Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
2010-2014
RPI 13
Model Pengelolaan
Kawasan Konservasi
Berbasis Ekosistem
Kementerian Kehutanan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
email : evlap_p3kr@yahoo.co.id
web : www.puskonser.or.id
EXECUTIVE SUMMARY
i
merupakan harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat
dan waktu tertentu. Sedangkan penilaian (valuasi) adalah kegiatan yang berkaitan
dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa,
dimana valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi terhadap
sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil menurut sudut pandang
masyarakat, pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan dalam bentuk
jasa lingkungan hutan sebagai hasil atau implikasi dari dinamika hutan berupa jasa
yang mempunyai nilai manfaat atau memberikan keuntungan bagi kehidupan
manusia. Bentuk dari nilai jasa lingkungan dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu: 1)
Perlindungan dan pengaturan tata air (jasa lingkungan air); 2) Konservasi
keanekaragaman hayati (jasa lingkungan keanekaragaman hayati); 3) Penyediaan
keindahan bentang alam (jasa lingkungan ekowisata); dan 4) Penyerapan dan
penyimpan-an karbon (jasa lingkungan karbon).
Pengelolaan Taman Nasional dilakukan berdasarkan Zonasi, dimana hasil
penelitian menunjukan kriteria penetapan zonasi belum sepenuhnya did-sarkan pada
aturan yang ada. Hal ini disebabkan kondisi vegetasi dan keberadaan masyarakat
yang ada sebelum penetapan atau perluasan taman nasional. Seperti adanya
pemukiman penduduk dalam zona inti, sehingga kriteria populasi dan indensitas
fauna menjadi kriteria penting.Zona rimba sebagai zona membatasi aktivitas
masyarakat kedalam kawasan ditentukan oleh fungsi ekosistem sebagai DAS, habitat
satwa, vegetasi asli dan luasan yang cukup.
Secara keseluruhan kriteria dan indikator taman nasional telah teridentifikasi
10 kriteria dengan 28 indikator masing-masing dengan nilai indeks 1-4.Implementasi
kriteria indikator optimal pengelolaan taman nasional dapat dilihat dari penetapan
zonasi yang telah dilaksanakan dan keselarasannya dengan tata guna lahan di daerah
penyangga. Taman nasional yang berbatasan dengan hutan produksi, pengelolaan
hutan produksi perlu mendukung keamanan dan pelestarian satwa endemik. Untuk
itu perlu pengelolaan kawasan bekas tebangan dalam bentuk wilayah konservasi
seluas 30%; dan pengelolaan kawasan dengan metode Reduce Impact Logging
(RIL). Taman nasional yang berbatasan dengan areal penggunaan lain, desa,
perkebunan dan kawasan budidaya, areal selebar 2-7 km dari batas TN perlu dikelola
dalam bentuk agroforestry sedangkan pemukiman ditata dalam jarak minimal 5 km
ii
dari batas kawasan.Keberadaan masyarakat dalam TN di identifikasi masih ada
masyarakat melakukan praktek ladang berpindah berladang sawah. Sebagian taman
nasional telah mendapatkan areal ladang dan pemukiman tersebut menjadi zona
khusus. Zona khusus dengan bangunan sapras yang memadai telah mengindikasikan
terjadinya peningkatan degradasi hutan sekitarnya melalui perluasan ladang atau
pengambilan kayu. Kondisi ini perlu di evaluasi terutama pembatasan luas zona
khusus dan membangun zona rehabilitasi disekitar zona khusus.
Berdasarkan data dan hasil analisis diatas, kriteria indikator yang perlu di
bangun untuk pengelolaan taman nasional berdasarkan zonasi adalah:
a. Nilai keberadaan taman nasional
b. Nilai jasa lingkungan dan karbon
c. Nilai wisata yang dapat menguatkan ekonomi masyarakat
d. Nilai manfaat langsung bagi masyarakat
e. Keanekaragaman satwa liar ekosistem habitat dan keaslian vegetasi
f. Keberadaan masyarakat dan diluar kawasan
g. Tata guna lahan dan pemukiman diluar kawasan
h. Pola tanam dan vegetasi daerah penyangga
i. Aktivitas dan kebutuhan Keberadaan masyarakat disekitar kawasan menjadi
dasar untuk mengembangkan nilai taman nasional dalam pemulihan kebutuhan
dasar dan peningktan ekonomi melalui pengelolaan jasa lingkungan wisata alam
j. Peningkatan persepsi masyarakat berbanding lurus dengan nilai yang didapat
masyarakat dari hasil pengelolaan kawasan
k. Peningkatan persepsi masyarakat memberikan dampak positif terhadap
pengamanan kawasan, pengamanan dari perburuan, keberhasilan pembinaan
habitat dan restorasi ekosistem.
Pengelolaan taman nasional berdasarkan ekosistem ditentukan oleh:
a. Tipe ekosisten dan keberadaan satwa liar endemik dan langka
b. Keragaman ekosistem sesuai habitat satwa tertentu
c. Potensi ekosistem dan jasa lingkungan yang dapat dikembangkan menjadi objek
wisata
d. Kebutuhan dasar dan sosial ekonomi masyarakat
e. Tingkat partisipasi masyarakat
iii
f. Tingkat kerusakan kawasan
g. Daya dukung kawasan sebagai habitat satwa
h. Penataan dan fungsi kawasan daerah penyangga
Penetapan dan pengelolaan daerah penyangga menjadi sangat penting
mengingat adanya upaya masyarakat mengintervensi kawasan akibat
kurangnyapemahaman mereka terhadap kebijakan, kepentingan ekonomi, seta
konservasi. Pengelolaan dimaksud adalah perpaduan keserasian pengelolaan
keragaman hayati, lahan pertanian sesuai dengan kondisi fisik, dan potensi daerah
guna mendapatkan hasil yang optimal dalam menunjang sistem perokonomian
masyarakat lokal. Pengelolaan tersebut dapat mencegah konflik antara masyarakat
dengan kawasan konservasi dan mengurangi konflik antara satwaliar dengan
masyarakat atau sebaliknya.
Pembangunan daerah penyangga merupakan bagian integral dari pembangunan
daerah secara terpadu yang mencakup berbagai bidang berdasarkan karakteristik
permasalahan dan kebutuhan objektif wilayah. Sejalan dengan itu maka rencana
pembangunan daerah penyangga dan kawasan konservasi di sekitarnya harus terkait
erat dengan rencana pembangunan wilayah dalam satu perencanaan terpadu.Program
pembangunan kawasan konservasi tersebut berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian pembangunan daerah penyangga
merupakan alternatif pemecahan masalah pengentasan kemiskinan khususnya bagi
masyarakat desa hutan, serta upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam
melestarikan potensi tumbuhan guna pelestarian jenis dan manfaatnya melalui
pengembang-an wisata alam, penyangga kawasan konservasi, kawasan budidaya dan
industri dari tanaman hutan yang bernilai ekonomis tinggi guna mewujudkan
ketahanan pangan.
Pengembangan daerah penyangga daerah taman nasional dapat diarahkan pada
upaya pembangunan kecukupan pangan dan buah-buahan yang selama ini masih
tergantung pada import. Pada prinsipnya pemanfaatan lahan di daerah penyangga
adalah memanfaatkan ruang dan waktu secara optimal sehingga unsur hara, air dan
cahaya dapat dimanfaatkan secara baik. Untuk memanfaatkan ruang secara optimal
dapat dilakukan dengan cara: 1) jarak tanam disesuaikan dengan jenis tanaman yang
akan diusahakan dan kondisi biofisik lokasi seperti kesuburan tanah dan topografi, 2)
iv
tata letak tanaman harus mempertimbangkan perkembangan lapisan tajuk dan sistem
perakaran. Dengan pengaturan waktu dan ruang yang optimal, diharapkan setiap
komponen yang ada di dalam suatu ekosistem tidak akan menekan komponen yang
lain, bahkan sebaliknya diharapkan dapat saling melengkapi.
Penelitian restorasi untuk perbaikan habitat diarahkan untuk penanaman pohon
penelitian pakan satwa, meningkatkan keragaman jenis populasi di zona yang
terfragmentasi atau terdegradasi seperti, zona rehabilitasi. Restorasi dalam aspek
ekonomi dikembangkan dalam zona khusus dan zona pemanfaatan tradisional. Pada
areal terpragmentasi jenis yang dipilih adalah jenis lokal cepat tumbuh dan restorasi
dilaksanakan pada vegetasi dengan keragaman jenis rendah, dengan indeks
1,1.Restorasi ekosistem di taman nasional dapat melibatkan partisipasi masyarakat
yang dibangun dalam sistem kolaborasi atau partisipasi kelompok petani daerah
penyangga, kelompok nelayan di daerah pantai untuk merehabilitasi mangrove.
Pengelolaan taman nasional secara kolaboratif perlu dibangun untuk mengatasi
konflik. Kegiatan dapat dimulai dari peningkatan persepsi, partisipasi dan
keterlibatan masyarakat dalan menentukan zonasi, aturan pemanfaatan restorasi
ekosistem hingga pengembangan wisata. Kolaborasi dimulai dengan ini bentuk
kerjasama untuk meningkatkan manfaat dan jasa lingkungan taman nasional,
peningkatan ekonomi masyarakat dan sistem mengatasi konflik.
Penelitian strategi manajemen saat ini masih terbatas pada pengelolaan zona
pemanfaatan, zona khusus dan mengatasi konflik. Dari aspek kolaboratif telah
teridentifikasi kelembagaan yang berperan dalam pemanfaatan hasil hutan dan air
serta penanganan konflik yang dalam hal ini diakibatkan ketika kesesuaian taman
nasional dengan penataan dan penggunaan lahan di daerah penyangga.
Pengelolaan daerah penyangga adalah bagian kriteria penting dalam strategi
pengelolaan taman nasional. Keberadaan masyarakat, tingkat ekonomi, kebutuhan
lahan, dan pola tanam di daerah penyangga sangat menentukan terhadap partisipasi
masyarakat, potensi konflik dan potensi terjadinya degradasi fungsi kawasan. Daerah
penyangga taman nasional umumnya berpola, areal 0,5-1 km dari batas kawasan taman
nasional masih berhutan, areal 2-5 km didominasi oleh tanaman dengan sistem
agroforestry, 5 km dari batas kawasan berupa areal pemukiman atau desa dan kawasan
budidaya intensif. Pola ini berdampak positif bagi pengamanan taman nasional habitat
v
dan koridor satwa dan sosial ekonomi masyarakat. Pengembangan koridor satwa
dengan tehnik restorasi pada jalur pergerakan atau homerange satwa dikembangkan di
zona penyangga yang berbatasan dengan taman nasional terutama pada hutan produksi
atau hutan lindung bahkan di lahan masyarakat dengan tanaman hutan rakyat atau
agroforestry.
Pengelolan daerah penyangga dengan mengembangkan jenis tertentu seperti
ulat sutera dan lebah telah menunjukan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi,
pengembangan ekonomi dengan nilai B/C ratio B dari 1 dan IRR 23,7-43,7%. Nilai
ekonomi lainnya adalah hasil kayu agroforestry, hutan rakyat dan kebun campuran.
Di taman nasional di Maluku, masyarakat juga mengembangkan hutan rakyat, kebun
campuran dan kebun murni pada jarak 3-5 km dari batas taman nasional di dominasi
dengan kebun agroforestry (88%) dan pada jarak lebih dari 5 km dikembangkan
tanaman holtikultura dan sawah.
Berdasarkan analisis hasil-hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa efektivitas
pengelolaan taman nasional sangat dipengaruhi oleh faktor:
a. Tingkat degradasi kawasan dan pola penataan zonasi,
b. Tingkat kerusakan habitat, sistem DAS, populasi dan keragaman jenis satwa
menurut ekosistem habitatnya,
c. Fungsi dan pola pemanfaatan lahan daerah penyangga, tingkat ekonomi
masyarakat dan kelembagaan yang terbangun dalam sistem kolaborasi,
d. Tipe zonasi kawasan taman nasional yang berbatasan dengan masyarakat daerah
penyangga terutama pada lahan bukan kawasan hutan,
e. Tingkat partisipasi masyarakat dan kelembagaan yang dapat berkolaborasi
dalam pengelolaan pemanfaatan zona penyangga, zona khusus, zona
rehabilitasi dan zona pemanfaatan berbasisi ekosistem.
Pengelolaan taman nasional berdasarkan tipologi ekosistem dilakukan dengan
mempertimbangkan 1). nilai biodiversitas, nilai kawasan, nilai jasa lingkungan dan
nilai manfaat langsung kepada masyarakat 2). Membangun kriteria dan indikator
zonasi khususnya zonasi pemanfaatan, zona rehabilitasi dan zona khusus yang
memberikan nilai ekonomi dan kebutuhan dasar masyarakat. 3). Keselarasan zona
rimba dan zona inti dalam lanskap menurut letak geografi, topografi, tutupan lahan
dan luas kawasan 4). Kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat yang
vi
mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengamanan kawasan.
Strategi pengelolaan taman nasional dalam jangka pendek yang utama adalah
membangun kelembagaan kolaboratif yang dapat meningkatkan pengamanan
kawasan, biodiversitas, restorasi kawasan dan pengelolaan daerah penyangga zona
pemanfaatan dan zona khusus melalui peningkatan manfaat jasa lingkungan untuk
peningkatan ekonomi masyarakat daerah penyangga.
vii
KATA PENGANTAR
Kepala Pusat,
ix
DAFTAR ISI
Hal.
EXECUTIVE SUMMARY .............................................................................. i
TIM PELAKSANA PELAKSANA RPI 13 ..................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
I. PENDAHULUAN ............................................................................................
1
A. Latar Belakang ............................................................................................
1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................
5
C. Metode Sintesis ...........................................................................................
6
II. EKOSISTEM DAN SATWA LIAR ..................................................................
7
A. Habitat,Populasi Satwa Ekosistem Pegunungan ...........................................
8
B. Habitat, Populasi Satwa Ekosistem Dataran Rendah ....................................
12
III. EKOSISTEM DAN JASA LINGKUNGAN .....................................................
16
A. Nilai Ekonomi Biodiversitas ........................................................................
16
B. Nilai Flora ...................................................................................................
17
C. Nilai Ekosistem Mangrove ..........................................................................
20
D. Nilai HHBK ................................................................................................
20
E. Nilai Ekonomi Sumberdaya Air ...................................................................
22
F. Nilai Ekonomi Wisata Alam ........................................................................
25
G. Nilai Ekonomi Taman Nasional Sebagai Penyangga Kehidupan ..................
27
H. Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Karbon ......................................................
28
IV. ZONASI TAMAN NASIONAL .......................................................................
30
A. Kriteria dan Indikator Zonasi .......................................................................
30
B. Evaluasi Zonasi Taman Nasional .................................................................
55
V. DEGRADASI DAN RESTORASI ....................................................................
67
VI. PENGELOLAAN KOLABORATIF .................................................................
91
VII. PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA ...................................................
102
VIII STRATEGI PENGELOLAAN .........................................................................
140
xi
IX. SINTESIS ........................................................................................................
148
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
179
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Hal.
2.1. Jenis pohon pada hutan alam dengan INP > 10 % .................................................
12
Kondisi ekologis vegetasi hutan daerah penyangga TN Siberut
2.2. 12
(jumlah/ha) ........................................................................................................
Populasi pohon yang berpotensi untuk pohon tidur primata di areal
2.3. 13
bekas tebangan .................................................................................................
2.4. Dominansi jenis pohon dalam vegetasi habitat primata .....................................
14
Kimia tanah dan biomass mikromas serta potensi semai di areal bekas
2.5. 14
tebangan ...........................................................................................................
2.6. Populasi primata di TN Siberut dan Daerah Penyangga (DP) ............................
15
2.7. Kondisi ekologis populasi burung .....................................................................
15
3.1. Nilai WTP beberapa jenis satwaliar menurut responden ....................................
18
3.2. Pendugaan nilai ekonomi satwaliar di TNBG ....................................................
19
Pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati mangrove di TNK
3.3. 20
Wakatobi ..........................................................................................................
3.4. Hasil analisis ekonomi air oleh PDAM Tirta Kabupaten Madina ......................
23
3.5. Hasil pendugaan nilai ekonomi pencegah erosi .................................................
27
4.1. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Inti TNBT .................................................
32
4.2. Indikator ekologis pada zona inti TNBG bagian Utara ......................................
34
4.3. Indikator ekologis pada zona inti TNBG bagian Selatan ...................................
36
4.4. Kriteria dan xiiindicator zona inti TN Batimurung Bulusaraung ........................
38
4.5. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Rimba TN Bukit Tigapuluh .......................
40
4.6. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Utara ..................
41
4.7. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Selatan ...............
42
Usulan Kriteria dan Indikator Zona Pemanfaatan Intensif TN Bukit
4.8. 43
Tigapuluh .........................................................................................................
4.9. Indikator ekologis pada zona pemanfaatan TN Batang Gadis ............................
44
4.10 Usulan Kriteria dan Indikator Zona Rehabilitasi TN Bukit Tigapuluh ...............
45
4.11 Kriteria dan indicator zona inti TN Batimurung Bulusaraung ............................
46
4.12 Usulan Kriteria dan Indikator Zona Pemanfaatan Tradisional TNBT ................
47
xiii
Tabel Hal.
4.13 Porsi zonasi utama dalam taman nasional ......................................................................
51
4.14 Parameter zona tradisional di tiga resort TN Gunung Gede Pangrango .............
52
Kriteria dan xivndicator zona khusus Taman Nasional Bantimurung
4.15 53
Bulusaraung .....................................................................................................
4.16 Pembagian jalur di usulan zona khusus Taman Nasional Kutai .........................
62
Kriteria dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan
5.1 74
konservasi ........................................................................................................
Penilaian katagori prioritas restorasi Taman Nasional Gn Gede
5.2 76
Pangrango ........................................................................................................
5.3 Model rehabilitasi di Taman Nasional Gn. Gede Pangrango .............................
78
5.4 Kesesuaian model restorasi zona rehabilitasi ....................................................
82
5.5 Kegiatan restorasi di TN Gn Halimun Salak .....................................................
83
5.6 Model rehabilitasi di Taman Nasional Gn. Halimun Salak ................................
84
Matriks Analisis Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam
6.1 93
Pengelolaan TN Babul ..........................................................................................
Persepsi para pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNK (Falah,
6.2 98
2012) .....................................................................................................................
6.3 Persepsi masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya hutan .................................
100
6.4 Persepsi masyarakat terhadap Taman Nasional Aketajawe Lolobata ......................
100
7.1 Pola usaha penduduk dari berbagai etnis di kawasan TN Kutai ..............................
106
Tipologi masyarakat dan biofisik di daerah penyangga TN Kerinci
7.2 107
Seblat, Kabupaten Pesisir Selatan .........................................................................
7.3 Tipologi masyarakat di kawasan dan daerah penyangga TN Lore Lindu .................
110
7.4 Pola penggunaan lahan daerah penyangga TNKS ..................................................
113
7.5 Nilai B/C ratio usahatani pada masing-masing pola pemanfaatan lahan ..................
117
7.6 Penggunaan lahan oleh masyarakat Siberut Selatan .......................................................
117
Valuasi ekonomi jasa lingkungan di Rawa Bento, daerah penyangga
7.7 119
TN Kerinci Seblat .................................................................................................
Bentuk pengelolaan lahan dan pendapatan masyarakat di Kec. Cibeber,
7.8 119
TN Halimun-Salak ................................................................................................
7.9 Populasi primata (individu/km²) di Cagar Biosfer Siberut ......................................
121
xiv
Tabel Hal.
7.10 Populasi primata di lokasi penelitian .....................................................................
121
7.11 Jenis ikan dari S. Sangata yang dikonsumsi dan diperjual-belikan .........................
122
Potensi Dipterocarpaceae di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai
7.12 123
Saibi Cagar Biosfer P. Siberut ..............................................................................
7.13 Potensi necromass di Cagar Biosfer Pulau Siberut ..................................................
126
Potensi necromass dan kesuburan tanah di daerah penyangga TN
7.14 127
Siberut ..................................................................................................................
7.15 Struktur dan komposisi daerah penyangga TNAL .................................................
133
8.1 Analisis SWOT di TN Kutai .................................................................................
145
8.2 Cara penguatan faktor pendorong pemanfaatan lahan di zona khusus .....................
146
8.3 Cara mengurangi faktor penghambat pemanfaatan lahan masyarakat .....................
146
9.1 Kriteria dan Indikator Zonasi Taman Nasional ..............................................................
154
9.2 Kriteria Penilaian Kawasan Konservasi Gunung Maras ........................................
174
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal.
Diagram Penelitian Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem
1 6
(RPI 13) ...........................................................................................................
2.1 Perbandingan kerapatan dan volume pohon di hutan produksi ..........................
13
4.1 Lokasi potensi HHBK di TNGHS ....................................................................
50
4.2 Tanaman dammar di TNGHS ...........................................................................
51
4.3 Kawasan TN Gn Halimun Salak, pasca tambang PT Antam, Cikidang ..............
56
Abrasi sungai terhadap lahan pertanian masyarakat dan hutan riparian
4.4 58
S. Sangatta .......................................................................................................
4.5 Pohon ulin yang berumur ribuan tahun, Sangkima ............................................
59
4.6 Fasilitas yang rusak di Sangkima ......................................................................
59
4.7 Telaga bening ...................................................................................................
60
4.8 Bumi Perkemahan Saleba dan aksi rehabilitasi oleh stakeholder .......................
60
4.9 Kp Pangradin II dan kebun karet di TNGHS ....................................................
61
4.10 Jenis tanaman restorasi .....................................................................................
62
4.11 Perkayaan tanaman di TN Kutai oleh PT Indominco Mandiri ...........................
64
Banjir yang terjadi di Teluk Pandan akibat luapan anak sungai dan
4.12 65
perubahan landskap kawasan ............................................................................
4.13 Persepsi masyarakat terhadap usulan status zona khusus ...................................
66
5.1 Tanaman perkayaan di zona rehabilitasi, Resort Sarongge ......................................
77
Tanaman kopi di bawah tegakan pinus dan kegiatan pembabatan di
5.2 78
zona rehabilitasi, Resort Tapos .........................................................................
