Вы находитесь на странице: 1из 34

MENUMBUHKAN KESADARAN SOSIAL UMAT ISLAM DI INDONESIA

MELALUI UNIVERSALISME

MAKALAH

Diajukan guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Teori Sosial Indonesia

Dosen pengampu: Dr. Nasiwan, M.Si

Disusun oleh:

Mauladi Saputra

NIM. 16416241035

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2017
Kata Pengantar

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur kehadirat ALLAH SWT


berkat rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas penulisan
makalah Mata Kuliah Teori Sosial Indonesia tentang “Menumbuhkan
Kesadaran Umat Islam di Indonesia melalui Universalisme Islam ”. Sesuai
judul yang telah disebutkan, dalam penulisan ini memaparkan mengenai
pengertian universalisme islam itu sendiri , pemikiran- pemikiran para
cendekiawan Indonesia mengenai itu, serta materi-materi lain yang
berkaitan dengan topik tersebut.

Tujuan dari penulisan makalah ini, selain untuk memenuhi tugas


akhir mata kuliah Teori Sosial Indonesia juga dilakukan sebagai sarana
pembelajaran. Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ilmiah
ini.

Akhir kata saya berharap semoga makalah ilmiah tentang


“Menumbuhkan Kesadaran Umat Islam di Indonesia melalui Universalisme
Islam ”. ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Yogykarta, 14 Desember 2017

Penyusun

2
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR.................................................................................................1

DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 5
Bab II
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 6
A. Universalisme dan Kosmopolitanisme Islam ......................................................... 6
B. Pemikiran Para Ahli Indonesia Mengenai Universalisme Islam ........................... 10
1. Abdurrahman Wahid ......................................................................................... 10
2. Nurcholish Madjid ............................................................................................ 12
3. Kuntowijoyo ..................................................................................................... 20
C. Tahap – tahap Kesadaran Sosial umat Islam Indonesia ........................................ 23
BAB III
PENUTUP........................................................................................................................ 30
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 32
LAMPIRAN..................................................................................................................... 34

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sebagai agama rahmatan li al-Alamin memanifestasikan
keuniversalannya dalam bidang kehidupan manusia. Universal dimaksud
adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan
bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat . Bukan risalah untuk bangsa
tertentu yang beranggapan bahwa bangsanya yang terpilih , dan karenanya
semua manusia harus tunduk kepadanya. Universalisme Islam
menampakkan diri dari berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik
adalah ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah,
syari’ah dan akhlak ( yang sering kali disempitkan oleh sebagian
masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup ) . Hal ini dapat
dilihat dari enam tujuan umum syari’ah yaitu : menjamin keselamatan
agama, badan, akal, keterunan, harta dan kehormatan. Selain itu risalah
Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan ( social values ) yang
luhur, yang bisa dikatakan sebagai tujuan dasar syari’ah yaitu: keadilan,
ukhuwah, kebebasan dan kehormatan. Semuanya ini akhirnya bermuara
pada keadilan social dalam arti yang sebenarnya.
Di Indonesia misalnya, sebagai suatu bangsa yang mempunyai
tingkat hiterogenitas tertinggi secara fisik ( negara kepulauan ) maupun
dalam soal keragaman suku, bahasa, daerah, agama dan adat istiadat, maka
dengan sendirinya manifestasi dan ekspresi keberagamannya bervariasi
sejalan dengan kondisi keberagamannya budaya yang ada. Muncul antara
yang kebarat-baratan, kearab-araban dan ketradisian-ketradisian sebagai
sesuatu yang sulit dihindari . Persoalannya adalah bagaimana kita bisa
menghadapinya kemudian menumbuhkan kesadaran sosial umat islam akan
risalah islam ini.

4
Dalam makalah ini penulis akan mengali lebih dalam mengenai
universalisme islam. Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat
menumbuhkan betapa pentingnya kesadaran sosial umat islam di Indonesia
mengenai universalisme islam.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang menjadi pokok permasalahan
menumbuhkan kesadaran sosial umat islam melalui universalisme islam.
1. Apa itu Universalisme dan kosmpolitanisme islam?
2. Bagaimana pemikiran para ahli Indonesia mengenai Universalisme
islam?
3. Bagaimana tahap – tahap kesadaran sosial umat islam Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui universalisme sebagai kerangka.
2. Untuk mengetahui pemikiran para ahli Indonesia mengenai
Universalisme islam.
3. Untuk mengetahui tahap – tahap kesadaran sosial umat islam
Indonesia?

5
Bab II

PEMBAHASAN

A. Universalisme dan Kosmopolitanisme Islam

Universalisme islam adalah salah satu karakteristik Islam yang


sebagian besar berkarakteristikkan: 1) Rabbaniyah, 2) Insaniyyah
(Humanistik), 3) Syumul (totalitas) yang mencakup unsur keabadian dan
menyentuh semua aspek manusia seperti ruh, akal, hati, dan badan, 4)
Wasathiyah atau moderat dan seimbang, 5) Waqi’yah (realitas), 6) Jelas dan
gambling, 7) Integrasi antara al-Tsabat wa al-Murunah (permanen dan
elastis). (Yusuf Qardhawi, 1993 : 3)

Universalisme Islam yang dimaksudkan adalah risalah islam


ditujukan untuk semua umat, segenap ras maupun bangsa. Ia bukanlah
sebuah risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dialah
bangsa yang terpilih, karena semua manusia pada hakikatnya harus tunduk
kepada – Nya.

Risalah Islam adalah hidayah Allah untuk segenap manusia dan


rahmat – Nya untuk semua hamba – Nya (QS. Al-Anbiya: 107). Pernyataan
ini tertera dalam firman – Nya: “Dan tidak kami utus engkau (Muhammad)
kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam” (QS Al-A'raf : 158).
"Katakanlah (Muhammad) agar ia menjadi juru peringatan bagi seru
sekalian alam.

Ayat-ayat diatas yang secara implisit membantah tuduhan sebagian


orientalis yang menyatakan bahwa Muhammad SAW tidak
memproklamirkan pengutusan dirinya untuk seluruh umat manusia pada
awal kerisalahannya, akan tetapi setelah mendapat kemenangan atas bangsa
Arab (Yusuf Qardhawi, 1993 : 107-108).

6
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi
penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran
Islam yang mencakup aspekakidah, syari'ah dan akhlak sering dianggap
oleh sebagian masyarakat menjadi aturan kesusilaan dan sikap hidup dan
terfokus dengan masalah kemanusiaan . Hal ini dapat dilihat dari enam
tujuan umumsyari'ahyaitu; menjamin keselamatan agama, badan, akal,
keturunan harta dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan
nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang luhur, yang bisa di katakan
sebagai tujuan dasar syari'ah yaitu; keadilan, ukhuwwah, takaful, kebebasan
dan kehormatan (Yusuf Qardhawi, 1993 : 61). Pada kesimpulannya semua
bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya.

