Вы находитесь на странице: 1из 217

SINTESIS HASIL LITBANG

2010-2014

RPI 13
Model Pengelolaan
Kawasan Konservasi
Berbasis Ekosistem

Kementerian Kehutanan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
email : evlap_p3kr@yahoo.co.id
web : www.puskonser.or.id
EXECUTIVE SUMMARY

Penelitian model pengelolaan kawasan konservasi berbasis ekosistem pada


Rencana Penelitian Integratif (RPI) 13, meliputi: (a) evaluasi zonasi taman nasional,
(b) Valuasi manfaat taman nasional ,(c) Implementasi dan evaluasi criteria indicator
optimal, (d) Evaluasi manfaat dan fungsi taman nasional (e) Kriteria, indikator
pengelolaan taman nasional, (f) Pengelolaan kolaboratif, (g) Restorasi ekosistem dan
(h) Pengelolaan Daerah Penyangga.
Tujuan pengelolaan Taman Nasional secara umum adalah untuk memperoleh
manfaat, baik manfaat langsung (tangible benefit) maupun manfaat tidak langsung
(intangible benefit). Pencapaian tujuan ini berarti memaksimalkan nilai total
ekonomi dari kawasan konservasi, bukan hanya penerimaan financial tetapi nilai
lainnya sebagai habitat berbagai jenis makhluk hidup, sumber keanekaragaman
hayati, pengatur dan penyedia tata air, penyedia karbon, pengendali erosi dan banjir,
pengatur iklim, pengendali ekosistem alan dan lain sebagainya.Salah satu cara untuk
melakukan valuasi ekonomi adalah dengan menghitung nilai ekonomi total (NET).
Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu
sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus
diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan
alternatif penggunaannya dapat ditentukan dengan benar dan mengenai sasaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengelolaan Taman Nasional bervariasi
menurut potensi dan pemanfaatnnya sampai saat ini potensi tersebut belum dikelola
secara optimum. Penelitian menunjukkan bahwa salah satu aspek nilai pada
lingkungan yang berasal dari sumber air ekosis-tem karst untuk keperluan air minum,
irigasi, tenaga listrik dan wisata, dapat mencapai 2,2 trilyun/tahun, sedangkan nilai
wisata dapat menca-pai 3,4 milyar/tahun. nilai untuk pertanian didaerah taman
penyangga taman saional ekositem pegungna dapat mencapai 1,7 milyar, kebut-uhan
air masyarakat 11,9 milyar, dan untuk perikanan 3,9 milyar sedangkan pengelolaan
kawasan untuk mencegah banjir dan longsor dapat bernilai 630 milyar/tahun.
Penilaian ekonomi tidak saja ditujukan pada nilai yang langsung dapat
dihitung, tetapi termasuk juga yang tidak memiliki nilai pasar (non-market value),
nilai fungsi ekologis serta keuntungan yang tidak langsung lainnya. Nilai (value)

i
merupakan harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat
dan waktu tertentu. Sedangkan penilaian (valuasi) adalah kegiatan yang berkaitan
dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa,
dimana valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi terhadap
sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil menurut sudut pandang
masyarakat, pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan dalam bentuk
jasa lingkungan hutan sebagai hasil atau implikasi dari dinamika hutan berupa jasa
yang mempunyai nilai manfaat atau memberikan keuntungan bagi kehidupan
manusia. Bentuk dari nilai jasa lingkungan dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu: 1)
Perlindungan dan pengaturan tata air (jasa lingkungan air); 2) Konservasi
keanekaragaman hayati (jasa lingkungan keanekaragaman hayati); 3) Penyediaan
keindahan bentang alam (jasa lingkungan ekowisata); dan 4) Penyerapan dan
penyimpan-an karbon (jasa lingkungan karbon).
Pengelolaan Taman Nasional dilakukan berdasarkan Zonasi, dimana hasil
penelitian menunjukan kriteria penetapan zonasi belum sepenuhnya did-sarkan pada
aturan yang ada. Hal ini disebabkan kondisi vegetasi dan keberadaan masyarakat
yang ada sebelum penetapan atau perluasan taman nasional. Seperti adanya
pemukiman penduduk dalam zona inti, sehingga kriteria populasi dan indensitas
fauna menjadi kriteria penting.Zona rimba sebagai zona membatasi aktivitas
masyarakat kedalam kawasan ditentukan oleh fungsi ekosistem sebagai DAS, habitat
satwa, vegetasi asli dan luasan yang cukup.
Secara keseluruhan kriteria dan indikator taman nasional telah teridentifikasi
10 kriteria dengan 28 indikator masing-masing dengan nilai indeks 1-4.Implementasi
kriteria indikator optimal pengelolaan taman nasional dapat dilihat dari penetapan
zonasi yang telah dilaksanakan dan keselarasannya dengan tata guna lahan di daerah
penyangga. Taman nasional yang berbatasan dengan hutan produksi, pengelolaan
hutan produksi perlu mendukung keamanan dan pelestarian satwa endemik. Untuk
itu perlu pengelolaan kawasan bekas tebangan dalam bentuk wilayah konservasi
seluas 30%; dan pengelolaan kawasan dengan metode Reduce Impact Logging
(RIL). Taman nasional yang berbatasan dengan areal penggunaan lain, desa,
perkebunan dan kawasan budidaya, areal selebar 2-7 km dari batas TN perlu dikelola
dalam bentuk agroforestry sedangkan pemukiman ditata dalam jarak minimal 5 km

ii
dari batas kawasan.Keberadaan masyarakat dalam TN di identifikasi masih ada
masyarakat melakukan praktek ladang berpindah berladang sawah. Sebagian taman
nasional telah mendapatkan areal ladang dan pemukiman tersebut menjadi zona
khusus. Zona khusus dengan bangunan sapras yang memadai telah mengindikasikan
terjadinya peningkatan degradasi hutan sekitarnya melalui perluasan ladang atau
pengambilan kayu. Kondisi ini perlu di evaluasi terutama pembatasan luas zona
khusus dan membangun zona rehabilitasi disekitar zona khusus.
Berdasarkan data dan hasil analisis diatas, kriteria indikator yang perlu di
bangun untuk pengelolaan taman nasional berdasarkan zonasi adalah:
a. Nilai keberadaan taman nasional
b. Nilai jasa lingkungan dan karbon
c. Nilai wisata yang dapat menguatkan ekonomi masyarakat
d. Nilai manfaat langsung bagi masyarakat
e. Keanekaragaman satwa liar ekosistem habitat dan keaslian vegetasi
f. Keberadaan masyarakat dan diluar kawasan
g. Tata guna lahan dan pemukiman diluar kawasan
h. Pola tanam dan vegetasi daerah penyangga
i. Aktivitas dan kebutuhan Keberadaan masyarakat disekitar kawasan menjadi
dasar untuk mengembangkan nilai taman nasional dalam pemulihan kebutuhan
dasar dan peningktan ekonomi melalui pengelolaan jasa lingkungan wisata alam
j. Peningkatan persepsi masyarakat berbanding lurus dengan nilai yang didapat
masyarakat dari hasil pengelolaan kawasan
k. Peningkatan persepsi masyarakat memberikan dampak positif terhadap
pengamanan kawasan, pengamanan dari perburuan, keberhasilan pembinaan
habitat dan restorasi ekosistem.
Pengelolaan taman nasional berdasarkan ekosistem ditentukan oleh:
a. Tipe ekosisten dan keberadaan satwa liar endemik dan langka
b. Keragaman ekosistem sesuai habitat satwa tertentu
c. Potensi ekosistem dan jasa lingkungan yang dapat dikembangkan menjadi objek
wisata
d. Kebutuhan dasar dan sosial ekonomi masyarakat
e. Tingkat partisipasi masyarakat

iii
f. Tingkat kerusakan kawasan
g. Daya dukung kawasan sebagai habitat satwa
h. Penataan dan fungsi kawasan daerah penyangga
Penetapan dan pengelolaan daerah penyangga menjadi sangat penting
mengingat adanya upaya masyarakat mengintervensi kawasan akibat
kurangnyapemahaman mereka terhadap kebijakan, kepentingan ekonomi, seta
konservasi. Pengelolaan dimaksud adalah perpaduan keserasian pengelolaan
keragaman hayati, lahan pertanian sesuai dengan kondisi fisik, dan potensi daerah
guna mendapatkan hasil yang optimal dalam menunjang sistem perokonomian
masyarakat lokal. Pengelolaan tersebut dapat mencegah konflik antara masyarakat
dengan kawasan konservasi dan mengurangi konflik antara satwaliar dengan
masyarakat atau sebaliknya.
Pembangunan daerah penyangga merupakan bagian integral dari pembangunan
daerah secara terpadu yang mencakup berbagai bidang berdasarkan karakteristik
permasalahan dan kebutuhan objektif wilayah. Sejalan dengan itu maka rencana
pembangunan daerah penyangga dan kawasan konservasi di sekitarnya harus terkait
erat dengan rencana pembangunan wilayah dalam satu perencanaan terpadu.Program
pembangunan kawasan konservasi tersebut berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian pembangunan daerah penyangga
merupakan alternatif pemecahan masalah pengentasan kemiskinan khususnya bagi
masyarakat desa hutan, serta upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam
melestarikan potensi tumbuhan guna pelestarian jenis dan manfaatnya melalui
pengembang-an wisata alam, penyangga kawasan konservasi, kawasan budidaya dan
industri dari tanaman hutan yang bernilai ekonomis tinggi guna mewujudkan
ketahanan pangan.
Pengembangan daerah penyangga daerah taman nasional dapat diarahkan pada
upaya pembangunan kecukupan pangan dan buah-buahan yang selama ini masih
tergantung pada import. Pada prinsipnya pemanfaatan lahan di daerah penyangga
adalah memanfaatkan ruang dan waktu secara optimal sehingga unsur hara, air dan
cahaya dapat dimanfaatkan secara baik. Untuk memanfaatkan ruang secara optimal
dapat dilakukan dengan cara: 1) jarak tanam disesuaikan dengan jenis tanaman yang
akan diusahakan dan kondisi biofisik lokasi seperti kesuburan tanah dan topografi, 2)

iv
tata letak tanaman harus mempertimbangkan perkembangan lapisan tajuk dan sistem
perakaran. Dengan pengaturan waktu dan ruang yang optimal, diharapkan setiap
komponen yang ada di dalam suatu ekosistem tidak akan menekan komponen yang
lain, bahkan sebaliknya diharapkan dapat saling melengkapi.
Penelitian restorasi untuk perbaikan habitat diarahkan untuk penanaman pohon
penelitian pakan satwa, meningkatkan keragaman jenis populasi di zona yang
terfragmentasi atau terdegradasi seperti, zona rehabilitasi. Restorasi dalam aspek
ekonomi dikembangkan dalam zona khusus dan zona pemanfaatan tradisional. Pada
areal terpragmentasi jenis yang dipilih adalah jenis lokal cepat tumbuh dan restorasi
dilaksanakan pada vegetasi dengan keragaman jenis rendah, dengan indeks
1,1.Restorasi ekosistem di taman nasional dapat melibatkan partisipasi masyarakat
yang dibangun dalam sistem kolaborasi atau partisipasi kelompok petani daerah
penyangga, kelompok nelayan di daerah pantai untuk merehabilitasi mangrove.
Pengelolaan taman nasional secara kolaboratif perlu dibangun untuk mengatasi
konflik. Kegiatan dapat dimulai dari peningkatan persepsi, partisipasi dan
keterlibatan masyarakat dalan menentukan zonasi, aturan pemanfaatan restorasi
ekosistem hingga pengembangan wisata. Kolaborasi dimulai dengan ini bentuk
kerjasama untuk meningkatkan manfaat dan jasa lingkungan taman nasional,
peningkatan ekonomi masyarakat dan sistem mengatasi konflik.
Penelitian strategi manajemen saat ini masih terbatas pada pengelolaan zona
pemanfaatan, zona khusus dan mengatasi konflik. Dari aspek kolaboratif telah
teridentifikasi kelembagaan yang berperan dalam pemanfaatan hasil hutan dan air
serta penanganan konflik yang dalam hal ini diakibatkan ketika kesesuaian taman
nasional dengan penataan dan penggunaan lahan di daerah penyangga.
Pengelolaan daerah penyangga adalah bagian kriteria penting dalam strategi
pengelolaan taman nasional. Keberadaan masyarakat, tingkat ekonomi, kebutuhan
lahan, dan pola tanam di daerah penyangga sangat menentukan terhadap partisipasi
masyarakat, potensi konflik dan potensi terjadinya degradasi fungsi kawasan. Daerah
penyangga taman nasional umumnya berpola, areal 0,5-1 km dari batas kawasan taman
nasional masih berhutan, areal 2-5 km didominasi oleh tanaman dengan sistem
agroforestry, 5 km dari batas kawasan berupa areal pemukiman atau desa dan kawasan
budidaya intensif. Pola ini berdampak positif bagi pengamanan taman nasional habitat

v
dan koridor satwa dan sosial ekonomi masyarakat. Pengembangan koridor satwa
dengan tehnik restorasi pada jalur pergerakan atau homerange satwa dikembangkan di
zona penyangga yang berbatasan dengan taman nasional terutama pada hutan produksi
atau hutan lindung bahkan di lahan masyarakat dengan tanaman hutan rakyat atau
agroforestry.
Pengelolan daerah penyangga dengan mengembangkan jenis tertentu seperti
ulat sutera dan lebah telah menunjukan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi,
pengembangan ekonomi dengan nilai B/C ratio B dari 1 dan IRR 23,7-43,7%. Nilai
ekonomi lainnya adalah hasil kayu agroforestry, hutan rakyat dan kebun campuran.
Di taman nasional di Maluku, masyarakat juga mengembangkan hutan rakyat, kebun
campuran dan kebun murni pada jarak 3-5 km dari batas taman nasional di dominasi
dengan kebun agroforestry (88%) dan pada jarak lebih dari 5 km dikembangkan
tanaman holtikultura dan sawah.
Berdasarkan analisis hasil-hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa efektivitas
pengelolaan taman nasional sangat dipengaruhi oleh faktor:
a. Tingkat degradasi kawasan dan pola penataan zonasi,
b. Tingkat kerusakan habitat, sistem DAS, populasi dan keragaman jenis satwa
menurut ekosistem habitatnya,
c. Fungsi dan pola pemanfaatan lahan daerah penyangga, tingkat ekonomi
masyarakat dan kelembagaan yang terbangun dalam sistem kolaborasi,
d. Tipe zonasi kawasan taman nasional yang berbatasan dengan masyarakat daerah
penyangga terutama pada lahan bukan kawasan hutan,
e. Tingkat partisipasi masyarakat dan kelembagaan yang dapat berkolaborasi
dalam pengelolaan pemanfaatan zona penyangga, zona khusus, zona
rehabilitasi dan zona pemanfaatan berbasisi ekosistem.
Pengelolaan taman nasional berdasarkan tipologi ekosistem dilakukan dengan
mempertimbangkan 1). nilai biodiversitas, nilai kawasan, nilai jasa lingkungan dan
nilai manfaat langsung kepada masyarakat 2). Membangun kriteria dan indikator
zonasi khususnya zonasi pemanfaatan, zona rehabilitasi dan zona khusus yang
memberikan nilai ekonomi dan kebutuhan dasar masyarakat. 3). Keselarasan zona
rimba dan zona inti dalam lanskap menurut letak geografi, topografi, tutupan lahan
dan luas kawasan 4). Kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat yang

vi
mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengamanan kawasan.
Strategi pengelolaan taman nasional dalam jangka pendek yang utama adalah
membangun kelembagaan kolaboratif yang dapat meningkatkan pengamanan
kawasan, biodiversitas, restorasi kawasan dan pengelolaan daerah penyangga zona
pemanfaatan dan zona khusus melalui peningkatan manfaat jasa lingkungan untuk
peningkatan ekonomi masyarakat daerah penyangga.

vii
KATA PENGANTAR

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK. 23/VIII-SET/2009


tentang Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun
2010-2014, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban tanggung
jawab pelaksanaan 7 (tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang
Kehutanan, yakni 3 RPI sebagai komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI
komponen dari Program Litbang Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang
Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk
menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran (specific objectives) dan luaran (outputs) RPI
yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada
setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya untuk menghasilkan informasi
ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh.
Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun 2010-
2014 (Revisi) adalah Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem. Sampai
akhir 2014, RPI tersebut akan menyelesaikan 73 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan
menyediakan informasi dan teknologi untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan
kawasan konservasi secara lestari dengan sasaran tersedianya paket informasi karakteristik
tipologi biofisik dan sosial ekonomi budaya masyarakat serta paket teknologi konservasi
kawasan dan daerah penyangga. Kegiatan penelitian telah dilaksanakan oleh Puskonser,
BPK Aek Nauli, BPTKPDAS Solo, BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK
Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output dari kegiatan penelitian tersebut
disintesis untuk melihat capaian kinerja RPI yang sesuai dengan tujuan dan sasaran RPI
sampai akhir tahun 2014. Dalam buku sintesis disajikan hasil-hasil penelitian penting di
bidang model pengelolaan kawasan konservasi berbasis ekosistem berdasarkan output yang
sudah direncanakan dalam RPI. Hal ini perlu dilakukan mengingat kegiatan penelitian RPI
ini spektrumnya sangat luas dan variatif.
Sintesis akhir RPI Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem tahun
2014 dapat dijadikan acuan untuk mendorong terwujudnya pengelolaan kawasan konservasi
berbasis ekosistem yang berkelanjutan. Dari sintesis ini, kita dapat melihat berbagai output
dalam bentuk model pengelolaan daerah penyangga kawasan konservasi, draf akademis
usulan hutan Mekongga sebagai kawasan konservasi dan kriteria dan indikator pengelolaan
lestari kawasan konservasi. Koordinator RPI beserta tim penelitinya juga memperkaya
sintesis antara ini dengan pool of knowledge yang ada.
Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Model
Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem beserta tim penelitinya yang telah
menunaikan tugasnya dengan baik menyusun sintesis ini. Semoga sintesis ini bermanfaat
bagi pihak yang memerlukan dan menjadi baseline penyusunan rencana pengelolaan dalam
bidang konservasi flora, fauna dan mikroorganisme secara berkelanjutan.

Kepala Pusat,

Ir. Adi Susmianto, M.Sc.


NIP. 19571221 198203 1 002
TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 13

Koordinator : Prof. DR. M. Bismark, M.S.


Pelaksana
(PuskonseR) : Prof. DR. Abdullah Syarief Mukhtar, M.S.
Ir. Reny Sawitri, M.Sc.
DR. Ir. Hendra Gunawan, M.Si.
Vivin S. Sihombing., SKel.
Rozza Tri Kwatrina, S.Si., M.Si.
Yelin Adalina, S.Si., M.Si.
BPK Aek Nauli : Sanudin, S.Hut., M.Si.
Wanda Kuswanda, S.Hut., M.Si.
Asep Sukmana, S.P.
BPK Semboja : Tri Sayektiningsih, S.Hut.
Fariqotul Falah, S.Hut., M.Si.
Tri Atmoko, S.Hut., M.Si.
BPK Banjarbaru : Triwira Yuwati, M.Sc.
BPK Makassar : Indra A.S.L.P.P., S.Si., M.Sc.
Maryatul Qiptiyah, S.Si., M.Si.
Nur Hayati, S.P., M.Sc.
Heri Suyanto, S.Hut.
Abdul Kadir W, S.Hut., M.Sc.
BPK Manado : Lis Nurrani, S.Hut.
BPK Kupang : Rahman Kurniadi, S.Hut., M.Sc.
BPK Manokwari : Aji Wanara, S.Hut.

ix
DAFTAR ISI

Hal.
EXECUTIVE SUMMARY .............................................................................. i
TIM PELAKSANA PELAKSANA RPI 13 ..................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
I. PENDAHULUAN ............................................................................................
1
A. Latar Belakang ............................................................................................
1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................
5
C. Metode Sintesis ...........................................................................................
6
II. EKOSISTEM DAN SATWA LIAR ..................................................................
7
A. Habitat,Populasi Satwa Ekosistem Pegunungan ...........................................
8
B. Habitat, Populasi Satwa Ekosistem Dataran Rendah ....................................
12
III. EKOSISTEM DAN JASA LINGKUNGAN .....................................................
16
A. Nilai Ekonomi Biodiversitas ........................................................................
16
B. Nilai Flora ...................................................................................................
17
C. Nilai Ekosistem Mangrove ..........................................................................
20
D. Nilai HHBK ................................................................................................
20
E. Nilai Ekonomi Sumberdaya Air ...................................................................
22
F. Nilai Ekonomi Wisata Alam ........................................................................
25
G. Nilai Ekonomi Taman Nasional Sebagai Penyangga Kehidupan ..................
27
H. Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Karbon ......................................................
28
IV. ZONASI TAMAN NASIONAL .......................................................................
30
A. Kriteria dan Indikator Zonasi .......................................................................
30
B. Evaluasi Zonasi Taman Nasional .................................................................
55
V. DEGRADASI DAN RESTORASI ....................................................................
67
VI. PENGELOLAAN KOLABORATIF .................................................................
91
VII. PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA ...................................................
102
VIII STRATEGI PENGELOLAAN .........................................................................
140

xi
IX. SINTESIS ........................................................................................................
148
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
179

xii
DAFTAR TABEL

Tabel Hal.
2.1. Jenis pohon pada hutan alam dengan INP > 10 % .................................................
12
Kondisi ekologis vegetasi hutan daerah penyangga TN Siberut
2.2. 12
(jumlah/ha) ........................................................................................................
Populasi pohon yang berpotensi untuk pohon tidur primata di areal
2.3. 13
bekas tebangan .................................................................................................
2.4. Dominansi jenis pohon dalam vegetasi habitat primata .....................................
14
Kimia tanah dan biomass mikromas serta potensi semai di areal bekas
2.5. 14
tebangan ...........................................................................................................
2.6. Populasi primata di TN Siberut dan Daerah Penyangga (DP) ............................
15
2.7. Kondisi ekologis populasi burung .....................................................................
15
3.1. Nilai WTP beberapa jenis satwaliar menurut responden ....................................
18
3.2. Pendugaan nilai ekonomi satwaliar di TNBG ....................................................
19
Pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati mangrove di TNK
3.3. 20
Wakatobi ..........................................................................................................
3.4. Hasil analisis ekonomi air oleh PDAM Tirta Kabupaten Madina ......................
23
3.5. Hasil pendugaan nilai ekonomi pencegah erosi .................................................
27
4.1. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Inti TNBT .................................................
32
4.2. Indikator ekologis pada zona inti TNBG bagian Utara ......................................
34
4.3. Indikator ekologis pada zona inti TNBG bagian Selatan ...................................
36
4.4. Kriteria dan xiiindicator zona inti TN Batimurung Bulusaraung ........................
38
4.5. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Rimba TN Bukit Tigapuluh .......................
40
4.6. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Utara ..................
41
4.7. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Selatan ...............
42
Usulan Kriteria dan Indikator Zona Pemanfaatan Intensif TN Bukit
4.8. 43
Tigapuluh .........................................................................................................
4.9. Indikator ekologis pada zona pemanfaatan TN Batang Gadis ............................
44
4.10 Usulan Kriteria dan Indikator Zona Rehabilitasi TN Bukit Tigapuluh ...............
45
4.11 Kriteria dan indicator zona inti TN Batimurung Bulusaraung ............................
46
4.12 Usulan Kriteria dan Indikator Zona Pemanfaatan Tradisional TNBT ................
47

xiii
Tabel Hal.
4.13 Porsi zonasi utama dalam taman nasional ......................................................................
51
4.14 Parameter zona tradisional di tiga resort TN Gunung Gede Pangrango .............
52
Kriteria dan xivndicator zona khusus Taman Nasional Bantimurung
4.15 53
Bulusaraung .....................................................................................................
4.16 Pembagian jalur di usulan zona khusus Taman Nasional Kutai .........................
62
Kriteria dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan
5.1 74
konservasi ........................................................................................................
Penilaian katagori prioritas restorasi Taman Nasional Gn Gede
5.2 76
Pangrango ........................................................................................................
5.3 Model rehabilitasi di Taman Nasional Gn. Gede Pangrango .............................
78
5.4 Kesesuaian model restorasi zona rehabilitasi ....................................................
82
5.5 Kegiatan restorasi di TN Gn Halimun Salak .....................................................
83
5.6 Model rehabilitasi di Taman Nasional Gn. Halimun Salak ................................
84
Matriks Analisis Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam
6.1 93
Pengelolaan TN Babul ..........................................................................................
Persepsi para pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNK (Falah,
6.2 98
2012) .....................................................................................................................
6.3 Persepsi masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya hutan .................................
100
6.4 Persepsi masyarakat terhadap Taman Nasional Aketajawe Lolobata ......................
100
7.1 Pola usaha penduduk dari berbagai etnis di kawasan TN Kutai ..............................
106
Tipologi masyarakat dan biofisik di daerah penyangga TN Kerinci
7.2 107
Seblat, Kabupaten Pesisir Selatan .........................................................................
7.3 Tipologi masyarakat di kawasan dan daerah penyangga TN Lore Lindu .................
110
7.4 Pola penggunaan lahan daerah penyangga TNKS ..................................................
113
7.5 Nilai B/C ratio usahatani pada masing-masing pola pemanfaatan lahan ..................
117
7.6 Penggunaan lahan oleh masyarakat Siberut Selatan .......................................................
117
Valuasi ekonomi jasa lingkungan di Rawa Bento, daerah penyangga
7.7 119
TN Kerinci Seblat .................................................................................................
Bentuk pengelolaan lahan dan pendapatan masyarakat di Kec. Cibeber,
7.8 119
TN Halimun-Salak ................................................................................................
7.9 Populasi primata (individu/km²) di Cagar Biosfer Siberut ......................................
121

xiv
Tabel Hal.
7.10 Populasi primata di lokasi penelitian .....................................................................
121
7.11 Jenis ikan dari S. Sangata yang dikonsumsi dan diperjual-belikan .........................
122
Potensi Dipterocarpaceae di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai
7.12 123
Saibi Cagar Biosfer P. Siberut ..............................................................................
7.13 Potensi necromass di Cagar Biosfer Pulau Siberut ..................................................
126
Potensi necromass dan kesuburan tanah di daerah penyangga TN
7.14 127
Siberut ..................................................................................................................
7.15 Struktur dan komposisi daerah penyangga TNAL .................................................
133
8.1 Analisis SWOT di TN Kutai .................................................................................
145
8.2 Cara penguatan faktor pendorong pemanfaatan lahan di zona khusus .....................
146
8.3 Cara mengurangi faktor penghambat pemanfaatan lahan masyarakat .....................
146
9.1 Kriteria dan Indikator Zonasi Taman Nasional ..............................................................
154
9.2 Kriteria Penilaian Kawasan Konservasi Gunung Maras ........................................
174

xv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal.
Diagram Penelitian Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem
1 6
(RPI 13) ...........................................................................................................
2.1 Perbandingan kerapatan dan volume pohon di hutan produksi ..........................
13
4.1 Lokasi potensi HHBK di TNGHS ....................................................................
50
4.2 Tanaman dammar di TNGHS ...........................................................................
51
4.3 Kawasan TN Gn Halimun Salak, pasca tambang PT Antam, Cikidang ..............
56
Abrasi sungai terhadap lahan pertanian masyarakat dan hutan riparian
4.4 58
S. Sangatta .......................................................................................................
4.5 Pohon ulin yang berumur ribuan tahun, Sangkima ............................................
59
4.6 Fasilitas yang rusak di Sangkima ......................................................................
59
4.7 Telaga bening ...................................................................................................
60
4.8 Bumi Perkemahan Saleba dan aksi rehabilitasi oleh stakeholder .......................
60
4.9 Kp Pangradin II dan kebun karet di TNGHS ....................................................
61
4.10 Jenis tanaman restorasi .....................................................................................
62
4.11 Perkayaan tanaman di TN Kutai oleh PT Indominco Mandiri ...........................
64
Banjir yang terjadi di Teluk Pandan akibat luapan anak sungai dan
4.12 65
perubahan landskap kawasan ............................................................................
4.13 Persepsi masyarakat terhadap usulan status zona khusus ...................................
66
5.1 Tanaman perkayaan di zona rehabilitasi, Resort Sarongge ......................................
77
Tanaman kopi di bawah tegakan pinus dan kegiatan pembabatan di
5.2 78
zona rehabilitasi, Resort Tapos .........................................................................
Model adopsi pohon internasional di Blok Los Beca, Resort
5.3 80
Cimungkat .......................................................................................................
5.4 Model adopsi pohon di Resot Saronnge, Kabupaten Cianjur .............................
80
Pohon rasamala (Altingia xviixcels Noronha), tanaman Model Gerakan
5.5 81
Rehabilitasi Lahan di Resort Cimungkat, Sukabumi .........................................
5.6 Lokasi rencana rehabilitasi di TNGHS .............................................................
83
5.7 Rehabilitasi yang dilakukan oleh TN Kutai dan stakeholders ............................
85
5.8 Perkayaan pohon yang dilakukan oleh peneliti dan pengunjung ........................
85

xvii
Gambar Hal.
5.9 Rehabilitasi dengan dana DIPA, tahun 2012 ......................................................
86
5.10 Pembagian wilayah rehabilitasi oleh Perusahaan di sekitar TN Kutai .................
87
5.11 Perkayaan tanaman di TN Kutai oleh PT Indominco Mandiri ............................
87
Pemetaan Stakeholder Berdasarkan Kepentingan (interest) dan
6.1 94
Pengaruhnya (power) dalam pengelolaan TN Babul ...........................................
Matrik pengelompokan pemangku kepentingan berdasarkan minat dan
6.2 97
pengaruh...............................................................................................................
Grafik persepsi masyarakat Desa Sebangau Permai terhadap
7.1 104
pengelola TN Sebangau .......................................................................................
Tengkorak tapir, dan simpai dijumpai di sekitar perbatasan di jalur
7.2 114
hijau Jorong Bangun Rejo .....................................................................................
Jalur hijau yang dibangun masyarakat secara swadaya di batas
7.3 114
kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat dan agroforestri kebun rakyat ................
Pola pemanfaatan lahan zona penyangga Taman Nasional Aketajawe
7.4 115
Lolobata ...............................................................................................................
7.5 Grafik pendapatan berdasarkan pola pemanfaatan lahan .......................................
116
7.6 Hutan di areal kecamatan dan kebun campuran masyarakat lokal di
118
7.7 daerah penyangga TN Siberut ........................................................................................
7.8 Grafik sebaran tinggi pohon pada hutan primer, LOA 1 tahun, dan
7.9 LOA 5 tahun di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi cagar 124
7.10 biosfer P. Siberut (Bismark dan Heriyanto, 2007). ................................................
7.11 Jenis-jenis bahan obat-obatan ...............................................................................
125
Obyek wisata batu biduak/batu perahu dan jembatan akar di daerah
7.12 127
penyangga, Taman Nasional Kerinci Seblat ..........................................................
7.13 Patroli swakarsa masyarakat setiap bulan. ..............................................................
130
Keterlibatan para pihak, program, peran, dan kegiatan di daaerah
7.14 130
penyangga terhadap pengelolaan TN Kerinci Seblat...............................................
Keterlibatan para pihak, kegiatan, dan pemanfaatan lahan dalam
7.15 131
pengelolaan daerah penyangga TN Lore Lindu ......................................................
7.16 Pola Usahatani di Kebun Milik pada etnis Jawa .....................................................
132
7.17 Pola Usahatani di Kebun Milik pada etnis Kutai dan Bugis ....................................
132

xviii
Gambar Hal.
7.18 Kebun agroforestri dan kebun karet rakyat .............................................................
132
Hubungan Luaran Dan Penelitian Pengelolaan Taman Nasional
9.1 148
Berbasis Ekosistem (RPI 13). .................................................................................
Bagan alir proses penetapan kriteria dan indikator tersebut dapat
9.2 154
terlihat pada bagan alir berikut ..............................................................................
Model Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional Bantimurung
9.3 166
Bulusaraung ..........................................................................................................
9.4 Model pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional berbasis ekosistem ................
168

xix
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Kementerian Kehutanan (2011), kawasan hutan di Indonesia masih
tersisa sekitar 133.513.800 ha. Berdasarkan fungsi pokoknya, kawasan tersebut
meliputi hutan konservasi (kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam)
seluas 20.093.600 ha, hutan lindung 31.595.100 ha, hutan produksi terbatas
22.343.800 ha, hutan produksi terbatas 36.736.400, hutan produksi 110.768.900 ha
dan hutan produksi yang dapat dikonversi 22.744.900 ha. Dilihat dari tipe penutupan
vegetasinya, kondisi hutan Indonesia terdiri dari hutan primer sekitar 41.937.800 ha,
hutan sekunder 46.403.700, hutan tanaman 2.756.600 ha, non hutan 42.365.400 ha
dan tidak ada data 50.300 ha. Kawasan hutan yang penutupannya masih merupakan
hutan primer, lebih dari 50% hanya tersisa pada kawasan hutan yang statusnya hutan
konservasi dan hutan lindung.
Kawasan hutan merupakan bagian penting sebagai tempat hidup jutaan
keanekaragaman hayati, baik itu tumbuhan maupun hewan. Menurut Primark et al.
(1998), sedikitnya telah ditemukan sekitar 1.500 jenis burung, 500 mamalia, 8.500
ikan, 25.000 tumbuhan berbunga, 1.250 paku-pakuan, dan ribuan jenis takson
lainnya yang hidup pada kawasan hutan di Indonesia. Beragam tumbuhan dan
hewan tersebut telah banyak berperan dan dimanfaatkan oleh manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup, seperti untuk sumber makanan dan obat-obatan.
Peranan hutan yang juga sangat penting untuk mendukung kehidupan manusia
adalah sebagai pengatur hidroorologis, mencegah banjir, mengatasi kekeringan,
tanah longsor dan menjaga kesuburan tanah.
Namun, masih tingginya proporsi hutan produksi, yang diperuntukan untuk
memproduksi kayu, dengan implementasi sistem pengelolaan yang kurang tepat
ternyata telah mengakibatkan sebagian besar kawasan hutan mengalami kerusakan.
Hal ini didorong pula oleh pertumbuhan penduduk yang cepat sehingga konversi
hutan untuk memenuhi kebutuhan lahan olahan meningkat drastis. Luas hutan di
Indonesia yang terdegradasi sampai tahun 2007 diperkirakan telah melebihi 50 juta
ha (www.dephut.go.id, 2007). Hal ini terbukti dari data di atas yang menunjukan
lebih dari 75% kondisi hutan telah berubah menjadi hutan sekunder dan non hutan.
Luasnya kerusakan hutan dan besarnya dampak negatif yang dirasakan oleh
manusia, ternyata secara positif meningkatkan akan kesadaran untuk mengelola
hutan secara berkelanjutan. Hal yang menggembirakan dalam 20 tahun terakhir ini
kesadaran terhadap pelestarian hutan, termasuk perlindungan keragaman hayati
beserta ekosistem didalamnya, telah dirasakan banyak pihak. Begitu pula, orientasi
kebijakan konservasi dalam setiap pengelolaan hutan telah menjadi landasan
normatif setiap penentu kebijakan.

Sintesis 2010-2014 |1
Seiring meningkatnya kesadaran untuk mengelola hutan secara berkelanjutan
secara global, maka dalam prinsip standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan
yang dikembangkan oleh Majelis Pengurus Hutan (Forest Stewardship Council /
FSC) pada tahun 1999 muncul sebuah konsep yang dikenal dengan HCVF (High
Conservation Value Forest) atau Hutan Bernilai Konservasi Tinggi. Konsep HCVF
ini mensyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin
pemeliharaan dan/atau peningkatan kawasan tersebut. Dalam hal ini, pendekatan
HCV berupaya membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara
keberlanjutan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang.
Meski konsep HCV pada awalnya didisain dan diaplikasikan untuk pengelolaan
hutan produksi, namun dengan cepat konsep ini banyak digunakan pula dalam
pembangunan sektor perkebunan yang banyak mengkonversi kawasan hutan, seperti
untuk perkebunan kelapa sawit.
Pemikiran dan implementasi untuk menerapkan konsep HCVF sebenarnya sudah
ada sejak lama. Hal ini dapat tercermin dari Undang-Undang No. 5 tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Pada isi undang-undang tersebut telah
ditetapkan sebagian kawasan hutan sesuai fungsinya menjadi kawasan suaka alam,
yaitu Cagar Alam dan Suaka Margasatwa dan hutan lindung. Hutan Suaka Alam
merupakan kawasan hutan yang karena sifatnya khas diperuntukkan secara khusus
untuk perlindungan alam hayati dan/atau manfaat-manfaat lainnya secara
berkelanjutan dan hutan lindung merupakan kawasan hutan yang karena keadaan sifat
alamnya diperuntukkan guna mengatur tata-air, pencegahan bencana banjir dan erosi
serta pemeliharaan kesuburan tanah. Begitu pula, pada kawasan hutan untuk produksi
ditetapkan pula kawasan yang harus dilindungi, seperti sempadan sungai, daerah
pasang surut air laut, area plasma nutfah, area keragaman hayati tinggi, kantong satwa
dan lainnya. Konsep-konsep tersebut yang sebagian besar lebih dijabarkan dalam
prinsip penetapan area menjadi HCFV.
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Penetapan hutan konservasi secara umum berfungsi untuk
melestarikan sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya, yang dapat dilakukan
melalui perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri dari kawasan
suaka alam dan kawasan pelestarian alam, seperti taman nasional, cagar alam, taman
buru, suaka margasatwa, taman hutan raya, dan taman wisata alam yang
pengelolaanya dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen Kehutanan
(Departemen Kehutanan, 1990).
Berbagai peraturan untuk mendukung pengelolaan hutan konservasi sebagai
penjabaran dari undang-undang terus disusun dan disyahkan, Peraturan Pemerintah.
diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan

Sintesis 2010-2014 |2
Jenis Tumbuhan dan Satwa, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan Jo Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan
Hutan, Peraturan pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pada tingkat
Kementerian Kehutanan juga telah ditetapkan berbagai keputusan sebagai landasan
dalam pengelolaan hutan konservasi seperti Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam dan Peraturan Menteri Kahutanan Nomor P.48/Menhut-
II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di suaka margasatwa, taman nasional,
Taman Hutan Raya dan taman wisata alam.
Salah satu kawasan hutan konservasi yang menjadi perhatian saat ini adalah
taman nasional karena dalam pengelolaannya dapat memadukan kepentingan
konservasi dan pemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Departemen
Kehutanan, 1990). Sebagai kawasan yang dikelola dengan sistem zonasi maka pada
taman nasional paling sedikit dibentuk tiga sistem zoansi yaitu, zona inti, zona
pemanfaatan dan zona lainnya.
Pemerintah Indonesia sampai saat ini sedikitnya telah menetapkan 50 taman
nasional yang tersebar di seluruh kepulauan, yang diantaranya meliputi 11 taman
nasional di Pulau Sumatera, 12 taman nasional di Pulau Jawa, 6 taman nasional di
Nusa Tenggara dan Bali, 8 taman nasional di Kalimantan, 8 taman nasional di
Sulawesi dan 5 taman nasional di Maluku dan Papua (http://www.dephut.go.id,
2012). Riwayat penunjukkan asal usul kawasan taman nasional tersebut sangat
bervariasi. Namun secara umum, asal usul penunjukan kawasan taman nasional
adalah dari kawasan hutan negara, baik itu dari hutan produksi, terutama area HCVF,
hutan lindung maupun hutan konservasi sendiri seperti suaka margasatwa (SM) yang
pengelolaanya ditingkatkan menjadi kawasan taman nasional.
Pengelolaan taman nasional di Indonesia pada kenyataannya tidak berjalan dengan
baik karena berbagai permasalahan sering timbul setelah terbentuknya suatu kawasan
menjadi taman nasional. Setiap taman nasional tentunya memiliki permasalahan
masing-masing. Namun permasalah secara umum yang sering terjadi di setiap taman
nasional adalah mulai dari konflik kepentingan lahan karena belum jelasnya tata batas
kawasan, degradasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya karena pencurian kayu
(illegal logging), bahan tambang dan perambahan (konversi hutan), tingkat
ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan bukan kayu yang masih tinggi,

Sintesis 2010-2014 |3
tingginya kepentingan egosektoral antar instansi terkait dan kondisi sumberdaya
manusia serta prasarana pendukung yang belum memadai.
Untuk mengatasi berbagai ancaman dan permasalahan dalam pengelolaan taman
nasional diperlukan berbagai rencana strategi pengelolaan yang tepat dan konprehensif
sesuai dengan karakteristik taman nasional itu sendiri. Salah satu konsep strategi yang
berkembang saat ini dalam pengelolaan taman nasional adalah pengelolaan berbasis
ekosistem dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait (secara kolaboratif).
Pendekatan pengelolaan ekosistem tidak hanya mempertimbangkan bagaimana
kawasan taman nasional hanya dipandang sebagai tempat pengawetan tumbuhan dan
satwa, tetapi harus memasukkan unsur manusia sebagai pemanfaat kawasan dan hasil
hutan, kayu dan non kayu, termasuk satwaliar. Oleh karena ekosistem hutan, termasuk
sebagai taman nasional, merupakan satuan fungsional dasar dalam ekologi yang
meliputi mahluk hidup dengan lingkungan organisme (komunitas bioik) dan
lingkungan abiotik, masing-masing mempengaruhi sifat-sifat lainnya dan keduanya
perlu untuk memelihara kehidupan sehingga terjadi keseimbangan, keselarasan dan
keserasian alam di bumi ini (Irwan, 2007).
Selain itu, pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem tentunya menuntut
adanya kemitraan dan kesepakatan kerjasama pengelolaan yang melibatkan banyak
pihak. Oleh karena kekuatan-kekuatan diluar yurisdiksi masih cukup kuat
mempengaruhi kebijakan dan arah pengelolaan taman nasional. Kekuatan tersebut
meliputi kekuatan birokrasi pemerintah, kekuatan sosial ekonomi lokal, regional,
nasional dan global, kekuatan sosial politik dan kekuatan sosial budaya dan tata nilai
masyarakat setempat yang berada di daerah penyanganya. Untuk mengembangkan
pengelolaan taman nasional saat ini harus mampu mengintegrasikan kepentingan
semua pihak dalam mengantisipasi kebijakan sektoral dan antar wilayah
administrasi dalam merencanakan dan mengembangkan kawasan hutan secara umum
(Kuswanda, 2011).
Untuk menyusun strategi rencana pengelolaan taman nasional berbasis ekositem
tentunya membutuhkan berbagai kajian dan rangkaian penelitian secara menyeluruh
pada berbagai taman nasional di Indonesia. Kebutuhan penelitian untuk dapat
mendukung hal tersebut yang telah teridentifikasi, diantaranya adalah (a) kriteria
dan indikator pengelolaan dan pemanfaatan, (b) model pengelolaan sesuai ekosistem,
dan (c) strategi pengelolaannya, yang saat ini sedang dilakukan dalam RPI Model
Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem lingkup Pusat Litbang Konservasi
dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan. Pelaksanaan penelitian tersebut akan
menghasilkan berbagai solusi dari berbagai permasalahan utama untuk
mengembangkan model dan strategi pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem,
seperti a) dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi yang belum lengkap, b)
belum memadainya kelembagaan untuk mendukung pengelolaan yang adaptif, c)
informasi dan pengembangan jasa lingkungan yang masih kurang, d) dinamika

Sintesis 2010-2014 |4
ekosistem kawasan yang terus berubah (cenderung semakin terdegradasi) dan e)
pengelolaan daerah penyangga yang kurang optimal.
Berbagai taman nasional telah dijadikan sebagai contoh penelitian yang
mewakili berbagai model pengelolaan berdasarkan tipologi kawasan, seperti tipologi
kawasan dengan ekosistem pegunungan, ekosistem dataran rendah, dan perairan
meliputi TN Batang Gadis, TN Kerinci Seblat, TN Gunung Gede Pangrango, TN
Gunung Ceremai, TN Gunung Merapi, TN Gunung Halimun Salak, TN Siberut, TN
Alas Purwo, dan Bangka Belitung. Mewakili ekosistem dataran rendah meliputi TN
Kutai, dan TN Sebangau. Mewakili ekosistem pegunungan meliputi TN
Bantimurung Bulu Saraung, TN Lore Lindu, TN Bugani Nani Warta Bone, TN
Laiwanggi Wanggameti. Mewakili ekosistem perairan dan pulau, serta dataran
rendah mewakili TN Teluk Cendrawasih, TN Aketajawe, TN Wasur.
Dari rangkaian penelitian yang telah dilakukan dalam lingkup RPI Model
Pengelolaan Kawasan Konservasi di Berbasis Ekosistem, telah dihasilkan berbagai
informasi yang dapat disebarluaskan kepada berbagai pengguna melalui publikasi
ilmiah. Untuk itu, sintesa antara sebagai bentuk evaluasi RPI 13 yang didalamnya
berisikan tentang kondisi ekologi dan masyarakat sekitar taman nasional, valuasi
nilai ekonomi dan strategi pemanfaatannya, review usulan penetapan kriteria dan
indikator zonasi dan strategi pengelolaan berbasis ekosistem serta pengembangan
daerah penyangga. Diharapkan hasil antara ini dapat menjadi masukan dalam
reevaluasi kebijakan dalam pengelolaan taman nasional berserta daerah
penyangganya sehingga dapat dikelola secara optimal dan bermanfaat bagi
masyarakat, khususnya yang berada di sekitar kawasan taman nasional.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan diteliti dalam RPI Model Pengelolaan Kawasan
Konservasi Berbasis Ekosistem dirumuskan sebagai berikut:
1. Berdasarkan fungsi kawasan, kualitas ekosistem dan biogeografi yang ditetapkan
sebagai taman nasional menyebabkan adanya perbedaan sistem pengelolaan.
2. Keragaman ekosistem dan jenis flora fauna, penataan pemanfaatan lahan di luar
kawasan TN dan tipologi sosial ekonomi dan budaya menentukan terhadap model
pengelolaan TN.
3. Tingkat ekonomi masyarakat di sekitar kawasan, invasi untuk pemenuhan
kebutuhan lahan, konflik satwaliar, dan kualitas habitat dalam kawasan adalah
faktor penting sebagai dasar strategi pengelolaan taman nasional.
4. Pengelolaan kawasan konservasi yang memperhitungkan kebutuhan dasar
masyarakat terdapat dalam sistem taman nasional. Pertimbangan tersebut
dijabarkan dalam pengelolaan zonasi taman nasional dan daerah penyangga.
5. Pengelolaan yang berbasis pada peraturan yang ada, dapat tidak sesuai dengan
kondisi di lapangan sehingga perlu dukungan penelitian yang terintegratif berbasis
ekosistem.

Sintesis 2010-2014 |5
C. Metode
Sintesis antara hasil-hasil penelitian didasarkan pada kajian terhadap data dan
laporan hasil penelitian di berbagai taman nasional yang disampaikan pelaksana
penelitian di lingkup RPI 13, yaitu Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Balai
Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli, BPK Makassar, BPK Manado, BPK
Semboja, BPKJ Banjar Baru, BPK Kupang dan BPK Manokwari. Sintesis hasil
penelitian mengacu pada luaran dan kegiatan penelitian yang tercantum dalam RPI
13. Hubungan luaran dan kegiatan penelitian untuk menghasilkan Model pengelolaan
Taman Nasional sebagaimana pada Gambar 1.

LUARAN KEGIATAN PENELITIAN DALAM RPI

Kriteria indikator
Evaluasi zonasi Valuasi Manfaat Taman
pengelolaan TN tiap
taman nasional Nasional 13.1.1
tipologi ekosistem
13.1 13.1.2

Implementasi dan Evaluasi pemanfaatan Pengelolaan


evaluasiKriteria dan Fungsi Taman Kolaboratif
Indikator Optimal Nasional 13.3.2
TN13.1.4 13.1.5

Kriteria Indikator
Pengelolaan TN
13.1.3

Model Pengelolaan
TN Berdasarkan
Model Pengelolaan
Ekosistem Taman Nasional
13.2 13.2.1

Strategi Manajemen Pengelolaan Daerah Restorasi Ekosistem


Taman Nasional Penyangga 13.3.1
13.3 13.3.3

Gambar 1. Diagram Penelitian Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem


(RPI 13).

Sintesis 2010-2014 |6
II. EKOSISTEM DAN SATWA LIAR

Taman Nasional dengan berbagai bentuk geometrik, luas dan tipe ekosistemnya
telah menunjukan tingkat tekanan masyarakat yang berbeda terhadap kawasan.
Perbedaan juga disebabkan oleh tingkat kepadatan penduduk dan pola penggunaan
lahan berdasarkan budaya lokal. Dengan perbedaan bentuk geometrik kawasan maka
pembagian dan sebaran zonasi juga mengikuti pola geometrik sehingga dapat terjadi
zona inti tidak dalam satu kesatuan landcave demikian pula dengan zona lainnya.
Oleh karena itu parameter dan indikator zonasi akan berbeda-beda pula.
Penelitian model pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional
dalam kegiatan RPI 13, hasil penelitian dalam kegiatan luaran 1 menjadi bahan acuan
dalam mensintesa luaran 2 dan 3 yaitu menentukan model pengelolaan taman nasional
berbasis ekosistem. Dalam hal ini selain berdasarkan tipe ekosistem dengan
keterwakilannya yang perlu dilindungi sebagai taman nasional, nilai potensi ekosistem
baik dari segi biodiversitas, satwa langka dan jasa lingkungan menjadi bagian
penelitian yang menunjang pengelolaan taman nasional.
Keragaman vegetasi dan satwa liar menjadi prinsip utama dalam pengelolaan
taman nasional, seperti mengelola habitat dalam bentuk padang pengembalaan untuk
meningkatkan daya dukung habitat pakan satwa herbivora atau keberadaan satwa
arboreal seperti primata sebagai indikator kualitas vegetasi dan habitat.
Kawasan taman nasional di Indonesia sesuai dengan tipe vegetasi yang
terlindungi dalam kawasan secara umum mencakup pegunungan, dataran rendah,
perairan. Taman nasional yang memiliki ekosistem pegunungan diantaranya adalah:
TN Gunung Leuser, TN Batang Gadis, TN Kerinci Seblat, Tn Bukit Tigapuluh, TN
Bukit Dua Belas, TN Bukit Barisan Selatan, TN Gunung Gede Pangrango, TN
Gunung Halimun Salak, TN Gunung Merapi, TN Gunung Merbabu, TN Bromo
Tengger Semeru, TN Gunung Palung, , TN Bantimurung Bulusaraung, TN Lore
Lindu, TN Kelimutu, TN Gunung Rinjani
Taman Nasional yang memiliki ekosistem dominan dataran rendah yaitu: TN
Berbak, Tn Ujung Kulon, TN Alas Purwo, TN Baluran, TN Meru Betiri, TN Kutai,
TN Tanjung Puting, TN Kayan Mentarang, TN Bukit Baka Bukit Raya, TN Betung
Kerihun, TN Bali Barat, TN Komodo, TN Mampeni Tanah Daru, TN Laiwangi
Wanggameti, TN Akatajane Lolobatu, TN Tesso Nillo, TN Wasur, TN Way
Kambas
Taman Nasional yang didominasi perairan diantaranya adalah TN Sebangau
merupakan perwakilam ekosistem rawa gambut yang relative masih utuh. Kawasan
ini memiliki karakteristik yang unik ditinjau dari struktur dan jenis tanah, topografi,
hidrologi, flora dan fauna. Kedalaman gambutnya berkisar antara 3m -14 m. Taman
Nasional yang memiliki ekosistem dominan perairan diantaranya TN Karimunjawa,
TN Kepulauan Seribu, TN Danau Sentarum, TN Sebangau, TN Teluk Cendrawasih,

Sintesis 2010-2014 |7
TN Manusela, TN Bogani Nani Wartabone, TN Bunaken, TN Sanger Gunung Api
Bawah Laut Mahangetang, TN Sanger Gunung Api Awu, TN Rawa Aopa Watu
mohai, TN Kepulauan Togean, TN Wakatobi
A. Habitat, Populasi Satwa Ekosistem Pegunungan
Keterwakilan taman nasional ekosistem pegunungan diantaranya adalah TN
Gunung Gede Pangrango, TN Batang Gadis dan TN Bantimurung Bulusaraung,
disamping itu keterwakilan tipe ekosistem pegunungan sebagai habitat satwaliar juga
ditunjukkan oleh kawasan hutan cagar alam. Populasi satwa yang menjadi indikator
kualitas vegetasi yang sesuai dengan habitat adalah primata arboreal Hylobates
moloch (Owa Jawa), Hylobates syndactylus (siamang), dan Hylobates agilis
(Ungko).
Penutupan lahan di kawasan TN selalu dimonitor untuk mengetahui dasar-dasar
pengelolaan seperti penetapan atau evaluasi zonasi dan program restorasi, sebagai
contoh TN Gn Gede Pangrango pada tahun 2010 berdasarkan citra landsat TM 7,
didominasi oleh hutan sekunder seluas 9.752 atau 40%, sedangkan hutan primer yang
meliputi wilayah pegunungan tipe ekosistem sub-montana sampai sub alpin seluas
6.267 ha atau 25% yang terletak di bagian terdalam/tengah (Gunawan, 2012).
Kondisi hutan primer yang terdapat di bagian terdalam atau tengah merupakan
habitat sebaran satwaliar langka atau dilindungi dengan areal dengan vegetasi yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah hutan sekunder yang termasuk tipe
hutan montana (1000 m dpl -1500 m dpl) cenderung lebih rendah.
Kondisi yang demikian ini, juga dijumpai pada hutan Cagar Alam Dolok Sipirok
(CADS). Populasi siamang di kawasan hutan Cagar Alam Dolok Sipirok (CADS)
dan sekitarnya tersebar pada hutan primer sebanyak 81,8%, serta pada hutan
sekunder dan pinggiran sungai di dekat pertanian lahan kering sebanyak 9,1%. Hasil
analisis pola sebaran spasial menunjukkan bahwa populasi siamang di CADS
tersebar menurut pola berkelompok atau agregat. Jumlah populasi siamang di CADS
dan daerah penyangganya yang menjadi contoh areal penelitian adalah 24 individu
yang tersebar dalam 7 kelompok. Nilai dugaan kepadatan individu adalah sebesar
9,91±3,40 individu/km2. Apabila luas CADS sekitar 69,7 km2 maka diperkirakan
populasi total adalah 691 individu siamang di kawasan CADS dan sekitarnya
(Kuswanda, 2014). Hasil penelitian ini hampir sama dengan Bangun et al. (2009) dan
Sultan et al. (2009) yang menyatakan bahwa kepadatan rata-rata ungko dan siamang
di Taman Nasional Batang Gadis sebesar 8,82 individu/km2 dan 12,9 individu/km2.
Berdasarkan tipe habitat dan ketinggian, maka habitat siamang di CADS dapat
dikategorikan menjadi 4 kategori, yaitu: hutan primer pada ketinggian 600 – 900 m
dpl, hutan primer pada ketinggian 900 – 1.200 m dpl, hutan sekunder pada
ketinggian 600 – 900 m dpl, dan hutan sekunder pada ketinggian 900 – 1.200 m dpl.
Gron (2008) menyebutkan bahwa walaupun hidup simpatrik dengan kelompok

Sintesis 2010-2014 |8
gibbon lainnya pada beberapa tipe habitat, siamang cenderung dijumpai pada
ketinggian yang melebihi gibbon yang sampai pada ketinggian 1800 m dpl.
Hasil analisis Indeks Neu menunjukkan bahwa tidak ada pemilihan tipe habitat
tertentu berdasarkan penutupan lahan dan ketinggian dari permukaan laut bagi
siamang namun cenderung menyukai tipe habitat hutan sekunder. Model RSF
(resources selection function) untuk mengetahui sumberdaya yang paling
mempengaruhi penggunaan habitat berdasarkan persamaan regresi logistik adalah:
exp(−1,779 + 0,683 𝑋2 − 2,849 𝑋6 − 0,178 𝑋8 )
𝜋(𝑥) =
1 + exp(−1,779 + 0,683 𝑋2 − 2,849 𝑋6 − 0,178 𝑋8 )
Keterangan :
𝜋(𝑥) = kemungkinan kehadiran siamang
X2 = jumlah jenis pakan tingkat tiang
X6 = Lbds total tingkat tiang
X8 = Tinggi tumbuhan tingkat tiang

Hasil ini memberikan gambaran bahwa vegetasi pertumbuhan tingkat tiang


memiliki arti sangat penting bagi kehidupan siamang. Walaupun sebagai satwa
aboreal siamang tergantung pada keberadaan pohon, tetapi keberadaan tingkat
pertumbuhan tiang sangat penting. Secara keseluruhan hasil penelitian habitat ini
menunjukkan bahwa komponen habitat didominasi tingkat tiang memberikan
implikasi penting bagi keberadaan siamang. Jenis tumbuhan pakan siamang
sedikitnya telah teridentifikasi 48 jenis tumbuhan pakan, terdiri dari 12 jenis
dikonsumsi daun dan buahnya, 22 hanya dikonsumsi buahnya, 12 jenis hanya
daunnya, 2 jenis dikonsumsi buah dan kulitnya dan 1 jenis dikonsumsi semuanya.
Pola sebaran tumbuhan pakan secara umum mengelompok. Rata-rata nilai
produktivitas pakan daun (hutan sekunder dan hutan primer) adalah sebesar 10,5
kg/ha/hari berat basah atau 5,75 kg/ha/hari berat kering. Nilai produktivitas pakan
buah adalah sebesar 58,94 kg/ha per hari berat basah dan 35,90 kg/ha per hari berat
kering pada hutan sekunder dan pada hutan primer diperoleh sebesar 60,50 kg/ha per
hari (berat basah) dan 26,95 kg/ha per hari (berat kering). Rata-rata nilai
produktivitas buah (mempertimbangkan musim berbuah) rata-rata berkisar antara
10,45 kg/ha per hari (berat basah) dan rata-rata sebesar 4,81 kg/ha per hari (berat
kering).
Nilai konsumsi pakan siamang berdasarkan hasil pengamatan di kebun binatang
diperoleh rata-rata sebesar 1,02 kg/hari per individu. Berdasarkan produktivitas
habitat, maka daya dukung habitat hutan primer dan sekunder adalah 1 individu
dalam 3,5-4 ha. Nilai dugaan ini masih cenderung over estimate karena belum
memperhatikan faktor persaingan pakan maupun penggunaan ruang dengan primata
lainnya, seperti orangutan. Jenis tumbuhan pakan siamang sebagian besar juga
merupakan pakan orangutan (Kuswanda, 2011). Habitat yang paling sesuai bagi

Sintesis 2010-2014 |9
siamang di sekitar CA. Dolok Sipirok adalah di hutan produksi dan hutan lindung
yang masih relatif utuh (primer dan sekunder) dengan nilai HSI sebesar 0,68 dan
0,52 dan yang kurang sesuai adalah APL (0,48). Nilai Karakteritik tumbuhan untuk
penilaian kesesuaian habitat bagi siamang tertinggi di hutan produksi dan terendah
di hutan lindung. Nilai rata-rata jenis tumbuhan pakan, Lbds total dan tinggi
tumbuhan di hutan produksi masing-masing sebesar 2,9 jenis/0,01 ha, 0,167 m2/0,01
ha dan 15 meter. Ancaman kerusakan habitat diantaranya adalah pembukaan lahan
untuk area perkebunan di setiap status hutan, pencurian kayu dengan kerusakan
tegakan tertinggi. Pembakaran hutan dan lahan yang dapat menurunkan reproduksi
siamang, pengambilan hasil hutan lainnya seperti rotan, getah kemenyan dan kayu
bakar serta pengembangan infrastruktur yang memotong habitat siamang.
Penelitian di Taman Nasional Batang Gadis berdasarkan analisis SWOT dan
AHP diarahkan pada strategi menjaga keutuhan ekosistem hutan beserta satwaliarnya
di setiap zonasi dengan prioritas untuk mengembangkan potensi keragaman jenis
satwaliar langka dan dilindungi (Kuswanda, 2012). Pada zona rehabilitasi, jenis
tumbuhan yang teridentifikasi pada plot seluas 1,2 ha sekitar 70 jenis. Pada
ketinggian 350 meter dpl sebanyak 33 jenis, ketinggian sekitar 500 m dpl 36 jenis
dan ketinggian 600 m dpl 33 jenis. Nilai indeks keanekaragaman jenis termasuk
kategori sedang (H’<3) yang mengindikasikan bahwa kondisi ekosistem sudah
mengalami gangguan. Komunitas tumbuhan dengan perbedaan ketinggian 100 m dpl
cukup berbeda (rata-rata indeks kesamaan sebesar 41,1%). Keragaman jenis
satwaliar, baik untuk mamalia darat maupun primata pada setiap tipe ketinggian
tempat termasuk kategori rendah. Hasil pendugaan kepadatan satwaliar untuk
primata antara 1,6 – 3,8 ind/ha dan untuk mamalia darat 1,6 – 2,2 ind./ha. Jenis-jenis
satwa yang termasuk kategori langka dan dilindungi diantaranya siamang (Hylobates
syndactylus), trenggiling (Manis javanica) dan kambing hutan (Naemorhedus
sumatraensis).
Pada zona rimba berdasarkan hasil analisis vegetasi pada plot 1,6 ha di TNBG
teridentifikasi 119 jenis tumbuhan. Pada tipe ekosistem dataran rendah ditemukan 49
jenis, ekosistem Sub Pegunungan 55 jenis, ekosistem Pegunungan 40 jenis dan pada
ekosistem lahan terdegradasi 39 jenis. Keragaman jenis pada berbagai tingkat
pertumbuhan secara umum termasuk kategori tinggi (H’ > 3) sehingga masih
merupakan ekosistem yang stabil. Keanekaragaman jenis tertinggi (primata dan
mamalia darat) ditemukan di ketinggian 1.200-1.300 m dpl sebesar 1,517 dan 1,979.
Dugaan kepadatan rata-rata primata sebesar 2,4 ind./ha dan mamalia darat sebesar
2,2 ind./ha.
Penelitian satwa indikator di TN Kerinci Seblat wilayah Sumatera Barat diareal
zona rimba yang berbatasan dengan zona rehabilitasi, zona khusus, zona
pemanfaatan terbatas adalah siamang dan ungko. Dengan habitat yang berbukit-bukit
dan sebagian besar masih hutan primer atau sekunder tua. Populasi H. Syndactylus

Sintesis 2010-2014 | 10
adalah 8,5 inv/km2 dan H. Agilis 8,6 individu/km2. Kedua jenis tersebut berada
dalam habitat yang sama dengan perbedaan sumber pakan (Bismark, 2014).
Pada zona inti, hasil identifikasi pada plot seluas 1,6 ha ditemukan sebanyak 158
jenis. Pada ekosistem ketinggian 700 - 900 m dpl ditemukan sebanyak 83, ketinggian
1.000 – 1.100 m dpl 87 jenis, 1.200 – 1.300 m dpl 74 jenis dan ketinggian 1.400 –
1.600 m dpl 58 jenis. Jenis yang mendominasi antara lain modang/Litsea odorifera
Valeton, lagan/Dipterocarpus kunstleri King. dan meranti/Shorea sp. Keragaman
jenis termasuk kategori tinggi (H’>3) sehingga masih merupakan ekosistem yang
stabil. Persentase tutupan tajuk antara 80-95%. Pada kelompok primata
teridentifikasi sebanyak 6 jenis dan kelompok mamalia darat 15 jenis.
Keanekaragaman jenis (H’) satwaliar tergolong rendah, untuk primata hanya 0,530-
1,450 dan mamalia darat 1,642-2,107. Dugaan kepadatan rata-rata primata sebesar
1,8 ind./ha dengan kepadatan tertinggi pada siamang (0,8 ind./ha).
Hasil penelitian karakteristik tumbuhan dan satwaliar di atas telah melengkapi
informasi penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Conservation
International – Indonesia (2004) dan Balai KSDA II Sumut (2005) yang baru
menginformasikan jenis tumbuhan dan satwaliar di seluruh kawasan TNBG.
Penelitian ini juga menemukan indikasi masih adanya orangutan (Pongo abelii) di
TNBG berdasarkan penemuan sarang dan tanda lainnya di area zona rimba.
Keragaman jenis tumbuhan dan satwaliar di TNBG secara umum lebih tinggi di
banding kawasan lainnya, di Sumatera bagian Utara, seperti Taman Nasional Bukit
Tiga Puluh dan Taman Nasional Tesso Nilo.
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Sulawasi Selatan seluas 43.750
hektar dan terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten Maros dan Kabupaten
Pangkajene-Kepulauan adalah untuk konservasi ekosistem karst Maros-Pangkep
yang berbentuk menara (tower karst).
Di kawasan TN Bantimurung Bulusaraung dijumpai tiga ekosistem, yaitu tipe
ekosistem karst yang merupakan tipe ekosistem di atas batuan karst/batu gamping
atau diatas batuan karst yang berdinding terjal dengan puncak menaranya yang
relative datar (forest over limestone) terletak di wilayah Ammarae tipe ekosistem
hutan dataran rendah non dipterokarpa pamah dengan topografi datar sampai
berbukit di wilayah Karaenta tipe hutan pegunungan bawah (1575 m dpl) dengan
topografi bergelombang hingga terjal (Indra et al., 2010). TN Babul memiliki
keanekaragaman hayati tumbuhan tingkat pohon di kawasan hutan Ammarae indeks
keragamannya (H’) adalah 2,848. Indeks keragaman pohon di kawasan hutan
Karaenta (H’) adalah 3,380 sedangkan di hutan pegunungan indeks keragaman
pohon (H’) 3,378. Potensi biofisik lainnya adalah mamalia yang terdiri dari babi
hutan, monyet ekor panjang, monyet Sulawesi, tarsius, tupai, kus-kus, musang dan
tikus cerucut dimana indeks keragaman di kawasan hutan Ammarae (H’) 1,36, di
kawasan hutan Karaenta (H’)0,94 dan di kawasan hutan Tondokarambu (H’) 1,20.