Model adopsi pohon internasional di Blok Los Beca, Resort
5.3 80
Cimungkat .......................................................................................................
5.4 Model adopsi pohon di Resot Saronnge, Kabupaten Cianjur .............................
80
Pohon rasamala (Altingia xviixcels Noronha), tanaman Model Gerakan
5.5 81
Rehabilitasi Lahan di Resort Cimungkat, Sukabumi .........................................
5.6 Lokasi rencana rehabilitasi di TNGHS .............................................................
83
5.7 Rehabilitasi yang dilakukan oleh TN Kutai dan stakeholders ............................
85
5.8 Perkayaan pohon yang dilakukan oleh peneliti dan pengunjung ........................
85
xvii
Gambar Hal.
5.9 Rehabilitasi dengan dana DIPA, tahun 2012 ......................................................
86
5.10 Pembagian wilayah rehabilitasi oleh Perusahaan di sekitar TN Kutai .................
87
5.11 Perkayaan tanaman di TN Kutai oleh PT Indominco Mandiri ............................
87
Pemetaan Stakeholder Berdasarkan Kepentingan (interest) dan
6.1 94
Pengaruhnya (power) dalam pengelolaan TN Babul ...........................................
Matrik pengelompokan pemangku kepentingan berdasarkan minat dan
6.2 97
pengaruh...............................................................................................................
Grafik persepsi masyarakat Desa Sebangau Permai terhadap
7.1 104
pengelola TN Sebangau .......................................................................................
Tengkorak tapir, dan simpai dijumpai di sekitar perbatasan di jalur
7.2 114
hijau Jorong Bangun Rejo .....................................................................................
Jalur hijau yang dibangun masyarakat secara swadaya di batas
7.3 114
kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat dan agroforestri kebun rakyat ................
Pola pemanfaatan lahan zona penyangga Taman Nasional Aketajawe
7.4 115
Lolobata ...............................................................................................................
7.5 Grafik pendapatan berdasarkan pola pemanfaatan lahan .......................................
116
7.6 Hutan di areal kecamatan dan kebun campuran masyarakat lokal di
118
7.7 daerah penyangga TN Siberut ........................................................................................
7.8 Grafik sebaran tinggi pohon pada hutan primer, LOA 1 tahun, dan
7.9 LOA 5 tahun di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi cagar 124
7.10 biosfer P. Siberut (Bismark dan Heriyanto, 2007). ................................................
7.11 Jenis-jenis bahan obat-obatan ...............................................................................
125
Obyek wisata batu biduak/batu perahu dan jembatan akar di daerah
7.12 127
penyangga, Taman Nasional Kerinci Seblat ..........................................................
7.13 Patroli swakarsa masyarakat setiap bulan. ..............................................................
130
Keterlibatan para pihak, program, peran, dan kegiatan di daaerah
7.14 130
penyangga terhadap pengelolaan TN Kerinci Seblat...............................................
Keterlibatan para pihak, kegiatan, dan pemanfaatan lahan dalam
7.15 131
pengelolaan daerah penyangga TN Lore Lindu ......................................................
7.16 Pola Usahatani di Kebun Milik pada etnis Jawa .....................................................
132
7.17 Pola Usahatani di Kebun Milik pada etnis Kutai dan Bugis ....................................
132
xviii
Gambar Hal.
7.18 Kebun agroforestri dan kebun karet rakyat .............................................................
132
Hubungan Luaran Dan Penelitian Pengelolaan Taman Nasional
9.1 148
Berbasis Ekosistem (RPI 13). .................................................................................
Bagan alir proses penetapan kriteria dan indikator tersebut dapat
9.2 154
terlihat pada bagan alir berikut ..............................................................................
Model Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional Bantimurung
9.3 166
Bulusaraung ..........................................................................................................
9.4 Model pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional berbasis ekosistem ................
168
xix
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Kementerian Kehutanan (2011), kawasan hutan di Indonesia masih
tersisa sekitar 133.513.800 ha. Berdasarkan fungsi pokoknya, kawasan tersebut
meliputi hutan konservasi (kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam)
seluas 20.093.600 ha, hutan lindung 31.595.100 ha, hutan produksi terbatas
22.343.800 ha, hutan produksi terbatas 36.736.400, hutan produksi 110.768.900 ha
dan hutan produksi yang dapat dikonversi 22.744.900 ha. Dilihat dari tipe penutupan
vegetasinya, kondisi hutan Indonesia terdiri dari hutan primer sekitar 41.937.800 ha,
hutan sekunder 46.403.700, hutan tanaman 2.756.600 ha, non hutan 42.365.400 ha
dan tidak ada data 50.300 ha. Kawasan hutan yang penutupannya masih merupakan
hutan primer, lebih dari 50% hanya tersisa pada kawasan hutan yang statusnya hutan
konservasi dan hutan lindung.
Kawasan hutan merupakan bagian penting sebagai tempat hidup jutaan
keanekaragaman hayati, baik itu tumbuhan maupun hewan. Menurut Primark et al.
(1998), sedikitnya telah ditemukan sekitar 1.500 jenis burung, 500 mamalia, 8.500
ikan, 25.000 tumbuhan berbunga, 1.250 paku-pakuan, dan ribuan jenis takson
lainnya yang hidup pada kawasan hutan di Indonesia. Beragam tumbuhan dan
hewan tersebut telah banyak berperan dan dimanfaatkan oleh manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup, seperti untuk sumber makanan dan obat-obatan.
Peranan hutan yang juga sangat penting untuk mendukung kehidupan manusia
adalah sebagai pengatur hidroorologis, mencegah banjir, mengatasi kekeringan,
tanah longsor dan menjaga kesuburan tanah.
Namun, masih tingginya proporsi hutan produksi, yang diperuntukan untuk
memproduksi kayu, dengan implementasi sistem pengelolaan yang kurang tepat
ternyata telah mengakibatkan sebagian besar kawasan hutan mengalami kerusakan.
Hal ini didorong pula oleh pertumbuhan penduduk yang cepat sehingga konversi
hutan untuk memenuhi kebutuhan lahan olahan meningkat drastis. Luas hutan di
Indonesia yang terdegradasi sampai tahun 2007 diperkirakan telah melebihi 50 juta
ha (www.dephut.go.id, 2007). Hal ini terbukti dari data di atas yang menunjukan
lebih dari 75% kondisi hutan telah berubah menjadi hutan sekunder dan non hutan.
Luasnya kerusakan hutan dan besarnya dampak negatif yang dirasakan oleh
manusia, ternyata secara positif meningkatkan akan kesadaran untuk mengelola
hutan secara berkelanjutan. Hal yang menggembirakan dalam 20 tahun terakhir ini
kesadaran terhadap pelestarian hutan, termasuk perlindungan keragaman hayati
beserta ekosistem didalamnya, telah dirasakan banyak pihak. Begitu pula, orientasi
kebijakan konservasi dalam setiap pengelolaan hutan telah menjadi landasan
normatif setiap penentu kebijakan.
Sintesis 2010-2014 |1
Seiring meningkatnya kesadaran untuk mengelola hutan secara berkelanjutan
secara global, maka dalam prinsip standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan
yang dikembangkan oleh Majelis Pengurus Hutan (Forest Stewardship Council /
FSC) pada tahun 1999 muncul sebuah konsep yang dikenal dengan HCVF (High
Conservation Value Forest) atau Hutan Bernilai Konservasi Tinggi. Konsep HCVF
ini mensyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin
pemeliharaan dan/atau peningkatan kawasan tersebut. Dalam hal ini, pendekatan
HCV berupaya membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara
keberlanjutan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang.
Meski konsep HCV pada awalnya didisain dan diaplikasikan untuk pengelolaan
hutan produksi, namun dengan cepat konsep ini banyak digunakan pula dalam
pembangunan sektor perkebunan yang banyak mengkonversi kawasan hutan, seperti
untuk perkebunan kelapa sawit.
Pemikiran dan implementasi untuk menerapkan konsep HCVF sebenarnya sudah
ada sejak lama. Hal ini dapat tercermin dari Undang-Undang No. 5 tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Pada isi undang-undang tersebut telah
ditetapkan sebagian kawasan hutan sesuai fungsinya menjadi kawasan suaka alam,
yaitu Cagar Alam dan Suaka Margasatwa dan hutan lindung. Hutan Suaka Alam
merupakan kawasan hutan yang karena sifatnya khas diperuntukkan secara khusus
untuk perlindungan alam hayati dan/atau manfaat-manfaat lainnya secara
berkelanjutan dan hutan lindung merupakan kawasan hutan yang karena keadaan sifat
alamnya diperuntukkan guna mengatur tata-air, pencegahan bencana banjir dan erosi
serta pemeliharaan kesuburan tanah. Begitu pula, pada kawasan hutan untuk produksi
ditetapkan pula kawasan yang harus dilindungi, seperti sempadan sungai, daerah
pasang surut air laut, area plasma nutfah, area keragaman hayati tinggi, kantong satwa
dan lainnya. Konsep-konsep tersebut yang sebagian besar lebih dijabarkan dalam
prinsip penetapan area menjadi HCFV.
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Penetapan hutan konservasi secara umum berfungsi untuk
melestarikan sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya, yang dapat dilakukan
melalui perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri dari kawasan
suaka alam dan kawasan pelestarian alam, seperti taman nasional, cagar alam, taman
buru, suaka margasatwa, taman hutan raya, dan taman wisata alam yang
pengelolaanya dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen Kehutanan
(Departemen Kehutanan, 1990).
Berbagai peraturan untuk mendukung pengelolaan hutan konservasi sebagai
penjabaran dari undang-undang terus disusun dan disyahkan, Peraturan Pemerintah.
diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Sintesis 2010-2014 |2
Jenis Tumbuhan dan Satwa, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan Jo Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan
Hutan, Peraturan pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pada tingkat
Kementerian Kehutanan juga telah ditetapkan berbagai keputusan sebagai landasan
dalam pengelolaan hutan konservasi seperti Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam dan Peraturan Menteri Kahutanan Nomor P.48/Menhut-
II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di suaka margasatwa, taman nasional,
Taman Hutan Raya dan taman wisata alam.
Salah satu kawasan hutan konservasi yang menjadi perhatian saat ini adalah
taman nasional karena dalam pengelolaannya dapat memadukan kepentingan
konservasi dan pemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Departemen
Kehutanan, 1990). Sebagai kawasan yang dikelola dengan sistem zonasi maka pada
taman nasional paling sedikit dibentuk tiga sistem zoansi yaitu, zona inti, zona
pemanfaatan dan zona lainnya.
Pemerintah Indonesia sampai saat ini sedikitnya telah menetapkan 50 taman
nasional yang tersebar di seluruh kepulauan, yang diantaranya meliputi 11 taman
nasional di Pulau Sumatera, 12 taman nasional di Pulau Jawa, 6 taman nasional di
Nusa Tenggara dan Bali, 8 taman nasional di Kalimantan, 8 taman nasional di
Sulawesi dan 5 taman nasional di Maluku dan Papua (http://www.dephut.go.id,
2012). Riwayat penunjukkan asal usul kawasan taman nasional tersebut sangat
bervariasi. Namun secara umum, asal usul penunjukan kawasan taman nasional
adalah dari kawasan hutan negara, baik itu dari hutan produksi, terutama area HCVF,
hutan lindung maupun hutan konservasi sendiri seperti suaka margasatwa (SM) yang
pengelolaanya ditingkatkan menjadi kawasan taman nasional.
Pengelolaan taman nasional di Indonesia pada kenyataannya tidak berjalan dengan
baik karena berbagai permasalahan sering timbul setelah terbentuknya suatu kawasan
menjadi taman nasional. Setiap taman nasional tentunya memiliki permasalahan
masing-masing. Namun permasalah secara umum yang sering terjadi di setiap taman
nasional adalah mulai dari konflik kepentingan lahan karena belum jelasnya tata batas
kawasan, degradasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya karena pencurian kayu
(illegal logging), bahan tambang dan perambahan (konversi hutan), tingkat
ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan bukan kayu yang masih tinggi,
Sintesis 2010-2014 |3
tingginya kepentingan egosektoral antar instansi terkait dan kondisi sumberdaya
manusia serta prasarana pendukung yang belum memadai.
Untuk mengatasi berbagai ancaman dan permasalahan dalam pengelolaan taman
nasional diperlukan berbagai rencana strategi pengelolaan yang tepat dan konprehensif
sesuai dengan karakteristik taman nasional itu sendiri. Salah satu konsep strategi yang
berkembang saat ini dalam pengelolaan taman nasional adalah pengelolaan berbasis
ekosistem dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait (secara kolaboratif).
Pendekatan pengelolaan ekosistem tidak hanya mempertimbangkan bagaimana
kawasan taman nasional hanya dipandang sebagai tempat pengawetan tumbuhan dan
satwa, tetapi harus memasukkan unsur manusia sebagai pemanfaat kawasan dan hasil
hutan, kayu dan non kayu, termasuk satwaliar. Oleh karena ekosistem hutan, termasuk
sebagai taman nasional, merupakan satuan fungsional dasar dalam ekologi yang
meliputi mahluk hidup dengan lingkungan organisme (komunitas bioik) dan
lingkungan abiotik, masing-masing mempengaruhi sifat-sifat lainnya dan keduanya
perlu untuk memelihara kehidupan sehingga terjadi keseimbangan, keselarasan dan
keserasian alam di bumi ini (Irwan, 2007).
Selain itu, pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem tentunya menuntut
adanya kemitraan dan kesepakatan kerjasama pengelolaan yang melibatkan banyak
pihak. Oleh karena kekuatan-kekuatan diluar yurisdiksi masih cukup kuat
mempengaruhi kebijakan dan arah pengelolaan taman nasional. Kekuatan tersebut
meliputi kekuatan birokrasi pemerintah, kekuatan sosial ekonomi lokal, regional,
nasional dan global, kekuatan sosial politik dan kekuatan sosial budaya dan tata nilai
masyarakat setempat yang berada di daerah penyanganya. Untuk mengembangkan
pengelolaan taman nasional saat ini harus mampu mengintegrasikan kepentingan
semua pihak dalam mengantisipasi kebijakan sektoral dan antar wilayah
administrasi dalam merencanakan dan mengembangkan kawasan hutan secara umum
(Kuswanda, 2011).
Untuk menyusun strategi rencana pengelolaan taman nasional berbasis ekositem
tentunya membutuhkan berbagai kajian dan rangkaian penelitian secara menyeluruh
pada berbagai taman nasional di Indonesia. Kebutuhan penelitian untuk dapat
mendukung hal tersebut yang telah teridentifikasi, diantaranya adalah (a) kriteria
dan indikator pengelolaan dan pemanfaatan, (b) model pengelolaan sesuai ekosistem,
dan (c) strategi pengelolaannya, yang saat ini sedang dilakukan dalam RPI Model
Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem lingkup Pusat Litbang Konservasi
dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan. Pelaksanaan penelitian tersebut akan
menghasilkan berbagai solusi dari berbagai permasalahan utama untuk
mengembangkan model dan strategi pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem,
seperti a) dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi yang belum lengkap, b)
belum memadainya kelembagaan untuk mendukung pengelolaan yang adaptif, c)
informasi dan pengembangan jasa lingkungan yang masih kurang, d) dinamika
Sintesis 2010-2014 |4
ekosistem kawasan yang terus berubah (cenderung semakin terdegradasi) dan e)
pengelolaan daerah penyangga yang kurang optimal.
Berbagai taman nasional telah dijadikan sebagai contoh penelitian yang
mewakili berbagai model pengelolaan berdasarkan tipologi kawasan, seperti tipologi
kawasan dengan ekosistem pegunungan, ekosistem dataran rendah, dan perairan
meliputi TN Batang Gadis, TN Kerinci Seblat, TN Gunung Gede Pangrango, TN
Gunung Ceremai, TN Gunung Merapi, TN Gunung Halimun Salak, TN Siberut, TN
Alas Purwo, dan Bangka Belitung. Mewakili ekosistem dataran rendah meliputi TN
Kutai, dan TN Sebangau. Mewakili ekosistem pegunungan meliputi TN
Bantimurung Bulu Saraung, TN Lore Lindu, TN Bugani Nani Warta Bone, TN
Laiwanggi Wanggameti. Mewakili ekosistem perairan dan pulau, serta dataran
rendah mewakili TN Teluk Cendrawasih, TN Aketajawe, TN Wasur.
Dari rangkaian penelitian yang telah dilakukan dalam lingkup RPI Model
Pengelolaan Kawasan Konservasi di Berbasis Ekosistem, telah dihasilkan berbagai
informasi yang dapat disebarluaskan kepada berbagai pengguna melalui publikasi
ilmiah. Untuk itu, sintesa antara sebagai bentuk evaluasi RPI 13 yang didalamnya
berisikan tentang kondisi ekologi dan masyarakat sekitar taman nasional, valuasi
nilai ekonomi dan strategi pemanfaatannya, review usulan penetapan kriteria dan
indikator zonasi dan strategi pengelolaan berbasis ekosistem serta pengembangan
daerah penyangga. Diharapkan hasil antara ini dapat menjadi masukan dalam
reevaluasi kebijakan dalam pengelolaan taman nasional berserta daerah
penyangganya sehingga dapat dikelola secara optimal dan bermanfaat bagi
masyarakat, khususnya yang berada di sekitar kawasan taman nasional.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan diteliti dalam RPI Model Pengelolaan Kawasan
Konservasi Berbasis Ekosistem dirumuskan sebagai berikut:
1. Berdasarkan fungsi kawasan, kualitas ekosistem dan biogeografi yang ditetapkan
sebagai taman nasional menyebabkan adanya perbedaan sistem pengelolaan.
2. Keragaman ekosistem dan jenis flora fauna, penataan pemanfaatan lahan di luar
kawasan TN dan tipologi sosial ekonomi dan budaya menentukan terhadap model
pengelolaan TN.
3. Tingkat ekonomi masyarakat di sekitar kawasan, invasi untuk pemenuhan
kebutuhan lahan, konflik satwaliar, dan kualitas habitat dalam kawasan adalah
faktor penting sebagai dasar strategi pengelolaan taman nasional.
4. Pengelolaan kawasan konservasi yang memperhitungkan kebutuhan dasar
masyarakat terdapat dalam sistem taman nasional. Pertimbangan tersebut
dijabarkan dalam pengelolaan zonasi taman nasional dan daerah penyangga.
5. Pengelolaan yang berbasis pada peraturan yang ada, dapat tidak sesuai dengan
kondisi di lapangan sehingga perlu dukungan penelitian yang terintegratif berbasis
ekosistem.
Sintesis 2010-2014 |5
C. Metode
Sintesis antara hasil-hasil penelitian didasarkan pada kajian terhadap data dan
laporan hasil penelitian di berbagai taman nasional yang disampaikan pelaksana
penelitian di lingkup RPI 13, yaitu Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Balai
Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli, BPK Makassar, BPK Manado, BPK
Semboja, BPKJ Banjar Baru, BPK Kupang dan BPK Manokwari. Sintesis hasil
penelitian mengacu pada luaran dan kegiatan penelitian yang tercantum dalam RPI
13. Hubungan luaran dan kegiatan penelitian untuk menghasilkan Model pengelolaan
Taman Nasional sebagaimana pada Gambar 1.
Kriteria indikator
Evaluasi zonasi Valuasi Manfaat Taman
pengelolaan TN tiap
taman nasional Nasional 13.1.1
tipologi ekosistem
13.1 13.1.2
Kriteria Indikator
Pengelolaan TN
13.1.3
Model Pengelolaan
TN Berdasarkan
Model Pengelolaan
Ekosistem Taman Nasional
13.2 13.2.1
Sintesis 2010-2014 |6
II. EKOSISTEM DAN SATWA LIAR
Taman Nasional dengan berbagai bentuk geometrik, luas dan tipe ekosistemnya
telah menunjukan tingkat tekanan masyarakat yang berbeda terhadap kawasan.
Perbedaan juga disebabkan oleh tingkat kepadatan penduduk dan pola penggunaan
lahan berdasarkan budaya lokal. Dengan perbedaan bentuk geometrik kawasan maka
pembagian dan sebaran zonasi juga mengikuti pola geometrik sehingga dapat terjadi
zona inti tidak dalam satu kesatuan landcave demikian pula dengan zona lainnya.
Oleh karena itu parameter dan indikator zonasi akan berbeda-beda pula.
Penelitian model pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional
dalam kegiatan RPI 13, hasil penelitian dalam kegiatan luaran 1 menjadi bahan acuan
dalam mensintesa luaran 2 dan 3 yaitu menentukan model pengelolaan taman nasional
berbasis ekosistem. Dalam hal ini selain berdasarkan tipe ekosistem dengan
keterwakilannya yang perlu dilindungi sebagai taman nasional, nilai potensi ekosistem
baik dari segi biodiversitas, satwa langka dan jasa lingkungan menjadi bagian
penelitian yang menunjang pengelolaan taman nasional.
Keragaman vegetasi dan satwa liar menjadi prinsip utama dalam pengelolaan
taman nasional, seperti mengelola habitat dalam bentuk padang pengembalaan untuk
meningkatkan daya dukung habitat pakan satwa herbivora atau keberadaan satwa
arboreal seperti primata sebagai indikator kualitas vegetasi dan habitat.
