namun pada bayi dengan BBLR respon ini berkurang (Sondakh,
2013 : 155).

h) Plantar grasp
Pada bayi normal jari bayi akan melekuk di sekeliling benda dan menggegamnya seketika bila

jari diletakkan ditelapak kaki bayi, namun pada bayi BBLR respon ini berkurang (Sondakh, 2013

: 155).

i) Tanda babinski

Jari-jari kaki akan hiperektensi dan terpisah seperti kipas dari dorsofleksi ibu jari kaki bila satu

sisi kaki di gosok dari tumit ke atas melintasi bantalan kaki pada respon normal bayi, namun

pada defisit SSP tidak ada respon yang terjadi pada pemeriksaan tanda babinski (Sondakh, 2013 :

155).
4) Pemeriksaan penunjang

a) Jumlah sel darah putih 18.000/mm3, neutrofil meningkat sampai 23.000-24.000/mm3, hari

pertama setelah lahir (menurun bila ada sepsis).

b) Hematokrit (Ht) 43% - 61% (peningkatan lebih dari 65% atau lebih menandakan polisitemia,

penurunan kadar menunjukkan anemia atau hemoragic prenatal atau perinatal.

c) Hemoglobin (Hb) 15 – 20 g/dl

d) Bilirubin total 6 mg/dl pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dl 1-2 hari, dan 12 mg/dl pada 3-5

hari.

e) Destrosix tetes glukosa pertama selama 4-6 jam pertama setelah kelahiran rata-rata 40-50 mg/dl

meningkat 60-70 mg/dl pada hari ketiga.

f) Pemantauan elektrolit (Na, K, Cl) biasanya dalam batas normal pada awalnya.

(Maryanti et al., 2012 : 172-173).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan termoregulasi : hipotermi b.d disproporsi berat badan dibandingkan dengan

panjang dan lingkar kepala, kulit kering pecah-pecah dan terkelupas serta tidak adanya jaringan

subkutan.

b. Ketidakefektifan pola nafas b.d belum sempurnanya pembentukan membran hialin surfaktan
paru.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan simpanan nutrisi,

imaturitas simpanan enzim, reflek menelan dan menghisap lemah, otot abdominal lemah.

d. Diskontinuitas pemberian ASI b.d reflek menelan dan menghisap lemah, dan prematuritas.

e. Risiko infeksi b.d pertahanan imunologis tidak adekuat.

f. Ikterus neonatus b.d bilirubin tak terkonjugasi dalam sirkulasi.

g. Risiko kerusakan integritas kulit b.d kulit kering pecah-pecah dan terkelupas serta tidak adanya

jaringan subkutan.
3. Rencana Tindakan Keperawatan
a. Ketidakseimbangan termoregulasi : hipotermi b.d disproporsi berat badan dibandingkan dengan

panjang dan lingkar kepala, kulit kering pecah-pecah dan terkelupas serta tidak adanya jaringan

subkutan.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x

24 jam termoregulasi menjadi efektif sesuai perkembangannya.

Kriteria hasil :

1) Mempertahankan suhu kulit atau aksila (35-37,3 oC)


2) Bebas rasa dingin

Intervensi :

1) Kaji suhu dengan memeriksa suhu rektal pada awalnya, selanjutnya periksa suhu aksila atau

gunakan alat termostat dengan dasar terbuka dan penyebar hangat.

Rasional : Hipotermia membuat bayi bayi cenderung merasa stres

karena dingin, penggunaan simpanan lemak tidak dapat diperbahasrui bila ada dan penurunan

sensitivitas untuk meningkatkan kadar CO2 ataupenurunan kadar O2.

2) Kaji haluaran dan berat jenis urine.

Rasional : Penurunan keluaran dan peningkatan berat jenis urine

berhubungan dengan penurunan perfusi ginjal selama periode sttres karena rasa dingin.

3) Observasi perkembangan takikardi, warna kemerahan, diaforesis, apnea, atau aktivitas kejang.