Sintesis 2010-2014 | 11
Burung yang dijumpai di kawasan hutan Ammarae 60 jenis dengan indeks
keragaman (H’) 3,93, di kawasan hutan Karaenta 45 jenis dengan indeks keragaman
(H’) 3,63 dan di kawasan hutan Tondokarambu 32 jenis dengan indeks keragaman
(H’) 3,32. Kupu-kupu yang dijumpai di kawasan hutan Ammarae 100 jenis dengan
indeks keragaman (H’) 4,38, di kawasan hutan Karaenta 156 jenis dengan indeks
keragaman (H’) 4,27 dan di kawasan hutan Tondokarambu 117 jenis dengan indeks
keragaman (H’) 1,53 (Indra et al. 2010).
B. Habitat Populasi Satwa Ekosistem Dataran Rendah
Contoh penelitian di TN ekosistem dataran rendah yang cukup lengkap dalam
penelitian RPI 13 adalah TN Siberut dengan satwa kualitas vegetasi adalah 4 jenis
primata endemik. TN Siberut adalah adalah zona inti dari cagar biosfer Siberut,
sehingga penelitian mencakup areal bekas IUPHHK di sekitar TN yang kondisinya
sama dengan di beberapa wilayah TN Siberut.
Di Taman Nasional Siberut tercatat 164 jenis pohon. Jenis pohon di hutan
sekunder tua yang dominan tertera pada Tabel 2.1, sedangkan kondisi ekologis
vegetasi hutan di areal penelitian dirinci dalam Tabel 2.2 (Bismark et al., 2012).
Tabel 2.1. Jenis pohon pada hutan alam dengan INP > 10 %
No Nama lokal Nama Ilmiah INP
(%)
1 Tetepana Hydnocarpus woodii 19,5
2 Roan/Koan Horsfieldia irya Warb. 13,8
3 Potsaiguan/Potceiguan Koompassia sp. 11,1
4 Posa Alseodaphne sp. 14,1
5 Politcen/Polikceu/politciu Euodia aromatic 10,0
6 Pokatoksu Knema sp. 14,0
7 Poka/Kruing - 22,0
8 Koka/Koga/keruing kora/Poka-Kruing Dipterocarpus caudiferus Merr. 59,2
9 Dibu Eugenia sp. 26,4
10 Boiko Alangium javanicum (Bl.) Wang 17,6

Perbandingan potensi vegetasi dengan di daerah penyangga TN Siberut berupa


hutan bekas tebangan di hutan produksi
Tabel 2.2 Kondisi ekologis vegetasi hutan daerah penyangga TN Siberut (jumlah/ha)
Tipe Vegetasi Jenis Semai Pancang Tiang Pohon
Ht. Sekunder Tua 59 25.000 6.000 78 128
LOA 0 tahun 64 56.250 68.000 114 122
LOA 1 tahun 51 126.250 5.800 12 54
LOA 3 tahun 50 75.000 8.600 20 122

Dari potensi tegakan yang ada , areal bekas tebangan masih mendukung
pemanfaatan satwa yang menjadi indikasi bagi kualitas habitat satwa, terutama

Sintesis 2010-2014 | 12
primata endemik, yang menjadi sasaran pengelolaan pengelolaan Taman Nasional
Siberut.
Berdasarkan hasil penelitian, pohon yang berpotensi untuk pohon tidur primata,
(Hylobates klossii, Simias concolor, Presbytis potenziani) di areal bekas tebangan
tertera pada Tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3. Populasi pohon yang berpotensi untuk pohon tidur primata di areal bekas
tebangan
Vegetasi Diameter Pohon
30-39 40-49 50-59 >60 Total
LOA 1 tahun 12 12 - 6 30
LOA 3 tahun 27 20 8 2 47
Jenis pohonnya adalah Aglaium javanica, Dipterocarpus, Artocarpus,
Baccaurea sumatrana, Hydnocarpus woodii, Gymnacranthera bancana,
Alseodaphne, Canarium furtosum dan Shorea sp., sedangkan kerapatan dan volume
pohon di beberapa plot sebagaimana Gambar 2.1

Gambar 2.1. Perbandingan kerapatan dan volume pohon di hutan produksi


Potensi pohon berdiameter 20-50 cm yang tersisa di areal bekas tebangan
(LOA), mempunyai kerapatan 40-60 pohon/ha menunjukkan adanya pengelolaan
hutan produksi dengan kategori Reduce Impact Logging (RIL). Pohon berdiameter di
atas 40 cm masih tersedia sebagai pohon tidur primata. Di hutan primer, pohon
tempat tidur primata didominasi oleh jenis-jenis Dipterocarpaceae. Di areal bekas
tebangan, yang dominan ditebang adalah jenis keruing (Dipterocarpaceae).
Kerapatan pohon untuk pohon tidur H. klossii adalah 65 pohon per ha (Whitten,
1980). Berdasarkan jumlah tebangan dan volume tebang (Tabel 4), pelaksanaan
pemanfaatan hutan di PT S3 masih termasuk dalam kategori RIL. Penebangan hutan
produksi dengan RIL adalah 7,5 pohon/ha dengan volume 60 m3/ha (Bismark dan
Sawitri, 2004).
Hasil inventarisasi jenis dan potensi pohon di areal bekas tebangan hutan yang
tidak ditebang dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Sintesis 2010-2014 | 13
Tabel 2.4. Dominansi jenis pohon dalam vegetasi habitat primata
Areal bekas tebangan Areal tidak ditebang Kawasan TN. Siberut *)
INP INP INP
Jenis Jenis Jenis
(%) (%) (%)
Nephelium sp. 75,9 Shorea pauciflora 59,2 Gluta elegans 11,77
Alangium javanicum 12,1 Dipterocarpus sp. 26,4 Chasalia chartaceae 24,64
Dipterocarpus sp. 15,0 Dipterocarpus 19,5 Cleidion spiciflorum 37,58
caudiferus
Canarium hirsutum 18,3 Phoebe grandis 17,6 Mallotus subpeltatus 18,02
Kakaona reflexa 52,9 Dipterocapus sp. 13,8 Bhopia mitida 8,22
Dipterocarpus sp. 22,8 Horsfieldia irya 14,1 Eugenia cymosa 20,16
Artocarpus kemando 12,3 Aporosa lucida 22,5 Arthocarpus bornensis 14,19
Euodia aromatica 13,2 Hydnocarpus woodii 11,3 Eugenia sp. 18,47
Alseodaphne sp. 12,4 Chamnosperma sp. 10,7 Xanthophyllum sp. 12,51
*) Laporan survei TNS, 2010
Berdasarkan Tabel 2 dan 3, di areal LOA 1 dan LOA 3 tahun terlihat
peningkatan jumlah pancang dan dinamika jumlah semai. Data ini menunjukkan
dampak RIL terhadap suksesi vegetasi. Hal tersebut didukung dengan tingkat
kesuburan tanah pada areal bekas tebangan (Tabel 2.5). Kondisi tanah dan sumber
nutrisi dari nekromass memungkinkan perbaikan pertumbuhan semai dan pancang
sebagai proses suksesi dan perbaikan habitat. Tingginya biomas nekromass
menunjukkan tingginya kadar K dan P serta nilai KTK.
Tabel 2.5. Kimia tanah dan biomass mikromas serta potensi semai di areal bekas
tebangan
Kimia Tanah Biomass Jumlah
Vegetasi
N C/N P2O5 K2O5 KTK Nekromas Semai/ha
LOA 0 0,21 9 35 52 14,2 298,74 56.250
LOA 1 0,33 11 25 38 11,92 114,55 126.250
LOA 3 0,24 11 30 49 16,25 288,96 75.000
Dari 42 jenis pohon dalam plot pengamatan di taman nasional, 50% jenis pohon
ditemukan dalam jumlah satu individu pohon. Kondisi ini menunjukan tingkat
keragaman yang tinggi atau adanya pemanfaatan, mengingat lokasi plot berada
dalam zona pemanfaatan tradisional. Jumlah indeks keragaman jenis pohon dalam
plot pengamatan 1,448 (Laporan TNS, 2010). Di areal bekas tebangan, dari 24 jenis
dalam sampel plot, 80-90% ditemukan dalam jumlah 2 individu pohon. Di areal
bekas tebangan, keragaman jenis pohon berkisar 1,14 - 1,30 indeks Shannon.
Pada kondisi awal di areal bekas tebangan jenis primata akan bermigrasi lokal ke
areal berbukit dengan kriteria lindung dan sekitar sungai yang tidak ditebang
(Bismark, 2004). Hasil penelitian populasi menunjukan sulitnya ditemukan primata
di areal bekas tebangan, terutama jenis Hylobates dan Simias, yang hidup arboreal
dan membutuhkan kanopi yang baik untuk perlidungan dari perburuan (Tabel 2.6).

Sintesis 2010-2014 | 14
Tabel 2.6. Populasi primata di TN Siberut dan Daerah Penyangga (DP)
Populasi (individu/km2)
Jenis Primata Areal bekas Areal belum TN. Siberut*)
tebangan (DP) ditebang (DP) 2009 2010
Hylobates klossii 0 12,1 4,45 8,9
Simias concolor 0 0 8,84 4,6
Presbytis potenziani 4,6 0 6,60 4,2
Macaca siberu 5,7 0 2,65 5,3

P. potenziani primata pemakan daun dan M. pagensis yang bersifat semi


terestrial dapat bertahan diareal bekas tebangan tiga tahun, sedangkan di areal yang
belum ditebang yang mudah teramati adalah H. klosii karena populasi cukup tinggi
dibanding dengan populasi TNS, sedangkan 3 jenis lainnya sedikit teramati karena
kerapatan tajuk dan perilakunya yang semi terestrial dan dapat bersembunyi lebih
lama kalau mendengar sesuatu yang dianggap membahayakan, termasuk suara dari
aktifitas penebangan pohon. Hasil inventarisasi di TNS bagian Selatan menunjukkan
sulitnya ditemukan jenis Macaca dan Simias (Laporan TNS, 2010). Data pada Tabel
2.7 menunjukkan sensitifnya perilaku primata endemik di Siberut yang sulit dijumpai
dalam waktu pengamatan yang terbatas. Berdasarkan analisis hasil monitoring
populasi primata di TNS tahun 2009 dan 2010 (Tabel 7), rata-rata populasi empat
jenis primata endemik mengalami kenaikan populasi sebesar 2% (Tabel 2.7).
Kondisi ekologis habitat terkait dengan populasi dan kehadiran burung di areal
penelitian tersaji pada Tabel 2.7
Tabel 2.7. Kondisi ekologis populasi burung
Parameter Vegetasi
Ht. primer LOA 1 th LOA 3 th
Kerapatan pohon/ha 204 66 110
Jenis burung 10 11 12
Luas sampel (ha) 5,8 7,92 3,92
Populasi burung/ha 0,83 0,24 0,15
Frekuensi kehadiran burung 34,55 39,01 47,28
`

Sintesis 2010-2014 | 15
III. EKOSISTEM DAN JASA LINGKUNGAN

Taman nasional memiliki potensi sumberdaya hutan dalam bentuk jasa


lingkungan hutan sebagai hasil atau implikasi dari dinamika hutan berupa jasa yang
mempunyai nilai manfaat atau memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia
baik manfaat langsung (tangible benefit) maupun manfaat tidak langsung (intangible
benefit). (Direktorat Pemanfaatan dan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, 2009).
Manfaat tangible dari taman nasional adalah sebagai penghasil kayu dan non kayu
yang nilainya dapat langsung tercermin dari harga pasar dalam bentuk satuan nilai
uang. Sedangkan manfaat intangible dari taman nasional atau manfaat yang tidak
kasat mata kelihatan anatara lain sebagai habitat berbagai jenis mahluk hidup,
sumber keanekaragaman hayati, pengatur dan penyedia tata air, pengendali erosi dan
banjir, pengatur iklim dan pengendali keseimbangan ekosistem alam. Jasa
lingkungan menurut Pgiola et.al (2004) dan Lemona dalam Direktorat Pemanfaatan
dan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam (2009) yang nilainya telah dapat dihitung
melalui pendekatan nilai riil dari sudut pandang masyarakat , nilai pilihan maupun
nilai keberadaan, dibagi ke dalam 4 katagori, yaitu: (1). Perlindungan dan
pengaturan tata air (jasa lingkungan air), (2) Konservasi keanekaragaman hayati (jasa
lingkungan keanekaragaman hayati), (3) Penyediaan keindahan bentang alam (jasa
lingkungan ekowisata), dan (4) Penyerapan dan penyimpanan karbon (jasa
lingkungan karbon).
Salah satu cara untuk melakukan valuasi ekonomi adalah dengan menghitung
nilai ekonomi total (NET). Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang
terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional
yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya, sehingga
alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan dengan benar dan mengenai
sasaran (Bakosurtanal, 2004). Penilaian ekonomi tidak saja ditujukan pada nilai yang
langsung dapat dihitung, tetapi termasuk juga yang tidak memiliki nilai pasar (non-
market value), nilai fungsi ekologis serta keuntungan yang tidak langsung lainnya.
A. Nilai Ekonomi Biodiversitas
Jasa lingkungan keanekaragaman hayati merupakan nilai ekonomi taman
nasional sebagai habitat satwaliar dan tumbuhan langka dan dilindungi ataupun nilai
perdagangan satwa dan tumbuhan. Oleh karena itu, perlindungan dan pelestarian
tumbuhan dan satwa langka termasuk tanaman obat serta perlindungan dan
pelestarian bentang alam maupun ekosistem hutan yang kegunaannya diketahui atau
permintaannya dimasa yang akan datang merupakan nilai pilihan (Nurfitriani, 2005).
Penelitian dibeberapa taman nasional ditujukan untuk mengetahui potensi serta nilai
keanekaragaman hayati yang dilakukan dengan wawancara dan inventarisasi
vegetasi dan satwaliar serta nilai pilihan yang merupakan pernyataan kesediaan
membayar untuk melestarikannya.

Sintesis 2010-2014 | 16
B. Nilai Flora
Identifikasi potensi biodiversitas beberapa TN telah dilaporkan diantaranya,
potensi jenis tumbuhan yang termasuk unggul lokal di TN Laiwanggi Wanggameti
(TNLW) adalah 31 jenis, antara lain kaduru bara (Palaquium obtusifolium), kaduru
rara (Palaquium obovatum), laru (Myristica littoralis), kawita kaba (Tarenna
incerta) tada katabi (Aglaia leucophylla) murungiha (Helicia excelsa), cendana
(Santalum album), inju watu (Spondias piñata), kesambi (Schleichera oleosa),
manera (Aglaia eusideroxylon), mayela (Artocarpus glaucus), pulai (Alstonia
scholaris), beringin (Ficus benyamina), kainjilu (Ficus variegate) dan sawo kecik
(Manilkara kauki).
Jenis satwaliar di TNLW yang teridentifikasi adalah 22 jenis mamalia, 72 jenis
kupu-kupu, 7 jenis amphibian, 4 jenis reptilia dan burung 215 jenis, delapan
diantaranya endemik Sumba yaitu rangkong (Aceros everetti), kakatua jambul jingga
(Cacatua sulphurea citrineoristata), gemak sumba (Turnix everetti), punai sumba
(Treron teysmani), walik rawamanu (Ptilonopus dohertyii), burung madu sumba
(Nectarina buettikoferi), sikatan sumba (Ficedula harteti) dan punggok wangi (Ninox
rudolfii).
Nilai kayu di TNLW berdasarkan potensi daerah penyangga dibagi menjadi dua
yaitu untuk pertukangan dan kayu bakar. Kurniadi et al. (2010) menyatakan bahwa
nilai ekonomi kayu pertukangan di TNLW berdasarkan 22 plot pengamatan adalah
sebesar Rp. 271.216.098,5,-/ha. Selanjutnya dengan asumsi daur tebang 20 tahun,
maka nilai ekonomi kayu pertukangan sebesar Rp. 13.560.804,9/ha/tahun. Apabila
kawasan berhutan di daerah penyangga TNLW seluas 41.516,5 ha, maka total nilai
ekonomi sumber daya kayu sebesar Rp. 562.997,157.639.4/tahun. Nilai ekonomi
kayu bakar diperoleh melalui pendekatan harga kayu bakar di pasar dan ongkos
angkut maka harga kayu bakar yang diproduksi dalam kawasan hutan sebesar Rp.
841.003,4 ,-/ha/tahun. Nilai tanaman obat 15 jenis tumbuhan pohon di TNLW
ditaksir dengan kesediaan membayar oleh masyarakat di sekitar TNLW didapatkan
sebesar RP. 1.270.000.-/ha/tahun, apabila luas kawasan berhutan 41.016,5 ha maka
nilainya sebesar RP. 52.090.955.000/tahun.
Nilai satwaliar keanekaragaman hayati di TN Wasur terdiri dari 50 jenis burung
yang termasuk 15 famili dengan beberapa jenis burung migran memiliki kelimpahan
tinggi di Rawa Donggamit diantaranya adalah itik gunung (Anas superciliosa),
gajahan pengala (Numenius phaeopus), kaki rumbai kecil (Phalarcopus lobatus),
trinil bedaran (Tringa terek) serta tiga jenis burung di Pantai Ndalir dengan jumlah
populasi mencapai lebih dari 500 individu seperti cerek pasir Mongolia (Charadrius
mongolus, 1100 individu), gajahan timur (Numenius madagascariensis, 522
individu) dan kaki rumbai kecil (Philomanchus pugnax, 720 individu). Burung
migran tersebut juga tersebar di habitat rawa lainnya seperti Rawa Nggom, Rawa
Mbalatar, Rawa Maar, Rawa Ukra besar, Rawa Tum Ter dan Rawa Biru yang

Sintesis 2010-2014 | 17
memiliki ketersediaan pakan berupa cacing, udang, kerang dan ampipoda (Winara et
al., 2010).
Pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat di sekitar TN Wasur adalah
memanen burung migran dan telurnya untuk dikonsumsi; berburu rusa, kangguru dan
wallaby dengan pendapatan Rp. 556.000/bulan
Potensi burung di TN Teluk Cendrawasih yang terdapat di P. Rumberpon
sebanyak 30 jenis, 16 famili, sebagian besar family Psitacidae terdiri dari 8 jenis.
Kelimpahan burung terbanyak diantaranya adalah nuri hitam (Chalcopsita atra), nuri
kepala hitam (Lorius lorry), kakatua koki (Cacatua galerita) dan pergam pinon
(Ducula pinon). Pemanfaatan sumberdaya alam di TN Teluk Cendrawasih oleh
masyarakat sekitar dari sektor perikanan, udang lobster, dan teripang memberikan
kontribusi pendapatan sebesar Rp. 804.000/bulan/KK, apabila dinilai dari
pemanfaatan sumber daya alam secara keseluruhan adalah sekitar Rp. 1.023.000,-
/bulan.
Penilaian potensi biodiversitas hutan tropika di TN Alas Purwo yang memiliki
luas 43.420 ha dengan formasi vegetasi hutan mangrove, hutan pantai, hutan hujan
dataran rendah, hutan tanaman dan savanna padang rumput dan potensi tumbuhan
langka seperti ketapang (Terminalia catappa), nyamplung (Calophyllum
inophyllum), keben (Barringtonia asiatica), sawo kecik (Manilkara kauki) dan 13
jenis bamboo, bernilai ekonomi sebesar Rp. 11.723.400.000,-/tahun (Mukhtar,
2010).
Penilaian pelestarian dan ekosistem dilakukan di Taman Nasional Batang Gadis,
merupakan kesediaan masyarakat sekitar untuk membayar pelestarian satwaliar yang
berjumlah 47 jenis mamalia dan 247 jenis burung (Kuswanda, 2011). Hasil analisis
penyebaran kuesioner pada masyarakat di daerah penyangga untuk mengetahui
kesedian membayar (WTP) terhadap kawasan TNBG sebagai habitat satwaliar yang
termasuk katagori langka dan dilindungi (IUCN, 2009) maupun dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai sumber protein, disajikan pada Tabel 3.1
Tabel 3.1. Nilai WTP beberapa jenis satwaliar menurut responden

Jenis Satwa Rata-rata


No nilai WTP
Nama Lokal Nama ilmiah
(Rp/tahun)
1 Rusa Cervus unicolor (Kerr, 1792) 742.857
2 Ajak Cuon alpinus (Pallas, 1811) 778.571
3 Beruang Madu Helarctos malayanus (Raffles, 1821) 1.771.429
4 Landak Hystrix brachyura Linnaeus, 1758 311.429
5 Trenggiling Manis javanica Desmarest, 1822 1.435.714
6 Kijang Muntiacus muntjak (Zimmermann, 1780) 464.286
7 Kambing hutan Naemorhedus sumatraensis (Bechstein, 1799) 1.114.286
8 Macan Dahan Neofelis nebulosa Griffith 1821 1.750.000

Sintesis 2010-2014 | 18
Jenis Satwa Rata-rata
No nilai WTP
Nama Lokal Nama ilmiah
(Rp/tahun)
9 Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929 68.857.143
10 Tapir Tapirus indicus (Desmarest, 1819) 3.892.857
11 Kancil Tragulus javanicus (Osbeck, 1765) 460.000

Perhitungan nilai ekonomi satwaliar di kawasan ini dihitung dari rata-rata nilai
WTP untuk semua responden di tujuh desa penelitian, selanjutnya dikalikan rata-rata
jumlah penduduk per desa dan seluruh desa penyangga di TNBG sebanyak 71 desa
(Balai KSDA Sumut II, 2006) (Tabel 3.2.)
Tabel 3.2. Pendugaan nilai ekonomi satwaliar di TNBG
Rerata WTP Penduduk Total
Desa
(Rp./tahun) (jiwa) (Rp./tahun)
Longat 3.817.647 2179 8.318.652.941,18
Lumban dolok 5.205.882 5154 26.831.117.647,06
Sopotinjak 3.115.000 204 635.460.000,00
Humbang I 6.171.765 907 5.597.790.588,24
Hutabariingin Julu 5.617.647 388 2.179.647.058,82
Pastap julu 3.782.353 525 1.985.735.294,12
Huta Padang 6.997.059 571 3.995.320.588,24
Total 34.707.353 9928 49.543.724.117,65
Rata-rata 4.958.193 1.418 499.282.000.000,00
Total Desa Penyangga 71 desa (BKSDA Sumut II, 2006)
NPV 10% (selama 25 tahun, biaya tetap) 4.532.002.694.382,00
NPV 7% (selama 25 tahun, biaya tetap) 5.818.424.316.405,00

Berdasarkan tabel diatas, nilai ekonomi TNBG sebagai kawasan pelestarian


satwaliar melalui kesediaan membayar, didapatka nilai sebesar Rp. 28 milyard per
tahun, dan apabila kawasan TNBG dengan potensi satwaliar yang terjaga maka
dalam 25 tahun mendatang, nilai satwaliar meningkat mencapai Rp. 4,53 triliun.
Nilai pelestarian kawasan TNBG sebagai habitat satwaliar yang didekati dengan
analisis kesediaan membayar (WTP) dengan metode CVM (Contingency Valuation
Method), ternyata memberikan penilaian yang beragam bahkan melebihi pendapatan
yang diperolehnya, hal ini menunjukkan penghargaan masyarakat yang cukup tinggi
terhadap keberadaan satwaliar langka dan dilindungi seperti harimau, tapir, beruang
madu, macan dahan dan trenggiling, disamping satwaliar yang diburu dan
dimanfaatkan daging maupun tenaganya seperti rusa, kijang dan beruk (Kuswanda,
2011).

Sintesis 2010-2014 | 19
C. Ekosistem Mangrove
Jasa lingkungan keanekaragaman hayati mangrove meliputi pemanfaatan kayu untuk
bangunan rumah, kayu bakar dan jasa ekosistem terhadap perairan sebagai
habitat, ikan, kepiting dan udang yang mendukung memenuhi kebutuhan
masyarakat baik dijual maupun dikonsumsi. Hal ini sangat membantu dalam
peningkatan ekonomi dan taraf hidup, dapat dilihat dari nilai jualnya per tahun,
Tabel 3.3 (La Ode Ahyar,2009). Kepiting dan udang yang ditangkap pakai
bubu dan jaring memberikan sumbangan yang sangat besar karena nilai jualnya
yang cukup tinggi dan pemasarannya sampai keluar daerah. Berdasarkan hasil
kepiting dan udang yang cukup tinggi maka kondisi vegetasi mangrove dan
perairan di sekitarnya cukup baik dengan tingkat pencemaran yang cukup
rendah.
Tabel 3.3. Pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati mangrove di TNK Wakatobi
Hasil rata- Nilai Persen
No. Jenis Pemanfaatan
rata/ha (Rp.)/tahun (%)
1. Kayu (m3) 2,380 833.000 0,01
2. Kayu bakar (ikat) 292.404 1.023.414.000 7,44
3. Ikan (kg) 306.396 1.072.386.000 7,80
4. Udang (kg) 346.620 4.852.680.000 35,28
5. Kepiting (ekor) 486.144 6.806.016.000 49,48
Di TN Karimunjawa yang diwakili oleh ekosistem hutan tropis dataran rendah,
hutan mangrove, hutan pantai, padang lamun dan terumbu karang, memiliki nilai
biodiversitas sebesar Rp. 11. 200.000.000,- /tahun, sedangkan manfaat yang
didapatkan masyarakat dari perikanan tangkap sebesar Rp. 6. 421.000.000/tahun dan
budidaya rumput laut menghasilkan Rp. 13.000.000.000,-/ tahun (TN Karimunjawa,
2012).
D. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Jenis tanaman obat yang terdapat di TN Lore Lindu 138 jenis yang termasuk ke
dalam 80 suku terdiri dari 33 jenis tingkat pohon, 23 jenis perdu/pohon kecil, 70
jenis herba tingkat semak, 8 jenis herba tingkat rumput, 3 jenis epifit, 1 jenis liana.
Tanaman obat tersebut umumnya dimanfaatakan oleh masyarakat local secara
tradisional di daerah penyangga taman nasional. Inventarisasai vegetasi di kaawsan ii
di bedakan menurut ketinggian lokasi yang terdapat di pegunungan di kelompok
hutan Kaduaha (Ketinggian 1196 m dpl) memiliki nilai H’2,156 merupakan kondisi
keragaman yang terstabil artinyan masih terpelihara kondisinya dengan sangat baik,
apabila dibandingkan dengan kelompok hutan Simoro (ketinggian 400-700 m dpl)
yang memiliki nilai H’ 0,29 (Kiding Allo et. al, 2009)
Pemanfaatan hasil hutan non kayu di Taman Nasional Gn Halimun Salak
diantaranya adalah getah pinus (Pinus merkusii), kopal (Agathis damara), poh-pohan

Sintesis 2010-2014 | 20
dan karet memberikan kontribusi tambahan pendapatan kepada masyarakat sekitar
kawasan. Hutan tanaman pinus yang berbatasan dengan Desa Taman Sari luasnya
sekitar 5 ha dengan potensi 6.690 pohon berumur 25 tahun diteres 30-60 pohon/hari
dan menghasilkan getah 160 kg-450 kg/bulan dengan pendapatan sebesar Rp.
400.000,- - Rp. 1.1125.000,- /bulan, sedangkan masyarakat Desa Purwabakti
meneres getah pinus sebanyak 32-140 kg/bulan dengan tambahan pendapatan sekitar
Rp. 80.000,- - Rp. 150.000,- ( Adalina et.al, 2014; Adalina & Sawitri, 2013a). Petani
pengambil getah kopal sebanyak 24 orang masyarakat Desa Sukagalih menghasilkan
200 kg/bulan dengan harga Rp. 3000,-/kg maka tambahan penghasilan sekitar RP.
600.000,-. Petani karet yang terdapat di dalam kawasan seluas 75 ha di Desa
Pangradin mendapatkan getahnya sekitar 7 -15 kg/dua hari dengan harga Rp
5.000/kg sehingga tambahan pendapatan sekitar RP. 525.000,- -Rp. 1.500.000,-
/bulan (Adalina et al., 2014). Penghasilan petani yang menanam poh-pohan (Pilea
melastomaides) di bawah tegakan pinus oleh masyarakat Desa Taman Sari seluas <
0,25 ha -0,5 ha mendapatkan penghasilan tambahan sekitar Rp. 80.000,- - Rp.
915.000,-/orang/bulan (Adalina & Sawitri, 2013b).
Di Taman Nasional Akatajawe Lolobata, wilayah Hutan Bukit Durian, kerapatan
jumlah pohon damar mencapai ± 86 pohon/ha, sedangkan di Hutan Tayawi
mencapai ± 37 pohon/ha. Hasil perhitungan INP kelompok pohon berdiameter ≥10
cm dbh di Hutan Bukit Durian menunjukkan bahwa terdapat 9 jenis tumbuhan yang
memiliki INP lebih besar dari 10%. Heritiera avafuruensis Kostern (Sterculiaceae)
adalah jenis pohon dengan nilai INP paling tinggi sedangkan Dillenia spp merupakan
jenis yang sering ditemui pada setiap perjumpaan dengan A.dammara. Hasil
perhitungan INP pada habitat A.dammara di Hutan Tayawi menunjukkan terdapat 7
jenis pohon dominan, diantaranya adalah A.dammara, Heritiera avafuruensi Kostern
dan Canarium hirsutum. H.avafuruensis ditemukan disetiap plot yang juga terdapat
A.dammara, hal ini ditunjukkan oleh nilai frekuensi relatif yang sama 12,5%.
Kopal merupakan salah satu komoditas atau hasil akhir dari pengolahan getah
damar yang memiliki nilai jual yang tinggi. Metode penyadapan getah damar yang
diterapkan oleh masyarakat yang bermukim disekitar kawasan TNAL masih
cenderung tradisional. Penjualan getah damar 6,3-12,6 ton masyarakat memperoleh
keuntungan antara Rp. 18.900.000 - Rp. 37.800.000 per tahun, artinya bahwa
keuntungan tersebut memberikan kontribusi sebesar 57,80% - 86,22% terhadap
pendapatan total masyarakat. Hal ini menunjukkan kontribusi pendapatan dari getah
damar masyarakat tidak merata (Nurrani, 2013b).
Sebanyak 81 jenis tumbuhan hutan berkhasiat sebagai obat teridentifikasi pada
kawasan TNAL yang digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional.
Sebanyak 15 jenis ditemukan pada Desa Gosale, sebanyak 20 Jenis pada Desa
Akejawi dan sebanyak 46 jenis pada Dusun Tayawi. Berdasarkan habitus tumbuhan,
kategori pohon paling banyak dengan persentase sebanyak 42,68 %, herba 28,05 %,
liana 19,51 % serta perdu dan palma dengan masing-masing persentase 4,88%.

Sintesis 2010-2014 | 21
Bagian yang banyak dimanfaatkan adalah daun sebanyak 40,00%, batang 18,95%,
kulit 15,79%, akar 10,53 %, batang bagian dalam 5,26 %, seluruh bagian tumbuhan
4,21%, getah 3,16 % serta biji dan bunga dengan masing-masing persentase sebesar
1,05% (Nurrani, 2014).
Masyarakat sekitar TN Wasur memanen kemiri sebesar Rp. 500.000,-/tahun;
memanen tanaman obat berupa daun kayu putih (Asteromyrtus sympiocarpa) sebesar
Rp. 2000,-/kg dan sarang semut (Mymorcodia pendans) sebesar Rp. 75.000,-/kg;
tanaman hias berupa anggrek keriting (Dendrobium concolor), anggrek kelinci (D.
antenatum), anggrek johanes (D. johanes), anggrek nenas (D. smiliae), anggrek
bawang (D. canalikulatum), anggrek goldi, anggrek tanah anggrek macan dan
anggrek larat sebesar Rp. 5.000.000,-/tahun dari kayu bush (Melaleuca cajuputi),
rahai (Acacia mangium), gempol (Neuclaea orientalis) dan kayu besi lapang
(Eucalyptus sp.); nilai ekonomi kayu bakar sebesar Rp. RP. 1.036.000,-/bulan;
sedangkan pendapatan dari hasil perikanan seperti udang di Pantai Ndalir Rp.
979.000,-/bulan dan ikar air tawar Rp. 1306.900/bulan (Winara et al., 2010).
E. Nilai Ekonomi Sumberdaya Air
Kawasan Taman Nasional mampu menyediakan jasa-jasa lingkungan yang
sangat potensial bagi pengembangan usaha ekonomi masyarakat secara keseluruhan,
terutama dari bidang pengembangan pariwisata serta penyediaan sumber-sumber air.
Air yang berasal dari kawasan TN Bantimurung Bulusaraung ini mempunyai nilai
ekonomi yang sangat tinggi dan manfaatnya sangat besar bagi masyarakat yang
tinggal di dalam dan sekitar kawasan taman nasional sebagai sumber air minum dan
pengairan lahan pertanian, demikian juga di taman nasional lainnya seperti TN
Laiwanggi Wanggameti, TN Wasur, TN Alas Purwo dan TN Batang Gadis.
Air yang berasal dari TNLW digunakan oleh 16 desa dengan jumlah penduduk
18.438 jiwa untuk keperluan rumah tangga maupun pengairan sawah seluas 923 ha.
Nilai ekonomi sumberdaya air di TNLW ditunjukkan oleh kesediaan rata-rata
masyarakat membayar air sebesar Rp. 215,19/m3 lebih rendah dari harga air oleh
PDAM kota Waingapu sebesar Rp. 1000,-/m3, hal ini dikarenakan tingkat daya beli
masyarakat yang rendah dan pandangan masyarakat sekitar kawasan bahwa air
bukan merupakan barang komersial. Apabila rata-rata konsumsi air 36,5 m3/kk/tahun
maka nilai air untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp. 33.702.797,09/tahun.
Sedangkan nilai air untuk pengairan sawah didekati dengan produktivitas lahan
sebesar Rp. 12.376.000,-/ha, sehingga untuk pertanian bernilai sebesar Rp.
11.423.048.000,-/tahun. Oleh karena itu, nilai ekonomi air secara keseluruhan adalah
Rp. 11.423.048.000/tahun. Sedangkan di TN Alas Purwo, nilai ekonomi air bagi
keperluan rumah tangga maupun pertanian di tiga desa sampel sebesar Rp.
110.680.947,-/tahun (Mukhtar, 2010).
Jasa lingkungan air yang terdapat di TN Bantimurung Bulusaraung meliputi nilai
ekonomi air irigasi, nilai air mikrohidro diestamasi, nilai air untuk perikanasn dan

Sintesis 2010-2014 | 22
usaha cuci mobil yang melibatkan beberapa pihak yang sangat terkait dengan
pengelolaan dan pemanfaatan air di TN Babul ini yaitu Taman Nasional, Pemerintah
Daerah (Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Pertambangan, Dinas Pariwisata
dan PDAM), industri, usaha cuci mobil dan masyarakat (Lembaga Pengelola Air),
memiliki nilai ekonomi sangat besar berkisar antara Rp. 2,066 trilyun sampai Rp. 2,2
trilyun per tahun ( Hayati, 2011).
Nilai ekonomi air yang terdapat di TN Wasur dinilai dari potensi air permukaan
yang terdapat di Danau Rawa Biru seluas 12,570 ha dengan beberapa sungai antara
lain S. Maro, S. Yauram, S. Maar dan S. Torasi. Kapasitas air tawa D. Biru mencapai
50.000.000 m3, tetapi debit air ini berkurang karena pendangkalan dan meningkatnya
laju transpirasi dan evatranspirasi akibat semakin meluasnya invasi tanaman tebu
rawa (Hanguana malayana) dan rumput pisau (Carex sp.). Nilai manfaat air bersih
sebesar Rp. 11,5 milyard/tahun (Winara et al.,2010)
Nilai ekonomi air yang berasal dari Danau Siombun yang mempunyai luas
sekitar 4 ha dengan debit 100 liter/detik dan Anak Sungai Simandolang, Sungai
Batang Gadis di taman Nasional Batang Gadis, dimanfaatkan sebagai air bersih oleh
PDAM Tirta Kabupaten Madina. Pendugaan nilai ekonomi air yang didistribusikan
pada konsumen PDAM (air bak), analisis dilakukan berdasarkan rata-rata nilai
ekonomi air bersih pada WTP (ketersediaan membayar) karena nilai tersebut lebih
mencerminkan nilai sebenarnya dibandingkan nilai WTS (kesediaan menerima
kompensasi atau dibayar). Nilai ekonomi air rata-rata pada tingkat konsumen
sebesar RP. 1.107,33/m3, dikalikan dengan nilai produksi air sebesar 630.882
m3/tahun, maka diperoleh nilai air bersih yang dimanfaatkan PDAM sebesar Rp.
698.594.565,06/tahun (Kuswanda, 2011) . Tetapi berdasarkan nilai bahan baku yang
dimanfaatkan oleh PDAM dikurangi biaya distribusi, nilai air bersih saat ini masih
sekitar Rp.331,459.565,06/tahun. Nilai air ini masih lebih rendah bila dibandingkan
dengan yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk sector pertanian dan perikanan,
karena pelanggan PDAM di Kab. Madina masih terbatas sekitar 4,6%. Apabila
diasumsikan masyarakat di Kabupaten Madina untuk waktu yang akan datang
menggunakan air PDAM maka nilai air diprediksi sekitar Rp. 7.205.642.719/tahun
(Tabel 3.4)
Tabel 3.4. Hasil analisis ekonomi air oleh PDAM Tirta Kabupaten Madina
No Uraian Hasil Sumber data
1. Total produksi air (m3) PDAM Tahun 2009 630.882 LK (2009)
2. Total air terjual (m3/tahun) 630.685 LK (2009)
3. Kehilangan atau kebocoran air ((m3/tahun) 197 LK (2009)
4 Jumlah pelanggan (orang) 8.616 LK (2009)
5 Harga air baku (Rp/m3) berdasarkan análisis 1.107,33 Analisis data
nilai fungsi WTP pada tingkat konsumen primer (2011)
6 Nilai ekonomi air pada tingkat konsumen 698.594.565,06
(Rp./tahun)

Sintesis 2010-2014 | 23
No Uraian Hasil Sumber data
7 Biaya transmisi/distribusi air (Rp./tahun) 367.135.000,00 LK (2009)
8 Nilai ekonomi air baku PDAM (siap 331.459.565,06 Analisis data
didistribusikan) (Rp./tahun) primer (2011)
9 NPV 10% (selama 25 tahun, biaya tetap) 3.008.671.736,00 Analisis data
merujuk Kurniawan (2006) primer (2011)
10 NPV 7% (selama 25 tahun, biaya tetap) merujuk 3.862.691.612,00
Antoko (2011)
11 Tingkat pelayanan kebutuhan terhadap jumlah 4,6 LK (2009)
penduduk (%)
12 Asumsi : Penduduk terlayani 100% 7.205.642.719,00 Analisis data
primer (2011)

Nilai ekonomi air untuk keperluan rumah tangga dan keramba di Seksi Wilayah
Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Semitau, Taman Nasional Danau Sentarum
(TNDS), diperoleh dari persamaan Y = 63,512-0,005 X1 + 67,911 X3 + 2,296 X4
dengan faktor peubah yang berpengaruh adalah biaya pengadaan air (X1), jumlah
anggota keluarga (X3) dan umur kepala keluarga (X4), sedangkan faktor yang tidak
berpengaruh diantaranya pendapatan, pendidikan kepala keluarga dan jarak sumber
air, sehingga biaya pengadaan air yang kecil akan memperbesar konsumsi air karena
ketersedian air di Danau Sentarum yang berlimpah. Kesediaan membayar air rata-
rata sebesar Rp. 14.182.369,29 jiwa/tahun, sedangkan nilai yang dibayarkan sebesar
Rp. 1.749.389,82 jiwa/tahun sehingga nilai surplus konsumen sebesar Rp.
12.432.979,47. Dengan demikian, total nilai ekonomi air untuk kebutuhan rumah
tangga di TN Danau Sentarum sebesar Rp. 127.641.323.610,00 walaupun yang
dibayarkan oleh masyarakat yang berjumlah 948 jiwa hanya sekitar Rp.
15.744.508.380,00 sehingga nilai manfaat hidrologis yang ada belum optimal
(Anggraeni et al., 2013). Kondisi juga terjadi di beberapa lokasi taman nasional
lainnya seperti di TN Gunung Gede Pangrango dimana nilai ekonomi total air
sebesar Rp. 4.181.000.000,00/tahun dan nilai surplus penggunaan air oleh konsumen
sebesar Rp. 4.119.000.000,00 (Darusman, 1993). Nilai ekonomi total air untuk TN
Gunung Halimun Salak sebesar Rp. 5.223.870.380,00, sedangkan nilai surplus
konsumen sebesar Rp. 4.060.503.012,00 (Widada dan Darusman, 2004), dan nilai
ekonomi sumber aya air di Tn Ujung Kulon yang diwakili Gn Honje sebesar Rp.
813.935.214,29 (Balai Taman Nasional Ujung Kulon, 2012). Perbedaan
penghitungan nilai hidrologis tersebut disebabakan perbedaan kondisi lokasi,
cakupan wilayah, jumlah penduduk dan ketersediaan air.
Apabila konsumsi air secara keseluruhan TNDS sebesar 1190,31 m3 maka total
nilai kesediaan membayar adalah sebesar Rp. 15.044.768.326,15/periode dan nilai
yang dibayarkan hanya sebesar Rp. 3.013.547.952,35, sehingga nilai surplus sebesar
Rp. 12.031.220.373,80/ periode. Pemanfaatan air untuk ikan keramba oleh
masyarakat di sekitar TN Danau Sentarum memberikan konstribusi pendapatan

Sintesis 2010-2014 | 24
sekitar 39% dari pendapatan total masyarakat sebesar Rp. 70,939.513,33/tahun
(Anggraeni et al., 2013).
Jasa lingkungan air di kawasan TN Gunung Ceremai dari 119 mata air memiliki
debit sekitar 10-110 l/dt. PDAM Kuningan memanfaatkan mata air Paniis yang debit
airnya sekitar 860 l/dt untuk Kabupaten Cirebon atau 2.200.200 m3/bulan
memberikan kontribusi pendapatan sekitar Rp. 4.815.684.450,-/bulan (Widodo,
2012).
Nilai ekonomi air yang dimanfaatkan untuk rumah tangga di TN Rinjani adalah
sebesar Rp. 10.216,-/jiwa atau Rp. 173.933.532,- /tahun/KK sedangkan nilai
ekonomi air yang digunakan oleh Perusahaan Air Minum Daerah sekitar Rp.
1.640.299,630,- (Ramdhani, 2011).
Jasa air yang dihasilkan oleh TN Kutai dengan luas hutan 198.629 ha maka
simpanan air tanah sekitar 900 m3/ha/tahun atau sekitar 178.766.100 m3/tahun.
Apabila kawasan hutan taman nasional ini dikonversi maka ditinjau dari aspek jasa
air akan kehilangan Rp. 34.000.000.000,-/tahun (Jalil, 2013).
F. Nilai Ekonomi Wisata Alam
Pengelolaan dan daya tarik wisata telah diatur di dalam Pasal 4 Undang-undang
No 9 tahun 1990. Obyek dan daya tarik wisata terdiri dari (a) Obyek dan daya tarik
wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud keadaan alam, serta flora dan
fauna; (b) Obyek dan daya tarik wisata hasil karya manusia berwujud museum,
koleksi peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata
tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan.
Kepariwisataan yang termasuk ke dalam obyek dan daya tarik wisata alam adalah
taman nasional, taman wisata, taman hutan raya dan taman laut. Jasa lingkungan
wisata merupakan kesediaan pengunjung membayar yang dipengaruhi oleh
preferensi terhadap jasa lingkungan alami serta lokasi dan infrastruktur. Hasil studi
Siswantinah Wibowo (2003) dalam Hayati (2011) menyatakan bahwa nilai ekonomi
jasa lingkungan ekowisata di TN Gn Gede Pangrango adalah sebesar Rp. 131 milyar
pada tahun 2000/2001.
Nilai keberadaan TNLW yang memiliki nilai estetika, budaya dan kultural dapat
dimanfaatkan untuk tujuan wisata. Kesediaan masyarakat membayar manfaat wisata
tersebut rata-rata sebesar Rp. 4.821,-/KK/tahun dengan jumlah masyarakat sekitar
kawasan 4291 KK, maka nilai total ekonomi wisata tersebut sebesar Rp.
20.688.750,-/tahun.
Valuasi ekonomi jasa lingkungan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dilakukan dengan menggunakan analisis regresi untuk melihat hubungan antara
variabel kesediaan membayar (WTP) responden terhadap perubahan kualitas
lingkungan dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya seperti karakteristik
responden yaitu jenis kelamin, umur, pendidikan, penghasilan dan konservasi

Sintesis 2010-2014 | 25
(kesediaannya menyisihkan penghasilannya untuk peningkatan kualitas lingkungan
di TN Babul). Valuasi ekonomi jasa wisata di TN Babul ditinjau melalui persamaan
matematik sebagai berikut:
WTP= β0+ β1 Sx + β2 Umur + β3 Pdkkn + β4 Ph + β5 kons + β6 kp + β7 Ws + β8 lpkj + β9ra
+ei

Dimana :
WTP : kesediaan membeyar dari responden ke-I (dalam rupiah)
β0, β1…. Βx :koefisien regresi
Sx : jenis kelamin responden
Pddkn : tingkt pendidikan responden
Ph : tingkat penghasilan responden per tahun
Kons : Kesediaan responden menyisihkan pendapatan runah tangga untuk
kegiatan konservasi : persepsi atau penilaian responden terhadap
fasilitas atau sarana prasarana dan kualitas produk obyek wisata
Ws : Persepsi responden tentang TN Babel sebagai tempat wisata
Lpkj :Persepsi responden tentang TN Babel sebagai sumber mata
pencaharian
ra : Persepsi responden tentang Babel sebagai daerah resapan air
ei : Kesalahan pengganggu

Penaksiran berdasarkan persamaan matematik diatas adalah:


WTP = 1.034,597 -55,018 - 1.005,588 + 297,226+ 907,869+197,841+5.0106 –
3.636,337- 1.866,578 +4.576,923
= 5.557,143
Apabila total pengunjung di TN Babul pada tahun 2010 sebanyak 621.134
orang,dengan rata-rata WTP sebesar Rp. 5.557,143, maka nilai manfaat ekonomi jasa
wisata di TN babel adalah sebesar Rp. 3.451.730.371,43. Taman Nasional Gn
Rinjani memberikan kontribusi berupa nilai ekonomi wisata alam yang merupakan
kesedian pengunjung membayar sebesar Rp. 4.100,-/orang, sehingga pendapatan dari
kegiatan ini sebesar Rp. 748.205.256,-/tahun (Ramdhani, 2011).
Nilai ekonomi wisata TN Bunaken dengan jumlah pengunjung 27.741 individu,
dihitung menggunakan model fungsi permintaan VISIT = 24.27071- 0.004585
COST maka estimasi kesedian membayar dari wisatawan nusantara sebesar Rp.
140.405.171.010 pada tahun 2013, maka nilai surplus konsumen sebesar Rp.
6.433.449.930 atau sebesar Rp. 232.271,- /individu, sedangkan kesedian membayar
wisatawan mancanegara adalah sebesar US$ 13.054.000 dengan nilai surplus
konsumen sebesar US$ 8,36 (Samsudin et al., 2013).
Nilai ekonomi wisata yang diperoleh dari pengunjung TN Bromo Tengger
Semeru pada tahun 2010, adalah sebesar Rp. 36.210.000,- sedangkan kesediaan
pengunjung membayar sekitar Rp. 13.076,92/individu (Bernadi, 2012). Sedangkan
nilai ekonomi wisata di TN Alas Purwo yang memiliki potensi wisata pantai,

Sintesis 2010-2014 | 26
estuaria, pengamatan burung dan mamalia, serta keunikan dan keindahan
pemandangan adalah sebesar Rp. 71.395.000,-/tahun. Pengunjung TN Ujung Kulon
bersedia membayar (Willingness to Pay) sebesar Rp. 15.666/individu dengan nilai
surplus konsumen sebesar Rp. 3.015,873/kunjungan sehingga nilai ekonomi wisata
alam sebesar 16.511.904.761,91 (Prayoga, 2013).
Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat mendapatkan jumlah
kunjungan yang relatif sedikit yaitu sekitar 302 individu/tahun dari Tahun 2010-
2012. Kesedian membayar pengunjung untuk menikmati keindahan danau sebesar
Rp. 486.970.684,2 sedangkan nilai yang dibayarkan adalah sebesar Rp.
332.904.984,3, sehingga surplus konsumen adalah sebesar Rp. 154.065.699 (Maria et
al., 2013). TN Karimunjawa memberikan nilai ekonomi wisata alam sebesar Rp.
2.900.000.000,- - Rp. 21.000.000.000,- dengan rata-rata pertahun sebesar Rp.
7.500.000.000,- (TN Karimunjawa, 2012)
G. Nilai Ekonomi Taman Nasional sebagai Penyangga Kehidupan
Nilai ekonomi kawasan TNBG sebagai sistem penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, iklim dan mencegah erosi sangat penting mengingat rata-rata
kawasan di daerah penyangga memiliki kelerengan tanah > 40% dan jenis tanah di
kawasan termasuk andosol, komplek podsolik merah kuning-latosol, komplek
podsolik coklat-podsolik-latosol, dan latasol yang peka terhadap erosi (Kuswanda
et.al., 2009). Nilai ekonomi erosi taman nasional ini dihitung berdasarkan rata-rata
nilai WTP dari semua responden pada setiap desa penelitian, selanjutnya dilakalikan
rata-rata jumlah penduduk per desa dan seluruh desa penyangga di TNBG sebanyak
71 desa, disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5.Hasil pendugaan nilai ekonomi pencegah erosi
Rerata WTP
Penduduk Luas Nilai erosi
Desa (Rp./tahun/
(jiwa) (ha) (Rp/tahun)
responden)
Longat 1.945.000 2179 3743.06 4.238.155.000
Lumban dolok 1.262.500 5154 765.36 6.506.925.000
Sopotinjak 2.392.500 204 1733.45 488.070.000
Humbang I 572.500 907 1398.04 519.257.500
Hutabariingin Julu 790.000 388 796.83 306.520.000
Pastap julu 1.285.000 525 251.67 674.625.000
Huta Padang 875.000 571 1000.68 499.625.000
Total 9.122.500 9.928 13.233.177.500
Rata-rata 1303.214 1.418 131.231.000.000
Total Desa Penyangga 71 desa (BKSDA Sumut II, 2006)
NPV 10% (selama 25 tahun, biaya tetap) 1.191.189.038.632
NPV 7% (selama 25 tahun, biaya tetap) 1.529.311.374.065

Sintesis 2010-2014 | 27
Masyarakat bersedia membayar nilai ekonomi erosi cukup tinggi, hal ini terkait
dengan kesadaran masyarakat akan bahaya erosi/longsor yang mereka alami akibat
kerusakan hutan. Nilai kesediaan membayar seluruh masyarakat di daerah penyangga
mengingat fungsi TNBG sebagai pencegah erosi/longsor mencapai Rp. 131,23
milyard per tahun, apabila fungsi tersebut masih berlangsung maka dalam 25 tahun
mendatang nilai tersebut mencapai Rp. 1,19 trilyun dengan asumsi suku bunga tetap
10% per tahun atau mencapai Rp. 1,53 trilyun dengan asumsi suku bunga 7%
(Antoko, 2011),
Nilai yang didapatkan dari fungsi Taman Nasional Leuser sebagai penyangga
kehidupan dengan perkiraan waktu selama 30 tahun kedepan dibedakan menurut
kondisi hutan yaitu US$ 9.100.000.000 apabila kawasan digunakan secara lestari, US
7.000.000.000 apabila hutan dalam keadaan terdeforestasi dan bila dikonversi akan
memiliki nilai yang tinggi yaitu US$9.500.000.000 (Balai Taman Nasional Leuser,
2010).
H. Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Karbon
a. Ekosistem Mangrove
Jasa lingkungan karbon diketahui dari hasil-hasil penelitian mitigasi karbon di
hutan alam dataran rendah, hutan mangrove dan hutan alam dataran tinggi. Di hutan
dataran rendah, mitigasi karbon diwakili oleh Cagar Biosfer P. Siberut (Bismark et
al., 2008), terdapat 10 jenis pohon mangrove yaitu: Rhizophora apiculata Blume, R.
mucronata Blume, Bruguiera cylindrica W.et.A., B. gymnorrhiza (L). Savigny,
Xylocarpus granatum Koen, Barringtonia racemosa Blume, Ceriops tagal C.B Rob.,
Aegyceras corniculatum Blanco, Luminitzera littorea Voigl. dan Avicennia alba L.
Jenis yang mendominasi tegakan hutan mangrove R. apiculata dengan kerapatan 80
pohon/ha, R. mucronata 28 pohon/ha dan B. gymnorrhiza sebesar 12 pohon/ha.
Biomasa tegakan di atas tanah dan kandungan karbon hutan mangrove yang terdiri
dari jenis R. apiculata, R. mucronata dan jenis B. gymnorrhiza cukup rendah yaitu
sebesar 49,13 ton/ha atau 24,56 ton C/ha, setara dengan 90,16 ton CO2/ha.
b. Ekosistem Gambut
Dalam penelitian di lahan gambut, data yang ditampilkan merupakan cuplikan
dari peneliti yang telah melakukannya. Berdasarkan atlas Gambut Indonesia
(Wahyunto et al., 2003, 2004, dan 2007), Papua mempunyai lahan gambut terluas,
namun karena pada umumnya gambut di Papua lebih tipis, maka cadangan (stock)
karbonnya hanya sekitar 3.623 Mega ton (Mt) atau 3,6 Giga ton (Gt). Gambut di
Sumatera mepunyai kedalaman antara 0,5 sampai lebih dari 12 m, dan cadangan
karbonnya mencapai 22,3 Gt dan di Kalimantan cadangan karbon lahan gambut
sekitar 11,3 Gt.
Menurut penelitian Rahayu el al., 2005., di Nunukan Kalimantan Timur, hutan
gambut mengandung sekitar 200 ton C/ha, sedangkan Page et al., 2002., penelitian
di hutan gambut bekas terbakar tahun 1997 di Kalimantan Timur, menyatakan

Sintesis 2010-2014 | 28
kandungan karbon sekitar 600 ton/ha, sedangkan biomassa hutan gambut hanya
mengandung sekitar 200 ton C/ha. Wasis dan Mulyana (2010), menyatakan bahwa
kandungan karbon pada lahan gambut eks-PLG sejuta hektar di Kalimantan Tengah
setelah 10 tahun terbakar yaitu sebesar 262,2 ton C/ha. Disamping itu, nilai ekonomi
karbon di TN Tesso Nillo dengan total biomassa hutan 2013 sebanyak 11.774.265,
67 ton dihitung melalui model pendugaan biomassa Y = 1048,145+4050,848 ln(X),
sehingga stock karbon dengan asumsi 50% dari biomassa adalah 5.887.132,835 ton
(Jati, 2014).
TN Berbak mengandung cadangan karbon sebesar 25.998.500 ton carbon dari
rata-rata 0-225 ton carbon/ha serta emisi karbon 95.988.500 ton CO2. Apabila
tingkat laju deforestasi TN Berbak -1,14% atau kehilangan hutan seluas 1.800 ha
maka emisi bersih karbon (Balai Taman Nasional Berbak, 2012). Menurut
ketinggian simpanan karbon berkisar antara 164-225 ton C/ha dan harga simpanan
karbonnya dapat mencapai Rp. 4.933.968.000.000,-, dimana potensi pohon setiap
tipe ekosistem antara 105,6-409,7 m³/ha.
c. Ekosistem Dataran Rendah
Penelitian di daerah penyangga TN Siberut dengan tipe hutan alam dataran
rendah Pulau Siberut, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa biomasa tegakan hutan
yang berdiameter lima cm ke atas di hutan primer, hutan bekas tebangan/LOA satu
tahun dan LOA lima tahun, masing-masing sebesar 131,92 ton/ha, 70,39 ton/ha, dan
97,55 ton/ha. Kandungan karbon dan serapan karbondioksida berturut-turut sebesar
65,96 ton C/ha dan 242,07 ton CO2/ha; 35,19 ton C/ha dan 129,15 ton CO2/ha; 48,77
ton C/ha dan 178,99 ton CO2/ha. Jenis pohon yang memiliki potensi biomasa,
kandungan karbon dan serapan karbondioksida tertinggi yaitu koka (Dipterocarpus
elongatus Korth.) sebesar 132,28 ton/ha, 66,14 ton C/ha dan 242,73 ton CO2/ha.
Potensi necromass pada tapak tegakan (hutan primer, LOA satu tahun dan LOA lima
tahun) berturut-turut sebesar 0,65 ton/ha, 0,78 ton/ha, dan 0,73 ton/ha (Bismark et
al., 2008).
d. Ekosistem Pegunungan
Potensi karbon yang terdapat di TN Kelimutu dibedakan menurut zonasi dimana
zona inti yang didominasi oleh tumbuhan Vaccinium varingiefolium dan
Rhododendron renchianum memilki jumlah karbon sebesar 69,29 ton/ha, sedang
zona rehabilitasi yang ditanami jenis tumbuhan Eucalyptus urophylum memilki
kandungan karbon sebesar 107,04 ton/ ha (Fauzi, 2012).
Jasa karbon yang dihasilkan TN Kutai berdasarkan luas tutupan hutan primer
sejumlah 8860 ha dan hutan sekunder seluas 137.802 ha dimana nilai serapan
karbon hutan primer sekitar 263 ton/ha dan hutan sekunder 95 ton/ha, sehingga nilai
karbon yang dihasilkan 15.421.370 ton. Apabila asumsi harga karbon US$ 5 maka
nilai karbon keseluruhan sebesar US$77.106.850 atau Rp. 639.961.650.000,-
(US$=Rp.9.000,-). (Jalil, 2013).

Sintesis 2010-2014 | 29
IV. ZONASI TAMAN NASIONAL

Taman Nasional mengemban berbagai fungsi, yaitu sebagai perlindungan


sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, maka
pelaksanaan pengelolaan yang dianggap mampu untuk menjaga keseimbangan fungsi
taman nasional adalah pengelolaan berdasarkan sistem zonasi. Zonasi yang baik
adalah zonasi yang disusun dengan mengacu pada kriteria dan indikator yang benar-
benar sesuai atau disusun berdasarkan kondisi biofisik dan sosial ekonomi budaya
masyarakat setempat.
Masalah zonasi merupakan salah satu masalah krusial yang dihadapi oleh
berbagai taman nasional di Indonesia. Untuk itu, penelitian yang tergabung dalam
RPI Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem, permasalahan yang
menyangkut zonasi taman nasional diakomodir untuk dilaksanakan mulai tahun
anggaran 2010 – 2014. Salah satu kebutuhan penelitian yang dapat mendukung
penyelesaian masalah zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi utamanya
taman nasional adalah aspek yang lingkupnya berkaitan kriteria dan indikator
pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional. Penelitian ini bertujuan untuk
menyediakan informasi dan teknologi yang mampu merumuskan pengelolaan dan
pemanfaatan kawasan konservasi secara lestari. Hal ini tertuang pada sasaran RPI
yaitu paket informasi karakteristik tipologi atribut biofisik dan sosial ekonomi
budaya masyarakat dan luaran RPI berupa kriteria dan indikator pengelolaan
kawasan konservasi tiap tipologi ekosistem.
Disisi lain, pengelolaan taman nasional berdasarkan zonasi juga dinilai belum
optimal karena masih minimnya informasi setiap komponen ekosistemnya, terutama
komponen biotik yang sifatnya dinamis. Begitu pula belum tersedianya indikator
yang tepat untuk menentukan zonasi sering menjadi permasalahan dalam menilai
kelayakan dan menentukan strategi pengelolaan suatu taman nasional dalam bentuk
zona inti, rimba atau zona lainnya.
A. KRITERIA DAN INDIKATOR ZONASI
Kriteria adalah titik tengah dari informasi yang disediakan dan diintegrasikan
oleh indikator sehingga dapat digunakan sebagai standar penilaian (CIFOR, 1999;
Purnama, 2005). Indikator merupakan parameter kualitatif maupun kuantitatif yang
dapat diukur dan diuji keabsahannya dalam menguji suatu unit manajemen untuk
mencapai kriteria pengelolaan (Setyadi et al., 2006; Gunawan, 2012).
Pentingnya indikator ekologis dalam pengelolaan suatu ekosistem dan kawasan
dinyatakan oleh Carignan dan Villard (2002), bahwa sangat sulit untuk mengukur
semua komponen pada suatu ekosistem untuk kepentingan pengelolaan, sehingga
indikator ekologis sangat penting diketahui. Lebih lanjut De Leo dan Levin (1997)

Sintesis 2010-2014 | 30
menyatakan bahwa satu indikator tunggal saja tidak cukup untuk mengukur suatu
ekosistem atau kawasan, namun diperlukan satu set indikator.
Keberadaan spesies tertentu dapat menjadi parameter penting untuk
menentukan indikator suatu zonasi. Spesies-spesies tersebut ada yang tergolong
spesies payung (umbrella species), flagship species, spesies endemik, spesies langka,
dan spesies dilindungi. Sebagaimana dinyatakan Lambeck (1997) dan Noss (1999)
dalam Carignan dan Villard (2002), bahwa pada level spesies ada beberapa indikator
ekologis yang dapat digunakan, diantaranya adalah keystone species, area-limited
umbrella species, dispersal-limited species, resource-limited species, process-limited
species, dan flagship species. Untuk TNBG, beberapa diantaranya adalah harimau
sumatera (P. tigris) dan macan dahan (N. nebulosa) sebagai spesies payung
(umbrella species); kucing emas (C. temmincki) sebagai spesies langka; orang utan
(P. abelli Lesson) sebagai flagship spesies dengan status konservasi kritis terancam
punah; trenggiling (M. javanica), siamang (S. Syndactylus Raffles), kelompok elang,
kelompok rangkong, damar (H. beccariana), meranti (Hopea spp.), dan S. acuminata
sebagai spesies dengan beberapa status konservasi dan dilindungi; serta A. argus
sebagai spesies endemik.
Keberadaan spesies pada suatu zonasi harus ditindaklanjuti melalui
pengelolaan kawasan yang sesuai dengan karakteristik zonasi. Sebagai contoh adalah
tingginya potensi satwa pada kawasan terbuka bekas tebangan zona rimba. Kondisi
ini menunjukkan bahwa kawasan tersebut merupakan bagian dari habitat dan ruang
jelajah satwa-satwa tersebut. Dengan demikian, dalam pengelolaan selanjutnya pada
kawasan hutan bekas tebangan perlu dilakukan kegiatan rehabilitasi, pemulihan, dan
pengayaan habitat. Areal ini dapat ditunjuk sebagai zona rehabilitasi untuk
selanjutnya ditetapkan kembali sebagai zona rimba.
Pada zona pemanfaatan, selain adanya potensi alam dan wisata alam yang
tinggi, juga adanya tempat minum beberapa jenis mamalia dan habitat beberapa jenis
burung srigunting (Dicrurus spp.) merupakan obyek penelitian dan pendidikan yang
cukup penting. Selain itu, dengan adanya keberadaan lintasan rusa (C. unicolor) dan
macan dahan (N. nebulosa) maka diperlukan identifikasi ruang jelajah kedua spesies
tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih dengan kawasan hutan yang sering
dikunjungi manusia. Hal ini untuk mengurangi dampak akibat tingginya intensitas
kontak satwa dengan manusia. Indikator ekologis menunjukkan bahwa potensi
ekosistem zona pemanfaatan masih cukup baik. Oleh sebab itu perlu disusun konsep
pengembangan wisata alam yang mendukung kelestarian obyek wisata alam dan
potensi biotik yang terdapat di dalamnya. Beberapa kawasan yang sangat potensial
untuk pengembangan wisata alam tersebut adalah Danau Saba Begu dan Puncak
Sorek Merapi di TN Batang Gadis (Kuswanda et al., 2009).

Sintesis 2010-2014 | 31
1. Zona Inti
Di TN Bukit Tigapuluh (TNBT) berdasarkan kriteria PP No 68 Tahun 1998
maka disusun indikator untuk masing-masing kriteria zona inti sebagaimana
disajikan dalam Tabel 4.1 (Kwatrina dan Mukhtar, 2006).
Tabel 4.1. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Inti TNBT
Kriteria menurut PP No. 68 Usulan Indikator Hasil pada Lokasi
Th 1998 Pengamatan
(1)Mempunyai (1) Keanekaragaman jenis - Tinggi (H’tumbuhan =
keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa tinggi 3,25-3,71)
tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya
(2) Mmewakili formasi biota (2) Tipe ekosistem khas - Bagian dari hutan hujan
tertentu dan atau unit-unit tropika dataran rendah
penyusunnya
(3) Mempunyai kondisi alam, (3) Tipe vegetasi hutan primer - Hutan primer & hutan
baik biota maupun fisiknya (4) Pemanfaatan sumberdaya alam sekunder
yang masih asli dan atau tidak ada - Beberapa kawasan
belum diganggu manusia (5) Dibatasi oleh zona rimba berbatasan dengan zona
pemanfaatan
(4) Mempunyai luas yang (6) Luas optimal - Bentuk cenderung tidak
cukup dan bentuk tertentu (7) Bentuk cenderung melingkar radial/melingkar
agar menunjang (8) Kelerengan ≥ 25% - Kelerengan ≥ 25%
pengelolaan yang efektif
dan menjamin
berlangsungnya proses
ekologis secara alami
(5) Mempunyai ciri khas (9) Potensi tumbuhan tinggi - Beruang madu, harimau
potensinya dan dapat (10) Potensi satwa tinggi sumatera
merupakan contoh yang (11) Potensi fisik wilayah unik - Bagian dari kelompok
keberadaannya memerlukan perbukitan
upaya konservasi
(6) Mempunyai komunitas (12) Spesies penting ada - Beruang madu, harimau
tumbuhan dan atau satwa (13) Tingkat kelangkaan nyaris sumatra
beserta ekosistemnya yang punah, genting (endangered), - Terancam punah
langka atau yang dan atau jarang, terbatas (indeterminate)
keberadaannya terancam (restricted), dan atau
punah penurunan pesat, rawan
(Depleted/vulnereble), dan
atau terancam punah, terkikis
(indeterminate)
Keterangan (Remark): = Usulan (proposal)
Mengacu pada kriteria zona inti dalam PP. No. 68 Tahun 1998, maka potensi
dan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan fisik pada zona inti di TNBT ternyata

Sintesis 2010-2014 | 32
masih tinggi yang terlihat dari salah satu indikatornya yaitu tingginya indeks
keanekaragaman jenis tumbuhan yang berkisar antara 3,25 – 3,71, terdapat berbagai
jenis satwa, dan bentuk fisik wilayah yang unik berupa kelompok perbukitan.
Sebagian besar kawasan memiliki topografi yang curam dengan kelerengan ≥25%.
Kondisi tersebut cukup rawan secara ekologis sehingga perlu ditetapkan sebagai
salah satu indikator zona inti. Selain itu bentang alam TNBT juga khas yang
merupakan hutan hujan dataran rendah, sehingga memerlukan upaya konservasi.
Salah satu kriteria zona inti yang penting adalah keaslian kondisi alamnya.
Indikator yang semestinya mewakili untuk kriteria ini adalah hutan primer, namun
demikian telah terjadi perubahan penutupan lahan yang cukup signifikan dalam
kurun waktu tiga tahun (2000 sampai dengan 2003) di TNBT, dimana sebagian
hutan primer telah berubah menjadi hutan sekunder. Dengan kondisi tersebut,
penetapan zona inti berdasarkan indikator hutan primer saja tidak akan mewakili.
Untuk itu perlu penambahan indikator hutan sekunder selain hutan primer sehingga
zona inti yang ditetapkan memiliki luasan yang cukup bagi kelangsungan biota
penting di dalamnya.
Kriteria selanjutnya menyatakan bahwa zona inti mempunyai komunitas
tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang
keberadaannya terancam punah. Berdasarkan kriteria tersebut, indikator zona inti
yang dapat mengindikasikan kondisi tersebut adalah terdapatnya jenis langka dan
tingkat kelangkaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TNBT merupakan
bagian dari habitat beberapa jenis satwa penting seperti harimau sumatera dan
beruang madu. Status kelangkaan satwa ini bahkan ada pada tingkat terancam punah
atau indeterminate. Mengingat tingginya kepentingan terhadap perlindungan
beberapa jenis satwa penting seperti harimau sumatera, beruang madu dan tapir maka
dalam pengelolaannya perlu dievaluasi batas-batas zona inti saat ini, terutama pada
kawasan yang menjadi ruang jelajah (home range) satwa, sehingga dapat
memberikan ruang yang cukup bagi satwa untuk hidup dan berkembangbiak.
Dalam rencana penataan zona seperti yang terdapat dalam Zonasi Taman
Nasional Batang Gadis (Balai KSDA II Sumut, 2006) disebutkan beberapa alasan
ekologis yang mendasari penunjukan kawasan zona inti. Berdasarkan alasan tersebut,
maka ditunjuk zona inti yang berupa dua fragmen besar yaitu sebagian di bagian
utara (± 20.250 Ha) dan bagian lainnya di bagian selatan dengan luas ± 13.233 Ha,
sehingga total luas zona inti ± 33.483 Ha.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dan Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka
alasan-alasan yang terkait dengan ekosistem, satwa dan tumbuhan, yang dijadikan
dasar dalam penunjukan zona inti TNBG sudah memenuhi kriteria zona inti. Namun
demikian, kriteria tersebut belum dijabarkan dalam indikator yang mencirikan

Sintesis 2010-2014 | 33
kondisi zona inti TNBG. Mengacu pada hasil penelitian Kwatrina & Mukhtar (2006)
mengenai indikator zonasi TNBT , maka indikator ekologis zona inti yang digunakan
adalah sebagai berikut: a) keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa tinggi, b)
tipe ekosistem khas, c) tipe vegetasi hutan primer, d) potensi tumbuhan tinggi, e)
potensi satwa tinggi, f) spesies penting ada, dan g) tingkat kelangkaan nyaris punah,
genting (endangered), dan atau jarang, terbatas (restricted), dan atau penurunan
pesat, rawan (depleted/vulnereble), dan atau terancam punah, terkikis
(indeterminate).
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka parameter ekosistem, satwa
dan tumbuhan sebagai dasar penetapan indikator ekologis zona inti TNBG disajikan
pada di bagian Utara dan bagian Selatan Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 (Kuswanda, 2009).
Tabel 4.2. Indikator ekologis pada zona inti TNBG bagian Utara
Indikator ekologis zona inti ** Indikator ekologis zona inti TNBG
(1) Keanekaragaman jenis  Keanekaragaman jenis tumbuhan, tinggi dengan nilai H’
tumbuhan dan/atau satwa tinggi pada tingkat pohon sebesar 3,51, pada tingkat belta
sebesar 3,48 dan pada tingkat semai dan tumbuhan
bawah sebesar 3,41.
 Keanekaragaman jenis satwa beragam dengan nilai H’
tertinggi pada klas Aves sebesar 3,94. Untuk klas
Mamalia darat sebesar 2,53, Primata sebesar 1,99 dan
Reptil sebesar 1,03
(2) Tipe ekosistem khas  Merupakan perwakilan hutan dataran rendah hingga
dataran tinggi
 Tipe vegetasi Formasi Bukit Barisan di atas 1000 m dpl.
 Sub tipe vegetasi Formasi Air Bangis - Singkil (300 -
1000 m dpl) dan sub tipe vegetasi Formasi Hutan
Montana (1000 – 1800 m dpl)
(3) Tipe vegetasi hutan primer  Tipe vegetasi hutan primer dengan kerapatan tumbuhan
sebesar 662,5 ind./ha.
(4) Potensi tumbuhan tinggi  Terdapat berbagai jenis hoting, medang, damar dan
meranti.
 Terdapat jenis-jenis endemik yaitu Hopea beccariana
Burck dan Shorea acuminata Dyer yang status
keterancamannya berdasarkan IUCN adalah “kritis untuk
punah”.
(5) Potensi satwa tinggi  Terdapat jenis-jenis satwa dilindungi yaitu ungko (H.
agilis F. Cuvier), jelarang (Ratufa affinis Raffles),
binturong (Arctictis binturong Raffles), trengggiling (M.
javanica Desmarest), rangkong (Buceros spp.) dan
berbagai jenis dari Klas Aves.
 Terdapat indikasi adanya orang utan (Pongo abelii
Lesson) dan ajak (Cuon alpinus Pallas) .