Kawasan taman nasional di Indonesia sesuai dengan tipe vegetasi yang
terlindungi dalam kawasan secara umum mencakup pegunungan, dataran rendah,
perairan. Taman nasional yang memiliki ekosistem pegunungan diantaranya adalah:
TN Gunung Leuser, TN Batang Gadis, TN Kerinci Seblat, Tn Bukit Tigapuluh, TN
Bukit Dua Belas, TN Bukit Barisan Selatan, TN Gunung Gede Pangrango, TN
Gunung Halimun Salak, TN Gunung Merapi, TN Gunung Merbabu, TN Bromo
Tengger Semeru, TN Gunung Palung, , TN Bantimurung Bulusaraung, TN Lore
Lindu, TN Kelimutu, TN Gunung Rinjani
Taman Nasional yang memiliki ekosistem dominan dataran rendah yaitu: TN
Berbak, Tn Ujung Kulon, TN Alas Purwo, TN Baluran, TN Meru Betiri, TN Kutai,
TN Tanjung Puting, TN Kayan Mentarang, TN Bukit Baka Bukit Raya, TN Betung
Kerihun, TN Bali Barat, TN Komodo, TN Mampeni Tanah Daru, TN Laiwangi
Wanggameti, TN Akatajane Lolobatu, TN Tesso Nillo, TN Wasur, TN Way
Kambas
Taman Nasional yang didominasi perairan diantaranya adalah TN Sebangau
merupakan perwakilam ekosistem rawa gambut yang relative masih utuh. Kawasan
ini memiliki karakteristik yang unik ditinjau dari struktur dan jenis tanah, topografi,
hidrologi, flora dan fauna. Kedalaman gambutnya berkisar antara 3m -14 m. Taman
Nasional yang memiliki ekosistem dominan perairan diantaranya TN Karimunjawa,
TN Kepulauan Seribu, TN Danau Sentarum, TN Sebangau, TN Teluk Cendrawasih,
Sintesis 2010-2014 |7
TN Manusela, TN Bogani Nani Wartabone, TN Bunaken, TN Sanger Gunung Api
Bawah Laut Mahangetang, TN Sanger Gunung Api Awu, TN Rawa Aopa Watu
mohai, TN Kepulauan Togean, TN Wakatobi
A. Habitat, Populasi Satwa Ekosistem Pegunungan
Keterwakilan taman nasional ekosistem pegunungan diantaranya adalah TN
Gunung Gede Pangrango, TN Batang Gadis dan TN Bantimurung Bulusaraung,
disamping itu keterwakilan tipe ekosistem pegunungan sebagai habitat satwaliar juga
ditunjukkan oleh kawasan hutan cagar alam. Populasi satwa yang menjadi indikator
kualitas vegetasi yang sesuai dengan habitat adalah primata arboreal Hylobates
moloch (Owa Jawa), Hylobates syndactylus (siamang), dan Hylobates agilis
(Ungko).
Penutupan lahan di kawasan TN selalu dimonitor untuk mengetahui dasar-dasar
pengelolaan seperti penetapan atau evaluasi zonasi dan program restorasi, sebagai
contoh TN Gn Gede Pangrango pada tahun 2010 berdasarkan citra landsat TM 7,
didominasi oleh hutan sekunder seluas 9.752 atau 40%, sedangkan hutan primer yang
meliputi wilayah pegunungan tipe ekosistem sub-montana sampai sub alpin seluas
6.267 ha atau 25% yang terletak di bagian terdalam/tengah (Gunawan, 2012).
Kondisi hutan primer yang terdapat di bagian terdalam atau tengah merupakan
habitat sebaran satwaliar langka atau dilindungi dengan areal dengan vegetasi yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah hutan sekunder yang termasuk tipe
hutan montana (1000 m dpl -1500 m dpl) cenderung lebih rendah.
Kondisi yang demikian ini, juga dijumpai pada hutan Cagar Alam Dolok Sipirok
(CADS). Populasi siamang di kawasan hutan Cagar Alam Dolok Sipirok (CADS)
dan sekitarnya tersebar pada hutan primer sebanyak 81,8%, serta pada hutan
sekunder dan pinggiran sungai di dekat pertanian lahan kering sebanyak 9,1%. Hasil
analisis pola sebaran spasial menunjukkan bahwa populasi siamang di CADS
tersebar menurut pola berkelompok atau agregat. Jumlah populasi siamang di CADS
dan daerah penyangganya yang menjadi contoh areal penelitian adalah 24 individu
yang tersebar dalam 7 kelompok. Nilai dugaan kepadatan individu adalah sebesar
9,91±3,40 individu/km2. Apabila luas CADS sekitar 69,7 km2 maka diperkirakan
populasi total adalah 691 individu siamang di kawasan CADS dan sekitarnya
(Kuswanda, 2014). Hasil penelitian ini hampir sama dengan Bangun et al. (2009) dan
Sultan et al. (2009) yang menyatakan bahwa kepadatan rata-rata ungko dan siamang
di Taman Nasional Batang Gadis sebesar 8,82 individu/km2 dan 12,9 individu/km2.
Berdasarkan tipe habitat dan ketinggian, maka habitat siamang di CADS dapat
dikategorikan menjadi 4 kategori, yaitu: hutan primer pada ketinggian 600 – 900 m
dpl, hutan primer pada ketinggian 900 – 1.200 m dpl, hutan sekunder pada
ketinggian 600 – 900 m dpl, dan hutan sekunder pada ketinggian 900 – 1.200 m dpl.
Gron (2008) menyebutkan bahwa walaupun hidup simpatrik dengan kelompok
Sintesis 2010-2014 |8
gibbon lainnya pada beberapa tipe habitat, siamang cenderung dijumpai pada
ketinggian yang melebihi gibbon yang sampai pada ketinggian 1800 m dpl.
Hasil analisis Indeks Neu menunjukkan bahwa tidak ada pemilihan tipe habitat
tertentu berdasarkan penutupan lahan dan ketinggian dari permukaan laut bagi
siamang namun cenderung menyukai tipe habitat hutan sekunder. Model RSF
(resources selection function) untuk mengetahui sumberdaya yang paling
mempengaruhi penggunaan habitat berdasarkan persamaan regresi logistik adalah:
exp(−1,779 + 0,683 𝑋2 − 2,849 𝑋6 − 0,178 𝑋8 )
𝜋(𝑥) =
1 + exp(−1,779 + 0,683 𝑋2 − 2,849 𝑋6 − 0,178 𝑋8 )
Keterangan :
𝜋(𝑥) = kemungkinan kehadiran siamang
X2 = jumlah jenis pakan tingkat tiang
X6 = Lbds total tingkat tiang
X8 = Tinggi tumbuhan tingkat tiang
Sintesis 2010-2014 |9
siamang di sekitar CA. Dolok Sipirok adalah di hutan produksi dan hutan lindung
yang masih relatif utuh (primer dan sekunder) dengan nilai HSI sebesar 0,68 dan
0,52 dan yang kurang sesuai adalah APL (0,48). Nilai Karakteritik tumbuhan untuk
penilaian kesesuaian habitat bagi siamang tertinggi di hutan produksi dan terendah
di hutan lindung. Nilai rata-rata jenis tumbuhan pakan, Lbds total dan tinggi
tumbuhan di hutan produksi masing-masing sebesar 2,9 jenis/0,01 ha, 0,167 m2/0,01
ha dan 15 meter. Ancaman kerusakan habitat diantaranya adalah pembukaan lahan
untuk area perkebunan di setiap status hutan, pencurian kayu dengan kerusakan
tegakan tertinggi. Pembakaran hutan dan lahan yang dapat menurunkan reproduksi
siamang, pengambilan hasil hutan lainnya seperti rotan, getah kemenyan dan kayu
bakar serta pengembangan infrastruktur yang memotong habitat siamang.
Penelitian di Taman Nasional Batang Gadis berdasarkan analisis SWOT dan
AHP diarahkan pada strategi menjaga keutuhan ekosistem hutan beserta satwaliarnya
di setiap zonasi dengan prioritas untuk mengembangkan potensi keragaman jenis
satwaliar langka dan dilindungi (Kuswanda, 2012). Pada zona rehabilitasi, jenis
tumbuhan yang teridentifikasi pada plot seluas 1,2 ha sekitar 70 jenis. Pada
ketinggian 350 meter dpl sebanyak 33 jenis, ketinggian sekitar 500 m dpl 36 jenis
dan ketinggian 600 m dpl 33 jenis. Nilai indeks keanekaragaman jenis termasuk
kategori sedang (H’<3) yang mengindikasikan bahwa kondisi ekosistem sudah
mengalami gangguan. Komunitas tumbuhan dengan perbedaan ketinggian 100 m dpl
cukup berbeda (rata-rata indeks kesamaan sebesar 41,1%). Keragaman jenis
satwaliar, baik untuk mamalia darat maupun primata pada setiap tipe ketinggian
tempat termasuk kategori rendah. Hasil pendugaan kepadatan satwaliar untuk
primata antara 1,6 – 3,8 ind/ha dan untuk mamalia darat 1,6 – 2,2 ind./ha. Jenis-jenis
satwa yang termasuk kategori langka dan dilindungi diantaranya siamang (Hylobates
syndactylus), trenggiling (Manis javanica) dan kambing hutan (Naemorhedus
sumatraensis).
Pada zona rimba berdasarkan hasil analisis vegetasi pada plot 1,6 ha di TNBG
teridentifikasi 119 jenis tumbuhan. Pada tipe ekosistem dataran rendah ditemukan 49
jenis, ekosistem Sub Pegunungan 55 jenis, ekosistem Pegunungan 40 jenis dan pada
ekosistem lahan terdegradasi 39 jenis. Keragaman jenis pada berbagai tingkat
pertumbuhan secara umum termasuk kategori tinggi (H’ > 3) sehingga masih
merupakan ekosistem yang stabil. Keanekaragaman jenis tertinggi (primata dan
mamalia darat) ditemukan di ketinggian 1.200-1.300 m dpl sebesar 1,517 dan 1,979.
Dugaan kepadatan rata-rata primata sebesar 2,4 ind./ha dan mamalia darat sebesar
2,2 ind./ha.
Penelitian satwa indikator di TN Kerinci Seblat wilayah Sumatera Barat diareal
zona rimba yang berbatasan dengan zona rehabilitasi, zona khusus, zona
pemanfaatan terbatas adalah siamang dan ungko. Dengan habitat yang berbukit-bukit
dan sebagian besar masih hutan primer atau sekunder tua. Populasi H. Syndactylus
Sintesis 2010-2014 | 10
adalah 8,5 inv/km2 dan H. Agilis 8,6 individu/km2. Kedua jenis tersebut berada
dalam habitat yang sama dengan perbedaan sumber pakan (Bismark, 2014).
Pada zona inti, hasil identifikasi pada plot seluas 1,6 ha ditemukan sebanyak 158
jenis. Pada ekosistem ketinggian 700 - 900 m dpl ditemukan sebanyak 83, ketinggian
1.000 – 1.100 m dpl 87 jenis, 1.200 – 1.300 m dpl 74 jenis dan ketinggian 1.400 –
1.600 m dpl 58 jenis. Jenis yang mendominasi antara lain modang/Litsea odorifera
Valeton, lagan/Dipterocarpus kunstleri King. dan meranti/Shorea sp. Keragaman
jenis termasuk kategori tinggi (H’>3) sehingga masih merupakan ekosistem yang
stabil. Persentase tutupan tajuk antara 80-95%. Pada kelompok primata
teridentifikasi sebanyak 6 jenis dan kelompok mamalia darat 15 jenis.
Keanekaragaman jenis (H’) satwaliar tergolong rendah, untuk primata hanya 0,530-
1,450 dan mamalia darat 1,642-2,107. Dugaan kepadatan rata-rata primata sebesar
1,8 ind./ha dengan kepadatan tertinggi pada siamang (0,8 ind./ha).
Hasil penelitian karakteristik tumbuhan dan satwaliar di atas telah melengkapi
informasi penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Conservation
International – Indonesia (2004) dan Balai KSDA II Sumut (2005) yang baru
menginformasikan jenis tumbuhan dan satwaliar di seluruh kawasan TNBG.
Penelitian ini juga menemukan indikasi masih adanya orangutan (Pongo abelii) di
TNBG berdasarkan penemuan sarang dan tanda lainnya di area zona rimba.
Keragaman jenis tumbuhan dan satwaliar di TNBG secara umum lebih tinggi di
banding kawasan lainnya, di Sumatera bagian Utara, seperti Taman Nasional Bukit
Tiga Puluh dan Taman Nasional Tesso Nilo.
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Sulawasi Selatan seluas 43.750
hektar dan terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten Maros dan Kabupaten
Pangkajene-Kepulauan adalah untuk konservasi ekosistem karst Maros-Pangkep
yang berbentuk menara (tower karst).
Di kawasan TN Bantimurung Bulusaraung dijumpai tiga ekosistem, yaitu tipe
ekosistem karst yang merupakan tipe ekosistem di atas batuan karst/batu gamping
atau diatas batuan karst yang berdinding terjal dengan puncak menaranya yang
relative datar (forest over limestone) terletak di wilayah Ammarae tipe ekosistem
hutan dataran rendah non dipterokarpa pamah dengan topografi datar sampai
berbukit di wilayah Karaenta tipe hutan pegunungan bawah (1575 m dpl) dengan
topografi bergelombang hingga terjal (Indra et al., 2010). TN Babul memiliki
keanekaragaman hayati tumbuhan tingkat pohon di kawasan hutan Ammarae indeks
keragamannya (H’) adalah 2,848. Indeks keragaman pohon di kawasan hutan
Karaenta (H’) adalah 3,380 sedangkan di hutan pegunungan indeks keragaman
pohon (H’) 3,378. Potensi biofisik lainnya adalah mamalia yang terdiri dari babi
hutan, monyet ekor panjang, monyet Sulawesi, tarsius, tupai, kus-kus, musang dan
tikus cerucut dimana indeks keragaman di kawasan hutan Ammarae (H’) 1,36, di
kawasan hutan Karaenta (H’)0,94 dan di kawasan hutan Tondokarambu (H’) 1,20.
Sintesis 2010-2014 | 11
Burung yang dijumpai di kawasan hutan Ammarae 60 jenis dengan indeks
keragaman (H’) 3,93, di kawasan hutan Karaenta 45 jenis dengan indeks keragaman
(H’) 3,63 dan di kawasan hutan Tondokarambu 32 jenis dengan indeks keragaman
(H’) 3,32. Kupu-kupu yang dijumpai di kawasan hutan Ammarae 100 jenis dengan
indeks keragaman (H’) 4,38, di kawasan hutan Karaenta 156 jenis dengan indeks
keragaman (H’) 4,27 dan di kawasan hutan Tondokarambu 117 jenis dengan indeks
keragaman (H’) 1,53 (Indra et al. 2010).
B. Habitat Populasi Satwa Ekosistem Dataran Rendah
Contoh penelitian di TN ekosistem dataran rendah yang cukup lengkap dalam
penelitian RPI 13 adalah TN Siberut dengan satwa kualitas vegetasi adalah 4 jenis
primata endemik. TN Siberut adalah adalah zona inti dari cagar biosfer Siberut,
sehingga penelitian mencakup areal bekas IUPHHK di sekitar TN yang kondisinya
sama dengan di beberapa wilayah TN Siberut.
Di Taman Nasional Siberut tercatat 164 jenis pohon. Jenis pohon di hutan
sekunder tua yang dominan tertera pada Tabel 2.1, sedangkan kondisi ekologis
vegetasi hutan di areal penelitian dirinci dalam Tabel 2.2 (Bismark et al., 2012).
Tabel 2.1. Jenis pohon pada hutan alam dengan INP > 10 %
No Nama lokal Nama Ilmiah INP
(%)
1 Tetepana Hydnocarpus woodii 19,5
2 Roan/Koan Horsfieldia irya Warb. 13,8
3 Potsaiguan/Potceiguan Koompassia sp. 11,1
4 Posa Alseodaphne sp. 14,1
5 Politcen/Polikceu/politciu Euodia aromatic 10,0
6 Pokatoksu Knema sp. 14,0
7 Poka/Kruing - 22,0
8 Koka/Koga/keruing kora/Poka-Kruing Dipterocarpus caudiferus Merr. 59,2
9 Dibu Eugenia sp. 26,4
10 Boiko Alangium javanicum (Bl.) Wang 17,6
Dari potensi tegakan yang ada , areal bekas tebangan masih mendukung
pemanfaatan satwa yang menjadi indikasi bagi kualitas habitat satwa, terutama
Sintesis 2010-2014 | 12
primata endemik, yang menjadi sasaran pengelolaan pengelolaan Taman Nasional
Siberut.
Berdasarkan hasil penelitian, pohon yang berpotensi untuk pohon tidur primata,
(Hylobates klossii, Simias concolor, Presbytis potenziani) di areal bekas tebangan
tertera pada Tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3. Populasi pohon yang berpotensi untuk pohon tidur primata di areal bekas
tebangan
Vegetasi Diameter Pohon
30-39 40-49 50-59 >60 Total
LOA 1 tahun 12 12 - 6 30
LOA 3 tahun 27 20 8 2 47
Jenis pohonnya adalah Aglaium javanica, Dipterocarpus, Artocarpus,
Baccaurea sumatrana, Hydnocarpus woodii, Gymnacranthera bancana,
Alseodaphne, Canarium furtosum dan Shorea sp., sedangkan kerapatan dan volume
pohon di beberapa plot sebagaimana Gambar 2.1
Sintesis 2010-2014 | 13
Tabel 2.4. Dominansi jenis pohon dalam vegetasi habitat primata
Areal bekas tebangan Areal tidak ditebang Kawasan TN. Siberut *)
INP INP INP
Jenis Jenis Jenis
(%) (%) (%)
Nephelium sp. 75,9 Shorea pauciflora 59,2 Gluta elegans 11,77
Alangium javanicum 12,1 Dipterocarpus sp. 26,4 Chasalia chartaceae 24,64
Dipterocarpus sp. 15,0 Dipterocarpus 19,5 Cleidion spiciflorum 37,58
caudiferus
Canarium hirsutum 18,3 Phoebe grandis 17,6 Mallotus subpeltatus 18,02
Kakaona reflexa 52,9 Dipterocapus sp. 13,8 Bhopia mitida 8,22
Dipterocarpus sp. 22,8 Horsfieldia irya 14,1 Eugenia cymosa 20,16
Artocarpus kemando 12,3 Aporosa lucida 22,5 Arthocarpus bornensis 14,19
Euodia aromatica 13,2 Hydnocarpus woodii 11,3 Eugenia sp. 18,47
Alseodaphne sp. 12,4 Chamnosperma sp. 10,7 Xanthophyllum sp. 12,51
*) Laporan survei TNS, 2010
Berdasarkan Tabel 2 dan 3, di areal LOA 1 dan LOA 3 tahun terlihat
peningkatan jumlah pancang dan dinamika jumlah semai. Data ini menunjukkan
dampak RIL terhadap suksesi vegetasi. Hal tersebut didukung dengan tingkat
kesuburan tanah pada areal bekas tebangan (Tabel 2.5). Kondisi tanah dan sumber
nutrisi dari nekromass memungkinkan perbaikan pertumbuhan semai dan pancang
sebagai proses suksesi dan perbaikan habitat. Tingginya biomas nekromass
menunjukkan tingginya kadar K dan P serta nilai KTK.
Tabel 2.5. Kimia tanah dan biomass mikromas serta potensi semai di areal bekas
tebangan
Kimia Tanah Biomass Jumlah
Vegetasi
N C/N P2O5 K2O5 KTK Nekromas Semai/ha
LOA 0 0,21 9 35 52 14,2 298,74 56.250
LOA 1 0,33 11 25 38 11,92 114,55 126.250
LOA 3 0,24 11 30 49 16,25 288,96 75.000
Dari 42 jenis pohon dalam plot pengamatan di taman nasional, 50% jenis pohon
ditemukan dalam jumlah satu individu pohon. Kondisi ini menunjukan tingkat
keragaman yang tinggi atau adanya pemanfaatan, mengingat lokasi plot berada
dalam zona pemanfaatan tradisional. Jumlah indeks keragaman jenis pohon dalam
plot pengamatan 1,448 (Laporan TNS, 2010). Di areal bekas tebangan, dari 24 jenis
dalam sampel plot, 80-90% ditemukan dalam jumlah 2 individu pohon. Di areal
bekas tebangan, keragaman jenis pohon berkisar 1,14 - 1,30 indeks Shannon.
Pada kondisi awal di areal bekas tebangan jenis primata akan bermigrasi lokal ke
areal berbukit dengan kriteria lindung dan sekitar sungai yang tidak ditebang
(Bismark, 2004). Hasil penelitian populasi menunjukan sulitnya ditemukan primata
di areal bekas tebangan, terutama jenis Hylobates dan Simias, yang hidup arboreal
dan membutuhkan kanopi yang baik untuk perlidungan dari perburuan (Tabel 2.6).
Sintesis 2010-2014 | 14
Tabel 2.6. Populasi primata di TN Siberut dan Daerah Penyangga (DP)
Populasi (individu/km2)
Jenis Primata Areal bekas Areal belum TN. Siberut*)
tebangan (DP) ditebang (DP) 2009 2010
Hylobates klossii 0 12,1 4,45 8,9
Simias concolor 0 0 8,84 4,6
Presbytis potenziani 4,6 0 6,60 4,2
Macaca siberu 5,7 0 2,65 5,3
Sintesis 2010-2014 | 15
III. EKOSISTEM DAN JASA LINGKUNGAN
Sintesis 2010-2014 | 16
B. Nilai Flora
Identifikasi potensi biodiversitas beberapa TN telah dilaporkan diantaranya,
potensi jenis tumbuhan yang termasuk unggul lokal di TN Laiwanggi Wanggameti
(TNLW) adalah 31 jenis, antara lain kaduru bara (Palaquium obtusifolium), kaduru
rara (Palaquium obovatum), laru (Myristica littoralis), kawita kaba (Tarenna
incerta) tada katabi (Aglaia leucophylla) murungiha (Helicia excelsa), cendana
(Santalum album), inju watu (Spondias piñata), kesambi (Schleichera oleosa),
manera (Aglaia eusideroxylon), mayela (Artocarpus glaucus), pulai (Alstonia
scholaris), beringin (Ficus benyamina), kainjilu (Ficus variegate) dan sawo kecik
(Manilkara kauki).
Jenis satwaliar di TNLW yang teridentifikasi adalah 22 jenis mamalia, 72 jenis
kupu-kupu, 7 jenis amphibian, 4 jenis reptilia dan burung 215 jenis, delapan
diantaranya endemik Sumba yaitu rangkong (Aceros everetti), kakatua jambul jingga
(Cacatua sulphurea citrineoristata), gemak sumba (Turnix everetti), punai sumba
(Treron teysmani), walik rawamanu (Ptilonopus dohertyii), burung madu sumba
(Nectarina buettikoferi), sikatan sumba (Ficedula harteti) dan punggok wangi (Ninox
rudolfii).