Selain itu, universalitas ajaran Islam atau universalisme Islam lebih


jauh mewujudkan kosmopolitanisme dalam budaya islam, yang menjadikan
umat muslim selama beberapa abad dapat menyerap segala macam wujud
budaya dan wawasan – wawasan keilmuan yang datang dari berbagai
bangsa dan negara di sekitarnya, baik yang bersinggungan langsung dengan
Islam maupun yang telah mengalami penyusutan.

Artinya jika kita membicarakan universalisme maka tidak lepas juga


dari kosmpolitanisme. Universalisme merupakan landasan konseptual
untuk mewujudkan kosmpolitanisme budaya. Karena itu kedua persoalan
tersebut akan lebih baik jika dibahas dalam satu kesatuan yang utuh,
mengingat yang satu merupakan dataran konsep ideal sedangkan yang
satunya lagi merupakan perwujudan nyata dari konsep ideal dalam
kehidupan bermasyarakat (kosmopolitanisme), berbangsa, dan bernegara
dalam keragaman budaya islam termasuk seni.

Kosmopolitan secara simpulnya dapat diartikan sebagai paham


acuan mengenai konsep living together. Kosmopolitan adalah bagaimana
mengakui adanya perbedaan pada manusia dan dapat memahami serta
menjelaskan mengenai perbedaan tersebut. Kosmopolitan menjelaskan

7
bahwa setiap manusia merupakan komunitas dunia meskipun batas teritori
negara tidak dapat dihilangkan.

Selain itu Kosmopolitanisme didalam islam merupakan pancaran


makna Islam itu sendiri serta pandangan tentang kesatuan kenabian (wahdat
al-nabawiyah; the unity of prophet) berdasarkan makna Islam itu, serta
konsisten dengan semangat prinsip prinsip itu semua, kosmopolitanisme
budaya Islam juga mendapat pengesahan-pengesahan langsung dari kitab
suci seperti suatu pengesahan berdasarkan konsep-konsep kesatuan
kemanusiaan (wihdat al-insaniyah; the unity of humanity) yang merupakan
kelanjutan konsep kemahaesaan Tuhan (wahdaniyat atau tauhid; the unity
of god). Kesatuan asasi umat manusia dan kemanusiaan itu ditegaskan
dalam firman-firman: "Ummat manusia itu tak lain adalah umat yang
tunggal, tapi kemudian mereka berselisih (sesama mereka) jika seandainya
tidak ada keputusan (kalimah) yang telah terdahulu dari Tuhanmu, maka
tentulah segala perkara yang merekaperselisihkan itu akan diselesaikan
(sekarang juga)"( QS. Yunus: 19).

"Ummat manusia itu dulunya adalah ummat yang tunggal,


kemudian Allah mengutus para nabi untuk membawa kabar gembira dan
memberi peringatan dan bersama para nabi itu diturunkannya kitab suci
dengan membawa kebenaran, agar kitab suci itu dapat memberi keputusan
tentang hal-hal yang mereka perselisihkan (QS Al-Baqarah: 213)”.

Para pengikut Nabi Muhammad diingatkan untuk selalu menyadari


sepenuhnya kesatuan kemanusiaan itu dan berdasarkan kesadaran itu
mereka membentuk pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola
budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari dari
seluruh budaya ummat manusia. (Nurkholis Madjid, 1992 : 442).

Refleksi dan manifestasi kosmopolitanisme Islam bisa dilacak


dalam etalase sejarah kebudayaan Islam sejak jaman Rasulullah,baik dalam
format non material seperti konsep-konsep pemikiran,maupun yang

8
material seperti seni arsitektur bangunan dan sebagainya.Pada masa awal
Islam, Rasulullah Saw berkhutbah hanya dinaungi sebuah pelepah
kurma.Kemudian, tatkala kuantitas kaum muslimin mulai bertambah
banyak, dipanggillah seorang tukang kayu Romawi.Ia membuatkan untuk
Nabi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan yang dipakai untuk khutbah
Jumat dan munasabah - munasabah lainnya. Kemudian dalam perang
Ahzab, Rasul menerima saran Salman al-Farisy untuk membuat parit
(khandaq) di sekitar Madinah. Metode ini adalah salah satu metode
pertahanan ala Persi.Rasul mengagumi dan melaksanakan saran itu. Beliau
tidak mengatakan:"Ini metode Majusi, kita tidak memakainya!". Para
sahabat juga meniru manajemen administrasi dan keuangan dari Persi,
Romawi dan lainnya. Mereka tidak ! keberatan dengan hal itu selama
menciptakan kemashlahatan dan tidak bertentangan dengan nas. Sistem
pajak jaman itu diadopsi dari Persi sedang sistem perkantoran (diwan)
berasal dari Romawi (Qardhawi, 1993 : 253).

Pengaruh filsafat Yunani dan budaya Yunani (hellenisme) pada


umumnya dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam sudah bukan
merupakan hal baru lagi. Seperti halnya budaya Yunani, budaya Persia juga
amat besar sahamnya dalam pengembangan budaya Islam. Jika dinasti
Umawiyah di Damascus menggunakan sistem administratif dan birokratif
Byzantium dalam menjalankan pemerintahannya ,dinasti Abbasiyahdi
Baghdad (dekat Tesiphon, ibu kota dinasti Persi Sasan) meminjam sistem
Persia. Dan dalam pemikiran, tidak sedikit pengaruh-pengaruh Persianisme
atau Aryanisme (Iranisme) yang masuk ke dalam sistem Islam. Hal ini
terpantul dengan jelas dalam buku al-Ghazali (ia sendiri orang Parsi),
Nashihat al-Mulk, siyasat namah (pedoman pemerintahan), yang juga
banyak menggunakan bahan-bahan pemikiran Persi (Madjid, 1992 : 444).

9
B. Pemikiran Para Ahli Indonesia Mengenai Universalisme Islam

1. Abdurrahman Wahid

Sebagai seseorang yang memiliki intelektual terkemuka di


Indonesia, pemikiran Abdurrahman Wahid sangatlah kaya. Pemikirannya
banyak dikaji, diteliti, diapresiasi dan dikembangkan dalam berbagai bidang
kehidupan. Berbagai karya sudah dia tulis dan dihasilkan. Namun daya tarik
dari pemikirannya masih terus terasa sampe sekarang. Realitas ini
menunjukkan bahwa pemikiran Abdurahman Wahid memiliki relevansi
untuk direkonstruksi kembali. Salah satu aspeknya adalah membangun
kehidupan sosial yang harmonis.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah kaum Muslim terbesar di


dunia, Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan berkaitan dengan
dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan. Kuantitas umat Islam yang
banyak bukan berarti Islam telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Secara kritis Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa Indonesia yang umat
Islamnya terbanyak di dunia ternyata juga negara yang banyak melakukan
pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi manusia (HAM) (Wahid, 2006 : 23)

Dengan adanya realitas ini dapat dijadikan bahan refleksi bersama.


Pelanggaran terhadap HAM merupakan kejahatan manusia yang
bertentangan dengan nilai – nilai. Tugas generasi sekarang adalah
bagaiamana cara menerapkan keadaban itu dalam praktik kehidupan sehari
– hari.