Sintesis 2010-2014 | 34
Indikator ekologis zona inti ** Indikator ekologis zona inti TNBG
(6) Spesies penting ada  Terdapat beruang madu (Helarctos malayanus Raffles)
dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae
(7) Tingkat kelangkaan (Scarcity Pocock) dengan status kelangkaan “terancam punah”.
level) nyaris punah, genting  Terdapat kambing hutan (Naemorhedus sumatraensis
(endangered), dan atau jarang, Bechstein) dan kucing mas (C.temminckii) yang
terbatas (restricted), dan atau tergolong satwa langka
penurunan pesat, rawan  Terdapat orang utan (P. abelii) dengan status “kritis”
(Depleted/vulnereble), dan atau  Terdapat damar (H.beccariana) dan meranti (Hopea
terancam punah, terkikis spp.) dengan status “kritis untuk punah”
(indeterminate)  Terdapat sikatan bubik (Muscicapa dauurica Pallas)
dengan status “data deficient/ kekurangan data”
Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006

Kondisi zona inti yang tergambar dari indikator tumbuhan dan satwa dalam
Tabel 2, menunjukkan bahwa kondisi vegetasi dan satwa di zona inti bagian Utara
masih sangat baik. Hasil ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh dan
Conservation International - Indonesia (2004) dan Balai KSDA II Sumatera Utara
(2005) yang mendapatkan potensi tumbuhan dan satwa yang tinggi di wilayah
TNBG. Pada zona inti juga dijumpai beberapa jenis satwa yang keberadaannya
masih berupa dugaan, yaitu adanya keberadaan kambing hutan (N. sumatraensis
Bechstein), kucing mas (C. Temminckii Vigors & Horsfield), dan ajak (C. alpinus)
yang terindikasi berdasarkan jejak dan suara. Selain itu juga terdapat indikasi
keberadaan orangutan pada zona inti yang diindikasikan dengan ditemukannya
sarang orang utan, serta dijumpainya berbagai jenis satwa dilindungi dan satwa
terancam punah seperti harimau sumatra (P. tigris Pocock) dan beruang madu (H.
malayanus Raffles).
Kondisi ekosistem dan vegetasi pada zona inti juga menunjukkan potensi yang
tinggi dan perlu dilindungi. Zona inti bagian Utara ini memiliki perwakilan hutan
dataran rendah sampai hutan dataran tinggi dengan dua sub tipe vegetasi, yang
mewakili ketinggi 300-1800 m dpl. Penutupan lahan pada zona inti hampir semuanya
terdiri dari hutan primer dalam kondisi yang masih sangat baik. Hal ini terlihat dari
tingginya indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pada ketiga tingkat vegetasi yang
diamati yaitu 3,41-3,51, dan kerapatan pohon sebesar 662,5 ind./ha. Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan habitat bagi burung migran seperti
cekakak cina (Halcyon pileata Linnaeus) dan berbagai jenis elang yang juga
ditemukan pada zona rimba. Selain itu ditemukan empat jenis dari kelompok
rangkong (Famili Bucerotidae), dua jenis pelatuk (Picidae) dan satu jenis luntur putri
(Trogonidae) yang keberadaannya sangat tergantung pada keberadaan hutan,
terutama hutan primer.

Sintesis 2010-2014 | 35
Tabel 4.3. Indikator ekologis pada zona inti TNBG bagian Selatan
Indikator ekologis zona inti ** Indikator ekologis zona inti TNBG
(1) Keanekaragaman jenis tumbuhan  Keanekaragaman jenis tumbuhan, tinggi dengan nilai
dan atau satwa tinggi H’ pada tingkat pohon sebesar 3,15, pada tingkat belta
sebesar 3,25 dan pada tingkat semai dan tumbuhan
bawah sebesar 3,37.
 Keanekaragaman jenis satwa beragam dengan nilai
H’ tertinggi pada klas Aves sebesar 3,10; kemudian
Mamalia darat sebesar 1,68; dan primata sebesar 1,06.
(2) Tipe ekosistem khas  Merupakan perwakilan hutan dataran rendah hingga
dataran tinggi
 Tipe vegetasi Formasi Bukit Barisan di atas 1000 m
dpl.
 Sub tipe vegetasi Formasi Air Bangis - Singkil (300 -
1000 m dpl) dan sub tipe vegetasi Formasi Hutan
Montana (1000 – 1800 m dpl)
(3) Tipe vegetasi hutan primer  Tipe vegetasi hutan primer dengan kerapatan
tumbuhan pada tingkat pohon sebesar 445 ind./ha.,
pada tingkat belta sebesar 2.590 ind./ha dan pada
tingkat semai dan tumbuhan bawah sebesar 68.750
ind./ha.
(4) Potensi tumbuhan tinggi  Terdapat berbagai jenis hoteng, medang, damar dan
meranti.
 Terdapat jenis-jenis endemik yaitu Hopea beccariana
Burck dan Shorea acuminata Dyer yang status
keterancamannya berdasarkan IUCN adalah “kritis
untuk punah”.
(5) Potensi satwa tinggi  Terdapat jenis-jenis satwa dilindungi yaitu ungko
(H.agilis), siamang (S.syndactylus), beruang
(H.malayanus), trengggiling (M.javanica), rangkong
(Buceros spp.) dan berbagai jenis dari Klas Aves.
(6) Spesies penting ada  Terdapat beruang madu (H.malayanus) dengan status
kelangkaan “terancam punah”.
(7) Tingkat kelangkaan (Scarcity  Terdapat damar dan meranti dengan status “kritis
level) nyaris punah, genting untuk punah”
(endangered), dan atau jarang,  Terdapat jenis burung endemik sumatera, seperti kuau
terbatas (restricted), dan atau (Argusianus argus Linnaeus) dan beberapa jenis
penurunan pesat, rawan burung yang dilindungi.
(Depleted/vulnereble), dan atau
terancam punah, terkikis
(indeterminate)
Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006

Sintesis 2010-2014 | 36
Zona inti bagian Selatan ini secara umum termasuk hutan dataran tinggi
dengan ketinggian rata-rata diatas 1.200 m dpl. Penutupan lahan pada zona inti
hampir semuanya terdiri dari hutan primer dengan kondisi yang masih sangat baik.
Hal ini dapat dilihat dari tingginya indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pada
ketiga tingkat vegetasi yang diamati di atas 3,0. Kondisi hutan yang demikian
merupakan habitat yang baik bagi beberapa jenis satwa. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan habitat bagi burung migran terutama
berbagai jenis elang. Dilihat dari parameter satwa, maka zona inti wilayah Selatan
memiliki potensi biotik yang sangat tinggi.
Dalam hal penyusunan kriteria dan indicator zonasi taman nasional
Bantimurung Bulusaraung, maka terdapat berbagai faktor penting yang menjadi
dasar pertimbangan bagi penentuan kriteria dan indicator tersebut seperti:
- Populasi dan komunitas seperti keanekaragaman hayati flora dan fauna,
keberadaan jenis langka, endemik dan dilindungi, estimasi jumlah individu dari
jenis endemik, langka dan dilindungi agar populasi dapat bertahan, luas area yang
dibutuhkan oleh jenis endemic, langka dan dilindungi, trend populasi jenis langka,
endemic dan dilindungi, tingkat ancaman dari keberadaan jenis eksotik,
keberadaan hama dan penyakit,
- Degradasi lingkungan seperti kondisi tanah, kebutuhan reklamasi dan rehabilitasi,
tingkat gangguan berupa polusi (air, suara, udara),
- Keterhubungan atau kekontinyuan habitat, tingkat fragmentasi habitat, keberadaan
koridor terutama pada areal diluar taman nasional, ketersediaan habitat yang
sesuai untuk berkembangbiak
- luasan areal yang mampu meminimalisir dampak keberadaan manusia maupun
meminimalisir dampak gangguan satwa liar, serta luasan yang dibutuhkan untuk
dapat menjamin keberlangsungan proses alamiah seperti proses hidrologis dapat
berlangsung dengan baik
- Keberadaan areal cadangan yang mampu menjamin keberlangsungan proses
perkembangbiakan agar dapat berjalan dengan baik, keberadaan habitat bagi
species migran,
- Analisis tingkat ancaman manusia di masa yang akan datang, seperti dokumentasi
ancaman, tingkat dukungan masyarakat terhadap taman nasional serta tingkat
pertumbuhan penduduk di sekitar kawasan taman nasional
Berdasarkan pertimbangan aspek biofisik dan interaksi masyarakat yang
dijumpai dilapangan,maka telah disusun set minimum kriteria dan indikator zona inti
yang sesuai dengan kondisi TN Batimurung Bulusaraung (Indra et al., 2013)(Tabel
4.4).

Sintesis 2010-2014 | 37
Tabel 4.4. Kriteria dan indikator zona inti TN Batimurung Bulusaraung
Kriteria Indikator Pengukur
1. Mempunyai a. Kekayaan jenis flora Daftar jenis berdasarkan
keanekaragaman jenis taksonomi
tumbuhan dan satwa b. Kekayaan jenis fauna Daftar jenis berdasarkan
taksonomi
c. Kekayaan jenis yang Daftar jenis flora dan fauna lokal
bergantung pada hutan yang bergantung pada hutan
2. Merupakan perwakilan a. Adanya zona inti pada setiap Perwakilan tipe ekosistem karst,
tipe ekosistem alami dan tipe ekosistem dan atau hutan pegunungan
formasi biota tertentu bawah, dan atau hutan hujan non
yang menjadi ciri khas dipterocarpaceae pamah
ekosistem a.1. Karst
a.1.1. Keberadaan Formasi Sebaran formasi vegetasi karst
vegetasi karst yang
belum terganggu
a.1..2. Keberadaan fauna khas Sebaran fauna khas karst
ekosistem karst Daftar jenis fauna khas karst
a.2. Hutan peg. Bawah
a.2.1. Keberadaan formasi Sebaran formasi hutan lumut
hutan lumut
a.3. Hutan hujan non
dipterocarpaceae pamah
a.3.1. Keberadaan jenis Ficus Sebaran jenis Ficus spp
spp
3. Mempunyai kondisi a.Merupakan hutan primer Vegetasi asli, bukan jenis eksotik
alam yang masih asli atau yang ditanam oleh
masyarakat
b.Bebas dari gangguan Masyarakat mengetahui letak
masyarakat lokasi zona inti
Masyarakat memahami fungsi
zona inti
Masyarakat memahami
peruntukan zona inti
Tidak ada perubahan akibat
aktivitas manusia
c.Tidak berbatasan langsung Terdapat zona rimba yang mampu
dengan zona pemanfaatan dan menyangga zona inti
zona lainnya (pmf tradisional,
khusus, budaya/religi
4. Mempunyai luasan yang a. Mampu mendukung daerah Luasan daerah jelajah satwa
cukup untuk menjamin jelajah satwa penting
berlangsungnya proses b. Tidak ada fragmentasi habitat Tutupan vegetasi yang kontinyu
ekologis secara alami; Tidak terjadi perubahan kondisi
fisik habitat

Sintesis 2010-2014 | 38
Kriteria Indikator Pengukur
Efek tepi minimal
c. Terpeliharanya kelangsungan Kualitas dan kuantitas air
fungsi resapan air
d. Produktivitas ekosistem tetap Stabilitas iklim mikro
terjaga
5. Mempunyai ciri khas a. Bentang alam karst Kenampakan eksokarst dan
potensi yang memerlukan endokarst
upaya konservasi b. Fungsi reservoir air pada Adanya aliran sungai bawah tanah
kawasan karst tetap terjaga dan atau danau bawah tanah
c. Proses karstifikasi tetap Memiliki karst yang masih
berlangsung berkembang dengan baik
Proses perkembangan ornamen
gua tetap berlangsung
6. Mempunyai komunitas a. Kekayaan jenis flora dan Daftar jenis berdasarkan status
tumbuhan dan atau satwa fauna langka konservasi (IUCN)
liar yang langka b. Kekayaan jenis flora dan Daftar jenis berdasarkan status
fauna dilindungi perlindungan (UU Indonesia,
CITES)
7. Merupakan habitat satwa 1. Keberadaan satwa atau Daftar jenis satwa atau tumbuhan
dan atau tumbuhan tertentu tumbuhan yang prioritas prioritas
yang prioritas (focal (focal species)
species) dan/atau endemik 2. Keberadaan satwa atau Daftar jenis satwa atau tumbuhan
tumbuhan endemik endemik
Set minimum kriteria dan indikator zona inti TN Batimurung Bulusaraung
berdasarkan hasil penilaian di lapangan menyatakan bahwa zona inti TN
Bantimurung Bulusaraung memiliki keanekaragaman tipe ekosistem antara lain
ekosistem karst, hutan dataran rendah no dipterokarpa pamah serta hutan
pegunungan bawah, dengan kondisi kawasan hutan primer yang masih asli, memiliki
keanekaragaman jenis flora 157 dengan kisaran jenis tumbuhan cukup luas dan
dijumpai di berbagai ekosistem diantaranya kalo-kaloro, bayur, baru’, bera-berasa,
danggang-danggang, dao, kaleleng didi, angsana, karangko, kayu ara, lambu-lambu,
langoting, mawai, polo salak-salak dan tera-terasa, dimana indeks keanekaragaman
jenis pohon (H’ = 2,848 -3,375), tiang (2,806-2,900), pancang (1,927-3,556) dan
semai (3,004-3,580). Sedangkan keanekaragaman hayati yang dijumpai diantaranya
mamalia 5 jenis, burung 83 jenis dan kupu-kupu 96 jenis dengan indeks
keanekaragaman jenis (H’) mamalia (0,94-1,36), burung (3,32-3,93), dan kupu-kupu
(1,53-4,38).
2. Zona Rimba
Berdasarkan kriteria zona rimba dalam PP. No. 68 Tahun 1998, maka disusun
indikator untuk masing-masing kriteria zona rimba sebagaimana disajikan dalam
Tabel 4.5 (Kwatrina dan Mukhtar, 2006).

Sintesis 2010-2014 | 39
Tabel 4.5. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Rimba TN Bukit Tigapuluh

Kriteria menurut PP No. 68 Th Usulan Indikator Hasil pada Lokasi


1998 Pengamatan
(1) Kawasan yang ditetapkan (1)Kondisi vegetasi rapat - Vegetasi rapat
mampu mendukung upaya (2) Terdapat sumber-sumber air - Bagian dari DAS
perkembangbiakan dari jenis
satwa yang perlu dilakukan
upaya konservasi
(2) Kawasan yang memiliki (2) Keanekaragaman jenis - H’ sedang - tinggi,
keanekaragaman jenis yang tumbuhan sedang - tinggi yaitu 2,72-3,32
mampu menyangga pelestarian (3) Mempunyai potensi wisata - Memiliki panorama
zona inti dan pemanfaatan alam alam

(3) Kawasan yang merupakan (5) Bagian habitat dan atau ruang - Habitat harimau
tempat dan kehidupan bagi jenis jelajah (home range) satwa sumatera dan tapir
satwa migran tertentu langka
Keterangan: = Usulan

Zona rimba berfungsi sebagai penyangga zona inti. Dengan demikian indikator
yang mencirikan zona rimba semestinya merupakan suatu kawasan yang memiliki
potensi alam masih relatif baik, seperti penutupan vegetasi yang masih rapat,
keanakaragaman tumbuhan yang masih tinggi dan terdapatnya sumber-sumber air.
Indikator–indikator tersebut penting karena zona rimba juga merupakan bagian dari
habitat satwa migran tertentu sehingga memerlukan kawasan yang memiliki sumber-
sumber pakan, tempat berlindung dan berkembang biak. Sebagian kawasan zona
rimba merupakan hutan sekunder dengan kondisi lahan landai, agak curam dan
curam, serta menjadi bagian dari Daerah Aliran Sungai. Kondisi ini mendukung bagi
kehidupan satwa-satwa penting yang perlu dikonservasi seperti harimau sumatera
dan tapir. Sebagai kawasan penyangga dan peralihan dari zona inti ke zona
pemanfaatan maka zona rimba semestinya memiliki indikator potensi wisata alam
yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai kawasan wisata alam terbatas.
Dalam rencana penataan zonasi TNBG (BKSDA II Sumatera Utara, 2006)
disebutkan bahwa zona rimba TNBG yang ditunjuk berbatasan langsung dengan
batas fungsi luar kawasan TNBG dengan luas total ± 65.947 Ha. Mengacu pada
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-
II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka alasan-alasan yang terkait
dengan ekosistem, satwa dan tumbuhan, yang dijadikan dasar dalam penunjukan
zona rimba TNBG, sudah memenuhi kriteria zona rimba sebagaimana yang
dimaksud oleh peraturan tersebut. Mengacu pada Kwatrina dan Mukhtar (2006),
maka indikator-indikator yang mencirikan kondisi zona rimba TNBG adalah a)

Sintesis 2010-2014 | 40
kondisi vegetasi rapat (baik), b) keanekaragaman jenis tumbuhan tinggi, c) bagian
habitat dan atau ruang jelajah satwa langka.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka indikator ekologis zona
rimba TNBG bagian Utara dan bagian Selatan disajikan pada Tabel 4.6 dan 4.7.
Tabel 4.6. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Utara
Indikator ekologis zona
Indikator ekologis zona rimba TNBG
rimba **
(1) Kondisi vegetasi masih  Hutan alam tropika dengan perwakilan beberapa tipe
baik ekosistem.
 Penutupan lahan berupa hutan primer, sekunder dan areal
bekas tebangan.
 Kerapatan pohon 550 ind/ha di hutan primer, 430 ind/ha di
hutan sekunder dan 235 ind/ha di lahan bekas tebangan
(2)Potensi dan  Potensi dan keanekaragaman jenis satwa tinggi dengan H’
keanekaragaman jenis tertinggi pada klas Aves, yaitu 2,93 pada hutan areal bekas
satwa dan tumbuhan tebangan, 3,37 pada hutan sekunder dan 3,19 pada hutan
sedang – tinggi primer.
 Potensi dan keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat pohon
sedang - tinggi dengan H’ yaitu 3,4 pada hutan primer, 3,13
pada hutan sekunder dan 2,77 pada areal bekas tebangan.
 Jenis-jenis tumbuhan utama pada tingkat pohon dengan
INP tertinggi adalah Shorea gibbosa Brandis dan H.
beccariana yang status keterancaman berdasarkan daftar
merah IUCN adalah “kritis untuk punah”.
(3) Bagian habitat dan/ atau  Terdapat 4 jenis satwa langka yaitu beruang (H.
ruang jelajah (home malayanus), harimau (P.tigris), macan (Neofelis nebulosa
range) satwa Griffith), kucing emas (C.temminckii), dan rangkong
langka/dilindungi (Buceros spp.)yang termasuk satwa dilindungi.
 Terdapat 29 jenis satwa dilindungi yang terdiri dari 17 jenis
Aves, 3 jenis Primata dan 9 jenis Mamalia darat
 Daerah persinggahan burung migran, seperti jenis-jenis
elang (Accipitridae) dan cekakak cina (Halcyon pileata
Boddaert).
Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006
Secara umum kondisi vegetasi pada zona rimba di bagian Utara masih utuh dan
alami. Parameter satwa menunjukkan bahwa zona rimba pada bagian Utara memiliki
potensi yang tinggi antara lain dengan dijumpainya lima jenis satwa langka dan dua
puluh sembilan jenis satwa dilindungi yang tersebar di hutan primer, hutan sekunder
bahkan pada areal bekas tebangan.

Sintesis 2010-2014 | 41
Tabel 4.7. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Selatan
Indikator ekologis
Indikator ekologis zona rimba TNBG
zona rimba **
(1) Kondisi vegetasi  Hutan alam tropika dengan perwakilan beberapa tipe
masih baik ekosistem.
 Penutupan lahan berupa hutan primer dan sedikit
sekunder.
 Kerapatan tumbuhan pada tingkat pohon 497,5 ind/ha,
tingkat belta 2330 ind/ha, dan semai dam tumbuhan
bawah 84.000 ind/ha.
(2) Potensi dan  Potensi dan keanekaragaman jenis satwa tinggi dengan H’
keanekaragaman tertinggi pada klas Aves, yaitu 3,51, klas primata 1,45;
jenis satwa dan dan klas mamalia darat 2,24.
tumbuhan sedang –  Potensi dan keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat
tinggi pohon tinggi dengan H’ yaitu pada tingkat pohon sebesar
3,29, pada tingkat belta sebesar 3,15 dan pada tingkat
semai dan tumbuhan bawah sebesar 3,46.
 Jenis-jenis tumbuhan utama pada tingkat pohon dengan
INP tertinggi adalah Cinnamomum parthenoxylon Meissn.
dan Dracontomelon dao Err.&Rolfe

(3) Bagian habitat dan  Terdapat beberapa jenis satwa langka seperti 4 jenis satwa
atau ruang jelajah langka yaitu ungko, harimau, dan rangkong yang termasuk
(home range) satwa satwa dilindungi.
langka/dilindungi  Daerah persinggahan burung migran, seperti jenis-jenis
elang.

Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006


Kondisi vegetasi pada zona rimba bagian Selatan merupakan hutan primer.
Apabila dibandingkan dengan zona rimba TNBT yang sebagian besar penutupan
lahannya berupa hutan sekunder, maka zona rimba TNBG jauh lebih baik. Penafsiran
citralandsat wilayah TNBG tahun 2005 menunjukkan keberadaan hutan primer yang
masih cukup luas di wilayah utara TNBG. Hasil pengamatan lapangan juga
menunjukkan bahwa hutan primer kawasan Utara ini masih baik kondisinya. Selain
itu, juga diindikasikan dari masih banyaknya ditemukan jenis meranti (S. gibbosa)
dan damar (H. beccariana) yang memiliki status keterancaman “kritis untuk punah”
pada zona rimba. Keberadaan hutan primer di zona rimba ini penting artinya bagi
kehidupan dan perkembangan beberapa jenis satwa yang tergantung pada keberadaan
hutan terutama hutan primer, seperti rangkong (Buceros rhinoceros Linnaeus).
3. Zona Pemanfaatan Intensif
Kriteria zona pemanfaatan dalam PP No. 68 Tahun 1998 mengandung
pengertian yang sama dengan zona pemanfaatan intensif sebagaimana yang terdapat
dalam Petunjuk Pengusulan Rencana Zonasi Taman Nasional yang dikeluarkan oleh

Sintesis 2010-2014 | 42
Direktur Bina Kawasan Pelestarian Alam, No. 706/VI/BKPA-2/1998 Tanggal 21 Juli
1998, yaitu zona yang ditujukan untuk pemanfaatan pelestarian sumber daya alam
hayati dan ekosistem taman nasional untuk kepentingan pariwisata alam.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka disusun indikator untuk masing-masing
kriteria zona pemanfaatan intensif sebagaimana disajikan dalam Tabel 8. Zona
pemanfaatan intensif merupakan kawasan yang diperuntukkan khusus bagi kegiatan
pemanfaatan secara intensif. Zona pemanfaatan intensif di TNBT merupakan zona
untuk pengembangan wisata alam secara intensif. Berdasarkan kriteria dalam PP. No.
68 tahun 1998, maka indikator yang mengindikasikan kawasan tersebut adalah
tingginya potensi biotik dan wisata, lokasi yang strategis, aksesibilitas yang mudah
dan bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan potensi wisata alam TNBT cukup
banyak, dan sebagian besar belum dikelola dengan baik. Sebagian kawasan tersebut
ada yang dapat dijadikan kawasan pariwisata alam dan rekreasi serta kawasan wisata
alam terbatas tergantung pada potensi biofisik dan fungsi kawasannya. Beberapa
lokasi perlu ditinjau kembali karena terdapat kawasan yang menjadi bagian dari
ruang jelajah harimau sumatera. Peninjauan ini bertujuan agar kegiatan wisata alam
tidak mengganggu kelangsungan hidup jenis satwa.
Tabel 4.8. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Pemanfaatan Intensif TN Bukit Tigapuluh

Hasil pada Lokasi


Kriteria menurut PP No. 68 Th 1998 Usulan Indikator
Pengamatan
(1) Mempunyai daya tarik alam berupa (1) Potensi biotik - Sedang – tinggi (H’ = 2,17
tumbuhan, satwa atau berupa sedang –tinggi – 3,08) didominasi oleh
formasi ekosistem tertentu serta (2) Potensi wisata jenis S. leprosula,
formasi geologinya yang indah dan tinggi Dyospyros bantamensis
unik dan Litsea sp.
- Terdapat beruang madu,
harimau sumatera, kuaw,
rangkong, ungko tangan
hitam, owa dan siamang
- Terdapat air terjun, kolam
air dan wisata Bukit
Lancang
(2) Mempunyai luas yang cukup untuk (3) Bukan bagian dari - Bagian dari ruang jelajah
menjamin kelestarian potensi dan ruang jelajah satwa harimau sumatera dan tapir
daya tarik untuk dimanfaatkan bagi penting
pariwisata dan rekreasi alam
(3) Kondisi lingkungan di sekitarnya (4) Lokasi strategis - Berbatasan dengan daerah
mendukung upaya pengembangan (5) aksesibilitas mudah penyangga
pariwisata alam - Dilewati jalur lintas
sumatera
Keterangan = Usulan

Sintesis 2010-2014 | 43
Jika dilihat lebih spesifik, maka kegiatan wisata dan rekreasi merupakan tujuan
pengelolaan yang utama (primary objective) pada kawasan taman nasional
khususnya di zona pemanfaatan. Sehingga berdasarkan regulasi yang berlaku, baik di
dunia maupun di Indonesia, pengembangan kawasan Granit Training Center (GTC)
sebagai kawasan wisata alam sudah sesuai dan memenuhi persyaratan. Jenis kegiatan
wisata yang dapat dikembangkan di kawasan GTC dapat berupa tracking, bird
watching, wildlife watching, sightseeing, climbing, fishing, camping, swimming,
sport tourism, dan educational tourism (Sularso, 2006 dalam Kwatrina dan Mukhtar,
2006).
Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi, dan
potensi alamnya dimanfaatkan terutama untuk kepentingan pariwisata alam dan jasa
lingkungan lainnya. Berdasarkan peta peruntukan zonasi yang dikeluarkan oleh
Balai KSDA Sumatera Utara (2006), zona pemanfaatan di bagian selatan TNBG
meliputi tujuh lokasi dengan luas keseluruhan ± 2.022 ha. Mengacu pada Peraturan
Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006
tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka alasan-alasan yang terkait dengan
ekosistem, satwa dan tumbuhan, yang dijadikan dasar dalam penunjukan zona
pemanfaatan TNBG seperti yang disusun oleh BKSDA Sumatera Utara II (2006)
sebagian besar sudah memenuhi kriteria zona pemanfaatan sebagaimana yang
dimaksud oleh peraturan tersebut.
Dalam menjabarkan kriteria zona pemanfaatan, maka digunakan indikator
zonasi TNBT (Kwatrina dan Mukhtar, 2006), yaitu a) potensi biotik sedang- tinggi,
b) potensi wisata tinggi, c) bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka parameter ekologis yang dapat
dijadikan indikator ekologis zona pemanfaatan TNBG disajikan pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Indikator ekologis pada zona pemanfaatan TN Batang Gadis
Indikator ekologis zona
Indikator ekologis zona pemanfaatan TNBG
pemanfaatan**
(1) Potensi biotik sedang –  Hutan alam tropika dengan perwakilan beberapa tipe
tinggi ekosistem, seperti danau dan hutan pegunungan diatas
1.500 m dpl.
 Penutupan lahan sebagian besar masih berupa hutan
primer.
 Ditemukan sekitar 24 jenis tumbuhan tingkat pohon.
 Ditemukan sekitar 33 jenis burung, 5 jenis primata, dan 8
jenis mamalia darat
(2) Potensi wisata tinggi  Habitat beberapa satwa langka dan dilindungi, seperti
ungko, siamang, dan macan dahan
 Terdapat danau tempat minum beberapa jenis mamalia,
seperti rusa (Cervus unicolor Kerr) dan kambing hutan

Sintesis 2010-2014 | 44
Indikator ekologis zona
Indikator ekologis zona pemanfaatan TNBG
pemanfaatan**
(N.sumatraensis)
 Beragam jenis tumbuhan khas dataran tinggi yang unik dan
menarik.
 Habitat beragam jenis burung srigunting (Dicrurus spp.).
(3) Bukan bagian dari  Lintasan rusa (C.unicolor) dan macan dahan (N.nebulosa)
ruang jelajah satwa
penting
Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006)

4. Zona Rehabilitasi
Kriteria zona rehabilitsi belum diatur dalam PP. No. 68 Tahun 1998. Pada
prinsipnya zona ini ditujukan untuk memulihkan kondisi kawasan yang telah
terdegradasi atau rusak. Berdasarkan hasil penelitian maka diusulkan kriteria zona
rehabilitasi sebagai berikut:
a. Kawasan yang ditetapkan mengalami perubahan atau penurunan kualitas fisik
dan atau biotik;
b. Kawasan mengalami gangguan alami dan atau aktifitas manusia.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka disusun indikator untuk masing-masing
kriteria zona rehabilitasi sebagaimana disajikan dalam Tabel 4.10.
Tabel 4.10. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Rehabilitasi TN Bukit Tigapuluh
Usulan kriteria Usulan Indikator Hasil pada Lokasi Pengamatan
(1) Kawasan yang (1) Penutupan lahan tidak rapat - Vegetasi ada yang rapat dan
ditetapkan (2) Terdapat jenis-jenis bukan asli ada yang tidak rapat, berupa
mengalami kawasan (exotic) semak
perubahan atau (3) Penurunan potensi aliran sungai - Terdapat jenis tanaman bukan
penurunan kualitas (4) Degradasi tanah asli kawasan TNBT
fisik dan atau
biotik;
(2) Kawasan (5) Lahan bekas longsor, - Bekas jalur transportasi HPH,
mengalami kebakaran, bekas pemanfaatan areal bekas pertambangan batu
gangguan alami seperti, tebangan HPH, jalur granit, areal bekas tebangan
dan atau aktifitas transportasi, lahan HPH, areal bekas perladangan
manusia pertanian/ladang, tambang, dll masyarakat yang penutupan
vegetasinya kurang
Keterangan : = Usulan
Indikator yang mengindikasikan kondisi seperti yang tersebut pada kriteria yang
diusulkan adalah penutupan lahan tidak rapat, terdapat jenis-jenis bukan asli kawasan
(exotic), penurunan potensi aliran sungai dan degradasi tanah. Kondisi lahan dapat
berupa lahan bekas longsor, kebakaran, bekas pemanfaatan seperti, tebangan HPH,
jalur transportasi, lahan pertanian/ladang, tambang. Untuk menetapkan zona
rehabilitasi tidak semua indikator harus ditemui di lapangan. Apabila salah satu

Sintesis 2010-2014 | 45
indikator tersebut ditemukan dan diperkirakan akan menimbulkan dampak negatif
yang lebih buruk, maka suatu kawasan dapat ditetapkan sebagai zona rehabilitasi.
Tindakan pemulihan dan revegetasi yang dilakukan pada zona rehabilitasi dapat saja
berbeda-beda untuk setiap lokasi, tergantung pada tujuan pemulihan kawasannya.
Zona rehabilitasi dapat ditujukan sebagai zona inti, rimba atau zona pemanfaatan.
Kawasan yang termasuk zona rehabilitasi dapat berubah setiap periode waktu
tertentu, tergantung pada perubahan penutupan lahannya. Dengan demikian zona
rehabilitasi bersifat temporer sehingga dapat saja tidak ditetapkan secara khusus
sebagaimana zona-zona lainnya. Pihak taman nasional dapat menggunakan
penafsiran citra landsat secara berkala, misalnya tiga tahun sekali, untuk mengetahui
perubahan penutupan lahan dan menentukan kawasan yang perlu direhabilitasi.
Berdasarkan pertimbangan aspek biofisik dan interaksi masyarakat yang
dijumpai dilapangan,maka telah disusun set minimum kriteria dan indikator zona inti
yang sesuai dengan kondisi TN Batimurung Bulusaraung (Tabel 4.11)
Tabel 4.11. Kriteria dan indikator zona inti TN Batimurung Bulusaraung

Kriteria Indikator Pengukur


1. Adanya perubahan fisik, sifat fisik Kawasan yang Areal bekas terpapar
dan hayati yang secara ekologi terdegradasi akibat bencana dan atau aktivitas
berpengaruh kepada kelestarian bekas areal terpapar masyarakat
ekosistem yang pemulihannya bencana dan atau bekas Kawasan merupakan lahan
diperlukan campur tangan manusia; aktivitas masyarakat kritis
Kualitas tanah rendah
Strata tidak lengkap
efek tepi
2. Adanya invasif spesies yang Terdapat jenis flora dan Daftar flora dan fauna asing
mengganggu jenis atau spesies asli atau fauna yang infasif dan atau infasif
dalam kawasan
Rec : andanya invasif spesies
(spesies asing yang menganggu
spesies asli kawasan)
3. Pemulihan kawasan sekurang- Kerusakan vegetasi Luas Areal yang
kurangnya memerlukan waktu minimal 5 % dari luas terdeforestrasi dan atau
5(lima)tahun. setiap zona terdegradasi di setiap zona
Kawasan memiliki sifat fisik, biologi, dan
kualitas tanah rendah kimia tanah kandungan BO

Penyusunan Kriteria dan indikator pada zona rehabilitasi telah menghasilkan 3


kriteria dan 4 indikator.Penyusunan kriteria dan indicator ini terutama dilakukan
berdasarkan areal yang direhabilitasi merupakan areal bekas terpapar bencana atau
aktivitas masyarakat, areal yang mengalami invasi. Luasan minimal yang bisa
direhabilitasi adalah lima persen dari zona yang ada.

Sintesis 2010-2014 | 46
Berdasarkan hasil penilaian prioritas restorasi kawasan hutan konservasi,
diindikasikan bahwa tingkat kepentingan TNGGP untuk di restorasi termasuk tinggi
(4,427), sedangkan tingkat kemendesakannya untuk segera di restorasi tergolong
rendah (2,546) (Tabel 4.13). Hal ini sesuai dengan fungsi dan manfaat kawasan yang
memiliki peran sangat penting sebagai pengatur tata air, habitat satwaliar dan
penghasil jasa lingkungan untuk lingkungan sekitarnya. Tingkat kemendesakan yang
tergolong rendah disebabkan fungsi kawasan konservasi telah berjalan walaupun
komponen ekosistemnya masih merupakan hutan tanaman monokultur atau tanaman
budidaya.
5. Zona Tradisional
Dalam Petunjuk Pengusulan Rencana Zonasi Taman Nasional yang dikeluarkan
oleh Direktur Bina Kawasan Pelestarian Alam, No. 706/VI/BKPA-2/1998 Tanggal
21 Juli 1998, zona pemanfaatan tradisional ditujukan untuk mempertahankan
hubungan tradisional dan adanya ketergantungan tradisional terhadap potensi sumber
daya alam taman nasional. Sementara PP No. 68 Tahun 1998 tidak secara khusus
mengatur mengenai zona pemanfaatan tradisional. Berdasarkan data potensi, maka
usulan kriteria pemanfaatan tradisional untuk TNBT adalah sebagai berikut:
a. Secara geografis berada dalam wilayah taman nasional;
b. Merupakan kawasan berpenduduk yang telah ditempati oleh masyarakat
sebelum ditetapkannya wilayah taman nasional;
c. Memiliki potensi sumberdaya alam yang mendukung kehidupan masyarakat
lokal;
d. Secara fisik ekologis tidak berpengaruh negatif terhadap potensi sumber daya
alam.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka disusun indikator untuk masing-masing
kriteria zona pemanfaatan tradisional sebagaimana disajikan dalam Tabel 4.12.
Tabel 4.12. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Pemanfaatan Tradisional TNBT

Hasil pada Lokasi


Usulan kriteria Usulan Indikator
Pengamatan
(1) Secara geografis berada
dalam wilayah taman
nasional
(2) Merupakan kawasan (1)Suku asli dan atau - Suku Talang Mamak,
berpenduduk yang telah pendatang Anak dalam
ditempati oleh masyarakat
sebelum ditetapkannya
wilayah taman nasional

Sintesis 2010-2014 | 47
(3) Memiliki potensi (2) Potensi biotik (HHBK), - Buah-buahan, madu, petai,
sumberdaya alam yang kayu dan satwa sedang - jerenang, kayu sialang,
mendukung kehidupan tinggi murai, rangkong, simpai,
masyarakat local (3) Topografi datar-landai beruk, babi, rusa
(4) Kelerengan 0-8% dan - Tanah lempung, pasir, liat,
atau 8-15% batuan
(5) Tanah lempung, pasir, - Hutan lindung dan hutan
liat produksi terbatas (hutan
(6) Vegetasi umum bukan primer dan sekunder)
hutan primer
(4) Secara fisik ekologis tidak (7) Pemanfaatan - Sedang - tinggi, berupa
berpengaruh negatif terhadap sumberdaya alam dan kepemilikan hutan,
potensi sumber daya alam lahan rendah-sedang ladang, kebun dan sawah
(8) Pengetahuan tata batas - Rendah; 12%-46,3%
sedang-tinggi - Sedang
(9) Interaksi dan ancaman
rendah
(10) Kepentingan untuk
mengakomodir
keberadaan suku asli
dan masyarakat lokal
Keterangan: = Usulan

Zona pemanfaatan tradisional dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk


kawasan penyangga. Zona ini ditujukan untuk mengurangi dampak pemanfaatan
sumberdaya alam oleh manusia terhadap taman nasional. Zona pemanfaatan
tradisional secara spesifik berada di dalam kawasan taman nasional, apabila kawasan
penyangga ini berada di luar taman nasional maka akan berfungsi sebagai daerah
penyangga. Oleh sebab itu kriteria yang pertama mengenai letak, akan membedakan
antara zona pemanfaatan tradisional dengan daerah penyangga. Untuk TNBT adanya
zona pemanfaatan tradisional juga tidak dapat dilepaskan dari keberadaan suku-suku
asli dan pendatang yang telah lama mendiami kawasan sebelum dibentuknya taman
nasional seperti: suku asli Talang Mamak, Anak Dalam dan Melayu Tua serta suku
pendatang seperti: Batak, Jawa dan Minang.
Kriteria selanjutnya adalah ketersediaan sumberdaya alam yang akan
mendukung kehidupan masyarakat. Indikator yang mendukung kriteria tersebut
adalah potensi biotik (HHBK), kayu dan satwa yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Potensi HHBK
lebih diutamakan dibanding potensi kayu dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
pemanfaatan kayu secara berlebihan oleh masyarakat. Untuk TNBT, jerenang
(Daemonorops draco) merupakan tanaman HHBK yang telah dimanfaatkan dan
dibudidayakan oleh masyarakat.

Sintesis 2010-2014 | 48
Penetapan indikator-indikator seperti; topografi yang datar dan atau landai,
kelerengan 0-8% dan atau 8-15%, sifat fisik tanah (lempung, pasir, dan liat) serta
vegetasi umum selain hutan primer, bertujuan agar zona pemanfaatan tradisional
bukan merupakan kawasan yang rawan secara ekologis melainkan dapat berfungsi
sebagai kawasan yang mendukung kehidupan masyarakat. Sementara itu indikator-
indikator pemanfaatan, pengetahuan, interaksi dan kepentingan, ditetapkan untuk
mengindikasikan kondisi masyarakat yang diinginkan dalam upaya mencegah
timbulnya pengaruh negatif secara fisik dan ekologis terhadap potensi sumberdaya
alam. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan dan interaksi
terhadap sumberdaya alam sedang, dan sebagian besar masih dilakukan secara
tradisional, seperti menangkap ikan dengan memancing dan melakukan seleksi
dalam penebangan pohon.
Pengelolaan zona pemanfaatan tradisional di TNBT sangat strategis dan perlu
mendapat perhatian karena keberadaan suku-suku asli di kawasan tersebut. Sebagian
besar mereka mendiami kawasan sempadan sungai, untuk itu perlu pengawasan
terhadap pemanfaatan lahan yang cenderung meningkat dan pengawasan terhadap
kelestarian kawasan sempadan sungai. Berdasarkan penafsiran citra landsat tahun
2003, diketahui bahwa penutupan lahan pada kawasan zona pemanfaatan tradisional
sebagian besar berupa semak. Kondisi ini perlu mendapat perhatian mengingat
kecenderungan perubahan lahan tersebut. Untuk itu perlu sosialiasi yang lebih
intensif kepada masyarakat lokal mengenai batas kawasannya dan penggunaan lahan
yang lebih baik. Disamping itu untuk mengurangi tekanan terhadap pemanfaatan
sumber daya alam dalam kawasan taman nasional, perlu peningkatan keragaman dan
kuantitas jenis-jenis HHBK seperti madu, tanaman obat, rotan dan lain-lain.
Pengelolaan zona tradisional di TN Gn Halimun Salak, (Gambar 4.1) dilakukan
dengan adanya kegiatan masyarakat memanfaatkan HHBK berupa perkebunan
rakyat yang telah ada sebelum penetapan taman nasional seperti karet dan hutan
tanaman damar dan pinus serta hasil hutan lainnya yaitu bambu, madu, tumbuhan
obat-obatan, buah-buahan hutan (saninten) dan rotan (umbut dan batangnya).

Sintesis 2010-2014 | 49
Gambar 4.1. Lokasi potensi HHBK di TNGHS

Pemanfaatan HHBK berupa getah damar dan pinus dilakukan masyarakat


bekerjasama dengan YPPS (Yayasan Pemerhati Pengembangan Sukabumi) diketahui
oleh polresta dan kepada desa serta di monitor oleh TNGHS. Hasil getah damar
dalam 1 tahun telah menghasilkan ± 1 ton, dibeli dari masyarakat dengan harga Rp.
3.500,- - 4.000,-/kilogram. Di Wilayah Kawah Ratu, Sukabumi (Gambar 4.2)
meliputi Parakan Salak, Tenjo laya, Manglid, dan Cidahu tergabung dalam
Kelompok Tani Mandiri terdapat 8 kelompok dengan anggota 31 orang dengan
tambahan pendapatan Rp. 500.000,- Rp. 900.000,-/ bulan. Sedangkan hasil getah
pinus yang terdapat di sekitar Seksi Wilayah Bogor meliputi Gn Bodas, Gn Buthak,
dan GN Bunder telah mengahasilkan 12 ton- 18 ton dengan harga Rp. 2.500,-
/kilogram. Kondisi ini tidak sejalan dengan hasil penelitian di Ds Purwabakti,
Kabupaten Bogor, masyarakat yang memiliki ketrampilan masih terbatas dalam
meneres getah pinus hanya mendapatkan hasil 56 kg/orang/bulan dan tambahan
pendapatan sekitar Rp. 80.000,- - Rp. 150.000,- per bulan (Adelina dan Sawitri,
2013a). Dengan demikian, hasil yang begitu banyak dalam satu tahun dari getah
pinus kemungkinan dilakukan oleh pendatang yang telah memiliki ketrampilan
dalam kegiatan ini, yang bukan merupakan masyarakat lokal. Sehingga tujuan
memberdayakan masyarakat sekitar untuk meningkatkan pendapatan, berkurangnya
tingkat ketergantungan masyarakart dan intervensi masyarakat terhadap kawasan
tidak tercapai.

Sintesis 2010-2014 | 50
Gambar 4.2. Tanaman damar di TNGHS

Perbandingan porsi zonasi taman nasional di Cagar Biosfer sangat berbeda antara
TNS dan TNGGP. Hal ini disebabkan perbedaan luas, perbedaan kerapatan penduduk
dan budaya masyarakat daerah penyangga serta tingkat ekonomi dan ketersediaan lahan
garapan.Perbedaan ini terlihat dari porsi zonasi penting sebagaimana Tabel 4.13.
Tabel 4.13. Porsi zonasi utama dalam taman nasional
TNGGP TNS
No. Zonasi utama
( Luas: 22.851,03 ha) (Luas: 192.655 ha)
1. Zona inti 42 % 24,2 %
2. Zona rimba 31 % -
3. Zona pemanfaatan tradisional 1,3 % 52,8 %
4. Zona pemanfaatan 5,8 % -
5. Zona kampung - 23,1 %
Hasil kajian lapangan pada zona tradisional, zona rehabilitasi dan zona khusus,
terdapat beberapa kondisi yang masih perlu dipertimbangkan dalam penetapan ketiga
zonasi tersebut. Hal ini terutama menyangkut ketergantungan masyarakat terhadap
sumberdaya lahan dan sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan. Untuk
mengakomodir kepentingan dan meredam konflik antara pengelola kawasan dan
masyarakat sekitar maka evaluasi implementasi zonasi dilakukan lebih mendalam
terutama terhadap porsi zona pemanfaatandi zona tradisional, zona rehabilitasi dan zona
khusus.
Pengelolaan zona tradisional di TNGGP melibatkan masyarakat sekitar kawasan ex
Perum Perhutani dengan vegetasi utama adalah Pinus (Pinus merkusii) dan Damar
(Agathis lorantifolia) dengan memanfaatkan bahan makanan, obat-obatan, bahan
baku kerajinan atau Hasil Hutan Non Kayu (HHBK) lainnya. Kondisi beberapa
kawasan hutan di zona tradisional, sebagai parameter penetapannya dan sebagai
pembanding bagi penetapannya di wilayah lain (Tabel 4.14).

Sintesis 2010-2014 | 51
Tabel 4.14. Parameter zona tradisional di tiga resort TN Gunung Gede Pangrango
Resort
No. Parameter
Cimungkat` Nagrak Bodogol
1. Lokasi
Luasan 25-30 ha 20 ha 10 ha
Kelerengan 10-30% 5-35% 5-10%
2. Kondisi tanaman
Jenis tanaman Agathis Agathis Agathis
Diameter rata-rata 40-50 cm 40-100 cm 60-200 cm
Tinggi rata-rata 18-25 m 20-25 m 35-40 m
Jarak tanam 5 mx5m 5 m x 10 m 2 mx3m
Kerapatan 400 pohon 160 pohon/ha 600 pohon/ha
3. Keragaman Satwaliar
Mamalia macan tutul, monyet ekor Owa jawa,
mencek, macan panjang, owa jawa, lutung, monyet
dahan, musang, babi hutan, macan ekor panjang,
sigung, babi hutan tutul, mencek, babi hutan ,
macan kumbang trenggiling
Reptilia Katak bertanduk - -
Burung elang jawa, puyuh kutilang, kapinis Elang jawa,
gonggong, raja gunung, ayam hutan, br.
udang, pipit, kores Tikus,
jenggot, kutilang, maninting, walik
toed, cacing, haur,
sikatan dada merah,
sepah gunung,
tohtor, tulung
tumpuk
4. Kegiatan masyarakat Wisata sepeda Penanaman Penyadapan
gunung atau motor palawija dibawah getah damar
road tegakan dan
Penyadapan getah
damar

Di beberapa lokasi zona tradisional terdapat aktifitas masyarakat dalam bentuk


pemanfaatan HHBK seperti penyadapan getah walaupun saat ini dilakukan secara
illegal, hal ini terkait dengan mata pencaharian, keahlian dan kepemilikan lahan.
Tetapi di beberapa lokasi walaupun vegetasi damar dapat disadap getahnya, tetapi
masyarakat tidak melakukannya karena tidak memiliki ketrampilan menyadap dan lahan
garapan pertaniannya mencukupi seperti yang terjadi di Blok Los Beca, Cimungkat
(Sawitri dan Bismark, 2013).

Sintesis 2010-2014 | 52
6. Zona khusus
Penyusunan kriteria dan indikator pada zona khusus telah menghasilkan 3
kriteria dan 5 indikator (Tabel 4.15). Penyusunan kriteria dan indikator zona khusus
berdasarkan Permenhut 56 tahun 2006 bertujuan untuk mengakomodir keberadaan
sekelompok masyarakat yang telah ada di dalam kawasan taman nasional sebelum
areal tersebut ditetapkan menjadi taman nasional. Mulyana et al. (2010) menyatakan
bahwa zona khusus merupakan bagian dari taman nasional yang mengakomodasi
kepentingan masyarakat, sehingga merupakan bagian dari kawasan yang digarap
masyarakat yang berbasis konservasi. Kriteria dan indikator zona khusus Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung, lebih menekankan pada aspek keberadaan areal
zona khusus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari taman nasional, selain
aspek masyarakat lokal yang bermukim pada tempat tersebut. Yang dimaksud
dengan masyarakat lokal disini adalah masyarakat lokal tersebut harus memiliki
identitas resmi yang menyatakan bahwa mereka benar-benar tinggal, bermukim atau
beraktivitas sehari-hari atau mengelola lahan di dalam kawasan TN Babul (di dalam
areal zona khusus TN Babul) tersebut. Selain itu, karena zona khusus merupakan
bagian dari kawasan taman nasional, maka masyarakat lokal tersebut harus bersedia
mematuhi aturan yang dibuat dan disepakati bersama dengan pihak taman nasional.
Dalam hal ini, pihak taman nasional harus berperan aktif untuk menyusun dan
menggagas kesepakatan bersama yang menjadi aturan bagi zona khusus. Aturan
yang dibuat diharapkan benar-benar sesuai dengan kondisi spesifik masyarakat yang
bemukim di zona khusus, dibuat secara bersama sehingga dapat benar-benar
diterapkan, dipatuhi dan memiliki kekuatan hukum yang baik.
Tabel 4.15. Kriteria dan indikator zona khusus Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung

No. Kriteria Indikator Pengukur


1. Telah terdapat sekelompok Terdapat sekelompok  Data SK penunjukan
masyarakat dan sarana penunjang masyarakat yang wilayah administratif
kehidupannya yang tinggal tinggal, beraktivitas yang bersangkutan
sebelum wilayah tersebut sehari-hari atau  Data kepemilikan KK
ditunjuk/ditetapkan sebagai TN mengelola lahan di dan KTP
zona khusus serta  Adanya aturan yang
memiliki identitas telah disepakati oleh
(KTP/KK) yang sesuai masyarakat dan pihak
dengan wilayah TN. (kesepakatan yang
administrasi yang dia telah dibuat tidak boleh
tempati serta bersedia melanggar peraturan
mematuhi aturan zona perundangan diatasnya)
khusus
Tersedianya sarana Keberadaan fisik sarana
penunjang kehidupan penunjang kehidupan
berupa rumah atau jalan

Sintesis 2010-2014 | 53
atau tempat ibadah atau
sarana pendidikan
2. Telah terdapat sarana prasarana Terdapat dokumen Dokumen verifikasi
antara lain telekomunikasi, pendukung terkait keberadaan sarana dan
fasilitas transportasi dan listrik pembangunan sarana prasarana
sebelum wilayah tersebut dan prasarana
ditunjuk/ditetapkan sebagai TN
3. Lokasi tidak berbatasan dengan Terdapat zona lain yang Terdapat peta zonasi yang
zona inti memisahkan zona telah disahkan
khusus dengan zona inti
Terdapat dan Terdapat batas fungsi yang
terpeliharanya batas sudah di tetapkan pada
zona khusus dengan masing-masing zona
zona yang lain
Peruntukkan zona khusus untuk mengakomodir kepentingan konservasi dan
aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum
ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya,
serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas
transportasi dan listrik, dengan tata guna lahan diarahkan penggunaannya sebagai
tempat tinggal, interaksi sosial dan sistem pewarisan tradisi serta pelestarian
tumbuhan dan satwa berguna dengan kondisi lanskap kampung, dusun atau desa
(Koesmaryandi et al., 2012)
Kriteria zona khusus menurut Arrayun (2010) adalah sebagai berikut:
1. Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang
tinggal sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional;
2. Telah terdapat sarana prasarana antara lain telekomunikasi, fasilitas transportasi
dan listrik, sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional;
3. Lokasi tidak berbatasan dengan zona inti.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona khusus meliputi
perlindungan dan pengamanan; pemanfaatan untuk menunjang kehidupan
masyarakat dan; rehabilitasi; monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya
dukung wilayah.
Prinsip pengelolaan usulan zona khusus TNK yang diajukan oleh Moelyana et.
al (2010) terkait dengan keberadaan masyarakat diantaranya ijin memanfaatkan dan
hak mengelola kawasan secara ramah lingkungan namun tidak mempunyai hak
memiliki, melalui peraturan yang mengikat berdasarkan kriteria yang terkait tentang
kriteria lingkungan (kesehatan ekosistem), ekonomi (tingkat penghidupan yang
layak), sosial (kesetaraan antar kelompok), budaya (keutuhan dan identitas) serta
politik (proses pengambilan keputusan yang adil dan transparan). Sedangkan
pengelolaan zona khusus yang dikembangkan oleh Balai TN Kutai (2010)sebagai
berikut:

Sintesis 2010-2014 | 54
1. Status kawasan tetap dipertahankan sebagai kawasan TN Kutai
2. Letak zona khusus berada pada wilayah yang telah disepakati sebelumnya untuk
ditata batas pengamanan
3. Pemanfaatan lahan diberikan kepada penduduk yang telah tinggal, memiliki
lahan dan hidupnya tergantung pada lahan tersebut sebelum TN Kutai ditunjuk
4. Tidak mengakomodir kepemilikan lahan oleh masyarakat yang tinggal di dalam
zona khusus
5. Pengelolaan akan dilaksanakan oleh lembaga khusus yang bertanggung jawab
kepada Balai TN Kutai
6. Zona khusus akan terbagi menjadi areal pemukiman, areal pemanfaatan dan
areal lindung
7. Pengelolaan di dalam zona khusus akan diarahkan menjamin kehidupan yang
ramah lingkungan dan berupaya untuk mempersiapkan generasi mendatang
untuk mendapatkan kehidupan yang layak di luar zona khusus

B. EVALUASI ZONASI TAMAN NASIONAL


Sebagian besar area peruntukan zonasi di TNBG yang disusun Balai KSDA
Sumut (2006) merujuk indikator di atas sudah sesuai. Beberapa kawasan yang harus
di revisi diantaranya adalah hutan terdegradasi dapat dijadikan zona rehabilitasi dan
area menuju puncak sorek merapi dapat dijadikan zona pemanfaatan wisata. Kedua
area tersebut sebelumnya termasuk zona rimba. Begitu juga bekas area budidaya
masyarakat di sekitar enclave Batahan dapat dijadikan zona pemanfaatan tradisional
yang sebelumnya termasuk zona inti (Kuswanda, 2014).
Faktor internal dan ekternal dalam pengelolaan TNBG, berdasarkan hasil
analisis SWOT dan AHP diperoleh informasi bahwa faktor kekuatan (internal) untuk
mengembangkan pengelolaan TNBG berdasarkan prioritasnya, yaitu : 1) adanya
legalitas, rencana pengelolaan zonasi dan sarpras, dengan bobot sebesar 40,3%,
artinya faktor tersebut dinilai responden sebanyak 40,3% merupakan potensi
kekuatan dalam pengeloaan TNBG; 2) kondisi ekosistem dan kerapatan vegetasi
yang relatif utuh, terutama zona inti dan rimba (27,1%); 3) potensi keragaman
satwaliar langka dan dilindungi di setiap zonasi (20,9%) dan 4) potensi IPTEK, jasa
lingkungan dan ekowisata yang tinggi (11,7%). Faktor ancamannya (eksternal) yaitu
: 1) penebangan liar dan degradasi ekosistem, terutama di zona pemanfaatan dan
rimba, dengan bobot 39,9%; 2) pembukaan dan konflik penggunaan lahan (31,7%);
3) kepentingan egosektoral dan tumpang tindih kebijakan antar lembaga (14,9%) dan
4) perburuan satwa dan pengambilan HHBK yang masih tinggi (13,5%).
Hasil analisis AHP menunjukan bahwa strategi untuk mengoptimalkan faktor
kekuatan adalah strategi penguatan kelembagaan dan SDM menjadi prioritas untuk
mengembangkan faktor legalitas, rencana pengelolaan zonasi dan pengembangan
sarana dan prasarana, dengan bobot 61,8%; strategi menjaga keutuhan ekosistem
hutan beserta satwaliarnya di setiap zonasi menjadi prioritas untuk mengembangkan

Sintesis 2010-2014 | 55
potensi keragaman jenis satwaliar langka dan dilindungi di setiap zonasi (45,9%);
dan strategi pemanfaatan potensi TNBG bersama masyarakat secara berkelanjutan
menjadi prioritas untuk mengembangkan faktor kondisi ekosistem dan vegetasi yang
relatif utuh dan potensi IPTEK, jasling, dan ekowisata yang tinggi (34,9% dan
36,6%).
Strategi meminimalisasi faktor ancaman adalah pengamanan kawasan dan
penegakan hukum secara tegas menjadi prioritas dalam meminimalisasi ancaman
penebangan liar dan degradasi ekosistem serta pembukaan dan konflik penggunaan
lahan (bobot 34,7% dan 27,0%); strategi pemberdayaan dan pengembangan ekonomi
alternatif untuk meminimalisasi berkembangnya perburuan satwa dan pengambilan
HHBK (34,8%); meningkatkan koordinasi dan kerjasama program dengan
stakeholders untuk mengurangi kepentingan egosektoral dan tumpang tindih
kebijakan antar lembaga (29,6%). Strategi pemulihan ekosistem yang terdegradasi
dinilai responden sebagai strategi lanjutan setelah stretegi di atas dapat dilaksanakan.
1. Zona Inti
Kriteria dan indikator yang digunakan dalam menetapkan kawasan sebagai zona
inti adalah habitat maupun daerah jelajah satwa serta ekosistem hutan primer yang
memiliki potensi satwa endemik, dilindungi dan migrasi serta tumbuhan langka dan
dilindungi. Permasalahan yang terjadi di dalam zona inti adalah kawasan pasca
tambang PT Antam di Cikidang, seluas 12 ha yang telah diusahakan untuk
direhabilitasi, tetapi mengalami kegagalan. Rencana kegiatan yang akan dilakukan
oleh TNGHS untuk menanggulangi kegagalan ini diantaranya kegiatan SPORC
dalam bentuk latihan bersama dan Densus tahun 2013. Rehabilitasi yang telah
dilakukan sebagian besar mengalami kendala karena lokasi penanaman merupakan
bekas tambang bukaan sehingga bibit yang ditanam tidak dapat tumbuh dengan baik
(Gambar 4.3).

Gambar 4.3. Kawasan TN Gn Halimun Salak, pasca tambang PT Antam, Cikidang

Kawasan yang ditetapkan sebagai zona rimba merupakan penyangga dari zona
inti, dan merupakan hutan sekunder dan merupakan habitat atau daerah jelajah
satwaliar. Kondisi di lapangan yang perlu diwaspadai adalah zona ini berbatasan

Sintesis 2010-2014 | 56
langsung dengan enclave seperti Perkebunan teh Nirmala, sehingga sosialisasi
tentang keberadaan satwaliar terutama jenis dilindungi perlu dilakukan kepada
masyarakat di sekitar perkebunan. Sebagai daerah ekotone yang dapat berfungsi
sebagai koridor satwaliar dalam mencari makanan perkebunan teh merupakan tempat
mencari pakan terutama jenis mamalia kecil seperti trenggiling yang mencari pakan
berupa semut dan tidur di epifit paku yang menempel pada pohon teh.
2. Zona Pemanfaatan
Zona pemanfaatan yang merupakan lokasi dengan potensi obyek dan daya tarik
wisata seperti camping ground dikelola secara kolaboratif antara masyarakat dengan
TNGHS, dengan kewajiban membangun fasilitas wisata dan kebersihan. Kondisi
yang demikian memberikan dampak langsung kepada masyarakat yang berperan
aktif dalam pengelolaan areal wisata. Permasalahan yang terkait dengan
pengembangan wisata diantaranya:
 Penetapan zona pemanfaatan untuk wisata hendaknya disosialisasikan kepada
masyarakat pengelola karena kawasan ini berbatasan langsung dengan zona
tradisional masyarakat yang memanfaatkan HHBK berupa getah damar atau
pinus.
 Kegiatan pengambilan getah dapat dipasarkan kepada pengunjung sebagai
atraksi pemanfaatan HHBK di kawasan
 Pengembangan kegiatan wisata hendaknya dilakukan dalam bentuk paket wisata
yang memberikan muatan pendidikan dan pengetahuan tentang lingkungan
hidup.
Zona pemanfaatan di TN Kutai yang dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam
atau ekowisata (Sawitri dan Karlina, 2013) diantaranya adalah:
a. Prevab
Daya tarik keberadaan satwaliar orangutan dan penyusuran traking di hutan
Dipterocarpaceae. Di kawasan ini pengunjung juga dapat melakukan penanaman
pohon lokal seperti ulin, kapur, kecapi hutan, langsat hutan, kenanga,
arabendang/buah bolo, sangkuang, meranti dan klengkeng hutan yang merupakan
bibit tanaman berasal dari hutan. Restorasi hutan bekas kebakaran yang dilakukan
oleh WWF Sundaland bioregion Balikpapan dengan TN Kutai, tahun 2002-2003,
seluas 200 ha menanam pohon-pohon lokal, saat ini tanaman tersebut telah memiliki
ukuran tinggi sekitar 8-12m dan diamater 15-20 cm. Penanaman juga dilakukan oleh
pengunjung yang berasal dari mancanegara, tahun 2011 seperti ulin ( tinggi 1-2 m,
diameter 2-3 cm), kapur (tinggi 0,5-1 m dan diameter 1-1,5 m) serta kecapi (tinggi
0,75 – 1,5 m dan diameter 1,5 -2 cm). Universitas Mulawarman, melakukan
penanaman kapur, tahun 2012 berukuran tinggi 0, 50 - 1 m, peserta workshop
orangutan melalukan penaman meranti dan klengkeng hutan tahun 2013. Disamping
itu dijumpai tanaman buah-buahan yang juga dimanfaatkan orangutan sebagai
sumber pakan dan tempat tidur/bersarang seperti rambutan, mangga, jeruk, matoa,

Sintesis 2010-2014 | 57
sawo, duren dan gandaria. Pengelolaan zona pemanfaatan dilakukan bersama dengan
masyarakat dan PT KPC sekitar yang diwakili oleh Badan Usaha Milik Desa
(Bumdes) sejak 27 Maret 2012 di sekitar Prevab, dalam bentuk unit usaha Ekokabo
Jaya berupa perahu wisata, pemandu wisata, katering, homestay dan suvenir daur
ulang barang bekas plastik, kardus dan koran. Masyarakat Desa Kabo juga
melakukan pemanfaatan lahan di TN Kutai dengan penanaman tanaman palawija.
Dampak negatif perambahan kawasan adalah banjir dan abrasi sempadan sungai
Sangatta yang seluas 3-5 m dikiri-kanan sungai. Komitmen keikutsertaan masyarakat
dalam pengelolaan di zona pemanfaatan adalah perubahan persepsi terhadap
keberadaan TN Kutai dan penanaman di zona rehabilitasi. Kawasan Sempadan
Sungai Sangatta merupakan prioritas restorasi karena merupakan habitat satwa liar
seperti orangutan, buaya muara dan biota perairan, sumber air minum masyarakat
dan areal transportasi sungai.

Gambar 4.4. Abrasi sungai terhadap lahan pertanian masyarakat dan hutan riparian
S. Sangatta
b. Sangkima
Sangkima merupakan perwakilan hutan hujan dataran rendah dengan
kemudahan aksesibilatas, sehingga kunjungan pengunjung dapat dilakukan setiap
saat. Lokasi yang sangat strategis dapat dimanfaatkan untuk menarik kunjungan
pengunjung dan memperkenalkan keanekaragaman hayati Taman Nasional Kutai
seperti ulin yang berumur ribuan tahun (Gambar 4.5). Fasilitas yang terdapat di
kawasan ini tidak terawat, hal ini dapat dilihat adanya vandalisme di Shelter Shorea.
Fasilitas banyak yang rusak terutama jembatan sling disamping itu dari segi
keamanan juga perlu diperhatikan. Keperluan fasilitas lainnya berupa visitor centre,
toilet, papan petunjuk arah jalan dan point of interest, papan kesan dan pesan serta
beberapa shelter untuk beristirahat karena telah rusak (Gambar 4.6). Pembangunan
trak jalan setapak dari kayu ulin dibagi menjadi beberapa bagian yang ditujukan
untuk pengunjung anak-anak, remaja maupun dewasa. Perbaikan jalan setapak
diperlukan untuk memenuhi kenyamanan dan keamanan pengunjung dengan
memberikan tempat istirahat ditengah perjalanan terutama untuk jalan yang
menanjak ataupun menurun. Pengamatan pemandangan maupun burung dapat

Sintesis 2010-2014 | 58
dibuatkan lokasi yang terdapat di tebing bukit sekalian merupakan tempat istirahat .
Papan informasi tentang potensi tanaman perlu diperbaharui dan dilengkapi dengan
gambar buah dan daun. Pos karcis dibuat menarik dan jelas agar pengunjung dapat
langsung mengenali.