Nilai kayu di TNLW berdasarkan potensi daerah penyangga dibagi menjadi dua
yaitu untuk pertukangan dan kayu bakar. Kurniadi et al. (2010) menyatakan bahwa
nilai ekonomi kayu pertukangan di TNLW berdasarkan 22 plot pengamatan adalah
sebesar Rp. 271.216.098,5,-/ha. Selanjutnya dengan asumsi daur tebang 20 tahun,
maka nilai ekonomi kayu pertukangan sebesar Rp. 13.560.804,9/ha/tahun. Apabila
kawasan berhutan di daerah penyangga TNLW seluas 41.516,5 ha, maka total nilai
ekonomi sumber daya kayu sebesar Rp. 562.997,157.639.4/tahun. Nilai ekonomi
kayu bakar diperoleh melalui pendekatan harga kayu bakar di pasar dan ongkos
angkut maka harga kayu bakar yang diproduksi dalam kawasan hutan sebesar Rp.
841.003,4 ,-/ha/tahun. Nilai tanaman obat 15 jenis tumbuhan pohon di TNLW
ditaksir dengan kesediaan membayar oleh masyarakat di sekitar TNLW didapatkan
sebesar RP. 1.270.000.-/ha/tahun, apabila luas kawasan berhutan 41.016,5 ha maka
nilainya sebesar RP. 52.090.955.000/tahun.
Nilai satwaliar keanekaragaman hayati di TN Wasur terdiri dari 50 jenis burung
yang termasuk 15 famili dengan beberapa jenis burung migran memiliki kelimpahan
tinggi di Rawa Donggamit diantaranya adalah itik gunung (Anas superciliosa),
gajahan pengala (Numenius phaeopus), kaki rumbai kecil (Phalarcopus lobatus),
trinil bedaran (Tringa terek) serta tiga jenis burung di Pantai Ndalir dengan jumlah
populasi mencapai lebih dari 500 individu seperti cerek pasir Mongolia (Charadrius
mongolus, 1100 individu), gajahan timur (Numenius madagascariensis, 522
individu) dan kaki rumbai kecil (Philomanchus pugnax, 720 individu). Burung
migran tersebut juga tersebar di habitat rawa lainnya seperti Rawa Nggom, Rawa
Mbalatar, Rawa Maar, Rawa Ukra besar, Rawa Tum Ter dan Rawa Biru yang
Sintesis 2010-2014 | 17
memiliki ketersediaan pakan berupa cacing, udang, kerang dan ampipoda (Winara et
al., 2010).
Pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat di sekitar TN Wasur adalah
memanen burung migran dan telurnya untuk dikonsumsi; berburu rusa, kangguru dan
wallaby dengan pendapatan Rp. 556.000/bulan
Potensi burung di TN Teluk Cendrawasih yang terdapat di P. Rumberpon
sebanyak 30 jenis, 16 famili, sebagian besar family Psitacidae terdiri dari 8 jenis.
Kelimpahan burung terbanyak diantaranya adalah nuri hitam (Chalcopsita atra), nuri
kepala hitam (Lorius lorry), kakatua koki (Cacatua galerita) dan pergam pinon
(Ducula pinon). Pemanfaatan sumberdaya alam di TN Teluk Cendrawasih oleh
masyarakat sekitar dari sektor perikanan, udang lobster, dan teripang memberikan
kontribusi pendapatan sebesar Rp. 804.000/bulan/KK, apabila dinilai dari
pemanfaatan sumber daya alam secara keseluruhan adalah sekitar Rp. 1.023.000,-
/bulan.
Penilaian potensi biodiversitas hutan tropika di TN Alas Purwo yang memiliki
luas 43.420 ha dengan formasi vegetasi hutan mangrove, hutan pantai, hutan hujan
dataran rendah, hutan tanaman dan savanna padang rumput dan potensi tumbuhan
langka seperti ketapang (Terminalia catappa), nyamplung (Calophyllum
inophyllum), keben (Barringtonia asiatica), sawo kecik (Manilkara kauki) dan 13
jenis bamboo, bernilai ekonomi sebesar Rp. 11.723.400.000,-/tahun (Mukhtar,
2010).
Penilaian pelestarian dan ekosistem dilakukan di Taman Nasional Batang Gadis,
merupakan kesediaan masyarakat sekitar untuk membayar pelestarian satwaliar yang
berjumlah 47 jenis mamalia dan 247 jenis burung (Kuswanda, 2011). Hasil analisis
penyebaran kuesioner pada masyarakat di daerah penyangga untuk mengetahui
kesedian membayar (WTP) terhadap kawasan TNBG sebagai habitat satwaliar yang
termasuk katagori langka dan dilindungi (IUCN, 2009) maupun dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai sumber protein, disajikan pada Tabel 3.1
Tabel 3.1. Nilai WTP beberapa jenis satwaliar menurut responden
Sintesis 2010-2014 | 18
Jenis Satwa Rata-rata
No nilai WTP
Nama Lokal Nama ilmiah
(Rp/tahun)
9 Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929 68.857.143
10 Tapir Tapirus indicus (Desmarest, 1819) 3.892.857
11 Kancil Tragulus javanicus (Osbeck, 1765) 460.000
Perhitungan nilai ekonomi satwaliar di kawasan ini dihitung dari rata-rata nilai
WTP untuk semua responden di tujuh desa penelitian, selanjutnya dikalikan rata-rata
jumlah penduduk per desa dan seluruh desa penyangga di TNBG sebanyak 71 desa
(Balai KSDA Sumut II, 2006) (Tabel 3.2.)
Tabel 3.2. Pendugaan nilai ekonomi satwaliar di TNBG
Rerata WTP Penduduk Total
Desa
(Rp./tahun) (jiwa) (Rp./tahun)
Longat 3.817.647 2179 8.318.652.941,18
Lumban dolok 5.205.882 5154 26.831.117.647,06
Sopotinjak 3.115.000 204 635.460.000,00
Humbang I 6.171.765 907 5.597.790.588,24
Hutabariingin Julu 5.617.647 388 2.179.647.058,82
Pastap julu 3.782.353 525 1.985.735.294,12
Huta Padang 6.997.059 571 3.995.320.588,24
Total 34.707.353 9928 49.543.724.117,65
Rata-rata 4.958.193 1.418 499.282.000.000,00
Total Desa Penyangga 71 desa (BKSDA Sumut II, 2006)
NPV 10% (selama 25 tahun, biaya tetap) 4.532.002.694.382,00
NPV 7% (selama 25 tahun, biaya tetap) 5.818.424.316.405,00
Sintesis 2010-2014 | 19
C. Ekosistem Mangrove
Jasa lingkungan keanekaragaman hayati mangrove meliputi pemanfaatan kayu untuk
bangunan rumah, kayu bakar dan jasa ekosistem terhadap perairan sebagai
habitat, ikan, kepiting dan udang yang mendukung memenuhi kebutuhan
masyarakat baik dijual maupun dikonsumsi. Hal ini sangat membantu dalam
peningkatan ekonomi dan taraf hidup, dapat dilihat dari nilai jualnya per tahun,
Tabel 3.3 (La Ode Ahyar,2009). Kepiting dan udang yang ditangkap pakai
bubu dan jaring memberikan sumbangan yang sangat besar karena nilai jualnya
yang cukup tinggi dan pemasarannya sampai keluar daerah. Berdasarkan hasil
kepiting dan udang yang cukup tinggi maka kondisi vegetasi mangrove dan
perairan di sekitarnya cukup baik dengan tingkat pencemaran yang cukup
rendah.
Tabel 3.3. Pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati mangrove di TNK Wakatobi
Hasil rata- Nilai Persen
No. Jenis Pemanfaatan
rata/ha (Rp.)/tahun (%)
1. Kayu (m3) 2,380 833.000 0,01
2. Kayu bakar (ikat) 292.404 1.023.414.000 7,44
3. Ikan (kg) 306.396 1.072.386.000 7,80
4. Udang (kg) 346.620 4.852.680.000 35,28
5. Kepiting (ekor) 486.144 6.806.016.000 49,48
Di TN Karimunjawa yang diwakili oleh ekosistem hutan tropis dataran rendah,
hutan mangrove, hutan pantai, padang lamun dan terumbu karang, memiliki nilai
biodiversitas sebesar Rp. 11. 200.000.000,- /tahun, sedangkan manfaat yang
didapatkan masyarakat dari perikanan tangkap sebesar Rp. 6. 421.000.000/tahun dan
budidaya rumput laut menghasilkan Rp. 13.000.000.000,-/ tahun (TN Karimunjawa,
2012).
D. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Jenis tanaman obat yang terdapat di TN Lore Lindu 138 jenis yang termasuk ke
dalam 80 suku terdiri dari 33 jenis tingkat pohon, 23 jenis perdu/pohon kecil, 70
jenis herba tingkat semak, 8 jenis herba tingkat rumput, 3 jenis epifit, 1 jenis liana.
Tanaman obat tersebut umumnya dimanfaatakan oleh masyarakat local secara
tradisional di daerah penyangga taman nasional. Inventarisasai vegetasi di kaawsan ii
di bedakan menurut ketinggian lokasi yang terdapat di pegunungan di kelompok
hutan Kaduaha (Ketinggian 1196 m dpl) memiliki nilai H’2,156 merupakan kondisi
keragaman yang terstabil artinyan masih terpelihara kondisinya dengan sangat baik,
apabila dibandingkan dengan kelompok hutan Simoro (ketinggian 400-700 m dpl)
yang memiliki nilai H’ 0,29 (Kiding Allo et. al, 2009)
Pemanfaatan hasil hutan non kayu di Taman Nasional Gn Halimun Salak
diantaranya adalah getah pinus (Pinus merkusii), kopal (Agathis damara), poh-pohan
Sintesis 2010-2014 | 20
dan karet memberikan kontribusi tambahan pendapatan kepada masyarakat sekitar
kawasan. Hutan tanaman pinus yang berbatasan dengan Desa Taman Sari luasnya
sekitar 5 ha dengan potensi 6.690 pohon berumur 25 tahun diteres 30-60 pohon/hari
dan menghasilkan getah 160 kg-450 kg/bulan dengan pendapatan sebesar Rp.
400.000,- - Rp. 1.1125.000,- /bulan, sedangkan masyarakat Desa Purwabakti
meneres getah pinus sebanyak 32-140 kg/bulan dengan tambahan pendapatan sekitar
Rp. 80.000,- - Rp. 150.000,- ( Adalina et.al, 2014; Adalina & Sawitri, 2013a). Petani
pengambil getah kopal sebanyak 24 orang masyarakat Desa Sukagalih menghasilkan
200 kg/bulan dengan harga Rp. 3000,-/kg maka tambahan penghasilan sekitar RP.
600.000,-. Petani karet yang terdapat di dalam kawasan seluas 75 ha di Desa
Pangradin mendapatkan getahnya sekitar 7 -15 kg/dua hari dengan harga Rp
5.000/kg sehingga tambahan pendapatan sekitar RP. 525.000,- -Rp. 1.500.000,-
/bulan (Adalina et al., 2014). Penghasilan petani yang menanam poh-pohan (Pilea
melastomaides) di bawah tegakan pinus oleh masyarakat Desa Taman Sari seluas <
0,25 ha -0,5 ha mendapatkan penghasilan tambahan sekitar Rp. 80.000,- - Rp.
915.000,-/orang/bulan (Adalina & Sawitri, 2013b).
Di Taman Nasional Akatajawe Lolobata, wilayah Hutan Bukit Durian, kerapatan
jumlah pohon damar mencapai ± 86 pohon/ha, sedangkan di Hutan Tayawi
mencapai ± 37 pohon/ha. Hasil perhitungan INP kelompok pohon berdiameter ≥10
cm dbh di Hutan Bukit Durian menunjukkan bahwa terdapat 9 jenis tumbuhan yang
memiliki INP lebih besar dari 10%. Heritiera avafuruensis Kostern (Sterculiaceae)
adalah jenis pohon dengan nilai INP paling tinggi sedangkan Dillenia spp merupakan
jenis yang sering ditemui pada setiap perjumpaan dengan A.dammara. Hasil
perhitungan INP pada habitat A.dammara di Hutan Tayawi menunjukkan terdapat 7
jenis pohon dominan, diantaranya adalah A.dammara, Heritiera avafuruensi Kostern
dan Canarium hirsutum. H.avafuruensis ditemukan disetiap plot yang juga terdapat
A.dammara, hal ini ditunjukkan oleh nilai frekuensi relatif yang sama 12,5%.
Kopal merupakan salah satu komoditas atau hasil akhir dari pengolahan getah
damar yang memiliki nilai jual yang tinggi. Metode penyadapan getah damar yang
diterapkan oleh masyarakat yang bermukim disekitar kawasan TNAL masih
cenderung tradisional. Penjualan getah damar 6,3-12,6 ton masyarakat memperoleh
keuntungan antara Rp. 18.900.000 - Rp. 37.800.000 per tahun, artinya bahwa
keuntungan tersebut memberikan kontribusi sebesar 57,80% - 86,22% terhadap
pendapatan total masyarakat. Hal ini menunjukkan kontribusi pendapatan dari getah
damar masyarakat tidak merata (Nurrani, 2013b).
Sebanyak 81 jenis tumbuhan hutan berkhasiat sebagai obat teridentifikasi pada
kawasan TNAL yang digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional.
Sebanyak 15 jenis ditemukan pada Desa Gosale, sebanyak 20 Jenis pada Desa
Akejawi dan sebanyak 46 jenis pada Dusun Tayawi. Berdasarkan habitus tumbuhan,
kategori pohon paling banyak dengan persentase sebanyak 42,68 %, herba 28,05 %,
liana 19,51 % serta perdu dan palma dengan masing-masing persentase 4,88%.
Sintesis 2010-2014 | 21
Bagian yang banyak dimanfaatkan adalah daun sebanyak 40,00%, batang 18,95%,
kulit 15,79%, akar 10,53 %, batang bagian dalam 5,26 %, seluruh bagian tumbuhan
4,21%, getah 3,16 % serta biji dan bunga dengan masing-masing persentase sebesar
1,05% (Nurrani, 2014).
Masyarakat sekitar TN Wasur memanen kemiri sebesar Rp. 500.000,-/tahun;
memanen tanaman obat berupa daun kayu putih (Asteromyrtus sympiocarpa) sebesar
Rp. 2000,-/kg dan sarang semut (Mymorcodia pendans) sebesar Rp. 75.000,-/kg;
tanaman hias berupa anggrek keriting (Dendrobium concolor), anggrek kelinci (D.
antenatum), anggrek johanes (D. johanes), anggrek nenas (D. smiliae), anggrek
bawang (D. canalikulatum), anggrek goldi, anggrek tanah anggrek macan dan
anggrek larat sebesar Rp. 5.000.000,-/tahun dari kayu bush (Melaleuca cajuputi),
rahai (Acacia mangium), gempol (Neuclaea orientalis) dan kayu besi lapang
(Eucalyptus sp.); nilai ekonomi kayu bakar sebesar Rp. RP. 1.036.000,-/bulan;
sedangkan pendapatan dari hasil perikanan seperti udang di Pantai Ndalir Rp.
979.000,-/bulan dan ikar air tawar Rp. 1306.900/bulan (Winara et al., 2010).
E. Nilai Ekonomi Sumberdaya Air
Kawasan Taman Nasional mampu menyediakan jasa-jasa lingkungan yang
sangat potensial bagi pengembangan usaha ekonomi masyarakat secara keseluruhan,
terutama dari bidang pengembangan pariwisata serta penyediaan sumber-sumber air.
Air yang berasal dari kawasan TN Bantimurung Bulusaraung ini mempunyai nilai
ekonomi yang sangat tinggi dan manfaatnya sangat besar bagi masyarakat yang
tinggal di dalam dan sekitar kawasan taman nasional sebagai sumber air minum dan
pengairan lahan pertanian, demikian juga di taman nasional lainnya seperti TN
Laiwanggi Wanggameti, TN Wasur, TN Alas Purwo dan TN Batang Gadis.
Air yang berasal dari TNLW digunakan oleh 16 desa dengan jumlah penduduk
18.438 jiwa untuk keperluan rumah tangga maupun pengairan sawah seluas 923 ha.
Nilai ekonomi sumberdaya air di TNLW ditunjukkan oleh kesediaan rata-rata
masyarakat membayar air sebesar Rp. 215,19/m3 lebih rendah dari harga air oleh
PDAM kota Waingapu sebesar Rp. 1000,-/m3, hal ini dikarenakan tingkat daya beli
masyarakat yang rendah dan pandangan masyarakat sekitar kawasan bahwa air
bukan merupakan barang komersial. Apabila rata-rata konsumsi air 36,5 m3/kk/tahun
maka nilai air untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp. 33.702.797,09/tahun.
Sedangkan nilai air untuk pengairan sawah didekati dengan produktivitas lahan
sebesar Rp. 12.376.000,-/ha, sehingga untuk pertanian bernilai sebesar Rp.
11.423.048.000,-/tahun. Oleh karena itu, nilai ekonomi air secara keseluruhan adalah
Rp. 11.423.048.000/tahun. Sedangkan di TN Alas Purwo, nilai ekonomi air bagi
keperluan rumah tangga maupun pertanian di tiga desa sampel sebesar Rp.
110.680.947,-/tahun (Mukhtar, 2010).
Jasa lingkungan air yang terdapat di TN Bantimurung Bulusaraung meliputi nilai
ekonomi air irigasi, nilai air mikrohidro diestamasi, nilai air untuk perikanasn dan
Sintesis 2010-2014 | 22
usaha cuci mobil yang melibatkan beberapa pihak yang sangat terkait dengan
pengelolaan dan pemanfaatan air di TN Babul ini yaitu Taman Nasional, Pemerintah
Daerah (Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Pertambangan, Dinas Pariwisata
dan PDAM), industri, usaha cuci mobil dan masyarakat (Lembaga Pengelola Air),
memiliki nilai ekonomi sangat besar berkisar antara Rp. 2,066 trilyun sampai Rp. 2,2
trilyun per tahun ( Hayati, 2011).
Nilai ekonomi air yang terdapat di TN Wasur dinilai dari potensi air permukaan
yang terdapat di Danau Rawa Biru seluas 12,570 ha dengan beberapa sungai antara
lain S. Maro, S. Yauram, S. Maar dan S. Torasi. Kapasitas air tawa D. Biru mencapai
50.000.000 m3, tetapi debit air ini berkurang karena pendangkalan dan meningkatnya
laju transpirasi dan evatranspirasi akibat semakin meluasnya invasi tanaman tebu
rawa (Hanguana malayana) dan rumput pisau (Carex sp.). Nilai manfaat air bersih
sebesar Rp. 11,5 milyard/tahun (Winara et al.,2010)
Nilai ekonomi air yang berasal dari Danau Siombun yang mempunyai luas
sekitar 4 ha dengan debit 100 liter/detik dan Anak Sungai Simandolang, Sungai
Batang Gadis di taman Nasional Batang Gadis, dimanfaatkan sebagai air bersih oleh
PDAM Tirta Kabupaten Madina. Pendugaan nilai ekonomi air yang didistribusikan
pada konsumen PDAM (air bak), analisis dilakukan berdasarkan rata-rata nilai
ekonomi air bersih pada WTP (ketersediaan membayar) karena nilai tersebut lebih
mencerminkan nilai sebenarnya dibandingkan nilai WTS (kesediaan menerima
kompensasi atau dibayar). Nilai ekonomi air rata-rata pada tingkat konsumen
sebesar RP. 1.107,33/m3, dikalikan dengan nilai produksi air sebesar 630.882
m3/tahun, maka diperoleh nilai air bersih yang dimanfaatkan PDAM sebesar Rp.
698.594.565,06/tahun (Kuswanda, 2011) . Tetapi berdasarkan nilai bahan baku yang
dimanfaatkan oleh PDAM dikurangi biaya distribusi, nilai air bersih saat ini masih
sekitar Rp.331,459.565,06/tahun. Nilai air ini masih lebih rendah bila dibandingkan
dengan yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk sector pertanian dan perikanan,
karena pelanggan PDAM di Kab. Madina masih terbatas sekitar 4,6%. Apabila
diasumsikan masyarakat di Kabupaten Madina untuk waktu yang akan datang
menggunakan air PDAM maka nilai air diprediksi sekitar Rp. 7.205.642.719/tahun
(Tabel 3.4)
Tabel 3.4. Hasil analisis ekonomi air oleh PDAM Tirta Kabupaten Madina
No Uraian Hasil Sumber data
1. Total produksi air (m3) PDAM Tahun 2009 630.882 LK (2009)
2. Total air terjual (m3/tahun) 630.685 LK (2009)
3. Kehilangan atau kebocoran air ((m3/tahun) 197 LK (2009)
4 Jumlah pelanggan (orang) 8.616 LK (2009)
5 Harga air baku (Rp/m3) berdasarkan análisis 1.107,33 Analisis data
nilai fungsi WTP pada tingkat konsumen primer (2011)
6 Nilai ekonomi air pada tingkat konsumen 698.594.565,06
(Rp./tahun)
Sintesis 2010-2014 | 23
No Uraian Hasil Sumber data
7 Biaya transmisi/distribusi air (Rp./tahun) 367.135.000,00 LK (2009)
8 Nilai ekonomi air baku PDAM (siap 331.459.565,06 Analisis data
didistribusikan) (Rp./tahun) primer (2011)
9 NPV 10% (selama 25 tahun, biaya tetap) 3.008.671.736,00 Analisis data
merujuk Kurniawan (2006) primer (2011)
10 NPV 7% (selama 25 tahun, biaya tetap) merujuk 3.862.691.612,00
Antoko (2011)
11 Tingkat pelayanan kebutuhan terhadap jumlah 4,6 LK (2009)
penduduk (%)
12 Asumsi : Penduduk terlayani 100% 7.205.642.719,00 Analisis data
primer (2011)
Nilai ekonomi air untuk keperluan rumah tangga dan keramba di Seksi Wilayah
Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Semitau, Taman Nasional Danau Sentarum
(TNDS), diperoleh dari persamaan Y = 63,512-0,005 X1 + 67,911 X3 + 2,296 X4
dengan faktor peubah yang berpengaruh adalah biaya pengadaan air (X1), jumlah
anggota keluarga (X3) dan umur kepala keluarga (X4), sedangkan faktor yang tidak
berpengaruh diantaranya pendapatan, pendidikan kepala keluarga dan jarak sumber
air, sehingga biaya pengadaan air yang kecil akan memperbesar konsumsi air karena
ketersedian air di Danau Sentarum yang berlimpah. Kesediaan membayar air rata-
rata sebesar Rp. 14.182.369,29 jiwa/tahun, sedangkan nilai yang dibayarkan sebesar
Rp. 1.749.389,82 jiwa/tahun sehingga nilai surplus konsumen sebesar Rp.