Rasional : Tanda-tanda hipertemia ini dapat berlanjut pada kerusakan

otak bila tidak teratasi.

4) Tempatkan bayi pada inkubator atau dalam keadaan hangat dengan KMC.

Rasional : Stres dingin meningkatkan kebutuhan terhadap gula

glukosa dan osigen serta dapat mengakibatkan masalah asam basa bila bayi mengalami

metabolisme anaerobik bila kadar oksigen yang cukup tidak tersedia. Peningkatan bilirubin
indirek dapat terjadi karena pelepasan asam lemak dari metabolisme lemak coklat dengan asam

lemak bersaing dengan bilirubin pada bagian ikatan di albumin.


5) Kolaborasi dengan dokter pemberian obat-obatan sesuai indikasi (natrium bikarbonat)

Rasional : Natrium bikarbonat dapat memperbaiki asidosis yang

dapat terjadi pada hipotermia dan hipertermia.

b. Ketidakefektifan pola nafas b.d belum sempurnanya pembentukan membran hialin surfaktan

paru.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x

24 jam pola nafas kembali efektif.

Kriteria hasil :
1) Neonatus akan mempertahankan pola nafas

2) RR dalam batas normal (30-60 x/menit)

3) Tidak ada penggunaan oto bantu pernafasn, tidak ada pernafasan cuping hidung.

Intervensi :

1) Kaji frekuensi dan pola pernafasan, perhatikan adanya apnea dan perubahan frekuensi jantung

Rasional : Membantu dalam membedakan periode perputaran

pernafasan normal dari serangan apnetik sejati, terutama sering terjadi pada gestasi minggu ke-

30.

2) Isap jalan nafas sesuai kebutuhan

Rasinal : Menghilangkan mukus yang menyumbat jalan nafas.

3) Posisikan bayi pada abdomen atau posisi terlentang dengan gulungan popok dibawah bahu untuk

menghasilkan hiperekstensi

Rasional : Posisi ini memudahkan perbafasan dan menurunkan

episode apnea, khususunya bila ditemukan adanya hipoksia, asidosis metabolik, atau hiperapnea.

4) Observasi hasil laboratorium sesuai indikasi

Rasional : Hipoksia, asidosis metabolik, hipoglikemi, hipokalsemi,

dan sepsis dapat memperberat serangan apnetik.


5) Kolaborasi dengan dokter pemberian oksigen

Rasional : Perbaikan kadar oksigen dan karbondioksida dapat


meningkatkan fungsi pernafasan.

6) Kolaborasi dengan dokter pemberian natrium bikarbonat dan aminopilin

Rasional : Natrium bikarbonat dapat memperbaiki asidosis,

sedangkan aminopilin dapat meningkatkan aktivitas pusat pernafasan dan menurunkan

sensitivitas terhadap CO2, menurunkan frekuensi apnea.

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan simpanan nutrisi,

imaturitas simpanan enzim, reflek menelan dan menghisap lemah, otot abdominal lemah.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x


24 jam nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan

Kriteria hasil :

1) Mempertahankan pertumbuhan dan peningkatan berat badan dalam kurva normal dengan

penambahan berat badan tetap.

2) Peningkatan BB sedikitnya 20-30 gram/hari.

Intervensi :

1) Kaji maturitas reflek berkenaan dengan pemberian makan (misalnya menghisap, menelan, dan

batuk).

Rasional : Menentukan metode pemberian makan yang tepat untuk

bayi.

2) Kaji berat badan dengan menimbang berat badan tiap hari.

Rasional : Mengidentiifikasikan adanya risiko derajat dan risiko

terhadap pola pertumbuhan.

3) Auskultasi bising usus dan kaji status fisik.

Rasional : Pemberian makan stabil memiliki peristaltik dapat dimulai

6-12 jam setelah kelahiran.

4) Observasi masukan dan penegluaran. Hitung konsumsi kalori dan elektrolit setiap hari.
Rasional : Memberikan informasi tentang masukan aktual dalam

hubungannya dengan perkiraan kebutuhan untuk digunakan dalam penyesuaian diet.