Gambar 4.5. Pohon ulin yang berumur ribuan tahun, Sangkima

Gambar 4.6. Fasilitas yang rusak di Sangkima


c. Teluk Kaba
Masyarakat Desa Sangkima Lama, Kecamatan Sangattta Selatan, Kabupaten
Kutai Timur mendirikan Koperasi Jasa Pariwisata Teluk Kaba beranggotakan 10
orang yang terdiri dari nelayan dengan pekerjaan utama sebagai petani rumput laut
dan mengambil ikan disamping sebagai petani dengan lahan garapan sekitar 4-5 ha.
Kegiatan yang disodorkan masyarakat adalah pariwisata pantai dan naik perahu,
kuliner ikan laut, hasil olahan rumput laut. Masyarakat mengaharpkan bantuan dari
Pemda daerah dan TNK seperti pembangunan jalan masuk, penataan lokasi wisata
dan permainan anak, shelter tempat istirahat, homestay serta pelatihan pengelolaan
wisata dan pengolahan hasil rumput laut dan ikan

Sintesis 2010-2014 | 59
d. Telaga Bening
Telaga bening merupakan lokasi seluas 300 ha yang saat ini sudah tidak
dimanfaatkan oleh Pemda sebagai sumber air minum daerah dalam bentuk PDAM
(Gambar 4.7). Sebagai danau air tawar yang terhubung dengan laut oleh aliran
Sungai Teluk Pandan ke laut yang dikelilingi oleh kebun kelapa sawit dan karet,
kawasan ini telah dimanfaatkan oleh TNK sebagai areal pelepasliaran buaya muara
yang ditangkap dari daerah sekitar Bontang dan Sangatta sebanyak 27 ekor.
Pemanfaatan buaya ini dapat dilakukan melalui atraksi pemberian pakan dan
peningkatan pengetahuan masyarakat akan konservasi buaya muara.

Gambar 4.7. Telaga bening


e. Saleba
Saleba adalah areal perkemahan yang dikembangkan oleh TN Kutai bersama
dengan stakeholder maupun masyarakat yang tergabung dalam kemitraan Bontang
Mangrove. Kawasan yang sebelumnya dikelola masyarakat, kemudian dikembalikan
ke fungsinya melalui aksi penanaman dalam rangka mewujudkan penanaman 1
milyar pohon, jenis tanaman perkayuan dan buah-buahan yang dibudidayakan
diantaranya meranti, kapur, hopea, puspa, Dryobalanops sp., Shorea balangeran,
gaharu, nyatoh serta durian rambutan dan mangga (Gambar 4.8).

Gambar 4.8. Bumi Perkemahan Saleba dan aksi rehabilitasi oleh stakeholder

Sintesis 2010-2014 | 60
3. Zona Rehabilitasi
Kegiatan rehabilitasi di taman nasional mengacu pada Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia, No:P.14/Menhut-II/2012 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012 untuk mendukung
peningkatan fungsi dan daya dukung DAS berbasis pemberdayaan masyarakat
melalui pembuatan persemaian permanen, penanaman bibit hasil Kebun Bibit rakyat
dan Kegiatan Bantuan Langsung masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLM-
PPMPBK). Sejalan dengan Permenhut diatas maka keberhasilan restorasi di taman
nasional didukung oleh tersedianya pembibitan yang baik, hal ini menuntut
kesadaran pihak pengelola dan masyarakat untuk menyediakan bibit yang baik, jenis
lokal, sebagai sumber air dan pakan satwaliar, tetapi kondisi ini belum sepenuhnya
terwujud. Beberapa permasalahan yang dijumpai di zona rehabilitasi TN Gn
Halimun diantaranya:
 Zona rehabilitasi yang diplotkan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan seperti
yang terdapat di Ds Pangradin, Jasinga termasuk Resort Gunung Telaga, Seksi
Wilayah Bogor, dimana di kawasan ini ditemukan perkebunan karet rakyat dan
buah-buahan yang telah dikelola dan diambil hasilnya oleh masyarakat (Gambar
4.9). Kondisi masyarakat Kp Pangradin II, Ds Pangradin sebanyak 150 KK,
memiliki garapan (0,5 -1 ha) di dalam kawasan yang berjarak 1 km dari batas
hutan. Lahan tersebut ditanami karet yang menghasilkan 10-20 kg getah /hari,
seminggu 3 kali pengambilan dengan harga Rp. 4.500,-/kilogram, hasil dari getah
karet Rp. 540.000,- - Rp. 1.080.000,-/bulan. Kebun buah-buahan di dalam
kawasan (0,75 – 3 ha) dengan jenis pohon durian, manggis, cempedak, pisang dan
rambutan menghasilkan Rp. 300.000,- - Rp. 500.000,- / bulan

Gambar 4.9. Kp Pangradin II dan kebun karet di TNGHS


 Jenis tanaman restorasi dalam suatu hamparan di tanami dengan tumbuhan
sejenis atau 3 jenis yang umum ditemukan yaitu rasamala, puspa dan ki sireum
(Gambar 4.10).

Sintesis 2010-2014 | 61
Gambar 4.10. Jenis tanaman restorasi

 Kegiatan adopsi pohon dengan pohon prestasi perlu ditinjau kembali


keberhasilan dan manajemennya, diperlukan suatu sistem yang lebih sederhana.
 Peninjauan ke lapangan (ground chek) diperlukan untuk mengetahui keadaan
dan potensi tumbuhan dengan inventarisasi vegetasi untuk menentukan sistem
rehabilitasi dan jenis tanaman
4. Zona Khusus
Usulan TN Kutai tahun 2013 seluas 198.629 ha dibagi ke dalam 5 zona yaitu
zona inti (66.585 ha, 33,52 %), zona rimba (65.678 ha,33,07%), zona pemanfaatan
(2.193 ha, 1,1%), zona rehabilitasi (45.341 ha, 22,83%) dan zona khusus (18.831 ha,
9,48%) (Balai Taman Nasional Kutai, 2013). Zona inti dan zona rimba memiliki
luasan yang cukup sebagai habitat satwaliar dan tumbuhan serta penahan intervensi
pengaruh dari luar. Sedangkan zona rehabilitasi merupakan kawasan yang telah
mengalami degradasi dan luasannya sebagian tumpang tindih dengan zona khusus
yang diusulkan oleh Pemerintah Daerah Kutai Timur seluas 23.172 ha. Hasil kajian
menyatakan bahwa pembagian jalur di usulan zona khusus TN Kutai, sebagai
berikut, Tabel 4.16
Tabel 4.16. Pembagian jalur di usulan zona khusus Taman Nasional Kutai
Lebar
Zonasi Potensi Manfaat Ekonomi
Kiri-kanan Komponen
jalan
Jalur 250 m Areal Budidaya 1. Hortikultur 1. Pendapatan masyarakat
Budidaya dan pemukiman, 2. Perikanan 2. Sumber gizi Pendapatan
fasilitas umum 3. Sayuran daerah
4. Buah-buahan
5. Peternakan
6. Pohon kayu

Sintesis 2010-2014 | 62
Lebar
Zonasi Potensi Manfaat Ekonomi
Kiri-kanan Komponen
jalan
Jalur 251-750 m Kebun rakyat , 1. Habitat satwa 1. Pendapatan masyarakat
interaksi Hutan produksi, habitat) 2. Sumber gizi
hutan rakyat , 2. Buah-buahan 3. Industri kayu
perkebunan 3. Budidaya pohon 4. Industri pertanian
4. Agrowisata 5. Industri tanaman obat
5. Kebun Herbal 6. Budidaya tanaman hias
6. Penangkaran anggrek, 7. Jasa lingkungan
rotan 8. Wisata budaya
7. Kelapa sawit, karet,
gaharu
Jalur hijau >751m Hutan alam ), 1. Habitat satwa 1. Sumber pendapatan
sungai & anak 2. Sumber air 2. Jasa lingkngan: air
sungai , mata air 3. Wisata alam 3. Wisatawan dan lapangan
pekerjaan

Lokasi pemukiman atau kawasan budidaya, apabila diplotkan pada lahan di kiri
kanan jalan sepanjang Bontang-Sangatta selebar 250 m, akan menempati luas 3.400
ha atau 18,06% dari usulan zona khusus seluas 18.831ha.
Zona interaksi selebar 251m – 750 m yang merupakan areal pemanfaatan, hal
ini berdasarkan kemampuan masyarakat dalam mengolah lahan garapan seluas dua
ha sedangkan sisanya dibiarkan dalam bentuk lahan tidur, dibedakan antara
persawahan; perkebunan karet, gaharu dan kelapa sawit; rumah walet dan pembuatan
batu bata, akan mencakup luasan 6.800 ha atau 36,11 % dari luas usulan zona
khusus. Di dalam kawasan ini dapat disisipkan kantong-kantong habitat satwa/HCVF
sebagai daerah pengungsian satwaliar dengan jenis tanaman perkayuan lokal dan
tanaman pakan satwaliar marga ficus (Ancrenaz, 2013).
Kawasan lindung atau green belt lebih dari 751 m atau 45,83% dari usulan zona
khusus diplotkan sepanjang batas antara usulan zona khusus dan zona rehabilitasi
difungsikan sebagai habitat satwaliar perairan terutama buaya (Crocodylus porosus)
sebanyak 27 ekor yang terdapat di Telaga Bening seluas 300 ha (Gambar 6) yang
dapat dikembangkan sebagai pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata atraksi
buaya. Kegiatan ini dapat melibatkan masyarakat dan mitra Kutai seperti PT Badak
LNG, PT Kaltim Prima Coal, PT Pupuk Kaltim dan Pertamina dalam konservasi dan
membangun ekonomi alternative berbasis konservasi (Archive, 2007).
Kegiatan rehabilitasi oleh konsesi pertambangan di sekitar TN Kutai dengan
ketentuan prosedur sebagai berikut: pemetaan lokasi, survey lokasi, penanaman,
monitoring keberhasilan dan serah terima kegiatan dalam jangka waktu 3 tahun.
Tanaman perkayaan meliputi jenis tanaman Dipterocarpaceae sebanyak 80%, dan
tanaman MPTS atau buah-buahan 20% dengan jarak tanam 4 x 5 m atau 500 pohon –

Sintesis 2010-2014 | 63
700 pohon per hektar pada lokasi yang tidak berbatu, bukan rawa atau sungai serta
menghindari kawasan yang telah bervegetasi. PT Santan yang telah melaksanakan
rehabilitasi 600 ha pada tahun 2013, selama 2 bulan dengan biaya penanaman Rp.
800.000,- -Rp. 1.200.000,- /hektar melibatkan masyarakat 40 orang /desa. Jenis
tanaman perkayuan dan buah-buahan yang ditanam diantaranya ulin, meranti, kapur,
medang, sengkuang, bayur, temu hitam, durian dan salam, 30 – 60 cm, dengan
keberhasilan sekitar 80%. Sedangkan PT Indominco Mandiri juga telah
melaksanakan rehabilitasi dengan jenis tanaman 80 % meranti, 1 % ulin serta 19 %
tanaman lokal, keberhasilan tanaman hanya sekitar 30%, rendahnya tingkat
keberhasilan penanaman karena perusahaan ini tidak mengikuti prosedur rehabilitasi
yang telah dicanangkan oleh TN Kutai (Gambar 4.11).

Gambar 4.11. Perkayaan tanaman di TN Kutai oleh PT Indominco Mandiri


Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat
dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang
kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman
nasional. Peruntukkan zona khusus untuk mengakomodir kepentingan konservasi
dan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum
ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya,
serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas
transportasi dan listrik.
Zona khusus merupakan kawasan hutan yang telah dirambah masyarakat dan
terletak disepanjang jalan Bontang- Sangatta. Pengelolaan lahan oleh masyarakat
tergantung landskap dan jaraknya dari rumah. Lahan garapan yang merupakan
pekarangan rumah ditanami tanaman buah-buahan seperti mangga, ceremai, jambu
air, jambu biji, rambutan, durian, coklat, nangka, pepaya, jeruk, alpuket, pisang dan
kemiri. Disamping pekarangan rumah adalah daerah berawa yang dijadikan daerah
persawahan dengan tanaman padi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Selanjutnya,
kawasan yang memiliki kelerengan 5-10% atau berjarak > 0,5 km dari rumah
ditanami dengan jenis tanaman perkayuan seperti sengon, jati, jabon, mahoni,
gmelina dan ketapang serta tanaman perkebunan seperti kelapa sawit dan karet.
Pengelolaan zona khusus yang merupakan kawasan konflik tenurial juga dijumpai

Sintesis 2010-2014 | 64
konflik satwaliar seperti buaya muara yang dijumpai di sumur penduduk Desa Teluk
Pandan maupun orangutan yang masuk ke perkampungan masyarakat dan memakan
hasil panen palawija. Disamping itu dampak pengelolaan masyarakat adalah
terjadinya banjir karena perubahan landskap kawasan, dimana daerah yang berawa
dimanfaatkan sebagai persawahan maupun ditimbun untuk perumahan (Gambar
4.12).

Gambar 4.12. Banjir yang terjadi di Teluk Pandan akibat luapan anak sungai dan
perubahan landskap kawasan
Dalam perkembangannya, zona khusus ini diusulkan menjadi enclave oleh
pemerintah daerah. Zona khusus yang diusulkan menjadi enclave tahun 2000 ±
15.000 ha, tahun 2013 menurut zonasi TN Kutai 18.831 ha, tetapi dalam
perkembangannya luasnya menjadi 23.712 ha. Untuk mengetahui respon masyarakat
terhadap wacana ini maka dilakukan wawancara dan hasilnya tercantum pada
Gambar 4.13. Pendapat masyarakat dipengaruhi oleh asal-usul dan mata pencaharian
masyarakat. Masyarakat bermata pencaharian pertanian intensif berupa persawahan
bersedia dipindahkan dengan penggantian lokasi lahan, sedangkan masyarakat
dengan pertanian ekstensif lebih memilih status kawasan adalah enclave karena
indikasi kandungan batubara yang berkalori tinggi dengan nilai sumberdaya 6000 -
7000 sejumlah 2,5 ton milyard dan diperkirakan berharga sekitar $ 92 milyar dollar
(Situs resmi TN Kutai, 2008 dalam Arrayun, 2010), sehingga lahan yang berharga ini
merupakan investasi untuk diperjual belikan. Masyarakat yang menetap dan
mengelola lahan dalam bentuk kebun dengan usaha sampingan berjualan sembako,
menginginkan status kawasan berupa zona khusus karena masyarakat ini memiliki
tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya lahan yang tinggi dan persepsi terhadap
konservasi yang cukup tinggi. Sedangkan masyarakat yang tidak memberikan
respon adalah masyarakat pendatang yang baru dan lahan yang dikelola belum
menghasilkan.

Sintesis 2010-2014 | 65
Tidak tahu Bersedia
12% pindah, 16%

Zona
Enclave
khusus, 27%
45%

Gambar 4.13. Persepsi masyarakat terhadap usulan status zona khusus


Pengelolaan zona khusus yang dikembangkan oleh Balai TN Kutai
(2013)sebagai berikut:
1) Status kawasan tetap dipertahankan sebagai kaawsan TN Kutai
2) Letak zona khusus berada pada wilayah yang telah disepakati sebelumnya untuk
ditata batas pengamanan
3) Pemanfaatan lahan diberikan kepada penduduk yang telah tinggal, memiliki
lahan dan hidupnya tergantung pada lahan tersebut sebelum TN Kutai ditunjuk
4) Tidak mengakomodir kepemilikan lahan oleh masyarakat yang tinggal di dalam
zona khusus
5) Pengelolaan akan dilaksanakan oleh lembaga khusus yang bertanggung jawab
kepada Balai TN Kutai
6) Zona khusus akan terbagi menjadi areal pemukiman, areal pemanfaatan dan
areal lindung
7) Pengelolaan di dalam zona khusus akan diarahkan menjamin kehidupan yang
ramah lingkungan dan berupaya untuk mempersiapkan generasi mendatang
untuk mendapatkan kehidupan yang layak di luar zona khusus
8) Secara prinsip peraturan perundangan yang diacu adalah peraturan perundangan
yang berlaku pada kawasan konservasi dan peraturan-peraturan lain yang
disepakati sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.

Sintesis 2010-2014 | 66
V. DEGRADASI DAN RESTORASI

Kawasan Konservasi di Indonesia yang terdiri dari Kawasan pelestarian Alam


(KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) dengan luas keseluruhan seluas 27.16 juta
hektar. KSA terdiri dari Cagar Alam 248 unit, Suaka Margasatwa 75 unit, Taman
Nasional 50 unit, Taman Wisata Alam 118 unit, Taman Hutan Raya (Tahura) 22 unit
dan Taman Buru 14 unit. Dari keseluruhan kawasan konservasi tersebut, taman
nasional yang terluas (60%).
Penutupan lahan di kawasan konservasi dapat dibedakan ke dalam hutan primer
11.063.000 ha, hutan sekunder 4.771.500 ha, hutan tanaman 153.000 ha dan tidak
berhutan 5.245.300 ha, sedangkan dari luasan tersebut kawasan konservasi yang
mengalami degradasi kawasan yaitu hutan primer 1.281,1 ha, hutan sekunder 8.132,2
ha dan hutan tanaman 221,2 ha. Degradasi kawasan tersebut salah satunya termasuk
kawasan taman nasional.
Taman nasional darat umumnya mengalami deforestasi dan atau degradasi
akibat perambahan, perladangan, penambangan liar, penebangan liar, kebakaran
hutan, pengambilan hasil hutan non kayu, perburuan satwa liar dan masuknya jenis
eksotik, spesies yang bersifat invasif (Gunawan, 2012). Deforestasi dan atau
degradasi yang diakibatkan oleh manusia maupun bencana alam menurunkan fungsi
taman nasional yang berdampak pada sistem ekologi, hidrologi, ekonomi dan social.
Untuk itu, diperlukan program pemulihan kawasan konservasi melalui rehabilitasi
dan atau restorasi (pemulihan) agar kerusakan yang terjadi tidak semakin meluas dan
fungsi kawasan konservasi hutan sebagai penyangga kehidupan dapat terpenuhi.
A. Degradasi Habitat
1. Perambahan Hutan
Perambahan hutan adalah semua aktifitas yang terjadi di dalam kawasan hutan
tanpa ijin dari representasi kelembagaan negara. Praktek aktifitas menduduki atau
mengkonversi lahan pada kawasan hutan menjadi areal pertanian dan perkebunan
dalam rangka mengembangkan agroindustri sebagai komoditas keuntungan ekonomi.
Dari aspek konservasi, perambahan hutan menurunkan daya dukung atau daya
tampung lingkungan sebagai habitat satwa serta mengancam potensi sumberdaya
alam. Di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau luas perambahan pada tahun 2002-2009
mencapai 28.606,08 ha atau 30% dari luas kawasan, yang diakibatkan dari perbedaan
persepsi antara stakeholder dalam hal ini konsesi HPH, HTI dan masyarakat di
sekitar, akses jalan koridor HPH-HTI, konversi kawasan menjadi perkebunan kelapa
sawit, inkonsistensi kebijakan dengan terbitnya sertifikat perkebunan kelapa sawit
dari koperasi dan dukungan dari kelembagaan local (adat/desa)(Diantoro, 2011).
Perambahan di TN Kutai dilakukan oleh masyarakat local maupun pendatang
dari etnis Dayak, Kutai, Bugis, Jawa dan Madura, saat ini dikelola dalam bentuk
zona khusus TN Kutai 18.831 ha diminta menjadi enclave tahun 2000, seluas 15.000

Sintesis 2010-2014 | 67
ha, tahun 2013 tetapi dalam perkembangannya luasnya menjadi 23.712 ha.
Pengelolaan zona khusus ini meliputi pemukiman; persawahan; perkebunan kelapa
sawit, gaharu, karet dan buah-buahan; rumah walet dan fasilitas umum (Sawitri dan
Karlina, 2013). Masyarakat lokal dengan pertanian ekstensif atau perkebunan lebih
memilih status kawasan menjadi enclave karena ada indikasi terdapat kandungan
batubara yang berkalori tinggi sejumlah 2,5 ton milyard dan diperkirakan berharga
sekitar $ 92 milyar dollar (Situs resmi TN Kutai, 2008 dalam Arrayun, 2010),
sehingga lahan yang berharga ini merupakan investasi untuk diperjual belikan.
2. Fragmentasi Kawasan
Fragmentasi kawasan adalah proses yang menyebabkan kawasan hutan primer
yang semula saling bersambungan berubah menjadi hutan seperti pulau-pulau kecil
yang terpencar (Meijaard et al., 1999). Fragmentasi habitat mewakili perubahan dari
habitat yang semula utuh kemudian terpecah menjadi dua atau lebih fragmen yang
lebih kecil (Franklin et al., 2000). Fragmen hutan yang tersisa biasanya langsung
mencolok di tengah lingkungan yang pada dasarnya merupakan gurun-gurun
ekologis, khususnya perkebunan, lahan pertanian dan lahan bera (Meijaard et al.,
1999). Fragmentasi dan pengurangan habitat telah diakui secara luas sebagai
penyebab utama terjadinya penurunan species di seluruh dunia (Lovejoy et.al 1986).
Berkurangnya luasan dan terfragmentasinya kawasan berhutan diduga
mengakibatkan penurunan populasi sampai kepunahan lokal satwaliar langka.
Kondisi ini terjadi pada habitat orangutan telah mengalami fragmentasi sebagai
akibat dari pembukaan hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit (WWF, 2011).
3. Jenis Eksotik
Introduksi jenis tumbuhan eksotik untuk keperluan penelitian, tanaman hias,
tanaman pangan, pengendalian kebakaran, peningkatan produksi kayu di hutan
tanaman memberikan dampak berupa gangguan terhadap ekosistem hutan alam.
Jenis tanaman atau jenis eksotik tumbuhan digolongkan sebagai jenis invasif apabila
berpotensi mengancam lingkungan atau ekosistem dan berkompetisi dengan jenis
asli dan mengambil alih menjadi dominan pada lingkungannya yang baru (Wibowo
et al., 2010). Beberapa jenis yang termasuk kedalam 100 jenis paling invasif
didunia diantaranya Acacia mearnsii, Ardisia elliptica, Arundo donax, Cecropia
peltata, Cinchona pubescens, Clidemia hirta, Euphorbia esula, Fallopian japonica,
Hedychium gardneriarium, Hiptage benghalensis, Leucaena leucocephala,
Ligustrum robustum, Melaleuca quiquenervia, Micornia calvescens, Mimosa pigra,
Morella faya, Opuntia stricta, Pinua pinester, Prosopis glandulosa, Psidium
cattleianum, Pueraria montana var lobata, Rubus ellipticua, Schinus terebinthifolius,
Spartina anglica, Spathodea campanulata, Sphagneticola trilobata, Tamarix
ramosissima dan Ulex europaeus (www.issg.org).
Di Indonesia ditemukan jenis tumbuhan invasif yang dibedakan menurut
habitatnya yaitu perairan ataupun daratan. Jenis tumbuhan invasif yang terdapat di

Sintesis 2010-2014 | 68
perairan diantaranya Eichornia crassipes (Mart.)Solms, Hydrilla verticillata
(L.f)Royle, Mimosa pigra L, Pistia stratiotes L, dan Salvinia molesta D.S. Mitchell,
sedangkan beberapa jenis tumbuhan invasif yang dijumpai di daratan adalah Acasia
nilotica (L) Willd.ex Del, Austroeupatorium inulaefolium (Kunth) R.M.
King&H.Rob., Chromolaena odorata (L.) King &H.Rob, Crystopegia grandiflora
R.Br, Dicranopteris linearis (Burm.F.), Eupathorium sordisum Less, Jatropha
gossypifolia L., Lantana camara L., Mikania micrantha Kunth, Melastoma affine D.
Don, Mimosa diplotrica C. Wright ex Sauvelle, Panicum maximum Jacq., Passiflora
ligularis A. Juss, Pennisetum polystachion (L.) Schult.), Piper aduncum L., Sida
rhombifolia L., Stachitarpeta indica (l.) Vahl, Stachitarpeta jamaicensis (L.) Vahl,
Themeda arguens (L.), Hack, dan Tribulus terrestris L. (Tjitrosoedirdjo, 2005).
Di Taman Nasional Gn Gede Pangrango pada ketinggian 1000m dpl sampai
1500 m dpl dijumpai jenis tumbuhan invasif yaitu Passiflora ligularis yang
merupakan tanaman buah yang didatangkan dari Amerika latin dan ditumbuh
kembangkan di Kebun raya Cibodas yang kemudian disebarkan bijinya oleh tupai
tanah ke kawasan (Sawitri dan Garsetiasih, 2011). Tumbuhan ini merambat naik ke
pohon dan menutupi tajuk pohon serta menekan pertumbuhannya (Tjitrosoedirdjo,
2005).
Habitat banteng di beberapa taman nasional mengalami penurunan daya
dukungnya karena keberadaan jenis invasif seperti Acacia nilotica menginvasi
Savanna Bekol, Talpat, keramat dan Balanan seluas 10.000 ha di TN Baluran, jenis
tumbuhan Crotalaria sp. dan Sesbania sabans di Padang penggembalaan
Sadengan,di TN Alas Purwo serta jenis tumbuhan Chromolaena odorata di Padang
Penggembalaan Pringtali (Sawitri & Takandjandji, 2007).
Vegetasi langkap (Arenga obtusifolia Blumme ex Mart) telah menginvasi TN
Ujung Kulon seluas 28.750 ha (Haryanto, 1999), hingga tahun 2010, vegetasi ini
diperkirakan telah menginvasi habitat badak jawa sekitar 40.000 ha atau 60% dari
luas kawasan dan penyebarannya terkonsentrasi di sebelah Barat Semenanjung yaitu
Kalejetan, Cikeusik, Cibandawoh, Gunung Payung dan Cibunar. Disamping itu, jenis
tumbuhan lainnya yang menginvasi habitat badak jawa adalah bamboo cangketreuk
(Szhizostachyum zollingeri Kurz) seluas 2.400 ha (Sawitri & Setyawati, 2011).
4. Pemanfaatan Flora Fauna
Pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat sekitar taman nasional dipicu
oleh ketergantungannya terhadap hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan diantaranya adalah
penggunaan kayu sebagai konstruksi bangunan, perkakas rumah tangga, kapal dan
kayu bakar serta hasil hutan bukan kayu. Jenis-jenis kayu yang dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar TN Aketajawe Lolobata, Provinsi Maluku Utara sebagai bahan
bangunan 12 jenis adalah hati besi (Instia palembanica Miq.), bintangur
(Callophyllum sp.), gofasa (Kleinbosvia hospital L.), binuang (Tetrameles nudiflora

Sintesis 2010-2014 | 69
R. Brown), jati putih (Gmelina arborea Roxb.), kamaiwa (Nuclea sp.), kayu bugis
(Koordersiodendron pinnatum Merr.), lingu (Pterocarpus indicus Willd), mologatu
(Dyospyros sp.), nyatoh (Palaquium rostratum Burck.), marpala (Neonauclea
calycina Merr.) dan gora bagea (Syzigium sp.); perkakas rumah tangga seperti kenari
(Canarium vulgare Leenh), Matoa (Pometia pinnata Forst. F), mersawa (Syzigium
sp.), wiru (Streblus elongates (Miq.) Corner), kayu telur (Alstonia scholaris (L.) R.
Br.) dan kolot kambing (Garuga floribunda Decne); serta kayu bakar seperti kayu
sirih (Piper sp.), kerikis (Zyzyphus angustifolius Miq.), gusak (Dilenia sp.), laban
(Vitex pubescens Vahl), owaha (Litsea glutinosa C.B. Rob) (Nurrani dan Tabba,
2013).
Hasil hutan non kayu berasal dari bagian pohon atau tumbuh-tumbuhan yang
memiliki sifat khusus yang dapat menjadi suatu barang yang diperlukan masyarakat,
diperjual belikan sebagai komoditi ekspor atau bahan baku untuk industri. Beberapa
hasil hutan non kayu yang umumnya dipungut masyarakat dari dalam kawasan
konservasi diataranya getah kayu berupa damar, kopal dan jelutung, perca,
kemenyan, pinus; minyak atsiri yaitu kayu putih, minyak lawang, nilam; kulit kayu
sebagai bahan penyamak kulit dari pilang dan bakau, kayu manis, bahan pewarna;
buah-buahan dan biji seperti tengkawang, kemiri, matoa dan asam; jenis pohon atau
tanaman tertentu seperti kayu cendana, rotan, bamboo dan gaharu (Djajapertjunda,
2001).
Hasil hutan bukan kayu yang sering dimanfaatkan masyarakat sekitar TN
Aketajawe Lolobata yang dimanfaatkan sebagai tali, kerajinan anyaman, atap,
pembukus makanan, bahan makanan dan minuman, serta obat-obatan diantaranya
rotan (Dracontomelon spp.), panadan (Pandanus sp.), woka (Livistonia rotindufolia
(LMk), kasbi (Manifot utitillsima Phl), saguer (Arenga pinnata Merr), sagu
(Metroxylon sago Rottb.), tapaya (Carica papaya L.), paku-pakuan (Pteridophyta
sp.), pisang (Musa sp.), tali kuning (Arcangelsia flava (Menisp.), langsat (Lansium
domesticum Corr.), rambutan (Nephelium lappaceum L.), dan pala (Myristica
lepidota Blume) (Nurrani et al., 2013b).
Jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di sekitar TN Gunung
Gede Pangrango diantaranya rasamala (Altingia excelsa) dan puspa (Schima
wallichii) sebagai kayu pertukangan, kaliandra (Calliandra sp.) dan bamboo
(Gigantochloa spp.) sebagai kayu bakar, pakis haji (Dyplazium sp.), tanaman hias,
rotan, dan konyal (Passiflora suberosa). Pemanfaatan tumbuhan dari kawasan
secara illegal oleh masyarakat sekitar disebabkan rendahnya tingkat pendidikan
(92,2%), tingkat pendapatan (59,9%), dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari (88,2%)
(Sudomo dan Siarudin, 2008).
Illegal logging atau pembalakan liar berkaitan dengan aktifitas illegal yang
memungut sumberdaya hutan terutama kayu (timber forest product) sebagai
komoditas, kegiatan ini merupakan rangkaian yang dimulai dari penebangan,
pengangkutan dan penjualan kayu tidak sah atau tidak memiliki ijin otoritas

Sintesis 2010-2014 | 70
setempat. Jenis kayu yang diambil umumnya jenis kayu komersial diantaranya famili
Dipterocarpaceae, bangkirai, ulin, ramin, pulai, jati, rasamala, laban, puspa,
cangcarakan, sideung
Illegal fishing adalah pengambilan SDA laut dengan menggunakan alat tangkap
yang tidak ramah lingkungan seperti bahan peledak, bahan beracun baik alami
maupun buatan serta tidak memiliki ijin tangkap (TN Teluk Cendrawasih dan World
Wide Fund, 2009). Kegiatan ini merupakan suatu ancaman terhadap ekosistem dan
keberadaan biota laut terutama terumbu karang. Disamping itu, biota laut yang
dilindungi juga tidak terlepas dari illegal fishing dengan menggunakan alat bantu
bubu, rawai dasar atau compressor.
5. Konflik kepentingan
Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai tindakan atau arah
serta sudah menyatu sejak adanya kehidupan (Mitchell et. al, 2000 dalam Alikodra,
2009). Perbedaan dan pertentangan kepentingan muncul apabila terjadi perbedaan
pandangan, ideology dan harapan dalam pengalokasian sumberdaya dan
pengambilan keputusan. Konflik antara manusia dan satwaliar cenderung
menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwaliar, yaitu berkurangnya apresiasi
manusia terhadap satwaliar yang dapat mengakibatkan efek detrimental terhadap
upaya konservasi (Garsetiasih, 2012). Kerugian yang diakibatkan konflik diantaranya
kerusakan tanaman pertanian, perkebunan atau perkayuan, pemangsaan ternak oleh
satwa, korban jiwa dan kematian satwa.
Konflik antara Harimau Sumatera dengan masyarakat desa maupun tenaga kerja
dikarenakan adanya pembukaan hutan, eksploitasi hutan dan konversi vegetasi hutan
alam menjadi tanaman monokultur, sehingga menurunnya kwantitas, kwalitas dan
daya dukung habitat; menurunnya populasi dan jenis satwa mangsa harimau seperti
rusa, babi hutan, kera yang bermigrasi ke tempat yang lebih baik atau mati;
hilangnya tempat berlindung dan membesarkan anak serta perubahan daerah jelajah.
Keadaan tersebut telah menekan harimau sumatera untuk mencari teritorial baru
dan masuk ke pemukiman untuk mencari mangsa, sehingga telah menyebabkan
konflik antara harimau dengan manusia. Dalam kurun waktu 1996 – 2004 lebih dari
152 kasus konflik harimau dengan masyarakat yang mengakibatkan lebih dari 25
orang meninggal dunia, puluhan orang luka-luka dan ratusan ternak milik masyarakat
desa dimangsa oleh harimau (Hasiholan, 2010).
Konflik antara banteng dengan masyarakat serta masyarakat dengan pihak
pengelola TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo terjadi di daerah penyangga taman
nasional yang berupakan areal pertanian masyarakat, kawasan hutan Perum
Perhutani dan areal Perkebunan Bandealit. Kondisi ini dicirikan oleh meningkatnya
perburuan serta kerusakan tanaman pertanian, perkebunan dan perkayuan yang
dirusak ataupun dimakan banteng, sehingga mengakibatkan kerugian sebesar 30%
sampai 50% (Garsetiasih, 2012).

Sintesis 2010-2014 | 71
Konflik antara manusia dan orangutan umumnya berupa perusakan kebun
masyarakat, perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri oleh orangutan. Hal
ini terjadi diduga orangutan sudah semakin terdesak akibat semakin menyusutnya
habitat, sehingga orangutan terpaksa memasuki wilayah perkebunan untuk
memperoleh makanan (World Wildlife Fund, 2011). Kondisi ini mengidikasikan
adanya masalah pemanfaatan ruang dan tata kelola kawasan konservasi (Yassir,
2012). Dengan adanya konflik ini, sangat disayangkan kemudian orangutan secara
cepat dicap sebagi hama. Sebab bisa jadi masalah utamanya adalah adanya
pembangunan atau konversi hutan alam yang dilakukan di habitat orangutan.
Konflik kepentingan lahan yang terjadi di beberapa kawasan konservasi, seperti
yang terjadi antara Balai TN Gn Halimun Salak dengan masyarakat adat Kasepuhan
Sirna Resmi, disebabkan oleh perbedaan persepsi, kepentingan, tata nilai dan akuan
hak kepemilikan dimana kondisi tata batas di lapangan tidak jelas, rendahnya
apresiasi masyarakat terhadap taman nasional, ketergantungan masyarakat terhadap
sumberdaya alam (Marina dan Dharmawan, 2011).
6. Sumberdaya Genetik
Pemanfaatan keragaman hayati untuk memenuhi berbagai kebutuhan bahan
makanan, obat-obatan, pakaian, kontruksi rumah maupun estetika memerlukan upaya
pelestariannya. Pelestarian keragaman hayati merupakan suatu program konservasi
sumberdaya genetik yaitu memepertahankan keragaman genetik dan meminimalkan
proses yang dapat mengurangi keragaman tersebut (Neel et al., 2001).
Aktivitas manusia di dalam pengelolaan hutan secara tidak langsung mengubah
keragaman jenis melalui aktivitas pembalakan, kondisi ini sangat berpengaruh
kepada jenis-jenis yang kelimpahannya rendah atau terancam punah (Indrioko,
2012). Jenis yang terancam punah dikatagorikan sebagai rentan (vulnerable),
terancam (endangered) dan kritis (critically endangered) menurut IUCN (1996),
memerlukan waktu kepunahan 100 tahun, 20 tahun atau 5 generasi dan 10 tahun atau
3 generasi dengan kemungkinan terjadinya kepunahan sekitar 10%, 20% dan 50%.
Dengan demikian, upaya pelestarian sumberdaya genetik untuk jenis yang terancam
punah dilaksanakan melalui konservasi secara in-situ maupun eks-situ (Indrioko,
2012).
Konservasi sumberdaya genetik telah dilakukan dengan membangun plot baik di
dalam kawasan konservasi, hutan produksi, hutan penelitian dan hutan tanaman.
Pembangunan plot konservasi jenis secara in-situ seperti eboni (Diospyros celebica
Bakh) seluas 2 ha dengan jarak tanam 5m x 5m terdapat di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung (Kiding Allo, 2012), sedangkan Shorea leprosula di PT
Sari Bumi Kusuma pada petak 3 C (20 ha) dan S. leprosula, S. macrophylla, S.
parvifolia, S. platycados, S. pinanga serta S. stenoptera pada petak 7 F (75 ha)
dengan jarak tanam 5m x 5m yang bibitnya merupakan kumpulan dari beberapa HPH
yaitu PT Musi Hutan Persada, Perum Perhutani, Pt Suka Jaya Makmur, PT Erna
Djuliawati dan PT Sarpatim (Purnomo dan Widiyatno, 2012). Pembangunan plot

Sintesis 2010-2014 | 72
konservasi secara eks-situ di hutan penelitian dan hutan tanaman untuk jenis
dilindungi diantaranya ulin (Eusideroxylon swageri dan cempaka (Michelia
champaka) (Nugroho, 2012; Murniati, 2012). Dalam rangka meningkatkan kinerja
plot diperlukan pertimbangan beberapa hal, yaitu: representasi keragaman genetik
dari plot yang dibangun, kepastian status taksonomi, keberlanjutan informasi
kekerabatan jenis, teknik pengambilan materi sampel untuk bibit maupun desain plot
didasarkan pada keragaman genetik dan pada saat puncak musim buah dan
pembungaan (Indrioko, 2012).
B. MODEL RESTORASI
Restorasi ekosistem di kawasan konservasi ditujukan untuk memulihkan
kawasan sesuai dengan struktur, komposisi, fungsi dan produktivitas hutan seperti
keadaan sebelum hutan mengalami kerusakan (ITTO, 2002). Di taman nasional
lokasi restorasi tersebut di tetapkan sebagai zona rehabilitasi yang mengalami
kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan
ekosistemnya.
Zona rehabilitasi menunjukkan bahwa kawasannya cenderung berubah dalam
setiap periode waktu tertentu, tergantung pada perubahan penutupan lahan. Dengan
demikian zona rehabilitasi bersifat temporer sehingga tidak memerlukan pengelolaan
secara khusus sebagaimana zona-zona lainnya. Pihak taman nasional dapat
menggunakan citra landsat secara berkala, untuk mengetahui perubahan penutupan
lahan dan menentukan kawasan-kawasan mana yang perlu direhabilitasi.
Zona rehabilitasi berada pada bagian yang berbatasan langsung dengan
masyarakat sekitar yang memiliki lahan garapan, memanfaatkan hasil hutan bukan
kayu dan jasa lingkungan di dalam kawasan, sehingga teknis pengelolaan zona
rehabilitasi harus dapat mengantisipasi dan meredam tekanan masyarakat terhadap
kawasan (Sawitri dan Bismark, 2013).
Tekanan masyarakat di daerah penyangga ke dalam kawasan merupakan dampak
dari beberapa faktor seperti kepentingan dalam menyediakan mata pencarian,
pendidikan, tingkat kepadatan penduduk, dan kepemilikan lahan. Masyarakat di
daerah penyangga mestinya di TNGGP dengan 66 desa di kabupaten Bogor yang
sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani (80%-98%)
dengan luas lahan 0,1 - 0,3 ha/KK, berpendidikan rendah, dan tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi. Di Kabupaten Bogor (Arshanti, 2001). Disamping itu, luas
lahan untuk usaha pertanian setiap tahun semakin berkurang akibat pengembangan
areal pemukiman, industri, pertokoan, dan prasarana umum (Wahyudi, 2012).
Dengan demikian Model rehabilitasi atau restorasi ekologi taman nasional perlu
disinkronikan dengan pengembangan pembangunan dalam daerah penyangga,
termasuk upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi para pihak dalam kegiatan
di zona rehabilitasi dalam bentuk pengelolaan kolaborasi agar fungsi dan manfaat
di TNGGP dapat dioptimalkan (Kantor Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup, 1986 dalam Arshanti, 2001).

Sintesis 2010-2014 | 73
Kriteria Lokasi Restorasi
Perubahan dan peningkatan fungsi di enam taman nasional yang mengalami
perluasan dengan hutan produksi, maka areal hutan produksi yang umumnya hutan
tanaman monokultur perlu di restorasi agar sesuai dengan fungsi taman nasional.
Sebagai contoh, Zona rehabilitasi, di TNGP areal ini seluas 19% dari luas kawasan
dengan model restorasi yang ditetapkan adalah Model adopsi pohon intenasional,
adopsi pohon, gerhan partisipatif, gerhan dan pengelolaan batas luar kawasan
berbasis masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi program gerhan
partisipatif atau pengelolaan batas luar berbasis masyarakat dapat dilihat dari
tingkatan persepsi masyarakat terhadap model rehabilitasi. Persepsi ini dapat
dipengaruhi oleh tipologi masyarakat yang terlibat langsung maupun tidak langsung,
serta kelembagaan Model rehabilitasi yang dibangun oleh para pemangku
kepentingan.
Lokasi/bagian kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi yang
terpenting adalah luas kerusakan kawasan hutan konservasi, kekayaan jenis
tumbuhan, sebaran satwalliar langka dan dilindungi, penutupan lahan dan lereng
(Gunawan, 2012). Kriteria prioritas kawasan hutan yang segera direstorasi dengan
variabel penilaian dan skala intensitas tercantum pada Tabel 5.1 dan 5.2
Tabel 5.1. Kriteria dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan
konservasi
Skala
Persyaratan yang harus Variabel
No Kriteria Bobot intensit
dipenuhi Penilaian
as
1. Luas kerusakan 0,219 Besarnya/luasnya <0,25 1
kawasan hutan kerusakan kawasan hutan 0.25-0,5 ha 2
konservasi konservasi >0,5 -0,75 ha 3
>0,75-1 ha 4
>1ha 5
2. Kekayaan jenis 0,151 Jumlah jenis tumbuhan di <30 5
tumbuhan kawasan hutan konservasi 30-59 4
60-89 3
90-119 2
>119 1
3. Sebaran satwaliar 0,128 Jumlah beserta sebaran <2 jenis 5
langka atau (wilayah jelajah) satwaliar 2 jenis 4
dilindungi langka atau dilindungi di 3 jenis 3
kawasan hutan konservasi 4 jenis 2
>4jenis 1
4. Penutupan lahan 0,117 Tipe penutupan lahan di Hutan primer 1
kawasan konservasi Hutan sekunder 2
Hutan tanaman 3
Semak/belukar 4

Sintesis 2010-2014 | 74
Skala
Persyaratan yang harus Variabel
No Kriteria Bobot intensit
dipenuhi Penilaian
as
Lahan terbuka 5
*)
5. Lereng (slope) 0,110 Tipe kelas lereng (slope) 0-8% 1
di kawasan hutan >8-15% 2
konservasi >15-25% 3
>25-45% 4
>45% 5
6. Intensitas hujan*) 0,065 Curah hujan tahunan rata- <13,6mm/hari 1
rata/hari hujan dalam satu 13,6-20,7 2
tahun di kawasan hutan mm/hari
konservasi >20,7-27,7 3
mm/hari
>27,7-34,8 4
mm/hari
>34,8 mm/hari 5
7. Kepadatan 0,063 Jumlah kepadatan <125 jiwa/km2 1
penduduk di desa- penduduk di desa-desa 125-249 2
desa sekitar sekitar kawasan hutan jiwa/km2
kawasan konservasi konservasi 250-374 3
jiwa/km2
375-499 4
jiwa/km2
>499 jiwa/km2 5
8. Jenis tanah*)**) 0,054 Tipe kelas jenis tanah Entisol, aquic, 1
berdasrkan kepekaan alfisol/aqualf,
terhadap erosi di kawasan aquult
hutan konservasi Ultisol 2
Inceptisol, 3
alfisol
Andisol,oxisol,v 4
ertisol, spodosol
Entisol, histosol, 5
rendoll
9. Elevasi/ketinggian 0,051 Tipe kelas <1.000 mdpl 1
elevasi/ketinggian di 1.000-1.500 m 2
kawasan hutan konservasi dpl
>1.500 -2.000 m 3
dpl
>2.000 – 2.500 4
mdpl
>2.500 dpl 5
10. Luas 0,041 Ukuran/luas >1 ha 1
pemilikan/penguasa pemilikan/penguasaan
an lahan rata-rata lahan rata-rata masyarakat

Sintesis 2010-2014 | 75
Skala
Persyaratan yang harus Variabel
No Kriteria Bobot intensit
dipenuhi Penilaian
as
masyarakat di desa- di desa-desa sekitar
desa sekitar kawasan hutan konservasi
Keterangan: *) Diadopsi dari SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan
Tata Cara Penetapan Hutan Lindung
**) Nama tanah menurit USDA Soil taxonomy 1975 (Hardjowigeno, 2003)
Tabel 5.2. Penilaian katagori prioritas restorasi Taman Nasional Gn Gede
Pangrango
Skala
No. Kriteria kawasan yang perlu segera direstorasi Bobot Skor
intensitas
I. Aspek tingkat kepentingan suatu kawasan hutan
konservasi
1. Keberhasilan jenis langka dan dilindungi 0,310 5 1,550
2. Keanekaragaman tipe ekosistem 0,181 4 0,724
3. Potensi keanekaragaman jenis 0,142 5 0,710
4. Ekosistem penting sebagai penyedia air dan 0,127 3 0,381
pengendalian banjir
5. Pemanfaatan SDA secara lestari oleh para 0,122 5 0,610
pemangku kepentingan
6. Lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata 0,050 5 0,250
alam
7. Tempat peninggalan budaya 0,035 2 0,070
8. Logistik bagi penelitian dan pendidikan 0,033 4 0,132
Total skor aspek tingkat kepentingan 1 4,270
II. Aspek tingkat kemendesakan suatu kawasan hutan
konservasi untuk direstorasi
1. Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di 0,287 1 0,287
suatu kawasan hutan konservasi
2. Besarnya kepedulian para pemangku kepentingan 0,182 5 0,910
sebagai penerima manfaat kawasan hutan
konservasi
3. Bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu 0,162 1 0,162
kawasan hutan konservasi
4. Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan 0,132 2 0,264
konservasi
5. Macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu 0,106 5 0,530
kawasan konservasi
6. Luasan suatu kawasan hutan konservasi 0,069 3 0,207
7. Keberadaan hutan miskin jenis di suatu kawasan 0,062 3 0,186
hutan konservasi
Total skor aspek tingkat kemendesakan 1 2,546

Sintesis 2010-2014 | 76
Berdasarkan hasil penilaian prioritas restorasi kawasan hutan konservasi,
diindikasikan bahwa tingkat kepentingan TNGGP untuk di restorasi termasuk tinggi
(4,427), sedangkan tingkat kemendesakannya untuk segera di restorasi tergolong
rendah (2,546) (Tabel 5.4). Hal ini sesuai dengan fungsi dan manfaat kawasan yang
memiliki peran sangat penting sebagai pengatur tata air, habitat satwaliar dan
penghasil jasa lingkungan untuk lingkungan sekitarnya. Tingkat kemendesakan yang
tergolong rendah disebabkan fungsi kawasan konservasi telah berjalan walaupun
komponen ekosistemnya masih merupakan hutan tanaman monokultur atau tanaman
budidaya.
Penetapan zona rehabilitasi di TNGGP bertujuan untuk pemulihan fungsi ekosistem
kawasan TNGGP yang berasal dari hutan produksi tanaman monokultur seperti pinus
(Pinus merkusii), damar (Agathis lorantifolia) dan ecaliptus (Eucalyptus alba) serta
tanaman budidaya. Luasan zona rehabilitasi adalah 4.367,192 ha (19%), yang terbagi
ke dalam wilayah Cianjur seluas 1.298,54 ha, wilayah Sukabumi 1.823,575 ha dan
wilayah bogor seluas 1.245,077 ha (Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,
2009). Luasan zona rehabilitasi dalam satu hamparan sangat bervariasi dengan kisaran
3,257 ha – 317,359 ha. Untuk mengefektifkan pengelolaan dan kegiatan rehabilitasi
maka zona rehabilitasi dengan luas yang relatif kecil dilakukan perkayaan dengan jenis
pohon lokal seperti kegiatan penanaman di Resort Sarongge (Gambar 5.1)

Gambar 5.1. Tanaman perkayaan di zona rehabilitasi, Resort Sarongge

Zona rehabilitasi yang berasal dari tanaman perkebunan kopi (Coffea sp.), seperti
yang terdapat di Megamendung, Resort Tapos, kegiatan awal rehabilitasi adalah
pembabatan tanaman bekerjasama dengan masyarakat dan aparat desa setempat,
kemudian dilakukan rehabilitasi kawasan dengan penanaman pohon buah-buahan dan
tumbuhan jenis asli (Gambar 5.2).

Sintesis 2010-2014 | 77
Gambar 5.2. Tanaman kopi di bawah tegakan pinus dan kegiatan pembabatan di zona
rehabilitasi, Resort Tapos

Kebijakan rehabilitasi taman nasional selain penetapan zonasi yang perlu


direhabilitasi juga mengikuti peraturan yang ada dan pelaksanaannya sesuai dengan
kondisi lahan, sosial ekonomi masyarakat serta kesesuaian jenis yang dapat berfungsi
bagi pengembangan habitat satwaliar dan sosial masyarakat. Kriteria penilaian
prioritas restorasi kawasan TNGGP dilakukan berdasarkan aspek tingkat kepentingan
dan aspek tingkat kemendesakan (Gunawan, 2012).
Rehabilitasi lahan di kawasan konservasi ditujukan untuk memulihkan,
meningkatkan dan mempertahankan kondisi lahan sehingga dapat berfungsi secara
optimal sebagai unsur produksi yang terkait dengan kesuburan tanah, media pengatur
tata air, dan perlindungan lingkungan dari erosi dan banjir melalui pemberdayaan
masyarakat (Pamulardi, 1995 dalam Tumanggor, 2008). Model rehabilitasi di zona
rehabilitasi TNGGP bertujuan untuk mengurangi tekanan penduduk dan
mengeluarkan perambah dari dalam kawasan yang berjumlah 2.763 KK, dilakukan
melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dan alih mata pencaharian dikuatkan
oleh suatu MoU dalam batasan waktu tertentu (Balai Taman Nasional Gunung Gede
pangrango, 2009). Kegiatan restorasi di laksanakan dalam lima model yaitu adopsi
pohon internasional, adopsi pohon, gerakan rehabilitasi lahan partisipatif, gerakan
rehabilitasi lahan, dan pengelolaan batas kawasan berbasis masyarakat (Tabel 5.3).
Kegiatan restorasi sampai dengan tahun 2012 telah dilakukan di kawasan TNGGP
seluas 2.265,5 ha atau 52% dari zona rehabilitasi (Sawitri dan Bismark, 2013).
Tabel 5.3. Model rehabilitasi di Taman Nasional Gn. Gede Pangrango
Jarak Pertum-
Model Luas Jenis Biaya waktu Pemberdayaan
No tanam buhan
Rehabilitasi (ha) pohon (ha) (tahun) masyarakat
(m) (%)
1. Adopsi pohon 1 33 0,7x0,7 100 178.495.000 3 - Persiapan lahan
internasional - Pembibitan
- Penanaman
- Pemeliharaan
- Pembersihan

Sintesis 2010-2014 | 78
Jarak Pertum-
Model Luas Jenis Biaya waktu Pemberdayaan
No tanam buhan
Rehabilitasi (ha) pohon (ha) (tahun) masyarakat
(m) (%)
gulma
- Penyulaman
- Pengeukuran
pohon
2. Adopsi pohon 38 10 5x5 100 43.200.000 3 - Penanaman
- Pemeliharaan
- Pembersihan
gulma
- Penyulaman
- Pengukuran
pohon

3. Gerhan 50 16 5x5 43 2.500.000 3 - Pembibitan


Partisipasif - Penanaman
- Pemeliharaan
- Pembersihan
gulma
- Penyulaman
4. Gerhan 2175 8 tidak 40-80 2.500.000 1 - Penanaman
teratur/ - Penyulaman
4x5 - Pemeliharaan
5. Batas kawasan 1,5 2 tidak 40 2.500.000 1 - Penanaman
hutan teratur - Pemeliharaan

1. Model Restorasi
a. Model Adopsi Pohon Pola Internasional
Pelaksanaan model ini telah dilaksanakan dengan sistem Miyawaki pada bulan
Januari 2012 di Blok Los Beca, Cimungkat seluas 1 ha, dengan tanaman 33 jenis dan
jarak tanam 0,7 m x 0,7 m. Hal ini dimaksudkan untuk memperpendek suksesi tanaman
seperti di hutan alam. Pelaksanaan kegiatan dimulai dari persiapan lahan, pembibitan,
penanaman dan pemeliharaannya dilakukan oleh Organization for Industrial, Spiritual
and Cultural Advancement (OISCA) dengan dana dari Mitsubishi Corporation dan
melibatkan Kelompok Tani Cipanas, Desa Kadudampit dan Baru Geulis, Desa Caringin
serta pam swakarsa yang beranggotakan 40 orang (Gambar 5.3).

Sintesis 2010-2014 | 79
Gambar 5.3. Model adopsi pohon internasional di Blok Los Beca, Resort
Cimungkat

b. Model adopsi pohon


Adopsi pohon bertujuan untuk mengembalikan fungsi dan kondisi hutan yang
semula hutan produksi menjadi hutan konservasi dengan fungsi konservasi dengan
mengikutsertakan masyarakat, organisasi, pemerintah daerah, perwakilan negara
asing, perusahaan lokal maupun asing untuk berpartisipasi dalam Model ini (Balai
Taman Nasional Gn Gede Pangrango, 2011) (Gambar 5.4). Biaya yang dikenakan
dalam kegiatan penanaman ini adalah Rp. 108.000,-/pohon dalam jangka waktu tiga
tahun dengan perincian alokasi dana sebagai berikut: penanaman sebesar Rp
37.800,- (35%), manajemen sebesar Rp.16.200,- (15%) dan pemberdayaan
masyarakat sebesar Rp.54.000,- (50%) yang akan diserahkan tunai kepada
masyarakat. Untuk mengefektifkan pemberdayaan masyarakat maka dibentuk
kelompok tani yang akan menerima uang adopsi secara tunai atau diserahkan dalam
bentuk ternak kambing, domba, kelinci, lebah madu, pertanian organik dan
pembinaan pemandu wisata alam (Soemarto, 2013).

Gambar 5.4 . Model adopsi pohon di Resot Saronnge, Kabupaten Cianjur

Sintesis 2010-2014 | 80
c. Model Gerhan Partisipatif
Gerakan Rehabilitasi Lahan Partisipasif dilaksanakan di Blok Ramusa, Blok
Eucalyptus dan Blok Lambau, Resort Gunung Putri seluas 50 ha. Kegiatan ini
dilakukan oleh masyarakat yang tergabung dalam KTH Puspa Lestrari, tokoh
masyarakat, serta didampingi oleh TNGGP, Dinas PKT, Tim Pakar Institut Pertanian
Bogor, dan LSM ESP USAID dalam bentuk Pengelolaan Konservasi Bersama
Masyarakat (PKBM) (Sumardiani, 2008). Bibit tanaman pokok dan pohon buah-
buahan disediakan oleh TNGGP, sebanyak 21.100 bibit, karena kualitas bibit yang
kurang baik dan kurangnya pemeliharaan maka tingkat keberhasilan rendah, sekitar
43% (Tumanggor, 2008).
d. Model Gerhan
Gerakan Rehabilitasi Lahan yang dilaksanakan di kawasan TNGGP berlokasi di
lahan-lahan kritis berupa semak belukar yang telah ditinggalkan oleh perambah
hutan ataupun di kawasan yang memerlukan perkayaan jenis (Gambar 5.5). Jenis
pohon yang ditanam terbatas pada tanaman asli, dikerjakan oleh masyarakat terutama
anggota pam swakarsa didampingi petugas TNGGP melakukan penanaman dan
pemeliharaan selama satu tahun, karena keterbatasan waktu pemeliharaan maka
tingkat keberhasilannya sangat bervariasi sekitar 40 -80% (Tabel 5.3).

Gambar 5.5 Pohon rasamala (Altingia excelsa Noronha), tanaman Model Gerakan
Rehabilitasi Lahan di Resort Cimungkat, Sukabumi

e. Model Pengelolaan Batas


Pengelolaan batas kawasan dengan tanaman bambu (Bambusa vulgaris) dan
aren (Arenga pinnata), tingkat keberhasilannya sangat rendah karena kurangnya
pemeliharaan, kekeringan dan kesesuaian lokasi yang kurang cocok.

Sintesis 2010-2014 | 81
2. Implementasi Restorasi
Kesesuaian model restorasi zona rehabilitasi TNGGP dilakukan dengan
mengevaluasi keberhasilannya melalui beberapa aspek penentu, tercantum dalam
Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Kesesuaian model restorasi zona rehabilitasi
Model Restorasi
Aspek Penentu Adopsi Pengelolaan
No. Adopsi Gerhan
pohon Gerhan batas
pohon partisipatif
internasional kawasan
1. Pembagian dan letak 1 2 1 3 2
zonasi
2. Aturan pendukung 1 2 2 3 1
3. Tipologi masyarakat 1 2 1 3 1
4. Persepsi masyarakat 3 3 2 1 1
5. Para pihak terkait
- Balai Taman 3 3 3 3 3
Nasional
- Perhutani 1 2 3 2 2
- Masyarakat 3 3 3 2 1
- LSM 3 3 2 1 1
- Kelembagaan desa 1 1 3 1 1
- Universitas 1 1 3 1 1
- Dinas Kehutanan 1 1 3 1 1
6. Partisipasi dan 3 3 2 1 1
pemberdayaan
masyarakat
7. Keberhasilan 3 3 1 2 1
pertumbuhan tanaman
8. Pendampingan 3 3 1 1 1
masyarakat
Nilai total 31 32 30 25 18
Keterangan : 3 = tinggi , 2 = sedang dan 1 = rendah

Model adopsi pohon internasional sistem Miyawaki maupun adopsi pohon


yang mendapat dukungan dari masyarakat secara perorangan maupun lembaga,
Lembaga Swadaya Masyarakat maupun Konsorsium Gedepahala diharapkan mampu
menjadi salah satu model solusi konflik lahan hutan melalui peningkatan
kesejahteraan masyarakat (Tabel 7). Partisipasi dan pemberdayaan petani dan buruh
tani yang memiliki garapan lahan dilakukan dengan diversifikasi pekerjaan sebagai
peternak. Masyarakat yang telah meninggalkan lahan garapan di Resort Sarongge,
Kabupaten Cianjur, beralih menjadi peternak kelinci, mampu meningkatkan

Sintesis 2010-2014 | 82
penghasilannya dari Rp. 400.000,-/bulan menjadi RP. 1.000.000,-/bulan (Soemarto,
2013).
Di Resort Tapos dan Bodogol, Kabupaten Bogor, masyarakat yang tergabung
dalam kelompok tani hutan diberi bantuan berupa ternak domba dan kambing
(Tangguh, 2012; komunikasi pribadi). Di Resort Cimungkat, masyarakat yang
tergabung dalam kelompok tani hutan yang mengikuti adopsi pohon diberi pelatihan
tentang pertanian organik, peternakan dan outbond oleh OISCA (Hidayat, 2012;
komunikasi pribadi). Sedangkan Model rehabilitasi lainnya seperti Gerhan
Partisipasif dalam bentuk PKBM dengan rencana kegiatan di luar kawasan berupa
budidaya jamur, tanaman hias, pembuatan kompos dan pupuk organik serta
pemanenan dari pohon buah-buahan tidak dapat berjalan dengan baik karena
masyarakat masih sangat intensif mengolah lahan garapannya berupa tanaman
sayur-sayuran (Mulyani, 2007).

Gambar 5.6. Lokasi rencana rehabilitasi di TNGHS

Kegiatan restorasi di TNGHS ditunjang oleh program adopsi pohon yang telah
dilakukan bersama dengan 14 adopter dan masyarakat ( Tabel 5.5).
Tabel 5.5. Kegiatan restorasi di TN Gn Halimun Salak

Jumlah bibit
No. Adopter Luas (ha)
(batang)
1. Mitra TNGHS 9.690 10
2. PT KMI 10.000 10
3. PT Satria Dharma Pusaka Crawford 1.000 10
4. Yamaha Jelajah Alam 2.300 3
5. PT Grace Special Chemicals Indonesia 200 0,5
6. Yamaha Green United 1000 2
7. Kagoshima University 5000 10
8. Universitas Pakuan 190 0,5
9. PILI Network 100 0,25
10. PT AIA 2.000 4

Sintesis 2010-2014 | 83
Jumlah bibit
No. Adopter Luas (ha)
(batang)
11. Gunma Safari Park 1.230 3
12. PT Cevron 10
13. PT Amerta Indah Otsuka (Pocari) 5000 40
14. Kuskus Outdoor Advanture and Nature Club 150 0,5
37.860 93,75

Program adopsi pohon didampingi dengan penanaman pohon prestasi yang


ditanam oleh masyarakat bersamaan dengan pohon wajib dari adopter dengan
perbandingan 1:4 sejumlah 151.440 batang dengan jarak tanam rata-rata sekitar 4 x 5
m maka luasan yang telah direhabilitasi oleh masyarakat 302,88 ha.
Disamping itu, beberapa mitra TNGHS melakukan penanaman, beberapa
diantaranya adalah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah 1000 batang,
Wanadri 1000 batang, ANC 150 pohon dan Universitas Pakuan 1000 pohon.
Penanaman per pohon seharga Rp 12.000,- termasuk harga bibit yang berasal dari
cabutan, ajir, pupuk dan pembuatan lubang (Tabel 5.6).
Tabel 5.6. Model rehabilitasi di Taman Nasional Gn. Halimun Salak
Jarak Pertum-
Model Luas Jenis Biaya waktu Pemberdayaan
No tanam buhan
Rehabilitasi (ha) pohon (Rp/ha) (tahun) masyarakat
(m) (%)
1. Adopsi 93,75 7 5x5 100 30.000 .000 – 5 - Penanaman
pohon atau 30.750.000 - Pemeliharaan
5x4 - Pembersihan
gulma
- Penyulaman
- Pengukuran
pohon
2. Pohon - 10 5x5 43 2.500.000 3 - Pembibitan
prestasi - Penanaman
- Pemeliharaan
- Pembersihan
gulma
- Penyulaman
3. Gerhan 4.213 3 tidak 40-80 2.500.000 1 - Pembibitan
teratur/ - Penanaman
4x5 - Penyulaman
- Pemeliharaan
4. Restorasi 1,5 2 tidak 40 2.500.000 1 - Penanaman
mandiri teratur - Pemeliharaan
- Penyulaman

Sintesis 2010-2014 | 84
Kegiatan rehabilitasi di taman nasional mengacu pada Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia, No:P.14/Menhut-II/2012 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012 untuk mendukung
peningkatan fungsi dan daya dukung DAS berbasis pemberdayaan masyarakat
melalui pembuatan persemaian permanen, penanaman bibit hasil Kebun Bibit rakyat
dan Kegiatan Bantuan Langsung masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLM-
PPMPBK). Sejalan dengan Permenhut diatas maka keberhasilan restorasi di taman
nasional didukung oleh tersedianya pembibitan yang baik, hal ini menuntut
kesadaran pihak pengelola dan masyarakat untuk menyediakan bibit yang baik, jenis
lokal, sebagai sumber air dan pakan satwaliar, tetapi kondisi ini belum sepenuhnya
terwujud.
Pengelolaan zona rehabilitasi dilakukan secara kolaborasi dengan tokoh
masyarakat sekitar kawasan, pemegang konsesi tambang seperti Restorasi bekas
kebakaran yang dilakukan oleh TN Kutai dan WWF tahun 2002-2003, PT PAMA
dan PT KPC, PT Indomico dan Universitas dimulai dengan penanaman pohon seluas
3 ha di sekitar Mentoko (Gambar 5.7). Disamping itu, restorasi untuk perkayaan
juga dilakukan pada saat kegiatan workshop atau penelitian

Gambar 5.7. Rehabilitasi yang dilakukan oleh TN Kutai dan stakeholders

.
Gambar 5.8. Perkayaan pohon yang dilakukan oleh peneliti dan pengunjung

Sintesis 2010-2014 | 85
Selanjutnya, pelaksanaan restorasi oleh Dishut Kukar pada tahun 2009 (1200
ha), BP DAS tahun 2010 (1800 ha), BP DAS tahun 2011 (1200 ha), BP DAS tahun
2012 (600 ha) dan 2013 (600 ha) oleh perusahaan tambang (Gambar 5.9).
Jenis tanaman lokal yang ditanam adalah ulin, kapur dan meranti serta tanaman
pakan untuk orang utan seperti sengkuang dan tabu hitam. Kkeberhasilan
pertumbuhan tanaman sangat rendah sampai sedang karena kurangnya pemeliharaan
dan monitoring serta evaluasi, bahkan di kawasan konflik seperti zona khusus
penanaman yang dilakukan oleh TNI memiliki keberhasilan sangat rendah.

Gambar 5.9. Rehabilitasi dengan dana DIPA, tahun 2012


Pada tahun 2013, melalui SK Menteri Kehutanan direncanakan penanaman di
zona rehabilitasi dilakukan oleh pemilik konsesi pertambangan di sekitar TN Kutai
seperti PT Indomico Mandiri, PT Santan Batubara, PT Mahakam Sumber Jaya, PT
Ketadim, dan PT Tambang Damai (Gambar 5.10).

Sintesis 2010-2014 | 86
Gambar 5.10. Pembagian wilayah rehabilitasi oleh Perusahaan di sekitar TN Kutai
Kegiatan rehabilitasi oleh konsesi pertambangan di sekitar TN Kutai dengan
ketentuan prosedur sebagai berikut: pemetaan lokasi, survey lokasi, penanaman,
monitoring keberhasilan dan serah terima kegiatan dalam jangka waktu 3 tahun.
Tanaman perkayaan meliputi jenis tanaman Dipterocarpaceae sebanyak 80%, dan
tanaman MPTS atau buah-buahan 20% dengan jarak tanam 4 x 5 m atau 500 pohon –
700 pohon per hektar pada lokasi yang tidak berbatu, bukan rawa atau sungai serta
menghindari kawasan yang telah bervegetasi.
PT Santan yang telah melaksanakan rehabilitasi 600 ha pada tahun 2013, selama
2 bulan dengan biaya penanaman Rp. 800.000,- -Rp. 1.200.000,- /hektar melibatkan
masyarakat 40 orang /desa. Jenis tanaman perkayuan dan buah-buahan yang ditanam
diantaranya ulin, meranti, kapur, medang, sengkuang, bayur, temu hitam, durian dan
salam, 30 – 60 cm, dengan keberhasilan sekitar 80%. Sedangkan PT Indominco
Mandiri juga telah melaksanakan rehabilitasi dengan jenis tanaman 80 % meranti, 1
% ulin serta 19 % tanaman lokal, keberhasilan tanaman hanya sekitar 30%,
rendahnya tingkat keberhasilan penanaman karena perusahaan ini tidak mengikuti
prosedur rehabilitasi yang telah dicanangkan oleh TN Kutai (Gambar 5.11).

