Вы находитесь на странице: 1из 33

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur
jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir.1 PJB merupakan
kelainan kongenital paling banyak yang terjadi, hampir 1 dari 3 dari kasus kelainan
kongenital yang ada merupakan kasus dengan penyakit jantung bawaan. Prevalensi
PJB di seluruh dunia berkisar antara 6 - 10 per 1000 kelahiran. Berdasarkan data
angka kejadian PJB di Indonesia adalah 8 tiap 1000 kelahiran hidup.2 Terdapat dua
tipe penyakit jantung bawaan, yaitu tipe asianotik dan tipe sianotik. Walaupun jumlah
pasien PJB asianotik jauh lebih besar daripada yang sianotik yaitu 3-4 kali, tetapi PJB
sianotik menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada
asianotik.3

Salah satu penyakit jantung bawaan tipe sianotik yang paling banyak ditemui
adalah Tetralogy of Fallot. Dimana prevalensi Tetralogy of Fallot sebesar 8% dari
keseluruhan penyakit jantung bawaan.4 Tetralogy of Fallot sendiri merupakan
penyakit jantung bawaan yang ditandai dengan adanya 4 kelainan utama, yaitu
adanya defek septum ventrikel, dekstroposisi aorta (over-riding aorta), stenosis
pulmonal serta hipertrofi ventrikel kanan.1,5 hal ini dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain faktor endogen seperti kelainan genetik dan faktor eksogen seperti
paparan radiasi, obat – obatan, rokok serta alkohol. Kelainan ini dapat dikoreksi
dengan satu – satunya jalan, yaitu operasi.6

Komplikasi yang dapat terjadi apabila tidak segera dilakukannya koreksi


terhadap kelianan pada jantung adalah adanya hipoksia pada organ – organ tubuh
yang kronis sehingga mempengaruhi kinerja dan fungsi organ, polisitemia, emboli
sistemik serta dapat terjadi abses cerebri.7 Dimana angka kejadian abses cerebri pada
ToF sebanyak 37% dari total kasus.8

Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai sebagai


serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi

1
oleh kapsul otak disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus, dan
protozoa. Abses serebri paling sering terjadi pada anak berusia 4 sampai 8 tahun.9
Negara yang sedang berkembang mempunyai insidensi yang lebih besar
dibandingkan dengan negara maju.10 Di Indonesia belum ada data pasti, namun di
Amerika dilaporkan sekitar 1500-2500 kasus abses serebri per tahun. Prevalensi
diperkirakan 0,3-1,3 per 100.000 orang/tahun. Apabila abses serebri ini tidak segera
diobati dan dievakuasi maka berpotensi besar untuk terjadinya robeknya kapsul abses
ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid, penyumbatan cairan serebrospinal yang
menyebabkan hidrosefalus, edema otak, dan herniasi oleh massa abses otak. Dengan
angka mortalitas mencapai 10 – 60%.9 Bakteri penyebab yang sering dijumpai adalah
golongan streptokokus aerobik, stafilokokus, hemofilus dan nenterobakteria dan
pneumokokus. 10

Tingginya prevalensi ToF dengan komplikasi terseringnya berupa abses serebri


yang mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi serta pengaruhnya
terhadap tumbuh kembang anak, maka dirasa perlu bagi penulis untuk mengkajii
lebih dalam mengenai materi ini sehingga dapat bermanfaat sebagai bahan bacaan
kedepannya.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ABSES SEREBRI


2.1.1 Definisi
Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai sebagai
serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi
oleh kapsul otak disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus, dan
protozoa 9

2.1.2 Epidemiologi
Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering
terjadi pada anak berusia 4 sampai 8 tahun. Patogenesisnya tidak begitu dimengerti
pada 10-15% kasus. Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan
antibiotika telah mengalami kemajuan, namun angka kematiannya masih tetap tinggi,
yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%.9 Negara yang sedang berkembang
10
mempunyai insidensi yang lebih besar dibandingkan dengan negara maju . Di
Indonesia belum ada data pasti, namun di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 1500-
2500 kasus abses serebri per tahun. Prevalensi diperkirakan 0,3-1,3 per 100.000
orang/tahun9.
Menurut Britt, Richard et al., penderita abses otak lebih banyak dijumpai pada
laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1 yang umumnya masih
usia produktif yaitu sekitar 20-50 tahun. Hasil penelitian Hakim A A. terhadap 20
pasien abses otak yang terkumpul selama 2 tahun (1984-1986) dari RSUD
Dr Soetomo Surabaya, menunjukkan pula bahwa jumlah penderita abses otak pada
laki-laki > perempuan dengan perbandingan 11:9, berusia sekitar 5 bulan-50 tahun
dengan angka kematian 35% (dari 20 penderita, 7 meninggal). Dengan
perkembangan pelayanan vaksinasi, pengobatan pada infeksi pediatri, serta pandemik
AIDS, terjadi pergeseran prevalensi ke usia dekade 3-5 kehidupan 9

3
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis
Bakteri penyebab yang sering dijumpai adalah golongan streptokokus aerobik
(S. viridans, S.beta hemolythik), stafilokokus (S. aureus, S. epidermidis), hemofilus
(H. influenza, H. parainfluenza), dan enterobakteria (E. coli, spesies klebsiela, spesies
enterobakteria, sitrobakteria, proteus) dan pneumokokus. Sering kali kita menjumpai
hasil biakan yang steril. Organisme anaerob yang juga sering adalah spesies
bakteroides (B. fragylis, B. melaninogenicus), strep. anaerobic (peptostreptokokus),
peptokokus, fusobakteria, veillomella, eikenella, propioni bakteria, klostridia, dan
spesies aktinomises (A. israelii) 10
Faktor-faktor predisposisi abses serebri adalah penyakit jantung bawaan
dengan shunt kanan ke kiri, infeksi pada telinga tengah, mastoid, sinus paranasal,
orbital, wajah, kulit kepala, cedera yang menembus tengkorak, patah tulang
tengkorak kominutiva, atau operasi intrakranial, termasuk shunt ventrikulo-
peritoneal, sinus dermal dan fungsi imunitas tubuh yang abnormal.8
Kurang lebih sepertiga dari seluruh abses otak merupakan infeksi metastatik
melalui penyebaran bakteri hematogen, terutama sistem vertebrobasiler dari fokus-
fokus infeksi yang letaknya jauh dari kepala, dan biasanya abses ini merupakan jenis
yang multipel dengan lokasi yang khas, yaitu di antara perbatasan antara substansia
putih dan kelabu, lokasi dimana aliran darah kapiler adalah yang paling lambat.
Fokus sistemik sering menjadi sumber infeksi antara lain fokus septik di paru-paru
atau pleura (bronkhiektasis, empiema, abses paru, fistula bronkhopleura),
abnormalitas jantung berupa infeksi atau defek kongenital (seperti Tetralogi Fallot)
yang memungkinkan emboli yang terinfeksi masuk ke dalam lintas pendek sirkulasi
paru dan mencapai otak, pustula-pustula kulit, abses gigi dan tonsil, bakterialis,
divertikulitis, dan osteomielitis tulang-tulang nonkranial. Sejumlah 10-37% dari
kasus abses otak tidak diketahui sumber infeksinya sehingga tidak dapat dipastikan
apakah infeksi sebelumnya sangat minimal sehingga tidak menunjukkan bukti-bukti
klinis atau telah sembuh jauh sebelum abses di otak menjadi manifest.9,11