5) Kaji tingkat hidrasi, perhatikan fontanel, turgor kulit, kondisi membran mukosa, fluktuasi berat

badan.

Rasional : Peningkatan kebutuhan metabolik dari bayi BBLR dapat

meningkatkan kebutuhan cairan.

6) Berikan nutrisi (ASI) dalam jumlah sedikit tetapi sering dengan sendok.

Rasional : Meningkatkan asupan nutrisi yang masuk dan mengurangi

usaha menghisap yang dapat membuat bayi mudah lelah.

7) Kolaborasi dengan dokter pemberian suplemen elektrolit sesuai indikasi misalnya kalsium
glukonat 10 %.

Rasional : Ketidakstabilan metabolik pada bayi BBLR dapat

memerlukan suplemen untuk mempertahankan homeostasis.

d. Diskontinuitas pemberian ASI b.d reflek menelan dan menghisap lemah, dan prematuritas.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x

24 jam diharapkan terjadi pemeliharaan pemberian ASI.

Kriteria hasil :

1) Keberlangsungan pemberian ASI

2) Peningkatan pemahaman ibu tentang laktasi

3) Kemampuan ibu untuk mengumpulkan ASI

4) Bayi mampu menerima pemberian ASI

Intervensi :

1) Kaji keinginan dan motivasi ibu untuk menyusui

Rasional : Identifikasi keadekuatan pemberian ASI

2) Kaji kesiapan bayi untuk transisi ke payudara (obserfasi reflek hisap, rooting dan menelan)

Rasional : Identifikasi kesiapan bayi untuk menyusu ke ibu

3) Observasi BB harian
Rasional : Melihat perkembangan BB bayi

4) Observasi pola BAB


Rasional : Menetahui maturitas pencernaan

5) Anjurkan ibu untuk memerah ASI

Rasional : Agar pemberian ASI adekuat

6) Saat baby show lakukan penyuluhan tentang pemberian ASI

Rasional : Memberikan informasi tentang metode pemberian ASI

pada keluarga

e. Risiko infeksi b.d pertahanan imunologis tidak adekuat.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x


24 jam tidak terjadi infeksi

Kriteria hasil :

1. Memtidak ada tanda-tanda infeksi

2. Leukosit dalam batas normal

Intervensi :

1) Observasi tanda dan gejala infeksi lokal

Rasional : Bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi

2) Observasi TTV tiap 1 – 2 jam

Rasional : Perubahan suhu tubuh menunjukkan respon adanya

Infeksi

3) Jaga kebersihan lingkungan

Rasional : Mencegah kontaminasi silang serta mengontrol infeksi

diruang perawatan

4) Gunakan teknik aseptic (mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan sebelum interaksi

dengan bayi)

Rasional : Mencuci tangan merupakan teknik yang paling penting

untuk mencegah kontaminasi silang serta mengontrol infeksi diruang perawatan


5) Lakukan perawatan tali pusat dengan teknik septik.

Rasional : Mencegah terjadinya infeksi dimana tali pusat sebagai


Port de entry

6) Mandikan atau seka bayi dua kali atau hari.

Rasional : Meningkatkan hygiene bayi dan mencegah kontaminasi

silang

7) Kolaborasi pemberian antibiotik yang sesuai

Rasional : Antibiotik berperan sebagai agen perlawanan infeksi

enterik

f. Ikterus neonatus b.d bilirubin tak terkonjugasi dalam sirkulasi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 2 x 24 jam diharapkan

tidak terjadi kerusakan integritas kulit.