Gambar 5.11. Perkayaan tanaman di TN Kutai oleh PT Indominco Mandiri

Sintesis 2010-2014 | 87
Strategi manajemen taman nasional dalam konteks penelitian RPI 13 meliputi
aspek restorasi ekosistem, pengelolan daerah peyangga dan pengelolaan kolaboratif.
Restorasi ekosistem di taman nasional dikembangkan untuk tujuan perbaikan tata air
(DAS) Fungsi habitat dan fungsi ekonomi sesuai dengan parameter zonasi. Faktor
kesesuaian lahan, jenis asli, tofografi, ketinggian tempat, tingkat kerusakan habitat,
serta fungsi habitat dan tata air mempengaruhi terhadap teknik sivikultur restorasi.
Di Taman Nasional Gn Ceremai (TNGC), kegiatan restorasi dilaksanakan
dengan tiga pola, yaitu rehabilitasi kawasan bersama masyarakat, rehabilitasi
bersama mitra pohon dan restorasi kawasan dukungan JICA (Kurung dan Ginanjar,
2011). Rehabilitasi Hutan dan Lahan di kawasan TNGC dilakukan sejak tahun 2009
(300 ha), tahun 2010 (1.800 ha) dan tahun 2011 (1.300 ha). Pelaksanaan RHL
diprioritaskan pada lahan kritis bekas garapan dan kebakaran dengan pola
pengkayaan tanaman, jarak tanam 5 x 5 m, jenis pohon local dan jenis MPTS.
Program rehabilitasi bersama mitra pohon dilakukan secara swadaya oleh swasta
seperti Bank rakyat Indonesia, Perbanas Cirebon, BPK Penabur Cirebon, MTs
Husnul Khotimah dan PT Yamaha Musik Indonesia serta masyarakat peduli
kelestarian, telah ditanam sebanyak 25.000 bibit. Restorasi dengan dukungan dari
JICA dilakukan di bekas garapan sayuran, lahan bekas kebakaran dan kawasan yang
berdekatan dengan hutan alam.
4. Penelitian Penunjang Restorasi
Bantimurung dikenal sebagai kawasan dengan jumlah populasi dan spesies kupu-
kupu endemik yang tinggi. Namun demikian, jumlah kupu -kupu kian lama kian
menurun, beberapa diantaranya bahkan berada di ambang kepunahan. Kecenderungan
penurunan populasi jenis kupu - kupu tersebut disebabkan oleh degradasi habitat kupu -
kupu akibat tekanan penduduk, perambahan kawasan dan aktivitas wisata di Ex. TWA.
Bantimurung serta karena adanya kegiatan penangkapan kupu-kupu secara liar (Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan, 2005). Guna menjaga keberadaan
populasi jenis tumbuhan dan satwa kupu-kupu dalam keadaan seimbang dengan daya
dukung habitatnya maka Badan Penelitian Kehutanan Makassar melaksanakan kegiatan
pembinaan habitat kupu-kupu. Kegiatan pembinaan habitat kupu-kupu dilakukan secara
bertahap terdiri dari studi fenologi, teknik perbanyakan dan pembangunan demplot
pertanaman tanaman pakan kupu-kupu (Suryanto et al., 2011).
Fenologi tumbuhan pakan ulat dan kupu-kupu umumnya dalam fase
vegetative. Fase generatif terjadi pada mali - mali ( Leea indica Merr) mulai
berbunga bulan Oktober-Desember dan berkembang menjadi buah pada
Februari - April, Micromelum minutum berbunga dan berbuah antara bulan
Juni hingga November. Dracontomelon dao berbunga dan buah pada bulan
Juni hingga Desember. Buah muda bangkala (Nauclea orientalis) muncul pada
bulan Maret dan masak pada bulan April. Cinnamomum celebicum Koorders.
pada bulan Juli - Oktober terdapat satu pohon mengalami masa pembungaan

Sintesis 2010-2014 | 88
dan pembuahan. Passiflora sp pada bulan agustus tampak berbuah yang sudah
masak berwarna merah tua. Kelimpahan anakan alam mali - mali (Leea indica)
kurang dengan nilai kerapatan semai 1.5 dan frekuensi 0,666 dan pancang
sebesar 0.186 dan nilai frekuensi jenis 1 sedangkan kelimpahan permudaan
alam Micromellum minutum cukup tinggi dengan nilai sebesar 8.625 per m2 dan
frekuensi 1 sedangkan pancang 0.32 per m2 dengan frekuensi jenis 1.
Persentase tumbuh anakan alam di lapangan 90 %. Kerusakan disebabkan oleh
serangan babi.
Perubahan hidroperiodik tidak berpengaruh terhadap aktivitas vegetatif dan
generatif tumbuhan pakan. Beberapa tumbuhan belum berbunga dan berbuah selama
periode pengamatan, perbanyakan vegetatif perlu menjadi perhatian. Media tabur
terbaik Dracontomelon dao adalah media pasir dan arang sekam padi. Micromellum
minutum dapat ditabur media apapun. Media sapih dan naungan terbaik Micromelum
minutum adalah Campuran tanah, pupuk kandang dan sekam padi komposisi 1:1:1
dengan Intensitas naungan 50%. Draconto melondao dapat tumbuh baik disemua
media sapih dengan naungan 50%.
Perlakuan takaran pupuk kandang berpengaruh terhadap tinggi dan diameter
semua jenis tanaman pakan kupu-kupu. tanaman jenis dao adalah 900 gr per lubang
tanam dengan tinggi 69.7 cm dan diamter 10.57 mm, tanaman jenis mali - mali
adalah 600 gr per lubang tanam dengan tinggi 83.82 cm. dan diameter 7.98 mm
dengan jumlah cabang rata - rata 2.72. tanaman Micromelum minutum adalah pada
takaran control dengan tinggi rata-rata 62.76 cm, diameter rata-rata 5.98 mm dan
jumlah daun rata - rata 620.86. Draconto melondao tumbuh dengan baik pada araea
terbuka, mali - mali tumbuh baik dan dapat tumbuh diarea naungan dan berbunga
pada september berbuah pada maret, Micromelum minutum tumbuh baik dan tampak
mulai berbunga. Pengamatan jumlah daun menunjukkan bahwa jumlah daun
mengalami peningkatan pada akhir musim hujan. Belum tampak peran dao untuk
populasi kupu-kupu karena umur tanaman muda sehingga belum berbunga dan
memberi pengaruh terhadap populasi kupu sedangkan pada beberapa jenis tanaman
lain tampak ditemukan beberapa jenis serangga yaitu kupu kupu dewasa diatas bunga
mali-malai dan ulat ditemukan pada tanaman Micromelum minutum. Keberadaan ulat
dan kupu kupu dia rea demplot merupakan hal posistif bagi perkembangan upaya
pembinaan habitat kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Di TN Gn Ceremai, model penataan ruang restorasi dilakukan dengan
mempertimbangkan tujuan restorasi dalam rangka pemulihan fungsi lindung hidrologi
(58,25%), pemulihan habitat satwa (10,75%) dan penyangga perekonomian masyarakat di
sekitar yang tergantung pada hutan (31,01%) (Gunawan, 2011).Jenis tanaman asli
setempat yang disarankan untuk restorasi kawasan pada ketinggian kurang 500 m dpl
diantaranya adalah benda (Artocarpus elasticus Reinw), hantap (Sterculia javanica R.Br.),
caringin (Ficus benyamina L. ), Dahu (Dracontomelon mangiferum L), lame (Alstonia
scholaris R.Br.), kiara (Curzii King); ketinggian 500m – 1000 m dpl adalah caringin ,

Sintesis 2010-2014 | 89
leungsir (Pometia tomentosa T&B, dangdeur (Gossampinus heptaphylla), simpur
(Dillenia aurea SMITH), huru (Litsea sp.); ketinggian lebih dari 1000 m dpl adalah
saninten (Castanopsis argentea A.DC), pasang balung (Quercus semiserrata Roxb),
kawoyang (Pygeum latifolium Miq), songgom (Barringtonia gigantostachys K.et V.) dan
kalimorot (Castanopsis javanica (Bl.) A.DC.). Disamping itu jenis-jenis MPTS yang
ditujukan untuk mendukung perekonomian masyarakat diantaranya alpuket (Persea
americana ), Aren (Arenga pinnata), bambu (Bambusa sp.), cananga (Cananga odorata),
dan salam (Eugenia polyantha).

Sintesis 2010-2014 | 90
VI. PENGELOLAAN KOLABORATIF

Konflik kepentingan antara masyarakat dan kawasan konservasi khususnya


taman nasional menjadi tak terhindarkan di banyak tempat. Kedua belah pihak
merasa memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan kepentingannya di
kawasan tersebut. Pendekatan penegakan hukum untuk melindungi kawasan
konservasi dari masyarakat yang hidup di sekitarnya sulit mencapai keberhasilan.
Sebaliknya, membiarkan masyarakat untuk terus memanen hasil alam secara tidak
terkendali dari kawasan taman nasional akan secara langsung berkibat buruk bagi
kelestarian kawasan dan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Rendahnya tingkat kesejahteraan dan tingginya tingkat ketergantungan
masyarakat terhadap kawasan taman nasional menjadi salah satu penyebab timbulnya
konflik antara masyarakat dengan pengelola taman nasional. Tingkat kesejahteraan
yang rendah serta tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan
tersebut akan memaksa masyarakat untuk mengokupasi kawasan, yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi keberhasilan pengelolaan. Upaya peningkatan
kesejahteraan dan penurunan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan
mejadi permasalahan umum yang perlu diselesaikan oleh pengelola taman nasional
diantaranya, dengan melibatkan stakeholders terkait sehingga tujuan pengelolaan
taman nasional dapat terwujud.
Penyebab lain konflik antara masyarakat dengan pengelola seperti di TN Babul
adalah terkait dengan tata batas kawasan yang pada akhirnya berimbas kepada
konflik pemanfaatan sumberdaya hutan yang terdapat dalam kawasan. Konflik tata
batas terjadi karena rendahnya keterlibatan masyarakat serta kurangnya informasi
yang diterima oleh masyarakat mengenai tujuan dan dampak yang ditimbulkannya
dari proses tata batas kawasan hutan sebelum penunjukan TN Babul maupun pada
proses rekonstruksi tata batas kawasan TN Babul. Dampak yang ditimbulkan dari
konflik tata batas ini pada kedua belah pihak (masyarakat dan pengelola TN Babul)
adalah tidak dapat melaksanakan kegiatan dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan
oleh pengelola TN Babul dalam mengatasi permasalahan konflik ini adalah dengan
jalan membuka ruang akses pemanfaatan sumberdaya hutan bagi masyarakat
setempat melalui kolaborasi/kemitraan sehingga kedua belah pihak mendapatkan
legitimasi dalam melaksanakan aktivitasnya.
Berdasarkan persoalan dan konflik tersebut diatas, maka diperlukan suatu model
pengelolaan taman nasional yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan para
pihak yang terkait khususnya kepentingan masyarakat sekitar. Salah satu model
pengelolaan yang dapat dilakukan adalah model pengelolaan kolaboratif. Untuk itu
diperlukan suatu kajian yang mendalam mengenai model pengelolaan kolaboratif
sehingga masyarakat sekitar tetap dapat memperoleh manfaat dari taman nasional
tanpa mengganggu eksistesi dari taman nasional itu sendiri.

Sintesis 2010-2014 | 91
Implementasi kebijakan Permenhut No. P 19/2004 tentang Pengelolaan
kolaboratif KSA dan KPA menurut Kementerian Kehutanan menekankan adanya
proses kerjasama oleh para pihak yang saling bersepakat, lebih lanjut, pada pasal 7
point (2) ditekankan bahwa kewenangan penyelenggaraan pengelolaan KSA dan
KPA tetap pada Menteri Kehutanan. Sedangkan pengelolaan kolaboratif menekankan
adanya pembagian kewenangan dalam penangambilan keputusan. Selanjutnya,
penerapan pola-pola kolaborasi, TN Sebangau termasuk dalam katagori konsultasi
(Yuwati, 2011), dimana setiap program kerja yang melibatkan masyarakat, dilakukan
konsultasi dan sosialisasi untuk mendapatkan input dari masyarakat, tetapi
kewenangan dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan dan evaluasi program tetap
berada di pihak pengelola yaitu Balai TN Sebangau. Kondisi yang demikian ini
menunjukan adanya pola-pola pengelolaan kolaborasi yang terjadi di beberapa taman
nasional di Indonesia.
A. Dasar Kebijakan
Kebijakan adalah seluruh tindakan yang disetujui memberikan konsekuensi
penting terhadap banyak orang dan sumberdaya alam dan dilakukan oleh
pemerintah, institusi, kelompok maupun individu (Hummel, 1984; Ellefson, 1992).
Tindakan yang diambil oleh pemerintah sebagai sebuah strategi untuk mewujudkan
tujuan Negara disebut sebagai kebijakan publik (Nugroho, 2009). Salah satu bagian
atau proses kebijakan publik antara lain kebijakan pengelolaan sumberdaya alam
yang dilakukan melalui pendekatan teknis maupun kebijakan terpadu, interdisiplin,
serta berbasiskan kemampuan sumberdaya lokal dengan melibatkan semua para
pemangku kepentingan (stakeholder) (Ramdan et. al, 2003).
Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam kawasan
konservasi yang berbasis ekosistem berbentuk taman nasional, beberapa kebijakan
yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, diantaranya adalah:
1. Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
2. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
3. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang antara lain
menyatakan sub bidang kehutanan merupakan urusan pilihan yang dapat dikelola
daerah
4. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang anatara laian
mencantumkan kewajiban perusahaan menunaikan tanggung jawab social dan
lingkungan (CSR) sebesar maksimal 2% dari laba perusahaan.
5. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
6. Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 Tahun 2004 tentang Pengelolaan
kolaboratif KSA dan KPA
7. Peraturan Menteri Kehutanan No. 56 Tahun 2006 tentang Zonasi Taman Nasional

Sintesis 2010-2014 | 92
8. Peraturan Menteri Kehutanan No. 64 Tahun 2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan
9. Peraturan Menteri Kehutanan No. 85 tahun 2014 tentang Kerjasama
Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian alam

B. Pemangku Kepentingan (Stakeholder)


Para pemangku kepentingan (Stakeholders) memiliki kepentingan dan pengaruh
yang beragam untuk mewujudkan optimalisasi pengelolaan taman nasional,
disamping mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar kawasan. Peran
stakeholders dalam mengakomodir kepentingan masyarakat berupa fungsi control,
bantuan fisik, bantuan teknis dan dukungan penelitian. Pemangku kepentingan sering
diidentifikasi dari segi kekuatan dan kepentingan relative terhadap isu, atau dari segi
pengaruh yang mereka miliki (Ramirez, 1999).
Stakeholders dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) stakeholder primer
atau utama yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu
kebijakan, program atau proyek; (2) pemangku kepentingan pendukung (sekunder)
yang tidak memiliki kaitan kepentingan langsung, tetapi memiliki kepedulian
sehingga turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan
pemerintah; dan (3) pemangku kepentingan kunci, yang memiliki kewenangan secara
legal dalam hal pengambilan keputusan (Kanji et al., 2001; Mardle et al., 2003;
Suedi, 2011). Kepentingan (importance) merujuk pada peran dalam pencapaiaan
luaran dan tujuan, serta menjadi focus pertimbangan terhadap keputusan. Pengaruh
(influence) merujuk pada kekuatan yang dimiliki untuk mengontrol proses kebijakan
(Tabel 6.1) adalah contoh yang terjadi di TN Babul.
Tabel 6.1. Matriks Analisis Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam
Pengelolaan TN Babul
Pengaruh Prioritas
Stakeholder Kepentingan terhadap TN berdasarkan
Babul kepentingan
Balai TN Kelestarian kawasan TN +++ 1
Babul Babul
Masyarakat Pemanfaatan SDAH untuk +++ / --- 1
sekitar memenuhi kebutuhan hidup
PDAM Maros Peningkatan volume + 4
penjualan air dan pendapatan
Disparbud Peningkatan jumlah ++ 2
Maros pengunjung dan pendapatan
Lembaga Keberlangsungan pasokan air ++ 2
Pengelola Air kerumah penduduk dan
Desa pendapatan
Dishutbun Keberhasilan pengelolaan ++ 2
Maros hutan di Kabupaten Maros

Sintesis 2010-2014 | 93
Pengaruh Prioritas
Stakeholder Kepentingan terhadap TN berdasarkan
Babul kepentingan
Dinas Peningkatan hasil pertanian ++ / - 3
Pertanian masyarakat
Maros
Pemerintah Peningkatan kesejahteraan ++ 2
desa dan masyarakat sekitar TN Babul
Kecamatan
BP2KP Maros Peningkatan kapasitas petani ++ 3
BPN Maros Pencegahan sertifikasi ++ 4
kawasan hutan
PNPM Pengembangan Hutan Rakyat + 5
Mandiri
LSM Peningkatan kapasitas ++ / - 2
masyarakat (advokasi)
Perguruan Kelestarian kawasan TN ++ 1
tinggi dan Babul dan kesejahteraan
lembaga masyarakat
penelitian
Keterangan : +++ / --- = tinggi, ++ / -- = sedang, + / - = rendah

Pemetaan stakeholder dilakukan melalui skoring kepentingan (interest) dan


pengaruhnya (power) dalam pengelolaan TN Babul guna membantu pengelola
bagaimana melibatkan stakeholder tersebut untuk mencapai tujuan (Reed et al.,
2009), (Gambar 6.1.)

25.00
Keterangan :
A B 1 1. Balai TN Babul
2. Masyarakat sekitar TN Babul
20.00 13 2
3. PDAM Maros
4 8 4. Disparbud Maros
12 5. Lembaga Pengelola Air Desa
15.00
5 6
3 6. Dishutbun Maros
Interest

7 7. Dinas Pertanian Maros


9
11 8. Pemerintah Desa dan Kecamatan
10.00
9. BP2KP Maros
10 10. BPN Maros
11. PNPM Mandiri
5.00
12. LSM
C D
13. Perguruan Tinggi dan lembaga
penelitian
0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Power
Gambar 6.1. Pemetaan Stakeholder Berdasarkan Kepentingan (interest) dan
Pengaruhnya (power) dalam pengelolaan TN Babul

Sintesis 2010-2014 | 94
Stakeholder dengan tingkat kepentingan tinggi tetapi memiliki pengaruh yang
rendah diklasifikasikan sebagi Subjects (Kotak A). Stakeholder ini memiliki
kapasitas yang rendah dalam pencapaian tujuan, akan tetapi dapat menjadi
berpengaruh dengan membentuk aliansi dengan stakeholder lainnya (Reed et al,
2009). Disamping itu, stakeholder ini sangat bisa membantu dan berkontribusi sesuai
dengan kepentingan/manfaat yang diperoleh sehingga hubungan yang baik harus
tetap dibina (Thompson, 2011).
Berdasarkan defenisi yang dikemukakan oleh Townsley (1998) tersebut, maka
yang termasuk stakeholder primer dalam contoh pengelolaan TN Babul adalah :
1. Balai TN Babul. Sebagai pengelola kawasan berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.03/Menhut-II/2007 sehingga sangat berkepentingan
terhadap kelestarian kawasan TN Babul.
2. Masyarakat Sekitar TN Babul. Masyarakat sekitar berkepentingan dalam
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam yang terdapat dalam TN Babul
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
3. PDAM Maros. PDAM Maros berkepentingan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan air yang bersumber dari kawasan Taman Nasional dalam memenuhi
kebutuhan air bersih masyarakat Maros.
4. Disparbud Maros. Instansi ini berkepentingan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan jasa wisata yang terdapat dalam kawasan TN Babul.
5. Lembaga Pengelola Air Desa. Mendapatkan manfaat dari pemanfaatan air yang
bersumber dari kawasan TN Babul yang digunakan oleh masyarakat sekitar
untuk kebutuhan sehari-hari.
Stakeholder dengan tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi
diklasifikasikan sebagai Key Players (Kotak B), sehingga kelompok ini harus
dilibatkan secara penuh termasuk dalam mengevaluasi strategi baru (Reed et al.,
2009; Thompson, 2011). Stakeholder yang termasuk dalam kelompok ini dapat
dikatakan sebagai stakeholder sekunder dalam pengelolaan TN Babul adalah :
1. Dishutbun Maros. Stakeholder ini berkepentingan terhadap keberhasilan
pengelolaan hutan secara umum di Kabupaten Maros.
2. Dinas Pertanian Maros. Stakeholder ini berkepentingan dalam meningkatkan
kesejahteraan petani melalui peningkatan produksi hasil pertanian dan
berpengaruh terhadap kelestarian kawasan TN Babul.
3. Pemerintah desa dan kecamatan. Stakeholder ini berkepentingan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar TN Babul.
4. LSM lokal. Stakeholder ini tidak terlibat langsung dalam pengelolaan TN Babul,
tetapi dapat berperan dalam meningkatkan kapasitas masyarakat melalui kegiatan
pendampingan dan penguatan kelembagaan masyarakat.
5. Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian. Stakeholder ini tidak terlibat langsung
dalam pengelolaan TN Babul, tetapi dapat berperan dalam memberikan

Sintesis 2010-2014 | 95
dukungan penelitian yang aplikatif kepada masyarakat serta membantu
mendorong pengelolaan TN Babul yang efektif.
Stakeholder dengan tingkat kepentingan dan pengaruh yang rendah
diklasifikasikan sebagai Crowd (Kotak C), dimana pelibatan kelompok ini berubah
seiring berjalannya waktu, tetapi komunikasi yang baik tetap harus dijalin.
Stakeholder yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah BPN Maros yangi tidak
terlibat langsung dalam pengelolaan TN Babul, tetapi dapat memberikan pengaruh
positif terhadap pengelolaan TN Babul melalui pencegahan terjadinya sertifikasi
lahan hutan menjadi hak milik dan PNPM Mandiri yang juga tidak terlibat langsung
dalam pengelolaan TN Babul, tetapi dapat memberikan pengaruh positif pengelolaan
TN Babul melalui pengembangan hutan rakyat (HR).
Stakeholder dengan tingkat kepentingan yang rendah tetapi memiliki pengaruh
yang tinggi diklasifikasikan sebagai Context setters (Kotak D), kelompok ini relative
bersifat pasif tetapi dapat berubah menjadi key player sehingga hubungan dengan
stakeholder ini harus dibina guna melestarikan kawasan. Stakeholder yang termasuk
dalam kelompok ini adalah BP2KO Maros BP2KP Maros yang berkepentingan
dalam meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan kapasitas petani dan
hasil pertanian serta keberadaannya memiliki pengaruh terhadap kelestarian kawasan
TN Babul.
Mengingat kualitas sumberdaya manusia di sekitar kawasan taman nasional
umumnya rendah dilihat dari tingkat pendidikannya, maka bentuk kolaborasi yang
dilakukan di TN Babul adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia atau
peningkatan kemampuan (capacity building) melalui kegiatan penyuluhan dan
pelatihan, yang melibatkan stakeholder yang berkaitan seperti Badan Pelaksana
Penyuluhan dan Tanaman Pangan, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan
Perkebunan serta Lembaga Swadaya Masyarakat (Kadir, 2013) .
Pengelolaan jasa lingkungan air melibatkan Perusahaan Air Minum Daerah
(PDAM), Lembaga Pengelola air di masyarakat dan Dinas Pariwisata hendaknya
berperan aktif dalam kelestarian kawasan dalam sistem bagi hasil, yang dituangkan
dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Kerjasama pengelolaan pariwisata antara
TN Babul dan Pemda Maros, menghasilkan kesepakatan dalam bentuk bagi hasil
25%: 75%.
Keberhasilan implementasi kolaborasi di beberapa taman nasional juga diikuti
kegagalan pelaksaannnya di beberapa kawasan seperti TN Kutai dan TN Danau
Sentarum. Kegagalan kolaborasi di TN Danau Sentarum diakibatkan tidak adanya
kepercayaan antar pemangku kepentingan dan kompetisi dalam menentukan arah
kebijakan taman nasional dan kegiatan masyarakat (Anshari, 2006). Sedangkan di
TN Kutai, kegagalan kolaborasi karena perebutan kendali pengelolaan antara
pemangku kawasan yang mewakili pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
lemahnya penegakan hukum, perambahan dan penambangan illegal.

Sintesis 2010-2014 | 96
Terbentuknya wadah Mitra Kutai sebagai aliansi tujuh perusahaan seperti PT
Kalimantan Prima Coal, PT Indominco, PT Surya Hutani Jaya, PT Porodisa, PT
Kiani Lestari, PT Pupuk Kaltim dan Pertamina untuk mengatasi permasalahan di TN
Kutai belum berhasil karena masing-masing membawa misi dan kepentingan yang
berbeda, sehingga kegiatan yang dilaksanakan selama ini belum efektif. Menurut
Falah (2012), untuk penyempurnaan kelembagaan Mitra Kutai diperlukan:
penambahan unsur keanggotaan dari LSM, Pemda dan masyarakat; kejelasan aturan
main mulai dari tahapan perencanaan sampai dengan evaluasi dan monitoring;
program kegiatan yang lebih terarah, tepat sasaran dan berkesinambungan untuk
mengatasi permasalahan di TNK; secretariat/badan pelaksana yang independen dan
professional; pelaporan keuangan secara berkala dan transparan berdasarkan sumber
dananya serta dilakukan oleh auditor independen. Untuk itu, diperlukan penyamaan
persepsi bagi para pemangku kepentingan yang dapat dikelompokkan dalam
kepentingan ekologi dan ekonomi. Berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya para
pemangku kepentingan dikelompokkan dalam sebuah matrik (Gambar 6.2).

Tinggi Kelompok A Kelompok B


K
Masyarakat lokal Kementerian Kehutanan
E Perusahaan anggota Mitra Kutai Pemkab Kutai Timur
P Lembaga Swadaya Masyarakat lokal Tokoh masyarakat
dan internasional
E

T
Kelompok C Kelompok D
I
Rendah
N Akademisi/Lembaga penelitian Kementerian ESDM
Pers /media Pemprop Kaltim
G
Pemkab Kutai Kartanegara
A Pemkot Bontang

N
Rendah PENGARUH
Tinggi

Gambar 6.2. Matrik pengelompokan pemangku kepentingan berdasarkan minat dan


pengaruh

Kotak A menunjukkan kelompok pemangku kepentingan yang memiliki


kepentingan yang tinggi terhadap TNK tetapi rendah pengaruhnya terhadap
pengambilan kebijakan, mencakup anggota lembaga/persona yang bertanggung

Sintesis 2010-2014 | 97
jawab terhadap pelaksanaan kegiatan tetapi bukan pengambil kebijakan. Kotak B
menunjukkan kelompok pemangku kepentingan yang memiliki derajat pengaruh dan
kepentingan tinggi untuk mensukseskan kegiatan seperti tokoh masyarakat, kepala
instansi terkait dan kepala pemerintahan. Kotak C menunjukkan kelompok
pemangku kepentingan yang rendah pengaruh dan kepentingannya. Interest mereka
diperlukan untuk memastikan : a). interesnya tidak berpengaruh sebaliknya, dan b).
kepentingan dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan. Kotak D merupakan
pemangku kepentingan yang rendah kepentingan yang rendah kepentingan tetapi
berpengaruh dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan. Selanjutnya persepsi para
pemangku kepentingan berhubungan dengan pengelolaan TN Kutai, dijabarkan
dalam Tabel 6.2.

Tabel 6.2. Persepsi para pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNK (Falah,
2012)

No. Aspek Keterangan Implikasi


1. Fungsi kawasan TNK
a.Fungsi pelestarian -71 orang (78,02%) memberi Sebagian besar pihak
ekosistem nilai 2 (kurang) terkait belum mengetahui
-20 orang (21,98%) memberi informasi mengenai
nilai 4 (baik) potensi dan kondisi
-Hasil citra landsat TNK terkini TNK perlu
tahun 2009 menunjukkan luas sosialisasi lebih lanjut
lahan berhutan 76,5% dari untuk mendukung
luas TNK kampanye arti penting
-Hasil penelitian kolaborasi TNK
Unmul – OCSP: populasi
orangutan diprediksi sekitar
2000 individu, yang berarti
kondisi habitat bagus,
terutama di zona inti
b.Fungsi pendidikan Rata-rata nilai 4 (baik), Perlu pendidikan
namun dianggap pendidikan lingkungan lebih lanjut
lebih terfokus pada pelajar, untuk masyarakat secara
kurang menyentuh berkelanjutan
masyarakat, dan hanya
insidentil tidak
berkesinambunagn
c.Fungsi penelitian Rata-rata nilai 5 (sangat Perlu publikasi hasil
baik), meski belum terlihat peneitian TNK kepada
kontribusi yang signifikan media/pers
untuk pengelolaan, karena Perlu pengumpulan hasil
belum menyentuh riset, penyusunan status
permasalahan atau belum riset dan inventarisasi

Sintesis 2010-2014 | 98
No. Aspek Keterangan Implikasi
dipublikasikan, serta hasil potensi biofisik terkini
riset masih tercerai berai
d.Jasa lingkungan Rata-rata nilai 4, disadari Perlu penelitian,
pentingnya TNK sebagai publikasi, dan kampanye
daerah tangkapan air dan mengenai manfaat
menjaga iklim setempat, ekologi, arti penting dan
terutama karena adanya ekonomi jasa lingkungan
ancaman kerusakan TNK
lingkungan akibat
penambangan
e.Pemanfaatan Rata-rata nilai 1 (kurang Perlu penelitian manfaat
ekonomi jasa sekali), karena belum ada ekonomi air, karbon dan
lingkungan pemanfaatan ekonomi air dan ekowisata TNK, dapat
karbon, ekowisata tidak dimanfaatkan sebagai
signifikan karena belum sumber dana pengelolaan
tergarap
2. Masalah dalam Tata ruang/zonasi kawasan Tata ruang menjadi
pengelolaan TNK (84,61%), pengamanan priorotas penanganan
kawasan (9,9%) dan masalah utama
kelembagaan dan koordinasi
antar pihak (5,45%)
3. Alternatif solusi Penyampaian informasi nilai- Penyamaan persepsi,
nilai penting, kondisi terkini penetapan dan
serta permasalahan taman pengukuhan zonasi,
nasional melalui media cetak pengelolaan kolaboratif
dan elektronik

Alternatif solusi yang dicanangkan para pemangku kepentingan dalam


penyamaan persepsi melalui komunikasi dan koordinasi diantaranya adalah isu
pelestarian air yang menjadi kepentingan bersama, serta pelestarian keanekaragaman
hayati khususnya orangutan.
Persepsi masyarakat terhadap hutan di TN Akatajawe Lolobata (Tabel 6.3)
adalah tempat perlindungan bagi satwa dan tumbuhan yang berfungsi sebagai
penghasil air, udara segar, mencegah erosi dan banjir yang bisa dimanfaatkan
hasilnya baik hasil hutan kayu maupun non kayu sehingga dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat. Persepsi responden dapat dikelompokkan menjadi lima
bagian, persepsi yang pertama (13,33%) memandang hutan secara sederhana tanpa
ada niat untuk memanfaatkan maupun mengeksploitasinya.
Kelompok yang kedua (15,56) berimplikasi pada perilaku masyarakat sehingga
berusaha untuk menjaga hutan agar fungsi-fungsi diatas tetap terjaga. Sebab jika
hutan tidak lagi bisa melaksanakan fungsinya maka masyarakat pula lah yang akan
merasakan akibatnya yaitu terjadinya bencana alam. Kelompok yang ketiga (48,89%)
dan keempat (14,44%) bersifat aktif dan agresif dimana hutan merupakan obyek

Sintesis 2010-2014 | 99
yang bisa dimanfaatkan dan dieksploitasi demi untuk meningkatkan pendapatan.
Penebangan liar, pengambilan hasil hutan non kayu yang tidak memedulikan azas
kelestarian, berburu dan perambahan lahan merupakan aktivitas yang sering
dilakukan. Mereka menganggap bahwa hutan adalah tempat mencari kehidupan yang
diwariskan nenek moyang.
Tabel 6.3. Persepsi masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya hutan

Rata-rata
No. Persepsi masyarakat terhadap hutan
(%)
Hutan merupakan tempat perlindungan kehidupan satwa dan
1. 13,33
tumbuhan
Hutan dapat menghasilkan udara yang sejuk, penghasil air,
2. 15,56
mencegah erosi, dan banjir
Hutan merupakan tempat mengambil hasil hutan seperti kayu baik
3. 48,89
untuk bangunan maupun kayu bakar, damar, rotan dan berburu
4. Hutan merupakan lahan usaha dan berkebun 14,44
5. Tidak tahu definisi hutan 7,78
Sumber : Analisis data primer 2010
Persepsi masyarakat terhadap kawasan taman nasional sangatlah penting
menyangkut keberhasilan pengelolaan taman nasional. Masyarakat yang memahami
adanya taman nasional dan fungsinya akan mempengaruhi partisipasinya terhadap
pengelolaan taman nasional itu sendiri. Persepsi masyarakat terhadap taman nasional
dapat dikelompokkan menjadi empat pandangan, disajikan dalam Tabel 6.4.
Tabel 6.4. Persepsi masyarakat terhadap Taman Nasional Aketajawe
Lolobata
Rata-rata
No Persepsi masyarakat terhadap TNAL
(%)
Taman nasional adalah kawasan yang berfungsi sebagai
1. perlindungan tumbuhan, satwa dan sumberdaya hayati yang ada 6,67
didalamnya
2. Taman nasional adalah hutan milik negara yang dilindungi 15,56
3. Taman nasional adalah lembaga yang menjaga dan melestarikan
31,11
hutan
4. Tidak tahu definisi taman nasional 46,67
Sumber : Analisis data primer 2010
Ada dua persepsi pokok yang dianut oleh masyarakat yaitu bahwa taman
nasional adalah hutan/kawasan milik negara yang harus dilindungi dan dilestarikan
berkaitan dengan fungsinya sebagai perlindungan sumberdaya alam hayati yang ada
didalamnya. Persepsi yang kedua adalah bahwa taman nasional adalah lembaga
pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menjaga dan melestarikan hutan.

Sintesis 2010-2014 | 100


Persepsi responden pada kelompok 1 dan 2, adalah mereka yang paham akan
keberadaan taman nasional dan fungsinya bagi penyangga kehidupan sehingga
potensi untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan sangatlah besar. Kelompok
ketiga adalah responden yang pengetahuannya sebatas pada pengertian taman
nasional sebagai lembaga yang menjaga dan melestarikan hutan. Menganggap bahwa
taman nasional adalah subjek/pelaku yang mengelola bukan objek yang harus
dikelola. 46,67% masyarakat dikawasan penyangga taman nasional belum
mengetahui informasi tentang fungsi dan kewenangan taman nasional oleh karena itu
diperlukan penyuluhan oleh instansi terkait.
Sebagai contoh masih lemahnya pemberdayaan kelembagaan di bidang
pelestarian keanekaragam hayati, adalah konservasi orangutan di CA Dolok Sipirok
cenderung masih mengalami berbagai kendala akibat :
a. Landasan hukum untuk pengelolaan lingkungan bagi konservasi jenis terutama
pada lahan hak milik belum jelas.
b. Masih lemahnya koordinasi antar lembaga terkait.
c. Kurangnya penyuluhan dan sosialisasi serta mekanisme umpan balik dalam
pelaksanaan peraturan dan penegakan hukum.
d. Konflik kepentingan antara kegiatan konservasi dan pembangunan dalam
pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan.
e. Upaya pendidikan, pelatihan, dan disiplin petugas konservasi masih rendah dan
tidak kontinue.
f. Rendahnya pengetahuan dan kurangnya Sumberdaya Manusia (SDM) terlatih
dalam pelestarian keanekaragaman hayati yang sangat beragam.
Partisipasi dari berbagai lembaga terkait dalam pelaksanaan konservasi
orangutan sangat diperlukan, yang selama ini masih rendah dan tidak terkoordinasi.
Tanpa dukungan dan peranan yang nyata dari berbagai kelembagaan terkait,
program konservasi orangutan akan sulit untuk berhasil. Program yang dapat
dikembangkan untuk meningkatkan peranan kelembagaan tersebut diantaranya
adalah masyarakat lokal yang tinggal di sekitar habitat orangutan merupakan aktor
utama terhadap keberhasilan atau kegagalan konservasi orangutan. Namun sampai
saat ini lembaga yang terdapat pada masyarakat secara umum belum memiliki
kebijakan maupun peraturan yang kuat untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya
hutan maupun lahan. Akibatnya, ancaman terhadap kawasan konservasi termasuk
sebagian besar bersumber dari aktivitas masyarakat, seperti pembalakan kayu liar,
pembukaan lahan hutan alam untuk pertanian dan perkebunan serta pemukiman, dan
perburuan, akibat interaksi masyarakat ke dalam kawasan masih cukup tinggi.

Sintesis 2010-2014 | 101


VII. PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA

Daerah penyangga menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi


Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah wilayah yang berada di luar
kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam baik sebagai kawasan hutan
lain, tanah Negara maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu
menjaga suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Oleh karena itu, daerah
penyangga mempunyai fungsi yang sangat penting untuk mengurangi tekanan
penduduk ke dalam kawasan konservasi, memberi kegiatan ekonomi masyarakat dan
merupakan kawasan yang memungkinkan adanya interaksi secara berkelanjutan
dengan kawasan hutan. Tekanan masyarakat di daerah penyangga tidak terlepas dari
permasalahan yang pada umumnya dijumpai di sekitar kawasan hutan yaitu
kemiskinan, kesehatan, aksesibilitas dan kebutuhan hidup primer (pangan, sandang,
papan, air, listrik dan pendidikan). Kementerian Kehutanan (2009) menunjukkan
bahwa 31.957 desa berinteraksi dengan hutan dan 71,06% dari desa-desa tersebut
menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Masyarakat yang tinggal dan
hidup di desa-desa tersebut yang selama ini menerima dampak langsung dari
kerusakan hutan. Rositah (2006) menyebutkan bahwa 15% dari 48 juta orang yang
tinggal di dalam dan sekitar hutan merupakan masyarakat miskin, disamping itu
tercatat adanya korelasi yang kuat antara tutupan hutan dengan kemiskinan
(Sunderlin et al., 2007)
A.Tipologi Masyarakat Daerah Penyangga
Keberadaan masyarakat di dalam maupun di sekitar taman nasional memiliki
tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya alam. Taman nasional yang
memiliki wilayah kepulauan di kelilingi oleh masyarakat yang bermata pencaharian
sebagai nelayan dengan keterampilan dan modal yang terbatas serta memanfaatkan
sumberdaya alam yang terdapat di perairan laut maupun di pesisir pantai. Masyarakat
nelayan memanfaatkan sumberdaya alam yang terdiri dari nekton, kerang-kerangan,
kepiting, udang, serta vegetasi mangrove. Sedangkan taman nasional dengan
ekosistem daratan mendapat ancaman/tekanan penduduk sekitar taman nasional yang
bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani dengan kepemilikan luas tanah
yang terbatas.
Berdasarkan hasil penelitian Sawitri dan Subiandono, 2011, tingkat
ketergantungan masyarakat sekitar kawasan maupun di dalam kawasan terhadap
sumberdaya hutan dapat diketahui dari kegiatan harian mereka dalam memenuhi
kebutuhan hidup melalui pemanfaatan hasil hutan baik berupa keragaman hayati
maupun jasa lingkungan seperti air bersih.
Tingkat intervensi masyarakat masuk ke dalam hutan berhubungan dengan
lokasi kampung maupun kebutuhan akan kayu bakar maupun bahan bangunan.
Walaupun telah dibagikan gas untuk memasak tetapi kayu bakar tidak ditinggalkan

Sintesis 2010-2014 | 102


dan masih merupakan bahan yang lebih dominan dipergunakan pada setiap rumah
tangga. Di Kampung Dengkleng, Sukamulya; Kampung Lebak Sembada, Citorek
Kidul dan Kampung Naga, Citorek Tengah penggunaan kayu bakar dari hutan hanya
1-2 pikul/bulan karena masyarakat di tiga kampung ini memiliki kebun sendiri
sebagai sumber kayu bakar.
Mata air merupakan potensi yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
masyarakat. Sebagian besar sumber mata air terdapat di hutan akan tetapi ada juga
yang terdapat di sekitar lahan pertanian, misalnya mata air Cirametek dan Cipari
(Anonimous, 2005). Kearifan lokal untuk menjaga sumber mata air tersebut
dilakukan dengan menjaga pohon-pohon yang ada di sekitar mata air supaya tidak
diganggu. Kondisi sumber mata air pada waktu musim hujan airnya menjadi agak
keruh dan lebih banyak daripada biasanya yang menyebabkan banjir (caah/gundur).
Sedangkan pada waktu musim kemarau kondisinya relatif stabil.
Jenis kayu rimba seperti rasamala (Altingia excelsa Noronha), pasang (Querqus
spp), saninten (Castanopsis argentea A. DC.) dan puspa (Schima wallichii Korth)
paling banyak diminati masyarakat untuk kepentingan bahan bangunan perumahan
maupun leuit atau bangunan tempat menyimpan padi. Sedangkan pemanfaatan jenis
tanaman obat-obatan dan jamur masih terbatas pada penyakit yang umum diderita
masyarakat seperti sakit perut, kuning dan mata. Tetapi di beberapa taman nasional
juga merupakan tempat hunian masyarakat dengan adat istiadat dan budaya yang
masih sangat tradisional. Di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dihuni oleh Suku
Anak Dalam, Suku Talang Mamak dan lain-lain, di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak dijumpai masyarakat Kasepuhan Banten Kidul yang terdiri dari
Kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Ciptamulya, Cicarucup, Cisitu, Cisungsang,
Citorek dan Urug (Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, 2008 dan Taman Nasional
Gunung Halimun Salak, 2008).
Masyarakat tradisional tersebut memiliki keterikatan yang sangat erat dengan
lingkungannya dimana masyarakat Suku Talang Mamak percaya bahwa bukit dan
tumbuhan yang terdapat di taman nasional memiliki kekuatan magis dalam
kehidupan, sedangkan masyarakat kasepuhan melakukan kegiatan seren taun setiap
tahun sebagai rasa syukur terhadap keberhasilan dalam pertanian khususnya padi
sebagai makanan pokok serta kegiatan patroli hutan pam swakarsa . Dengan
demikian masyarakat tradisional tersebut dengan kearifan tradisionalnya secara tidak
langsung turut berpartisipasi aktif dalam menjaga dan melindungi sumberdaya alam
hayati di taman nasional.
Masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan TN Bantimurung-Bulusaraung
(TN Babul) di Kecamatan Camba, Mallawa, dan Cenrana, Kabupaten Maros pada
umumnya adalah suku Bugis. Dari segi umur, masyarakat yang menggarap lahan di
dalam TN Babul sebanyak 76,2% dan sekitar 6,2% telah melakukan proses jual beli
lahan dalam kawasan tersebut (Kadir et al., 2010). Tingkat pendidikan masyarakat

Sintesis 2010-2014 | 103


sekitar TN Babul umumnya masih rendah dimana sebagian besar berpendidikan
sekolah dasar, rendahnya tingkat pendidikan dapat berimplikasi terhadap terbatasnya
wawasan berpikir dan kemampuan mengadosi teknologi baru sehingga tingkat
produktifitas dalam menggarap lahan juga rendah.
Pekerjaan pokok masyarakat sekitar TN Babul umumnya adalah petani sawah
dan kebun. Hanya sebagian kecil yang bekerja di bidang jasa, dan pegawai.
Pekerjaaan sampingan mereka adalah petani kebun, wiraswasta, buruh sawah,
pembuat gula aren, dan pemburu lebah madu. Selain itu masyarakat juga memiliki
tanggungan keluarga berkisar antara 1-9 orang. Hal ini mengindikasikan potensi
untuk menggarap lahan cukup tersedia. Jika kemampuan masyarakat dalam bertani
dan tenaga kerja yang tersedia dapat dimaksimalkan serta didukung dengan
pembinaan yang tepat, maka peluang peningkatan produktifitas dalam menggarap
lahan terbuka lebar.
Masyarakat daerah penyangga TN Sebangau memiliki pola pemanfaatan
sumberdaya yang diambil di dalam maupun di luar kawasan yang terkait pada
perikanan (5%), pertanian dan agroforestri (85%), kehutanan (3%) dan budidaya
walet (1%) (Yuwati dan Robby, 2013). Pemanfaatan sumberdaya kehutanan di dalam
kawasan berupa pengambilan getah jelutung, gemor, rotan dan kayu galam, karena
pemanenan yang berjalan terus-menerus maka pohon yang ada berukuran kecil-kecil
dan lokasi pengambilannya cukup jauh. Sedangkan, kendala yang dihadapi
masyarakat di luar kawasan diantaranya sulitnya mendapatkan ikan pada musim
penghujan dan rendahnya harga jual, serta banjir kondisi yang demikian diperparah
dengan kebijakan pengelolaan taman nasional yang melarang masyarakatnya
memanfaatkan hasil hutan seperti penebangan kayu, pengambilan kayu bakar, ikan
kecil dan gamor, sehingga persepsi masyarakat terhadap pihak pengelola dan WWF
terlihat pada Gambar 7.1.

%
91
100
80 55 64
60 27 36
40 9 18
20
0
negatif

kesejahteraan

komunikasi
bantuan sarpras

sering sosialisasi
positif

penambahan

tingkatkan
peningkatan

program

Bagaimana peran Harapan dari WWF/BTNS? Hubungan masy-TNS?


WWF/BTNS?

Gambar 7.1. Grafik persepsi masyarakat Desa Sebangau Permai terhadap


pengelola TN Sebangau

Sintesis 2010-2014 | 104


Berdasarkan kondisi diatas maka pendekatan pengelolaan dan pengembangan
daerah penyangga TN Sebangau, hendaknya memprioritaskan kesempatan berusaha
dan tingkat pendapatan ekonomi melalui pengembangan ekonomi alternative dan
perluasan pemasaran komoditas terutama perikanan,pengadaan sumberdaya
alternative seperti kayu bakar, kayu pertukangan, tumbuhan obat dan tanaman
pangan, peningkatan dukungan dan kesadartahuan masyarakat tentang konservasi
serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan daerah penyangga,
komunikasi, kapasitas kelembagaan ekonomi dan pengembangan daerah penyangga.
Pola pemanfaatan daerah penyangga sejalan dengan perkembangan jumlah dan
kepadatan penduduk di sekitar kaawsan taman nasional juga perlu diwaspadai, hal ini
cukup mengkhawatirkan karena peningkatan jumlah penduduk akan sejalan dengan
peningkatan intervensi masyarakat akan sumberdaya lahan hutan dan hasil hutan,
dimana dalam jangka waktu dua tahun masyarakat di daerah penyangga dan zona
khusus TN Kutai meningkat lebih dari 50% (Sawitri dan Karlina, 2013).
Asal-usul penduduk yang dijumpai di daerah penyangga dan zona khusus, TN
Kutai, Kabupaten Kutai Timur dapat dibedakan berasal dari Kalimantan, Sulawesi
dan Jawa. Pengamatan asal-usul masyarakat ini berkaitan dengan perilaku dan
tipologi masyarakat, seperti Suku Dayak dan Kutai yang terdapat di zona khusus TN
Kutai dan berasal dari daerah sekitar Kalimatan Timur, mayoritas merupakan petani
yang berladang berpindah, sehingga pembukaan hutan yang dilakukan secara
bersama-sama sekitar 50 orang dengan sistem tebang habis dan pembakaran,
menguasai lahan 3 sampai > 15 ha,tetapi pengelolaan lahan yang dilakukan kurang
intensif, karena hanya 2 ha yang ditanami padi ladang selama 2 periode tanam atau 2
tahun, setelah itu lahan akan ditanami karet atau dibiarkan dan menunggu pembeli
untuk diperjual belikan.
Masyarakat dari Sulawesi yang umumnya termasuk Suku Bugis, merupakan
masyarakat yang cukup mudah dalam mengadopsi teknologi dan merupakan
masyarakat yang dapat berkegiatan di darat maupun di laut. Pengembangan kegiatan
masyarakat di darat adalah mengelola lahan garapan untuk usaha pertanian padi
ladang, pohon buah-buahan, pohon HHBK seperti gaharu dan tanaman umbi-umbian
dan obat-obatan, disamping usaha sampingan berupa kegiatan warung dan berjualan
bahan bakar. Kegiatan alternatif di laut juga dilakukan masyarakat yaitu budidaya
rumput laut, perikanan laut dan ekowisata pantai yang masih direncanakan oleh
masyarakat di Teluk Kaba dengan membentuk koperasi.
Masyarakat yang berasal dari Jawa terdiri dari Suku Jawa yang bermukim di
zona khusus dan memiliki pekerjaan tetap, pemilikan lahan garapan dilakukan
sebagai investasi maupun lahan garapan yang diusahakan secara intensif dengan
menanam karet, kelapa sawit serta bersawah.

Sintesis 2010-2014 | 105


Masyarakat Madura yang berasal dari P.Madura memasuki kawasan TNK
dengan berbekal ketrampilan pembuatan batubata dan usaha sambilan berupa warung
dan ternak unggas ayam dan entok.
Pola usaha masyarakat di daerah penyangga dan zona khusus di TN Kutai dapat
dijabarkan pada Tabel 7.1. Pola usaha tersebut terdiri dari usaha pertanian dan
usaha lainnya.
Tabel 7.1. Pola usaha penduduk dari berbagai etnis di kawasan TN Kutai

Parameter Asal Etnis


Kutai Dayak Jawa Bugis Madura
Luas 2 - 5 ha 3 - >10 ha 2 - 5ha 4 – 10 ha 2 – 4 ha
Garapan
Jarak rumah 15 km 0-5 km 0,25-2 km 0,5- 5 km 0,1 – 2 km
ke lahan
garapan
Jarak tempat 0 – 200 m 0 – 200 m 2 km 6 km 2 km
tinggal ke
sungai
Frekuensi 2–5 setiap hari Setiap hari/ 2 Setiap hari
interaksi kali/bulan saat musim saat musim kali/bulan
tanam- tanam
1kali/bulan
Tujuan Mendapatkan Mendapatka Mendapatka Mendapatka Mendapatka
berinteraksi lahan garapan n lahan n lahan n lahan n lahan
dengan untuk garapan untuk garapan garapan
TNK budidaya untuk budidaya untuk untuk usaha
kebun pisang budidaya tanaman budidaya batu bata dan
dan karet tanaman pangan tanaman ternak
pangan semusim pangan,
semusim dan buah² an,
karet hhbk dan
kelapa sawit
Teknik Sistem tebang Sistem Sistem Sistim Sistem
pembukaan habis dan tebang habis tebang habis tebang pilih tebang habis
lahan yang bakar dan bakar dan bakar dan bakar
diterapkan
Pola tanam - Tanaman - Tanaman -Tanaman - Tanaman -
yang semusim pangan pangan pangan
diusahakan - Tanaman semusim semusim semusim
di lahan pisang dan - Padi dan - Padi,
garapan karet Karet buah²an,
gaharu,
kelapa
sawit

Sintesis 2010-2014 | 106


Parameter Asal Etnis
Kutai Dayak Jawa Bugis Madura
Sistim Kurang Kurang Sangat Intensif Sangat
budidaya intensif intensif intensif intensif
Penggunaan
Jenis Pohon -Ulin, -Ulin, ulin dan -Ulin, -Ulin
- Untuk meranti, meranti, meranti meranti, kapur,
kayu kapur kapur kapur meranti
bangunan

- Untuk -kayu laban -kayu laban - - -semua jenis


memasak kayu laban, kayu laban, untuk
ulin ulin pembakaran
batu bata
- Untuk - -kapur, -
membuat - kapur, - kapur, meranti
kapal meranti meranti
Pemanfaata Ikan, punai, Babi, ikan , Ikan Payau, Burung
n satwa payau dan punai, pelanduk,
untuk pelanduk pelanduk punai, ikan
konsumsi
dan sesajen
Jenis satwa Orang utan, Orang utan, Monyet, dan Monyet dan Monyet, dan
yang sering monyet,buaya monyet, berbagai berbagai berbagai
dijumpai , berbagai buaya,, jenis burung jenis ikan jenis burung
jenis ikan berbagai
jenis ikan

Ketergantungan masyarakat di daerah penyangga di Taman Nasional Kerinci


Seblat dan Taman Nasional Lore Lindu ditunjukan oleh tipologi masyarakat dan
pola usaha pertaniannya (Tabel 7.2 dan 7.3) (Bismark et.al, 2012).
Tabel 7.2. Tipologi masyarakat dan biofisik di daerah penyangga TN Kerinci Seblat,
Kabupaten Pesisir Selatan

Lokasi
Nagari Tanjung
Nagari Lumpo Nagari Air Haji
No. Parameter Gadang
Kec. Linggo Sari
Kec. IV Jurai Kec. Sutera
baganti
1. Asal-usul
Asli 95% 90% 95%
Pendatang 5% 10% 5%
2. Jumlah KK 4-5 orang 3-7 orang 3-7 orang
3. Pekerjaan

Sintesis 2010-2014 | 107


Lokasi
Nagari Tanjung
Nagari Lumpo Nagari Air Haji
No. Parameter Gadang
Kec. Linggo Sari
Kec. IV Jurai Kec. Sutera
baganti
Utama Petani Petani Petani
Sampingan Buruh tani Buruh tani -
4. Perumahan
Di kawasan - 20-25 m2 12-20 m2
Di daerah 60-80 m2 60-100 m2 50-80 m 2
penyangga
5. Jenis bangunan Permanen (90%)
rumah
Di kawasan - Semi permanen Semi permanen
(100%) (100%)
Di daerah Permanen (50%) Permanen (95%) Permanen (90%)
penyangga dan semi
permanen (50%)
6. Jarak rumah di 1 km 0-2 km 0,5 km
daerah penyangga
ke kawasan
7. Persawahan
Luas 0,25 - 1 ha 0,05 - 0,5 ha 1 - 2 ha
Lokasi Di daerah Di daerah Di kawasan
penyangga penyangga
Bibit 20 kg/ha 20 kg/ha 20 kg/ha
Pengairan Irigasi Irigasi Irigasi dan tadah
hujan
Panen 3,5 ton/ha 3 ton/ha 1-2 ton/ha
8. Perladangan
Di kawasan 1,5-2 ha 1-2 ha 1,5 -2 ha
Di daerah 0,25-2 ha 0,25-1 ha
penyanga
Jenis tanaman
-Di kawasan Karet, jengkol, Jengkol, sayur- Kelapa sawit,
petay, durian, sayuran, coklat, mangga, durian,
cengkeh, durian, pinang, rambutan, karet, kopi
pinang, kelapa sawit, , coklat, kulit manis,
manggis, kulit papaya, jambu sayuran, jengkol,
manis biji, rambutan, asam kandis, kemiri,
kopi, sengon, pisang, pala, pinang,
gambir, pala, kulit jati putih
manis
-Di daerah Karet, pinang, Karet, kelapa Karet, durian, coklat,
penyangga jengkol, petay, sawit, jengkol, kelapa sawit, pinang,

Sintesis 2010-2014 | 108


Lokasi
Nagari Tanjung
Nagari Lumpo Nagari Air Haji
No. Parameter Gadang
Kec. Linggo Sari
Kec. IV Jurai Kec. Sutera
baganti
jambu bol, pala, jambu bol, cabe pala, pisang
kelapa, durian, merah, coklat
coklat, asam
kandis, aren,
jambu biji,
mangga,
nangka, jambu
biji, sirsak,
rambutan,
pisang, tebu,
papaya, jeruk
bali dan
singkong
9. Pemanfaatan hasil
hutan
Kayu pertukangan Pulai Pulai Dammar hutan
Meranti Meranti Medang
Bernuak Durian Limus
Durian Nangka Jati putih
Nangka Sengon Meranti merah
Medang Borneo
Tanaman obat - - Pasak bumi
Resam
Kapiciek
Kayu berangan
Malua
Asam kandis
Satwaliar Kambing hutan Trenggiling Babi hutan
Burung Rusa Rusa
Ular Babi hutan
Labi-labi Murai batu
Marabak tembak
Ular
10. Peternakan
Sapi 1-3 ekor 1-2 ekor 1-4 ekor
Kambing 1-2 ekor - 2-5 ekor

Sintesis 2010-2014 | 109


Tabel 7.3. Tipologi masyarakat di kawasan dan daerah penyangga TN Lore Lindu

Lokasi
Pakuli Omu Salua Mataue
No. Parameter
Kec. Kec. Kec. Kulawi Kec. Kulawi
Gumbasa Gumbasa
1. Asal-usul
Asli 95% 10% 84 % 99%

pendatang 5% 90% 16 % 1%
2. Jumlah KK 4-5 orang 3-6 orang 4-5 orang 3-5 orang

3. Pekerjaan
Utama Petani Petani Petani Buruh tani

Sampingan Pengambil Buruh tani Pedagang Petani


tanaman obat
4. Perumahan
Di daerah 80-100 m2 60- 80 m2 55-75 m2 50-70 m 2
penyangga
5. Jenis
bangunan
rumah
Di daerah Permanen Permanen Permanen Permanen
penyangga (80%) dan (90%), Semi (95%), Semi (90%), Semi
semi permanen permanen permanen permanen
(20%) (10%) (5%) (10%)
6. Jarak rumah di 0,5 - 1 km 5 -7 km 2-5 km 0,5-1 km
daerah
penyangga ke
kawasan
7. Persawahan
Luas 0,25 - 5 ha - - 0,5-1 ha
Lokasi Di daerah Di daerah
penyangga penyangga
Bibit 7 kg/ha 7 kg/ha
Pengairan Irigasi Irigasi - Irigasi
Panen 700 – 840 700 – 840 kg 700-840 kg/ha
kg/ha /ha
8. Perladangan
Luas
Di kawasan 1 - 2 ha 0,5-1 ha 0,5 – 1 ha -
Di daerah 1 – 5 ha 2- 7 ha 1 – 4 ha 1-2,5 ha
penyanga
Jenis tanaman

Sintesis 2010-2014 | 110


Lokasi
Pakuli Omu Salua Mataue
No. Parameter
Kec. Kec. Kec. Kulawi Kec. Kulawi
Gumbasa Gumbasa
-Di kawasan coklat coklat coklat coklat
-Di daerah coklat coklat mangga bambu
penyangga
mangga mangga jeruk kemiri
kelapa, jagung langsat singkong
aren, papaya papaya sagu
jambu air durian kelapa kelapa
pisang alpuket nangka kayu manis
jagung kacang hijau jagung pisang
nangka kacang tanah rambutan durian
rambutan kemiri jambu air jeruk
jambu biji kelapa kemiri pinang
aren aren aren kemangi
singkong singkong jati mangga
jagung
daun bawang
kopi
aren
kalliandra
balaroa
Jarak tanam beraturan beraturan beraturan tidak beraturan
9. Pemanfaatan
hasil hutan
Kayu kayu di hutan kayu di hutan kayu di hutan kayu di hutan
pertukangan
kayu di kebun kayu di kebun kayu di kayu di kebun
kebun

Kayu bakar kayu di kebun kayu di kebun kayu di kayu di hutan


kebun
kayu di kebun

Tanaman obat 300 jenis - - -


tanaman dari
hutan dan
HHBK Kemiri kemiri daun pandan anggrek
Pangi pangi rotan aren
aren aren kemiri
aren
mangga
hutan
anggrek

Sintesis 2010-2014 | 111


Lokasi
Pakuli Omu Salua Mataue
No. Parameter
Kec. Kec. Kec. Kulawi Kec. Kulawi
Gumbasa Gumbasa
Satwaliar maleo telur maleo ayam hutan -
telur maleo maleo babi
Air Kelembagaan Kelembagaan Kelembagaan Kelembagaan
10. Peternakan
Sapi 1-2 ekor 1-2ekor -
Kambing - 1-2 ekor - 1-2 ekor
11. Perikanan - ikan mujair - ikan mujair
dan emas dan emas
12 Pemberdayaan Kelompok Kelompok Pam Pam swakarsa
masyarakat Usaha Assyifa masyarakat swakarsa (5 (1 orang) dan
tanaman obat peduli satwa, orang) Budidaya
(50 orang), Cakar Maleo anggrek (30
Kelompok Saluki (14 jenis)
Usaha gula orang)
aren Sangurara budidaya
(30 orang), maleo
dan kelompok
usaha kue
malese, KPLH
Palapi

B. Penataan Lahan Daerah Penyangga


Pemanfaatan dan penggunaan lahan di daerah penyangga taman nasional
dijumpai tipe pengelolaan lahan yang dapat dibedakan menurut jarak lokasi dengan
taman nasional, sosial ekonomi dan budaya masyarakat dan kondisi fisik areal seperti
iklim, jenis tanah, ketinggian dari permukaan laut, topografi, curah hujan, sistem
penanaman hutan rakyat, kesesuaian lahan terhadap jenis tanaman, gangguan
satwaliar serta sumber air. Kondisi ini memberikan model hutan rakyat secara
monokultur maupun campuran jenis tanaman perkayuan, buah-buahan, palawija,
tanaman obat-obatan dan sayur-sayuran.
Pola penggunaan lahan di daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat,
Kabupaten Pesisir Selatan dibagi menjadi tiga jalur yaitu jalur hijau, interaksi,
peralihan dan budidaya yang didasarkan pada aspek ekologi, biofisik dan social
ekonomi dan budaya masyarakat (Bismark et al., 2012a)(Tabel 7.4).

Sintesis 2010-2014 | 112


Tabel 7.4. Pola penggunaan lahan daerah penyangga TNKS.
Zonasi (Jalur) Lebar jalur (km) Penggunaan lahan
Jalur hijau Hutan, hutan rakyat, hutan
0-2 kemasyarakatan, kebun
agroforestri, kampung
Jalur interaksi Kampung, kebun agroforestri,
0,5– 5
ladang, hutan, sawah
Jalur peralihan 0,5 – 1 Kampung, pekarangan, ladang
Jalur budidaya 4–6 Ladang

Jalur hijau yang terdiri dari hutan, hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, sungai,
ladang dan kampung di dalam kawasan berfungsi sebagai daerah pengungsian
satwaliar yang menyediakan pakan dan komponen habitat berupa sumber air, tempat
istirahat, tidur dan bersarang. Satwaliar yang umum ditemukan selama penelitian
adalah jenis primate simpai (P. melalophos) yang berkelompok 2-5 individu dengan
daerah jelajah sampai ke ladang dan agroforestri masyarakat, demikian pula dengan
P. cristata yang berkelompok 9-14 individu. Walaupun demikian masyarakat
melaporkan kehadiran P. tigris sumatrae 2 kali sebulan di areal ladang masyarakat
yang berbatasan dengan kawasan hutan 2 km dari batas taman nasional (Gambar
7.2). Ladang tersebut dapat berupa kebun agroforestri berupa tanaman perkebunan
karet, perkayuan suren (Toona sureni) (Gambar 7.3), mahoni, jati serta buah-buahan
seperti pohon coklat, durian, nangka, rambutan, dan jambu bol. Kondisi ini dapat
dijumpai di Nagari Air haji dan di Jorong Bangun Rejo.
Jalur interaksi yang komponen utamanya kebun agroforestri, persawahan tadah
hujan maupun irigasi, ladang dan perkampungan mempunyai fungsi sebagai habitat
satwaliar, pengembangan jasa lingkungan dan pengembangan plasma nutfah untuk
jenis unggulan pada tanah kritis yang ditumbuhi alang-alang dengan tanaman dari
kebun bibit desa (KBD) seperti gaharu dan bayur maupun persemaian swadaya
masyarakat berupa bibit tanaman karet. Kebun agroforestri masyarakat umumnya
berupa tanaman campuran yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
maupun tanaman yang dapat diambil hasilnya setiap saat seperti pinang, asem
kandis, kemiri, pohon buah-buahan, dan coklat.
Jalur peralihan dan jalur budidaya terdiri dari areal perkampungan, pekarangan
dan ladang dengan tanaman pertanian berupa sayur-sayuran kacang panjang, terong
dan cabe. Di kedua jalur ini pemanfaatan sumberdaya alam dengan memadukan
prinsip konservasi dan kearifan tradisional, pembentukan desa konservasi,
peternakan, pemanfaatan tumbuhan species asli penghasil HHBK: buah-buahan,
pewarna, pakan ternak, tanaman obat-obatan, madu, kayu bakar, getah, kebutuhan
peralatan rumah tangga, sehingga diharapkan tercapainya manfaat ekonomi yang
optimal berupa distribusi tenaga kerja dan pendapatan.

Sintesis 2010-2014 | 113


Gambar 7.2. Tengkorak tapir, dan simpai dijumpai di sekitar perbatasan di jalur hijau
Jorong Bangun Rejo

Gambar 7.3. Jalur hijau yang dibangun masyarakat secara swadaya di batas kawasan
Taman Nasional Kerinci Seblat dan agroforestri kebun rakyat

Berbeda dengan taman nasional lainnya, daerah penyangga TN Siberut berupa


hutan produksi. Luas wilayah konservasi dalam hutan produksi (IUPHHK) yang
memenuhi untuk terlindungnya populasi efektif sejumlah 125 individu per jenis
berdasarkan populasi H. klossii 8 individu per km² (Bismark, 2007) adalah 15,5 km² atau
± 1.500 ha per RKL. Daerah penyangga TNS dengan IUPHHK PT Salaki Suma
Sejahtera (PT S3) dengan rencana pemanfaatan selama 35 tahun akan terdapat 7 RKL
selama masa konsesi dengan populasi minimal yang terfragmentasi dalam RKL-RKL
berupa wilayah konservasi. Bila wilayah konservasi dalam RKL seluas 1500 ha maka
wilayah konservasi yang terbentuk setelah selesainya Izin IUPHHK mencapai 23% dari
kawasan berhutan IUPHHK PT S3 sekarang (45.314 ha). Luas areal didekati dengan
jumlah populasi satwa primata langka yang harus dilindungi, yaitu 250 individu.
Primata dengan populasi terkecil di TN Siberut yaitu M. pagensis dengan populasi
2,5 individu/km², membutuhkan areal 100 km² untuk populasi 250 individu, areal
tersebut sesuai dengan lebar daerah penyangga sepanjang 1.500m. Berdasarkan suara

Sintesis 2010-2014 | 114


Hylobates klossii di areal tebangan terdengar dalam jarak  1,5 km, apabila daerah
penyangga ditetapkan dengan lebar 1.700 m, maka dampak penebangan terhadap
populasi primata di TN Siberut akan dapat dihindari.
Masyarakat desa di kawasan penyangga TNAL lebih banyak mengolah lahannya
sebagai kebun campuran (45,55%) dengan komoditas Kelapa, pala, pisang,
coklat,tanaman buah-buahan, kasbi, batatas dan sayuran. Pola hutan rakyat belum
diminati, karena masyarakat merasa kebutuhan kayu masih tercukupi dari hutan alam
dan juga pengetahuan tentang jenis tanaman dan teknologi hutan rakyat belum
sampai pada masyarakat sekitar. Perbedaan pola pemanfaatan lahan yang dilakukan
oleh masyarakat dipengaruhi oleh latar belakang masyarakatnya. Dimana pola
berkebun biasanya dilakukan oleh masyarakat asli/lokal Pulau Halmahera khususnya
dan Maluku Utara umumnya. Sedangkan pola hortikultura dan sawah merupakan
pola bawaan dari masyarakat transmigran.
Bentuk-bentuk pola pemanfaatan lahan yang telah teridentifikasi dari hasil
penelitian di Taman Nasional Aketajawe Lolobata Blok Lolobata dapat dibuat suatu
model pola lahan yang menyusun kawasan penyangga yang terbagi ke dalam 3 jalur,
yaitu jalur hijau, jalur interaksi dan jalur budidaya yang tertata sebagaimana Gambar
7.4 perlu pengelolaan intensif (Nurrani, 2013a).