12.432.979,47. Dengan demikian, total nilai ekonomi air untuk kebutuhan rumah
tangga di TN Danau Sentarum sebesar Rp. 127.641.323.610,00 walaupun yang
dibayarkan oleh masyarakat yang berjumlah 948 jiwa hanya sekitar Rp.
15.744.508.380,00 sehingga nilai manfaat hidrologis yang ada belum optimal
(Anggraeni et al., 2013). Kondisi juga terjadi di beberapa lokasi taman nasional
lainnya seperti di TN Gunung Gede Pangrango dimana nilai ekonomi total air
sebesar Rp. 4.181.000.000,00/tahun dan nilai surplus penggunaan air oleh konsumen
sebesar Rp. 4.119.000.000,00 (Darusman, 1993). Nilai ekonomi total air untuk TN
Gunung Halimun Salak sebesar Rp. 5.223.870.380,00, sedangkan nilai surplus
konsumen sebesar Rp. 4.060.503.012,00 (Widada dan Darusman, 2004), dan nilai
ekonomi sumber aya air di Tn Ujung Kulon yang diwakili Gn Honje sebesar Rp.
813.935.214,29 (Balai Taman Nasional Ujung Kulon, 2012). Perbedaan
penghitungan nilai hidrologis tersebut disebabakan perbedaan kondisi lokasi,
cakupan wilayah, jumlah penduduk dan ketersediaan air.
Apabila konsumsi air secara keseluruhan TNDS sebesar 1190,31 m3 maka total
nilai kesediaan membayar adalah sebesar Rp. 15.044.768.326,15/periode dan nilai
yang dibayarkan hanya sebesar Rp. 3.013.547.952,35, sehingga nilai surplus sebesar
Rp. 12.031.220.373,80/ periode. Pemanfaatan air untuk ikan keramba oleh
masyarakat di sekitar TN Danau Sentarum memberikan konstribusi pendapatan
Sintesis 2010-2014 | 24
sekitar 39% dari pendapatan total masyarakat sebesar Rp. 70,939.513,33/tahun
(Anggraeni et al., 2013).
Jasa lingkungan air di kawasan TN Gunung Ceremai dari 119 mata air memiliki
debit sekitar 10-110 l/dt. PDAM Kuningan memanfaatkan mata air Paniis yang debit
airnya sekitar 860 l/dt untuk Kabupaten Cirebon atau 2.200.200 m3/bulan
memberikan kontribusi pendapatan sekitar Rp. 4.815.684.450,-/bulan (Widodo,
2012).
Nilai ekonomi air yang dimanfaatkan untuk rumah tangga di TN Rinjani adalah
sebesar Rp. 10.216,-/jiwa atau Rp. 173.933.532,- /tahun/KK sedangkan nilai
ekonomi air yang digunakan oleh Perusahaan Air Minum Daerah sekitar Rp.
1.640.299,630,- (Ramdhani, 2011).
Jasa air yang dihasilkan oleh TN Kutai dengan luas hutan 198.629 ha maka
simpanan air tanah sekitar 900 m3/ha/tahun atau sekitar 178.766.100 m3/tahun.
Apabila kawasan hutan taman nasional ini dikonversi maka ditinjau dari aspek jasa
air akan kehilangan Rp. 34.000.000.000,-/tahun (Jalil, 2013).
F. Nilai Ekonomi Wisata Alam
Pengelolaan dan daya tarik wisata telah diatur di dalam Pasal 4 Undang-undang
No 9 tahun 1990. Obyek dan daya tarik wisata terdiri dari (a) Obyek dan daya tarik
wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud keadaan alam, serta flora dan
fauna; (b) Obyek dan daya tarik wisata hasil karya manusia berwujud museum,
koleksi peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata
tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan.
Kepariwisataan yang termasuk ke dalam obyek dan daya tarik wisata alam adalah
taman nasional, taman wisata, taman hutan raya dan taman laut. Jasa lingkungan
wisata merupakan kesediaan pengunjung membayar yang dipengaruhi oleh
preferensi terhadap jasa lingkungan alami serta lokasi dan infrastruktur. Hasil studi
Siswantinah Wibowo (2003) dalam Hayati (2011) menyatakan bahwa nilai ekonomi
jasa lingkungan ekowisata di TN Gn Gede Pangrango adalah sebesar Rp. 131 milyar
pada tahun 2000/2001.
Nilai keberadaan TNLW yang memiliki nilai estetika, budaya dan kultural dapat
dimanfaatkan untuk tujuan wisata. Kesediaan masyarakat membayar manfaat wisata
tersebut rata-rata sebesar Rp. 4.821,-/KK/tahun dengan jumlah masyarakat sekitar
kawasan 4291 KK, maka nilai total ekonomi wisata tersebut sebesar Rp.
20.688.750,-/tahun.
Valuasi ekonomi jasa lingkungan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dilakukan dengan menggunakan analisis regresi untuk melihat hubungan antara
variabel kesediaan membayar (WTP) responden terhadap perubahan kualitas
lingkungan dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya seperti karakteristik
responden yaitu jenis kelamin, umur, pendidikan, penghasilan dan konservasi
Sintesis 2010-2014 | 25
(kesediaannya menyisihkan penghasilannya untuk peningkatan kualitas lingkungan
di TN Babul). Valuasi ekonomi jasa wisata di TN Babul ditinjau melalui persamaan
matematik sebagai berikut:
WTP= β0+ β1 Sx + β2 Umur + β3 Pdkkn + β4 Ph + β5 kons + β6 kp + β7 Ws + β8 lpkj + β9ra
+ei
Dimana :
WTP : kesediaan membeyar dari responden ke-I (dalam rupiah)
β0, β1…. Βx :koefisien regresi
Sx : jenis kelamin responden
Pddkn : tingkt pendidikan responden
Ph : tingkat penghasilan responden per tahun
Kons : Kesediaan responden menyisihkan pendapatan runah tangga untuk
kegiatan konservasi : persepsi atau penilaian responden terhadap
fasilitas atau sarana prasarana dan kualitas produk obyek wisata
Ws : Persepsi responden tentang TN Babel sebagai tempat wisata
Lpkj :Persepsi responden tentang TN Babel sebagai sumber mata
pencaharian
ra : Persepsi responden tentang Babel sebagai daerah resapan air
ei : Kesalahan pengganggu
Sintesis 2010-2014 | 26
estuaria, pengamatan burung dan mamalia, serta keunikan dan keindahan
pemandangan adalah sebesar Rp. 71.395.000,-/tahun. Pengunjung TN Ujung Kulon
bersedia membayar (Willingness to Pay) sebesar Rp. 15.666/individu dengan nilai
surplus konsumen sebesar Rp. 3.015,873/kunjungan sehingga nilai ekonomi wisata
alam sebesar 16.511.904.761,91 (Prayoga, 2013).
Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat mendapatkan jumlah
kunjungan yang relatif sedikit yaitu sekitar 302 individu/tahun dari Tahun 2010-
2012. Kesedian membayar pengunjung untuk menikmati keindahan danau sebesar
Rp. 486.970.684,2 sedangkan nilai yang dibayarkan adalah sebesar Rp.
332.904.984,3, sehingga surplus konsumen adalah sebesar Rp. 154.065.699 (Maria et
al., 2013). TN Karimunjawa memberikan nilai ekonomi wisata alam sebesar Rp.
2.900.000.000,- - Rp. 21.000.000.000,- dengan rata-rata pertahun sebesar Rp.
7.500.000.000,- (TN Karimunjawa, 2012)
G. Nilai Ekonomi Taman Nasional sebagai Penyangga Kehidupan
Nilai ekonomi kawasan TNBG sebagai sistem penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, iklim dan mencegah erosi sangat penting mengingat rata-rata
kawasan di daerah penyangga memiliki kelerengan tanah > 40% dan jenis tanah di
kawasan termasuk andosol, komplek podsolik merah kuning-latosol, komplek
podsolik coklat-podsolik-latosol, dan latasol yang peka terhadap erosi (Kuswanda
et.al., 2009). Nilai ekonomi erosi taman nasional ini dihitung berdasarkan rata-rata
nilai WTP dari semua responden pada setiap desa penelitian, selanjutnya dilakalikan
rata-rata jumlah penduduk per desa dan seluruh desa penyangga di TNBG sebanyak
71 desa, disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5.Hasil pendugaan nilai ekonomi pencegah erosi
Rerata WTP
Penduduk Luas Nilai erosi
Desa (Rp./tahun/
(jiwa) (ha) (Rp/tahun)
responden)
Longat 1.945.000 2179 3743.06 4.238.155.000
Lumban dolok 1.262.500 5154 765.36 6.506.925.000
Sopotinjak 2.392.500 204 1733.45 488.070.000
Humbang I 572.500 907 1398.04 519.257.500
Hutabariingin Julu 790.000 388 796.83 306.520.000
Pastap julu 1.285.000 525 251.67 674.625.000
Huta Padang 875.000 571 1000.68 499.625.000
Total 9.122.500 9.928 13.233.177.500
Rata-rata 1303.214 1.418 131.231.000.000
Total Desa Penyangga 71 desa (BKSDA Sumut II, 2006)
NPV 10% (selama 25 tahun, biaya tetap) 1.191.189.038.632
NPV 7% (selama 25 tahun, biaya tetap) 1.529.311.374.065
Sintesis 2010-2014 | 27
Masyarakat bersedia membayar nilai ekonomi erosi cukup tinggi, hal ini terkait
dengan kesadaran masyarakat akan bahaya erosi/longsor yang mereka alami akibat
kerusakan hutan. Nilai kesediaan membayar seluruh masyarakat di daerah penyangga
mengingat fungsi TNBG sebagai pencegah erosi/longsor mencapai Rp. 131,23
milyard per tahun, apabila fungsi tersebut masih berlangsung maka dalam 25 tahun
mendatang nilai tersebut mencapai Rp. 1,19 trilyun dengan asumsi suku bunga tetap
10% per tahun atau mencapai Rp. 1,53 trilyun dengan asumsi suku bunga 7%
(Antoko, 2011),
Nilai yang didapatkan dari fungsi Taman Nasional Leuser sebagai penyangga
kehidupan dengan perkiraan waktu selama 30 tahun kedepan dibedakan menurut
kondisi hutan yaitu US$ 9.100.000.000 apabila kawasan digunakan secara lestari, US
7.000.000.000 apabila hutan dalam keadaan terdeforestasi dan bila dikonversi akan
memiliki nilai yang tinggi yaitu US$9.500.000.000 (Balai Taman Nasional Leuser,
2010).
H. Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Karbon
a. Ekosistem Mangrove
Jasa lingkungan karbon diketahui dari hasil-hasil penelitian mitigasi karbon di
hutan alam dataran rendah, hutan mangrove dan hutan alam dataran tinggi. Di hutan
dataran rendah, mitigasi karbon diwakili oleh Cagar Biosfer P. Siberut (Bismark et
al., 2008), terdapat 10 jenis pohon mangrove yaitu: Rhizophora apiculata Blume, R.
mucronata Blume, Bruguiera cylindrica W.et.A., B. gymnorrhiza (L). Savigny,
Xylocarpus granatum Koen, Barringtonia racemosa Blume, Ceriops tagal C.B Rob.,
Aegyceras corniculatum Blanco, Luminitzera littorea Voigl. dan Avicennia alba L.
Jenis yang mendominasi tegakan hutan mangrove R. apiculata dengan kerapatan 80
pohon/ha, R. mucronata 28 pohon/ha dan B. gymnorrhiza sebesar 12 pohon/ha.
Biomasa tegakan di atas tanah dan kandungan karbon hutan mangrove yang terdiri
dari jenis R. apiculata, R. mucronata dan jenis B. gymnorrhiza cukup rendah yaitu
sebesar 49,13 ton/ha atau 24,56 ton C/ha, setara dengan 90,16 ton CO2/ha.
b. Ekosistem Gambut
Dalam penelitian di lahan gambut, data yang ditampilkan merupakan cuplikan
dari peneliti yang telah melakukannya. Berdasarkan atlas Gambut Indonesia
(Wahyunto et al., 2003, 2004, dan 2007), Papua mempunyai lahan gambut terluas,
namun karena pada umumnya gambut di Papua lebih tipis, maka cadangan (stock)
karbonnya hanya sekitar 3.623 Mega ton (Mt) atau 3,6 Giga ton (Gt). Gambut di
Sumatera mepunyai kedalaman antara 0,5 sampai lebih dari 12 m, dan cadangan
karbonnya mencapai 22,3 Gt dan di Kalimantan cadangan karbon lahan gambut
sekitar 11,3 Gt.
Menurut penelitian Rahayu el al., 2005., di Nunukan Kalimantan Timur, hutan
gambut mengandung sekitar 200 ton C/ha, sedangkan Page et al., 2002., penelitian
di hutan gambut bekas terbakar tahun 1997 di Kalimantan Timur, menyatakan
Sintesis 2010-2014 | 28
kandungan karbon sekitar 600 ton/ha, sedangkan biomassa hutan gambut hanya
mengandung sekitar 200 ton C/ha. Wasis dan Mulyana (2010), menyatakan bahwa
kandungan karbon pada lahan gambut eks-PLG sejuta hektar di Kalimantan Tengah
setelah 10 tahun terbakar yaitu sebesar 262,2 ton C/ha. Disamping itu, nilai ekonomi
karbon di TN Tesso Nillo dengan total biomassa hutan 2013 sebanyak 11.774.265,
67 ton dihitung melalui model pendugaan biomassa Y = 1048,145+4050,848 ln(X),
sehingga stock karbon dengan asumsi 50% dari biomassa adalah 5.887.132,835 ton
(Jati, 2014).
TN Berbak mengandung cadangan karbon sebesar 25.998.500 ton carbon dari
rata-rata 0-225 ton carbon/ha serta emisi karbon 95.988.500 ton CO2. Apabila
tingkat laju deforestasi TN Berbak -1,14% atau kehilangan hutan seluas 1.800 ha
maka emisi bersih karbon (Balai Taman Nasional Berbak, 2012). Menurut
ketinggian simpanan karbon berkisar antara 164-225 ton C/ha dan harga simpanan
karbonnya dapat mencapai Rp. 4.933.968.000.000,-, dimana potensi pohon setiap
tipe ekosistem antara 105,6-409,7 m³/ha.
c. Ekosistem Dataran Rendah
Penelitian di daerah penyangga TN Siberut dengan tipe hutan alam dataran
rendah Pulau Siberut, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa biomasa tegakan hutan
yang berdiameter lima cm ke atas di hutan primer, hutan bekas tebangan/LOA satu
tahun dan LOA lima tahun, masing-masing sebesar 131,92 ton/ha, 70,39 ton/ha, dan
97,55 ton/ha. Kandungan karbon dan serapan karbondioksida berturut-turut sebesar
65,96 ton C/ha dan 242,07 ton CO2/ha; 35,19 ton C/ha dan 129,15 ton CO2/ha; 48,77
ton C/ha dan 178,99 ton CO2/ha. Jenis pohon yang memiliki potensi biomasa,
kandungan karbon dan serapan karbondioksida tertinggi yaitu koka (Dipterocarpus
elongatus Korth.) sebesar 132,28 ton/ha, 66,14 ton C/ha dan 242,73 ton CO2/ha.
Potensi necromass pada tapak tegakan (hutan primer, LOA satu tahun dan LOA lima
tahun) berturut-turut sebesar 0,65 ton/ha, 0,78 ton/ha, dan 0,73 ton/ha (Bismark et
al., 2008).
d. Ekosistem Pegunungan
Potensi karbon yang terdapat di TN Kelimutu dibedakan menurut zonasi dimana
zona inti yang didominasi oleh tumbuhan Vaccinium varingiefolium dan
Rhododendron renchianum memilki jumlah karbon sebesar 69,29 ton/ha, sedang
zona rehabilitasi yang ditanami jenis tumbuhan Eucalyptus urophylum memilki
kandungan karbon sebesar 107,04 ton/ ha (Fauzi, 2012).
Jasa karbon yang dihasilkan TN Kutai berdasarkan luas tutupan hutan primer
sejumlah 8860 ha dan hutan sekunder seluas 137.802 ha dimana nilai serapan
karbon hutan primer sekitar 263 ton/ha dan hutan sekunder 95 ton/ha, sehingga nilai
karbon yang dihasilkan 15.421.370 ton. Apabila asumsi harga karbon US$ 5 maka
nilai karbon keseluruhan sebesar US$77.106.850 atau Rp. 639.961.650.000,-
(US$=Rp.9.000,-). (Jalil, 2013).
Sintesis 2010-2014 | 29
IV. ZONASI TAMAN NASIONAL
Sintesis 2010-2014 | 30
menyatakan bahwa satu indikator tunggal saja tidak cukup untuk mengukur suatu
ekosistem atau kawasan, namun diperlukan satu set indikator.
Keberadaan spesies tertentu dapat menjadi parameter penting untuk
menentukan indikator suatu zonasi. Spesies-spesies tersebut ada yang tergolong
spesies payung (umbrella species), flagship species, spesies endemik, spesies langka,
dan spesies dilindungi. Sebagaimana dinyatakan Lambeck (1997) dan Noss (1999)
dalam Carignan dan Villard (2002), bahwa pada level spesies ada beberapa indikator
ekologis yang dapat digunakan, diantaranya adalah keystone species, area-limited
umbrella species, dispersal-limited species, resource-limited species, process-limited
species, dan flagship species. Untuk TNBG, beberapa diantaranya adalah harimau
sumatera (P. tigris) dan macan dahan (N. nebulosa) sebagai spesies payung
(umbrella species); kucing emas (C. temmincki) sebagai spesies langka; orang utan
(P. abelli Lesson) sebagai flagship spesies dengan status konservasi kritis terancam
punah; trenggiling (M. javanica), siamang (S. Syndactylus Raffles), kelompok elang,
kelompok rangkong, damar (H. beccariana), meranti (Hopea spp.), dan S. acuminata
sebagai spesies dengan beberapa status konservasi dan dilindungi; serta A. argus
sebagai spesies endemik.
Keberadaan spesies pada suatu zonasi harus ditindaklanjuti melalui
pengelolaan kawasan yang sesuai dengan karakteristik zonasi. Sebagai contoh adalah
tingginya potensi satwa pada kawasan terbuka bekas tebangan zona rimba. Kondisi
ini menunjukkan bahwa kawasan tersebut merupakan bagian dari habitat dan ruang
jelajah satwa-satwa tersebut. Dengan demikian, dalam pengelolaan selanjutnya pada
kawasan hutan bekas tebangan perlu dilakukan kegiatan rehabilitasi, pemulihan, dan
pengayaan habitat. Areal ini dapat ditunjuk sebagai zona rehabilitasi untuk
selanjutnya ditetapkan kembali sebagai zona rimba.
Pada zona pemanfaatan, selain adanya potensi alam dan wisata alam yang
tinggi, juga adanya tempat minum beberapa jenis mamalia dan habitat beberapa jenis
burung srigunting (Dicrurus spp.) merupakan obyek penelitian dan pendidikan yang
cukup penting. Selain itu, dengan adanya keberadaan lintasan rusa (C. unicolor) dan
macan dahan (N. nebulosa) maka diperlukan identifikasi ruang jelajah kedua spesies
tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih dengan kawasan hutan yang sering
dikunjungi manusia. Hal ini untuk mengurangi dampak akibat tingginya intensitas
kontak satwa dengan manusia. Indikator ekologis menunjukkan bahwa potensi
ekosistem zona pemanfaatan masih cukup baik. Oleh sebab itu perlu disusun konsep
pengembangan wisata alam yang mendukung kelestarian obyek wisata alam dan
potensi biotik yang terdapat di dalamnya. Beberapa kawasan yang sangat potensial
untuk pengembangan wisata alam tersebut adalah Danau Saba Begu dan Puncak
Sorek Merapi di TN Batang Gadis (Kuswanda et al., 2009).
Sintesis 2010-2014 | 31
1. Zona Inti
Di TN Bukit Tigapuluh (TNBT) berdasarkan kriteria PP No 68 Tahun 1998
maka disusun indikator untuk masing-masing kriteria zona inti sebagaimana
disajikan dalam Tabel 4.1 (Kwatrina dan Mukhtar, 2006).