Kriteria hasil :

1) Sensasi, elastisitas, pigmentasi kulit dalam keadaan normal

2) Tidak terjadi lesi pada kulit

3) Perfusi jaringan baik

Intervensi :

1) Jaga kebersihan kulit Agar tetap kering dan bersih

Rasional : Kemerahan pada kulit merupakan tanda-tanda infeksi

2) Cek kadar bilirubin tiap hari

Rasional : Mengetahui status perkembangan pasien menentukan

tidakan selanjunya

3) Anjurkan pada ibu untuk menyusui dengan ASI tiap 2 jam sekali

Rasional : Pemberian ASI atau kolostrum merupakan laksatif alami yang membantu

menurunkan kadar bilirubin.

4) Mobilisasi bayi setiap 2 jam sekali, seperti miring kanan-kiri, telungkup atau terlentang
Rasional : Mencegah terjadinya gangguan pada kulit

5) Kolaborasi dalam pemberian fototerapi


Rasional : Membantu menurunkan bilirubin sehingga dapat

menghilangkan warna kuning pada tubuh bayi

g. Risiko kerusakan integritas kulit b.d kulit kering pecah-pecah dan terkelupas serta tidak adanya

jaringan subkutan.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam diharapkan

tidak terjadi kerusakan integritas kulit.

Kriteria hasil : Keutuhan kulit tetap terjaga, perfusi jaringan adekuat,


tidak terjadi lecet.

Intervensi :

1) Minimalkan penekanan pada bagian tubuh

Rasional : Membantu dalam menjaga peredaran darah tetap lancar

dan mengurangi resiko terjadinya dekubitus.

2) Kaji kulit dan membran mukosa tiap 2 – 4 jam

Rasional : Mengidentifikasi area potensial kerusakan dermal, yang

akan mengakibatkan sepsis.

3) Ubah atau atur posisi bayi tiap 2 – 4 jam

Rasional : Mengurangi penekanan pada salah satu sisi tubuh yang

dapat mengakibatkan dekubitus.

4) Lindungi bayi dari kontaminasi feses dan urine.

Rasional : Feses dan urin sebagai media berkembangnya bakteri

patogen yang menyebabkan iritasi.

5) Hindari penggunaan lotion, cream, atau powder yang berlebihan

Rasional : Kulit bersifat bakterisida, penggunaan lotion, cream,

atau powder yang berlebihan menjadi tempat berkembang bakteri patogen.

4. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sesuia dengan yang telah direncanakan, mencakup

tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan

analisis dan kesimpulan perawat dan bukan atas petunjuk tenaga kesehatan yang lain.

Sedangkan tindakan kolaborasi adalah tindakan keperawatan yang didasarkan oleh hasil

keputusan bersama dengan dokter atau petugas kesehatan yang lain (Mitayani, 2013 : 182).

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan hasil perkembangan ibu denagn berpedoman kepada hasil dan tujuan
yang hendak dicapai (Mitayani, 2013 : 182).