Gambar 7. 4. Pola pemanfaatan lahan zona penyangga Taman Nasional Aketajawe


Lolobata
Keterangan : TN (taman nasional), KC (kebun campuran), KT (kebun tumpangsari),
KM (kebun murni), HRT (hortikultura), SW (sawah), DS (desa), HL (hutan lindung),
HPT (hutan produksi terbatas)
Jalur hijau TNAL blok Lolobata terdiri dari hutan lindung dan hutan produksi
terbatas, dimana tutupan lahan keduanya masih alami dan masih mampu
menjalankan fungsinya sebagai penyangga sejauh 0 – 5,5 km dari batas kawasan
taman nasional. ada jalur interaksi diharapkan dikembangkan menjadi tempat

Sintesis 2010-2014 | 115


konservasi tumbuhan yang bernilai ekonomis dan ekologis melalui sistem
agroforestri. Namun pada TNAL blok Lolobata jalur interaksi dihuni oleh pola kebun
campuran, kebun murni dan kebun tumpangsari dengan tanaman utama adalah
kelapa. Jalur budidaya dikembangkan dengan pola kebun tumpangsari, hortikultura,
sawah dan pemukiman penduduk. Pada jalur ini pemenuhan kebutuhan hidup
masyarakat dipenuhi.
Kegiatan usahatani masyarakat yang ada di sekitar daerah penyangga Lolobata
memberikan pengaruh yang besar terhadap kelestarian taman nasional. Jika usahatani
yang diterapkan mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara ekonomi
maka kemungkinan untuk merambah dan mengganggu kawasan hutan sangat kecil
(Nurrani, 2013b). Jumlah pendapatan masyarakat pada beberapa pola lahan
masyarakat dapat dilihat pada Gambar 7.5.
Rata-rata Pendapatan dalam

60
juta (rupiah)

40

20
setahun

-20

Luas Lahan ˂ 1 Ha
Luas Lahan 1 - 2 Ha
Pola Pemanfaatan Lahan
Luas Lahan > 2 Ha

Gambar 7.5. Grafik pendapatan berdasarkan pola pemanfaatan lahan

Lahan hortikultura dan kebun campuran memberikan kontribusi terbesar kepada


masyarakat, Gambar 7.5 menunjukkan hortikultura dengan luas lahan 1-2 ha mampu
memberikan pendapatan paling tinggi sebesar Rp 40 juta pertahunnya. Kebun
campuran dengan luas lahan >2 ha memberikan pendapatan pada masyarakat sebesar
Rp 38 juta. Sedangkan pola lahan tumpangsari dengan luas >2 ha memberikan
pendapatan pada masyarakat sebesar Rp 13 juta per tahun.
Secara umum seluruh pola pemanfaatan lahan memberikan benefit pada
masyarakat karena nilai B/C rationya > 1 (Tabel 7.5). Namun pada analisis ini
prinsip dan substansi utama yang dipentingkan adalah besarnya manfaat, sehingga
dapat dikemukakan bahwa lahan hortikultura dan kebun campuran merupakan pola
yang lebih baik dari pola lainnya.

Sintesis 2010-2014 | 116


Tabel 7.5. Nilai B/C ratio usahatani pada masing-masing pola pemanfaatan lahan

Kebun Kebun Kebun Hutan


Hortikultura Sawah
Komponen campuran Tumpangsar Murni rakyat
(HRT) (SW)
(KC) i (KT) (KM) (HR)
Total Biaya (Rp) 3.952.840 3.254.215 2.500.778 1.909.167 1.390.833 1.203.333
Total Penerimaan
(Rp) 29.412.500 21.273.264 12.681.200 9.457.143 8.300.000 0
Pendapatan (Rp) 25.459.660 18.019.049 10.180.422 7.547.976 6.909.167 1.203.333
R/C ratio 7,44 6,54 5,07 4,95 5,97 0,00
HRT
dan KC 11,65
KC dan
KT 11,40
BCR
KT dan
SW 5,45
SW dan
KM 2,23
Mata pencaharian masyarakat di daerah penyangga TN Siberut umumnya
bertani dengan membangun kebun campuran seluas 4.500 ha. Luas ini melebihi
angka rata-rata kebun campuran di kecamatan Siberut Selatan. Desa ini umumnya
setiap lahan ada vegetasinya baik pemukman, semak belukar, hutan adat, ladang dan
kebun. Komoditi pertanian adalah padi ladang, jagung, kedelaii, pisang, kacang
tanah, ubi kayu, ubi jalar, dan keladi. Potensi terbesar adalah ubi kayu. Penggunaan
lahan di kecamatan Siberut selatan meliputi hutan dan areal budidaya sebagaimana Tabel
7.6.
Tabel 7.6. Penggunaan lahan oleh masyarakat Siberut Selatan

No. Jenis penggunaan Luas (ha) Persentase terhadap luas Kecamatan


(%)
1. Pemukiman 324 0,64
2. Sawah 190 0,37
3. Kebun campuran 3.094 6,09
4. Perkebunan 108 0,21
5. Hutan 41.561 81,76
6. Belukar 5.212 10,25
7 Lain-lain 344 0,68
Data menunjukkan lebih dari 89% areal kecamatan masih berhutan, ini
menunjukkan ketersediaan habitat satwaliar untuk kepentingan ritual dan pemanfaatan
tradisional (Gambar 7.6). Sedangkan kebun campuran, 6,09% adalah areal sumber
pangan dan ekonomi masyarakat lokal (Gambar 7. 7).

Sintesis 2010-2014 | 117


Gambar 7.6 dan 7.7. Hutan di areal kecamatan dan kebun campuran masyarakat lokal di
daerah penyangga TN Siberut

Rendahnya kerapatan penduduk dan areal pemukiman yang menyebar serta


kearifan lokal masyarakat dalam mengelola hutan dapat menunjang keamanan dan
kelestarian satwa serta habitatnya di kawasan taman nasioanal. Hal ini diperkuat dengan
adanya jalur hijau hutan alam selebar 1,5 km dari pemukiman. Hal ini serupa yang
disarankan untuk membatasi taman nasional dengan hutan produksi sebagai penyangga
selebar 1700 m (Bismark et al., 2012b).
Dengan kondisi kerapatan penduduk yang relatif rendah (30,34 jiwa/km2), populasi
satwa yang stabil dan bagian desa yang masih berhutan lebih dari 80%, maka
pengelolaan zonasi taman nasional lebih memberikan peluang masyarakat tradisional
mendapatkan sumberdaya biodiversitas di dalam taman nasional. Dari seluas 192.655 ha
taman nasional, 52,8% nya dikelola sebagai zona pemanfaatan tradisional, sedangkan
zona inti hanya 24,2 %. Adapun untuk pemukiman ditetapkan sebagai zona kampung
seluas 23,1%. Zona kampung ini didominasi oleh hutan dan kebun campuran, seperti di
Siberut Tengah, kawasan hutan 83,6% dan kebun campuran 10,02%. Sumber pangan
dari Siberut Selatan didominasi oleh hasil padi sawah 54 ton/tahun, ubi kayu 30
ton/tahun dan ubi jalar 72 ton/tahun. Jenis lain adalah kacang tanah dan keladi.
B. Potensi di Daerah Penyangga

Daerah penyangga merupakan kawasan pendukung kawasan konservasi dalam


mempertahankan kelestarian ekosistem dan keanekragaman hayati, disamping itu
daerah ini sangat potensial untuk dikelola sebagai jasa lingkungan yang terdiri dari
asset wisata; penyangga konservasi; kawasan budidaya; penghasil tanaman
perkayuan dan obat-obatan, keragaman hayati, kandungan karbon dan air.
Nilai ekonomi jasa lingkungan daerah penyangga TN Kerinci Seblat, Rawa
Bento, Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi (Tabel
7.7)(Putra, 2011)

Sintesis 2010-2014 | 118


Table 7.7. Valuasi ekonomi jasa lingkungan di Rawa Bento, daerah penyangga TN
Kerinci Seblat
No. Parameter Nilai Ekonomi (Rp/tahun) Persentase (%)
1. Ekowisata 2.627.742.000,- 23,40
2. Kayu bakar 1.023.100.000,- 9,11
3. Pakan ternak 250.087.500,- 2,22
4. Perikanan 50.172.000,- 0,44
5. Air domestik 615.257.837,- 5,87
6. Air perikanan 1.761.666,- 0,016
7. Air pertanian 142.172.000,- 1,32
8. Penyerapan karbon 6.511.437.959,- 57,95
9. Nilai pelestarian 188.180/orang 0,001
Total 11.228.899.147,- 100

Selanjutnya, tipologi masyarakat yang didasarkan pada pengelolaan lahan dalam


rangka ketahanan pangan dan pendapatan dibagi menjadi dua yaitu sawah dan
ladang/kebun. Sawah terletak pada kelerengan yang cukup landai dan dilakukan
dengan membuat terasering yang cukup baik, sedangkan ladang/kebun umumnya
terletak pada lahan dengan kemiringan yang cukup tajam dan berada agak jauh dari
pemukiman masyarakat ( Tabel 7.8).
Tabel 7.8. Bentuk pengelolaan lahan dan pendapatan masyarakat di Kec. Cibeber,
TN Halimun-Salak
Lokasi (Kampung. Desa)
Lebak
Cirotan Ciparay, Naga,
No Indikator Dengkleng. Sembada,
Atas, Citorek Citorek
Sukamulya Citorek
Cihambali Timur Tengah
Kidul
1. Sawah

a. Kepemilikan Hak milik - Kawasan Hak milik Hak milik


hutan
b. Luas sawah 0.04-0.05 - 0.02 0.25-1 0.5-1
(ha)
c. Jenis padi Lokal - Lokal Lokal Lokal
d. Frekuensi 2 kali/tahun - 2kali/tahun 1 kali/tahun 1 kali/tahun
Penanaman
e. Sistem Irigasi non - Irigasi non Irigasi non Irigasi non
pengairan teknis teknis teknis teknis
2. Ladang/ kebun
a. Kepemilikan Hak milik Kawasan Kawasan Hak milik Hak milik
TNGHS TNGHS
b. Luas ladang 0.5-1 0.05-0.25 0.25-1 0.25-1 0.25-1

Sintesis 2010-2014 | 119


Lokasi (Kampung. Desa)
Lebak
Cirotan Ciparay, Naga,
No Indikator Dengkleng. Sembada,
Atas, Citorek Citorek
Sukamulya Citorek
Cihambali Timur Tengah
Kidul
c. Sistem Agroforestri Agroforestri, Agroforestri Agroforestri Agroforestri,
berladang Monokultur ,monokultur monokultur
d. Kelerengan 30-45 % 20 % 20% 15-20% 5-10%
e. Jenis tanaman

Kayu jeunjing, agathis, jeunjing, jeunjing. jeunjing,


ky. afrika, mahoni, ky. Afrika Ky. Afrika ky. Afrika
mahoni & rasamala,
tisuk puspa, pinus

Tanaman Pisang, Jambu biji, Jambu, Pisang, Jambu air,


pertanian durian, nangka, jeruk jengkol, limus, cabe
dan MPTS kelapa, kelapa, durian, keriting
peteuy, nanas, jambu air,
kecapi jambu bol,
rambutan,
nanas ,terong
Tanaman Cengkeh, Aren, - Kopi, aren Aren
industri Aren cengkeh
Tanaman - Kumis - - Jahe, kunyit,
obat kucing, jahe laja. kucai,
kumis
kucing
3. Perikanan - Ikan mas dan Ikan mas dan Ikan mas dan Ikan mas dan
nila nila nila nila
4. Peternakan Ayam Ayam, Ayam Ayam, Ayam, bebek
kambing Bebek manila,
manila, kerbau.
domba, Domba
kerbau
5. Rata-rata 550.000 – 1.500.000 1.500.000 1.175.000- 1.350.000-
pendapatan 1.500.000 1.700.000 1.700.000
Rp./Bln/KK

1. Keaneragaman Hayati
Populasi primata di areal hutan produksi di daerah penyangga TN Siberut yang
terkena dampak penebangan akan turun 20%. Tabel 7.9 menunjukkan populasi
primata di areal bekas tebangan LOA 5 tahun tidak berbeda dengan populasi di
taman nasional. Untuk itu wilayah konservasi dapat ditunjuk pada areal bekas

Sintesis 2010-2014 | 120


ditebang 5 tahun dengan populasi jenis primata arboreal sejumlah 125 individu
sebagai populasi efektif.

Tabel 7.9. Populasi primata (individu/km²) di Cagar Biosfer Siberut


Hutan Bekas LOA 5 Tahun
Hutan Primer
Jenis Tebangan Siberut TN Siberut*)
Siberut Utara
Siberut Utara Selatan
H. klossii 8,14 6,54 4,26 4,45
S. concolor 10,99 8,70 7,56 8,84
P. potenziani 10,14 10,32 7,40 6,60
M. pagensis 31,56 33,10 19,74 2,65

Hutan rakyat di Desa Madobag yang merupakan bagian dari daerah penyangga,
menunjukkan potensi primata yang sulit ditemukan, terutama jenis Hylobates dan
Simias, yang hidup arboreal dan membutuhkan kanopi yang baik untuk perlidungan
dari perburuan, jumlah individu rata-rata 22,4 (Bismark et.al, 2011) (Tabel 7.10).

Tabel 7.10. Populasi primata di lokasi penelitian.

Populasi (individu/km2)
Jenis Primata Desa Madobag (2012) TN. Siberut
2009 2010
Hylobates klossii 12,1 4,45 8,9
Simias concolor - 8,84 4,6
Presbytis potenziani 4,6 6,60 4,2
Macaca siberu 5,7 2,65 5,3
Jumlah individu 22,54 23
P. potenziani primata pemakan daun dan M. pagensis yang bersifat
semi terestrial dapat bertahan di lokasi dekat dengan pemukiman, sedangkan di areal
yang jauh dari pemukiman mudah teramati adalah H. klosii karena populasi cukup
tinggi dibanding dengan populasi TNS.
Di daerah penyangga TN Kutai dijumpai pohon buah-buahan lokal yang
dipanen dari hutan, dikelola dalam hutan atau setengah dibudidayakan di pekarangan
atau di kebun rakyat diantaranya Krantungan (Durio oxleyanus), Kasturi (Mangifera
casturi), keledang (Artocarpus lanceifolius), mundar (Garcinia celebica), maritam
(Nephelium juglandifolium). Keanekaragaman jenis tanaman buah-buahan di
Kalimantan cukup tinggi dan beberapa termasuk endemik diantaranya 24 jenis
mangga liar, 16 jenis rambutan (Nephelium lappaceum) dan durian (Durio
sp.)(Sawitri et al.,2011).
Selain memanfaatkan berbagai jenis tanaman yang ada di sekitarnya, masyarakat
juga memanfaatkan berbagai jenis ikan di S. Sangata (Tabel 7.11) dan burung

Sintesis 2010-2014 | 121


seperti rangkong (Rhinoplas vigil), punai (Treron sp.) dan beo (Gracula religiosa)
baik untuk dikonsumsi sendiri maupun diperjualbelikan (Sawitri et al. 2011).
Tabel 7.11. Jenis ikan dari S. Sangata yang dikonsumsi dan diperjual-belikan
Harga
Nama Lokal Nama Latin
(Rupiah/kilogram)
Haruwan/Toman/Gabus Channa melasoma 35.000,- -40.000,-
Channa striata
Channa cyanospilos
Channa melanoptera
Channa pleurophithalmus
Channa marulioides
Sili Macrognathus aculatus 60.000,-
Macrognathus maculatus
Mastacembelus
notophthalmus
Sepat Trichogaster leerii 10.000,-
Trichogaster trichopteris
Trichogaster pectoralis
Trichopsis villata
Sphaerichthys selatanensis
Sphaerichthys vaillanti
Sphaerichthys
osphromenoides
Sphaerichthys acrostoma
Sidat Anguilla marmorata 25.000,-
Terumpah Cynoglossus puncticeps 15.000,-
Pseudothombus arsius
Puyu Anabas testudineus 30.000,-
Batu Helostoma temminchii 15.000,-
Baung Mystus nemurus 35.000 – 40.000,-
Mystus gulio
Mystus nigriceps
Mystus micracanthus
Mystus bimaculatus
Patin Pangasius nieuwenhuisii 35.000 – 40.000,-
Lele Clarias leiacanthus 20.000 – 25.000,-
Keting Arius spp. 20.000 – 25.000,-
Sembilang Brachygobius aggregatus 30.000 – 40.000,-
Lumbat Ompok leiacanthus 20.000 – 30.000,-
Ompok euganeiatus
Ompok sabarus
Ompok hypophthalmus
Ompok bimaculatus
Kryptoptemus parvarialiss

Sintesis 2010-2014 | 122


Harga
Nama Lokal Nama Latin
(Rupiah/kilogram)
Kryptoptemus
palembangensis
Kryptoptemus schilbeides
Silurichthys hasseltii
Silurichthys phaiosoma
Julung-julung Hemirlamphodon phaisoma 15.000 – 20.000,-
Hemirlamphodon neglectus
Kerapu Epinephelus spp 35.000 – 40.000,-
Kakap Lutjanus fuscescens 15.000 – 20.000,-
Lutjanus maxweberi
Lutjanus johnii
Mujair Oreochronius mossambicus 10.000 – 15.000,-
Belanak Mugil cystachius 30.000 – 40.000,-
Ikan Mas Cyprinus carpio 34.000 – 40.000,-
Seluang Punctius spp 15.000 – 20.000,-
Rasbora spp
Karper Osteochilus spp 10.000 – 15.000,-
Oxygaster anomalura
Parachela hypophthalmus
Parachela oxygastroides

Penangkapan ikan dilakukan dengan cara memancing, menjaring, meracun


maupun menyetrum. Cara memancing secara tradisional, untuk ikan-ikan kecil
seperti ikan seluang (Rasbora spp.) menggunakan umpan kail kelapa. Sedangkan
untuk jenis ikan lainnya digunakan umpan seperti ulat bambu, usus ayam dan ikan-
ikan kecil. Banyaknya orang yang memancing di S. Sangata 10 orang per hari per
dusun, hasil rata-rata 3-5 kg per orang. Hasil tangkapan ikan tersebut umumnya
dijual atau dikonsumsi sendiri. Di daerah penyangga TN Siberut berpotensi sebagai
habitat dipterocarpaceae (Tabel 7.12).
Tabel 7.12. Potensi Dipterocarpaceae di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai
Saibi Cagar Biosfer P. Siberut

Tinggi Kerapatan Basal Area Indeks Nilai Keragaman


Keadaan rata- (Batang/ha) (m2/ha) Penting Jenis
Hutan rata
Pohon Tiang Pohon Tiang Pohon Tiang Pohon Tiang
(m)
Primer 23,5 24,0 13,34 10,83 0,23 123,3 43,66 0,23 0,15
Bekas
tebangan < 19,6 9,3 4,0 1,6 0,04 64,7 16,3 0,19 0,08
1 tahun

Sintesis 2010-2014 | 123


Keadaan Tinggi Kerapatan Basal Area Indeks Nilai Keragaman
Hutan rata- (Batang/ha) (m2/ha) Penting Jenis
Bekas rata
tebangan 5 (m)
21,3 8,0 5,34 0,79 0,08 27,9 19,9 0,12 0,09
tahun

Sebaran sebaran tinggi pohon disajikan pada Gambar 7.8, Gambar 7.9 dan
Gambar 7.10.

45 45 45
40 40 40
35 35 35
30 30 30
Tinggi (m)
Tinggi (m)

Tinggi (m)
25 25 25
20 20 20
15 15 15
10 10 10
5 5 5
0 0 0
1 31 61 91 121 151 181 211 241 271 301 331 1 31 61 91 121 151 181 1 31 61 91 121 151 181 211 241 271 301 331
Nomor Pohon NomorNomorpohon
Pohon Nomor pohon
Nomor Pohon
(Number of (Number of
trees) trees)
Gambar 7.8., 7.9 dan 7.10. Grafik sebaran tinggi pohon pada hutan primer, LOA 1
tahun, dan LOA 5 tahun di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi cagar
biosfer P. Siberut (Bismark dan Heriyanto, 2007).
Pada Gambar 7.8., jenis pohon yang mendominasi tinggi pada strata A (> 30
m) yaitu koka (Dipterocarpus elongatus Korth.), katuko (Shorea johorensis Foxw.)
dan kasai (Callophyllum pulcherrimum Wall.); jenis yang mendominasi strata B (20
m – 30 m) yaitu alibagbag (Endospermum diadeneum (Miq.) A. Shaw.), roan
(Horsfieldia irya Warb.) dan rimbo (Glochidion sp.); strata C (10 m – 20 m) yaitu
tumu (Chamnosperma sp.), kosoi (Aporosa sp.) dan langkuk (Eugenia sp.).
Jenis pohon yang mendominasi tinggi (Gambar 7.9) pada strata A (> 30 m) yaitu
rimbo (Glochidion sp.), alibagbag (Endospermum diadeneum (Miq.) A. Shaw.) dan
kasai (Callophyllum pulcherrimum Wall.); jenis yang mendominasi strata B (20 m-
30 m) yaitu katuko (Shorea johorensis Foxw.), roan (Horsfieldia irya Warb.) dan
koka (Dipterocarpus elongatus Korth.); strata C (10 m-20 m) yaitu tumu
(Chamnosperma sp.), kosoi (Aporosa sp.) dan langkuk (Eugenia sp.).
Pada Gambar 7.10, jenis yang mendominasi tinggi pada strata A (> 30 m) yaitu
koka (Dipterocarpus elongatus Korth.), alibagbag (Endospermum diadeneum (Miq.)
A. Shaw.) dan roan (Horsfieldia irya Warb.); jenis yang mendominasi strata B (20 m
– 30 m) yaitu katuko (Shorea johorensis Foxw.), roan (Horsfieldia irya Warb.) dan
koka (Dipterocarpus elongatus Korth.); strata C (10 m – 20 m) yaitu roan
(Horsfieldia irya Warb.), kosoi (Aporosa sp.) dan rimbo (Glochidion sp.).
Potensi daerah penyangga Taman Nasional Gn Halimun Salak antara lain
untuk pengembangan lebah madu dan sutera. Jenis lebah madu yang dapat

Sintesis 2010-2014 | 124


dikembangkan adalah Apis cerana. Budidaya lebah ini memberikan hasil B/C ratio
1,025-1,109, IRR 23,77%-43,79% dan NPV positif. Sedangkan pengembangan
sutera berasal dari 3 hibrid ulat sutera hasilnya tinggi dilihat dari perbandingan rasio
kulit dan kokon 20% dan berat kokon 1,48-1,84 hr/kokon dengan pemberian pakan
daun murberi yang berproduksi 538-760 gr/pohon/pangkas.
Di daerah penyangga TN Lore Lindu, masyarakat adat Suku Kaili di Desa
Pakuli, Kecamatan Gumbasa sebagian besar mata pencaharian utamanya sebagai
petani dan pekerjaan sampingan terkait dengan kelompok pemberdayaan masyarakat
yang diikuti, baik sebagai pengambil tanaman obat di hutan, pemelihara tanaman di
plot percontohan tanaman obat (2 ha) maupun pembuatan gula aren dan pembuatan
kue tradisional malese (Bismark et al., 2012). Desa Pakuli merupakan Model Desa
Konservasi dengan tiga kelompok binaan Asyifa sebanyak 50 orang, KPLH Palapi
sebanyak 10 orang dan Sangurara sebanyak 30 orang. Pengambilan tanaman obat
berupa daun, batang, akar, bunga, buah, kulit batang dan bagian tanaman kainnya,
dilakukan oleh anggota kelompok dengan upah berkisar antara Rp. 100.000,- - Rp
200.000,- per karung sesuai dengan jenis tanamannya seperti sarang semut, leangaru,
daun dadap, daun bekawa, daun mangga, daun kemiri, akar kuning dan rumput-
rumputan (Gambar 7.11).

Gambar 7.11. Jenis-jenis bahan obat-obatan


Jenis tanaman obat yang telah digunakan tercatat sebanyak 300 jenis, sebagai
hasil survey antara anggota Asyifa, BPPT dan NGO Korea Selatan. Pembinaan yang
telah dilakukan oleh TNLL terhadap kelompok ini berupa perlengkapan berkebun,
pelatihan tanaman obat dan keikutsertaan di pameran.
Sebanyak 81 jenis tumbuhan hutan berkhasiat sebagai obat teridentifikasi pada
kawasan TNAL yang digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional.

Sintesis 2010-2014 | 125


Sebanyak 15 jenis ditemukan pada Desa Gosale, sebanyak 20 Jenis pada Desa
Akejawi dan sebanyak 46 jenis pada Dusun Tayawi. Berdasarkan habitus tumbuhan,
kategori pohon paling banyak dengan persentase sebanyak 42,68 %, herba 28,05 %,
liana 19,51 % serta perdu dan palma dengan masing-masing persentase 4,88%.
Bagian yang banyak dimanfaatkan adalah daun sebanyak 40,00%, batang 18,95%,
kulit 15,79%, akar 10,53 %, batang bagian dalam 5,26 %, seluruh bagian tumbuhan
4,21%, getah 3,16 % serta biji dan bunga dengan masing-masing persentase sebesar
1,05%.
2. Kesuburan Lahan
Necromass adalah bagian organ dari tumbuhan (daun, ranting, batang, akar, bunga
dan buah), baik yang telah lapuk maupun yang belum, yang ada di atas permukaan
tanah. Peran necromass dalam siklus karbon adalah akan menghasilkan emisi CO2
dalam proses pelapukan bahan tersebut dan hasil akhir dari proses ini yaitu tersedianya
bahan organik yang dapat diserap oleh akar tumbuhan (Morikawa, 2002). Potensi
necromass di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7.13.
Tabel 7.13. Potensi necromass di Cagar Biosfer Pulau Siberut
Biomasa Kandungan Serapan CO2
Keadaan hutan Plot
(ton/ha) karbon (ton C/ha) (ton CO2/ha)
1 0,63 0,32 1,17
Hutan primer
2 0,73 0,37 1,36
3 0,60 0,30 1,10
Rata-rata 0,65 0,33 1,21
1 0,84 0,42 1,54
Bekas tebangan 1 tahun 2 0,87 0,44 1,61
3 0,65 0,33 1,21
Rata-rata 0,78 0,39 1,43
1 0,84 0,42 1,54
Bekas tebangan 5 tahun 2 0,68 0,34 1,25
3 0,68 0,34 1,25
Rata-rata 0,73 0,37 1,36

Dari Tabel 7.13, dapat diterangkan bahwa potensi necromass di hutan bekas
tebangan satu tahun paling tinggi dibandingkan dengan hutan bekas tebangan lima
tahun maupun hutan primer. Hal ini disebabkan pada hutan bekas tebangan satu tahun
masih banyak sisa-sisa pembalakan yang masih belum terdekomposisi dengan
sempurna.
Hubungan potensi necromass dengan beberapa parameter kesuburan tanah hutan
produksi Siberut disajikan pada Tabel 7.14. Potensi necromass terkait dengan
kesuburan tanah yang akan mempengaruhi pertumbuhan anakan dalam suksesi di
kawasan hutan bekas tebangan. Berdasarkan analisis contoh tanah (kedalaman 5 cm)
di kawasan bekas tebangan dibandingkan dengan hutan primer, terdapat perbedaan

Sintesis 2010-2014 | 126


dalam beberapa parameter, diantaranya Kapasitas Tukar Kation (KTK), C/N, dan
P2O5 dari hutan primer menurun sampai bekas tebangan lima tahun.
Tabel 7.14. Potensi necromass dan kesuburan tanah di daerah penyangga TN Siberut
Lokasi
Parameter Hutan primer Tebangan 1 Tebangan 5 tahun
tahun
Necromass (ton/ha) 0,65 0,78 0,73
C/N 10,2 – 10,3 9,9 – 12,6 6 – 12,8
P2O5 (ppm) 4,8 – 7,2 4,6 – 7,9 5,26 – 11,2
KTK (me/100g) 38,59 – 41,67 16,63 – 21,5 9,9 – 17,9

3. Potensi Wisata
Potensi wisata di kawasan TNKS di Kabupaten Pesisir Selatan belum dikelola,
namun sebagian areal sudah menjadi andalan objek wisata yang dikenal oleh
masyarakat. Potensi wisata yang terdapat di dalam kawasan seperti Air Terjun Lumpo,
jembatan akar, serta batu bidak (Gambar 7.12).

Gambar 7.12. Obyek wisata batu biduak/batu perahu dan jembatan akar di daerah
penyangga, Taman Nasional Kerinci Seblat
Pengelolaan Wisata Bedul, di daerah penyangga dan kawasan TN Alas Purwo,
merupakan wisata mangrove di estuaria. Infrastruktur areal wisata terdiri dari tiket,
penitipan kendaraan, pemandu, kebersihan, sebanyak 10 orang dengan jadwal tugas
4 orang/hari. Karcis pengunjung: wisatawan mancanegara Rp. 20.000,- (TNAP) +
Rp. 4.500,-; wisatawan lokal Rp. 2.500,-(TNAP) + Rp. 4.500,-; pelajar Rp. 1.250,-
(TNAP) + Rp. 4.500,-; penitipan motor Rp. 1.000,-, mobil Rp. 3.000,- dan Rp.
3.500,- untuk perahu. Sejak bulan Agustus telah mengalami kenaikan untuk karcis
masuk kawasan. Penggunaan uang karcis yaitu setor ke desa Rp. 500,-/orang, setor
ke Perhutani Rp 300.000,- - Rp. 500.000,-/bulan, Gaji Rp. 500.000,-. MOU perijinan
pengelolaan areal wisata tersebut dilakukan antara Badan Pengelola Desa
Sumberasri, Departemen Kehutanan dan Perhutani. Kegiatan wisata telah
dilaksanakan dalam bentuk paket wisata berupa Atraksi penyu bertelur 10-15 orang

Sintesis 2010-2014 | 127


(Biaya Rp. 500.000,- - Rp. 227.000,- untuk pertahu) di Ngagelan; Paket Kere,
menginap di tempat nelayan mencari udang (Tunder) Rp. 200.000,- - Rp. 97.000,-
untuk perahu); Paket ke Cungur melihat burung migran, bulan Agustus (Rp.
260.000,- - Rp. 127.000,- untuk perahu). Pengunjung ke lokasi ini selama tahun
2113, sejumlah 36.539 jiwa. Partisipasi pengelola yang berasal dari Sumberasri
terhadap kawasan adalah mengikuti penanaman mangrove dan pengamanan kawasan
dari perburuan liar, pengambilan rencek, penebangan kayu. Stakeholder dan
pembangunan yang telah dilakukan diantaranya oleh Dinas Pariwisata melalui
pembinaan PNPM Homestay, atap dan kursi perahu; Pemerintah Daerah TK II
membangun pembangunan darmaga, dan rumah souvenir; Pihak pengelola dari
BUMDES Sumberasri adalah pembangunan rumah ibadah; TN Alas Purwo membuat
bangunan gapura; Dinas Perikanan dan Kelautan memberikan bantuan kepada
kelompok nelayan setiap tahun, mesin pembuatan krupuk dan presser, pembelajaran
pemanggangan ikan; sedangkan masyarakat membentuk Kelompok Sadar Wisata
“Pok darwis” tahun 2008, homestay 12 rumah, tarif Rp. 60.000,-/orang, agrowisata
blimbing, jeruk dan buah naga, home industri krupuk tempe, acara pethik laut di
Bedul dan Grajagan, budidaya lele, kelompok perahu 10 orang, warung makanan 7
tempat, kelompok kambing 30 orang, 15 ekor, iuran Rp. 100.000,- /anak kambing.
Pengembangan areal wisata ini masih mengalami beberapa permasalahan yaitu
kurangnya pendampingan oleh petugas TNAP di loket karcis; karcis belum terpadu;
promosi belum optimal; belum adanya rencana penataan ruang dan lanskap;
kurangnya bangunan fasilitas umum seperti visitor center tentang mangrove, aula
pertemuan, tempat permainan anak, kolam berendam/renang, tracking di dalam
kawasan mangrove, pelebaran jalan 0,5 m kiri kanan jalan, pengisian souvenir shop
dan perluasan darmaga (Sawitri, 2014). Disamping itu, akibat belum adanya
penataan ruang maka tambatan perahu nelayan di sekitar hutan mangrove
mengganggu pertumbuhan anakan mangrove; menipisnya ketebalan mangrove
memicu terjadinya wabah cikunguya, dan pemanfaatan biota perairan oleh
masyarakat masih menggunakan jaring dengan berukuran mess besar
mengakibatkan hasil biota perairan yang kecil ikut terjaring.
D. Strategi Pengembangan Daerah Penyangga
1. Kelembagaan
Pengelolaan daerah penyangga selain keterlibatan stakeholder juga diikuti
dengan peraturan-peraturan, seperti daerah penyangga TN Lore Lindu dalam wilayah
Cagar Biosfer dimana kawasan intinya Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) seluas
503.738 ha, tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 6
Tahun 2006. Perda ini memuat tujuan pengelolaan daerah penyangga TNLL untuk
menyeleraskan pembangunan daerah dengan program pembangunan TNLL sebagai
satu kesatuan pembangunan yang terpadu, meningkatkan dan mengembangkan
konservasi lingkungan bagi masyarakat di daerah penyangga guna mewujudkan
interaksi positif antar kebutuhan masyarakat dan TNLL, serta mengurangi dampak

Sintesis 2010-2014 | 128


negative akibat pembangunan sehingga keberadaan dan fungsi TNLL sebagai
kawasan konservasi dapat lestari.
Strategi pengelolaan yang digunakan dalam mewujudkan tujuan tersebut adalah
penataan struktur dan pemanfaatan ruang, kebijaksaan tata guna/lahan, tata guna air,
tata guna udara dan tata guna sumber daya alam, kebijaksanaan pengembangan
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan serta kelembagaan
dan kemitraan. Penyelenggaraan pengelolaan daerah penyangga tersebut dilakukan
dengan membentuk Tim Koordinasi Pengelolaan–Daerah Penyangga TNLL Propinsi
dan Kabupaten serta forum kemasyarakatan di desa- desa.
Hak dan kewajiban masyarakat diantaranya adalah: mengetahui rencana
pengelolaan daerah penyangga, berperan dalam pengelolaan daerah penyangga,
menikmati manfaat dari pengelolaan daerah penyangga, pengakuan/perlindungan
hak-hak keperdataan masyarakat setempat, memelihara dan meningkatkan fungsi dan
kualitas daerah penyangga serta berlaku tertib atas rencana pengelolaan daerah
penyangga.
Rambu-rambu yang diberlakukan kepada masyarakat guna kelancaran
pengelolaan daerah penyangga TNLL meliputi berbagai larangan:
1) Melakukan kegiatan yang dapat merubah fungsi peruntukan, penggunaan dan
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung lahan
2) Penebangan pohon di sekitar sempadan sungai dan mata air serta daerah lereng
terjal
3) Membuka dan mengolah lahan kebun di daerah lereng terjal, kecuali
menggunakan teknologi konservasi tanah
4) Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan kebakaran hutan
5) Melakukan kegiatan yang dapat mencemari air
6) Melakukan perburuan satwaliar yang dilindungi
7) Melakukan kegiatan yang dapat merusak situs peninggalan budaya dan purbakala
8) Menangkap ikan atau mahluk air lainnya dengan menggunakan strum, zat kimia,
racun dan bahan peledak
9) Pengelolaan lahan masyarakat berkaitan erat dengan mata pencaharian utama
maupun sumber pendapatan keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masyarakat Jorong Bangun Rejo memiliki kesadaran yang cukup tinggi dalam
menkonservasi kawasan TNKS dengan melakukan patroli secara swakarsa yang
beranggotakan 21 orang (Gambar 7.13). Kelembagaan pengelolaan daerah
penyangga kedua taman nasional tersebut dapat dilihat dalam diagram berikut
(Gambar 7.14 dan 7.15).

Sintesis 2010-2014 | 129


Gambar 7.13. Patroli swakarsa masyarakat setiap bulan
Sumber: Abbas (2010)

TNKS PEMDA

ICDP Peternakan Pertanian DISHUT Pariwisata

Zonasi TN Masyarakat Kawasan hutan Kawasan Objek


batas DP wisata DP

Patroli Swakarsa Kelompok Tani KBR Agrowisata

Zona Khusus
Agroforestri,
Peternakan
Desa Konservasi Restorasi TN Zona Pemanfaatan

Zona
Rehabilitasi

Gambar 7.14. Keterlibatan para pihak, program, peran, dan kegiatan di daaerah
penyangga terhadap pengelolaan TN Kerinci Seblat

Sintesis 2010-2014 | 130


TNLL PEMDA

Masyarakat PERDA Tim Koordinasi


Pengelolaan DP

Kelompok tani Cakar Maleo Penggiat obat- Zonasi TN Kehutanan Pertanian Peternakan
obatan

Pola
Penangkaran Plot tanaman obat-
penggunaan Gerhanas
Maleo obatan dan
lahan
masyarakat

Rehabilitasi Penyuluhan, Hasil Hutan Non Rehabilitasi


sungai pendidikan Kayu
konservasi

Pelestarian
budaya/masyarakat adat Agroforestri
pengguna telur maleo

Gambar 7.15. Keterlibatan para pihak, kegiatan, dan pemanfaatan lahan dalam
pengelolaan daerah penyangga TN Lore Lindu

2. Kearifan Lokal di Daerah Penyangga


Kearifan lokal masyarakat dalam mengelola lahannya tercermin dari tipologi
masyarakat sebagai pelakunya. Umumnya, etnis Jawa menitikberatkan pada sistim
usahatani secara intensif dengan budidaya berbagai jenis tanaman pangan semusim
dan sayur-sayuran (Gambar 7.16), kebun rakyat pada etnis Kutai adalah kombinasi
antara berbagai tanaman pangan semusim (singkong), sayur-sayuran, tanaman
serbaguna serta tanaman buah-buahan dan pola usahatani kebun rakyat pada etnis
Bugis didominasi oleh tanaman pangan semusim (jagung) dan beberapa jenis
tanaman buah-buahan seperti nangka, rambutan dan kelapa (Gambar 7.17)(Sawitri
et al, 2011)

Sintesis 2010-2014 | 131


Gambar 7.16. Pola Usahatani di Kebun Milik pada etnis Jawa

Gambar 7.17. Pola Usahatani di Kebun Milik pada etnis Kutai dan Bugis
Masyarakat di daerah penyangga TNKS, kearifan lokal adalah mengembangkan
perkebunan karet dan kebun campuran dengan sistem agroforestri (Gambar 7.18)

Gambar 7.18. Kebun agroforestri dan kebun karet rakyat

Sintesis 2010-2014 | 132


Pengelolaan lahan milik berupa perkebunan karet murni yang tidak intensif dan
efektif memberikan pendapatan yang kurang memadai sehingga masyarakat
membuka lahan di dalam kawasan TNKS untuk dijadikan kebun dengan tanaman
bernilai ekonomis. Tetapi masyarakat di daerah penyangga di Jorong Bangun Rejo,
membangun kebun campuran yang terdiri dari tanaman karet dan padi gogo ataupun
rumput gajah, sedangkan tanaman kelapa sawit dengan kopi dan suren.
Potensi masing-masing pola pemanfaatan lahan yang ada di kawasan penyangga
Taman Nasional Aketajawe Lolobata blok Lolobata dapat dilihat dibawah ini :
Tabel 7.15. Struktur dan komposisi daerah penyangga TNAL
Pola Potensi Manfaat ekonomi Manfaat ekologi
Hutan sekunder - Keanekaragaman - Sumber pendapatan - Pelestarian
jenis tanaman - Satwa bernilai biodiversitas
- Habitat satwa ekonomis tanaman
- Penyimpan air - Manfaat air - Habitat dan
populasi satwa
- Nilai jasa
lingkungan
Hutan rakyat - Pohon hutan dan - Pendapatan - Pelestarian eks-
budidaya masyarakat situ
- Industry kayu
Kebun - Kayu - pendapatan - budidaya
campuran - tanaman masyarakat - pelestarian eks-situ
perkebunan - sumber gizi - biodiversitas
- pangan masyarakat
- buah-buahan
- sayuran
Kebun - tanaman - pendapatan - budidaya
perkebunan masyarakat - pelestarian eks-situ
Kebun - tanaman - pendapatan - budidaya
tumpangsari perkebunan masyarakat - pelestarian eks-situ
- buah-buahan - sumber gizi
- sayuran masyarakat
Hortikultura - buah-buahan - pendapatan - budidaya
- sayuran masyarakat - pelestarian eks-situ
- sumber gizi
masyarakat
Sawah - sumber pangan - pendapatan - budidaya
masyarakat
- sumber kebutuhan
pangan makanan
Pedesaan - pemukiman - peningkatan - lingkungan
- sarana jalan pendapatan pedesaan
- kebun masyarakat - berkurangnya
pekarangan - lapangan kerja intervensi ke hutan

Sintesis 2010-2014 | 133


Pola Potensi Manfaat ekonomi Manfaat ekologi
- kerajinan - konservasi tanah
- industry dan air
pertanian
- pemeliharaan
ikan

Sistem usahatani berbasis kelapa yang digabungkan dengan tanaman sela (kebun
campuran) tidak hanya meningkatkan pendapatan dari segi diversifikasi hasil
produksi saja namun juga akan memperbaiki airase tanah sehingga dapat
memperbaiki sistem perakaran dan meningkatkan daya serap terhadap unsur hara
yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas kelapa.
3. Persepsi Masyarakat
Persepsi masyarakat menyangkut pengelolaan kekayaan sumberdaya alam
daerah yang berorientasi peningkatan sosial ekonomi berhadapan dengan misi
perlindungan yang diemban kawasan konservasi taman nasional (Wiratno, et.al.
2004). Katagori persepsi menurut Ngakan et.al (2006) dibagi tiga, yaitu: (a) persepsi
baik, apabila masyarakat memahami dengan baik bahwa mereka bergantung hidup
dari hutan dan menginginkan agar hutan dikelola secara lestari; (b) persepsi sedang,
apabila masyarakat menyadari bahwa mereka bergantung hidup dari sumberdaya
hutan tetapi tidak memahami kalau hutan perlu dikelola dengan baik agar
manfaatnya bias diperoleh secara berkelanjutan dan (c) persepsi tidak baik, apabila
masyarakat tidak menyadari bahwa mereka bergantung hidup dari sumberdaya hutan
atau kepentingan lain yang membuat mereka cenderung berasumsi bahwa tidak perlu
menjaga kelestarian hutan. Keadaan yang terjadi di masyarakat tersebut perlu
diketahui agar pengelolaan potensi kawasan dapat diarahkan pada sistem kolaborasi
yang akan dilaksanakan oleh pihak yang terkait seperti masyarakat, pemerintah
daerah dan pengelola kawasan. Kondisi ini ditunjukkan oleh masyarakat di daerah
penyangga TNGHS (Sawitri dan Subiandono, 2011).
Dari ketiga persepsi tersebut, persepsi masyarakat Kp. Lebak Sembada, Ds
Citorek Kidul termasuk persepsi positif berdasarkan konservasi kawasan, sedangkan
persepsi masyarakat lainnya merupakan persepsi abu-abu karena mereka masih
menghendaki pembukaan areal pertambangan emas padahal kawasan ini telah
dimasukkan ke dalam TNGHS, sehingga diperlukan pengkajian kawasan, sosial
ekonomi masyarakat dan potensi geologi.
Persepsi masyarakat di daerah penyangga Taman Nasional Akatajawe Lolobata,
didasarkan pada tingkat pendidikan, etnis dan tingkat ketergantungan pada
sumberdaya hutan. Persepsi yang baik dijumpai pada masyarakat yang memahami
akan keberadaan taman nasional dan fungsinya terhadap konservasi keanekaragaman
hayati dam penyangga kehidupan, sehingga turut berpartisipasi aktif terhadap
kegiatan pengelolaan kawasan. Persepsi tingkat sedang terbatas pada pengertian

Sintesis 2010-2014 | 134


bahwa taman nasional merupakan kawasan hutan yang harus dijaga dan dilindungi
kelestariannya. Sedangkan, masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang rendah,
tradisional dan suku terasing tidak mengetahui fungsi taman nasional meyakini
bahwa hutan merupakan lahan adat warisan leluhur, sehingga memungkinkan
pembukaan kawasan sebagai lahan garapan budidaya pertanian seperti yang
dilakukan masyarakat Kulo dan Tajawi dari suku Togutil (Nurrani dan Tabba,
2013).
Persepsi masyarakat di sekitar TN Babul tentang manfaat kawasan hutan, pada
umumnya menyatakan bahwa manfaat taman nasional yang utama adalah manfaat
ekologi (59,4%) untuk mencegah terjadinya banjir, longsor serta menjaga
ketersediaan air. Selain itu manfaat lainnya yang dinyatakan masyarakat adalah
manfat ekonomi untuk memuni kebutuhan sehari-hari sebagai tempat untuk
berkebun, mengolah sawah serta mengambil hasil hutan bukan kayu (madu, nira
aren, dan biji kemiri) sehingga komoditas yang diinginkan masyarakat untuk
dikembangkan dalam kawasan adalah perkayuan dan MPTS, tanaman perkebunan
dan pertanian (Kadir et al., 2010).
Pengembangan wisata alam di Prevab-Mentoko, TN Kutai melibatkan
masyarakat Dusun Kabo Jaya yang terdiri dari Kampung jawa, Kampung Bugis,
Kampung Banjar, Kampung Tator dan Kampung Timur sesuai dengan etnis atau
daerah asalnya. Persepsi masyarakat dipengaruhi oleh umur, tingkat pendidikan
formal dan lama tinggal dimana pengembangan wisata alam diarahkan pada
responsible tourism dan memberikan dampak positif berupa tambahan penghasilan
dari homestay, usaha barang kerajinan, pemandu wisata dan penjualan hasil kebun
(Sayektiningsih, 2010).
E. KORIDOR
Dengan berkembangnya program pengembangan wilayah, penataan fungsi
kawasan semakin penting artinya dan bahkan semakin meningkatkan nilai dan
peluang pemanfaatan kawasan untuk menunjang pembangunan. Disisi lain,
kepentingan masyarakat dalam meningkatkan ekonomi memberi peluang pula bagi
peningkatan pemanfaatan sumberdaya tumbuhan dan fisik lahan, bahkan kegiatan
tersebut cenderung terjadi secara illegal. Untuk menyelaraskan kepentingan diatas,
dengan memperhatikan kepentingan pelestarian keanekaragaman tumbuhan dalam
ekosistemnya, maka dikembangkan sistem pengelolaan lahan di luar kawasan taman
nasional berupa koridor. Koridor merupakan areal memanjang di suatu lanskap dan
berbatasan dengan hutan dimana manusia beraktivitas sehingga menyebabkan
habitat satwa terfragmentasi. Koridor ini dibagi menjadi dua yaitu kesesuain habitat
berfungsi sebagai kelangsungan hidup dan reproduksi serta areal perlintasan
(Rosenberg et al., 1997)

Sintesis 2010-2014 | 135


Wilayah koridor merupakan penghubung ekosistem yang berfungsi sebagai
tempat terjadinya aliran genetik untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan
penyangga kehidupan (Rinaldi, 2008).
Koridor Halimun-Salak menghubungkan ekosistem Gn Halimun dan Gn
Salak meliputi wilayah administrasi Kabupaten Bogor yaitu Desa Purasari dan Desa
Purwabakti serta Kabupaten Sukabumi yang terdiri dari Desa Cihamerang, Desa
Cipetey dan Desa Kabandungan dengan luas total 4.206,18 ha (Natalia, 2012).
Kondisi koridor ini mengalami degradasi akibat infrastruktur bangunan dan
prasarana jalan, lahan pertanian, pemukiman serta konversi lahan hutan (Rinaldi,
2008). Hutan di koridor dari tahun 1990 – 2001, dari 666.508 ha menjadi 318.985
sehingga luasan fragmentasi dan degradasi sekitar 347.523 ha, serta lebar koridor
yang menyempit dari 1,4 km menjadi 0,7 km (Cahyadi, 2003). Kondisi koridor
Halimun- Salak sementara ini terdiri darin tutupan hutan primer (6,38%), hutan
sekunder (12,18%), semak belukar (35,29%), perkebunan teh 12,24%) dan pertanian
lahan kering (12,18%) (Natalia, 2012).

Di koridor ini dijumpai 58 jenis burung yang merupakan 23,8 % dari


keseluruhan jenis burung di TN Gn Halimun Salak, sedangkan komposisi semak
belukar merupakan habitat kesukaan burung prenjak jawa (Prinia familiaris) yang
juga pemakan biji-bijian, jenis burung lain yang dijumpai bersarang di lokasi ini
diantaranya cekakak cina (Halcyon pileata), puyuh batu (Coturnix chinensis),
cinenen (Orthothomus sp.), dan elang hitam (Ichtinaetus malayensis) dengan
memanfaatkan pohon rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii),
kaliandra (Calliandra callothyrsus) dan semak belukar ( Shofwan, 2006).
Burung elang ular bido (Spilornis cheela Latham, 1790), menggunakan pohon
yang dijumpai di koridor Halimun Salak sebagai tempat istirahat yaitu pohon kayu
afrika (Maesopsis eminii), jaret (Mastixia tricholoma), pasang (Querqus sp.) dan ki
putri (Podocarpus sp.) dimana bentuk pohon tinggi, cabang berukuran besar dan
mendatar serta tajuk tidak terlalu rapat (Purbahapsari, 2013). Pohon untuk bersarang
merupakan emergent trees, tinggi dan besar dengan tajuk yang rapat seperti pohon
rasamala (Altingia axselsa), puspa (Schima wallichii) dan ki hujan (Engelhardia
spicata). Disamping itu kawasan koridor meyediakan pakan potensial terdiri dari 10
jenis burung terestrial yang tidak banyak bergerak, 2 jenis mamalia, 8 jenis reptil dan
2 jenis amfibi.
Potensi kupu-kupu (Lepidopthera: Ditrisia) di kawasan koridor yang terdiri dari
hutan, lahan pertanian dan perkebunan teh paling banyak dijumpai famili
Nymphalidae yaitu jenis Yphtima sp. yang menyukai pohon Arecacea, Cyperaceae
dan Poaceae; sedangkan di Eurema sp. (Pieridae) dijumpai di pohon Caesalpiniceae,
Fabaceae dan Euphorbiaceae dan Delias belisima terdapat di pohon Poaceae.
Disamping itu, keragaman jenis kupu-kupu yang dominan tersebut tergantung pada

Sintesis 2010-2014 | 136


keragaman jenis pohon sebagai sumber pakan dan tempat bertelur sebagai tumbuhan
inang (Efendi, 2009).
Koridor Siberut yang telah di cadangkan untuk tidak dimanfaatkan adalah
selebar 1 km sepanjang batas hutan produksi seluas 6.870 ha, yang ditetapkan
sebagai daerah penyangga di hutan produksi menghubungkan antara Taman Nasional
Siberut dan hutan produksi. Menurut penelitian, minimal lebar vegetasi batas taman
nasional adalah 1,7 km. Fungsi dan sistem pengelolaan yang terstruktur dengan
sistim zonasi akan menyelaraskan fungsi pelestarian dan pemanfaatan serta
kepentingan sosial masyarakat, terutama masyarakat yang masih tergantung pada
sumberdaya hutan. Disamping itu untuk melindungi kawasan konservasi tersebut
dari dampak pengelolaan hutan produksi yang berbatasan dengan taman nasional.
Koridor gajah yang digagas Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI)
menghubungkan berada di landskap Bukit Tigapuluh dengan kawasan HTI karet PT
Lestari Asri Jaya (LAJ), kawasan eks HPH Dalek Hutani Esa (DHE) dan PT Tebo
Multi Agro (TMA) dialokasikan pada daerah sempadan sungai selebar 100 m dengan
tanaman kemiri (Aleurites mollucana) sebagai pembatas. Kelompok gajah yang
berjumlah sekitar 100 ekor membutuhkan 500 ha/ekor, maka dibutuhkan sekurang-
kurangnya 50.000 ha, tetapi kawasan restorasi ekosistem eks HPH DHE yang telah
tersedia luasnya sekitar 45.095 sehingga terjadi kekurangan luasan yang diharapkan
dapat dipenuhi dari PT LAJ dalam bentuk wilayah konservasi (Rambe, 2014).
Koridor antara landsekap Hutan Batang Toru-Taman Nasional Batang Gadis
yang digagas oleh Konsorsium Sahabat melalui program TFCA-Sumatera
mencanangkan pemulihan dua kawasan koridor di Hutaimbaru dan Lobu Pining
seluas 1099 ha dengan serta 6 kawasan harangan desa diantaranya Blok hutan
Batang Toru Barat-Blok Hutan Dolok Ginjang di Desa Dolok Nauli, dan antara Blok
hutan Batang Toru Barat dengan hutan Batang Toru Timur untuk keberlangsungan
orangutan (Pongo abelii) dengan tanaman perkayaan seperti durian (Durio
zibethinus), rambutan (Nephelium lappaceum), cempedak (Artocarpus integra), asam
kandis (Garcinia), petai (Parkia speciosa), aren (Arenga pinnata) dan beringin (Ficus
benyamina) dalam bentuk social forestry dari dua jenis tumbuhan kemenyan toba
(Styrax sumatrana) dan kemenyan durame (Styrax benzoin) (Petra, 2014).
Pengembangan koridor orangutan di daerah penyangga TN Kutai, didominasi
Moraceae (INP 36,3%), tinggi pohon 8-38 m (rerata 17,25 m) dengan diameter 11-
85 cm (rerata 19,98 cm). Sebagai habitat orangutan ini, daerah penyangga TN Kutai
memiliki kerapatan 300 pohon/ha, basal area 14,4 m2/ha dan indeks keragaman jenis
>3,5. Pembangunan koridor orangutan yang direncanakan adalah di Hutan
Menamang yang terletak di beberapa areal konsesi seperti HTI PT Surya Hutani Jaya
dan perkebunan kelapa sawit PT Hamparan Sentosa yang akan menghubungkan
Taman nasional Kutai dengan Cagar Alam Muara Kaman Sedulang. Potensi yang
dimiliki kawasan hutan dengan pohon sumber pakan diantaranya Lagerstroermia

Sintesis 2010-2014 | 137


speciosa (INP 28,62%), Vitex pinnata (INP 20,79%), Dracontomelon dao (INP
17,79%), Dillenia excelsa (INP 15,46%), Cananga odorata (INP 13,81%),
Peronema canescens (INP 13,65%), Syzygium sp (INP 12,85%), Artocarpus
elasticus (INP 10,54%), Macaranga gigantea (INP 7,93%) dan Baccaurea
lanceolata (INP 7,76%)(Sayektiningsih, 2011).
Permasalahan di pemanfaatan kawasan hutan dalam areal yang cukup luas
seperti hutan produksi dapat menciptakan kondisi Island biogeograf, di mana jumlah
spesies yang akan bertahan di suatu kawasan akan sesuai dengan luas areal yang ada
(Soemarwoto, 1989). Semakin luas hutan alam yang tersisa dan berfungsi sebagai
habitat satwa, semakin banyak jenis satwa dapat dilestarikan.
Pembangunan jalan tembus antar kabupaten di Aceh dan konversi lahan hutan
menjadi lahan pertanian, perkebunan skala besar, pertambangan dan pemukiman
dalam 10 tahun terakhir mengakibatkan putusnya enam koridor di kawasan hutan
ekosistem Leuser dan ekosistem Ulu Masen, seluas 3,3 juta ha dimana disini
ditemukan empat jenis satwa terancam punah yaitu gajah sumatera, harimau
sumatera, badak sumatera dan orangutan sumatera. Kondisi ini mengakibatkan
habitat satwaliar terutama mamalia besar menjadi terfragmentasi sehingga
meningkatkan konflik satwa dengan manusia serta menghancurkan daerah tangkapan
air di Aceh (Chik Rini, 2012).
Penyatuan pemahaman dan persamaan persepsi yang dilakukan melalui
sosialisasai secara terus menerus kepada masyarakat desa untuk meningkatkan
persepsi tentang kelstrian satwa dan membangun koridor diantara kebun rakyat atau
hutan rakyat dengan tanaman MPTS maupun sumber pakan satwa.
Pembangunan koridor hendaknya mempertimbangkan target jenis dan
pemanfaatannya sebagai habitat untuk mencari pakan, bersarang atau perlintasan
(Sieving et al, 2000). Disamping itu, perilaku satwa juga merupakan pertimbangan
dalam beradaptasi dengan lingkungannya yang berupa hutan, lahan pertanian,
perkebunan dan semak belukar, karena jenis tanaman eksotik pada banyak lahan
pertanian dibandingkan dengan tanaman asli. Konsep design koridor dan landskap
untuk konservasi satwa juga harus memperhatikan panjang dan lebar koridor, untuk
daerah yang terbuka panjang dan lebar koridor akan lebih besar dibandingkan
sempadan sungai.

Sintesis 2010-2014 | 138


VIII. STRATEGI PENGELOLAAN

Pengelolaan kawasan konservasi khususnya taman nasional menghadapi


berbagai persoalan yang dapat dikelompokkan menjadi persoalan internal maupun
eksternal (Wiratno, 2007). Persoalan internal terkait dengan organisasi serta
kelembagaan Balai diantaranya adalah:
1. Sistem perencanaan yang dituangkan dalam Rencana Pengelolaan (RP) berjangka
waktu 20-25 tahun, dijabarkan ke dalam Rencana Karya Lima tahun (RKL) dan
Rencana tahunan. Kelemahan RP, RKL, RKT, Zonasi Taman Nasional lainnya
adalah kurangnya proses konsultasi public, akurasi data dan informasi,
identifikasi isu-isu strategis, revisi zonasi dan keterkaitan antara penyusunan
program pengelolaan.
2. Kondisi tata batas kawasan taman nasional seperti belum di tata batas, ada yang
sudah ditatabatas tetapi belum temu gelang, tata batas temu gelang, temu gelang
dengan BATB sudah selesai, dan sudah penetapan.
3. Leadership dan manajemen merupakan kemampuan yang disyaratkan untuk
mendukung kebijakan dan merealisasikan tujuan pengelolaan secara efektif dan
efisien.
Persoalan eksternal merupakan dampak langsung dari perubahan ruang dan
lahan yang memberikan tekanan terhadap kawasan konservasi, kondisi ini meliputi:
1. Perubahan tutupan hutan tersebut berupa pembukaan lahan untuk perluasan
kabupaten/kota, perkebunan, pertanian, HTI dan kawasan terbuka open access
(sarana dan prasarana umum serta pemukiman). Perambahan kawasan konservasi
mencapai 27,1 juta ha atau 20% dari total luas hutan di Indonesia (Haryono,
2013).
2. Perubahan politik menuju otonomi daerah sejak tahun 1998 juga memicu
kebutuhan akan ruang yang didapatkan dari kawasan hutan, disamping
perambahan hutan dengan motif ekonomi seperti di TN Bukit Barisan Selatan (>
50.000 ha untuk perkebunan kopi rakyat), TN Leuser (20.000 ha kawasan rusak
dan 4.000 ha untuk perkebunan sawit), TN Kutai (23.000 ha areal dengan
kandungan batubara 6-7 terancam, legasisasi 7 desa di 2 kecamatan dilepaskan
atas permintaan Bupati Kutai Timur).
3. Keberadaan masyarakat asli, setempat ataupun masyarakat tradisional yang berada
di dalam kawasan konservasi seperti masyarakat kasepuhan di TN Gunung
Halimun Salak (Setiyono, 2003), dua belas suku Dayak di Tn Kayan Mentarang,
masyarakat Kubu di TN Bukit Dua Belas, suku Talangmamak di Bukit Tiga
Puluh, masyarakat sekitar Danau Lore Lindu di TN Lore Lindu, suku Mentawai di
TN Siberut.
4. Persepsi antara stakeholder yang memiliki perbedaan kepentingan dan interest.
Berdasarkan permasalahan pengelolaan kawasan diatas diperlukan perubahan
paradigmatik pola pengelolaan taman nasional yang dibangun dari berbagai inisiatif,
terobosan, inovasi pengelolaan, dukungan dari berbagai cabang ilmu dan kepakaran

Sintesis 2010-2014 | 139


serta didasarkan pada data dan informasi spatial dan non spatial yang terbaru dan
akurat dengan mengembangkan proses keputusan melalui ilmu pengetahuan
(Wiratno, 2007).
Strategi pengelolaan taman nasional untuk mencapai tujuan secara efisien dan
optimalisasi dilakukan melalui tahapan perencanaan, kelembagaan, dan kolaborasi.
A. Tahapan Perencanaan
Rencana strategis kawasan konservasi (Departemen Kehutanan dan Perkebunan,
1998), yang disampaikan dalam lokakarya Kepala Balai dan Kepala Unit dititik
beratkan pada tata batas dan sistem zonasi taman nasional, pengelolaan habitat dan
populasi baik di darat maupun di perairan laut, pengembangan pemanfaatan
sumberdaya alam hayati dari kawasan, pengamanan kawasan melalui low
enforcement, pembinaan kepemimpinan dan manajerial petugas dan jagawana,
pengembangan kemitraan dan daerah penyangga.
Rencana program dan kegiatan seperti TN Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR),
Tahun 2010-2029 (Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, 2009) terdiri dari
pengembangan organisasai kelembagaan, pemantapan kebijakan pengelolaan,
peningkatan kapasitas personil dan penambahan staf, penyusunan prosedur kerja
(SOP) dan petunjuk teknis , peningkatan sarana dan prasarana. Pengukuhan tata batas
kawasan, penataan zonasi, pembangunana pusat data, pembangunan sinergi program
dengan Strategic Plan of Action Heart of Borneo, kemitraan, penggalangan sumber
dana para pihak, peningkatan konsultasi dan koordinasi. Selanjutnya pembangunan
media komunikasi bersama, pengamanan kawasan, penegakan hokum, pengendalian
kebakaran hutan dan lahan, penyuluhan kehutanan, pengembangan jasa lingkungan,
pembangunan pusat riset, pengembangan wisata alam, pengembangan daerah
penyangga serta pemberdayaan masyarakat.
Penyusunan rencana pengelolaan daearah penyangga TN Sebangau yang
digagas dengan pembentukan Board of Trustee dari berbagai pihak antara pihak
pengelola dalam hal ini Balai TN Sebangau, WWF Kalteng, pemerintah daerah serta
masyarakat di Kabupaten Katingan dan Pulang Pisau serta Kota Palangkaraya
(Yuwita, 2011), menyatakan:
1. Peningkatan kesempatan berusaha dan tingkat pendapatan ekonomi melalui
pengembangan ekonomi alternatif dan perluasan pemasaran komoditas.
2. Penyediaan penyangga sumberdaya alternatif masyarakat di daerah penyangga
seperti kayu bakar, kayu pertukangan, tumbuhan obat dan bahan pangan.
3. Peningkatan dukungan dan kesadartahuan masyarakat tentang konservasi TN
Sebangau.
4. Pelibatan masyarakat yang lebih partisipatif dalam perencanaan dan
pengembangan daerah penyangga.
5. Peningkatan hubungan komunikasi antara otoritas pengelolaan TN Sebangau,
WWF dengan masyarakat setempat dan pemerintah daerah.

Sintesis 2010-2014 | 140


6. Peningkatan kapasitas kelembagaan ekonomi masyarakat.
7. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola.
B. Kelembagaan
Pengembangan daerah penyangga yang berbatasan langsung dengan taman
nasional disesuaikan dengan peranan yang terkait tugas dan tanggung jawab setiap
lembaga dijelaskan dalam Edaran menteri Dalam Negeri No. 660.1/269/V/Bangda
tanggal 16 Februari 1999 tentang Pengelolaan Kawasan Penyangga Taman Nasional.
Struktur kelembagaan pengelola daerah penyangga melibatkan berbagai instansi
yaitu Pemerintah Provinsi, Kabupaten sampai Desa. Bentuk-bentuk kelembagaan
yang terdapat di desa-desa sekitar zona penyangga TN Bukit Tigapuluh terdiri dari
(Kuswanda dan Mukhtar, 2006):
1. Kelembagaan informal/tradisional yaitu lembaga adat yang dipimpin oleh batin.
Fungsinya lebih sederhana atau hanya menyelesaikan persoalan adat dimana
fungsi batin sebagai kepal pemerintahan menjadi hilang.
2. Kelembagaan formal, lembaga ini terdiri dari kepala desa/lurah dibantu Sekretaris
Desa, Kepala Dusun, Kepala Rukun Warga dan Kepala Rukun Tetangga dengan
lembaga legeslatifnya Badan Perwakilan Desa (BPD)
Kegiatan penataan batas dan ruang di TN Bukit Tigapuluh dalam suatu
rangkaian proses untuk membuat batas, menyusun perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang daerah penyangga. Menurut penilaian berbagai
stakeholder keterlibatan dalam hal tersebut adalah sebagai berikut; Balai TN Bukit
Tigapuluh (33,9%), Pemerintah Daerah (31,0%), Lembaga masyarakat local
(26,5%), lembaga swadaya masyarakat (8,6%), sedangkan upaya perlindungan dan
menjaga kelestarian kawasan merupakan tanggung jawab Balai Tn Bukit Tigapuluh
(42,1%) dan lembaga masyarakat lokal (24,9%). Peningkatan sumberdaya manusia
dan ekonomi masyarakat menjadi tugas dari lembaga masyarakat lokal (46,2%),
Pemerintah Daerah (25,3%), Balai TN Bukit Tigapuluh (21,2%) dan lembaga
swadaya masyarakat (7,3%). Selanjutnya, lembaga yang memantau berjalannya
pengelolaan di daerah penyangga menurut stakeholder adalah lembaga swadaya
masyarakat (31,5%) dan lembaga masyarakat lokal (28,7%).
Pembinaan lembaga dan masyarakat lokal dapat dimulai dari kegiatan sosialisasi
dan penyuluhan oleh pemerintah daerah dan/atau pusat sehingga terjadi penyelarasan
program, pemanfaatan ruang, dan rencana pembangunan daerah dengan kondisi dan
harapan masyarakat. Menurut Kuswanda dan Mukhtar (2006), strategi yang paling
penting dalam mengembangkan lembaga masyarakat yang masyarakatnya memiliki
ketergantungan terhadap sumberdaya hutan dari kawasan konservasi adalah
menciptakan kemandirian dan kesempatan usaha dalam memanfaatkan sumberdaya
hutan maupun lahan. Pemerintah dalam hal ini dapat berperan untuk membuat
peraturan tentang akses dan/atau pemanfaatan sumberdaya hutan secara adil dan
merata, menciptakan usaha alternatif, maupun mengembangkan hutan rakyat dan

Sintesis 2010-2014 | 141


hutan kemasyarakatan. Lembaga lokal perlu diberi kesempatan untuk merencanakan,
mengelola, dan mengatur pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan sehingga dapat
berpartisipasi dalam mendukung pengelolaan kawasan konservasi.
C. Kolaborasi
Sistem pengelolaan sumberdaya alam yang mengarah dan berkembang pada
pengelolaan bersama atau collaborative management merupakan kolaborasi berbagi
kewenangan dan tanggung jawab antara pengelola kawasan, para pihak dan
masyarakat yang berkepentingan. Tingkatan dalam kolaborasi ini dicirikan oleh
intensitas interaksi diantara para pihak, dimulai dari penyampaian informasi,
konsultasi, kerjasama, pertukaran informasi, pengarahan, aksi bersama, kemitraan,
control masyarakat, dan koordinasi berbagai bidang ( Pomeroy dan Berkes, 1997).
Berbagai perubahan paradigma dan kebijakan dalam pengelolaan kawasan
konservasi telah terjadi di Indonesia (Peraturan Menhut No. P.19/Menhut-II/2004
tentang Pengelolaan Kolabaratif) antara lain :
1. Pengelolaan dari satu stakeholder menjadi multi stakeholder dan dari government-
based management menjadi multi stakeholder based management/collaborative
management.
2. Dari kawasan yang semata-mata sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman
hayati menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang memiliki
fungsi sosial ekonomi jangka panjang untuk mendukung pembangunan yang
berkesinambunagan.
3. Beban pembiayaan pengelolaan yang semula ditanggung oleh pemerintah menjadi
beban bersama pemerintah dan penerima manfaat.
4. Dari close access menjadi regulated open access.
Pengelolaan kolaborasi (co-management) atau dikenal juga dengan istilah
lainnya seperti participatory merupakan salah satu bentuk penanganan konflik yang
mengakomodir berbagai kepentingan dan mengklarifikasi perbedaan. Hal ini
digunakan sebagai suatu pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang
mempunyai banyak dimensi, menggabungakan berbagai pihak yang memiliki peran,
dengan sasaran akhir adalah konservasi lingkungan, pemerataan distribusi manfaat
dan tanggung jawab (Borrini-Feyerabend et.al , 2007). Sedangkan Tadjudin (2000)
mendifinisikan manajemen kolaborasi sebagai suatu bentuk manajemen yang
mengakomodasikan kepentingan seluruh stakeholder secara adil, dan memandang
harkat setiap stakeholder sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tatanilai yang
berlaku dalam rangka pencapaian tujuan bersama. Nilai-nilai utama dalam
pengelolaan kolaborasi (Awang et. al, 2005), antara lain:
1. Mengakui adanya perbedaan nilai-nilai, kepentingan dan kepedulian dalam
pengelolaan sumberdaya hutan.
2. Terbuka terhadap kemungkinan hadirnya ragam tipe-tipe pengelolaan sumberdaya
hutan diluar sesuatu yang sudah dikenal dan ditetapkan dalam peraturan formal.