Tabel 4.1. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Inti TNBT
Kriteria menurut PP No. 68 Usulan Indikator Hasil pada Lokasi
Th 1998 Pengamatan
(1)Mempunyai (1) Keanekaragaman jenis - Tinggi (H’tumbuhan =
keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa tinggi 3,25-3,71)
tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya
(2) Mmewakili formasi biota (2) Tipe ekosistem khas - Bagian dari hutan hujan
tertentu dan atau unit-unit tropika dataran rendah
penyusunnya
(3) Mempunyai kondisi alam, (3) Tipe vegetasi hutan primer - Hutan primer & hutan
baik biota maupun fisiknya (4) Pemanfaatan sumberdaya alam sekunder
yang masih asli dan atau tidak ada - Beberapa kawasan
belum diganggu manusia (5) Dibatasi oleh zona rimba berbatasan dengan zona
pemanfaatan
(4) Mempunyai luas yang (6) Luas optimal - Bentuk cenderung tidak
cukup dan bentuk tertentu (7) Bentuk cenderung melingkar radial/melingkar
agar menunjang (8) Kelerengan ≥ 25% - Kelerengan ≥ 25%
pengelolaan yang efektif
dan menjamin
berlangsungnya proses
ekologis secara alami
(5) Mempunyai ciri khas (9) Potensi tumbuhan tinggi - Beruang madu, harimau
potensinya dan dapat (10) Potensi satwa tinggi sumatera
merupakan contoh yang (11) Potensi fisik wilayah unik - Bagian dari kelompok
keberadaannya memerlukan perbukitan
upaya konservasi
(6) Mempunyai komunitas (12) Spesies penting ada - Beruang madu, harimau
tumbuhan dan atau satwa (13) Tingkat kelangkaan nyaris sumatra
beserta ekosistemnya yang punah, genting (endangered), - Terancam punah
langka atau yang dan atau jarang, terbatas (indeterminate)
keberadaannya terancam (restricted), dan atau
punah penurunan pesat, rawan
(Depleted/vulnereble), dan
atau terancam punah, terkikis
(indeterminate)
Keterangan (Remark): = Usulan (proposal)
Mengacu pada kriteria zona inti dalam PP. No. 68 Tahun 1998, maka potensi
dan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan fisik pada zona inti di TNBT ternyata
Sintesis 2010-2014 | 32
masih tinggi yang terlihat dari salah satu indikatornya yaitu tingginya indeks
keanekaragaman jenis tumbuhan yang berkisar antara 3,25 – 3,71, terdapat berbagai
jenis satwa, dan bentuk fisik wilayah yang unik berupa kelompok perbukitan.
Sebagian besar kawasan memiliki topografi yang curam dengan kelerengan ≥25%.
Kondisi tersebut cukup rawan secara ekologis sehingga perlu ditetapkan sebagai
salah satu indikator zona inti. Selain itu bentang alam TNBT juga khas yang
merupakan hutan hujan dataran rendah, sehingga memerlukan upaya konservasi.
Salah satu kriteria zona inti yang penting adalah keaslian kondisi alamnya.
Indikator yang semestinya mewakili untuk kriteria ini adalah hutan primer, namun
demikian telah terjadi perubahan penutupan lahan yang cukup signifikan dalam
kurun waktu tiga tahun (2000 sampai dengan 2003) di TNBT, dimana sebagian
hutan primer telah berubah menjadi hutan sekunder. Dengan kondisi tersebut,
penetapan zona inti berdasarkan indikator hutan primer saja tidak akan mewakili.
Untuk itu perlu penambahan indikator hutan sekunder selain hutan primer sehingga
zona inti yang ditetapkan memiliki luasan yang cukup bagi kelangsungan biota
penting di dalamnya.
Kriteria selanjutnya menyatakan bahwa zona inti mempunyai komunitas
tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang
keberadaannya terancam punah. Berdasarkan kriteria tersebut, indikator zona inti
yang dapat mengindikasikan kondisi tersebut adalah terdapatnya jenis langka dan
tingkat kelangkaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TNBT merupakan
bagian dari habitat beberapa jenis satwa penting seperti harimau sumatera dan
beruang madu. Status kelangkaan satwa ini bahkan ada pada tingkat terancam punah
atau indeterminate. Mengingat tingginya kepentingan terhadap perlindungan
beberapa jenis satwa penting seperti harimau sumatera, beruang madu dan tapir maka
dalam pengelolaannya perlu dievaluasi batas-batas zona inti saat ini, terutama pada
kawasan yang menjadi ruang jelajah (home range) satwa, sehingga dapat
memberikan ruang yang cukup bagi satwa untuk hidup dan berkembangbiak.
Dalam rencana penataan zona seperti yang terdapat dalam Zonasi Taman
Nasional Batang Gadis (Balai KSDA II Sumut, 2006) disebutkan beberapa alasan
ekologis yang mendasari penunjukan kawasan zona inti. Berdasarkan alasan tersebut,
maka ditunjuk zona inti yang berupa dua fragmen besar yaitu sebagian di bagian
utara (± 20.250 Ha) dan bagian lainnya di bagian selatan dengan luas ± 13.233 Ha,
sehingga total luas zona inti ± 33.483 Ha.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dan Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka
alasan-alasan yang terkait dengan ekosistem, satwa dan tumbuhan, yang dijadikan
dasar dalam penunjukan zona inti TNBG sudah memenuhi kriteria zona inti. Namun
demikian, kriteria tersebut belum dijabarkan dalam indikator yang mencirikan
Sintesis 2010-2014 | 33
kondisi zona inti TNBG. Mengacu pada hasil penelitian Kwatrina & Mukhtar (2006)
mengenai indikator zonasi TNBT , maka indikator ekologis zona inti yang digunakan
adalah sebagai berikut: a) keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa tinggi, b)
tipe ekosistem khas, c) tipe vegetasi hutan primer, d) potensi tumbuhan tinggi, e)
potensi satwa tinggi, f) spesies penting ada, dan g) tingkat kelangkaan nyaris punah,
genting (endangered), dan atau jarang, terbatas (restricted), dan atau penurunan
pesat, rawan (depleted/vulnereble), dan atau terancam punah, terkikis
(indeterminate).
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka parameter ekosistem, satwa
dan tumbuhan sebagai dasar penetapan indikator ekologis zona inti TNBG disajikan
pada di bagian Utara dan bagian Selatan Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 (Kuswanda, 2009).
Tabel 4.2. Indikator ekologis pada zona inti TNBG bagian Utara
Indikator ekologis zona inti ** Indikator ekologis zona inti TNBG
(1) Keanekaragaman jenis Keanekaragaman jenis tumbuhan, tinggi dengan nilai H’
tumbuhan dan/atau satwa tinggi pada tingkat pohon sebesar 3,51, pada tingkat belta
sebesar 3,48 dan pada tingkat semai dan tumbuhan
bawah sebesar 3,41.
Keanekaragaman jenis satwa beragam dengan nilai H’
tertinggi pada klas Aves sebesar 3,94. Untuk klas
Mamalia darat sebesar 2,53, Primata sebesar 1,99 dan
Reptil sebesar 1,03
(2) Tipe ekosistem khas Merupakan perwakilan hutan dataran rendah hingga
dataran tinggi
Tipe vegetasi Formasi Bukit Barisan di atas 1000 m dpl.
Sub tipe vegetasi Formasi Air Bangis - Singkil (300 -
1000 m dpl) dan sub tipe vegetasi Formasi Hutan
Montana (1000 – 1800 m dpl)
(3) Tipe vegetasi hutan primer Tipe vegetasi hutan primer dengan kerapatan tumbuhan
sebesar 662,5 ind./ha.
(4) Potensi tumbuhan tinggi Terdapat berbagai jenis hoting, medang, damar dan
meranti.
Terdapat jenis-jenis endemik yaitu Hopea beccariana
Burck dan Shorea acuminata Dyer yang status
keterancamannya berdasarkan IUCN adalah “kritis untuk
punah”.
(5) Potensi satwa tinggi Terdapat jenis-jenis satwa dilindungi yaitu ungko (H.
agilis F. Cuvier), jelarang (Ratufa affinis Raffles),
binturong (Arctictis binturong Raffles), trengggiling (M.
javanica Desmarest), rangkong (Buceros spp.) dan
berbagai jenis dari Klas Aves.
Terdapat indikasi adanya orang utan (Pongo abelii
Lesson) dan ajak (Cuon alpinus Pallas) .
Sintesis 2010-2014 | 34
Indikator ekologis zona inti ** Indikator ekologis zona inti TNBG
(6) Spesies penting ada Terdapat beruang madu (Helarctos malayanus Raffles)
dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae
(7) Tingkat kelangkaan (Scarcity Pocock) dengan status kelangkaan “terancam punah”.
level) nyaris punah, genting Terdapat kambing hutan (Naemorhedus sumatraensis
(endangered), dan atau jarang, Bechstein) dan kucing mas (C.temminckii) yang
terbatas (restricted), dan atau tergolong satwa langka
penurunan pesat, rawan Terdapat orang utan (P. abelii) dengan status “kritis”
(Depleted/vulnereble), dan atau Terdapat damar (H.beccariana) dan meranti (Hopea
terancam punah, terkikis spp.) dengan status “kritis untuk punah”
(indeterminate) Terdapat sikatan bubik (Muscicapa dauurica Pallas)
dengan status “data deficient/ kekurangan data”
Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006
Kondisi zona inti yang tergambar dari indikator tumbuhan dan satwa dalam
Tabel 2, menunjukkan bahwa kondisi vegetasi dan satwa di zona inti bagian Utara
masih sangat baik. Hasil ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh dan
Conservation International - Indonesia (2004) dan Balai KSDA II Sumatera Utara
(2005) yang mendapatkan potensi tumbuhan dan satwa yang tinggi di wilayah
TNBG. Pada zona inti juga dijumpai beberapa jenis satwa yang keberadaannya
masih berupa dugaan, yaitu adanya keberadaan kambing hutan (N. sumatraensis
Bechstein), kucing mas (C. Temminckii Vigors & Horsfield), dan ajak (C. alpinus)
yang terindikasi berdasarkan jejak dan suara. Selain itu juga terdapat indikasi
keberadaan orangutan pada zona inti yang diindikasikan dengan ditemukannya
sarang orang utan, serta dijumpainya berbagai jenis satwa dilindungi dan satwa
terancam punah seperti harimau sumatra (P. tigris Pocock) dan beruang madu (H.
malayanus Raffles).
Kondisi ekosistem dan vegetasi pada zona inti juga menunjukkan potensi yang
tinggi dan perlu dilindungi. Zona inti bagian Utara ini memiliki perwakilan hutan
dataran rendah sampai hutan dataran tinggi dengan dua sub tipe vegetasi, yang
mewakili ketinggi 300-1800 m dpl. Penutupan lahan pada zona inti hampir semuanya
terdiri dari hutan primer dalam kondisi yang masih sangat baik. Hal ini terlihat dari
tingginya indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pada ketiga tingkat vegetasi yang
diamati yaitu 3,41-3,51, dan kerapatan pohon sebesar 662,5 ind./ha. Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan habitat bagi burung migran seperti
cekakak cina (Halcyon pileata Linnaeus) dan berbagai jenis elang yang juga
ditemukan pada zona rimba. Selain itu ditemukan empat jenis dari kelompok
rangkong (Famili Bucerotidae), dua jenis pelatuk (Picidae) dan satu jenis luntur putri
(Trogonidae) yang keberadaannya sangat tergantung pada keberadaan hutan,
terutama hutan primer.
Sintesis 2010-2014 | 35
Tabel 4.3. Indikator ekologis pada zona inti TNBG bagian Selatan
Indikator ekologis zona inti ** Indikator ekologis zona inti TNBG
(1) Keanekaragaman jenis tumbuhan Keanekaragaman jenis tumbuhan, tinggi dengan nilai
dan atau satwa tinggi H’ pada tingkat pohon sebesar 3,15, pada tingkat belta
sebesar 3,25 dan pada tingkat semai dan tumbuhan
bawah sebesar 3,37.
Keanekaragaman jenis satwa beragam dengan nilai
H’ tertinggi pada klas Aves sebesar 3,10; kemudian
Mamalia darat sebesar 1,68; dan primata sebesar 1,06.
(2) Tipe ekosistem khas Merupakan perwakilan hutan dataran rendah hingga
dataran tinggi
Tipe vegetasi Formasi Bukit Barisan di atas 1000 m
dpl.
Sub tipe vegetasi Formasi Air Bangis - Singkil (300 -
1000 m dpl) dan sub tipe vegetasi Formasi Hutan
Montana (1000 – 1800 m dpl)
(3) Tipe vegetasi hutan primer Tipe vegetasi hutan primer dengan kerapatan
tumbuhan pada tingkat pohon sebesar 445 ind./ha.,
pada tingkat belta sebesar 2.590 ind./ha dan pada
tingkat semai dan tumbuhan bawah sebesar 68.750
ind./ha.
(4) Potensi tumbuhan tinggi Terdapat berbagai jenis hoteng, medang, damar dan
meranti.
Terdapat jenis-jenis endemik yaitu Hopea beccariana
Burck dan Shorea acuminata Dyer yang status
keterancamannya berdasarkan IUCN adalah “kritis
untuk punah”.
(5) Potensi satwa tinggi Terdapat jenis-jenis satwa dilindungi yaitu ungko
(H.agilis), siamang (S.syndactylus), beruang
(H.malayanus), trengggiling (M.javanica), rangkong
(Buceros spp.) dan berbagai jenis dari Klas Aves.
(6) Spesies penting ada Terdapat beruang madu (H.malayanus) dengan status
kelangkaan “terancam punah”.
(7) Tingkat kelangkaan (Scarcity Terdapat damar dan meranti dengan status “kritis
level) nyaris punah, genting untuk punah”
(endangered), dan atau jarang, Terdapat jenis burung endemik sumatera, seperti kuau
terbatas (restricted), dan atau (Argusianus argus Linnaeus) dan beberapa jenis
penurunan pesat, rawan burung yang dilindungi.
(Depleted/vulnereble), dan atau
terancam punah, terkikis
(indeterminate)
Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006
Sintesis 2010-2014 | 36
Zona inti bagian Selatan ini secara umum termasuk hutan dataran tinggi
dengan ketinggian rata-rata diatas 1.200 m dpl. Penutupan lahan pada zona inti
hampir semuanya terdiri dari hutan primer dengan kondisi yang masih sangat baik.
Hal ini dapat dilihat dari tingginya indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pada
ketiga tingkat vegetasi yang diamati di atas 3,0. Kondisi hutan yang demikian
merupakan habitat yang baik bagi beberapa jenis satwa. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan habitat bagi burung migran terutama
berbagai jenis elang. Dilihat dari parameter satwa, maka zona inti wilayah Selatan
memiliki potensi biotik yang sangat tinggi.
Dalam hal penyusunan kriteria dan indicator zonasi taman nasional
Bantimurung Bulusaraung, maka terdapat berbagai faktor penting yang menjadi
dasar pertimbangan bagi penentuan kriteria dan indicator tersebut seperti:
- Populasi dan komunitas seperti keanekaragaman hayati flora dan fauna,
keberadaan jenis langka, endemik dan dilindungi, estimasi jumlah individu dari
jenis endemik, langka dan dilindungi agar populasi dapat bertahan, luas area yang
dibutuhkan oleh jenis endemic, langka dan dilindungi, trend populasi jenis langka,
endemic dan dilindungi, tingkat ancaman dari keberadaan jenis eksotik,
keberadaan hama dan penyakit,
- Degradasi lingkungan seperti kondisi tanah, kebutuhan reklamasi dan rehabilitasi,
tingkat gangguan berupa polusi (air, suara, udara),
- Keterhubungan atau kekontinyuan habitat, tingkat fragmentasi habitat, keberadaan
koridor terutama pada areal diluar taman nasional, ketersediaan habitat yang
sesuai untuk berkembangbiak
- luasan areal yang mampu meminimalisir dampak keberadaan manusia maupun
meminimalisir dampak gangguan satwa liar, serta luasan yang dibutuhkan untuk
dapat menjamin keberlangsungan proses alamiah seperti proses hidrologis dapat
berlangsung dengan baik
- Keberadaan areal cadangan yang mampu menjamin keberlangsungan proses
perkembangbiakan agar dapat berjalan dengan baik, keberadaan habitat bagi
species migran,
- Analisis tingkat ancaman manusia di masa yang akan datang, seperti dokumentasi
ancaman, tingkat dukungan masyarakat terhadap taman nasional serta tingkat
pertumbuhan penduduk di sekitar kawasan taman nasional
Berdasarkan pertimbangan aspek biofisik dan interaksi masyarakat yang
dijumpai dilapangan,maka telah disusun set minimum kriteria dan indikator zona inti
yang sesuai dengan kondisi TN Batimurung Bulusaraung (Indra et al., 2013)(Tabel
4.4).
Sintesis 2010-2014 | 37
Tabel 4.4. Kriteria dan indikator zona inti TN Batimurung Bulusaraung
Kriteria Indikator Pengukur
1. Mempunyai a. Kekayaan jenis flora Daftar jenis berdasarkan
keanekaragaman jenis taksonomi
tumbuhan dan satwa b. Kekayaan jenis fauna Daftar jenis berdasarkan
taksonomi
c. Kekayaan jenis yang Daftar jenis flora dan fauna lokal
bergantung pada hutan yang bergantung pada hutan
2. Merupakan perwakilan a. Adanya zona inti pada setiap Perwakilan tipe ekosistem karst,
tipe ekosistem alami dan tipe ekosistem dan atau hutan pegunungan
formasi biota tertentu bawah, dan atau hutan hujan non
yang menjadi ciri khas dipterocarpaceae pamah
ekosistem a.1. Karst
a.1.1. Keberadaan Formasi Sebaran formasi vegetasi karst
vegetasi karst yang
belum terganggu
a.1..2. Keberadaan fauna khas Sebaran fauna khas karst
ekosistem karst Daftar jenis fauna khas karst
a.2. Hutan peg. Bawah
a.2.1. Keberadaan formasi Sebaran formasi hutan lumut
hutan lumut
a.3. Hutan hujan non
dipterocarpaceae pamah
a.3.1. Keberadaan jenis Ficus Sebaran jenis Ficus spp
spp
3. Mempunyai kondisi a.Merupakan hutan primer Vegetasi asli, bukan jenis eksotik
alam yang masih asli atau yang ditanam oleh
masyarakat
b.Bebas dari gangguan Masyarakat mengetahui letak
masyarakat lokasi zona inti
Masyarakat memahami fungsi
zona inti
Masyarakat memahami
peruntukan zona inti
Tidak ada perubahan akibat
aktivitas manusia
c.Tidak berbatasan langsung Terdapat zona rimba yang mampu
dengan zona pemanfaatan dan menyangga zona inti
zona lainnya (pmf tradisional,
khusus, budaya/religi
4. Mempunyai luasan yang a. Mampu mendukung daerah Luasan daerah jelajah satwa
cukup untuk menjamin jelajah satwa penting
berlangsungnya proses b. Tidak ada fragmentasi habitat Tutupan vegetasi yang kontinyu
ekologis secara alami; Tidak terjadi perubahan kondisi
fisik habitat
Sintesis 2010-2014 | 38
Kriteria Indikator Pengukur
Efek tepi minimal
c. Terpeliharanya kelangsungan Kualitas dan kuantitas air
fungsi resapan air
d. Produktivitas ekosistem tetap Stabilitas iklim mikro
terjaga
5. Mempunyai ciri khas a. Bentang alam karst Kenampakan eksokarst dan
potensi yang memerlukan endokarst
upaya konservasi b. Fungsi reservoir air pada Adanya aliran sungai bawah tanah
kawasan karst tetap terjaga dan atau danau bawah tanah
c. Proses karstifikasi tetap Memiliki karst yang masih
berlangsung berkembang dengan baik
Proses perkembangan ornamen
gua tetap berlangsung
6. Mempunyai komunitas a. Kekayaan jenis flora dan Daftar jenis berdasarkan status
tumbuhan dan atau satwa fauna langka konservasi (IUCN)
liar yang langka b. Kekayaan jenis flora dan Daftar jenis berdasarkan status
fauna dilindungi perlindungan (UU Indonesia,
CITES)
7. Merupakan habitat satwa 1. Keberadaan satwa atau Daftar jenis satwa atau tumbuhan
dan atau tumbuhan tertentu tumbuhan yang prioritas prioritas
yang prioritas (focal (focal species)
species) dan/atau endemik 2. Keberadaan satwa atau Daftar jenis satwa atau tumbuhan
tumbuhan endemik endemik
Set minimum kriteria dan indikator zona inti TN Batimurung Bulusaraung
berdasarkan hasil penilaian di lapangan menyatakan bahwa zona inti TN
Bantimurung Bulusaraung memiliki keanekaragaman tipe ekosistem antara lain
ekosistem karst, hutan dataran rendah no dipterokarpa pamah serta hutan
pegunungan bawah, dengan kondisi kawasan hutan primer yang masih asli, memiliki
keanekaragaman jenis flora 157 dengan kisaran jenis tumbuhan cukup luas dan
dijumpai di berbagai ekosistem diantaranya kalo-kaloro, bayur, baru’, bera-berasa,
danggang-danggang, dao, kaleleng didi, angsana, karangko, kayu ara, lambu-lambu,
langoting, mawai, polo salak-salak dan tera-terasa, dimana indeks keanekaragaman
jenis pohon (H’ = 2,848 -3,375), tiang (2,806-2,900), pancang (1,927-3,556) dan
semai (3,004-3,580). Sedangkan keanekaragaman hayati yang dijumpai diantaranya
mamalia 5 jenis, burung 83 jenis dan kupu-kupu 96 jenis dengan indeks
keanekaragaman jenis (H’) mamalia (0,94-1,36), burung (3,32-3,93), dan kupu-kupu
(1,53-4,38).
2. Zona Rimba
Berdasarkan kriteria zona rimba dalam PP. No. 68 Tahun 1998, maka disusun
indikator untuk masing-masing kriteria zona rimba sebagaimana disajikan dalam
Tabel 4.5 (Kwatrina dan Mukhtar, 2006).
Sintesis 2010-2014 | 39
Tabel 4.5. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Rimba TN Bukit Tigapuluh
(3) Kawasan yang merupakan (5) Bagian habitat dan atau ruang - Habitat harimau
tempat dan kehidupan bagi jenis jelajah (home range) satwa sumatera dan tapir
satwa migran tertentu langka
Keterangan: = Usulan
Zona rimba berfungsi sebagai penyangga zona inti. Dengan demikian indikator
yang mencirikan zona rimba semestinya merupakan suatu kawasan yang memiliki
potensi alam masih relatif baik, seperti penutupan vegetasi yang masih rapat,
keanakaragaman tumbuhan yang masih tinggi dan terdapatnya sumber-sumber air.