DAFTAR PUSTAKA
Amalia, L. (2011). Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah BBLR di RSU Dr MM Dunda
Limboto Kabupaten Gorontalo. Jurnal Sainstek, 6(3), 249–260. Retrieved from
http://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/1/399/Faktor-Risiko-KejadianBayi-Berat-Lahir-
Rendah-BBLR-di-RSU-Dr-MM-Dunda-Limboto-Kabupaten-Gorontalo-Risk-factors-in-the-
Incidence-of-Low-Birth-Weight-Birth-at-Dr-MM-Dunda-Limboto-Gorontalo-Regency.pdf.
Ambarwati, E. R., & Rismintari, Y. S. (2009). Asuhan Kebidanan Komunitas. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Amirudin, R., & Hasmi. (2014). Determinan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: TIM.
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan AplikasiKebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Salemba Medika.
Atoilah, E. M., & Kusnadi, E. (2013). Askep pada Klien dengan Gangguan Kebutuhan Dasr Manusia.
Garut: In Media.
Ballard JL, Khoury JC, Wedig K, et al. (1991). New Ballard Score, expanded to include extremely
premature infants. Jurnal Pediatrics, (119), 417–423. Retrieved from
http://www.ballardscore.com/Pages/ScoreSheet.aspx
Cunningham FG, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Rouse D, S. C. (2010). Obstetri Williams (Edisi ke 2).
Jakarta: EGC.
Deslidel, Hasan, Z., Hevrialni, R., & Sartika, Y. (2011). Buku Ajar Asuhan Neonatus, Bayi, dan
Balita. Jakarta: EGC.
Djaelani, A. R. (2013, March). Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif. FPTK IKIP
Veteran Semarang, 82–92. Retrieved from http://www.e-journal.ikip-
veteran.ac.id/index.php/pawiyatan/article/download/55/64
Hapisah, Dasuki, D., & Prabandari, Y. S. (2010). Depressive Symptoms Pada Ibu Hamil dan Bayi
Berat Lahir Rendah. Berita Kedokteran MasyarakatMasyarakat, 26(2), 81–89. Retrieved from
http://jurnal.ugm.ac.id/bkm/article/view/3472/2999
Indrayani, & Djami, M. E. U. (2013). Asuhan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: TIM.
Jatim, D. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012, 38–40
Lalani, A. (2011). Kegawatdaruratan Pediatri. Jakarta: EGC.
Mahayana, S. A. S., Chundrayetti, E., & Yulistini. (2015). Artikel Penelitian Faktor Risiko yang
Berpengaruh terhadap Kejadian Berat. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(3), 664–673. Retrieved from
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/viewFile/345/300
Marcdante, K. J., Kliegman, R. M., Jenson, H. B., & Behrman, R. E. (2011). Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Esensial (Edisi keen). Jakarta.
Maryanti, D., Sujianti, & Budiarti, T. (2012). Buku Ajar Neonatus, Bayi, dan Balita. Jakarta: Trans
Info Media.
Maryunani, A., & Puspita, E. (2013). Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatus. Jakarta:
TIM.
Masitoh, S., Syarifudin, & Delmaifanis. (2014). Hamil Ganda Penyebab Bermakna Berat Bayi Lahir
Rendah. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kesehatan, 1(2), 129–134. Retrieved from
http://ejurnal.poltekkesjakarta3.ac.id/index.php/JITEK/article/view/55/48
Mitayani. (2013). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, A. (2012). Pengkajian Keperawatan : Aplikasi pada Praktik Klinik. Jakarta: sa.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
NANDA NIC-NOC (Jilid 3). Yogyakarta: Media Action Publishing.
Pantiawati, I. (2010). Bayi dengan BBLR. Yogyakarta: Nuha Medika.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Fundamental Keperawatan (Edisi 7). Jakarta: Salemba Medika.
Prawirohardjo, S. (2008). Ilmu kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Proverawati, A., & Sulistyorini, C. I. (2010). Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Yogyakarta: Nuha
Medika.
Putri, Y. R., Gusnila, E., & Silvia. (2015). Pengaruh Perawatan Metode Kanguru Terhadap Perubahan
Berat Badan Bayi Lahir Rendah. Jurnal IPTEK Terapan, 9(1), 1–10. Retrieved from
http://ejournal.stikesmukla.ac.id/index.php/involusi/article/download/62/58
Rahmat, P. S. (2009). Jurnal Penelitian Kualitatif. Equilibrium, 5(9), 1–8. Retrieved from
http://yusuf.staff.ub.ac.id/files/2012/11/Jurnal-Penelitian-Kualitatif.pdf
Sondakh, J. J. S. (2013). Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA.
Syafrudin, & Hamida. (2009). Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC.
Tazkiah, M., Wahyuni, C. U., Martini, S., & Timur, J. (2013). Determinan Epidemologi Kejadian
BBLR Pada Daerah Endemis Malaria Di Kabupaten Banjar. Jurnal Berkala Epidemologi, 1(2),
266–276. Retrieved from http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jbe6e2decf148full.pdf

Walyani, E. S. (2015). Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Yogyakarta:


Pustaka Baru Press.
Diposting oleh annisa rahayu di 09.56 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Postingan Lebih Baru Beranda

Вам также может понравиться