4
2.1.4 Histopatologis
Proses dimulai dengan serebritis lokal dengan perlunakan, peradangan dan
hiperemi. Perubahan nekrotik dimulai di tengah diikuti pencairan dan pembentukan
nanah. Fibroblast dan gliosis yang melingkari serebritis membentuk kapsul yang
semula tidak rata, tetapi lama - kelamaan menjadi lebih tegas. Biasanya jaringan di
sekitarnya memperlihatkan tanda edema dan jaringan tersebut dimasuki oleh lekosit
polimorfonuklear dan sel plasma, tidak perlu terdapat sel limfosit. Jaringan nekrosis
tersebut membentuk kapsul. Waktu yang diperlukan untuk membentuk jaringan
nekrosis ini adalah antara 4-6 minggu.11

2.1.5 Stadium Abses


Berdasar penelitian eksperimental klasik dan studi klinis oleh Britt dan
Enzmann, mereka mengidentifikasi empat stadium proses patologi abses otak yaitu:
1. Stadium serebritis dini / Early cerebritis (1-3 hari)
- Respon inflamasi perivaskuler mengelilingi pusat nekrotik pada hari ke-3
- Terdapat edema pada substansia alba
- Munculnya pusat nekrotik dan respon inflamasi lokal di sekeliling
pembuluh darah (mencapai puncak pada hari ke-3 dengan adanya edema)
- Pada saat ini lesi tidak dapat dibedakan dari jaringan otak sehat.
2. Stadium serebritis lanjut / Late cerebritis (4-9 hari)
- Pusat nekrotik mencapai bentuk maksimum
- Muncul fibroblas (membentuk kapsul dan menambah neovaskularisasi
perifer dari pusat nekrotik)
- Terdapat respon reaktif astrosit di sekitar edema substansia alba
- Pus membentuk pembesaran dari pusat nekrotik yang dikelilingi oleh zona
sel inflamasi dan makrofag.
- Fibroblas membentuk jaringan retikulin yang perupakan prekursor dari
kapsul kolagen
3. Stadium formasi kapsul dini / Early capsule formation (10-13 hari)
- Penurunan bentuk pusat nekrotik

5
- Terdapat fibroblas dengan deposisi retikulin pada bagian korteks
- Di luar kapsul terdapat serebritis dan neovaskularisasi dengan peningkatan
astrosit reaktif.
- Kapsul semakin menebal di sekitar pusat nekrotik.
- Formasi kapsul tersebut membatasi penyebaran infeksi dan perusakan
parenkim otak.
- Formasi kapsul berkembang lebih lambat pada daerah medial / ventrikel
karena vaskularisasi yang lebih sedikit pada substansia alba yang lebih
dalam.
4. Stadium formasi kapsul lanjut / Late capsule formation (> 14 hari)
- Kapsul menebal dengan reaktif kolagen pada minggu ketiga
- Ditandai dengan 5 zona histologi :
a. Adanya pusat nekrotik
b. Zona perifer dari sel inflamasi dan fibroblast
c. Kapsul kolagen
d. Lapisan neovaskularisasi di luar kapsul dengan cerebritis sisa (residual
cerebritis)
e. Zona edema dan gliosis reaktif di luar kapsul.

Faktor-faktor yang berperan dalam kecepatan dan kematangan pembentukan


kapsul abses otak mencakup organisme penyebab, asal infeksi (ekstensi langsung
atau metastasis), mekanisme pertahanan penderita, pemberian kortikosteroid, dan
terapi antibiotika.11

2.1.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik abses otak bervariasi tergantung pada virulensi organisme,
status imun penderita, lokasi abses, jumlah lesi, adanya meningitis, atau ruptur
ventrikel. Yang sering dikeluhkan adalah demam, nyeri kepala, dan defisit neurologis
fokal. Nyeri kepala biasanya general, kemungkinan karena peningkatan tekanan
intrakranial, demikan juga dengan mual dan muntah. Kejang biasanya general dan

6
lebih sering pada lesi lobus frontalis. Papiledema tidak berkorelasi dengan ukuran
dari abses tapi lebih kepada munculnya nyeri kepala dan muntah.
Dalam perkembangannya, abses otak dapat melalui tiga fase walaupun secara
klinis sulit dibedakan. Fase pertama adalah serebritis, dengan gejala demam,
mengantuk, sakit kepala, kaku, dan kejang. Fase kedua adalah fase pembentukan
kapsul, yang terjadi pada saat fase pertama mulai menurun atau bertambah, yang
terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu, namun abses tetap bertambah secara
perlahan-lahan. Fase yang ketiga adalah dekompresi serebral, dengan tekanan
intrakranial yang meninggi, kelainan fokal dan herniasi unkus dengan penekanan
batang otak, edema papil, hemiparesis, hemianopia, yang lama-kelamaan masuk
dalam keadaan stupor dan gangguan vital.
Gejala-gejala gangguan neurologis tergantung dari daerah korteks dan
subkortikal otak yang terlibat. Goodman mengemukakan empat sindrom kumpulan
gejala yang walaupun tidak spesifik untuk abses otak, tetapi cukup bermanfaat untuk
mengarahkan diagnosa, yaitu:
- Tipe I (Ekspansi Massa Fokal Akut)
Penderita memiliki gejala dan tanda proses desak ruang dari suatu lesi masa
intrakranial yang progresif, dalam beberapa hari sampai beberapa jam. Corak
gejalanya sesuai dengan lokasi lesi abses, misalnya abses di lobus temporal
akan menimbulkan kuadranopsia homonimus superior, abses serebelum akan
menimbulkan tanda-tanda defisit hemisfer serebelum dan sebagainya. Gejala-
gejala tersebut dapat disertai dengan demam yang tidak begitu tinggi (<38°C)
serta khas tidak dibarengi dengan kaku kuduk (kecuali bila ada meningitis), dan
juga kesadaran yang berkabut, sehingga kadang-kadang defisit neurologis
(defisit visuil) yang masih ringan menjadi terlewatkan.
- Tipe II (Hipertensi Intrakranial)
Keadaan ini menampilkan gejala-gejala dan tanda gangguan neurologis yang
berkaitan dengan peninggian tekanan intrakranial seperti nyeri kepala, mual,
muntah, penurunan kesadaran, gangguan daya ingat, dan perubahan
personalitas, serta papiledema.

7
- Tipe III (Destruksi Difus)
Keadaan ini menampilkan gejala-gejala yang mengandung komponen destruksi
yang progresif seperti gangguan neurologis yang tidak sesuai dengan estimasi
klinis dari keadaan tekanan intrakranialnya. Perburukan akan terus berlanjut
secara progresif tanpa diikuti terjadinya herniasi otak.
- Tipe IV (Defisit Neurologis Fokal)
Gejala yang ada berkembang lambat sehingga seringkali diinterpretasi sebagai
suatu neoplasma yang tumbuh lambat.10

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium rutin dan likuor biasanya tidak memberikan hasil
yang spesifik. Pada fase awal tekanan intrakranial akan meninggi, hitung sel berkisar
antara 20-300 per milimeter kubik (10—80% neutrofil) dan protein meninggi sedikit
(jarang lebih dari 100 mg/dL). Kadang juga terdapat leukositosis. Cairan
serebrospinal biasanya jernih dan steril, kecuali bila abses pecah yang akan
menyebabkan terjadinya meningitis. Tekanan cairan serebrospinal sering kali
meningkat, dengan kadar protein yang sedikit meninggi. Pada stadium awal, jumlah
sel polimorfonuklear lebih banyak, namun bila sudah terbentuk kapsul, maka jumlah
limfosit akan lebih banyak. Pengukuran kadar C-reaktif Protein (CRP) diterapkan
untuk membedakan abses otak piogenik dengan tumor otak atau lesi massa lainnya
berkaitan dengan peningkatan kadarnya di dalam plasma sewaktu ada proses infeksi
akut dan kronis, dan sangat membantu pada kasus-kasus stadium dini. Foto kepala
tidak menolong kecuali bila terdapat kenaikan tekanan intrakranial yang berlangsung
lama. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengungkapkan penyebab infeksi intrakranial,
khususnya mengenai penyakit-penyakit inflamasi daerah sinus-sinus paranasal,
piramid, osteomielitis tulang tengkorak, cedera kepala terbuka, serta deteksi benda
asing atau fragmen tulang di dalam kepala, serta peninggian tekanan intrakranial atau
gas dalam kavitas abses. Namun kepentingannya hanya sedikit untuk upaya
mendeteksi absesnya sendiri. EEG dapat menunjukkan lokasi abses, dengan
memperlihatkan gelombang delta voltase tinggi pada tempat lesi supuratif.10 CT scan