Keadaban itu mampu diwujudkan jika seseorang memiliki


perspektif positif konstruktif dalam memandang orang lain. Dengan
memiliki perspektif ini manusia tidak akan melanggar hak – hak dasar
kemanusiaan. Salah satu pemikiran penting terkait persoalan ini adalah
pemikiran Abdurrahman Wahid yaitu universalisme islam merupakan nilai

10
– nilai yang ada dalam islam. Dikatakan universal karena menjadi bagian
dari tujuan syariat islam. Nilai ini terdapat dalam perlindungan terhadap
lima hak dasar manusia yaitu perlindungan atas hak hidup, hak beragama,
hak berpikir, hak kepemilikan dan berkeluarga.

Pernyataan itu kemudian dipertegas, Abdurrahman Wahid


menyatakan bahwa dimensi universalisme Islam bukan sekadar sebagai
jargon semata. Ajaran universalisme Islam telah teruji sejarah dan
berkontribusi dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan yang bermartabat.
Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa, ―Universalisme tercermin pada
ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian terhadap unsur-unsur kemanusiaan
yang diimbangi dengan kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban
Islam sendiri (Wahid dalam Nurcholis Madjid, 2007 : 1-2)

Universalisme Islam memiliki konsekuensi terhadap budaya


partikular yang ada di sekitarnya. Hal ini bermakna bahwa Islam adalah
agama yang memiliki pemahaman baik terhadap budaya lokal, bukan agama
yang memusuhi dan menghilangkan budaya lokal. Upaya ini kemudian
diformulasikan secara baik oleh Abdurrahman Wahid dalam istilah yang
unik, yaitu ―pribumisasi Islam.

Menurut Abdurrahman Wahid, pribumisasi islam perlu dipahami


secara tepat agar tidak menimbulkan salah persepsi. Abdurrahman Wahid
menjelaskan bahwa ; Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam,
baik di negeri asalnya maupun di negeri lain termasuk Indonesia. Dalam
prosesnya kenyataan sejarah tidaklah mengubah islam, melainkan hanya
manifestasi.

Subtansi pribumisasi islam adalah bagaimana pemikiran


Abdurrahman Wahid dalam memahami relasi agama dan budaya. Relasi
keduanya selalu saja menimbulkan perdebatan tak berujung. Apalagi
didalam era globalisasi ini dimana banyak pengaruh dari budaya barat.

11
Menurut Abdurrahman Wahid, agama dan budaya adalah dua entitas
yang berbeda. Agama berasal dari wahyu, bersifat normatif dan cenderung
permanen, sementara bdudaya merupakan kreasi manusia yang besifat
dinamis. Namun demikian bidang garapan sesungguhnya tumpang tindih
satu sama lain. Perbedaan ini bukan berarti harus memisahkan mereka dari
level manifestasi kehidupan (Wahid, 2001 : 117)

Pemikiran tentang universalisme Islam Abdurrahman Wahid digali


dari khazanah pemikiran Islam klasik. Menurut Abdurrahman Wahid,
universalisme Islam tampil sebagai sebuah ajaran yang sempurna dalam
lima buah jaminan dasar. Adapun kelima jaminan tersebut mencakup
jaminan dasar atas (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan
badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-
masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan
keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di
luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Kelima jaminan dasar
tersebut menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat
(Wahid, 2001 : 117).

Pemikiran tentang universalisme Islam ini penting dipahami secara


baik karena dapat menjadi dasar untuk memahami perbedaan yang ada.
Perbedaan merupakan realitas yang tidak mungkin untuk dihindari. Sikap
yang bijak adalah bagaimana memahami perbedaan sebagai bagian tidak
terpisahkan dari kehidupan. Pada perspektif inilah pemikiran Abdurrahman
Wahid tentang universalisme Islam penting untuk ditelaah dan
direkonstruksi agar sesuai dengan dinamika perkembangan zaman.

2. Nurcholish Madjid

Nurcholish adalah salah seorang pemikir Islam Indonesia. Ia


berusaha menafsirkan kembali makna tauhid sebagai dasar terpenting dalam
tatanan kehidupan” keagamaan umat manusia. Menurut Nurcholish, pesan

12
dasar semua agama yang benar adalah sarna,yaitu mengesakan Allah (at-
Tauhid) dan bersikap pasrah terhadap-Nya (al-Islam). Karena itu beragama
tanpa sikap pasrah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dengan sendirinya,
adalah palsu. Maka beriman kepada Allah dan bersikap pasrah kepada-Nya
adalah sebagai titik temu, common flatform, atau “kalimah sawa'” antar
agama. Allah adalah sumber kebenaran mutlak, maka cara beragama yang
baik adalah dengan dilandasi oleh semangat pencarian kebenaran (al-
Hanafiyyah al-Samhah) yang lapang, terbuka dan non sektarian. Setiap
orang berarti bersikap mempunyai caranya optimis kepada manusia. Begitu
juga dengan prinsip universalisme Islam, dengan memberi makna al-islam
secara generik yaitu pasrah terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah
memberikan landasan teologi baru yang kukuh terhadap pluralism bagi
kehidupan keagamaan di Indonesia. Dari pemahaman makna Tauhid konsep
universalisme Islam akan membawa pada pengertian bahwa pluralisme
agama adalah Sunnatullah yang telah ditetapkan kepada manusia. Begitu
juga akan membawa pada pemahaman kita terhadap konsep ahli kitab.
Dimana yang termasuk ahli kitab tidak hanya untuk Yahudi dan Nasrani,
tetapi juga agama-agama yang lain. Selain itu, Nurcholish juga
menganjurkan terhadap umat Islam di era modern ini untuk melihat kembali
sejarah Islam dan mengambil inti sari dari sejarah itu sendiri. (Dhillah,
Fihif,2003)

Dalam karya ini Nurcholish Madjid membahas universalitas Islam.


Telaahan Nurcholish Madjid dalam penelitian karya ini adalah: “Pertama-
tama yang menjadi sumber universalitas Islam ialah pengertian perkataan
“Islam” itu sendiri. (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,
1992 : 426). Sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan
tuntutan alami manusia. Maka agama secara harfiah antara lain berarti
“kepatuhan” atau “ketaatan” yang sah yang tidak bisa lain daripada sikap
pasrah kepada Tuhan (al Islam). Maka tidak ada agama tanpa sikap itu,
yakni, keagamaan tanpa kepasrahan kepada Tuhan adalah merumuskan

13
nilai-nilai universal selalu ada pada inti ajaran agama yang mempertemukan
seluruh umat manusia. Menurutnya, nilai-nilai universal itu harus dikaitkan
kepada kondisi nyata ruang dan waktu agar memiliki kekuatan efektif dalam
masyarakat, sebagai dasar etika sosial.

Nurcholish Madjid banyak mengutip pandangan-pandangan Ibnu


Taimiyah, yang memang banyak memberikan penjelasan inklusivisme dan
universalisme Islam, antara lain:

Al Islam ialah persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang


mencakup (pengertian) ibadah kepada Allah saja dan meninggalkan ibadat
kepada yang lain. Inilah ‘Islam Umum’ (al Islam al ‘amm) yang selain dari
itu Allah tidak menerima sebagai agama dari umat terdahulu maupun umat
kemudian, sebagaimana difirmankan Allah, ‘Allah bersaksi bahwasanya
tiada Tuhan selain Dia, begitu pula para malaikat-malaikat dan orang –orang
yang berpengetahuan yang tegak dan jujur (adil). Tidak ada Tuhan selain
Dia Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama disisi
Allah ialah al Islam (QS. Ali Imran/3 : 18-19).