Indikator–indikator tersebut penting karena zona rimba juga merupakan bagian dari
habitat satwa migran tertentu sehingga memerlukan kawasan yang memiliki sumber-
sumber pakan, tempat berlindung dan berkembang biak. Sebagian kawasan zona
rimba merupakan hutan sekunder dengan kondisi lahan landai, agak curam dan
curam, serta menjadi bagian dari Daerah Aliran Sungai. Kondisi ini mendukung bagi
kehidupan satwa-satwa penting yang perlu dikonservasi seperti harimau sumatera
dan tapir. Sebagai kawasan penyangga dan peralihan dari zona inti ke zona
pemanfaatan maka zona rimba semestinya memiliki indikator potensi wisata alam
yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai kawasan wisata alam terbatas.
Dalam rencana penataan zonasi TNBG (BKSDA II Sumatera Utara, 2006)
disebutkan bahwa zona rimba TNBG yang ditunjuk berbatasan langsung dengan
batas fungsi luar kawasan TNBG dengan luas total ± 65.947 Ha. Mengacu pada
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-
II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka alasan-alasan yang terkait
dengan ekosistem, satwa dan tumbuhan, yang dijadikan dasar dalam penunjukan
zona rimba TNBG, sudah memenuhi kriteria zona rimba sebagaimana yang
dimaksud oleh peraturan tersebut. Mengacu pada Kwatrina dan Mukhtar (2006),
maka indikator-indikator yang mencirikan kondisi zona rimba TNBG adalah a)
Sintesis 2010-2014 | 40
kondisi vegetasi rapat (baik), b) keanekaragaman jenis tumbuhan tinggi, c) bagian
habitat dan atau ruang jelajah satwa langka.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka indikator ekologis zona
rimba TNBG bagian Utara dan bagian Selatan disajikan pada Tabel 4.6 dan 4.7.
Tabel 4.6. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Utara
Indikator ekologis zona
Indikator ekologis zona rimba TNBG
rimba **
(1) Kondisi vegetasi masih Hutan alam tropika dengan perwakilan beberapa tipe
baik ekosistem.
Penutupan lahan berupa hutan primer, sekunder dan areal
bekas tebangan.
Kerapatan pohon 550 ind/ha di hutan primer, 430 ind/ha di
hutan sekunder dan 235 ind/ha di lahan bekas tebangan
(2)Potensi dan Potensi dan keanekaragaman jenis satwa tinggi dengan H’
keanekaragaman jenis tertinggi pada klas Aves, yaitu 2,93 pada hutan areal bekas
satwa dan tumbuhan tebangan, 3,37 pada hutan sekunder dan 3,19 pada hutan
sedang – tinggi primer.
Potensi dan keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat pohon
sedang - tinggi dengan H’ yaitu 3,4 pada hutan primer, 3,13
pada hutan sekunder dan 2,77 pada areal bekas tebangan.
Jenis-jenis tumbuhan utama pada tingkat pohon dengan
INP tertinggi adalah Shorea gibbosa Brandis dan H.
beccariana yang status keterancaman berdasarkan daftar
merah IUCN adalah “kritis untuk punah”.
(3) Bagian habitat dan/ atau Terdapat 4 jenis satwa langka yaitu beruang (H.
ruang jelajah (home malayanus), harimau (P.tigris), macan (Neofelis nebulosa
range) satwa Griffith), kucing emas (C.temminckii), dan rangkong
langka/dilindungi (Buceros spp.)yang termasuk satwa dilindungi.
Terdapat 29 jenis satwa dilindungi yang terdiri dari 17 jenis
Aves, 3 jenis Primata dan 9 jenis Mamalia darat
Daerah persinggahan burung migran, seperti jenis-jenis
elang (Accipitridae) dan cekakak cina (Halcyon pileata
Boddaert).
Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006
Secara umum kondisi vegetasi pada zona rimba di bagian Utara masih utuh dan
alami. Parameter satwa menunjukkan bahwa zona rimba pada bagian Utara memiliki
potensi yang tinggi antara lain dengan dijumpainya lima jenis satwa langka dan dua
puluh sembilan jenis satwa dilindungi yang tersebar di hutan primer, hutan sekunder
bahkan pada areal bekas tebangan.
Sintesis 2010-2014 | 41
Tabel 4.7. Indikator ekologis pada zona rimba TN Batang Gadis bagian Selatan
Indikator ekologis
Indikator ekologis zona rimba TNBG
zona rimba **
(1) Kondisi vegetasi Hutan alam tropika dengan perwakilan beberapa tipe
masih baik ekosistem.
Penutupan lahan berupa hutan primer dan sedikit
sekunder.
Kerapatan tumbuhan pada tingkat pohon 497,5 ind/ha,
tingkat belta 2330 ind/ha, dan semai dam tumbuhan
bawah 84.000 ind/ha.
(2) Potensi dan Potensi dan keanekaragaman jenis satwa tinggi dengan H’
keanekaragaman tertinggi pada klas Aves, yaitu 3,51, klas primata 1,45;
jenis satwa dan dan klas mamalia darat 2,24.
tumbuhan sedang – Potensi dan keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat
tinggi pohon tinggi dengan H’ yaitu pada tingkat pohon sebesar
3,29, pada tingkat belta sebesar 3,15 dan pada tingkat
semai dan tumbuhan bawah sebesar 3,46.
Jenis-jenis tumbuhan utama pada tingkat pohon dengan
INP tertinggi adalah Cinnamomum parthenoxylon Meissn.
dan Dracontomelon dao Err.&Rolfe
(3) Bagian habitat dan Terdapat beberapa jenis satwa langka seperti 4 jenis satwa
atau ruang jelajah langka yaitu ungko, harimau, dan rangkong yang termasuk
(home range) satwa satwa dilindungi.
langka/dilindungi Daerah persinggahan burung migran, seperti jenis-jenis
elang.
Sintesis 2010-2014 | 42
Direktur Bina Kawasan Pelestarian Alam, No. 706/VI/BKPA-2/1998 Tanggal 21 Juli
1998, yaitu zona yang ditujukan untuk pemanfaatan pelestarian sumber daya alam
hayati dan ekosistem taman nasional untuk kepentingan pariwisata alam.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka disusun indikator untuk masing-masing
kriteria zona pemanfaatan intensif sebagaimana disajikan dalam Tabel 8. Zona
pemanfaatan intensif merupakan kawasan yang diperuntukkan khusus bagi kegiatan
pemanfaatan secara intensif. Zona pemanfaatan intensif di TNBT merupakan zona
untuk pengembangan wisata alam secara intensif. Berdasarkan kriteria dalam PP. No.
68 tahun 1998, maka indikator yang mengindikasikan kawasan tersebut adalah
tingginya potensi biotik dan wisata, lokasi yang strategis, aksesibilitas yang mudah
dan bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan potensi wisata alam TNBT cukup
banyak, dan sebagian besar belum dikelola dengan baik. Sebagian kawasan tersebut
ada yang dapat dijadikan kawasan pariwisata alam dan rekreasi serta kawasan wisata
alam terbatas tergantung pada potensi biofisik dan fungsi kawasannya. Beberapa
lokasi perlu ditinjau kembali karena terdapat kawasan yang menjadi bagian dari
ruang jelajah harimau sumatera. Peninjauan ini bertujuan agar kegiatan wisata alam
tidak mengganggu kelangsungan hidup jenis satwa.
Tabel 4.8. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Pemanfaatan Intensif TN Bukit Tigapuluh
Sintesis 2010-2014 | 43
Jika dilihat lebih spesifik, maka kegiatan wisata dan rekreasi merupakan tujuan
pengelolaan yang utama (primary objective) pada kawasan taman nasional
khususnya di zona pemanfaatan. Sehingga berdasarkan regulasi yang berlaku, baik di
dunia maupun di Indonesia, pengembangan kawasan Granit Training Center (GTC)
sebagai kawasan wisata alam sudah sesuai dan memenuhi persyaratan. Jenis kegiatan
wisata yang dapat dikembangkan di kawasan GTC dapat berupa tracking, bird
watching, wildlife watching, sightseeing, climbing, fishing, camping, swimming,
sport tourism, dan educational tourism (Sularso, 2006 dalam Kwatrina dan Mukhtar,
2006).
Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi, dan
potensi alamnya dimanfaatkan terutama untuk kepentingan pariwisata alam dan jasa
lingkungan lainnya. Berdasarkan peta peruntukan zonasi yang dikeluarkan oleh
Balai KSDA Sumatera Utara (2006), zona pemanfaatan di bagian selatan TNBG
meliputi tujuh lokasi dengan luas keseluruhan ± 2.022 ha. Mengacu pada Peraturan
Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006
tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka alasan-alasan yang terkait dengan
ekosistem, satwa dan tumbuhan, yang dijadikan dasar dalam penunjukan zona
pemanfaatan TNBG seperti yang disusun oleh BKSDA Sumatera Utara II (2006)
sebagian besar sudah memenuhi kriteria zona pemanfaatan sebagaimana yang
dimaksud oleh peraturan tersebut.
Dalam menjabarkan kriteria zona pemanfaatan, maka digunakan indikator
zonasi TNBT (Kwatrina dan Mukhtar, 2006), yaitu a) potensi biotik sedang- tinggi,
b) potensi wisata tinggi, c) bukan bagian dari ruang jelajah satwa penting.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka parameter ekologis yang dapat
dijadikan indikator ekologis zona pemanfaatan TNBG disajikan pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Indikator ekologis pada zona pemanfaatan TN Batang Gadis
Indikator ekologis zona
Indikator ekologis zona pemanfaatan TNBG
pemanfaatan**
(1) Potensi biotik sedang – Hutan alam tropika dengan perwakilan beberapa tipe
tinggi ekosistem, seperti danau dan hutan pegunungan diatas
1.500 m dpl.
Penutupan lahan sebagian besar masih berupa hutan
primer.
Ditemukan sekitar 24 jenis tumbuhan tingkat pohon.
Ditemukan sekitar 33 jenis burung, 5 jenis primata, dan 8
jenis mamalia darat
(2) Potensi wisata tinggi Habitat beberapa satwa langka dan dilindungi, seperti
ungko, siamang, dan macan dahan
Terdapat danau tempat minum beberapa jenis mamalia,
seperti rusa (Cervus unicolor Kerr) dan kambing hutan
Sintesis 2010-2014 | 44
Indikator ekologis zona
Indikator ekologis zona pemanfaatan TNBG
pemanfaatan**
(N.sumatraensis)
Beragam jenis tumbuhan khas dataran tinggi yang unik dan
menarik.
Habitat beragam jenis burung srigunting (Dicrurus spp.).
(3) Bukan bagian dari Lintasan rusa (C.unicolor) dan macan dahan (N.nebulosa)
ruang jelajah satwa
penting
Keterangan: ** Berdasarkan Kwatrina dan Mukhtar, 2006)
4. Zona Rehabilitasi
Kriteria zona rehabilitsi belum diatur dalam PP. No. 68 Tahun 1998. Pada
prinsipnya zona ini ditujukan untuk memulihkan kondisi kawasan yang telah
terdegradasi atau rusak. Berdasarkan hasil penelitian maka diusulkan kriteria zona
rehabilitasi sebagai berikut:
a. Kawasan yang ditetapkan mengalami perubahan atau penurunan kualitas fisik
dan atau biotik;
b. Kawasan mengalami gangguan alami dan atau aktifitas manusia.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka disusun indikator untuk masing-masing
kriteria zona rehabilitasi sebagaimana disajikan dalam Tabel 4.10.
Tabel 4.10. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Rehabilitasi TN Bukit Tigapuluh
Usulan kriteria Usulan Indikator Hasil pada Lokasi Pengamatan
(1) Kawasan yang (1) Penutupan lahan tidak rapat - Vegetasi ada yang rapat dan
ditetapkan (2) Terdapat jenis-jenis bukan asli ada yang tidak rapat, berupa
mengalami kawasan (exotic) semak
perubahan atau (3) Penurunan potensi aliran sungai - Terdapat jenis tanaman bukan
penurunan kualitas (4) Degradasi tanah asli kawasan TNBT
fisik dan atau
biotik;
(2) Kawasan (5) Lahan bekas longsor, - Bekas jalur transportasi HPH,
mengalami kebakaran, bekas pemanfaatan areal bekas pertambangan batu
gangguan alami seperti, tebangan HPH, jalur granit, areal bekas tebangan
dan atau aktifitas transportasi, lahan HPH, areal bekas perladangan
manusia pertanian/ladang, tambang, dll masyarakat yang penutupan
vegetasinya kurang
Keterangan : = Usulan
Indikator yang mengindikasikan kondisi seperti yang tersebut pada kriteria yang
diusulkan adalah penutupan lahan tidak rapat, terdapat jenis-jenis bukan asli kawasan
(exotic), penurunan potensi aliran sungai dan degradasi tanah. Kondisi lahan dapat
berupa lahan bekas longsor, kebakaran, bekas pemanfaatan seperti, tebangan HPH,
jalur transportasi, lahan pertanian/ladang, tambang. Untuk menetapkan zona
rehabilitasi tidak semua indikator harus ditemui di lapangan. Apabila salah satu
Sintesis 2010-2014 | 45
indikator tersebut ditemukan dan diperkirakan akan menimbulkan dampak negatif
yang lebih buruk, maka suatu kawasan dapat ditetapkan sebagai zona rehabilitasi.
Tindakan pemulihan dan revegetasi yang dilakukan pada zona rehabilitasi dapat saja
berbeda-beda untuk setiap lokasi, tergantung pada tujuan pemulihan kawasannya.
Zona rehabilitasi dapat ditujukan sebagai zona inti, rimba atau zona pemanfaatan.
Kawasan yang termasuk zona rehabilitasi dapat berubah setiap periode waktu
tertentu, tergantung pada perubahan penutupan lahannya. Dengan demikian zona
rehabilitasi bersifat temporer sehingga dapat saja tidak ditetapkan secara khusus
sebagaimana zona-zona lainnya. Pihak taman nasional dapat menggunakan
penafsiran citra landsat secara berkala, misalnya tiga tahun sekali, untuk mengetahui
perubahan penutupan lahan dan menentukan kawasan yang perlu direhabilitasi.
Berdasarkan pertimbangan aspek biofisik dan interaksi masyarakat yang
dijumpai dilapangan,maka telah disusun set minimum kriteria dan indikator zona inti
yang sesuai dengan kondisi TN Batimurung Bulusaraung (Tabel 4.11)
Tabel 4.11. Kriteria dan indikator zona inti TN Batimurung Bulusaraung
Sintesis 2010-2014 | 46
Berdasarkan hasil penilaian prioritas restorasi kawasan hutan konservasi,
diindikasikan bahwa tingkat kepentingan TNGGP untuk di restorasi termasuk tinggi
(4,427), sedangkan tingkat kemendesakannya untuk segera di restorasi tergolong
rendah (2,546) (Tabel 4.13). Hal ini sesuai dengan fungsi dan manfaat kawasan yang
memiliki peran sangat penting sebagai pengatur tata air, habitat satwaliar dan
penghasil jasa lingkungan untuk lingkungan sekitarnya. Tingkat kemendesakan yang
tergolong rendah disebabkan fungsi kawasan konservasi telah berjalan walaupun
komponen ekosistemnya masih merupakan hutan tanaman monokultur atau tanaman
budidaya.
5. Zona Tradisional
Dalam Petunjuk Pengusulan Rencana Zonasi Taman Nasional yang dikeluarkan
oleh Direktur Bina Kawasan Pelestarian Alam, No. 706/VI/BKPA-2/1998 Tanggal
21 Juli 1998, zona pemanfaatan tradisional ditujukan untuk mempertahankan
hubungan tradisional dan adanya ketergantungan tradisional terhadap potensi sumber
daya alam taman nasional. Sementara PP No. 68 Tahun 1998 tidak secara khusus
mengatur mengenai zona pemanfaatan tradisional. Berdasarkan data potensi, maka
usulan kriteria pemanfaatan tradisional untuk TNBT adalah sebagai berikut:
a. Secara geografis berada dalam wilayah taman nasional;
b. Merupakan kawasan berpenduduk yang telah ditempati oleh masyarakat
sebelum ditetapkannya wilayah taman nasional;
c. Memiliki potensi sumberdaya alam yang mendukung kehidupan masyarakat
lokal;
d. Secara fisik ekologis tidak berpengaruh negatif terhadap potensi sumber daya
alam.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka disusun indikator untuk masing-masing
kriteria zona pemanfaatan tradisional sebagaimana disajikan dalam Tabel 4.12.
Tabel 4.12. Usulan Kriteria dan Indikator Zona Pemanfaatan Tradisional TNBT
Sintesis 2010-2014 | 47
(3) Memiliki potensi (2) Potensi biotik (HHBK), - Buah-buahan, madu, petai,
sumberdaya alam yang kayu dan satwa sedang - jerenang, kayu sialang,
mendukung kehidupan tinggi murai, rangkong, simpai,
masyarakat local (3) Topografi datar-landai beruk, babi, rusa
(4) Kelerengan 0-8% dan - Tanah lempung, pasir, liat,
atau 8-15% batuan
(5) Tanah lempung, pasir, - Hutan lindung dan hutan
liat produksi terbatas (hutan
(6) Vegetasi umum bukan primer dan sekunder)
hutan primer
(4) Secara fisik ekologis tidak (7) Pemanfaatan - Sedang - tinggi, berupa
berpengaruh negatif terhadap sumberdaya alam dan kepemilikan hutan,
potensi sumber daya alam lahan rendah-sedang ladang, kebun dan sawah
(8) Pengetahuan tata batas - Rendah; 12%-46,3%
sedang-tinggi - Sedang
(9) Interaksi dan ancaman
rendah
(10) Kepentingan untuk
mengakomodir
keberadaan suku asli
dan masyarakat lokal
Keterangan: = Usulan
Sintesis 2010-2014 | 48
Penetapan indikator-indikator seperti; topografi yang datar dan atau landai,
kelerengan 0-8% dan atau 8-15%, sifat fisik tanah (lempung, pasir, dan liat) serta
vegetasi umum selain hutan primer, bertujuan agar zona pemanfaatan tradisional
bukan merupakan kawasan yang rawan secara ekologis melainkan dapat berfungsi
sebagai kawasan yang mendukung kehidupan masyarakat. Sementara itu indikator-
indikator pemanfaatan, pengetahuan, interaksi dan kepentingan, ditetapkan untuk
mengindikasikan kondisi masyarakat yang diinginkan dalam upaya mencegah
timbulnya pengaruh negatif secara fisik dan ekologis terhadap potensi sumberdaya
alam. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan dan interaksi
terhadap sumberdaya alam sedang, dan sebagian besar masih dilakukan secara
tradisional, seperti menangkap ikan dengan memancing dan melakukan seleksi
dalam penebangan pohon.
Pengelolaan zona pemanfaatan tradisional di TNBT sangat strategis dan perlu
mendapat perhatian karena keberadaan suku-suku asli di kawasan tersebut. Sebagian
besar mereka mendiami kawasan sempadan sungai, untuk itu perlu pengawasan
terhadap pemanfaatan lahan yang cenderung meningkat dan pengawasan terhadap
kelestarian kawasan sempadan sungai. Berdasarkan penafsiran citra landsat tahun
2003, diketahui bahwa penutupan lahan pada kawasan zona pemanfaatan tradisional
sebagian besar berupa semak. Kondisi ini perlu mendapat perhatian mengingat
kecenderungan perubahan lahan tersebut. Untuk itu perlu sosialiasi yang lebih
intensif kepada masyarakat lokal mengenai batas kawasannya dan penggunaan lahan
yang lebih baik. Disamping itu untuk mengurangi tekanan terhadap pemanfaatan
sumber daya alam dalam kawasan taman nasional, perlu peningkatan keragaman dan
kuantitas jenis-jenis HHBK seperti madu, tanaman obat, rotan dan lain-lain.
Pengelolaan zona tradisional di TN Gn Halimun Salak, (Gambar 4.1) dilakukan
dengan adanya kegiatan masyarakat memanfaatkan HHBK berupa perkebunan
rakyat yang telah ada sebelum penetapan taman nasional seperti karet dan hutan
tanaman damar dan pinus serta hasil hutan lainnya yaitu bambu, madu, tumbuhan
obat-obatan, buah-buahan hutan (saninten) dan rotan (umbut dan batangnya).
Sintesis 2010-2014 | 49
Gambar 4.1. Lokasi potensi HHBK di TNGHS
Sintesis 2010-2014 | 50
Gambar 4.2. Tanaman damar di TNGHS
Perbandingan porsi zonasi taman nasional di Cagar Biosfer sangat berbeda antara
TNS dan TNGGP. Hal ini disebabkan perbedaan luas, perbedaan kerapatan penduduk
dan budaya masyarakat daerah penyangga serta tingkat ekonomi dan ketersediaan lahan
garapan.Perbedaan ini terlihat dari porsi zonasi penting sebagaimana Tabel 4.13.
Tabel 4.13. Porsi zonasi utama dalam taman nasional
TNGGP TNS
No. Zonasi utama
( Luas: 22.851,03 ha) (Luas: 192.655 ha)
1. Zona inti 42 % 24,2 %
2. Zona rimba 31 % -
3. Zona pemanfaatan tradisional 1,3 % 52,8 %
4. Zona pemanfaatan 5,8 % -
5. Zona kampung - 23,1 %
Hasil kajian lapangan pada zona tradisional, zona rehabilitasi dan zona khusus,
terdapat beberapa kondisi yang masih perlu dipertimbangkan dalam penetapan ketiga
zonasi tersebut. Hal ini terutama menyangkut ketergantungan masyarakat terhadap
sumberdaya lahan dan sumberdaya alam yang terdapat di dalam kawasan. Untuk
mengakomodir kepentingan dan meredam konflik antara pengelola kawasan dan
masyarakat sekitar maka evaluasi implementasi zonasi dilakukan lebih mendalam
terutama terhadap porsi zona pemanfaatandi zona tradisional, zona rehabilitasi dan zona
khusus.
Pengelolaan zona tradisional di TNGGP melibatkan masyarakat sekitar kawasan ex
Perum Perhutani dengan vegetasi utama adalah Pinus (Pinus merkusii) dan Damar
(Agathis lorantifolia) dengan memanfaatkan bahan makanan, obat-obatan, bahan
baku kerajinan atau Hasil Hutan Non Kayu (HHBK) lainnya. Kondisi beberapa
kawasan hutan di zona tradisional, sebagai parameter penetapannya dan sebagai
pembanding bagi penetapannya di wilayah lain (Tabel 4.14).