8
sangat bermanfaat untuk memastikan diagnosis abses otak dan melokalisir abses-
abses otak piogenik. Apabila sudah terbentuk kapsul, daerah tersebut akan dilingkari
oleh daerah dengan densitas yang lebih tinggi. Pemeriksaan angiografi serebral hanya
dilakukan sebagai tambahan CT scan, yang dapat menunjukkan lokasi massa
avaskuler (yang terdiri dari abses dan edema sekelilingnya), dan dalam fase arteriil
kadang ditampilkan area neovaskularisasi yang mengelilingi zona nekrosis sentral.12
Deteksi abses yang lebih akurat adalah dengan brain scintigraphy. Hasil positif bila
terdapat gambaran kue donat (doughnut sign). Pemeriksaan tersebut menampilkan
stadium evolusi perkembangan abses. Gambaran scanogram tanpa zat kontras abses
ditampilkan sebagai bagian yang isodens atau bahkan mempunyai densitas yang lebih
padat daripada jaringan otak normal, sedangkan pada scanogram dengan
menggunakan zat kontras, abses tampak sebagai suatu lesi dengan dinding yang rata,
tipis dan reguler. Edema tampak sebagai penurunan densitas gambar di tengah lesi
(materi-materi piogenik) dan substansia putih di sekitarnya. Penampilan tambahan
lain yang memberikan kesan lebih meyakinkan akan diagnosa abses otak adalah
adanya gas dalam lesi (fistula dura) dan juga enhancement ventrikuler atau meningeal
terutama bila dihubungkan dengan gejala-gejala meningitis. Pemeriksaan MRI
unggul dalam menegakkan diagnosa lebih dini dan akurat serta lebih definitif untuk
menentukan penyebaran dan tampilan kompleks proses inflamasi, khususnya dengan
penggunaan zat kontras. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk investigasi
diagnostik lesi-lesi intraserebral lainnya. MRI dapat membedakan antara bekuan
darah dan free flowing blood seperti malformasi arterio-venosus, tumor, atau lesi-lesi
nonvaskuler.10
Diagnosis abses otak terutama didasarkan atas gambaran klinis. Pada abses
otak yang disebabkan oleh penyakit jantung bawaan sianotik harus ada gambaran
tentang penyakit jantung tersebut. Gambaran CT scan dan MRI pada abses otak
menunjukkan daerah dengan densitas rendah yang dikelilingi oleh kapsul. MRI
berguna untuk menentukan kepastian lokasi abses pada otak. Untuk mengetahui
adanya penyakit jantung bawaan, dilakukan pemeriksaan foto toraks, EKG
(Electrocardiography), dan ekokardiografi.10

9
2.1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan abses otak adalah mengurangi efek masa dan menghilangkan
kuman penyebab. Penatalaksanaan abses otak dapat dibagi menjadi terapi bedah dan
konservatif. Untuk menghilangkan penyebab, dilakukan operasi baik aspirasi maupun
eksisi dan pemberian antibiotic.10,12
Pemantauan ketat harus dilakukan terhadap keadaan umum dan tanda vital
penderita. Semua penderita dengan abses otak diberikan antibiotik spektrum luas.
Sering ditemui kesulitan pada pemberian antibiotik karena antibiotik harus dapat
menembus sawar otak, mampu menembus kapsul bila abses telah berkapsul, dan
mempunyai spektrum yang luas karena adanya berbagai macam mikroorganisme
penyebab abses. Penyuntikan antibiotik langsung ke dalam abses otak tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan fokus epileptogenesis.
Black (1973) melaporkan bahwa nafsilin tidak dapat masuk ke dalam abses,
sedangkan kloramfenikol, penisilin, dan metisilin dapat masuk. Sefalosporin dan
aminoglikosida tidak dapat menembus kapsul, sedangkan linkomisin dan asam
fusidat dapat menembus kapsul. Kuman dapat tetap ada dalam abses walaupun
tercapai konsentrasi antibiotik adekuat dalam abses dan kuman tersebut sensitif
terhadap antibiotik yang diberikan. Abses dengan diameter antara 0,8-2,5 cm
dilaporkan bisa sembuh dengan pemberian antibiotik, sedangkan yang lebih besar
memerlukan pembedahan.
Rosenblum (1980) mengajukan kriteria penderita yang merupakan kandidat
untuk pengobatan dengan antibiotika saja, yaitu bila diperkirakan operasi akan
memperburuk keadaan, terdapat abses multipel terutama yang jaraknya berjauhan
satu sama lain, abses disertai dengan meningitis, abses yang lokasinya sulit dicapai
dengan operasi atau operasi diperkirakan akan merusak fungsi vital, serta abses yang
disertai dengan hidrosefalus yang mungkin akan terinfeksi bila dioperasi. Konsultasi
kepada ahli bedah saraf dilakukan untuk mengetahui kemungkinan dilakukannya
pengeluaran abses dari jaringan otak dengan pembedahan.10

10
Pemberian cairan harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat anak mungkin
menderita kelainan jantung dan kemungkinan tekanan intrakranial yang meninggi.
Pada penderita yang diduga atau terbukti mengalami peningkatan tekanan
intrakranial, dapat diberikan kortikosteroid atau cairan hiperosmoler, misalnya
manitol. Pengobatan penunjang serta perawatan yang baik perlu dilakukan dengan
seksama termasuk pengobatan simtomatik terhadap edema dan kejang .10

2.1.9 Prognosis
Mortalitas lebih tinggi pada penderita yang menunjukkan perjalanan penyakit
yang cepat. Penderita yang mempunyai gejala lebih dari 2 minggu dan
memperlihatkan abses berkapsul mempunyai prognosis yang lebih baik. Keadaan
umum penderita juga menentukan prognosis. Penderita dalam keadaan koma
preoperatif atau dengan gangguan kekebalan mempunyai prognosis buruk.
Keterlambatan operasi dapat pula menyebabkan kematian. Kematian disebabkan oleh
karena ruptur abses ke dalam ventrikel atau ruang subaraknoid, herniasi atau sepsis.
Kejang dapat terjadi selama atau setelah pembentukan abses. Paska operasi terdapat
serangan kejang pada 30-50% penderita. Kejang dapat terjadi setelah 4 tahun
pengobatan. Penderita mengalami kejang paska operasi, 50% berupa kejang umum
dan 30% menunjukkan epilepsi parsial kompleks atau epilepsi fokal.