Pandangan Ibnu Taimiyah bahwa pengertian Islam dalam ayat


tersebut adalah “Islam Umum” yang juga merupakan agama semua nabi dan
rasul yang diutus. Maka menurut Nurcholish Madjid, pandangan tersebut
menunjukkan universalisme dan kosmopolitanisme Islam sekaligus
memberikan pengakuan bahwa Islam berlaku sepanjang waktu dan tempat.
Tetapi persoalan yang muncul kemudian, apakah dalam beragama cukup
dengan beriman kepada bentuk-bentuk universal seperti itu “sikap pasrah”
tadi, tanpa sama sekali memerlukan realisasi ibadah. Lebih dari
itu, sesungguhnya disadari bahwa Islam berdimensi universal bahkan
kosmopolit, dalam perkembangan sejarahnya, karena Islam sebagai sebuah
agama dimanifestasikan oleh penganutnya, maka wujud keislaman menjadi
berbeda-beda sesuai dengan budaya dan watak manusia pemeluknya.

14
Dalam kaitan ini, Nurcholish Madjid mengatakan harus
mengintegrasikan nilai-nilai universal tersebut dengan sinaran situasi nyata
ruang dan waktu yang partikular. Baginya, keyakinan bahwa Islam adalah
ajaran yang universal, termasuk menjadi inti dari agama-agama, membawa
implikasi bahwa ia dapat diberlakukan kepada semua tempat dan waktu.
Kebenaran dapat ditemukan kepada setiap bangsa dan masa, kapan saja
dimana saja. (Madjid, 1995 : 17) .Memandang penting untuk meletakkan
sisi-sisi keuniversalan ajaran dalam kerangka dialog kultural dengan situasi
dimana ia termanifestasikan oleh pemeluknya. Suatu kenyataan akan
muncul ekspresi dan manifestasi keberagaman seseorang atau sekelompok
orang dalam masyarakat yang beragam atau bervariasi sejalan dengan
budaya dan watak manusia yang menerimanya ( Nurcholish Madjid, Islam
Agama Kemanusiaan, 1995, h. 38) . Di Indonesia misalnya, sebagai suatu
bangsa yang mempunyai tingkat heterogenitas tertinggi secara fisik (negara
kepulauan) maupun dalam soal keragaman suku, bahasa, daerah, agama,
dan adat istiadat, maka dengan sendirinya manifestasi dan ekspresi
keberagamannya bervariasi sejalan dengan kondisi beragamnya budaya
yang ada. Muncul antara yang kebarat-baratan, kearab-araban dan
ketradisian-tradisian sebagai sesuatu yang sulit dihindari. Persoalannya
apakah ekspresi dan manifestasi keberagaman yang merupakan hasil dialog
kultural antara keuniversalan Islam dengan kekhasan suatu kawasan itu
absah atau tidak, dan seberapa jauh tingkat keberlakuannya. Haruskah
dianggap sebagai ekspresi dan manifestasi keagamaan yang serta merta
mesti bernilai mutlak sehingga mesti pula berlaku di semua tempat.
(Madjid, 1995 : 36).

Menurut Nurcholish Madjid, agama an sich bernilai mutlak, tidak


berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, dapat
berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Agama merupakan
sesuatu yang primer, sementara budaya menggambarkan yang sekunder.
Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu sub-

15
ordinate terhadap agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yaitu
agama berdasarkan budaya. Maka, agama adalah absolut, berlaku untuk
setiap ruang dan waktu, dan budaya adalah relatif, terbatasi oleh ruang dan
waktu (Madjid, 1995 : 45). Persoalannya bukan terletak perkara apakah
suatu hasil dialog antara keuniversalan Islam dengan kekhasan suatu
kawasan dan zaman itu absah atau tidak, melainkan setiap hasil dialog
kultural dari kedua aspek: universal-partikular atau kulli-juz’i, tidak absah,
tetapi juga merupakan kreativitas kultural yang berharga. Dengan
kreativitas itulah suatu sistem ajaran universal seperti agama menemukan
relevansinya dengan tuntutan khusus yang nyata para pemeluknya, menurut
ruang dan waktu, serta dengan begitu menemukan dinamika dan vitalitasnya
(Madjid, 1995 : 39).

Nilai keberlakuan sebuah manifestasi atau ekspresi keagamaan


tidaklah mutlak, tetapi diletakkan seberapa kuat relevansinya dengan
tuntutan zaman dan tempat. Karena itu, dimungkinkan upaya meningkatkan
atau mengubahnya atau menggantikannya sama sekali, dalam semangat
kesadaran dan kenisbian spasial dan temporalnya ruang dan waktu. Ini
menggambarkan apa yang disebut Nurcholish Madjid sebagai adanya suatu
kontinuitas dan kezamanan (al Shalah wa al Mu’asharah), sekaligus
tuntutan untuk senantiasa belajar dari masa lalu dalam rangka
mempertahankan mana saja unsur-unsur positif dan membuang unsur-unsur
negatif, kemudian menggunakannya untuk meningkatkan kecakapan
mengambil apa saja unsur-unsur yang lebih baik dari masa kini dan masa
depan yang diperkirakan. Dengan begitu, suatu pandangan memiliki tidak
saja keabsahan yang diperlukan sebagai sumber dinamika
pengembangannya tapi juga keterkaitan dengan tuntutan nyata menurut
perkembangan zaman. Dan hanya dengan begitu Nurcholish Madjid,
mengklaim tentang suatu sistem ajaran seperti Islam sebagai rahmatan lil
‘alamin dan cocok untuk segala zaman dan tempat (shahih li kulli zaman
wa makan) (Madjid, 1995 : 41).

16
Pemikiran universalisme Islam berangkat dari isyarat Al-Qur’an,
misalnya Qs. Saba (34):28 dan al-Anbiya (21):107.Sehubungan dengan ini
Nurcholis Madjid menegaskan bahwa yang pertama-tama menjadi sumber
ide tentang universalisme Islam ialah pengertian perkataan “islam” itu
sendiri. Term “Islam” di sini diartikan diartikan sebagai sikap pasrah kepada
Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang dibawa para Rosul secara silih
berganti dalam sejarah umat manusia untuk menyamppaikan pesan yang
sama yaitu “Islam”.

Dari pengertian dasar “islam” sebagai hukum ketundukan makhluk kepada


Khaliknya tidak dalam artian nama agama yang dibawac oleh nabi
Muhammad sebagai penutup para Nabi dan Rosul, maka “islam” tidak
bersifat temporal yang berlaku untuk suatu zaman atau kawasan tertentu
melainkan berlaku untuk seluruh zaman; lampau, sekarang dan nanti di
semua kawasan tanpa terkecuali (Yasmadi, 2002 : 34 )

Sehubungan dengan universalisme Islam, Nurcholis Madjid


mengemukakan jika “islam” dipahami sebagai ajaran yang universal, maka
hal ini tidak saja menghasilkan pandangan bahwa ia berlaku untuk semua
tempat dan waktu, seperti yang telah dibuktikan oleh kaum muslim klasik.