Sintesis 2010-2014 | 142


3. Keterbukaan dan pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam.
4. Memungkinkan masyarakat sipil memainkan peranan yang lebih penting dan
bertanggung jawab.
5. Menghormati suatu proses sebagai hal yang penting dibandingkan orientasi hasil-
hasil dalam waktu singkat.
6. Belajar dan bekerja melalui revisi-revisi kegiatan yang sedang berjalan dan
meningkatkannya dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
Kawasan konservasi yang pertama mengimplikasikan Permenhut tentang
kolaborasi tersebut diantaranya Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM)
(Borrini-Feyerabend et.al, 2007). Kolaborasi antara pengelola TNKM dengan
masyarakat adalah melegalkan kegiatan tradisional di hutan adat milik masyarakat
Dayak yang bermukim di dalam kawasan. Perjanjian kesepakatan tersebut tertuang
dalam Forum Masyarakat Adat (FoMMA) sebagai wadah penampung aspirasi
masyarakat adat tentang perlindungan hutan, kelestarian hutan, perlindungan hak
adat serta kesejahteraan masyarakat adat. Selanjutnya, perwakilan para pemangku
kepentingan TNKM yang terdiri dari FoMMA, pemerintah pusat dan daerah menyatu
dalam bentuk forum Dewan Penentu Kebijakan TNKM.Taman Nasional lainnya
yang juga mengimplemntasikan kolaborasi TN Bunaken dengan Dewan Pengelola
TN Bunaken (DPTNB), TN Gn Gede Pangrango dan TN Gn Halimun Salak (Gede
Pahala) serta TN Komodo dengan Komodo Collaborative Management Board, TN
Kutai dengan Mitra Kutai.
Kolaborasi antara TN Kutai dengan Mitra Kutai dinilai belum berhasil dan
optimal ditinjau dari pencapaian kinerja karena program-program kegiatan yang
dilaksanakan selama ini bersifat insidental/tidak berkesinambungan dan tidak
diarahkan untuk mengatasi permasalahan mendasar di TNK (Falah, 2012).
Pembentukan Mitra Kutai mempunyai beberapa tujuan, yaitu : 1) Penyadaran
masyarakat; 2) Mendapat dukungan masyarakat luas; 3) Mengurangi tekanan
terhadap hutan; 4) Pengelolaan kawasan yang lebih baik; dan 5) Kepastian hukum
bagi masyarakat dan kawasan (Pusat Informasi Pengelolaan Kolaboratif, 2006).
Selama 14 tahun (1995-2008) telah tersalurkan dana. Prioritas penggunaan dana
adalah sebagai berikut : (1) Kampanye pelestarian 20%, (2) Pengembangan
ekowisata 4%, (3) Sarana & Prasarana 20%, (4)Pengembangan SDM 3%, (5)
Penelitian 2%, (6) Rehabilitasi kawasan 26%, (7) Pengamanan 5%, (8) Desiminasi
8%, dan (9) Sekretariat 12%. Tetapi kondisi yang ditemui di lapangan terkait
pembukaan lahan yang terus menerus terjadi, masih adanya tindak penebangan liar di
kawasan TNK, menunjukkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan Mitra Kutai belum
efektif. Untuk itu diharapkan penyempurnaan kelembagaan Mitra Kutai melaui (1).
Penambahan unsur keanggotaan dari LSM, Pemerintah Daerah, serta wakil
masyarakat; (2). Kejelasan aturan main sejak dari tahap perencanaan s.d. evaluasi;
(3). Program kegiatan yang lebih terarah, tepat sasaran dan berkesinambungan untuk
mengatasi permasalahan di TNK; (4). Sekretariat/badan pelaksana yang independen

Sintesis 2010-2014 | 143


dan profesional;(5).Adanya pelaporan keuangan secara berkala dan transparan; (6).
Audit keuangan yang dilakukan auditor independen; (7). Pemilahan secara tegas
pengelolaan keuangan Mitra Kutai dengan pengelolaan keuangan Balai TN Kutai
yang bersumber dari dana APBN; serta (8) Konfigurasi kelembagaan Mitra Kutai
menjadi semacam konsorsium.
Berdasarkan kepentingan ekologi dan ekonomi, peran para pihak yang perlu
dilakukan adalah menyamakan persepsi mengenai pentingnya pelestarian TNK untuk
menumbuhkan komitmen menjaga keutuhan kawasannya. Selanjutnya, dalam
penyempurnaan pengelolaan kolaboratif TN Kutai ditentukan indentifikasi factor
internal dan eksternal melalui analisis SWOT untuk untuk mengatasi hambatan dan
ancaman mewujudkan kelestarian TNK (Tabel 7.16).

Sintesis 2010-2014 | 144


Tabel 8.1. Analisis SWOT di TN Kutai
Kekuatan Kelemahan
1. Status legal sebagai TN Kutai 1. Sejarah pelepasan kawasan
2. Eksistensi Kemenhut, Dirjen PHKA, serta 2. Pengukuhan kaawsan belum selesai
BTN Kutai 3. Belum ditetapkan zonasi kawasan
3. Potensi biodiversitas dan ekosistem hutan 4. Lemahnya pengamanan kawasan dan
hujan tropis dataran rendah penegakan hokum
4. Potensi hidroorologis dan obyek wisata 5. Keterbatasan kuantitas dan kualitas SDM,
alam serta sarana dan prasarana Balai TNK
5. Komitmen perusahaan anggota Mitra 6. Kelembagaan dan kegiatan Mitra Kutai
Kutai belum efektif
6. Adanya dasar hukum untuk membentuk 7. Balai TNK masih dominan dalam
kolaborasi dalam pengelolaan TNK pengelolaan kaawsan, kurangnya
7. Adanya dasar hukum penetapan zonasi partisipasi Pemda, masyarakat, pers dan
pemanfaatan lembaga penelitian dalam pengelolaan
8. Dukungan dari Karib Kutai 8. Koordinasi dan komunikasi antar pihak
9. Dukungan dari Pemkab Kutai yang lemah dalam pengelolaan TNK
Kartanegara dan Kota Bontang 9. Belum adanya kesepahaman atau
10. Dukungan dari lembaga penelitiab dan penyamaan persepsi mengenai fungsi dan
perguruan tinggi nasional maupun tata ruang TNK
internasional 10. Kurangnya informasi mengenai kondisi
terkini TNK
Peluang Ancaman
1. Kerja sama riset/inventarisasi kondisi 1. Adanya legalitas desa dan masyarakat
potensi terkini dengan lembaga penelitian dalam kawasabn oleh Pemkab Kutim
nasional/internasional 2. Ketidaksinkronan kebijakan Kementerian
2. Kerjasama dengan pers/media untuk Kehutanan dengan Kementerian dalam
mengangkat isu konflik kawasan serta Negeri daN Kementerian ESDM
potensi nilai penting TNK 3. Adanya jalan arteri lintas kabupaten/kota
3. Rekonfigurasi Mitra Kutai di dalam dan sekitar kawasan
4. Pengembangan program pendidikan dan 4. Eksploitasi potensi batubara
kampanye dengan dana dari Mitra Kutai 5. Diangkatnya isu enclave menjadi
5. Kolaborasi dari Pemda setempat dan komoditi dalam kampanye pilada
kepolisian dalam pengamanan dan 6. Kebutuhan lahan untuk pemekaran
penegakan hukum wilayah
6. Kolaborasi pengembangan ekowisata
dalam kawasan, termasuk agrowisata
7. Kolaborasi pembangunan kawasan
penelitian dengan lembaga penelitian
nasional dan internasional

Disamping itu, prinsip dasar pengelolaan kolaboratif yang mempertimbangkan


aspek ekologi, social dan ekonomi yaitu: 1) pemberdayaan dan pembangunan
kapasitas, 2) pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan tradisional, 3) perbaikan

Sintesis 2010-2014 | 145


hak masyarakat local, 4) pembangunan berkelanjutan, 5) akuntabel dan transparan, 6)
pelestarian lingkungan sumberdaya, 7) pengembangan mata pencaharian, 8)
keadilan, dan 9) keterpaduan (Knight & Tighe, 2003).
Kegiatan masyarakat di zona khusus TN Babul yang berorientasi terjaganya
sumber daya hutan dilakukan melalui strategi optimasi kolaborasi pengelolaan
dengan memperhatikan faktor pendorong serta faktor penghambat pengelolaan
existing land use yang kompatibel dengan pengelolaan taman nasional (Sabar et
al,.2012). Optimasi kolaborasi taman nasional dalam pengelolaan zona khusus
tersebut dilakukan melalui identifikasi cara –cara peningkatan kegiatan taktis untuk
meningkatkan faktor pendorong serta mengurangi factor penghambat guna
mensejahterakan masyarakat seperti yang terlihat pada table dibawah ini.
Tabel 8.2. Cara penguatan faktor pendorong pemanfaatan lahan di zona khusus
Kondisi
No Cara penguatan faktor pendorong
Pemanfaatan Lahan
1. Aren Mengembangkan usaha aren sebagai unit usaha kelompok
bukan individu rumah tangga
2. Hutan Alam Mengembangkan pengusahaan hasil hutan bukan kayu yang
kompatibel dengan tujuan konservasi TN Babul
Membangun system kompensasi atas investasi masyarakat di
dalam zona inti yang tidak dapat dipanen lagi setelah
ditetapkan sebagai zona inti
3. Pinus Menetapkan areal hutan pinus sebagai areal penyangga zona
khusus
4. Jati Meningkatkan kapasitas masyarakat mengelola tegakan
tanaman jati sesuai silvikultur jenis jati
Membangun system hak atas tanaman jati masyarakat yang
berada di areal TN Babul
5. Sawah Mengelola sawah secara intensif tetapi kompatibel dengan
tujuan pengelolaan TN Babul
6. Ladang Membangun system perlagdangan menetap yang bersifat
sequential untuk membangun pola agroforestry
7. Semak belukar Mengelola areal semak belukar yang dapat memberikan
pendapatan kepada masyarakat

Tabel 8.3. Cara mengurangi faktor penghambat pemanfaatan lahan masyarakat

Kondisi Pemanfaatan
No. Cara mengurangi faktor penghambat
Lahan
1. Aren Mengalokasikan sebagian areal untuk tanaman kayu bakar
Mengembangkan diversivikasi produk-produk aren yang
tidak menggunakan kayu bakar
Mengembangkan bahan bakar alternative (biofuel)
2. Hutan Alam Menata batas-batas areal TN secara partisipatif

Sintesis 2010-2014 | 146


Kondisi Pemanfaatan
No. Cara mengurangi faktor penghambat
Lahan
Membangun system penggunaan areal TN yang diklaim
oleh masyarakat sebagai lahan milik
3. Pinus Memungut getah pinus sebagai sumber pendapatan
masyarakat
4. Jati Mengoptimalkan pemanfaatan ruang tumbuh tegakan
tanaman jati
Membangun system pengelolaan tegakan jati yang
kompatibel dengan tujuan pengelolaan TN
5. Sawah Menggunakan pupuk organik
6 Ladang Melakukan transformasi lading menjadi agroforestri
7. Semak belukar Melakukan rehabilitasi pola agroforestri

Kemitraan juga dilakukan antar taman nasional di Indonesia dengan taman


nasioanal di luar negeri seperti Kerjasama Indonesia-Malaysia sebagai Transfrontier
Park yaitu TN Betung Karihun dan TN Kayan Mentarang ataupun Kerjasama
Indonesia-Malaysia sebagai Sister Parks yaitu TN Gunung Leuser, TN Alas Purwo,
TN Gunung Gede Pangrango dan TN Tanjung Puting.

Sintesis 2010-2014 | 147


IX. SINTESIS

Sintesis hasil penelitian didasarkan pada kajian terhadap data dan laporan hasil
penelitian di berbagai taman nasional di Indonesia. Sintesis hasil penelitian mengacu
pada luaran dan kegiatan penelitian yang tercantum dalam RPI 13 tahun anggaran
2010 - 2014. Hubungan luaran dan kegiatan penelitian untuk menghasilkan Model
Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem sebagaimana pada Gambar
9.

LUARAN KEGIATAN PENELITIAN DALAM RPI

Kriteria indikator Valuasi Manfaat


pengelolaan TN tiap Evaluasi zonasi Taman Nasional
tipologi ekosistem taman nasional

Implementasi dan Evaluasi Pengelolaan


evaluasiKriteria Indikator pemanfaatan dan Kolaboratif
Optimal Fungsi Taman
Nasional

Kriteria Indikator Pengelolaan Taman


Nasional

Model Pengelolaan TN Model Pengelolaan


Berbasisi Ekosistem Taman Nasional
Berbasis Ekosistem

Strategi Manajemen Pengelolaan Daerah Restorasi


Taman Nasional Penyangga Ekosistem

Gambar 9.1.Hubungan Luaran Dan Penelitian Pengelolaan Taman Nasional Berbasis


Ekosistem (RPI 13).

A. Kriteria dan Indikator Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Tipologi


Ekosistem
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Kehutanan
No. 56 Tahun 2006, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan
maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli,yang dikelola dengan sistem zonasi.
Potensi taman nasional terdiri keunikan, kekhasan, keindahan, dan keajaiban fenomena

Sintesis 2010-2014 | 148


alam serta tumbuhan dan satwaliar yang memiliki keanekaragaman.Kekayaan
keanekaragaman hayati Indonesia sebanyak ± 6.000 jenis tumbuhan dan satwaliar yang
dimanfaatkan sebagai bahan baku pangan, obat-obatan, kosmetik, pewarna, kertas, dan
lainnya. Berdasarkan klasifikasi ekosistem utama Taman Nasional di Indonesia teridri
dari 3 (tiga) tipe ekosistem, yaitu : 16 taman nasional ekosistem pegunungan,18
taman nasional ekosistem dataran rendah dan 16 taman nasional ekosistem
perairan.Saat ini terdapat lebih dari 50 taman nasional di Indonesia, yang tersebar di
beberapa pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, dan Papua.
1. Evaluasi Zonasi Taman Nasional
Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman
nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan
dan analisis data, dalam penyusunan draft rancangan zonasi. Kemudian di lakukan
konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan dengan
mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat. Dalam kawasan taman nasional sekurang-kurangnya terdiri dari
zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan. Penentuan zona lain pada setiap
kawasan taman nasional dilakukan secara variatif sesuai kondisi setempat. Masing-
masing zona dalam setiap kawasan taman nasional dapat lebih dari satu tergantung
pada potensi kawasan, kondisi kawasan, sosial ekonomi dan budaya masyarakat
sekitar taman nasional. Zona tersebut di tata dalam bentuk: (1). Zona inti; (2). Zona
rimba atau Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan; (3). Zona pemanfaatan;
(4). Zona lainnya yaitu Zona tradisional, Zona rehabilitasi, Zona religi, budaya dan
sejarah dan Zona khusus.
1.1. Penataan pengelolaan zonasi
Penataan zonasi harus memperhatikan jenis zona yang dibutuhkan, luas dan tata
letak zona, hal ini bertujuan untuk mewujudkan efisiensi pengelolaan, kelestarain
kawasan dan mempertimbangkan keperluan dasar masyarakat sekitar.

1.1.1. Zona Inti


Rasionalisasi luas atau perluasan kawasan taman nasional mencerminkan suatu
lansekap yang mampu mengakomodir pelestarian habitat dan ruang jelajah (home
range) hidupan liar serta bentuk kawasan yang lebih kompak merupakan hal penting
untuk efisiensi dan efektivitas pengamanan dan perlindungan kawasan. Kriteria dan
indikator zonasi, selain didasarkan pada tingkat sensitivitas ekologi dalam kategori
sensitif dan sangat sensitif, kawasan yang termasuk dalam kategori curam dan
sangat curam, dan bagian habitat jenis langka/penting menjadi parameter penataan
zonasi. Implikasi dari rasionalisasi luas dan parameter penataan zonasi terlihat pada
kawasan yang tergolong curam dan sangat curam yang sebelumnya ada Taman
Nasional Bukit Tigapuluh. Secara ekologis, perubahan ini akan berdampak positif

Sintesis 2010-2014 | 149


bagi keutuhan habitat harimau sumatera dan tapir karena penambahan kawasan
berhutan akan memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi kedua jenis satwa
tersebut. Selain itu, kawasan berhutan tersebut dapat berfungsi sebagai koridor
biologi atau penghubung bagi harimau sumatera dan tapir dengan kawasan hutan
lainnya di luar kawasan taman nasional. Dengan status harimau sumatera yang
terancam punah maka keberadaan habitat yang lebih luas dan tidak terfragmentasi
akan memberikan peluang hidup dan berkembangbiak yang lebih baik bagi satwa
tersebut. Selain itu pula, penambahan kawasan di wilayah Selatan TNBT, Provinsi
Jambi, juga memberikan dampak positif bagi kelangsungan orang utan di kawasan
tersebut yang merupakan kawasan hutan yang dijadikan daerah introduksi orang
utan di Provinsi Jambi.
Sebagai kawasan yang rawan ancaman dan memiliki sensitivitas ekologi yang
tinggi maka zona inti di tata hanya berbatasan dengan zona rimba yang berfungsi
sebagai penghalang atau “barrier” bagi zona inti. Selain berfungi sebagai “barrier”,
zona rimba merupakan wilayah transisi bagi zona inti dengan zona-zona lainnya,
seperti zona pemanfaatan intensif dan zona pemanfaatan tradisional, sehingga
berbagai aktifitas pemanfaatan di kedua zona pemanfaatan tersebut tidak
berpengaruh secara langsung pada zona inti. Dengan contoh hasil penelitian
perubahan batas dan zonasi TNBT, dengan luas ± 180.279 hektar yang terdiri dari
zona inti seluas ± 107.969 hektar, zona rimba seluas ± 61.136 hektar, zona
pemanfaatan intensif seluas ± 2.637 hektar, zona pemanfaatan tradisional seluas ±
6205 hektar, zona rehabilitasi seluas ± 1.094 hektar dan enclave seluas ± 1.235
hektar. Kawasan taman nasional perairan, seperti kawasan TN Teluk Cendrawasih
memiliki zona inti dengan potensi dan keterwakilan ekosistem penting berupa
ekosistem mangrove, habitat berbagai jenis burung yang dilindungi, ekosistem
terumbu karang, vegetasi pantai, pantai peneluran penyu, ekosistem berbagai jenis
biota laut yang dilindungi seperti kima dan penyu, tempat kegiatan religi dan budaya
masih dilestarikan oleh masyarakat (Balai Besar TN Teluk Cendrawasih dan World
Wide Fund (WWF)-Indonesia, 2009).
1.1.2. Zona Rimba
Diantara penelitian intensif tentang Zona rimba adalah di TN Bantimurung
Bulusaraung, zona rimba terdiri dari beberapa keanekaragaman tipe ekosistem
diantaranya ekosistem karst, hutan dataran rendah non dipterokarpa pamah serta
hutan pegunungan bawah dengan kondisi kawasan sebagian besar berupa hutan
sekunder, berbatasan langsung dengan zona pemanfaatan, zona pemanfaatan
tradisional, zona religi sejarah dan budaya serta zona khusus sehingga mendapat
banyak gangguan. Mengingat fungsinya zona ini memiliki tingkat sensitivitas
ekologi kurang sensitif, habitat satwaliar, jenis tumbuhan eksotik terbatas maka
kawasan ini menjadi barrier bagi zona inti (Indra et al., 2011). Untuk mengakomodir
pemanfaatan potensi wisata alam dalam kawasan taman nasional yang merupakan
bagian dari home range satwa maka zona rimba dapat dijadikan sebagai sebuah

Sintesis 2010-2014 | 150


alternatif dimana pada zona rimba dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan berupa
wisata alam terbatas (Reno et al., 2003). Di TN Alas Purwo, zona rimba sebagian
masih berupa hutan tanaman jati hasil perluasan TN. Zona Rimba di TN Teluk
Cendrawasih atau Zona Perlindungan Bahari adalah wilayah darat yang karena letak
dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian zona inti dan zona
pemanfaatan. Di kawasan TN Teluk Cendrawasih perairan zona perlindungan bahari
adalah ± 500 m dari ujung reef dalam untuk melindungi terumbu karang serta
ekosistem yang terdapat di dalamnya (Balai Besar TN Teluk Cendrawasih dan
World Wide Fund (WWF Indonesia, 2009).
1.1.3. Zona Pemanfaatan
Penempatan zona pemanfaatan (intensif) hendaknya di tepi kawasan, hal ini
dilakukan untuk mengakomodir kepentingan pelestarian dan kepentingan
pemanfaatan. Zona pemanfaatan intensif dengan potensi pemandangan yang indah
dapat terletak tengah kawasan dan tersebar merata, sehingga pengembangan
kawasan wisata alam ini berbenturan dengan ancaman bagi kelestarian sumberdaya
alam maupun habitat satwaliar. Zona pemanfaatan sesuai dengan fungsinya
memungkinkan adanya aktifitas manusia sehingga terbukanya sebagian lantai hutan.
Hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan permudaan alam dan menyebabkan
pertumbuhan yang cepat bagi jenis pionir termasuk semak antara lain Famili
Euphorbiaceae yang dominan didominasi oleh jenis Antidesma cf. phaneroplebium
(kayu tulang) dan Macaranga tanarius (mahang), sehingga dapat dikatakan bahwa
tingkat gangguan pada zona pemanfaatan cukup tinggi yang menyebabkan habitatnya
dalam kondisi berkendala. Apabila gangguan tersebut terus berlanjut maka bukan
tidak mungkin semua vegetasi pada zona tersebut akan berkendala dan terancam oleh
jenis invasif. Melalui perjumpaan langsung, pengenalan jejak, suara/bunyi-bunyian
dan sarang di TNBT dalam waktu terbatas tercatat 44 individu satwa liar yang terdiri
dari 7 jenis Mamalia dan 17 jenis Aves. Zona pemanfaatan adalah zona yang di
dominasi jenis Aves. Kondisi ini diperkirakan berkaitan dengan habitat sebagian
besar jenis burung yang menyukai kondisi seperti hutan sekunder atau habitat bagian
bekas tebangan sehingga terdapat areal terbuka dan kawasan-kawasan hutan
berbatasan dengan pemukiman penduduk.
Penunjukkan Zonasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh, ditetapkan bahwa zona
pemanfaatan intensif dengan luas 2.300 ha merupakan zona yang di dalamnya dapat
dilakukan kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan
penelitian serta diperuntukkan bagi pusat pembangunan sarana/prasarana dalam
rangka pengembangan kepariwisataan alam dan rekreasi. Untuk mendukung
pengembangan daerah wisata tersebut telah dikembangkan kerja-sama antara Pemda
setempat dengan Balai TNBT dalam pembangunan prasarana jalan. Areal air terjun
khas yang berasal dari batu granit selain mempunyai potensi flora juga mempunyai
fauna yang menarik, langka dan dilindungi. Seperti rangkong kuning, rangkong
gading, dan rangkong putih. Pada lokasi air terjun terdapat 42 jenis tumbuhan yang

Sintesis 2010-2014 | 151


termasuk ke dalam 15 famili, tingkat semai 14 jenis, tingkat belta sebanyak 26 jenis,
dan tingkat pohon sebanyak 29 jenis. Disamping itu, masyarakat juga memanfaatkan
tumbuhan yang termasuk HHBK yaitu rotan (Calamus sp), pasak bumi (Erycoma
longifolia) dan aren (Arenga piñata).
1.1.4. Zona Tradisional
Zona tradisional seperti di TN Gunung Gede Pangrango merupakan kawasan
pemanfaatan sumber daya alam taman nasional diareal ex Perum Perhutani oleh
masyarakat dalam batas-batas tertentu dan dengan menggunakan pola pemanfaatan
tradisional seperti pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) sebagai bahan
makanan, obat-obatan, bahan baku kerajinan dengan tidak merubah bentang alam
dan merusak tegakan (Balai TN Gunung Gede Pangrango, 2009).Pemukiman berupa
desa suku-suku asli dan masyarakat lokal seperti yang terdapat di kawasan TNBT
dapat di tetapkan sebagai enclave dan zona pemanfaatan tradisional. Pengelolaan
zona pemanfaatan tradisional yang terkonsentrasi pada desa dan perkampungan
penduduk, diharapkan akan mengurangi dampak negatif pemanfaatan lahan di luar
zona pemanfaatan tradisional tersebut. Pengembangan zona pemanfaatan intensif
yang berdekatan dengan zona pemanfaatan tradisional, juga dimaksudkan untuk
memberikan peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dan mengurangi
ketergantungan pada pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan melalui
kegiatan wisata alam.
1.1.5. Zona Rehabilitasi
Zona rehabilitasi menunjukkan bahwa kawasannya cenderung berubah dalam
setiap periode waktu tertentu, tergantung pada perubahan penutupan lahan. Dengan
demikian zona rehabilitasi bersifat temporer sehingga tidak memerlukan pengelolaan
secara khusus sebagaimana zona-zona lainnya. Pihak taman nasional dapat
menggunakan citra landsat secara berkala, untuk mengetahui perubahan penutupan
lahan dan menentukan kawasan-kawasan mana yang perlu direhabilitasi.Zona
rehabilitasi berada pada bagian yang berbatasan langsung dengan masyarakat
sekitar yang memiliki lahan garapan, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dan
jasa lingkungan di dalam kawasan, sehingga teknis pengelolaan zona rehabilitasi
harus dapat mengantisipasi dan meredam tekanan masyarakat terhadap kawasan
(Sawitri dan Bismark, 2013). Tekanan masyarakat di daerah penyangga ke dalam
kawasan merupakan dampak dari beberapa faktor seperti kepentingan dalam
menyediakan mata pencarian, pendidikan, tingkat kepadatan penduduk, dan
kepemilikan lahan. Masyarakat di daerah penyangga mestinya di TNGGP dengan 66
desa di kabupaten Bogor yang sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai
petani dan buruh tani (80%-98%) dengan luas lahan 0,1 - 0,3 ha/KK, berpendidikan
rendah, dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi.
Disamping itu, luas lahan untuk usaha pertanian setiap tahun semakin berkurang
akibat pengembangan areal pemukiman, industri, pertokoan, dan prasarana umum

Sintesis 2010-2014 | 152


(Wahyudi, 2012). Dengan demikian Model rehabilitasi atau restorasi ekosistem
taman nasional perlu disinkronikan dengan pengembangan pembangunan dalam
daerah penyangga, termasuk upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi para
pihak dalam kegiatan di zona rehabilitasi dalam bentuk pengelolaan kolaborasi
agarfungsi dan manfaat di TNGGP dapat dioptimalkan. Perubahan dan peningkatan
fungsi di perluasan taman nasional dengan hutan produksi, maka areal hutan
produksi yang umumnya hutan tanaman monokultur perlu di rehabilitasi atau di
restorasi agar sesuai dengan fungsi taman nasional. Zona rehabilitasi, di TNGP areal
ini seluas 19% dari luas kawasan dengan model restorasi yang ditetapkan adalah
Model adopsi pohon intenasional, adopsi pohon, gerhan partisipatif, gerhan dan
pengelolaan batas luar kawasan berbasis masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan
rehabilitasi program gerhan partisipatif atau pengelolaan batas luar berbasis
masyarakat dapat dilihat dari tingkatan persepsi masyarakat terhadap model
rehabilitasi. Persepsi ini dapat dipengaruhi oleh tipologi masyarakat yang terlibat
langsung maupun tidak langsung, serta kelembagaan Model rehabilitasi yang
dibangun oleh para pemangku kepentingan. Tipologi masyarakat di daerah
penyangga TNGGP yang diwakili oleh beberapa desa yang menjadi lokasi penelitian.
1.2. Implementasi dan Evaluasi Kriteria Indikator Optimal
Keberadaan kriteria dan indikator merupakan hal yang penting dan sebagai
perangkat untuk pengelolaan hutan yang bermanfaat sebagai acuan membuat konsep,
mengevaluasi dan mengimplementasikan pengelolaan hutan lestari khususnya Taman
Nasional. Kriteria dan indikator tersebut dapat dipergunakan sebagai alat komunikasi
dan jembatan yang dapat menunjukkan berbagai kondisi yang diperlukan agar
kelestarian hutan dapat dipertahankan. Dengan dapat diukurnya berbagai kondisi
yang diperlukan untuk mempertahankan kelestarian hutan, maka diharapkan hal ini
dapat membantu mengadaptasi pengelolaan taman nasional menuju kearah
kelestarian atau pemeliharaan ekosistem taman nasional agar tetap berada dalam
kondisi yang diinginkan sepanjang waktu.
Pengelolaan suatu kawasan taman nasional secara umum dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti kondisi biofisik, tata letak, luasan dan zona geografi
kawasan. Bertolak dari kondisi tersebut maka pengelo-laan taman nasional
didasarkan pada penetapan zonasi. Disamping itu, kondisi sosial ekonomi
masyarakat desa-hutan di sekitar kawasan serta pola pengelolaan daerah penyangga
juga turut menjadi pertimbangan dalam menentukan sistem pengelolaan kawasan
tersebut.
Perbandingan porsi zonasi taman nasional di Cagar Biosfer sangat berbeda antara
Taman Nasional Siberut (TNS) dan TNGGP. Hal ini disebabkan perbedaan luas,
perbedaan kerapatan penduduk dan budaya masyarakat daerah penyangga serta tingkat
ekonomi dan ketersediaan lahan garapan. Perbedaan ini terlihat dari porsi zonasi penting.

Sintesis 2010-2014 | 153


Survey pendahuluan untuk memperoleh Informasi Kriteria Zona tertentu
awal kondisi biofisik dan interaksi mayarakat sekitar
dengan areal yang diusulkan sebagai zona tertentu (PP 28 Tahun 2011, Permenhut No 56 tahun
oleh TN Babul 2006)

Menciptakan dan mendapatkan calon perangkat kriteria dan indikator

(konsep dasar kriteria dan indikator) zona tertentu

Mencakup sebanyak mungkin unsur-unsur yang perlu dipertimbangkan dalam penilaian


Seleksi dan pemilihan Menyaring
calon perangkat kriteria
dan indikator K&I

Konsep kerangka kriteria dan indikator


zona tertentu

(pendekatantop-down)
Data biofisik, interaksi
masyarakat
Uji lapang calon kriteria dan
Diskusi & (kenyataan di lapangan
indikator zona tertentu
– pendekatan bottom up)
modifikasi
kerangka K&I
Set minimum kriteria dan indikator zona

tertentu yang sesuai dengan kondisi


setempat
9.2.Bagan alir proses penetapan kriteria dan indikator tersebut dapat
terlihat pada bagan alir berikut

Tabel 9.1. Kriteria dan Indikator Zonasi Taman Nasional


Indikator untuk pembangunan zonasi
Kriteria Indikator Skor Zona Zona Zona Peman- Zona Zona
Rehabili-
inti Rimba faatan Khusus
tasi
1. Luasan kawasan 1.1. Areal luas dan kompak 4* ● ● - - -
1.2 Areal luas terfragmentasi 3* - - - ● ●
10% 1.3 Areal sedang 2* - - ● - ●
1.4 Areal kecil 1 - - ● - -
2. Keaneka- 2.1 Terdapat satwa endemik dan 4* ● - - - -
ragaman hayati langka
7.5% 2.1.1 Spesies hampir punah 3* ● - - - -
2.1.2 Spesies terancam & sebaran 2* - ● - ● -
terbatas
2.1.3 Spesies digunakan secara 1* - *-+● ● ● ●
tradisional

Sintesis 2010-2014 | 154


2.2 Terdapat flora endemik 4* ● - - - -
langka
7.5% 2.2.1 Terdapat flora endemik 3* - ● ● - -
2.2.2 Terdapat sumber pangan dan 2* - - ● ● ●
obat-obatan
2.2.3 Terdapat flora penunjang 1* - - ● ● -
ekonomi tradisional
2.3 Keragaman dan Fungsi
Ekosistem
2.3.1 Terdapat ekosistem langka 4* ● ● - - -
5% 2.3.2 Ekosistem sebagai habitat 3* ● ● ● ● -
satwa langka
2.3.3 Terdapat minimal 2 ekosistem 2 ● ● - - -
tidak terfragmentasi
2.3.4 Ekosistem terfragmentasi 1 - -
2.4 Keragaman jenis satwa liar
2.4.1 Keragaman tinggi 3* ● ● - - -
5% 2.4.2 Keragaman sedang 2 - - ● ● -
2.4.3 Keragaman rendah 1 - - - - ●
3. Lanskap kawasan 3.1 Mempunyai bentang alam dari 4* ● - - - -
berdasar ekosistem pantai hingga pegunungan
10% 3.2 Bagian dari DAS penting 3 ● ● - ● ●
penyangga kehidupan
3.3 Lanskap 2 ekosistem tidak 2* ● ● - - -
terfragmentasi
3.4 Lanskap terfragmentasi 1 - - ● ● ●
4. Keutuhan 4.1 Jumlah ekosistem
ekosistem 4.1.1 Memiliki minimal tiga 4* ● ● - - -
ekosistem utuh
4.1.2 Terdapat kurang dari tiga 3 ● ● ● - -
ekosistem utuh
7.5% 4.1.3 Terdapat beberapa bagian 2 - - - ● ●
ekosistem terdegradasi
4.1.4 Sebagian besar kawasan 1 - - - - -
terdegradasi
4.2 Tingkat degradasi kawasan
4.2.1 Kawasan terdegradasi kurang 3* ● ● ● - -
5% dari 30%
4.2.2 Kawasan terdegradasi 30 – 2 - - ● ● -
50%
4.2.3 Kawasan terdegradasi lebih 1 - - - ● ●
dari 50%
5. Potensi 5.1 Potensi sumber DAS/air
lingkungan 5.1.1 Kawasan hulu DAS 3* ● - - - -
5.1.2 Pengendali banjir 2 ● ● ● ● ●
7.5% 5.1.3 Pelestarian habitat 1 ● ● ● ● ●

Sintesis 2010-2014 | 155


5.2 Jasa lingkungan wisata
5.2.1 Objek wisata alam asli dari 3* - ● ● - -
2.5% alam/gejala alam
5.2.2 Objek wisata dimodifikasi 2 - - ● ● -
5.2.3 Tidak ada potensi yang dapat 1 - - ● ● ●
dikembangkan
6. Zonasi 6.1 Jumlah dan luas zona
pengelolaan 6.1.1 Terdapat tiga zona inti, 4* ● ● ● ● -
rimba, dan pemanfaatan
2.5% 6.1.2 Terdapat tiga zona dan zona 3 ● ● ● ● -
rehabilitasi
6.1.3 Terdapat empat zona dan 2* ● ● ● ● -
zona khusus
6.1.4 Zona tidak terpola 1 - - - - -
6.2 Proporsi luas zona
6.2.1 Zona inti >50% luas kawasan, kompak 3* ● ● - - -
5% 6.2.2 Zona pemanfaatan maksimal 30%,
tersebar 2 - ● - - -
6.2.3 Zona lain 5%, tersebar
1 - - ● ● -
6.2 Proporsi luas zona
6.2.1 Zona inti >50% luas kawasan, kompak 3* ● ● - - -
5% 6.2.2 Zona pemanfaatan maksimal 30%,
tersebar 2 - ● - - -
6.2.3 Zona lain 5%, tersebar
1 - - ● ● -
6.3 Keberadaan masyarakat dalam zonasi
6.3.1 Tidak ada masyarakat dalam zona inti
6.3.2 Tidak ada masyarakat pada zona rimba 4* ● - - - -
2.5% 6.3.3 Terbatasnya masyarakat dalam zona
khusus dan zona lain 3 - ● - - -
6.3.4 Terdapat pemukiman dalam zona inti
dan rimba 2 - - ● ● ●

1
7. Ancaman 7.1 Perburuan satwaliar dilindungi
kawasan 7.1.1 Perburuan tidak ada 3* ● ● - - -
7.1.2 Perburuan jarang 2 - - - - -
2.5% 7.1.3 Perburuan tradisional untuk budaya 1 - - ● ● ●
adat
7.2 Intervensi lahan untuk lahan dan
HHBK di luar zona pemanfaatan dan zona
khusus
2.5% 7.2.1 Masyarakat jarang memasuki kawasan 3* - ● - - -
7.2.2 Masyarakat lokal masih terbatas
memasuki kawasan 2 ● ● - - ●
7.2.3 Masyarakat tergantung kuat pada
kawasan 1 - - ● ● ●
8. Konflik 8.1 Konflik dengan satwaliar (mamalia
satwaliar besar)

Sintesis 2010-2014 | 156


8.1.1 Konflik jarang 3* ● ● - - ●
2.5% 8.1.2 Konflik sewaktu-waktu 2 - - ● - ●
8.1.3 Konflik sering 1 - - - ● ●
8.2 Tingkat bahaya konflik
8.2.1 Mengancam kehidupan 1 - - - - ●
2.5% 8.2.2 Mengganggu areal pertanian 2 - - - ● ●
8.2.3 Tidak menimbulkan kerugian 3* - ● ● ● ●
9. Pengelolaan9.1 Terdapat potensi kearifan masyarakat
kolaboratif lokal
9.1.1 Persepsi stakeholder terhadap 3* ● - ● - ●
masyarakat lokal (tinggi)
2.5% 9.1.2 Tingkat kepentingan masyarakat lokal 2 - - ● - ●
thp kawasan (tinggi)
9.1.3 Tingkat ancaman masy (tinggi) 1 - ● - ● ●
10. Penataan 10.1 Fungsi kawasan daerah penyangga
zona 10.1.1 Fungsi lindung
penyangga 10.1.2 Fungsi produksi 3* ● - - - ●
2.5% 10.1.3 Fungsi budidaya 2* - - - ● ●
1 - ● - ● ●
10.2. Penataan daerah penyangga
10.2.1 Areal berhutan 1 - 2 km dari batas 3* - - - ● ●
untuk hutan produksi dan budidaya
2.5% 10.2.2 Areal peralihan 2 - 5 km
10.2.3 Areal pemukiman 5 - 7 km 2 - - - ● ●
1 - - - ● ●
10.3 Sebaran pemukiman
10.3.1 Berbatas dengan zona tradisional 3* - - - - -
2.5% 10.3.2 Berbatas dengan zona pemanfaatan
10.3.3 Tersebar di zona lain 2* - - ● ● ●

1 - - - ● -
10.4 Fungsi daerah penyangga
2.5% 10.4.1 Keperluan budaya/adat 3 - - - ● ●
10.4.2 Keperluan habitat 2* - ● - - ●
10.4.3 Sumber kebutuhan masyarakat 1* - - ● ● ●

2. Pengelolaan dan Pemanfaatan Potensi


Jenis tanaman buah-buahan yang telah dibudidayakan oleh masyarakat
diantaranya adalah jambu monyet yang diambil metenya dan dijual dengan harga
berkisar Rp. 30.000,- - Rp. 50.000,- per kg, aren, pisang, mangga, jambu air, jambu
biji, sirsak.
Pengelolaan yang diterapkan di TNKW adalah pengelolaan kolaboratif yang saat
ini banyak diterapkan di taman nasional, kawasan lindung dan kawasan hutan
lainnya (Coonley dan Moote, 2001 dalam Beny dan Dwi, 2004). Karena pengelolaan
kolaboratif merupakan suatu alat pemecahan masalah (resolusi konflik) yang
mencakup sikap kerjasama (kooperatif) dan penegasan (asertif) dari berbagai pihak
yang berkepentingan secara efektif dan adil untuk mencapai tujuan bersama. Bentuk
pengelolaan kolaboratif adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas

Sintesis 2010-2014 | 157


lokal dan pengguna sumberdaya, lembaga non pemerintah dan kelompok lain yang
berkepentingan secara bersama-sama bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja
yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawabnya. Diversifikasi usaha
masyarakat meliputi usa jasa seperti menyewakan homestay, pengambilan kehati
seperti kepiting kenari dan pengambilan kerang serta menenun kain.
Keragaman hayati berupa kekayaan fauna TNKW juga menarik minat
masyarakat dimana kepiting kenari diambil dari tanah bebatuan dijerat dengan
singkong racun ataupun kelapa pada malam hari. Kepiting kenari iyang tertangkap
akan dijual apabila cukup besar dengan harga Rp. 50.000,- per ekor atau dikonsumsi
sendiri apabila ukurannya cukup kecil. Kegiatan lain untuk mengisi waktu luang bagi
wanita adalah menenun kain, sebanyak 40 orang. Modal usaha dibutuhkan untuk
membeli benang sebesar Rp. 70.000,- dalam seminggu dapat diselesaikan satu kain
yang dapat dijual dengan harga Rp. 140.000,-, sehingga dalam sebulan pendapatan
dari hasil tenunan sebesar Rp. 280.000,-. Masyarakat sekitar Taman Nasional Bukit
Tigapuluh termasuk penduduk Desa Siambul, Desa Rantau Langsat dan Desa Talang
Lakat sudah sejak lama memanfaatkan kawasan tersebut untuk menunjang keperluan
hidup sehari-hari. Sebagian besar adalah petani ladang berpindah. Dari quisioner
yang disebar diketahui bahwa rata-rata per kepala keluarga mempunyai 2 – 5 hektar
lahan (63,6%). Mereka membabat pohon di sekitar areal penyangga untuk keperluan
tersebut.
Hasil dari pembukaan lahan biasanya mereka manfaatkan untuk keperluan
sehari-hari, seperti kayu bakar dan kayu pertukangan lainnya. Pada awal pembukaan
lahan, biasanya mereka menanam padi ladang. Selain itu mereka juga menanami
dengan jagung, cabe, pisang dan tanaman palawija lainnya. Penanaman dilakukan
selama dua tahun dan selama pengelolaan tersebut, di sela-sela tanaman padi mereka
tanami dengan tanaman-tanaman tahunan seperti tanaman karet. Setelah dua tahun
maka lahan tersebut mereka tinggalkan dan kembali lagi setelah empat tahun untuk
memungut hasil dari tanaman karet tersebut. Sebagian penduduk juga memanfaatkan
hasil hutan berupa kayu-kayu komersil untuk mereka jual. Jenis kayu yang biasa
mereka ambil yaitu dari jenis meranti, kulin, kompas, mersana, kuranji, dll. Usaha
sampingan lainnya yang biasa dilakukan penduduk yaitu berburu binatang. Hewan-
hewan yang biasa diburu yaitu rusa, kijang, kancil, babi hutan, beberapa jenis
burung, ikan, labi-labi, dll. perburuan terhadap beberapa jenis satwa yang
mempunyai nilai jual yang tinggi, seperti Harimau sumatera, juga terjadi di kawasan
TNBT.
Namun akhir-akhir ini perburuan Harimau Sumatera mulai berkurang akibat
diberlakukannya undang-undang/hukum yang melarang kegiatan tersebut dan juga
kegiatan partisipatif yang dilakukan oleh pihak pengelola dan beberapa lembaga
yang mempunyai kepedulian terhadap kelestarian hewan dimaksud.Penduduk sekitar
TNBT sampai saat ini masih bergantung pada sungai sebagai sumber air bersih
mereka. Untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci, air minum, memasak

Sintesis 2010-2014 | 158


dan lain sebagainya, semuanya mereka dapatkan dari sungai dan anak-anak sungai
yang ada di sekitar tempat tinggal mereka yang jaraknya tidak lebih dari 500 meter.
Dari hari quisioner yag disebar, diketahui bahwa 54,5% responden
mengambil/tergantung sepenuhnya dari air sungai, 30% responden mengambil air
dari sungai dan sumur, dan sisanya 0,9% sudah sepenuhnya mengambil air dari
sumur. Anggapan air sungai merupakan sumber berbagai obat, telah menyebabkan
masyarakat enggan untuk beralih menggunakan sumber-sumber air bersih lainnya.
Jumlah kunjungan ke TNBT selama tahun 2002, yaitu jumlah kunjungan
wisatawan nusantara sebayak 637 orang dan wisatawan manca negara sebayak 38
orang. Total jumlah pengunjung tahun 2002 yaitu 675 orang. Hanya sebagian kecil
masyarakat yang ikut memanfaatkan potensi wisata yang ada di kawasan TNBT. Hal
tersebut dikarenakan pengelolaan pariwisata di TNBT lebih bayak dilakukan oleh
aparat atau lembaga-lembaga lainnya. masyarakat hanya terlibat sebagai pendamping
yang memperoleh sedikit uang dari kegiatan wisata tersebut. Namun hal ini tidak
terlepas dari tingkat pengetahuan masyarakat yang masih relatif rendah terhadap
bidang kepariwisataan.Pemanfatan sumber dayasumber yang ada di TNBT dapat
dikatakan masih dalam kondisi yang normal. Hanya karena semakin bertambahnya
jumlah penduduk, kebutuhan akan sumberdaya-sumberdaya tersebut semakin
meningkat. Meningkatnya kebutuhan menimbulkan kesan seolah-olah sumber daya
yang ada di TNBT semakin berkurang. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil
wawancara dengan beberapa responden yang menyatakan bahwa hasil hutan
terutama hasil hutan bukan kayu seperti rotan, jernang, kayu gaharu dan yang lainnya
semakin jarang didapatkan. Namun secara umum hampir semua responden
menyatakan bahwa keadaan TNBT sampai saat ini masih tetap seperti dahulu,
dengan kata lain tidak banyak mengalami perubahan-perubahan. Hal ini diperkuat
oleh pernyataan dari petugas pengelola TNBT yang menyatakan bahwa sampai saat
ini aktivitas masyarakat sekitar TNBT masih dalam areal penyangga, sehingga
aktivitas tersebut tidak begitu mempengaruhi keadaan TNBT. Hanya saja yang perlu
diperhatikan yaitu tata batas TNBT yang sampai saat ini belum begitu jelas bagi
masyarakat sekitar. Sebagian besar responden (66,6%) menyatakan tidak mengetahui
tata batas tersebut. Hal ini tentu saja akan berdampak terhadap pengelolaan TNBT
kedepan, karena seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat, kebutuhan
akan lahan juga terus meningkat, dan bila tata batas belum jelas maka secara
langsung atau tidak langsung keberadaan TNBT akan terancam.Di daerah penyangga
perladangan berpindah telah menyebabkan vegetasi yang ada di sekitar TNBT
berubah dari yang semula beragam jenis menjadi monokultur. Setiap tahunnya
masyarakat membuka lahan lebih kurang 2 – 5 ha per kepala keluarganya. Hal ini
menyebabkan lahan di sekitar TNBT dengan cepat berkurang dan berdampak negatif,
tidak hanya bagi keanekaragaman tumbuhan, tetapi juga terhadap kondisi fisik lahan
dan habitat fauna.Dampak lain yang mulai dirasakan oleh masyarakat di sekitar
TNBT yaitu mulai berubahnya kondisi air sungai. Dari hasil wawancara dan
penyebaran quisioner diketahui bahwa sebanyak 25% responden sudah mulai

Sintesis 2010-2014 | 159


mengeluh bahwa kondisi air sungai mulai keruh. Akibatnya masyarkat kesulitan
mendapatkan air bersih untuk mereka minum, selain itu, masyarakat yang biasa
menangkap ikan juga terkena dampaknya, mereka yang biasa menangkap ikan
dengan menggunakan tombak (karena air sungai jernih) menjadi semakin sulit. Di
musim kemarau, beberapa aliran Anak Sungai Batang Gangsal mengalami
kekeringan. Hal ini dikarenakan aktivitas penebangan kayu di daerah hulu sungai
yang dahulu sering dilakukan, sehingga fungsi hutan sebagai penangkap resapan air
menjadi kecil. Namun saat ini aktivitas tersebut mulai berkurang, sesuai dengan apa
yang dikatakan oleh petugas pengelola TNBT, yaitu bahwa aktivitas penebangan
kayu di hulu sungai saat ini sudah dihentikan. Hal ini tentu memberi harapan yang
baik bagi kelestarian sungai-sungai yang ada di sekitar TNBT.
Pemanfaatan tanaman lainnya tidak banyak memberikan pengaruh negatif pada
lingkungan dan masyarakat. Hal ini juga disebabkan karena di kalangan masyarakat
(khususnya Suku Talang Mamak) berlaku undang-undang tidak tertulis atau hukum
adat yang menyatakan bahwa tumbuhan penghasil buah/getah tidak boleh ditebang
dan sebagai konsekuensi apabila tumbuhan itu ditebang, maka yang bersangkutan
akan dikenai denda berupa uang. Perburuan terhadap Harimau sumatera banyak
terjadi di kawasan TNBT. Dari hasil wawancara yang dilakukan pada salah seorang
pemburu Harimau sumatera dikatakan bahwa dalam sebulan minimal ia bisa
mendapatkan satu ekor. Hal ini tentu saja akan berdampak negatif terhadap
kelestarian dan mengganggu keseimbangan alam. Pengaruh yang ditimbulkan oleh
bidang kepariwisataan belum begitu terlihat di masyarakat. Seperti disebutkan di
atas, masyarakat hanya terlibat pada sebagian kecil kegiatan tersebut disamping
memang pengelolaan kepariwisataan di TNBT belum maksimal.
3. Pengelolaan Kolaboratif
Keluarnya Permenhut No P.19/Menhut-II/2004 tentang pengelo-laan kolaboratif
di kawasan konservasi telah menunjukkan bahwa pengelolaan kolaboratif dianggap
sebagai alat yang penting untuk memecahkan permasalahan penggunaan lahan yang
tumpang tindih di kawasan konservasi. Permenhut ini menyediakan petunjuk yang
umum tentang persiapan, implementasi, monitoring dan evaluasi dalam pengaturan
kolaboratif. Sebagian besar taman nasional telah dan sedang berada dalam proses
kolaborasi ini. Beberapa taman nasional dan hutan lindung telah berada dalam proses
panjang menuju pengelolaan kolaboratif jauh sebelum keluarnya Permenhut tersebut.
Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM)di Kalimantan Timur adalah yang
pertama mengaplikasikan kolaborasi ini (Borrini-Feyerabend et al, 2007). Kolaborasi
di TNKM ini melegalkan kegiatan tradisional di hutan adat milik masyarakat Dayak
yang tinggal di dalam kawasan taman nasional. Kolaborasi ini menghasilkan
terbentuknya Forum masyarakat adat (FoMMA) ini dibentuk sebagai wadah
penampung aspirasi masyarakat adat tentang perlindungan hutan, hutan,
perlindungan hak adat serta kesejahteraan masyarakat adat. Forum ini terwakili
dengan baik dalam Dewan Penentu Kebijakan TNKM. Dewan ini terdiri dari

Sintesis 2010-2014 | 160


perwakilan para pemangku kepentingan TNKM yaitu FoMMA, pemerintah pusat
dan lokal. Pengelolaan kolaborasi juga dipraktekkan di TN Rawa Aopa Watumohai,
TN Lore Lindu, TN Komodo, Hutan Lindung Wehea, HL Sungai Wain serta masih
banyak lainnya.
Walaupun banyak keberhasilan yang diraih akan tetapi tidak sedikit yang
mengalami kegagalan dalam mengimplementasikan kolaborasi ini. Tidak adanya
fasilitator dalam proses kolaborasi, partisipasi masyarakat yang rendah serta dewan
penasehat yang tidak berfungsi juga menjadi beberapa faktor kegagalan kolaborasi di
berbagai tempat (Anshari, 2006; Angi, 2005; Erdman et al, 2004, Moeliono dan
Purwanto, 2008). Contoh kegagalan ini dapat dilihat pada TN Danau Sentarum dan
TN Kutai. Menurut Anshari (2006), salah satu kendala yang menghambat proses
kolaborasi di TN Danau Sentarum adalah tidak adanya kepercayaan antar para
pemangku kepentingan. Pengelola TN dan LSM lokal saling berkompetisi dalam
memutuskan yang terbaik bagi TN dan masyarakatnya. Situasi ini menyebabkan
tidak adanya pihak yang bersedia menjadi fasilitator proses kolaborasi. Demikian
juga yang terjadi dengan TN Kutai yang mengalami kondisi kritis akibat adanya
perambahan dan penambangan illegal. Adanya perebutan kendali atas TN antara
pemerintah pusat dan daerah dan lemahnya penegakan hukum menyebabkan banyak
pelanggaran hukum di tempat tersebut (Moeliono dan Purwanto, 2008). Aliansi 6
perusahaan di sekeliling TN Kutai (Mitra Kutai) yang salah satunya adalah
perusahaan tambang PT. KPC (Kaltim Prima Coal) tidak berminat mendiskusikan
keselamatan TN, mereka hanya sebatas memberi dana untuk kampanye hijau akan
tetapi terus melanjutkan bisnis.
Berbagai perubahan paradigma dan kebijakan dalam pengelolaan kawasan
konservasi telah terjadi di Indonesia (Peratutan Menhut No. P.19/Menhut-II/2004
tentang Pengelolaan Kolabaratif) antara lain :
a. Pengelolaan dari satu stakeholder menjadi multi stakeholder dan dari government-
based management menjadi multi stakeholder based management/collaborative
management.
b. Dari kawasan yang semata-mata sebagai kawasan perlindungan
keanekaragamanhayati menjadi kawasan perlindungan keanekara-gaman hayati
yang memiliki fungsi sosial ekonomi jangka panjang untuk mendukung
pembangunan yang berkesinambunagan.
c. Beban pembiayaan pengelolaan yang semula ditanggung oleh pemerintah menjadi
beban bersama pemerintah dan penerima manfaat.
d. Dari close access menjadi regulated open access.
Untuk mengimplementasikan peraturan tersebut sudah selayaknya pengelolaan
kawasan CADS dilakukan secara collaborative management. Berbagai lembaga
terkait dan memiliki minat, kepedu-lian, atau kepentingan dalam upaya konservasi
kawasan suaka alam maupun konservasi jenis dapatdilibatkan untuk membantu

Sintesis 2010-2014 | 161


meningkatkan efektivitas dan kemanfaatan pengelolaan kawasan CADS bagi
kesejahteraan rakyat.
Pengelolaan kolaborasi (co-management) atau dikenal juga dengan istilah
lainnya seperti participatory merupakan salah satu bentuk penanganan konflik yang
mengakomodir berbagai kepentingan dan mengklarifikasi perbedaan. Hal ini
digunakan sebagai suatu pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang
mempunyai banyak dimensi, menggabungkan berbagai pihak yang memiliki peran,
dengan sasaran akhir adalah konservasio lingkungan, pemerataan distribusi manfaat
dan tanggung jawab (Borrini-Feyerabend et.al, 2000).Sedangkan Tadjudin (2000)
mendifinisikan manajemen kolaborasi sebagai suatu bentuk manajemen yang
mengakomodasikan kepentingan seluruh stakeholder secara adil, dan memandang
harkat setiap stakeholder sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tatanilai yang
berlaku dalam rangka pencapaian tujuan bersama. Nilai-nilai utama dalam
pengelolaan kolaborasi (Awang et. al, 2005), antara lain:
a. Mengakui adanya perbedaan nilai-nilai, kepentingan dan kepedulian dalam
pengelolaan sumberdaya hutan
b. Terbuka terhadap kemungkinan hadirnya ragam tipe-tipe pengelo-laan
sumberdaya hutan diluar sesuatu yang sudah dikenal dan ditetapkan dalam
peraturan formal
c. Keterbukaan dan pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam
d. Memungkinkan masyarakat sipil memainkan peranan yang lebih penting dan
bertanggung jawab
e. Menghormati suatu proses sebagai hal yang penting dibandingkan orientasi hasil-
hasil dalam waktu singkat
f. Belajar dan bekerja melalui revisi-revisi kegiatan yang sedang berjalan dan
meningkatkannya dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
Kawasan konservasi yang pertama mengimplikasikan Permenhut tentang
kolaborasi tersebut yaitu Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) (Borrini-
Feyerabend et.al, 2007).Kolaborasi antara pengelola TNKM dengan masyarakat
adalah melegalkan kegiatan tradisional di hutan adat milik masyarakat Dayak yang
bermukim di dalam kawasan. Perjanjian kesepakatan tersebut tertuang dalam Forum
Masyarakat Adat (FoMMA) sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat adat
tentang perlindungan hutan, kelestarian hutan, perlindungan hak adat serta
kesejahteraan masyarakat adat. Selanjutnya, perwakilan para pemangku kepentingan
TNKM yang terdiri dari FoMMA, pemerintah pusat dan daerah menyatu dalam
bentuk forum Dewan Penentu Kebijakan TNKM.
Stakeholder yang terkait dalam pengelolaan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung sebanyak 12 institusi, diantaranya adalah: Balai TN Babul, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros, Dinas Pertanian Kabupaten Maros,
PDAM Kabupaten Maros, PNM Mandiri, masyarakat sekitar TN Babul, Badan
Pertanahan Nasional, Lembaga Pengelola Air, Dinas Pariwisata Kabupaten Maros,

Sintesis 2010-2014 | 162


Badan Pelaksana Penyuluhan dan tanaman Pangan Kabupaten Maros, LSM baik
lokal maupun Internasional serta Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian.
Kepentingan setiap stakeholder dan dampaknya terhadap pengelolaan TN Babul
disajikan dalam tabel berikut.
Pengelolaan kolaboratif bertujuan untuk mengatasi konflik dalam pemanfaatan
lahan dalam TN, tata batas, perbedaan persepsi tentang pemanfaatan kawasan serta
rendahnya tingkat pendapatan masyarakat. Kegiatan pengelolaan dimulai dengan
keterlibatan masyarakat dalam menentukan zonasi dan aturan pemanfaatan, restorasi
zona tradisional, pengembangan wisata dan mengelola daerah penyangga. Kegiatan
dalam mengatasi konflik membentuk forum dialog, kegiatan sosiali-sasi, kegiatan
pemanfaataan zona khusus dan pengembangan sumber penghasilan dilahan
masyaraat.
Pengelolaan Kolaboratif TNK sudah terbentuk, namun masih terbatas sebagai
penyandang dana. Dalam hal ini perlu dilakukan Peningkatan fungsi kelembagaan
untuk mengatasi berbagai tekanan ekosistem di TNK. Penelitian akan memberikan
masukkan dalam pengelolaan zona khusus dan menetapkan kriterianya.
Pola pemanfaatan sumber daya alam di Taman Nasional Sebangau adalah
didasarkan pada sumber daya air (sungai) dan memungut hasil hutan. Menangkap
ikan adalah mata pencaharian pokok masyarakat di sekitar Taman Nasional
Sebangau. Telah teridentifikasi kelembagaan pemanfaatan lahan dan hasil hutan
dalam diagram venn yang memuat pihak-pihak yang berperan dalam pemanfaatan
sumber daya air tersebut. Selain kelembagaan pemanfaatan lahan dan hasil hutan,
juga telah teridentifikasi zona kolaborasi dan model okupasi lahan pada TN
Sebangau.
Pola kolaborasi untuk Taman Nasional Sebangau masih pada tahap
“Konsultasi”. Sedangkan tipologi konservasi di Taman Nasional Sebangau berada
pada level “Park Outreach”. Implementasi kebijakan Permenhut No. P.19/2004 di
TN Sebangau masih pada tahap yang sangat awal akan tetapi dengan berkolaborasi
dengan WWF Kalteng diharapkan ke depannya proses menuju pengelolaan
kolaboratif ini dapat terwujud dengan terwujudnya Board of Trustee TN Sebangau
dan adanya revisi zonasi. Sosialisasi, sumberdaya manusia maupun finansial,
mekanisme monitoring dan evaluasi perlu ditingkatkan dan tim terpadu program
kerja TN Sebangau harus diefektifkan sehingga implementasi kebijakan Permenhut
P. 19/2004 dapat berjalan dengan baik.
Mengingat kualitas sumberdaya manusia di sekitar kawasan taman nasional
umumnya rendah dilihat dari tingkat pendidikannya, maka bentuk kolaborasi yang
telah dilakukan di TN Babul adalah pening-katan kualitas sumberdaya manusia atau
peningkatan kemampuan (capacity building) melalui kegiatan penyuluhan dan
pelatihan, yang melibatkan stakeholder yang berkaitan seperti Badan Pelaksana

Sintesis 2010-2014 | 163


Penyuluhan dan Tanaman Pangan, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan
Perkebunan serta Lembaga Swadaya Masyarakat (Kadir et.al., 2010) .
Disamping itu, pencanangan zonasi yang ditujukan untuk meng-akomodir
kepentingan masyarakat adalah penetapan zona tradisional, dimana kegiatan
masyarakat di dalam kawasan dapat dilakukan melalui nota kesepakatan atau nota
kesepahaman (MoU) terutama petunjuk teknis kegiatan peremajaan tanaman kemiri
yang merupakan sumber pendapatan utama masyarakat di Kecamatan Camba,
Cenrana dan Mallawa sebanyak 58%, dimana pendapatan masyarakat dari tanaman
kemiri di dalam kawasan TN Babul berkisar antara 2,02%-100% atau rata-rata
sebesar 79,09% (Kadir et.al., 2010). Tanaman kemiri yang telah dikembangkan oleh
masyarakat secara turn-temurun di TN Babul mengalami penurunan produktivitas
dalam kurun waktu empat tahun sekitar 150 kg/ha dari 0,6 to/ha,tahun 2005 menjadi
0,45 ton/ha, tahun 2009 (Yusran, 2005 dan Dishutbun Maros, 2009). Penurunan ini
disebabkan umur tegakan kemiri yang telah tua, rata-rata lebih dari 56 tahun
sehingga memerlukan peremajaan karena tanaman kemiri diperkirakan mencapai 40-
60 tahun (Elevitch dan Menner, 2006).
Pengelolaan jasa lingkungan air di TN Babul melibatkan Perusahaan Air Minum
Daerah (PDAM), Lembaga Pengelola Air di masyarakat dan Dinas Pariwisata
hendaknya berperan aktif dalam kelestarian kawasan dalam sistem bagi hasil, yang
dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Saat ini, kerjasama pengelolaan
pariwisata antara TN Babul dan Pemda Maros, menghasilkan kesepakatan dalam
bentuk bagi hasil 25%: 75%.
Keberhasilan implementasi kolaborasi di beberapa taman nasional juga diikuti
kegagalan pelaksaannnya di beberapa kawasan seperti TN Kutai dan TN Danau
Sentarum. Kegagalan kolaborasi di TN Danau Sentarum diakibatkan tidak adanya
kepercayaan antar pemangku kepentingan dan kompetisi dalam menentukan arah
kebijakan taman nasional.
Transformasi konflik disebabkan karena ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang
muncul sebagai masalah sosial, ekonomi, dan budaya.Konflik antara masyarakat dan
pengelola TN Babul terjadi karena adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh
masyarakat sekitar TN Babul. Masyarakat yang telah hidup secara turun-temurun
jauh sebelum daerah tersebut ditetapkan sebagai Kawasan hutan dan berubah fungsi
TN Babul menjadi terpinggirkan dari daerahnya karena keterbatasan lahan garapan
dan sumber penghasilan. Sebagian anggota keluarganya pada akhirnya melakukan
migrasi ke daerah lainnya (perkotaan, lintas kabupaten atau provinsi) mencari
sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kondisi seperti
ini banyak terjadi di Kecamatan Camba dan Mallawa, Kabupaten Maros.
Perbedaan-perbedaan yang ada antara masyarakat dan pengelola TN Babul
dalam pemanfaatan SDAH, komunikasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan
kepercayaan antara masyarakat dan pengelola TN Babul, serta keterbatasan

Sintesis 2010-2014 | 164


pengelola kawasan TN Babul untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat
sekitar kawasan TN Babul menjadi pemicu dan sumber terjadinya konflik. Perbedaan
yang ada patut dihormati dan didialogkan. Dengan kata lain konflik yang terjadi
perlu dicarikan solusinya yang dapat diterima kedua belah pihak.
4. Upaya Penyelesaian Konflik
Konflik dapat ditemukan di hampir setiap bidang interaksi manusia. Akan tetapi
tidak setiap interaksi perlu melibatkan konflik.Hal ini terjadi karena pada umumnya
manusia mampu bergaul dengan baik dengan orang-orang, kelompok, maupun
organisasi lain; pergaul-an itu mereka lakukan dengan penuh perhatian, kemauan
untuk membantu, dan keterampilan sedemikian rupa sehingga hanya terjadi sedikit
konflik di dalamnya. Bilamana konflik itu memang terjadi, maka konflik itu lebih
sering dapat diatasi daripada tidak (Pruitt dan Rubin, 2009).
Konflik yang muncul dalam pengelolaan SDAH bukan untuk dihilangkan akan
tetapi perlu dicarikan solusinya. Demikian halnya dengan pihak yang memiliki posisi
yang lemah dalam situasi konflik tidak perlu dipinggirkan akan tetapi diberikan
ruang untuk berdialog. Konflik yang terjadi pada dasarnya memiliki sisi positif
disamping sisi negatif. Sisi positif dari konflik adalah persemaian yang subur bagi
terjadinya perubahan sosial, dapat memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas
berbagai kepentingan, dan dapat mempererat persatuan kelompok. Sisi negatif dari
konflik adalah dapat membuka jalan terjadinya tindakan yang lebih keras, jumlah
masalah yang timbul dalam konflik dapat meningkat, fokus yang pada awalnya
bersifat khusus dapat melebar dan menjadi bersifat global, motivasi dapat berubah
untuk membuat pihak lain menderita, dan jumlah pihak yang berkonflik cenderung
meningkat.