2.1.10 Komplikasi
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya
adalah robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid,
penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus, edema otak, dan
herniasi oleh massa abses otak.11

2.2 TETRALOGY OF FALLOT (TOF)


Tetralogy of Fallot (ToF) merupakan penyakit jantung kongenital tipe
sianotik yang paling sering terjadi pada seluruh kelompok umur, mencakup 8% dari
total penyakit jantung bawaan. ToF terjadi pada 0,19-0,26/1000 kelahiran.1

11
Gambar 2.1 Tetralogy of Fallot (ToF)9

Penyebab pasti terjadinya ToF masih berlum diketahui secara pasti, tetapi
diduga di pengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor endogen, seperti kelainan
genetik (Down Syndrome, Turner Syndrome) dan faktor eksogen seperti pengaruh
obat – obatan selama masa kehamilan, infeksi virus Rubella dan pajanan terhadap
sinar rontgen.2 Faktor resiko terjadinya Tetralogy of Fallot antara lain ibu yang
merokok, minum alkohol dan obesitas saat masa kehamilan.2
Tetralogi fallot merupakan kombinasi 4 komponen, yaitu defek septum
ventrikel, dekstroposisi aorta (over-riding aorta), stenosis pulmonal, dan hipertrofi
ventrikel kanan. Komponen yang paling penting yang menentukan derajat beratnya
penyakit adalah stenosis pulmonal bahkan dapat berupa atresia pulmonal.1,3
Defek ToF diawali penyempitan katup saluran keluar ventrikel kanan menuju
arteri pulmonalis. Hal ini mengakibatkan darah miskin oksigen tidak dapat memasuki
sirkuit paru-paru. Sehingga obstruksi ini menyebabkan hipertropi miokardium dari
ventrikel kanan untuk mendorong darah melewati obstruksi akibat stenosis. Selain
itu, pasien dengan ToF memiliki defek septum ventrikel yang memungkinkan
shunting darah antar ventrikel. Pada pasien dengan VSD terisolasi, aliran darah
awalnya terdorong dari arah kiri ke kanan. Namun akibat obstruksi saluran menuju
arteri pulmonalis mengakibatkan impedensi aliran yang berlawanan. Darah dari

12
ventrikel kanan akan masuk ke dalam ventrikel kiri, menciptakan shunt dari kanan-
ke-kiri. Akhirnya, aorta tertimpa aliran (aorta overriding) akibat defek septum
ventrikel. Hal ini memungkinkan darah miskin oksigen didorong dari ventrikel kanan
untuk segera keluar dari jantung bercampur darah dari ventrikel kiri. Penentu paling
penting derajat keparahan dan klinis ToF adalah derajat obstruksi ventrikel kanan.
Apabila obstruksi ringan, darah akan terdorong dari kiri ke kanan dan dapat
memasuki sirkulasi paru-paru, memungkinkan untuk terjadi oksigenasi.1,4
Manifestasi klinis Tetralogy of Fallot sangat bervariasi sesuai dengan tingkat
derajat keparahannya. Pada ToF dengan stenosis pulmonal yang ringan bisa tidak
didapatkan adanya gejala klinis atau asimtomatik. Pada ToF dengan stenosis
pulmonal berat bahkan hingga terjadi atresia pulmonal dapat di jumpai keluhan
berupa intoleransi aktifitas, pertumbuhan yang terhambat, serta infeksi nafas
berulang. Sedangkan dari pemeriksaan fisik sering kali ditemuka gejala klinis berupa
sianosis berat, clubbing finger, dyspnea, hypoxic atau cyanotic spell, precordial
bulging, murmur derajat 3 hingga 5 serta suara jantung tambahan lainnya.5
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
kelainan jantung bawaan antara lain foto rontgen thorax, Electrocardiography,
Echocardiography, Cardia Magnetic Resonance, CT Scan serta Cardiac
Catheterization.7

2.3 HUBUNGAN TOF DENGAN ABSES OTAK


Penyakit jantung bawaan tipe sianotik yang tidak dikoreksi merupakan faktor
predisposisi penting dalam terjadinya abses otak. Faktor ini berpengaruh pada sekitar
25 – 46 % dari total keseluruhan kasus.1,2,3,4,5,6,7 Pada penelitian yang di lakukan di
Pakistan didapatkan sebesar 37% pasien dengan abses otak memiliki penyakit jantung
bawaan sianotik yang belum dikoreksi.8 Resiko untuk terjadinya abses otak pada
penyakit jantung bawaan sianotik tidak selalu ditemukan, tetapi lebih sering
ditemukan pada anak usia setelah 2 tahun dan resikonya terus meningkat hingga usia
12 tahun.12

13
Hal yang meyebabkan terjadinya abses otak pada pasien jantung bawaan
sianotik salah satunya adalah hipoksia sehingga sebagai konsekuensinya terjadilah
polisitemia dan hiperkonsentrasi darah, karena konsentrasi darah yang meningkat
maka aliran darah menjadi lebih lambat. Aliran darah yang lebih kental dan lambat
ini mengalir ke pembuluh darah kecil di otak yang mengakibatkan terbentuknya
mikrothrombus dan fokal encephalomalasia. Hal ini juga mengakibatkan
terganggunya permebilitas blood brain barrier di otak.12 Selain itu, adanya perubahan
aliran darah di jantung dari kanan ke kiri menyebabkan darah tidak melewati fagosit
yang terdapat di paru, sehingga bakteri yang terbawa dalam aliran darah ini dapat
tumbuh di tempat terjadinya mikrothrombus sehingga terjadi fokal cerebritis.1,3 Pada
jaringan otak yang mengalami hipoksia akan menyebabkan respon fisiologis untuk
melebarkan pembuluh darah pada bagian tersebut dengan tujuan agar mendapatkan
suplai oksigen lebih, tetapi dengan adanya pelebaran serta aliran darah yang
melambat menyebabkan bakteri yang terdapat di dalam aliran darah lebih mudah
untuk bermigrasi, tumbuh dan berkembang di jaringan otak tersebut sehingga terjadi
abses otak. Pada penelitian sebelumnya didapatkan bahwa pada anak dengan penyakit
jantung bawaan tipe sianotik memiliki penurunan fungsi leukosit untuk
memfagositosis dan membunuh bakteri.13 Meskipun hal ini dapat terjadi pada semua
penyakit jantung bawaan tipe sianotik, penyakit jantung bawaan tersering yang
terlibat adalah Tetralogy of Fallot.3,4
Mikroba tersering penyebab abses otak yang berkaitan dengan penyakit
jantung bawaan tipe sianotik adalah Streptococcus Milleri, bakteri lain yang juga
banyak di temukan adalah Staphylococcus, Mycobacterium Tuberculosis serta
Haemophillus.6 Dengan lokasi abses otak terbanyak terletak di regio parietal
sebanyak 55% dari total kasus, pada kasus lain dimana terdapat multiple abses otak
biasanya ditemukan pada pasien – pasien immuno-compremised dan infective
myocarditis.13,14
Manajemen abses otak pada penderita penyakit jantung bawaan tipe sianotik
memiliki masalah tersendiri. Pada pasien – pasien ini tidka hanya memiliki resiko
cardiopulmonar saja tetapi juga permasalah defek koagulasi, semua masalah ini

14
memiliki resiko tinggi untuk dilakukannya anestesi dan operasi untuk proses evakuasi
abses. Penanganan operasi masih dipilih secara luas diberbagai negara karena dapat
memberikan efek yang nyata dengan cepat serta memperoleh hasil kultur yang akurat
untuk penanganan selanjutnya. Tetapi penanganan secara medikamentosa saja dapat
juga menjadi pilihan utama pada kasus ini hanya jika pasien memiliki tingkat
kesadaran yang stabil serta dari hasil CT Scan didapatkan luas abses kurang dari 2cm
dengan pemantauan penuh menggunakan CT Scan selama pengobatan. Apabila
terdapat gejala penurunan kesadaran ataupun didapatkan abses yang meluas dari hasil
CT Scan, maka operasi menjadi harus segera dilakukan.6,12,13,14
Pemberian antibiotik amphicillin dan chlorampenicol terbukti dapat
memperbaiki gejala klinis abses otak secara signifikan.13
Operasi untuk mengkoreksi penyakit jantung bawaan ini merupakan satu –
satunya cara untuk menghindari terjadinya abses otak dan komplikasi yang lebih
berat.8