Sebaliknya universalisme Islam juga menghasilkan pandangan dari


arah lain yaitu bahwa kebenaran Islam dapat didekati melalui angel
berbagai pola budaya. Argumen yang dikemukakan Nurcholis Madjid, jika
Islam itu universal dan jika keuniversalannya menghasilkan diutusnya para
Rosul untuk setiap bangsa dan masa sebagaimana disebutkan dalam ayat-
ayat al-Qur’an, bearati bahwa kebenaran juga dapat ditemukan pada setiap
bangsa dan waktu; kapan saja dan di aman saja. Dari sini sebenarnya telah
terlihat bahwa Islam universal selalu memliki kemampuan untuk
beradaptasi dengan lingkungan budaya di mana ia tumbuh dan berkembang.

Oleh karena itu, menyikapi kemajemukan dalam konteks Indonesia


(seperti masyarakat Yastrib yang ditemui nabi Muhammad pertama kali),

17
maka dituntut inklusivisme Islam. Inklusivisme Islam adalah sikap yang
mesti dimilki umat Islam yang hidup di tengah masyarakat yang plural.
Inklusivisme Islam adalah implementasi dari azas pluralisme dan toleransi,
bersifat demokratis dan terbuka sehingga Islam itu secara substansial
dimiliki oleh semua agama sebagaimana yang dibawa Rosul sebelum
Muhammad. Oleh sebab itu, dalam pandangan Nurcholis Madjid, prinsip-
prinip Islam dimiliki semua ajaran yang benar yakni, semuanya
mengajarkan sikap pasrah kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha
Esa.( Yasmadi, 2002 : 35)

Karena merupaka inti semua agama yang benar, maka al-Islam atau
pasrah kepada Tuhan adalah pangkal adanya hidayah Ilahi kepada
seseorang. Hal ini menjadi landasan universal kehidupan manusia yang
berlaku untuk setiap orang, disetiap tempat dan waktu. Al-Islam (sikap
pasrah pada Tuhan) menjadi titik temu semua agama-agama yang ada.
Artinya semua agama berkeyakinan dab memiliki prinsip yang sama yaitu
kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Berkaitan dengan hal ini, Nurcholis Mdjid memperlihatkan bahwa


indikator sebagai wujud titik kesamaan semua agama pada al-Islam.Agama
Yahudu misalnya (sevagai kelanjutandari ajaran nabi Musa), pada dasarnya
mengajarkan al-Islam, seperti yang ditegaskan al-Qur’an mengenai prinsip
kitab Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa untuk keturunan Isro’il
dalam Qs. Ali Imron (3):52 dan Qs.al-Maidah (5):44.

Berangkat dari pemahaman Qs, Ali Imron (3):52 dan Qs. Al-maidah
(5):44, Nurcholis Mdjid berpendapat bahwa Islam merupakan titik temu
semua ajara yang benar, maka diantara sesama penganut yang tulus akan
ajaran itu pada prinsipnya harus dibina hubungan dan pergaulan yang
sebaik-baiknya. Sebab, seluruh umat pemeluk agama adalah umat yang
tunggal. Ini dikarenakan oleh inti ajaran agama yang disampaikan Alloh

18
kepada nabi Muhammad adalah sama dengan inti ajaran yang disampaikan
oleh-Nya kepada semua Nabi (Yasmadi, 2002) hal : 36).

Menurut Nurcholis Madjid, sejalan dengan pandangan dasar itu


Nabi diperintahkan untuk mengajak kaum ahli kitab (Yahudi dan Nashrani)
menuju kepada “kalimat kesamaan” (kalimat unsawa) yang pada prinsipnya
menuju kepada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid. Ajakan
kepada kalimat un sawa untuk membenamkan klaim-kliam eksklusivistik
kaum ahli kitab bahwa merekalah sebagai satu-satunya pihak yang bakal
selamat atau masuk surga, seperti ditemui dalam Qs. al-Baqoroh (2):113.

Islam yang dikatakan sebagai titik temu (commom platform),


sebagaimana dideskripsikan di atas, adalah dalam konteks ajaran-ajaran
yang benar (agama-agama). Kemudian berkaitan dengan konteks
keindonesiaan dilihat dari kemjemukan bangsa dan konndisi real Indonesia
“Pancasila” dipandang sebagai titk temu (commom flatform) antara umat
yang berbeda-beda. Pandangan ini juga berangkat dari pemahaman tentang
Islam itu sendiri.

Cak Nur menilai Pancasila tidak bertentangan dengan Islam


melainkan bahwa mencerminkan anjuran dan prinsip-prinsip dalam al-
Qur’an. Pancasila sering diistilahkan commom platform (kalimat-un sawa’)
semua agama telah mempunyai hak dan status yang sama. Sila Pancasila
memuat nilai dasar tentang kerangka umum dalam hidup kebersamaan,
sehingga wajib dipahami dan diikuti bersama. Umat Islam telah
menanggapi secara positif keberadaan Pancasila, karena dari berbagai ayat
Al-Qur’an sama sekali tidak bertentangan, bahkan mendukung kehadiran
falsafah ini.(Yasmadi, 2002 : 37)

Nilai-nilai Pancasila baik potensial maupun aktual, telah


terkandung dalam ajaran semua agama yang ada. Nilai-nilai Pancasila
adalah “titik temu” dari semua pandangan hidup yang ada di negara
Indonesia termasuk pandangan yang dirangkum oleh agama-agama. Oleh

19
karenanya, dengan sangat liberal Nurcholish Madjid mempertegas
Pancasila dapat dipandang sepenuhnya sebagai “titik temu” antar umat yang
berbeda-beda, hal itu merupakan perintah agama.

Pancasila dapat juga dikatakan sebuah ideologi modern. Hal itu


tidak saja karena ia diwujudkan dalam zaman modern, tetapi ia juga
memberi landasan filosofis bersama (common philosocopical ground)
sebuah masyarakat plural yang modern yaitu masyarakat Indonesia. Maka
di sini yang diperlukan adalah sikap untuk mengembangkan paham
kemajemukan masyarakat atau pluralisme sosial dalam realistas
masyarakatnya.

Di negara Indonesia kebebasan beragama sudah menjadi ketentuan


yang termuat dalam konstitusi Indonesia. Nurcholish Majid mempertegas
kembali bahwa negara di dasarkan atas kepercayaan kepada satu Tuhan,
yaitu Tuhan yang Maha Esa dan menjamin kebebasan beragama. Sehingga,
lima agama resmi kemudian diakui : Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan
Budha.