Sintesis 2010-2014 | 165


9.3.Model Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Sintesis 2010-2014 | 166


B. MODEL PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL BERDASARKAN
EKOSISTEM
Pengelolaan taman nasional berdasarkan tipologi ekosistem dilakukan dengan
mempertimbangkan 1). nilai biodiversitas, nilai kawasan, nilai jasa lingkungan dan
nilai manfaat langsung kepada masyarakat 2). Membangun kriteria dan indikator
zonasi khususnya zonasi pemanfaatan, zona rehabilitasi dan zona khusus yang
memberikan nilai ekonomi dan kebutuhan dasar masyarakat. 3). Keselarasan zona
rimba dan zona inti dalam lanskap menurut letak geografi, topografi, tutupan lahan
dan luas kawasan 4). Kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat yang
mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengamanan kawasan.
Strategi pengelolaan taman nasional dalam jangka pendek yang utama adalah
membangun kelembagaan kolaboratif yang dapat meningkatkan pengamanan
kawasan, biodiversitas, restorasi kawasan dan pengelolaan daerah penyangga zona
pemanfaatan dan zona khusus melalui peningkatan manfaat jasa lingkungan untuk
peningkatan ekonomi masyarakat daerah penyangga.
Secara keseluruhan kriteria dan indikator taman nasional telah teridentifikasi 10
kriteria dengan 28 indikator masing-masing dengan nilai indeks 1-4.Implementasi
kriteria indikator optimal pengelolaan taman nasional dapat dilihat dari penetapan
zonasi yang telah dilaksanakan dan keselarasannya dengan tata guna lahan di daerah
penyangga. Taman nasional yang berbatasan dengan hutan produksi, pengelolaan
hutan produksi perlu mendukung keamanan dan pelestarian satwa endemik. Untuk
itu perlu pengelolaan kawasan bekas tebangan dalam bentuk wilayah konservasi
seluas 30%; dan pengelolaan kawasan dengan metode Reduce Impact Logging
(RIL). Taman nasional yang berbatasan dengan areal penggunaan lain, desa,
perkebunan dan kawasan budidaya, areal selebar 2-7 km dari batas TN perlu dikelola
dalam bentuk agroforestry sedangkan pemukiman ditata dalam jarak minimal 5 km
dari batas kawasan.Keberadaan masyarakat dalam TN di identifikasi masih ada
masyarakat melakukan praktek ladang berpindah berladang sawah. Sebagian taman
nasional telah mendapatkan areal ladang dan pemukiman tersebut menjadi zona
khusus. Zona khusus dengan bangunan sapras yang memadai telah mengindikasikan
terjadinya peningkatan degradasi hutan sekitarnya melalui perluasan ladang atau
pengambilan kayu. Kondisi ini perlu di evaluasi terutama pembatasan luas zona
khusus dan membangun zona rehabilitasi disekitar zona khusus.
Berdasarkan data dan hasil analisis diatas, kriteria indikator yang perlu di
bangun untuk pengelolaan taman nasional berdasarkan zonasi adalah:
1. Nilai keberadaan taman nasional
2. Nilai jasa lingkungan dan karbon
3. Nilai wisata yang dapat menguatkan ekonomi masyarakat
4. Nilai manfaat langsung bagi masyarakat
5. Keanekaragaman satwa liar ekosistem habitat dan keaslian vegetasi
6. Keberadaan masyarakat dan diluar kawasan

Sintesis 2010-2014 | 167


7. Tata guna lahan dan pemukiman diluar kawasan
8. Pola tanam dan vegetasi daerah penyangga
9. Aktivitas dan kebutuhan Keberadaan masyarakat disekitar kawasan menjadi
dasar untuk mengembangkan nilai taman nasional dalam pemulihan kebutuhan
dasar dan peningktan ekonomi melalui pengelolaan jasa lingkungan wisata alam
10. Peningkatan persepsi masyarakat berbanding lurus dengan nilai yang didapat
masyarakat dari hasil pengelolaan kawasan
11. Peningkatan persepsi masyarakat memberikan dampak positif terhadap
pengamanan kawasan, pengamanan dari perburuan, keberhasilan pembinaan
habitat dan restorasi ekosistem.
Pengelolaan taman nasional berdasarkan ekosistem ditentukan oleh:
1. Tipe ekosisten dan keberadaan satwa liar endemik dan langka
2. Keragaman ekosistem sesuai habitat satwa tertentu
3. Potensi ekosistem dan jasa lingkungan yang dapat dikembangkan menjadi objek
wisata
4. Kebutuhan dasar dan sosial ekonomi masyarakat
5. Tingkat partisipasi masyarakat
6. Tingkat kerusakan kawasan
7. Daya dukung kawasan sebagai habitat satwa
8. Penataan dan fungsi kawasan daerah penyangga

Pengelolaan Model dan Pengelolaan Daerah


Kolaboratif Penyangga

Model Taman Zonasi Taman


Nasional Nasional

Dinamika Ekosistem

Nilai Jasa Lingkungan, Sosial Ekonomi, Pelestarian


Biodiversitas dan Perbaikan Lingkungan

9.4.Model pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional berbasis ekosistem.

Sintesis 2010-2014 | 168


C. STRATEGI MANAJEMEN TAMAN NASIONAL
Pengelolaan kawasan konservasi khususnya taman nasional menghadapi
berbagai persoalan yang dapat dikelompokkan menjadi persoalan internal maupun
eksternal Persoalan internal terkait dengan organisasai serta kelembagaan
diantaranya adalah: Sistem perencanaan yang dituangkan dalam Rencana
Pengelolaan (RP) berjangka waktu 20-25 tahun, dijabarkan ke dalam Rencana Karya
Lima tahun (RKL) dan Rencana tahunan. Kelemahan RP, RKL, RKT, Zonasi Taman
Nasional lainnya adalah kurangnya proses konsultasi public, akurasi data dan
informasi, identifikasi isu-isu strategis, revisi zonasi dan keterkaitan antara
penyusunan program pengelolaan. Persoalan eksternal merupakan dampak langsung
dari perubahan ruang dan lahan yang memberikan tekanan terhadap kawasan
konservasi, kondisi ini meliputi: Perubahan tutupan hutan tersebut berupa
pembukaan lahan untuk perluasan kabupaten/kota, perkebunan, pertanian, HTI dan
kawasan terbuka open access (sarana dan prasarana umum serta pemukiman).
Perambahan kawasan konservasi mencapai 27,1 jutan ha atau 20% dari total luas
hutan di Indonesia (Haryono, 2013).Perubahan politik menuju otonomi daerah sejak
tahun 1998 juga memicu kebutuhan akan ruang yang didapatkan dari kawasan hutan,
disamping perambahan hutan dengan motif ekonomi seperti di TN Bukit Barisan
Selatan (> 50.000 ha untuk perkebunan kopi rakyat), TN Leuser (20.000 ha kawasan
rusak dan 4.000 ha untuk perkebunan sawit), TN Kutai (23.000 ha dengan
kandungan batubara 6-7 terancam, legasisasi 7 desa di 2 kecamatan dilepaskan atas
permintaan Bupati Kutai Timur).
Keberadaan masyarakat asli, setempat ataupun masyarakat tradisional yang
berada di dalam kawasan konservasi seperti masyarakat kasepuhan di TN Gunung
Halimun Salak , dua belas suku Dayak di Tn Kayan Mentarang, masyarakat Kubu di
Tn Bukit Dua Belas, suku Talangmamak di Bukit Tiga Puluh, masyarakat sekitar
Danau Lore Lindu di TN Lore Lindu, suku Mentawai di TN Siberut. Persamaan
persepsi antara stakeholder yang memiliki perbedaan kepentingan dan interest.
Berdasarkan permasalahan pengelolaan kawasan diatas diperlukan perubahan
paradigmatik pola pengelolaan taman nasional yang dibangun dari berbagai inisiatif,
terobosan, inovasi pengelolaan, dukungan dari berbagai cabang ilmu dan kepakaran
serta didasarkan pada data dan informasi spatial dan non spatial yang terbaru dan
akurat dengan mengembangkan proses keputusan melalui ilmu pengetahuan. Strategi
pengelolaan taman nasional untuk mencapai tujuan secara efisien dan optimalisasi
dilakukan melalui tahapan perencanaan, kelembagaan, dan kolaborasi.
1. Tahapan Perencanaan
Rencana strategis kawasan konservasi dititik beratkan pada tata batas dan sistem
zonasi taman nasional, pengelolaan habitat dan polulasi baik di darat maupun di
perairan laut, pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dari kawasan,

Sintesis 2010-2014 | 169


pengamanan kawasan melalui low enforcement, pembinaan kepemimpinan dan
manajerial petugas dan jagawana, pengembangan kemitraan dan daerah penyangga.
Rencana program dan kegiatan seperti TN Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR),
Tahun 2010-2029 (Balai Taman Nasional Bukut Baka Bukit Raya, 2009) terdiri dari
pengembangan organisasai kelembagaan, pemantapan kebijakan pengelolaan,
peningkatan kapasitas personil dan penambahan staf, penyusunan prosedur kerja
(SOP) dan petunjuk teknis , peningkatan sarana dan prasarana, pengukuhan tata batas
kawasan, penataan zonasi, pembangunana pusat data, pembangunan sinergi program
dengan Strategic Plan of Action Heart of Borneo, kemitraan, penggalangan sumber
dana para pihak, peningkatan konsultasi dan koordinasi, pembangunan media
komunikasi bersama, pengamanan kawasan, penegakan hokum, pengendalian
kebakaran hutan dan lahan, penyuluhan kehutanan, pengembangan jasa lingkungan,
pembangunan pusat riset, pengembangan wisata alam, pengembangan daerah
penyangga serta pemberdayaan masyarakat.
2. Kelembagaan
Pengembangan daerah penyangga yang berbatasan langsung dengan taman
nasional disesuaikan dengan peranan yang terkait tugas dan tanggung jawab setiap
lembaga dijelaskan dalam Edaran menteri Dalam Negeri No. 660.1/269/V/Bangda
tanggal 16 Februari 1999 tentang Pengelolaan Kawasan Penyangga Taman Nasional.
Struktur kelembagaan pengelola daerah penyangga melibatkan berbagai instansi
yaitu Pemerintah Provinsi, Kabupaten sampai Desa. Bentuk-bentuk kelembagaan
yang terdapat di desa-desa sekitar zona penyangga TN Bukit Tigapuluh terdiri dari
(Kuswanda dan Mukhtar, 2006): Kelembagaan informal/tradisional yaitu lembaga
adat yang dipimpin oleh batin. Fungsinya lebih sederhana atau hanya menyelesaikan
persoalan adat dimana fungsi batin sebagai kepal pemerintahan menjadi hilang.
Kelembagaan formal, lembaga ini terdiri dari kepala desa/lurah dibantu Sekretaris
Desa, Kepala Dusun, Kepala Rukun Warga dan Kepala Rukun Tetangga dengan
lembaga legeslatifnya Badan Perwakilan Desa (BPD).
Kegiatan penataan batas dan ruang di TN Bukit Tigapuluh dalam suatu
rangkaian proses untuk membuat batas, menyusun perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang daerah penyangga menurut penilaian berbagai
stakeholder sebagai berikut Balai TN Bukit Tigapuluh (33,9%), Pemerintah Daerah
(31,0%), Lembaga masyarakat local (26,5%), lembaga swadaya masyarakat (8,6%),
sedangkan upaya perlindungan dan menjaga kelestarian kawasan merupakan
tanggung jawab Balai Tn Bukit Tigapuluh (42,1%) dan lembaga masyarakat lokal
(24,9%). Peningkatan sumberdaya manusia dan ekonomi masyarakat menjadi tugas
dari lembaga masyarakat local (46,2%), Pemerintah Daerah (25,3%), Balai TN Bukit
Tigapuluh (21,2%) dan lembaga swadaya masyarakat (7,3%). Selanjutnya, lembaga
yang memantau berjalannya pengelolaan di daerah penyangga menurut stakeholder

Sintesis 2010-2014 | 170


adalah lembaga swadaya masyarakat (31,5%) dan lembaga masyarakat lokal
(28,7%).
3. Kolaborasi
Sistem pengelolaan sumberdaya alam yang mengarah dan berkembang pada
pengelolaan bersama atau collaborative management merupakan kolaborasi berbagi
kewenangan dan tanggung jawab antara pengelola kawasan, para pihak dan
masyarakat yang berkepentingan. Tingkatan dalam kolaborasi ini dicirikan oleh
intensitas interaksi diantara para pihak, dimulai dari penyampaian informasi,
konsultasi, kerjasama, pertukaran informasi, pengarahan, aksi bersama, kemitraan,
control masyarakat, dan koordinasi berbagai bidang ( Pomeroy dan Berkes, 1997).
Berbagai perubahan paradigma dan kebijakan dalam pengelolaan kawasan
konservasi telah terjadi di Indonesia (Peraturan Menhut No. P.19/Menhut-II/2004
tentang Pengelolaan Kolabaratif) antara lain :
a. Pengelolaan dari satu stakeholder menjadi multi stakeholder dan dari government-
based management menjadi multi stakeholder based management/collaborative
management.
b. Dari kawasan yang semata-mata sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman
hayati menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang memiliki
fungsi sosial ekonomi jangka panjang untuk mendukung pembangunan yang
berkesinambunagan.
c. Beban pembiayaan pengelolaan yang semula ditanggung oleh pemerintah menjadi
beban bersama pemerintah dan penerima manfaat.
d. Dari close access menjadi regulated open access.
Pengelolaan kolaborasi (co-management) atau dikenal juga dengan istilah
lainnya seperti participatory merupakan salah satu bentuk penanganan konflik yang
mengakomodir berbagai kepentingan dan mengklarifikasi perbedaan. Hal ini
digunakan sebagai suatu pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang
mempunyai banyak dimensi, menggabungakan berbagai pihak yang memiliki peran,
dengan sasaran akhir adalah konservasi lingkungan, pemerataan distribusi manfaat
dan tanggung jawab. Nilai-nilai utama dalam pengelolaan kolaborasi, antara lain:
a. Mengakui adanya perbedaan nilai-nilai, kepentingan dan kepedulian dalam
pengelolaan sumberdaya hutan
b. Terbuka terhadap kemungkinan hadirnya ragam tipe-tipe pengelolaan sumberdaya
hutan diluar sesuatu yang sudah dikenal dan ditetapkan dalam peraturan formal
c. Keterbukaan dan pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam
d. Memungkinkan masyarakat sipil memainkan peranan yang lebih penting dan
bertanggung jawab
e. Menghormati suatu proses sebagai hal yang penting dibandingkan orientasi hasil-
hasil dalam waktu singkat
f. Belajar dan bekerja melalui revisi-revisi kegiatan yang sedang berjalan dan
meningkatkannya dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Sintesis 2010-2014 | 171


Kawasan konservasi yang pertama mengimplikasikan Permenhut tentang
kolaborasi tersebut diantaranya Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM).
Kolaborasi antara penelola TNKM dengan masyarakat adalah melegalkan kegiatan
tradisional di hutan adat milik masyarakat Dayak yang bermukim di dalam kawasan.
Perjanjian kesepakatan tersebut tertuang dalam Forum Masyarakat Adat (FoMMA)
sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat adat tentang perlindungan hutan,
kelestarian hutan, perlindungan hak adat serta kesejahteraan masyarakat adat.
Selanjutnya, perwakilan para pemangku kepentingan TNKM yang terdiri dari
FoMMA, pemerintah pusat dan daerah menyatu dalam bentuk forum Dewan Penentu
Kebijakan TNKM.
Taman Nasional lainnya yang juga mengimplemntasikan kolaborasi TN
Bunaken dengan Dewan Pengelola TN Bunaken (DPTNB), TN Gn Gede Pangrango
dan TN Gn Halimun Salak (Gede Pahala) serta TN Komodo dengan Komodo
Collaborative Management Board, TN Kutai dengan Mitra Kutai. Kolaborasi antara
TN Kutai dengan Mitra Kutai dinilai belum berhasil dan optimal ditinjau dari
pencapaian kinerja karena program-program kegiatan yang dilaksanakan selama ini
bersifat insidental/tidak berkesinambungan dan tidak diarahkan untuk mengatasi
permasalahan mendasar di TNK (Falah, 2012).
Pembentukan Mitra Kutai mempunyai beberapa tujuan, yaitu : 1) Penyadaran
masyarakat; 2) Mendapat dukungan masyarakat luas; 3) Mengurangi tekanan
terhadap hutan; 4) Pengelolaan kawasan yang lebih baik; dan 5) Kepastian hukum
bagi masyarakat dan kawasan (Pusat Informasi Pengelolaan Kolaboratif, 2006).
Selama 14 tahun (1995-2008) telah tersalurkan dana. Prioritas penggunaan dana
adalah sebagai berikut : (1) Kampanye pelestarian 20%, (2) Pengembangan
ekowisata 4%, (3) Sarana & Prasarana 20%, (4)Pengembangan SDM3%, (5)
Penelitian 2%, (6) Rehabilitasi kawasan 26%, (7) Pengamanan 5%, (8) 8%, dan (9)
Sekretariat 12%. Tetapi kondisi yang ditemui di lapangan terkait pembukaan lahan
yang terus menerus terjadi, masih adanya tindak penebangan liar di kawasan TNK,
menunjukkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan Mitra Kutai belum efektif. Untuk
itu diharapkan penyempurnaan kelembagaan Mitra Kutai melaui (1). Penambahan
unsur keanggotaan dari LSM, Pemerintah Daerah, serta wakil masyarakat; (2).
Kejelasan aturan main sejak dari tahap perencanaan s.d. evaluasi; (3). Program
kegiatan yang lebih terarah, tepat sasaran dan berkesinambungan untuk mengatasi
permasalahan di TNK; (4). Sekretariat/badan pelaksana yang independen dan
profesional;(5).Adanya pelaporan keuangan secara berkala dan transparan; (6). Audit
keuangan yang dilakukan auditor independen; (7). Pemilahan secara tegas
pengelolaan keuangan Mitra Kutai dengan pengelolaan keuangan Balai TN Kutai
yang bersumber dari dana APBN; serta (8) Konfigurasi kelembagaan Mitra Kutai
menjadi semacam konsorsium. Berdasarkan kepentingan ekologi dan ekonomi, peran
para pihak yang perlu dilakukan adalah menyamakan persepsi mengenai pentingnya
pelestarian TNK untuk menumbuhkan komitmen menjaga keutuhan kawasannya.

Sintesis 2010-2014 | 172


D. TEKNIK PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL
1. Pengamanan
Tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
alam adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dibidang perlindungan hutan,
penanggulangan kebakaran hutan, konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati,
serta wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan.
Perlindungan hutan meliputi pegamanan hutan, pengamanan tumbuhan dan
satwa liar, pengelolaan tenaga dan sarana perlindungan hutan dan penyidikan.
Perlindungan hutan diselenggarakan dengan tujuan untuk menjaga hutan, kawasan
hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi
dapat tercapai secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan ini merupakan usaha
untuk :
- Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,kebakaran, bencana alam, hama serta
penyakit.
- Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas
hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan
dengan pengelolaan hutan.
- Penanggulangan kebakaran hutan meliputi pengembangan system
penanggulangan kebakaran, deteksi dan evaluasi kebakaran, pencegahan dan
pemadaman kebakaran, dan dampak kebakaran.
2. Evaluasi fungsi
Penetapan kawasan konservasi Gunung Maras diperlukan dalam rangka
pengelolaan kawasan dan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara
efektif guna memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Penetapan
kawasan juga merupakan penataan ruang (zonasi) pada setiap kawasan
konservasi dimana penerapan dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas
dan pasti. Sebagai konsekuensi dari sistem zonasi tersebut, maka setiap
perlakuan atau kegiatan terhadap kawasan konservasi, baik untuk kepentingan
pengelolaan dan pemanfaatan, harus mencerminkan pada aturan yang berlaku
pada setiap zona dimana kegiatan tersebut dilakukan. Dengan demikian, evaluasi
fungsi kawasan konservasi dan sistem pengelolaannya menjadi sangat penting,
tidak saja sebagai acuan dalam menentukan strategi pengelolaan dan pengembangan
hutan konservasi, tetapi sekaligus merupakan sistem perlindungan yang akan
mengendalikan aktivitas di dalam dan di sekitarnya. Penilaian evaluasi fungsi kawasan
meliputi:
1) Kawasan yang ciri khas baik asli maupun buatan, termasuk pada kawasan yang
ekosistemnya sudah berubah
2) Potensi lingkunganKeindahan alam dan atau gejala alam

Sintesis 2010-2014 | 173


3) Luas wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan
atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli
4) Keanekaragaman hayati yang meliputi satwa endemik dan langka, flora endemik
yang langka, keragaman dan fungsi ekosistem, dan keragaman jenis satwa liar
5) Landskap kawasan yang dicirikan mempunyai bentang alam dari pantai hingga
pegunungan
6) Keutuhan ekosistem dan tingkat degradasi kawasan
7) Ancaman kawasan termasuk perburuan satwaliar yang dilindungi
8) Pengelolaan kolaboratif dimana terdapat potensi kearifan masyarakat lokal
9) Zona pengelolaan dimana terdapat tiga zona inti, rimba dan pemanfaatan
10) Penataan zona penyangga yang meliputi penataan daerah penyangga, sebaran
pemukiman dan fungsi daerah penyangga
Tabel 9.2. Kriteria Penilaian Kawasan Konservasi Gunung Maras
No Kriteria Bobot Indikator Skor Nilai
1 Luas Kawasan 10 Areal sedang 2 20
2 Keanekaragaman 7,5 Spesies hampir punah 3 22,5
hayati 7,5 Terdapat flora endemik 3 22,5
5 Terdapat minimal 2 ekosistem tidak 2 10
terfragmentasi
5 Keragaman jenis satwa liar (sedang) 2 10
3 Landskap kawasan 10 Mempunyai bentang alam dari pantai hingga 4 40
berdasar ekosistem pegunungan
4 Keutuhan ekosistem 7,5 Terdapat kurang dari tiga ekosistem utuh 3 22,5
5 Kawasan terdegradasi kurang dari 30% 3 15
5 Potensi sumber air 7,5 Kawasan hulu DAS 3 22,5
DAS 2,5 Objek wisata alam asli dari alam/ gejala alam 3 7,5
6 Zonasi pengelolaaan 2,5 Terdapat zona inti, rimba, dan pemanfaatan 4 10
5 Zona inti >50% luas kawasan 3 15
2,5 Tidak ada masyarakat dalam zona inti 4 10
7 Ancaman kawasan 2,5 Jarang terjadi perburuan satwa liar yang 2 5
dilindungi
2,5 Masyarakat lokal masih terbatas memasuki 2 5
kawasan
8 Konflik satwaliar 2,5 Jarang terjadi konflik dengan satwaliar 3 7,5
(mamalia besar)
2,5 Mengganggu areal pertanian 2 5

9 Pengelolaan 2,5 Tingkat kepentingan masyarakat lokal 2 5


kolaboratif terhadap kawasan (tinggi)
10 Penataan zona 2,5 Fungsi produksi 2 5
penyangga 2,5 Areal berhutan 1-2 km dari batas untuk hutan 3 7,5
2,5 Berbatasan dengan zona pemanfaatan 2 5
2,5 Sumber kebutuhan masyarakat 1 2,5
TOTAL 275

Sintesis 2010-2014 | 174


3. Restorasi dan rehabilitasi
Kawasan hutan di Indonesia seluas 132.397.729 ha , yang merupakan 71%
dari luas daratan Indonesia terbagi ke dalam hutan produksi 62,57% dan hutan
konservasi 14, 88% dan hutan lindung 12,55%. Kawasan konservasi tersebut dibagi
kedalam jenis kawsan cagar alam, cagar alam laut, suaka margasata dan suaka
margasatwa laut taman nasional, taman nasional laut dan taman wisata alam.
Kawasan konservasi yang mengalami kerusakan di taman nasional 316.384 ha
dan KSA 146.870 ha, sehingga total kerusakan hutan konservasi mencapai 460.408
ha. Hal ini disebabkan oleh perambahan, bencana alam (kebakaran, gunung meletus,
tanah longsor, banjir dll), illegal logging, dan konflik lahan dengan masyarakat.
Pemulihan ekosistem kawasan konservasi merupakan kewajiban pemangku
kawasan, dan kontrak kerja antara Kementerian Kehutanan dengan Presiden RI
tertuang dalam PP 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan KPA dan KSA yang
merupakan hasil perubahan PP 68 tahun 1998. Restorasi terakomodir kecualai CA
dan zona inti taman nasional.
Restorasi adalah pemulihan ekosistem, strutur, dinamika populasi, serta
keanekaragaman hayati melalui mekanisme suksesi alami, rehabilitasi dan restorasi.
Restorasi dalam arti luas adalah memanipulasi habitat atau lanskap yang terganggu
agar mencapai sebuah kondisi yang diinginkan. Pelaksana restorasi adalah
pemangku kawasan (Balai Besar/Balai TN dan BKSDA bekerjasama dengan
perusahaan/ badan usaha (swakelola) dan kolaborasi (TNI, Masyarakat dan NGO:
JICA). Badan usaha dan kolaborasi harus memiliki ijin dari Menteri Kehutanan.,
sehingga diperlukan pedoman teknis tatacara pelaksanaan restorasi.
Strategi pelaksanaan restorasi yaitu identifikasi tapak dari site per site (species,
komposisi, struktur, sebagai data dasar), tipologi site, pelaksanan (penanaman,
pemeliharaan, pengkayaan dan reintroduksi) serta monev. Target restorasi pada tahun
2011 di Kawasan Konservasi seluas 104.990 Ha: taman nasional 53.583 ha suaka
margasatwa 14.040 ha, TAHURA 400 ha dan HL 104.990 ha: taman nasional
53.583 ha suaka margasatwa 14.040 ha, TAHURA 400 ha dan HL 18.200 ha, tetapi
target ini belum tercapai karena beberapa kendala seperti musim kemarau yang
panjang. Pelaksanaan restorasi dilakukan melalui swakelola kolaborasi antara
Departemen Kehutanan dengan TNI seluas 37.384 Ha di 17 taman nasional dan
enam BKSDA serta kerjasama dengan NGO seperti JICA di lima taman nasional
yaitu TN Sembilang (200 Ha), TN Gn Ceremai (70 Ha), TN Merapi (47 Ha), TN
Bromo Tengger Semeru (40 Ha), TN Manupae Tana Daru (90 Ha).
Sehubungan dengan berbagai masalah penting yang menyangkut penurunan
potensi hutan dan fungsi, aspek sosial ekonomi masyarakat dan fungsi hutan sebagai
penyangga kehidupan maka kebijakan prioritas pembangunan kehutanan dalam
tahun 2005-2009 (lima kebijakan prioritas, Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.
456/Menhut-VII/2004) diantaranya rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dan

Sintesis 2010-2014 | 175


pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Arah
pembangunan jangka panjang kehutanan (2006-2025) diantaranya mewujudkan
kesejahteraan dan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan (social forestry),
sehingga pembangunan hutan rakyat, hutan kemasyarakat sebagai bentuk kegiatan
resforestasi menjadi program nasional yang sangat strategis karena mendukung aspek
ekologi, sosial budaya dan ekonomi masyarakat.
Berdasarkan realitas 1) stok tegakan dan kemampuan produksi kayu menurun tajam
yang tidak dapat pulih dalam jangka pendek, 2) peran ekonomi kehutanan akan menurun
jika tidak dilakukan optimalisasi pemanfaatan potensi ekonomi ekosistem, 3) kondisi
ekosistem hutan produksi dan lingkungan sosial yang beragam menuntut sistem
pengelolaan yang beragam pula perlu maka melakukan pergeseran orientasi
pemanfaatan hasil hutan dari kayu ke non kayu dan jasa lingkungan, termasuk fungsi
hutan dalam penyerapan karbon (Darusman, 2006).
Peningkatan produktivitas dan pengelolaan hutan produksi dengan sumber yang
beragam melalui kegiatan restorasi ekosistem (Permen Hutan. P.18/Menhut-II/2004)
akan sesuai dengan manfaat ekonomi yang hendak dicapai dan akan menjadi pilihan
pengelolaan hutan ke depan, seperti penciptaan dan penataan kawasan yang bernilai
ekowisata tinggi, areal perburuan terbatas, dan pengembangan agroforestry di areal
yang berbatasan dengan masyarakat dapat memulihkan dan menumbuhkan
partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan produksi fungsi dan nilai hutan secara
terencana (Bismark, 2006).
Kerusakan lahan yang menyebabkan terjadinya lahan keritis diindikasikan
dengan rendahnya produksi biomassa, terutama pada lahan yang tidak bervegetasi
baik dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Pada kondisi tahun 2003
lahan keritis di Indonesia telah terindentifikasi seluas 23.242.881 ha, 35 % berada
dalam kawasan hutan dan 65% berada di luar kawasan hutan.Untuk memulihkan dan
meningkatkan fungsi hutan, menurut UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
bahwa rehablitasi hutan dan lahan dilakukan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan,
pemeliharaan, pengayaan tanaman atau penerapan teknik konservasi tanah secara
vegetatif dan sosial teknis pada lahan keritis yang tidak produktif. Kegiatan
rehabilitasi ini dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan
zona inti taman nasional (pasal 41). Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan
diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dan memberdayakan
masyarakat (pasal 42).
Rehabilitasi hutan dan lahan keritis adalah kegiatan atau proses menuju
reforestasi, di mana reforestasi adalah penghutanan pada lahan yang sejak tanggal 31
Desember 1989 bukan merupakan hutan. Kegiatan reforestasi mempunyai kontribusi
terhadap peningkatan fungsi hutan sebagai penyerap karbon dioksida untuk
menurunkan efek rumah kaca melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) di
mana kegiatannya berada dalam tanggung jawab Departemen Kehutanan (Permen Hut

Sintesis 2010-2014 | 176


P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi dalam Rangka
Mekanisme Pembangunan Bersih). Kegiatan reforestasi ini dapat dilakukan di dalam
kawasan hutan, hutan adat, tanah negara atau tanah milik, sedangkan hutan yang
dapat digolongkan masuk dalam kerangka MPB adalah lahan dengan luas minimal
0,25 ha ditumbuhi pohon dengan tutupan tajuk minimal 30% dan pada akhir
pertumbuhannya mencapai ketinggian pohon minimal 5 m. Kegiatan reforestasi
dalam rangka MPB ini dapat berupa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada
hutan tanaman atau izin usahan pemanfaatan jasa lingkungan perdagangan carbon
(pasal 3). Dalam hal ini Bupati dan Wakikota di mana areal reforestasi dilakukan
pada tanah negara berperan dalam memberikan keterangan lahan atas areal untuk
kegiatan MPB tersebut, sedangkan untuk tanah milik diberikan oleh camat.
E. POTENSI PENGEMBANGAN KEGIATAN REFORESTASI
Diantara kebijakan prioritas pembangunan kehutanan adalah reboisasi dan
konservasi sumber daya alam dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan
sekitar kawasan hutan. Upaya meningkatkan peran serta masyarakat terhadap
pelaksanaan pembangunan kehutanan mengacu pada UU No. 41 tahun 1999, di mana
masyarakat berkewajiban ikut memelihara dan manjaga kawasan hutan dari gangguan
perusakan dan melaksanakan rehabilitasi hutan (UU No. 41 tahun 1999 pasal 68 dan
69). Kewajiban ini sebelumnya telah dilaksanakan melalui hutan kemasyarakatan
(Hkm) (SK Menhut No. 622 tahun 1995) terutama pada kegiatan rehabilitasi hutan dan
menanfaatan hasil hutan non kayu. Kegiatan ini dapat berada dalam hutan lindung dan
hutan produksi. Aturan dan tata cara pelaksanaan Hkm terus disempurnakan dengan
mengacu pada UU No. 41 tahun 1999 (CIFOR, 2003), terakhir ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P37/Menhut-II/2007.
Dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan lestari dan meningkatkan dan
pemberdayaan masyarakat setempat melalui sistem pengelolaan hutan berbasis
masyarakat disebut Social Forestry atau perhutanan sosial. Kegiatan Social forestry
dalam kawasan hutan milik negara disebut dengan Hkm sedangkan di lahan milik
disebut hutan rakyat (HR). Social forestry merupakan acuan kebijakan program dan
kegiatan pemberdayaan masyarakat yang akan datang serta sebagai basis
penyempurnaan program kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah ada (Permen
Hut No. P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam
dan atau sekitar hutan dalam rangka social forestry, pasal 4). Pihak yang berperan
dalam social forestry adalah pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, organisasi non pemerintah, badan usaha, perguruan tinggi,
kelembagaan masyarakat dan lembaga internasional (pasal 10). Adapun kegiatan yang
telah berjalan adalah hutan kemasyarakat, pengelolaan hutan bersama masyarakat,
pengelolaan hutan bersama rakyat.
Berdasarkan Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan
Kemasyarakatan, kelompok masyarakat yang telah difasilitasi dengan peningkatan

Sintesis 2010-2014 | 177


kemampuan mengelola dan penerapan teknologi tepat guna untuk peningkatan nilai
tambah hasil hutan diberi izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHkm)
diantaranya pemanfaatan jasa lingkungan penanaman hutan berkayu dan
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Hal ini merupakan salah satu bentuk kegiatan
formal rehabilitasi lahan dalam hutan.Pengembangan hutan kemasyarakatan, hutan
rakyat yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan perubahan
paradigma pengelolaan hutan dalam mencapai fungsi ekologis dan sosial yang
berimbang. Hal ini merupakan bagian skenario pengelolaan hutan Indonesia untuk
meningkatkan nilai kontribusi dari manfaat langsung maupun tidak langsung,
terutama serapan karbon dan konservasi tanah dan air di lahan kritis, karena kedua
model hutan tersebut ditanam dengan tanaman cepat tumbuh.
Hutan rakyat merupakan hasil partisipasi aktif masyarakat dalam program
rehabilitasi dan reforestasi. Secara umum, sampai tahun 2003, potensi hutan rakyat di
Indonesia sudah mencapai 1.570.000ha dan 780.000 ha (50 %) berada di Jawa
(Mindawati et al,. 2007). Produksi kayu bulat dari hasil hutan rakyat sebagaimana
dalam Tabel 1 masih relatif kecil yaitu 0,6 % pada tahun 2003 ini menunjukkan
masyarakat tidak banyak menebang pohon di lahan mereka sehingga keberadaan
hutan rakyat sangat penting dalam menunjukkan partisipasi aktif masyarakat dalam
reforestasi dan menahan laju lahan kritis. Menurut Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997, tahun 1997 hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki
rakyat dengan luas minimal 0,25 ha, luas tutupan tajuk tanaman kayu 50 % atau pada
penanaman tahun pertama mempunyai tanaman 500 tanaman/ha sehingga sesuai
dengan program reforestasi. Sampai tahun 2003 hutan rakyat sudah di tanam di 31
propinsi dengan luas bervariasi dari 3.500 ha – 213.000 ha. Propinsi yang memiliki
hutan rakyat lebih dari 100.000 ha

Sintesis 2010-2014 | 178


DAFTAR PUSTAKA

Adalina, Y dan R. Sawitri. 2013a. Sap tapping of Pinus merkusii in Halimun Salak
National Park by communities around forest (Case study in Purwabakti
Village, Bogor Regency, West Java). International Conference of Indonesia
Forestry Researchers. 2nd Inafor:27-28 August 2013. Jakarta.

Adalina, Y dan R. Sawitri. 2013b. Land use under the pine stands in local
communities economic improvement in Halimun Salak National Park.
International Conference of Indopnesia Forestry Researchers. 2 nd Inafor:27-28
August 2013. Jakarta.

Adalina, Y., D.R. Nurrrochmat, D. Darusman dan L. Sundawati. 2014. Harvesting


non- timber forest products by local communities in Halimun Salak National
Park. Jurnal Manajemen Hutan Tropika in progress.

Ancrenaz, M. 2013. Orang-utans and agro-industrial plantations, perspective from


Sabah. Workshop: Orangutan Conservation and Reforestation. 11-13 Juni
2013. Hotel Royal Victoria, Sangatta, Kaltim.

Anggraeni, S., G. Herdiansyah, U. Natalina. 2013. Nilai ekonomi air untuk rumah
tangga dan keramba di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II
Semitau Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) Kabupaten Kapuas Hulu.
http://jurnaluntan.ac.id/index.php/jmfkh/article/...2896.

Anonimous. 2005. Kondisi wilayah kasepuhan Citorek. Hasil Pemetaan Partisipasif


masyarakat Wewengkon Adat kasepuhan Citorek. 11 halaman.

Archive. 2007. Haluan baru. http://jejak kelana. Wordpress.com/2007/08/…. Diakses


tanggal 19 Mei 2014.

Arrayun,A.2010. Taman Nasional Kutai.


http://senyumanarthuria.blogspot.com/2010/07/taman-nasional-kutai.html

Arshanti, L. 2001. Persepsi masyarakat terhadap penggunaan dan pengelolaan lahan


daerah penyangga (buffer zone) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor. 40 hal. Diakses 15 Pebruari 2013 dari
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/14858.

Awang, S; A. Kasim; B. Tular dan N. Salam. 2005. Menuju pengelolaan kolaborasi


taman nasional: Kasus Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. CARE
International Indonesia, Kendari.

Balai Taman Nasional Kutai. 2010. Rencana pengelolaan Taman Nasional Kutai
2010-2029. Balai TN Kutai, Bontang, Kalimantan Timur.

Sintesis 2010-2014 | 179


Balai Taman Nasional Kutai. 2013. Zonasi Taman Nasional Kutai. Balai TN Kutai,
Bontang, Kalimantan Timur.

Balai Taman Nasional Berbak. 2012. Rancangan Demontration Activities (DA)


pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD Plus)
Taman Nasional Berbak. Provinsi jambi & Zoological Society of London.
Indonesia. 75 hal.
http://adriananperbatakusuma.files.wordpress.com/2013/dokumen-proposal-
naratif-da-redd-berbak-rev-final1-pdf.pdf. Diakses 20 Juni 2014.

Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. 2009. Rencana pengelolaan jangka
panjang Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Sintang, Kalimantan
Barat.http://heart ofborneo.or.id/uploads/park-reports/rencana% 20jangka
%20panjang%20taman %20nasional

Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2009. Profil Balai Besar
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Cipanas-Cianjur.

Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) II Sumatera Utara. 2006. Zonasi


Taman Nasional Batang gadis. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam. Kementrian Kehutanan. Medan.

Balai Konservasi Sumberdaya Alam II Sumatera Utara. 2005. Rencana pengelolaan


Taman Nasional Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal Propinsi
Sumatera Utara 2006-2025. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam. Kementrian Kehutanan. Medan.

Balai Konservasi Sumberdaya Alam II Sulawesi Selatan. 2005. Rencana pengelolaan


Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Pangkep dan Maros,
Propinsi Sulawesi Selatan. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam. Kementrian Kehutanan. Medan.

Balai Besar TN Teluk Cendrawasih dan World Wide Fund (WWF)-Indonesia. 2009.
Zonasi Taman Nasional Teluk Cendrawasih, Kabupaten Nabire dan Teluk
Wondana, Provinsi Papua dan Papua Barat. Manokwari.

Balai Taman Nasional Ujung Kulon. 2012. Nilai ekonomi sumberdaya air.
http://juvenilnangkrak.wordpress.com/2012/02/06/nilai-ekonomi-sumber-daya-
air. Diakses 17 juni 2014.

Bangun, T.M., S.S Mansjoer dan M. Bismark. 2009. Populasi dan habitat (Hylobates
agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Primatologi
Indonesia 6(1): 19-24.

Sintesis 2010-2014 | 180


Bernadi, D.J. 2012. Pemanfaatan taman nasional sebagai wisata alam. Seminar
Sumberdaya Alam, Lingkungan & Energi, Universitas Airlangga tahun 2012
tentang Pengembangan Wisata Alam di Kawasan Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru, Studi kasus di objek wisata alam Gn Semeru.
http://green.kompasiana. Com/penghijauan/2012/12/16/pemanfaatan-taman-
nasional-sebagai-wisataalam-517049 html.

Bismark, M dan R. Sawitri. 2004. Pengaruh system penebangan ramah lingkungan


dan TPTI di hutan produksi terhadap keragaman jenis ikan. Jurnal penelitian
Hutan dan Konservasi Alam. Vol. I (2): 147-155.

Bismark, M dan N.M. Heriyanto. 2007. Dinamika potensi dan struktur tegakan hutan
produksi bekas tebangan dalam Cagar Biosfer Siberut. Info Hutan IV(6):553-
564.

Bismark M. N.M. Heriyanto dan S. Iskandar. 2008. Biomassa dan kandungan karbon
hutan produksi di Cagar Biosfer Pulau Siberut, Sumatera Barat. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam V(5):397-407. Pusat Litbang
Konservasi dan Rehabilitasi.

Bismark M, R. Sawitri, RT Kwatrina. 2012a. Ujicoba model daerah penyangga (Studi


kasus di Taman Nasional Kerinci Seblat). Laporan Hasil Penelitian. Pusat
Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.Tidak diterbitkan.

Bismark, M. R. Sawitri. N.M. Heriyanto.2012 b. Kajian Implementasi dan Kriteria


Indikator Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi. Laporan Hasil
Penelitian. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.

Borrini-Feyerabend, G. 2007. Collaborative management of protected areas:


Tailoring the approach to the content. Social Policy Group IUCN.
Website:http://iucn.org/themes/spg/Files/tailor.html.

Cahyadi, I. 2003. Analisis spasial struktur dan fungsi koridor hutan antara Taman
Nasional Gunung halimun dengan Hutan Lindung gunung salak, Tesis,
Program Pascasarjana IPB, Bogor. Tidak diterbitkan.

Carignan V & MA Villard. 2002. Selecting indicator species to monitor ecological


integrity a review. Environmental Monitoring and Assesment 78:45-61.
Kluwer Academic Publisher Netherlands.

Chik Rini. 2012. Pembangunan jalan Aceh putus koridor satwa.


http://www.mongobay.co.id/2012/07/28/pembangunan-jalan-aceh-putus-koridor-
satwa.

Sintesis 2010-2014 | 181


[CIFOR]Center for International Forestry Research. 1999. Panduan penilaian dasar
kesejahteraan manusia: Perangkat kriteria dan indikator. Center for
International Forestry Research. Bogor

Conservation International Indonesia. 2004. Keanekaragaman jenis mamalia dan


burung di Kawasan Taman Nasional Batang Gadis. Laporan Program Medan.
Tidak dipublikasikan.

Darusman, D. 1993. Nilai ekonomi air untuk pertanian dan rumah tangga: Studi
kasus di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Disampaikan pada
Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia di ITB, 28-29 Juli 1993.

De Leo, GA and S. Levin. 1997. The multifaceted aspects of ecosystem integrity.


Conservation Ecology 1(1). http://www.consecol.org/vol1/ISSI/art3/

Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang


Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Taman nasional se Indonesia.


Departemen Kehutanan dan Perkebunan, United States Agency for
International Development natural Resources Management Program (USAID).
Lokakarya: Kepela Balai dan Kepala Unit. Lido, Bogor. 21-25 Oktober 1998.

Departemen Kehutanan. 2012. Taman Nasional Kutai. http://


www.dephut.go.id/informasi/TN%20INDO-ENGLISH/tnkutai.htm.
Diakses 23 Oktober 2012.

Diantoro, T.D. 2011. Perambahan kawasan hutan pada kawasan konservasi taman
nasional (Studi kasus Taman Nasional Tesso Nilo, Riau). Mimbar Hukum, Vol
23 (3):431-645.

Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata. 2009.Pedoman perencanaan


pemberdayaan masyarakat partisipatif. Dirjen Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan.

Efendi, M.A. 2009. Keragaman kupu-kupu (Lepidoptera:Ditrysia) di kawasan ”hutan


koridor” Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat. Sekolah
PascaSarjana, IPB, Bogor.

Ellefson. 1992. Forest resource policy and administration. Teching challenge in


university professional forestry schools. Staff Paper Series, No, 86.

Elevith C.R dan HI. Mannerffeson. 2006. Aleurites mollucana (kukui) species
profiles for Pacific Island Agroforestry Traditional Tree. Initiative.
http://www.traditionaltree.org. Diakses 20 November 2014.

Sintesis 2010-2014 | 182


Falah, F. 2012. Kajian efektifitas pengelelokaan kolaboratif Taman Nasional Kutai.
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 10 (1): 37-57.

Franklin, JF, D.Lindemayer, JM Mac Mahon, A Mc Kee, J. Mangunson, DA Perry,


R. Waide, D. Foster. 2000. Threads of Continuity Conservation Biology
Practice 1:9-16.

Garsetiasih, R. 2012. Manajemen konflik konservasi banteng (Bos javanicus d’Alton


1832) dengan masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri danTaman Nasional
Alas Purwo, Jawa Timur. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 169
hal. Tidak diterbitkan.

Gunawan, H., A. Syam dan E. Subiandono. 2011. Penataan ruang dan pemilihan
jenis pohon dalam restorasi ekosistem kawasan konservasi (Studi kasus di
Taman Nasional Gunung Ceremai). Proseding: Semiloka Restorasi Ekosistem
Kawasan Konservasi, Kuningan 25 Oktober 2011.

Gunawan, W. 2012. Model kebijakan restorasi kawasan konservasi. Sekolah


Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 153 hal. Tidak diterbitkan.

Gron, KJ. 2008. Primate factsheets:siamang (Symphalangus syndactylus) taxonomy,


morphology and ecology.
http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/entry/siamang>. Diakses 24 Januari
2010.

Haryono, W. 2013. Tahun ini, perambahan hutan rugikan Negara Rp. 1,17 triliun.
http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/12/23/6/203294/Tahun
-ini-Perambahan-Hutan-Rugikan-Negara-Rp.1,17-triliun.

Hayati, 2011. Valuasi ekonomi jasa lingkungan di Taman Nasional Bantimurung


Bulusaraung. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar.

Hummel, FC. 1984. Forest policy. A contribution to resource development. Martinus


Nijhoff/Dr W.Junk Publisher.The Hague.Netherland.

Indra A.S.L.P.P., B.W. Broto, M.K. Allo, A. Barus, M. Aziz, R. Mursidin, M. Saad
dan F. Ansari. 2013. Eksplorasi kondisi biofisik pada berbagai zona di Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian
Kehutanan Makassar.

Sintesis 2010-2014 | 183


Indrioko, S. 2012. Representasi diversitas genetic dalam pembangunan plot
konservasi sumberdaya genetik. Prosiding Lokakarya Nasional: Plot
Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah
(Ulin, Eboni dan Cempaka). Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi
dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan bekerja sama dengan International
Tropical Timber Organization, ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F). Hal 102-
117.

International Tropical Timber Organization (ITTO). 2002. Guidelines for the


restoration, management and rehabilitation of degraded and secondary tropical
forest. ITTO Policy Development Series. No 13.

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).


2009. IUCN Redlist of Threatened Species. Version 2009.1.
http://www.iucnredlist.org

Irwan, ZD. 2007. Prinsip-prinsip ekologi, ekosistem, lingkungan dan pelestariannya.


Jakarta. Penerbit Bumi Aksara.

Jalil, A. 2013. Taman Nasional Kutai, potret kutukan kekayaan alam.


http://.....kompasiana.com/..../taman-nasional-k...Diakses 20 Juni 2014.

Jati, SKW. 2014. Estimasi stok karbon hutan dengan memanfaatkan citra landsat 8 di
TN Tesso Nilo, Riau. http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod-
penelitian.detailβsub=penelitian detailβact=viewβtyp.

Kadir A.W., M. Nurhaedah, R. Purwanti dan Supardi. 2010. Studi pengelolaan


Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung secara kolaboratif. Laporan Hasil
Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar.

Kanji, N and Greenwood L. 2001. Participatory approaches to research and


development in IIED:Learning from experience. London.
http://pubs.iied.org/pdfs/909IIED.pdf.

Kementerian Kehutanan. 2011. Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2010.


Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.

Kidding Allo, M. 2009. Inventarisasi vegetasi tanaman obat di TN Lore Lindu.


Laporan Hasil Penelitian. BPK Makassar.

Sintesis 2010-2014 | 184


Kidding Allo, M. 2012. Pembangunan plot konservasi genetic eboni (Diosyros
celebica Bakh) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Prosiding
Lokakarya Nasional: Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis
Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan bekerja
sama dengan International Tropical Timber Organization, ITTO Project PD
539/09 Rev.1 (F). Hal 45-63.

Knight M & Tighe S. 2003. Koleksi dokumen proyek pesisir 1997-2003 Coastal
Resources Center, University of Rhode Island. Narragansett, Rhode Island,
USA.

Kosmaryandi, N, S. Basuni, L.B. Prasetyo dan S. Adiwibowo. 2012. Gagasan baru


zonasi taman nasional: Sintesis Kepentingan Konservasi Keanekaragaman
Hayati dan Kehidupan Masyarakat Adat. JMHT Vol XVIII (2):69-77.

Kwatrina R.T. dan A.S. Mukhtar. 2006. Kriteria dan Indikator Penetapan Zonasi TN
Bukit Tigapuluh. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2(2).

Kurniawan, H. 2010. Kemiskinan di dalam dan sekitar Taman Nasional Kerinci


Seblat di Kabupaten Pesisir Selatan (Perilaku dan strategi bertahan hidup).
http://www.repository.unand.ac.id/....hasim_kurniawan _052005…Pasca
Sarjana Universitas Andalas.

Kurniadi, R., B. Dwiprasetyo dan A.A.S Raharjo. 2010. Valuasi potensi dan manfaat
Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti. Laporan Hasil Penelitian. Balai
Penelitian Kehutanan Kupang. Badan Litbang Kehutanan, Kementerian
Kehutanan.

Kuswanda, W. dan AS.Muktar. 2006. Strategi pengembangan kelembagaan zona


penyangga Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam 3(5):491-504

Kuswanda, W. 2011. Valuasi nilai ekonomi air, satwaliar dan pencegah erosi Taman
Nasional Batang Gadis. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan
Aek Nauli.

Kuswanda , W. 2010.Teknologi Konservasi Siamang (Symphalangus syndactylus


Raffles, 1821) pada Kawasan Hutan di Sumatera Utara : Cagar Alam Dolok
Sipirok, Tapanuli Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian
Kehutanan Aek Nauli.

La Ode Ahyar T.M., 2009. Penilaian Ekologi Sumberdaya Hutan Mangrove Pesisir
Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Thesis Magister Science. Universitas
Hasanuddin. Makassar. Tidak diterbitkan.

Sintesis 2010-2014 | 185


Mardle, S., E. & S. Pascoe. 2003. Multiple criteria analysis of stakeholder opinion: A
fisheries case study. Center foe economics and management of aquatic
resources. University of Potsmouth. UK.

Marina, I dan A.H. Dharmawan. 2011. Analisis konflik sumberdaya hutan di


kawasan konservasi. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi
Manusia 5(1):90-96.

Meijaard, E. 1999. Human-inposed threats to sunbears in Borneo. Ursus 11:185-192.

Mindawati, N., A. Widiarti dan B. Rustaman. 2006. Review hasil penelitian hutan
rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.

Mulyani, S. (2007). Kajian terhadap pendapatan petani dan harga tanah di kawasan
agropolitan, studi kasus di kawasana agropolitan Kecamatan Pacet dan
Cipanas, Kabupaten Cianjur. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
90 hal. Diakses 15 Pebruari 2013 dari
http://repository,ipb,ac.id/handle/123456789/43849.

Moeliono, M, G. Limberg, Minnigh, P.Minnigh, A Mulyana, AY Indriatmoko, NA


Sapparuddin, hamzah, R. Iwan dan E. Purwanto. 2010. Meretas kebuntuan
konsep dan panduan pengembangan zona khusus bagi taman nasional di
Indonesia. CIFOR. Bogor, Indonesia

Murniati. 2012. Pembangunan plot konservasi genetic cempaka (Michelia


champaca). Prosiding Lokakarya Nasional: Plot Konservasi Genetik Untuk
Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan
Litbang Kehutanan bekerja sama dengan International Tropical Timber
Organization, ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F). Hal 66-87.

Neel, MC., JR Ibarra and N.C Ellstrand 2001. Implications of mating patterns for
conservation of endangered plant Erigonum ovalifolium var. vineum
(polygonaceae). American Journal Botany 88:1214-1222.

Ngakan, P. Oka, H Komaruddin, A. Achmad, Wahyudi dan Tako. 2006.


Ketergantungan, persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap sumberdaya
hayati hutan: Studi kasus di Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi
Selatan. Center For International Forestry Research. Jakarta.

Sintesis 2010-2014 | 186


Nugroho, A.W. 2012. Pembangunan plot konservasi genetic ulin (Eusideroxylon
swageri). Prosiding Lokakarya Nasional: Plot Konservasi Genetik Untuk
Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan
Litbang Kehutanan bekerja sama dengan International Tropical Timber
Organization, ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F). Hal 19-44.

Nurrani, L. & S. Tabba. 2013. Persepsi dan tingkat ketergantungan masyarakat


terhadap sumberdaya alam di Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Provinsi
Maluku Utara. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 10 (1):61-
73.

Nurrani, L. 2013. Kajian pola dan analisis usaha tani pemanfaatan lahan di kawasan
penyangga Taman Nasional Akatajawe di Maluku Utara. Laporan Hasil
Penelitan. Balai Penelitian Kehutanan Manado.

Nurrani, L. 2013. Kajian daya dukung hasil hutan bukan kayu untuk pengembangan
pemanfaatan biodiversitas secara lestari di Taman Nasional Akatajawe
Lolobata. Laporan Hasil Penelitan. Balai Penelitian Kehutanan Manado.

Petra. 2014. Mendekati masyarakat, melestarikan koridor. http: //www.


tfcasumatera.org/news. Diakses 25 Juni 2014. Pomeroy dan Berkes.1997.
Kolaborative. …..

Pomeroy, RS and F.Berkes. 1997. Two Tango: the role of government in fisheries
co-managemnt, Marine Policy 21(5):465-480.

Prayoga. 2013. Estimasi nilai ekonomi dan kontribusi kegiatan wisata terhadap
konservasi di Taman Nasional Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang, Provinsi
Banten. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. 94 hal.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/63858. Diakses 16 Juni 2014

Primarrck R.B, J. Supriatna, M Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi


Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Pruitt D.G. dan J.Z. Rubin. 2009. Teori konflik sosial. Pustaka Pelajar. Jogyakarta.

Purbahapsari, A.F. 2013. Penggunaan habitat koridor Kalimun Salak oleh elang ular
bido (Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional Gunung Halimun
salak. 32 hal. Departemen konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor.

Purnomo, S dan Widiyatno. 2012. Konservasi in-situ Dipterocarps. Lokakarya


Nasional: Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis pohon

Sintesis 2010-2014 | 187


terancam Punah (Ulin, eboni dan Cempaka). Bogor, 29 Mei 2012. Pusat
Litbang konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.

Purnama, S.I.S. 2005.Penyusunan zonasi Taman Nasional Manupeu Tanadaru


Sumba berdasarkan kerentanan kawasan dan aktifitas masyarakat. Tesis
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Putra, R.E. 2011. Valuasi ekonomi keanekaragaman hayati Rawa Bento Kecamatan
Gunung Tujuh kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, Pogram Studi Biologi. Pasca
Sarjana, Universitas Andalas, 21 hal. Tidak diterbitkan.

Rahayu, S, B. Lusiana dan M van Noorwijk. 2005. Above ground carbon stock
assessment for various landuse systems in Nunukan, East Kalimantan. 21-34.
In Lusiana, B, M van Noorwijk & S. rahayu (Eds) Carbon Stock Monitoring in
Nunukan, East Kalimantan. A spatial & Modelling Approach World
Agroforestry Centre. SE Asia, Bogor, Indosesia.

Rambe, L. 2014. Peneliti: Koridor upaya untuk tekan konflik gajah dan manusia di
Jambi. http://mongobay.co.id/.../peneliti-bangun-kori..... 3 hal. Diakses 25 Juni
2014.Ramdhani, N. 2011. Nilai ekonomi Taman Nasional Gunung Rinjani:
Studi kasus di obyek wisata Otak Kokok gading, Desa Perian, Kecamatan
Montong Gading. http://repositori.ipb.ac.id/handle/123456789/51294.

Ramdhani, N. 2011. Nilai ekonomi Tn Gn Rinjani. Studi kasus di Obyek Wisata


Otak Kokok Gading dan Desa Perian Kecamatan Montong gading, Nusa
Tenggara Barat. Skripsi. Fakultas Kehutanan, IPB.

Ramdan, H, Yusran dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan sumberdaya alam dan


otonomi daerah. Perspektif Kebijakan dan valuasi ekonomi. Alqaprint
Jatinagor. Bandung.

Rinaldi, D., S.A. Harahap, D.M. Prawiradilaga, H.Wiriadinata, Purwaningsih, E.


Sambas, I. Febriani, I. K. Ningrum dan N. Faizin. 2008. Ekologi koridor
halimun-Salak Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Taman Nasional
Gunung Halimun Salak,Gunung Halimun-salak National Park Management
Project, dan JICA. 25 halaman.

Rosenberg, D.K., B.R. Noon, dan E.C. Meslow. 1997. Biological corridors:form,
function and efficacy. BioScience 47:677-688.

Rositah, E. 2006. Kemiskinan masyarakat desa sekitar hutan dan penanggulangannya


(Govenance Brief) CIFOR, Bogor.

Sintesis 2010-2014 | 188


Sabar, A., Supratman, M Junus. 2012. Strategi optimasi kolaborasi zona khusus
taman nasional (Studi kasus Taman Nasional Babul Maros, Sulawesi Selatan).
16 hal
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/d/2288be5a6d78e6f41c45d12af456.pdf.
Diakses 18 Juli 2014.

Samsudin, N., Budiono, W. Hermawan.2013. Valuasi nilai ekonomi Taman Nasional


Bunaken: Aplikasi Travel Cost Method (TCM). Hal 1-20. http://pustaka-
unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2013/pustaka_unpad_valuasi_nilai_ekonomi,pdf. Diakses 18
Juni 2014.

Sawitri, R. S. Suharti, E. Karlina. 2011. Interaksi masyarakat dengan hutan dan


lingkungan sekitarnya du Kawasan dan daerah penyangga Taman Nasional
Kutai. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 8 (2): 129-142

Sawitri, R. dan R. Garsetiasih. 2011. Biological control strategy on invasive species


in Indonesian Forestry. Proceding: Semiloka Restorasi Ekosistem Kawasan
Konservasi. Kuningan, 25 Oktober 2011. Hal 133-139.

Sawitri, R. dan R. Garsetiasih. 2014. Habitat, Populasi dan perilaku burung punai di
Kalimantan barat dan kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam. In press.

Sawitri, R. dan T. Setyawati. 2011. Pengendalian jenis tanaman invasif di Taman


Nasional Ujung Kulon. Proceding: Semiloka Restorasi Ekosistem Kawasan
Konservasi. Kuningan, 25 Oktober 2011. Hal 123-131.

Sawitri, R. dan M. Takandjandji. 2007. Kemungkinan re-introduksi banteng (Bos


javanicus d’Alton) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Wana Tropika
2(3):4-6.

Sawitri, R. dan E. Subiandono. 2011. Karakteristik dan persepsi masyarakat daerah


penyangga Taman Nasional Gunung Halimun salak. Jurnal Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam Vol 8 (3):273-285.

Sawitri, R. dan E. Karlina. 2013. Evaluasi zonasi taman nasional: Studi kasus Taman
Nasional Kutai. Laporan Hasil Penelitian, Pusat Konservasi dan Rehabilitasi,
Bogor. 42 hal.

Sawitri, R dan M. Bismark. 2013. Persepsi masyarakat terhadap restorasi zona


rehabilitasi di TamanNasional Gunung Gede Pangrango. Indonesian Forest
Rehabilitation Journal 1(1): 91-112.

Sintesis 2010-2014 | 189


Sawitri, R. 2014. Ujicoba model daerah penyangga (Studi kasus Taman Nasional
Alas Purwo). Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Konservasi dan
Rehabilitasi.

Sayektiningsih T. 2013. Kajian potensi pembangunan koridor orangutan (Pongo


pygmaeus morio) di daerah penyangga kawasan konservasi. Laporan hasil
Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam, Balai
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Balikpapan.

Sayektiningsih, T., AW Nugroho, SE Rinaldi MK Ningsih dan Warsidi. 2010. Kajian


dampak social dan ekonomi pengembangan wisata alam di Taman Nasional
Kutai bagi masyarakat. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya
Alam, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian
Kehutanan. Balikpapan.

Setyadi, A.,C. Wulandari. H.R. Putro, S. Andayani, T. Nugroho, dan Z.K Susilo.
2006. Kemitraan dalam pengelolaan taman nasional. Pelajaran untuk
transformasi kebijakan . WWF-Indonesia dan MFP Dephut DFID. Jakarta.

Setyono, D. 2003. Upaya pengelolaan TN Gn Halimun. Makalah Seminar &


Lokakarya Pengembangan Model Pengelolaan TN Gn Halimun.

Shofwan, F.W. 2006. Interaksi burung dan tumbuhan di kawasan koridor Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48286

Sieving, K.E.. M.F. Willson dan T L. De Santo. 2000. Defining corridor function for
endemic birds in fragmented South-temperate rainforest. Conservation
Biology.Vol14(4):1120-

Soemarto. (2013). Silaturahmi Presiden RI beserta ibu negara dengan masyarakat


sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2 hal. Diakses 1 Maret 2013
dari http://www.gedepangrango.org/silaturahmi-presiden-ri-beserta-ibu-neg.

Soemarwoto, O. 1991. Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan. Jakarta (ID).


Penerbit Djembatan.

Suaedi. 2010. Participatory design of policies for sustainable coastal zone


development in Subang Regency. Modern Applied Science 5(6).
http://www.ccsenet.org/mas.

Sintesis 2010-2014 | 190


Sudomo, A dan M Siarudin. 2008. Intensity dan motivasi masyarakat dalam
pengambilan tumbuhan hutan secara illegal di Seksi Konservasi Wilayah II
Taman Nasional Gunung Gede Pangango. Jurnal penelitian Hutan dan
Konservasi Alam V (5): 435-449.

Sunderlin, WD, S.Dewi dan A. Puntodewo. 2007. Poverty and forests, multi-country
analysis of spatial association & proposed policy. CIFOR, Bogor.

Sultan, K, Mansjoer, SS & Bismark, M. 2009. Populasi dan distribusi ungko


(Hylobates agilis) di Tn Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Primatologi
Indonesia 6(1):25-31.

Sumardiani, D. (2008). Respon stakeholder terhadap pengelolaan konservasi bersama


masyarakat di wilayah perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian
Bogor. 86 hal. Diakses 1 Maret 2013 dari
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/123456789/31998/E08dsu.pdf?sequence=1

Tadjudin, D. 2000. Manajemen kolaborasi. Bogor. Pustaka LATIN.

Taman Nasional Karimunjawa. 2012. Informasi TN Karimunjawa:Nilai biodiversitas


hutan tropis dataran rendah.
http://wwwdephut.go.id/uploads/files/INFORMASI%20TAMAN%20NASION
AL%20KARIMUNJAWA.pdf.

Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2013. Zonasi Taman Nasional Gunung
Halimun Salak. Kabandungan, Sukabumi.

Taman Nasional Ujung Kulon. 2012. Nilai ekonomi sumberdaya air.


http://juvenilnangkrak.wordpress.com/2012/02/06/nilai-ekonomi-sumber-daya-
air. Diakses 17 juni 2014.

Thompson, R. 2011. Stakeholder anysis. Winning support for your


projects.http://www.midtools.com/pages/article/newPPM 07.htm.

Tjitrosoedirdjo S.S., 2005. Inventory of the invasive alien species in Indonesia.


BIOTROPIA 25:60-73. SEAMEO BIOTROP, INDONESIA.

Townsley, P. 1998. Aquatic resources and sustainable rural livelihoods. In


Sustainable rural livelihoods:What contribution can we made?Carney D.(ed.).
London. Departement for International Development.

Tumanggor, D. (2008). Studi pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan partisipasif di


SKW II Gunung Putri Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor. 110 hal. Diakses 17 Pebruari 2013 dari

Sintesis 2010-2014 | 191


http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/10878/DanielTuma
nggor_E2008 pdf.? sequance=2.

Wahyunto, S. Ritung dan H.Subagjo. 2003. Map of peatland distribution area and
carbon content in Sumatra. Wetland International-Indonesia-Program &
Wildlife Habitat Cana (WHC).

Wahyunto, S. Ritung, Suparto dan H.Subagjo. 2003. Map of peatland distribution


area and carbon content in Kalimantan. Wetland International-Indonesia-
Program & Wildlife Habitat Cana (WHC).

Wahyunto, H. Subagja, S. Ritung dan H.Bekti. 2007. Map of peatland distribution


area and carbon content in Papua. Wetland International-Indonesia-Program &
Wildlife Habitat Cana (WHC).

Wahyudi, R. 2012. Selayang pandang Kabupaten Sukabumi. 2 hal. Diakses 17


Pebruari 2013 dari
http://www.slideshare.net/RichieWahyudi/Selayangpandang-Kabupaten
Sukabumi-data 2011.

Whitten, A.J. 1980. Tke kloss gibbon in Siberut ran forest. Unpublished. Ph.D.
Thesis; Cambridge University, Cambridge, UK.

Wibowo A., Y. Lisnawati, Zuraida, T. Rostiwati, Sukresno, A.B. Supangat, Y.


Apriani, A. Kunarso, S. Adriyani, W. Handayani dan R. Kurniadi. 2010.
Potensi degradasi dan manfaat lingkungan akibat pembangunan hutan tanaman.
Sintesa Hasil Penelitian Pengelolaan Lingkungan Hutan Tanaman. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Bogor.

Widada dan D. Darusman. 2004. Nilai ekonomi air domestic dan irigasi
pertanian:Studi kasus di desa-desa sekitar kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol X (1):15-27.

Widodo, T. 2012. Pelatihan valuasi pemanfaatan jasa lingkungan air kawasan Taman
Nasional Gunung Ceremai. http://btng ceremai,blogspot.com/…./pemantauan-
dan –monitoring.

Winara, A., H.Warsito, Z.L. Rumawak, N Indouw. Valuasi potensi dan manfaat
Taman nasional di Papua. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian
Kehutanan Manokwari. Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan.

Wiratno, D. Indriyo, A. Syarifudin dan A. Kartikasari. 2004. Berkaca di cermin


retak: Refleksi konservasi dan implikasi bagi pengelolaan taman nasional. The
Gibbon Foundation, Forest Press, dan PILI-NGO Movement, Forest Press dan
Departemen Kehutanan. Jakarta. Hal 160-191.

Sintesis 2010-2014 | 192


Wiratno. 2007. Tantangan pengelolaan taman nasional di Indonesia.
http://konservasiwiratno.wordpress.com/tantangan-pengelolaan-taman-
nasional-di indonesia/

World Wildlife Fund. 2011. Respon WWF atas dugaan pembantaian orangutan di
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.https://id-id.facebook
.com/notes/wwf-indonesia/respon-wwf-atas-dugaan-pembantaian-orangutan-
di-kabupaten-kartanegara-kali/10.

Yusran. 2005. Mengembalikan kejayaan hutan kemiri rakyat. Bogor, Indonesia.


CIFOR. CIFOR Governance Brief. No. 10.

Yuwati, TW dan AN Robby. 2014. Analisis pengelolaan daerah penyangga Taman


Nasional Sebangau. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan
Banjarbaru.

Sintesis 2010-2014 | 193

Вам также может понравиться