15
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita


Inisial : PJIG
Umur : 5 tahun 6 bulan 7 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Manggis, Karangasem
No RM : 01400538
MRS : 22 Januari 2016 (pukul 12.53 WITA)
Tanggal Pemeriksaan : 25 Januari 2016

3.2 Anamnesis
Heteroanamnesis (ibu pasien)
Keluhan utama: Muntah-muntah
Pasien dikeluhkan muntah-muntah sejak sehari sebelum SMRS (21/01/2016).
Muntah dikeluhkan 7 kali dengan volume sekitar setengah gelas setiap kali muntah,
berisi makanan dan minuman yang dimakan, tidak ditemukan darah dalam
muntahnya. Pasien mengeluh badan terasa lemas pada pagi harinya. Pasien
mempunyai riwayat demam sejak selasa (19/01/2016) selama satu hari, demam turun
dengan obat penurun panas. Batuk dan pilek disangkal, BAB dan BAK dikatakan
normal. Nafsu makan pasien berkurang sejak sakit dan minum dikatakan normal.
Pasien kebiruan pada tangan dan kaki memang menetap sejak kecil. Riwayat sesak
napas mendadak disangkal, sering jongkok disangkal. Pasien selama di triage anak
tidak didapatkan demam dan muntah.

16
Riwayat pengobatan
Untuk keluhan muntah, pasien sudah berobat ke bidan dan dokter umum dan di beri
dompenidon. Pasien tetap meminum obat sakit jantung berupa puyer 1 macam, 1 kali
sehari (ibu pasien lupa namanya).

Riwayat penyakit sebelumnya


Pasien terdiagnosis penyakit jantung sejak tahun 2010, saat itu dengan keluhan
kebiruan dangan hasil echocardiografi dengan ToF, echo terakhir bulan Januari 2011,
setelah itu penderita tidak pernah kontrol.

Riwayat penyakit dalam keluarga


Riwayat alergi disangkal oleh ibu pasien. Riwayat penyakit keluarga seperti penyakit
herediter, gagal jantung, demam rematik, asma, diabetes melitus, hipertensi atau
penyakit sistemik lainnya disangkal oleh ibu pasien.

Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, adiknya dikatakan dalam keadaan
sehat.

Riwayat persalinan
Pasien lahir normal di bidan pada saat umur kehamilan 9 bulan, segera menangis,
berat badan lahir 3100 gram dan panjang badan lahir 49 sentimeter. Riwayat infeksi,
merokok, dan mengkonsumsi alkohol, obat-obatan ataupun jamu-jamuan pada saat
hamil disangkal ibu pasien.

Riwayat imunisasi
Riwayat imunisasi dasar:
 BCG : 4 kali
 Polio : 4 kali
 Hepatitis B : 4 kali

17
 DPT : 3 kali
 Campak : 1 kali

Riwayat nutrisi
Ibu pasien mengatakan sejak lahir pasien diberikan susu eksklusif, selama durasi 9
bulan, dengan frekuensi on demand. Nasi tim mulai diberikan saat usia 7 bulan
dengan frekuensi 2-3 kali per hari.

Riwayat tumbuh kembang


Menegakkan kepala : 3 bulan
Membalikkan badan : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 14 bulan
Bicara : 12 bulan
3.3 Pemeriksaan fisik
Status present
- KU : tampak sakit sedang
- Kesadaran : compos mentis GCS E4V5M4 (14/14)
- Nadi : 62 x/menit, isi cukup
- RR : 38 x/mnt
- T˚ax : 36 C
- Saturasi O2 : 86% pada udara ruangan
Status Antropometri
- BB : 15.9 kg
- BBI : 14.5 kg
- TB : 96 cm
Status gizi menurut
1. Waterlow: 15.9/18 x 100% = 88% (gizi kurang)

18
2. CDC Growth Chart
- Berat badan ~Umur : terletak di bawah persentil 3
- Tinggi badan ~ Umur : terletak antara persentil 3
- Berat badan~Tinggi badan : terletak antara persentil 50 dan 75
Status general
Kepala : normochepali
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterus -/-, reflek pupil +/+
isokor,
THT
Telinga : bentuk normal, sekret -/-
Hidung : napas cuping hidung (-).
Tenggorokan : faring hiperemis (+), tonsil hiperemis (+) T2/T2
Lidah : sianosis (-)
Bibir : mukosa basah
Leher
Inspeksi : benjolan (-), bendungan vena jugularis (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar (-)
Kaku Kuduk : (-)
Thorak : simetris (+), precordial bulging (-)
Cor
Inspeksi : retraksi (-)
Palpasi : ictus cordis teraba
Auskultasi : S1 S2 normal regular, murmur (+) sistolik grade II/6
Pulmo
Inspeksi : gerakan dada simetris
Palpasi : fokal fremitus simetris normal.
Perkusi : perkusi paru sonor +/+
Auskultasi : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), peristaltik (+) N.

19
Turgor : kembali cepat
Auskultasi : bising usus (+) normal.
Palpasi : nyeri tekan -/-, hepar teraba permukaan rata, lien tidak
teraba, cubitan perut kembali cepat.
Perkusi : perkusi perut timpani
Kulit : sianosis (+)
Extremitas : akral hangat (+), oedema(-), sianosis (+) capillary refill
time <2 detik, clubbing finger (+), sianosis (+)
Genitalia eksterna : laki-laki, G1P1

Cester Score
Usia :1
Demam :1
Tidak batuk :1
Tonsil :1
Pembesaran kelenjar :0 (total: 4)

3.4 Pemeriksaan penunjang


Darah lengkap (22/01/16)
- RBC : 9.15 106/µL
- WBC : 9.6 x 103/µL
- Neu : 7.04 x 106/µL
- HGB : 20.5 g/dL
- HCT : 73,2 %
- PLT : 277 x 103/µL
- kreatinin: 0.24 mg/dL
- SGOT : 15.2 U/L
- SGPT : 4.6 U/L
- Albumin: 3.41 g/dL
- Na : 135 mmol/L

20
Echocardiography (Januari 2011)
Hasil: Tetralogi of Fallot

CT scan (23/01/16)
Pemeriksaan MSCT scan kepala irisan aksial, tanpa dan dengan kontras:
Kesimpulan: abses serebri parieto-occipital kiri, ukuran 61.4 x 44.9 mm,
menyebabkan deviasi midline struktur ke kanan sejauh 16.1 mm, serta
oedema cerebri

3.5 Assesment :
Tetralogy of Fallot + Polisitemia + Observasi vomiting et causa
tornsilofaringtis akut + Gizi kurang

3.6 Penatalaksanaan
- MRS
- Kebutuhan cairan maintenance 1300 ml/hari
o mampu minum 600-700ml/hari
o IVFD DS 1/4NS 500ml/hari ~ 7tetes /min
- Kebutuhan kalori 1305 kkal/hari, protein 14.5 g/hari  nasi 3x1 porsi
- Plebhotomi target Hct 55% = (73-55) x 16 x 80 /73 = 315 mL
- Eritromicin syrup 160mg (4ml) @ 6 jam oral
- Paracetamol syrup 160mg (cth 1.5) bila suhu > 28 C + kompres hangat,
dapat diulang @ 4 jam
- Cek faal Hemastasis
- Konsul kardiologi

21
3.7 Perkembangan Pasien di Ruangan
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning

23/01/16 Muntah (-), St. Present Tetralogy of Terapi:


Pk 07.00 sesak (-), HR: 70x/mnt Fallot + -MRS
demam (-), RR: 34 x/mnt Polisitemia + -Kebutuhan cairan
batuk dan T.ax: 37˚C Observasi maintenance 1300
pilek (-) TD: 100/70mmHg vomiting et ml/hari – mampu
GCS: E4V5M5 causa minum 600-
tornsilofaring 700ml/hari
St. General tis akut + - IVFD DS1/4NS
Mata: anemis -/-, sklera ikterus Gizi baik 500ml/hari 7tetes
(-), Rp +/+ isokor /min
THT: NCH(-) -Kebutuhan kalori
Thorax: simetris (+), retraksi (-) 1305 kkal/hari,
Cor: S1S2 tunggal reguler protein 14.5 g/hari,
murmur (+) pada ICS III-IV nasi 3x1 porsi
PSL sinistra grade II/6 -Plebhotomi target
Pulmo: bves +/+, Rh -/-, Wh -/- Hct 55% = (73-55)
Abdomen: distensi (-), BU (+) x 16 x 80 /73 =
N, hepar teraba permukaan 315 mL
rata, lien ttb -Eritromicin syrup
Ekstremitas: hangat (+), 160mg (4ml) @ 6
CRT < 2 dtk jam oral
-Paracetamol syrup
160mg ( cth 1.5)
bila suhu > 28°C +
kompres hangat @
4 jam

22
Monitoring:
-Vital sign
-Keluhan
23/01/16 Muntah (-), St. Present Tetralogy of -Kebutuhan cairan
Triage demam (-), HR: 65x/mnt Fallot + maintenance 1300
Anak ke batuk dan RR: 32 x/mnt Polisitemia + ml/hari – mampu
Cpk III pilek (-) T.ax: 36.2˚C Observasi minum 600-
GCS: E4 V5 M5 vomiting et 700ml/hari
St. General causa - IVFD DS1/4NS
Mata: Anemis -/-, ikterus -/-, tornsilofaring 500ml/hari 7tetes
THT: NCH(-), sekret (-) tis akut + /min
Thorax: simetris (+), retraksi (-) Gizi baik -Kebutuhan kalori
Cor: S1S2 tunggal reguler 1305 kkal/hari,
murmur (+) pada sistolik protein 14.5 g/hari,
grade II/6 nasi 3x1 porsi
Pulmo: bves +/+, Rh -/-, Wh -/- -Plebhotomi target
Abdomen: distensi (-), BU (+) Hct 55% = (73-55)
N, hepar dan lien ttb x 16 x 80 /73 = 315
Ekstremitas: hangat (+), mL
CRT < 2 dtk -Eritromicin syrup
160mg (4ml) @ 6
jam oral
-Paracetamol syrup
160mg ( cth 1.5)
bila suhu > 28 C
+ kompres hangat
@ 4 jam
-Propanolol 5mg @
12 jam

23
-Preparat besi
3mg/mg bb/ kali
48mg @ 24 jam

Monitoring:
-Vital sign
-Keluhan

Diagnostik:
-CT Scan kepala
+kontras
24/01/16 Demam (-), St. Present Tetralogy of -Kebutuhan cairan
06.00 muntah (-), HR: 65x/mnt Fallot + maintenance 1300
spell (-) RR: 32 x/mnt Polisitemia + ml/hari – mampu
T.ax: 36.2˚C Observasi minum 600-
GCS: E4 V5 M5 (14/14) vomiting et 700ml/hari
Sat: 79% (udara ruangan) causa - IVFD DS1/4NS
St. General tornsilofaring 500ml/hari 7tetes
Mata: Anemis -/-, ikterus -/-, tis akut + makro /min
THT: NCH(-), sekret (-) Gizi baik -Kebutuhan kalori
Thorax: simetris (+), retraksi (-) 1305 kkal/hari,
Cor: S1S2 tunggal reguler protein 14.5 g/hari,
murmur (+) pada sistolik nasi 3x1 porsi
grade II/6 -Plebhotomi target
Pulmo: bves +/+, Rh -/-, Wh -/- Hct 55% = (73-55)
Abdomen: distensi (-), BU (+) x 16 x 80 /73 = 315
N, hepar dan lien ttb mL
Ekstremitas: hangat (+), -Eritromicin syrup
CRT < 2 dtk 160mg (4ml) @ 6

24
jam oral
BC: (23.00-06.00) -Paracetamol syrup
CM 400cc 160mg ( cth 1.5)
CK 200cc bila suhu > 28 C
IWL 93.75 + kompres hangat
BC +106 cc @ 4 jam
PU 2.22 cc/kg/jam -Propanolol 5mg @
12 jam
-Preparat besi
3mg/mg bb/ kali
48mg @ 24 jam

Monitoring:
-Vital sign
-Keluhan

Diagnostik:
-CT Scan kepala
+kontras

Konsul Ts bedah
saraf
28/01/16 Orang tua pasien menolak
rencana operasi, keluarga minta
pulang paksa

25
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Diagnosis
Berdasarkan kasus yang telah dipaparkan di atas, melalui hasil
heteroanamnesis pasien didapatkan keluhan utama pasien adalah muntah dan lemas
sejak 1 hari SMRS. Keluhan kebiruan dikatakan menetap sejak pasien masih bayi.
Awalnya kebiruan dikatakan terjadi pada ujung jari tangan dan kaki pasien pada pagi
hari, dan kebiruan berkurang pada siang harinya. Namun, semakin lama keluhan ini
juga terjadi pada bibir pasien dan menjadi lebih sering muncul. Ibu pasien
mengatakan, kebiruan memberat saat pasien baru bangun di pagi hari dan saat pasien
berkativitas.
Nafsu makan pasien dikatakan menurun, tetapi minum masih seperti biasa.
BAB dikatakan normal satu kali per hari dengan konsistensi keras, tidak disertai
darah ataupun warna kehitaman. BAK dikatakan normal berwarna kuning jernih
tanpa kemerahan, volume dikatakan banyak. Keluhan lain seperti batuk, pilek, , dan
mencret disangkal oleh orang tua pasien. Riwayat alergi disangkal oleh ibu pasien.
Riwayat penyakit keluarga seperti penyakit herediter, gagal jantung, demam
rematik, asma, diabetes melitus, hipertensi atau penyakit sistemik lainnya disangkal
oleh ibu pasien. Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pada awal gejala
pasien sempat diperiksakan ke dokter umum dan bidan, kemudian diberi obat
domperidone dan paracetamol tetapi tidak membaik. Sejak 2010, pasien dikeluhkan
mengalami kebiruan dan didiagnosis dengan penyakit jantung, tetapi setelah itu
pasien tidak pernah lagi kontrol ke dokter spesialis anak. Riwayat persalinan
dikatakan bayi lahir normal sesuai dengan umur kehamilan tanpa dicurigai adanya
kelainan kongenital. Selama kehamilan ibu menyangkal memilik riwayat infeksi,
merokok, dan mengkonsumsi alkohol, obat-obatan ataupun jamu-jamuan.
Berdasarkan teori complex cyanotic heart defect merupakan salah satu bagian
dari penyakit jantung bawaan yang menyebabkan kondisi sianotik sentral akibat
adanya pirau kanan ke kiri, misalnya pada Tetralogi of Fallot, transposisi arteri besar,