Kesadaran tentang Pancasila yang dapat mempersatukan antar


berbagai pemeluk agama yang sangat beragam di tanah air ini gilirannya
menumbuhkan dinamika dialog positif kerjasama dengan program aksi
yang bervariasi guna mewujudkan tujuan demi kepentingan bersama. Inilah
format kerja sama antar pemeluk agama yang dilandasi azas “pluralisme
positif” antar agama, yaitu kerja sama antar pemeluk agama dengan tetap
berpegang pada ajarannya masing-masing tetapi juga menyumbangkan
kekayaan etika dan moralitas keagamaan secara positif ke dalam masyarakat
yang hendak dibangun bersama (Yasmadi, 2002 : 38).

3. Kuntowijoyo

Menurut Kuntowijoyo, di tengah-tengah umat Islam terdapat suatu


golongan yang dipanggil Allah untuk menyeru kebaikan dan mencegah

20
kemungkaran. Dalam konteks kekhalifahan bertingkat, mereka termasuk
kaum cendekiawan yang merupakan golongan kecil yang harus kreatif
mampu mencandra arah perjalanan sejarah, mengubahnya, dan menjadi
ujung tombanknya (Kuntowijoyo, 1993 : 121).

Kaum cendekiawan Muslim sesungguhnya harus mengikuti


tradisi profetik Nabi, bukan seperti obsesi kaum mistikus yang
berusaha untuk menyatu dengan Tuhan. Iqbal menyatakan, betapa besar
misi kreatif Nabi ketika ia memilih turun kembali ke bumi untuk terlibat
dalam proses sejarah, meskipun ia sudah sampai ke puncak tertinggi
bertemu dengan Allah swt dalam peristiwa Isra’ Mi’raj (Kuntowijoyo,
2001: 107).

Memang misi Nabi itu adalah missi profetik, misi kenabian. Itulah
sebabnya mengapa ia memilih untuk turun kembali ke dunia, ke tengah
kancah sejarah untuk melakukan perubahan. Kaum intelektual adalah para
pewaris Nabi. Mereka tidak boleh berpangku tangan dan dunia
membutuhkan kreatifitasnya. Al-Quran memerintahkan agar kaum
cendekiawan berpartisipasi untuk amar ma’ruf nahi munkar. Kaum
cendekiawan Muslim harus menghadapkan tauhid kepada sejarah. Mereka
harus memiliki cita-cita ketuhanan yang dialektis, di mana tauhid akan
ditempatkan sebagai pemberi arah di dalam proses sejarah (Kuntowijoyo,
1993:131).

Pada tahap di mana kekuasaan kekuatan sejarah telah


melahirkan proses-proses terbentuknya corak kemasyarakatan
industrial seperti sekarang ini, kaum cendekiawan Muslim mau tidak mau
harus menghadapkan teologi Islam kepada masyarakat industri; demikian
pula bila kaum cendekiawan Muslim hidup di tengah - tengah masyarakat
teknokratik, maka ia harus menghadapkan Islam untuk menjawab
tantangan-tantangan masyarakat teknokratik. Mereka harus kreatif

21
mengarahkan kekuatan-kekuatan sosio kultural sesuai dengan cita-cita
tauhid (Kuntowijoyo, 1993: 132).

Kuntowijoyo adalah seorang pemikir yang dikenal kritis dan


optimis akan masa depan Islam. Sosok ini oleh Fakhri Ali dan
Bachtiar Efendy dimasukkan dalam kelompok sosialisme-demokrasi
Islam disamping Dawam Raharjo dan Adi Sasono (Ali & Effendi,
1986: 224). Perhatiannya yang sangat besar terhadap masalah sosial
umat Islam sangat berkaitan dengan bidang keilmuan yang
ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Hal ini terlihat dalam disertasi Ph.Dnya
dalam studi sejarah dari University of Columbia pada 1980 yang
berjudul Social Change in Agrarian Society: Madura 1850-1940
(Kuntowijoyo, 1991: v).

Selain hal di atas, ada dua hal penting yang melatarbelakangi


kecendekiawanan Kuntowijoyo dalam menyusun gagasannya
mengenai Islam. Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap
pola pikir masyarakat yang masih dibelenggu oleh mitos dan
kemudian berkembang sampai masuk pada tingkat ideologi.
Selanjutnya, karena perkembangan ilmu pengetahuan, akhirnya
melalui pengaruh tersebut, umat Islam memasuki periode ide
(Kuntowijoyo, 1984: 58-63).

Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami


agrarisasi. Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit
dan merupakan mata-rantai penting peradaban dunia telah
mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya
lokal. Bagi Kuntowijoyo, universalisme Islam tidak selalu berarti
bahwa Islam akan menafikan dan menyingkirkan budaya-budaya
lokal. Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia harus menangkap
kembali semangat kosmopolitan dari Islam--Islam sebagai budaya

22
universal yang ada di mana-mana-- dan rasionalisme Islam
(Kuntowijoyo, 1993: 42-43).

Untuk itu, Kuntowijoyo melakukan analisis-analisis historis


dan kultural untuk melihat perkembangan umat Islam di Indonesia.
Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk mengemukakan dan
menyampaikan gagasan-gagasan transformasi sosial melalui
reinterpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah
mendorong manusia berpikir secara rasional dan empiris
(Kuntowijoyo, 1991: 39).

Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang


cenderung mereduksi agama dan menekankan sekulerisasi sebagai
keharusan sejarah. Industrialisasi dan teknokratisasi akan
melahirkan moralitas baru yang menekankan pada rasionalitas
ekonomi, pencapaian perorangan, dan kesamaan (Kuntowijoyo,
1993: 49). Ini mendorongnya melontarkan gagasannya reinterpretasi
nilai-nilai Islam, terutama yang berkaitan dengan rumusan teori
ilmu-ilmu sosial Islam.

C. Tahap – tahap Kesadaran Sosial umat Islam Indonesia

Kuntowijoyo menjadikan kejatuhan Kerajaan Islam Demak


sebagai titik tolak untuk melihat kembali kesadaran sosial umat
Islam di Indonesia. Menurutnya, setelah kejatuhan Kerajaan Islam
Demak, umat Islam menjadi bentuk masyarakat yang disebut
patrimornial. Umat Islam tidak berada pada golongan atas, melainkan
ada di golongan bawah. Pada periode pertama ini, demikian
ditegaskan Kuntowijoyo, sampai akhir abad ke-19, umat Islam hanya
sebagai kawula atau abdi. (Nasiwan, Yuyun . 2016 : 113)

Di dalam masyarakat dengan hirarki yang keras saat itu, antara


priyagung dan wong cilik, umat Islam memiliki suatu kesadaran yang

23
disebut sebagai kesadaran mistik-religius. Kesadaran ini tergambar
dalam perlawanannya terhadap kekuatan kolonial dengan diperkuat
oleh ideologi yang bersifat utopia. Disebut utopia, karena umat Islam
tidak merumuskan pikiran-pikirannya berdasarkan aktualitas
sejarah, melainkan berdasarlan kepada berbagai mitos, pandangan -
pandangan mistik mengenai masyarakat yang dapat dirumusakan misalnya
dalam cita-cita Ratu Adil (Kuntowijoyo, 1993: 22).

Pada periode ini, umat Islam belum mampu mengatur diri.