26
dan atresia pulmoner, dan atresia trikuspid. Pada sebagian besar kasus, penyebab dari
penyakit jantung bawaan tidak dapat diketahui secara pasti. Namun terdapat beberapa
faktor resiko yang menyebabkan terjadinya penyakit jantung bawaan seperti riwayat
obesitas atau diabetes mellitus pada ibu, merokok. Riwayat mengkonsumsi beberapa
jenis obat, mengkonsumsi alkohol, mengalami penyakit infeksi (seperti Rubela) atau
terpajan sinar Rontgen selama kehamilan diduga sebagai penyebab eksogen
terjadinya PJB. Sedangkan penyebab endogen yang berhubungan dengan kejadian
PJB yaitu berbagai jenis penyakit genetik dan sindrom tertentu seperti sindrom
Down, Turner, dan lain-lain.
Penyakit jantung bawaan sianotik kompleks memiliki gambaran klinis berupa
gangguan dari hemodinamik yang menggambarkan derajat kelainan. Pada anak akan
terlihat gejala utama berupa sianosis. Sianosis timbul akibat saturasi darah yang
menuju sistemik rendah. Sianosis yang timbul pada penyakit jantung bawaan bersifat
sentral dimana sianosis muncul hilang timbul dan muncul apabila terdapat kondisi
yang menyebabkan bayi mengalami hipoksemia. Sianosis sentral akibat PJB mulai
muncul pada anak usia antara 2-6 bulan. Sianosis sentral umunya tidak disertai
dengan distress pernafasan namun adanya hipoksemia pada paru-paru menyebabkan
terjadinya peningkatan frekuensi nafas hingga menimbulkan gejala sesak. Sianosis
mudah dilihat pada selaput lendir mulut, bukan di sekitar mulut, atau pada ujung-
ujung jari tangan dan kaki . Pada pasien ini sesuai dengan teori, dimana gejala yang
dialami pasien yaitu sesak yang didahului dengan gejala sianosis berupa kebiruan
pada ujung-ujung jari tangan dan kaki serta mukosa bibir. Namun gejala berkurang
ketika pasien tenang atau saat tidak melakukan akitifitas.
Berdasarkan teori pada penyakit jantung bawaan sering terjadi gangguan
toleransi latihan yang merupakan gejala dari gagal jantung dan menentukan derajat
dari kelainan jantung. Gangguan toleransi latihan dapat ditanyakan pada orangtua
dengan membandingkan pasien dengan anak sebaya, apakah pasien cepat lelah, napas
menjadi cepat setelah melakukan aktivitas yang biasa, atau sesak napas dalam
keadaan istirahat. Pada bayi dapat ditanyakan saat bayi menetek. Apakah ia hanya
mampu minum dalam jumlah sedikit, sering beristirahat, sesak waktu mengisap, dan

27
berkeringat banyak. Sedangkan pada pasien ini dikatakan bahwa pasien sering
tampak kelelahan saat diajak bermain yang menunjukan terjadinya gangguan
toleransi latihan. Frekuensi nafas pasien juga menjadi lebih cepat saat pasien
kelelahan atau saat pasien menangis.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik pada saat pasien datang pertama kali
dirawat di RSUP Sanglah diperoleh hasil pemeriksaan kondisi umum pasien diaman
pasien tampak sakit sedang dengan suhu tubuh normal (36,50C) dan dengan saturasi
oksigen 86% pada udara ruangan. Pada pemeriksaan mata normal. Pada pemeriksaan
hidung tidak ditemukan napas cuping hidung dan pada pemeriksaan bibir tampak
mukosa bibir sianosis. Pada pemeriksaan jantung, inspeksi terlihat adanya murmur
(+) sistolik grade II/6 di PSL sinistra. Pada pemeriksaan paru dalam batas normal.
Pada ekstremitas didapatkan clubbing finger.
Berdasarkan teori, laju napas lebih dari 40 saat istirahat mengindikasikan ada
kelainan, dan laju napas lebih dari 60 pada keadaan apapun merupakan tidak normal
pada semua usia. Takikardi dan takipnea merupakan gejala awal dari gagal jantung
kiri, jika pasien dyspnea dan terdapat retraksi merupakan tanda kegagalan jantung kiri
yang lebih berat. Pada auskultasi jantung terdengar bising jantung yang merupakan
tanda pentimg dalam menentukan penyakit jantung bawaan. Lokasi bising, derajat
serta penjalarannya dapat menentukan jenis kelainan jantung. Pada kasus Tetralogi of
Fallot (ToF) terdengar murmur ejeksi sistolik grade III-IV PSL kiri atas disebabkan
karena aliran ke ventrikel kanan. Murmur holosistolik pada VSD terdengar pada
parsternal line kiri bawah dan terdengar sedikit keras. Murmur diastolik diawal fase
ToF biasanya belum terjadi kecuali pada ToF yang disertai dengan tidak adanya
katup pulmonal. Selain itu pada pemeriksaan ekstremitas akan ditemukan clubbing
finger, yang merupakan tanda dari sianosis sentral, pada jari tangan dan kaki dan
muncul setelah 6 bulan mengalami desaturasi. Kemerahan pada ujung jari-jari
merupakan fase awal terjadinya clubbing.
Hasil laboratorium didapatkan pemeriksaan darah lengkap ditemukan
peningkatan pada sel darah merah (RBC 9,15 x 106/µL), hemoglobin (20.5 g/dL) dan
hematokrit (73,2%). Sedangkan dari pemeriksaan faal hemostasis ditemukan

28
pemanjangan dari PTT (23.8, kontrol 11.4) dan APTT (50.7, kontrol 31). Hasil
pemeriksaan tersebut menunjukan terjadinya polisitemia dan trombositopenia. Dari
pemeriksaan ekokardiografi didapatkan hasil yaitu ToF.
Hasil ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa sianosis yang terjadi
pada pasien penyakit jantung bawaan akan menyebabkan terjadinya eritrositosis
sekunder yang merupakan respon fisiologis terhadap hipoksia jaringan. Terjadinya
hipoksia menyebabkan peningkatan kadar eritropoetin yang kemudian menstimulasi
eritropoesis pada sumsum tulang sehingga terjadi peningkatan jumlah sel darah
merah, hematokrit dan viskositas darah. Peningkatan jumlah sel darah merah pada
sirkulasi akan meningkatkan kapasitas sirkulasi oksigen.10 Selain itu akan terjadi
kelainan hemostatik yang kompleks berkaitan dengan kelainan pada trombosit
(trombositopenia), koagulasi pathway, dan mekanisme koagulasi abnormal lainnya.
Pemeriksaan ekokardigrafi akan memberikan informasi anatomi secara cepat meliputi
orentasi dan posisi jantung, venous return, hubungan antara atrium dan ventrikel, dan
sumber arteri jantung yang merupakan pemeriksaan imaging paling awal untuk
membantu mendiagnosis penyakit jantung bawaan.

4.2. Penatalaksanaan
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah menjalani perawatan di rumah
sakit dengan pemberian cairan 1300 ml/hari, kalori 1305 kkal, protein 14.5 gram/hari,
diet nasi 3x1 porsi, flebotomi 315 cc, erithromycin syrup 4 mL setiap 6 jam per oral,
propanolol 5mg tiap 12 jam, preparat besi 48gr tiap 24 jam, dan paracetamol syrup
cth 1.5 bila Tax ≥380C
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini ditemukan
adanya polisitemia yang memerlukan penanganan khusus untuk menurunkan
konsentrasi sel darah merah dalam darah yaitu dengan melakukan flebotomi fresh
frozen plasma. Dimana flebotomi sebaiknya hanya dilakukan jika terjadi
hiperviskositas sedang atau hiperviskositas berat akibat sekunder dari eritrositosis
(hematokrit>65%) dan tanpa dehidrasi dan kekurangan zat besi. Tujuan flebotomi
adalah untuk menurunkan jumlah sel darah merah dan viskositas darah. Penurunan ini

29
akan menyebabkan penurunan resistensi vaskular perifer yang akan meningkatkan
cardiac-output, stroke volume, dan aliran darah sistemik. Peningkatan cardiac-output
dan transportasi oksigen ke jaringan akan mengurangi gejala hiperviskositas
(numbness, tingling¸dan penglihatan kabur), selain itu flebotomi juga mengurangi
resiko stroke thrombus pada pasien. Cairan isovolumik (750-1000 mL saline isotonik
digunakan sebagai pengganti ketika mengeluarkan 400-500 mL darah). Perawatan
rumah sakit diperlukan pasien untuk stabilisasi hemodinamik, observasi cyanotic
spell dan penanganan polisitemia yang dialami pasien dengan flebotomi serta
observasi post flebotomi.
Diet nutrisi pada pasien ini sesuai dengan kebutuhan kalori dan diet protein
normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowance) karena pada pasien ini
tidak ada ditemukan tanda gagal jantung sehingga tidak ada restriksi terhadap natrium
dan cairan. Sesuai dengan berat badan pasien yaitu 15 kg dan berat badan ideal pasien
14.5 kg, maka nutrisi yang dibutuhkan pasien sebesar 1305 kkal/hari dan protein 14.5
gram/hari. Perhitungan cairan sesuai dengan rumus Holliday-Segar sehingga
berdasarkan berat badan pasien sebesar 15 kg dibutuhkan cairan sebesar cairan 1300
ml/hari. Suplementasi besi harus dilakukan di jika ditemukan kondisi kekurangan zat
besi dan harus dilakukan dengan hati-hati.

4.3. Prognosis
Prognosis pada pasien dengan penyakit jantung bawaan dan abses serebri
tergantung pada defeknya. Pada beberapa kasus, anak dengan kelainan jantung
kongenital dapat hidup dengan normal. Pada kebanyakan kasus, pasien dengan
kelainan jantung meningkatkan resiko terjadinya infeksi pada jantung dan katup.
Kematian secara signifikan lebih tinggi pada pasien sianosis daripada asianosis.
Jumlah trombosit yang rendah, beratnya hipoksia, kardiomegali, dan hematokrit yang
meningkat selama masa kanak-kanak merupakan parameter yang berguna untuk
memprediksi kematian dini . Pada pasien ini memiliki prognosis quo ad vitam dan ad
functionam adalah dubia ad malam, karena pasien telah mengalami kelainan anatomi
jantung yang berat dan bersifat persisten. Prognosis quo ad sanationam juga dubia ad

30
malam, karena keluhan yang dialami pasien tidak akan menghilang bila kelainan
anatomis pada jantung tidak dikoreksi secara definitif dengan pembedahan.
Keterlambatan operasi abses serebri dapat pula menyebabkan kematian.
Kematian disebabkan oleh karena ruptur abses ke dalam ventrikel atau ruang
subaraknoid, herniasi atau sepsis. Kejang dapat terjadi selama atau setelah
pembentukan abses. Paska operasi terdapat serangan kejang pada 30-50% penderita.
Kejang dapat terjadi setelah 4 tahun pengobatan. Penderita mengalami kejang paska
operasi, 50% berupa kejang umum dan 30% menunjukkan epilepsi parsial kompleks
atau epilepsi fokal.

31
BAB V
KESIMPULAN

. Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai sebagai


serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi
oleh kapsul otak disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus, dan
protozoa. Penyakit jantung bawaan tipe sianotik yang tidak dikoreksi merupakan
faktor predisposisi penting dalam terjadinya abses otak.
Manifestasi klinis yang dapat ditemui yaitu berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Berdasarkan anamnesis keluhan yang umum dijumpai beragam
berupa muntah, demam, nafsu makan berkurang, sianosis, gangguan toleransi
latihan,, dan bising jantung. Pemeriksaan fisik difokuskan pada pemeriksaan fisik
jantung meliputi inspeksi, perkusi, palpasi, dan auskultasi kelainan yang mungkin
ditemukan pada PJB sianotik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dipilih yakni
pemeriksaan Darah Lengkap (DL), thorax foto, EKG, ekokardiografi, Cardiac
Magnetic Resonance Imaging (CMR), Computed Tomography (CT), dan Cardiac
Catheterizaton.
Penatalaksanaan dapat berupa terapi medis, pembedahan, serta terhadap
penyulit yang sering ditemukan terutama hipoksemia, syok kardiogenik, dan gagal
jantung. Prognosis pada pasien TOF dan abses serebri tergantung pada kondisi dan
tindakan operasi sesegera mungkin. Jumlah trombosit yang rendah, beratnya
hipoksia, kardiomegali, dan hematokrit yang meningkat selama masa kanak-kanak
merupakan parameter yang berguna untuk memprediksi kematian dini.
Penatalaksanaan pasien pada kasus yakni perawatan di RS diperlukan pasien
untuk stabilisasi hemodinamik, observasi cyanotic spell, dan penanganan polisitemia
yang dialami pasien dengan flebotomi serta observasi post flebotomi. Sedangkan
untuk prognosis, quo ad sanationam juga dubia ad malam, karena keluhan yang
dialami pasien tidak akan menghilang bila kelainan anatomis pada jantung dan abses
otak tidak dikoreksi secara definitif dengan pembedahan.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. The University of Chicago Pediatrics Clerkship. UCSF Cardiology Handbook:


Congenital Heart Defect. 2013. Available at:
https://pedclerk.bsd.uchicago.edu/sites/pedclerk.uchicago.edu/files/uploads/Cong
enital%20Cardiac%20Defects.pdf. Akses: 31 Januari 2016.
2. Mulyadi M. Djer, Bambang Madiyono. Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan.
Sari Pediatri. 2000.2(3): 155 – 162.
3. Tasker RC, McClure RJ, Acerini CL. Oxford Handbook of Paediatrics. New York:
Oxford University Press.2008.
4. Park, Myung K. dan Troxler, R. George. Pediatric Cardiology for Practitioners 4th
edition. United States of America: Elsevier Science.2002.
5. Sineviratne RS, Navasivayam P, Perera S, Wickremasinghe RS. National Hospital
of Sri Lanka. Ceylon Med J 2003; 48(1): 14-16.
6. Weghtman NC, Barnham MRD, Dove M. Streptococcus milleri group bacteremia
in North Yorkshire, England (1989-2000). Indian J Med Res 2004; 119 (Suppl):
164-167.
7. Goodkin HP, Harper MB, Pomeroy SL. Intracranial abscess in children: Historical
trends at Children’s hospital, Boston. Pediatrics 2004; 111(8) : 1765-1770.
8. Atiq, Mehnaz, et al. 2006. Brain Abscess in Children. Pakistan. Indian Journal of
Pediatrics, Volume 73—May, 2006.
9. Hakim AA. Abses Otak. 2005. Bedah FK USU/ SMF Bedah Saraf RSUPH Adam
Malik. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 4. SumateraUtara:
Desember 2005.
10. Wijanarko F, Turchan A. 2015. BRAIN ABSCESS WITH CONGENITAL HEART
DESEASE. Bedah Saraf Solo.
11. MUSTAFA M, et al. 2014. BRAIN ABSCESS: PATHOGENESIS, DIAGNOSIS
AND MANAGEMENT STRATEGIES. International Journal of Research in
Applied, Natural and Social Sciences (IMPACT: IJRANSS)ISSN(E): 2321-8851;
ISSN(P): 2347-4580 Vol. 2, Issue 5, May 2014, 299-308
12. Takeshita M, Kagawa M, Yato S, Izawa M, Onda H, Takakura K, Mom K.
Current treatment of brain abscess in patients with congenital cyanotic heart
disease. Neurosurgery 1997; 41(6) : 1270-1279.
13. Kanamori S, Kusano N, Shinzato T, Saito A. The role of capsule of streptococcus
milleri group in its pathogenicity. J Infect Chemother 2004; 10(2): 105-109.
14. Yanagihara C, Wada Y, Nishimura Y. Infectious endocarditis associated with
subarachnoid hemorrhage, subdural hematoma and multiple brain abscesses.
Intern Med 2003; 42(12) : 1244-1247.

33

Вам также может понравиться