Mereka mengelompok diri dibalik pribadi yang berkharisma seperti Kyai
dan Haji. Orang-orang berkharisma inilah yang kemudian menggerakkan
umat Islam melakukan berbagai pemberontakan. Umat Islam terpecah
dalam ikatan-ikatan yang sangat kecil, di lingkaran yang sangat lokal, dan
tersebar di mana- mana. Islam yang sebenarnya merupakan tradisi besar,
tradisi yang sanggup mengorganisir kekhalifahan yang besar, tetapi Islam
di Indonesia yang berada di luar birokrasi hanya sanggup membentuk
masyarakat-masyarakat kecil, sehingga tidak bisa menyatukan diri
dalam kesatuan yang disebut umat.

Pada periode kedua (1900-1920), terjadi perubahan - perubahan


sosial yang sangat besar. Sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20,
ada gejala munculnya kekuatan-kekuatan baru. Jika pada periode
sebelumnya, umat Islam merasa sebagai kawula, pada periode kedua ini
umat Islam merasa dirinya sebagai wong cilik. Konsep ‘wong cilik’ berbeda
dengan konsep ‘kawula’. Kawula hubungannya dengan ‘Gusti’, ‘wong
cilik’ lebih merupakan konsep horizontal.

Pada periode ini, Indonesia telah berubah menjadi hirarki atau


sistem yang berdasarkan status, sistem kelas. Saat itu di Indonesia
telah muncul kelas baru yang bisa disebut sebagai kelas menengah,
yang terdiri atas kelas pedagang, buruh, dan petani. Hal penting dari
periode ini adalah munculnya kelas pedagang yang umumnya secara

24
tradisional dimonopoli oleh umat Islam. Pada periode ini kesadaran
umat Islam mulai berubah. Jika sebelumnya umat Islam mempunyai
kesadaran mistis dan utopia, kini umat Islam mulai mencoba
merumuskan ideologi.

Pada periode awal, Sarekat Islam (Syarekat Dagang Islam)


merumuskan dari sebagai kelompok pedagang. Sejak itu, ideologi
Islam mulai ditanamkan di dalam kesadaran umat yang pada periode
ini masih dalam bentuknya yang sangat awal. Pengenalan ideologi
Islam pada saat ini belum begitu jelas, sehingga pada masa
selanjutnya tampak bahwa dalam konflik-konflik kelas, ideologi
Islam muncul tidak terlalu puritan, sehingga misalnya timbul konflik
apakah Islam akan berpihak kepada kaum buruh atau tidak
(Kuntowijoyo, 1993: 24).

Berbeda dengan periode sebelumnya yang berkelompok di


sekitar tokoh-tokoh kharismatik, sekarang umat Islam berkelompok
di tengah-tengah pimpinan yang rasional. Tokoh-tokoh yang tampil
dipilih karena kualifikasi-kualifikasi rasional, seperti HOS Tjokroaminoto,
H. Agus Salim, Abdul Muis, dan lain-lain. Aksi-aksi yang dilakukannya pun
teorganisir dengan baik, misalnya didirikan koperasi untuk melawan
dominasi penjajah dan Cina.

Kalau sebelumnya Sarekat Islam mewadahi semua semua


orang kecil seperti pedagang, buruh, petani dan sebagainya, maka
pendefinisian SI saat itu membawa umat Islam kepada periode
ketiga. Pada periode ketiga ini (1920-1942) SI mendefinisikan
dirinya sebagai umat. Pada saat itulah, demikian menurut
Kuntowijoyo, konsep mengenai umat sebagai satu kesatuan sosial
dan politis mulai muncul dalam masyarakat Indonesia. Munculnya
kristalisasi umat ini antara lain dipicu oleh adanya Koran di
Surakarta yang menghina Nabi Muhammad saw, maka pada tahun

25
1918 di Indonesia didirikan ‘Tentara Kanjeng Nabi Muhammad’. (Nasiwan,
Yuyun . 2016 : 115)

Pada periode ini pun umat Islam masih melakukan berbagai


aksi dalam bentuk berbagai demontrasi. Tetapi yang terpenting pada
periode ini, umat Islam lebih banyak mendirikan berbagai asosiasi.
Selain Sarekat Islam (SI), lahir Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama,
dan organisasi lain baik di Jawa Barat, Jakarta, Sumatera, dan di
berbagai tempat lainya.

Setelah tahun 1942, yang terjadi adalah kelanjutan dari


perjalanan umat. Jika sebelumnya umat Islam mendefinisikan diri
sebagai umat, sejak tahun 1942 dan seterusnya, umat Islam
dihadapkan pada tugas baru. Pada masa penjajahan Jepang, para Kyai
dan tokoh-tokoh umat Islam mulai dilibatkan dalam kepemimpinan
dan kenegaraan. KHA Wahid Hasyim misalnya, diangkat menjadi
semacam Kementerian Agama di masa Jepang. Masih banyak tokohtokoh
Islam yang diangkat menjadi pimpinan PETA, Hizbullah,
Sabilillah, dan lain-lain.

Karena itu, sesudah tahun 1942, lebih-lebih setelah tahun


1945, umat Islam mendefinisikan diri dalam rumusan baru, yaitu
sebagai warga negara, sebagai citizen. Menurut Kuntowijoyo,
perjalanan terakhir sebagai sebagai warga negara merupakan
langkah historis. Ketika dirumuskan UUD 1945, yang di dalamnya
memuat rumusan Pancasila, waktu itu, umat Islam memutuskan diri
sebagai warga negara Indonesia. Persoalan selanjutnya adalah
persoalan antara negara dan warga negara.

Selanjutnya, ideology umat Islam yang sudah dirumuskan sejak


SI, masih berjalan terus. Pada tahun-tahun pertama, Islam sebagai
ideologi cukup keras dikumandangkan dan merupakan cita-cita
bersama umat Islam Indonesia. Permasalahan penting selanjutnya

26
adalah munculnya konflik sepanjang rentang waktu antara tahun
1945 sampai tahun 1965. Pada masa ini, umat Islam memasuki babak
baru, yaitu ikut serta dalam pelaksanaan Pemilihan Umum, ikut
dalam DPR/MPR, Badan-badan Pemerintahan, dan lain-lain. Umat
Islam benar-benar aktif sebagai warga negara.

Kemudian dalam tahapan sekarang yang sudah memasuki ide, maka


islam harus dirumuskan untuk menjadi ilmu. Kalau pada priode utopia,
umat Islam masih berpikir dalam kerangka mistis, sementara pada zaman
ideologi mereka hanya terlibat pada persoalan ideologi dan kekuasaan,
maka pada periode sekarang ini, umat Islam perlu merumuskan konsep-
konsep normatif (Kuntowijoyo, 1993: 11-12).

Misalnya, berkaitan dengan sabda Nabi saw yang berbunyi:


“Engkau akan mendapatkan kemenangan dan rizki berkat
perjuangan kaum dhu’afa (kaum lemah)”. Melalui tafsiran ideologis
hadis tersebut dapat diartikan bahwa kaum dhu’afa harus dibela dan
kemudian menjadi keyakinan politik populisme. Sebagai ideologi,
pengertian tersebut sudah final. Tetapi jika diartikan dengan cara
yang lain, bisa dibuat rumusan demikian “bahwa kemenangan
hanyalah suatu gejala dari kekuasaan atau politik, sedang ‘rizki’
adalah gejala ekonomi. Dengan penafsiran seperti itu, dapat
dirumuskan lebih jauh bahwa kekuatan sejarah, bahwa agent of
change dari perubahan kekuasaan politik dan ekonomi adalah kaum
dhu’afa.

Dengan kata lain, sejarah kemanusiaan tidak ditentukan oleh


kalangan atas yang kuat dan memiliki kekuasaan, melainkan oleh
kaum dhu’afa, kelas bawah. Dengan tesis semacam itu, maka suatu
bangsa atau Negara tidak dapat lagi mengabaikan peranan penting
dari dhu’afa dalam menentukan perubahan politik dan ekonomi,
bahkan dalam perkembangan sejarah. Dari tesis yang semacam itu

27
maka akan dapat dilahairkan teori sosial mengenai revolusi atau
mengenai perubahan sosial.

Contoh di atas menggambarkan bahwa konsep-konsep Islam


sebenarnya perlu dipahami lebih mendalam. Setiap ayat dari al - Quran
memang bisa dirumuskan menjadi ideologi, tapi pada saat yang bersamaan
bisa dirumuskan menjadi teori-teori ilmu pengetahuan Islam. Dalam masa
sekarang ini, tampaknya umat Islam harus beranjak ke sana.

Menurut Kuntowijoyo, ada dua metodologi yang dipakai dalam


proses pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan objektifikasi.
Pertama, integralisasi adalah pengintegrasiam kekayaan keilmuan
manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam al-Quran beserta
pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi). Kedua, objektifikasi adalah
menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang
(rahmatan lil’alamin) (Kuntowijoyo, 2006: 49).

Ilmu yang integralistik, ilmu yang menyatukan (bukan sekedar


menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia tidak
akan mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia.
Diharapkan bahwa integralisme akan sekaligus menyelesaikan
konflik antara sekularisme ektrem dan agama-agama radikal dalam
banyak sektor. Sementara itu, dengan objektifikasi, menjadikan ilmu
tidak hanya untuk orang beriman saja, melainkan untuk seluruh
manusia tanpa kecuali, seperti yang terlihat pada contoh di atas.

Bagi Kuntowijoyo, sebagai seorang Muslim, tugas intelektual


dan cendekiawan Muslim adalah ‘memberikan pemikirannya kepada
masyarakat, supaya masyarakat mempunyai alat analisa yang tajam
dan dapat memainkan peranan dalam kehidupan sehari-hari’,
demikian dinyatakan A.E. Priyono. Menurutnya, pergulatan Islam
adalah pergulatan untuk relevansi, di mana agama tidak boleh
sekedar menjadi pemberi legitimasi terhadap sistem sosial yang ada,

28
melainkan harus memperhatikan dan mengontrol perilaku sistem
tersebut.

29
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia yang multikultural


sangat dinamis. Pengelolaan kehidupan masyarakat yang semacam ini
sungguh tidak mudah. Potensi terjadinya konflik sangat terbuka. Karena itu
dibutuhkan usaha secara terus-menerus agar realitas masyarakat yang
multikultural dapat terus harmonis. Kontribusi pemikiran dari kalangan
intelektual Muslim sangat penting artinya dalam kerangka perwujudan
kehidupan yang harmonis. Pemikiran – pemikiran para ahli itu
khususnya tentang universalisme Islam dan toleransi, adalah bentuk
kontribusi intelektual yang penting untuk direkonstruksi dan
disosialisasikan secara luas. Seperti contoh pandangan K.H. Abdurrahman
Wahid tentang universalisme islam adalah tidak perlu merujuk secara
langsung kepada al- Qur’an atau hadis, sebagaimana sering
dipergunakan kelompok Islam modernis, tapi merujuk pada teori
dalam ushûl al-fiqh yang disebut dharûriyat al-khamsah (lima hal dasar
yang dilindungi agama). Kelima hal dasar itu adalah 1) hifz al-
dîn yang maknai Gus Dur sebagai keselamatan keyakinan agama
masing-masing, tanpa ada paksaan berpindah agama; 2) hifz al-
nafs, yang dimaknai keharusan keselamatan fisik warga masyarakat dari
tindakan badani di luar ketentuan hukum; 3) hifz al-aqli, pemeliharaan
atas kecerdasan akal; 3) hifz al-nasl, keselamatan keluarga dan
keturunan; dan 5) hifz al-mâl, keselamatan hak milik, properti dan profesi
dari gangguan dan penggusuran di luar prosedur hukum. Melalui uraian
diatas dapat kita simpulkan bahwa bukan hanya umat islam saja yang harus
menggunakan paham universalitas islam, tetapi agama lain juga bisa tanpa
harus pindah agama. Karena pada hakikatnya risalah islam ditujukan untuk
semua umat, segenap ras maupun bangsa. Ia bukanlah sebuah risalah untuk

30
bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dialah bangsa yang terpilih,
karena semua manusia pada hakikatnya harus tunduk kepada – Nya.

31
DAFTAR PUSTAKA

Ali, F. & Efendy, B. (1986). Merambah jalan baru Islam:


rekonstruksi pemikiran Islam Indonesia masa Orde Baru.
Bandung: Mizan.

Dhillah, Fihif. 2003. “Pluralisme Agama Dalam Pandangan


Nurcholis Madjid”. Skripsi Tesis. UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

Kuntowijoyo. (1984). Islam sebagai Suatu Ide. Prisma Ekstra

Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: interpretasi untuk aksi.


Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. (1993). Dinamika internal umat Islam di Indonesia.


Yogyakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan (LSIP).

Kuntowijoyo. (2001). Muslim tanpa masjid: esai-esai agama,


budaya, dan politik dalam bingkai strukturalisme
transcendental. Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai ilmu: epistemologi,


metodologi, dan etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Madjid, Nurcholis. 1992. "Islam, Doktrin dan Peradaban",


Paramadina cet. II, Jakarta.

Madjid, Nurcholis. 1995. “Islam Agama Kemanusiaan”, Jakarta :


Paramadina.

32
Naim, Ngainun. 2016. “Abdurrahman Wahid: Universalisme Islam
dan Toleransi”, Tulung Agung, Jawa Timur. IAIN. Vol 10
halaman 423 – 444

Nasiwan, Yuyun Sri Wahyuni. 2016. “Teori – teori Sosial


Indonesia”. Yogyakarta : Uny Press.

Qardhawi, Yusuf . 1993 . Al-khashaish al-'aamiyah al-Islam Beirut


cet. VIII, Lebanon

Wahid, Abdurrahman. 2001. “Pergulatan Negara, Agama, dan


Kebudayaan”, Depok: Koekoesan.

Wahid, Abdurrahman. 2006. Islamku, Islam Anda, Islam Kita,


Jakarta: The Wahid Institute.

Wahid, Abdurrahman. 2007. “Universalisme Islam dan


Kosmopolitanisme Peradaban Islam‖, dalam Nurcholish Madjid,
dkk., Islam Universal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

33
LAMPIRAN

34

Вам также может понравиться