Sintesis 2010-2014 | 51
Tabel 4.14. Parameter zona tradisional di tiga resort TN Gunung Gede Pangrango
Resort
No. Parameter
Cimungkat` Nagrak Bodogol
1. Lokasi
Luasan 25-30 ha 20 ha 10 ha
Kelerengan 10-30% 5-35% 5-10%
2. Kondisi tanaman
Jenis tanaman Agathis Agathis Agathis
Diameter rata-rata 40-50 cm 40-100 cm 60-200 cm
Tinggi rata-rata 18-25 m 20-25 m 35-40 m
Jarak tanam 5 mx5m 5 m x 10 m 2 mx3m
Kerapatan 400 pohon 160 pohon/ha 600 pohon/ha
3. Keragaman Satwaliar
Mamalia macan tutul, monyet ekor Owa jawa,
mencek, macan panjang, owa jawa, lutung, monyet
dahan, musang, babi hutan, macan ekor panjang,
sigung, babi hutan tutul, mencek, babi hutan ,
macan kumbang trenggiling
Reptilia Katak bertanduk - -
Burung elang jawa, puyuh kutilang, kapinis Elang jawa,
gonggong, raja gunung, ayam hutan, br.
udang, pipit, kores Tikus,
jenggot, kutilang, maninting, walik
toed, cacing, haur,
sikatan dada merah,
sepah gunung,
tohtor, tulung
tumpuk
4. Kegiatan masyarakat Wisata sepeda Penanaman Penyadapan
gunung atau motor palawija dibawah getah damar
road tegakan dan
Penyadapan getah
damar
Sintesis 2010-2014 | 52
6. Zona khusus
Penyusunan kriteria dan indikator pada zona khusus telah menghasilkan 3
kriteria dan 5 indikator (Tabel 4.15). Penyusunan kriteria dan indikator zona khusus
berdasarkan Permenhut 56 tahun 2006 bertujuan untuk mengakomodir keberadaan
sekelompok masyarakat yang telah ada di dalam kawasan taman nasional sebelum
areal tersebut ditetapkan menjadi taman nasional. Mulyana et al. (2010) menyatakan
bahwa zona khusus merupakan bagian dari taman nasional yang mengakomodasi
kepentingan masyarakat, sehingga merupakan bagian dari kawasan yang digarap
masyarakat yang berbasis konservasi. Kriteria dan indikator zona khusus Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung, lebih menekankan pada aspek keberadaan areal
zona khusus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari taman nasional, selain
aspek masyarakat lokal yang bermukim pada tempat tersebut. Yang dimaksud
dengan masyarakat lokal disini adalah masyarakat lokal tersebut harus memiliki
identitas resmi yang menyatakan bahwa mereka benar-benar tinggal, bermukim atau
beraktivitas sehari-hari atau mengelola lahan di dalam kawasan TN Babul (di dalam
areal zona khusus TN Babul) tersebut. Selain itu, karena zona khusus merupakan
bagian dari kawasan taman nasional, maka masyarakat lokal tersebut harus bersedia
mematuhi aturan yang dibuat dan disepakati bersama dengan pihak taman nasional.
Dalam hal ini, pihak taman nasional harus berperan aktif untuk menyusun dan
menggagas kesepakatan bersama yang menjadi aturan bagi zona khusus. Aturan
yang dibuat diharapkan benar-benar sesuai dengan kondisi spesifik masyarakat yang
bemukim di zona khusus, dibuat secara bersama sehingga dapat benar-benar
diterapkan, dipatuhi dan memiliki kekuatan hukum yang baik.
Tabel 4.15. Kriteria dan indikator zona khusus Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
Sintesis 2010-2014 | 53
atau tempat ibadah atau
sarana pendidikan
2. Telah terdapat sarana prasarana Terdapat dokumen Dokumen verifikasi
antara lain telekomunikasi, pendukung terkait keberadaan sarana dan
fasilitas transportasi dan listrik pembangunan sarana prasarana
sebelum wilayah tersebut dan prasarana
ditunjuk/ditetapkan sebagai TN
3. Lokasi tidak berbatasan dengan Terdapat zona lain yang Terdapat peta zonasi yang
zona inti memisahkan zona telah disahkan
khusus dengan zona inti
Terdapat dan Terdapat batas fungsi yang
terpeliharanya batas sudah di tetapkan pada
zona khusus dengan masing-masing zona
zona yang lain
Peruntukkan zona khusus untuk mengakomodir kepentingan konservasi dan
aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum
ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya,
serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas
transportasi dan listrik, dengan tata guna lahan diarahkan penggunaannya sebagai
tempat tinggal, interaksi sosial dan sistem pewarisan tradisi serta pelestarian
tumbuhan dan satwa berguna dengan kondisi lanskap kampung, dusun atau desa
(Koesmaryandi et al., 2012)
Kriteria zona khusus menurut Arrayun (2010) adalah sebagai berikut:
1. Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang
tinggal sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional;
2. Telah terdapat sarana prasarana antara lain telekomunikasi, fasilitas transportasi
dan listrik, sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional;
3. Lokasi tidak berbatasan dengan zona inti.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona khusus meliputi
perlindungan dan pengamanan; pemanfaatan untuk menunjang kehidupan
masyarakat dan; rehabilitasi; monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya
dukung wilayah.
Prinsip pengelolaan usulan zona khusus TNK yang diajukan oleh Moelyana et.
al (2010) terkait dengan keberadaan masyarakat diantaranya ijin memanfaatkan dan
hak mengelola kawasan secara ramah lingkungan namun tidak mempunyai hak
memiliki, melalui peraturan yang mengikat berdasarkan kriteria yang terkait tentang
kriteria lingkungan (kesehatan ekosistem), ekonomi (tingkat penghidupan yang
layak), sosial (kesetaraan antar kelompok), budaya (keutuhan dan identitas) serta
politik (proses pengambilan keputusan yang adil dan transparan). Sedangkan
pengelolaan zona khusus yang dikembangkan oleh Balai TN Kutai (2010)sebagai
berikut:
Sintesis 2010-2014 | 54
1. Status kawasan tetap dipertahankan sebagai kawasan TN Kutai
2. Letak zona khusus berada pada wilayah yang telah disepakati sebelumnya untuk
ditata batas pengamanan
3. Pemanfaatan lahan diberikan kepada penduduk yang telah tinggal, memiliki
lahan dan hidupnya tergantung pada lahan tersebut sebelum TN Kutai ditunjuk
4. Tidak mengakomodir kepemilikan lahan oleh masyarakat yang tinggal di dalam
zona khusus
5. Pengelolaan akan dilaksanakan oleh lembaga khusus yang bertanggung jawab
kepada Balai TN Kutai
6. Zona khusus akan terbagi menjadi areal pemukiman, areal pemanfaatan dan
areal lindung
7. Pengelolaan di dalam zona khusus akan diarahkan menjamin kehidupan yang
ramah lingkungan dan berupaya untuk mempersiapkan generasi mendatang
untuk mendapatkan kehidupan yang layak di luar zona khusus
Sintesis 2010-2014 | 55
potensi keragaman jenis satwaliar langka dan dilindungi di setiap zonasi (45,9%);
dan strategi pemanfaatan potensi TNBG bersama masyarakat secara berkelanjutan
menjadi prioritas untuk mengembangkan faktor kondisi ekosistem dan vegetasi yang
relatif utuh dan potensi IPTEK, jasling, dan ekowisata yang tinggi (34,9% dan
36,6%).
Strategi meminimalisasi faktor ancaman adalah pengamanan kawasan dan
penegakan hukum secara tegas menjadi prioritas dalam meminimalisasi ancaman
penebangan liar dan degradasi ekosistem serta pembukaan dan konflik penggunaan
lahan (bobot 34,7% dan 27,0%); strategi pemberdayaan dan pengembangan ekonomi
alternatif untuk meminimalisasi berkembangnya perburuan satwa dan pengambilan
HHBK (34,8%); meningkatkan koordinasi dan kerjasama program dengan
stakeholders untuk mengurangi kepentingan egosektoral dan tumpang tindih
kebijakan antar lembaga (29,6%). Strategi pemulihan ekosistem yang terdegradasi
dinilai responden sebagai strategi lanjutan setelah stretegi di atas dapat dilaksanakan.
1. Zona Inti
Kriteria dan indikator yang digunakan dalam menetapkan kawasan sebagai zona
inti adalah habitat maupun daerah jelajah satwa serta ekosistem hutan primer yang
memiliki potensi satwa endemik, dilindungi dan migrasi serta tumbuhan langka dan
dilindungi. Permasalahan yang terjadi di dalam zona inti adalah kawasan pasca
tambang PT Antam di Cikidang, seluas 12 ha yang telah diusahakan untuk
direhabilitasi, tetapi mengalami kegagalan. Rencana kegiatan yang akan dilakukan
oleh TNGHS untuk menanggulangi kegagalan ini diantaranya kegiatan SPORC
dalam bentuk latihan bersama dan Densus tahun 2013. Rehabilitasi yang telah
dilakukan sebagian besar mengalami kendala karena lokasi penanaman merupakan
bekas tambang bukaan sehingga bibit yang ditanam tidak dapat tumbuh dengan baik
(Gambar 4.3).
Kawasan yang ditetapkan sebagai zona rimba merupakan penyangga dari zona
inti, dan merupakan hutan sekunder dan merupakan habitat atau daerah jelajah
satwaliar. Kondisi di lapangan yang perlu diwaspadai adalah zona ini berbatasan
Sintesis 2010-2014 | 56
langsung dengan enclave seperti Perkebunan teh Nirmala, sehingga sosialisasi
tentang keberadaan satwaliar terutama jenis dilindungi perlu dilakukan kepada
masyarakat di sekitar perkebunan. Sebagai daerah ekotone yang dapat berfungsi
sebagai koridor satwaliar dalam mencari makanan perkebunan teh merupakan tempat
mencari pakan terutama jenis mamalia kecil seperti trenggiling yang mencari pakan
berupa semut dan tidur di epifit paku yang menempel pada pohon teh.
2. Zona Pemanfaatan
Zona pemanfaatan yang merupakan lokasi dengan potensi obyek dan daya tarik
wisata seperti camping ground dikelola secara kolaboratif antara masyarakat dengan
TNGHS, dengan kewajiban membangun fasilitas wisata dan kebersihan. Kondisi
yang demikian memberikan dampak langsung kepada masyarakat yang berperan
aktif dalam pengelolaan areal wisata. Permasalahan yang terkait dengan
pengembangan wisata diantaranya:
Penetapan zona pemanfaatan untuk wisata hendaknya disosialisasikan kepada
masyarakat pengelola karena kawasan ini berbatasan langsung dengan zona
tradisional masyarakat yang memanfaatkan HHBK berupa getah damar atau
pinus.
Kegiatan pengambilan getah dapat dipasarkan kepada pengunjung sebagai
atraksi pemanfaatan HHBK di kawasan
Pengembangan kegiatan wisata hendaknya dilakukan dalam bentuk paket wisata
yang memberikan muatan pendidikan dan pengetahuan tentang lingkungan
hidup.
Zona pemanfaatan di TN Kutai yang dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam
atau ekowisata (Sawitri dan Karlina, 2013) diantaranya adalah:
a. Prevab
Daya tarik keberadaan satwaliar orangutan dan penyusuran traking di hutan
Dipterocarpaceae. Di kawasan ini pengunjung juga dapat melakukan penanaman
pohon lokal seperti ulin, kapur, kecapi hutan, langsat hutan, kenanga,
arabendang/buah bolo, sangkuang, meranti dan klengkeng hutan yang merupakan
bibit tanaman berasal dari hutan. Restorasi hutan bekas kebakaran yang dilakukan
oleh WWF Sundaland bioregion Balikpapan dengan TN Kutai, tahun 2002-2003,
seluas 200 ha menanam pohon-pohon lokal, saat ini tanaman tersebut telah memiliki
ukuran tinggi sekitar 8-12m dan diamater 15-20 cm. Penanaman juga dilakukan oleh
pengunjung yang berasal dari mancanegara, tahun 2011 seperti ulin ( tinggi 1-2 m,
diameter 2-3 cm), kapur (tinggi 0,5-1 m dan diameter 1-1,5 m) serta kecapi (tinggi
0,75 – 1,5 m dan diameter 1,5 -2 cm). Universitas Mulawarman, melakukan
penanaman kapur, tahun 2012 berukuran tinggi 0, 50 - 1 m, peserta workshop
orangutan melalukan penaman meranti dan klengkeng hutan tahun 2013. Disamping
itu dijumpai tanaman buah-buahan yang juga dimanfaatkan orangutan sebagai
sumber pakan dan tempat tidur/bersarang seperti rambutan, mangga, jeruk, matoa,
Sintesis 2010-2014 | 57
sawo, duren dan gandaria. Pengelolaan zona pemanfaatan dilakukan bersama dengan
masyarakat dan PT KPC sekitar yang diwakili oleh Badan Usaha Milik Desa
(Bumdes) sejak 27 Maret 2012 di sekitar Prevab, dalam bentuk unit usaha Ekokabo
Jaya berupa perahu wisata, pemandu wisata, katering, homestay dan suvenir daur
ulang barang bekas plastik, kardus dan koran. Masyarakat Desa Kabo juga
melakukan pemanfaatan lahan di TN Kutai dengan penanaman tanaman palawija.
Dampak negatif perambahan kawasan adalah banjir dan abrasi sempadan sungai
Sangatta yang seluas 3-5 m dikiri-kanan sungai. Komitmen keikutsertaan masyarakat
dalam pengelolaan di zona pemanfaatan adalah perubahan persepsi terhadap
keberadaan TN Kutai dan penanaman di zona rehabilitasi. Kawasan Sempadan
Sungai Sangatta merupakan prioritas restorasi karena merupakan habitat satwa liar
seperti orangutan, buaya muara dan biota perairan, sumber air minum masyarakat
dan areal transportasi sungai.
Gambar 4.4. Abrasi sungai terhadap lahan pertanian masyarakat dan hutan riparian
S. Sangatta
b. Sangkima
Sangkima merupakan perwakilan hutan hujan dataran rendah dengan
kemudahan aksesibilatas, sehingga kunjungan pengunjung dapat dilakukan setiap
saat. Lokasi yang sangat strategis dapat dimanfaatkan untuk menarik kunjungan
pengunjung dan memperkenalkan keanekaragaman hayati Taman Nasional Kutai
seperti ulin yang berumur ribuan tahun (Gambar 4.5). Fasilitas yang terdapat di
kawasan ini tidak terawat, hal ini dapat dilihat adanya vandalisme di Shelter Shorea.
Fasilitas banyak yang rusak terutama jembatan sling disamping itu dari segi
keamanan juga perlu diperhatikan. Keperluan fasilitas lainnya berupa visitor centre,
toilet, papan petunjuk arah jalan dan point of interest, papan kesan dan pesan serta
beberapa shelter untuk beristirahat karena telah rusak (Gambar 4.6). Pembangunan
trak jalan setapak dari kayu ulin dibagi menjadi beberapa bagian yang ditujukan
untuk pengunjung anak-anak, remaja maupun dewasa. Perbaikan jalan setapak
diperlukan untuk memenuhi kenyamanan dan keamanan pengunjung dengan
memberikan tempat istirahat ditengah perjalanan terutama untuk jalan yang
menanjak ataupun menurun. Pengamatan pemandangan maupun burung dapat
Sintesis 2010-2014 | 58
dibuatkan lokasi yang terdapat di tebing bukit sekalian merupakan tempat istirahat .
Papan informasi tentang potensi tanaman perlu diperbaharui dan dilengkapi dengan
gambar buah dan daun. Pos karcis dibuat menarik dan jelas agar pengunjung dapat
langsung mengenali.
Sintesis 2010-2014 | 59
d. Telaga Bening
Telaga bening merupakan lokasi seluas 300 ha yang saat ini sudah tidak
dimanfaatkan oleh Pemda sebagai sumber air minum daerah dalam bentuk PDAM
(Gambar 4.7). Sebagai danau air tawar yang terhubung dengan laut oleh aliran
Sungai Teluk Pandan ke laut yang dikelilingi oleh kebun kelapa sawit dan karet,
kawasan ini telah dimanfaatkan oleh TNK sebagai areal pelepasliaran buaya muara
yang ditangkap dari daerah sekitar Bontang dan Sangatta sebanyak 27 ekor.
Pemanfaatan buaya ini dapat dilakukan melalui atraksi pemberian pakan dan
peningkatan pengetahuan masyarakat akan konservasi buaya muara.
Gambar 4.8. Bumi Perkemahan Saleba dan aksi rehabilitasi oleh stakeholder
Sintesis 2010-2014 | 60
3. Zona Rehabilitasi
Kegiatan rehabilitasi di taman nasional mengacu pada Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia, No:P.14/Menhut-II/2012 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012 untuk mendukung
peningkatan fungsi dan daya dukung DAS berbasis pemberdayaan masyarakat
melalui pembuatan persemaian permanen, penanaman bibit hasil Kebun Bibit rakyat
dan Kegiatan Bantuan Langsung masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLM-
PPMPBK). Sejalan dengan Permenhut diatas maka keberhasilan restorasi di taman
nasional didukung oleh tersedianya pembibitan yang baik, hal ini menuntut
kesadaran pihak pengelola dan masyarakat untuk menyediakan bibit yang baik, jenis
lokal, sebagai sumber air dan pakan satwaliar, tetapi kondisi ini belum sepenuhnya
terwujud. Beberapa permasalahan yang dijumpai di zona rehabilitasi TN Gn
Halimun diantaranya:
Zona rehabilitasi yang diplotkan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan seperti
yang terdapat di Ds Pangradin, Jasinga termasuk Resort Gunung Telaga, Seksi
Wilayah Bogor, dimana di kawasan ini ditemukan perkebunan karet rakyat dan
buah-buahan yang telah dikelola dan diambil hasilnya oleh masyarakat (Gambar
4.9). Kondisi masyarakat Kp Pangradin II, Ds Pangradin sebanyak 150 KK,
memiliki garapan (0,5 -1 ha) di dalam kawasan yang berjarak 1 km dari batas
hutan. Lahan tersebut ditanami karet yang menghasilkan 10-20 kg getah /hari,
seminggu 3 kali pengambilan dengan harga Rp. 4.500,-/kilogram, hasil dari getah
karet Rp. 540.000,- - Rp. 1.080.000,-/bulan. Kebun buah-buahan di dalam
kawasan (0,75 – 3 ha) dengan jenis pohon durian, manggis, cempedak, pisang dan
rambutan menghasilkan Rp. 300.000,- - Rp. 500.000,- / bulan
Sintesis 2010-2014 | 61
Gambar 4.10. Jenis tanaman restorasi
Sintesis 2010-2014 | 62
Lebar
Zonasi Potensi Manfaat Ekonomi
Kiri-kanan Komponen
jalan
Jalur 251-750 m Kebun rakyat , 1. Habitat satwa 1. Pendapatan masyarakat
interaksi Hutan produksi, habitat) 2. Sumber gizi
hutan rakyat , 2. Buah-buahan 3. Industri kayu
perkebunan 3. Budidaya pohon 4. Industri pertanian
4. Agrowisata 5. Industri tanaman obat
5. Kebun Herbal 6. Budidaya tanaman hias
6. Penangkaran anggrek, 7. Jasa lingkungan
rotan 8. Wisata budaya
7. Kelapa sawit, karet,
gaharu
Jalur hijau >751m Hutan alam ), 1. Habitat satwa 1. Sumber pendapatan
sungai & anak 2. Sumber air 2. Jasa lingkngan: air
sungai , mata air 3. Wisata alam 3. Wisatawan dan lapangan
pekerjaan
Lokasi pemukiman atau kawasan budidaya, apabila diplotkan pada lahan di kiri
kanan jalan sepanjang Bontang-Sangatta selebar 250 m, akan menempati luas 3.400
ha atau 18,06% dari usulan zona khusus seluas 18.831ha.
Zona interaksi selebar 251m – 750 m yang merupakan areal pemanfaatan, hal
ini berdasarkan kemampuan masyarakat dalam mengolah lahan garapan seluas dua
ha sedangkan sisanya dibiarkan dalam bentuk lahan tidur, dibedakan antara
persawahan; perkebunan karet, gaharu dan kelapa sawit; rumah walet dan pembuatan
batu bata, akan mencakup luasan 6.800 ha atau 36,11 % dari luas usulan zona
khusus. Di dalam kawasan ini dapat disisipkan kantong-kantong habitat satwa/HCVF
sebagai daerah pengungsian satwaliar dengan jenis tanaman perkayuan lokal dan
tanaman pakan satwaliar marga ficus (Ancrenaz, 2013).
Kawasan lindung atau green belt lebih dari 751 m atau 45,83% dari usulan zona
khusus diplotkan sepanjang batas antara usulan zona khusus dan zona rehabilitasi
difungsikan sebagai habitat satwaliar perairan terutama buaya (Crocodylus porosus)
sebanyak 27 ekor yang terdapat di Telaga Bening seluas 300 ha (Gambar 6) yang
dapat dikembangkan sebagai pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata atraksi
buaya. Kegiatan ini dapat melibatkan masyarakat dan mitra Kutai seperti PT Badak
LNG, PT Kaltim Prima Coal, PT Pupuk Kaltim dan Pertamina dalam konservasi dan
membangun ekonomi alternative berbasis konservasi (Archive, 2007).
Kegiatan rehabilitasi oleh konsesi pertambangan di sekitar TN Kutai dengan
ketentuan prosedur sebagai berikut: pemetaan lokasi, survey lokasi, penanaman,
monitoring keberhasilan dan serah terima kegiatan dalam jangka waktu 3 tahun.
Tanaman perkayaan meliputi jenis tanaman Dipterocarpaceae sebanyak 80%, dan
tanaman MPTS atau buah-buahan 20% dengan jarak tanam 4 x 5 m atau 500 pohon –
Sintesis 2010-2014 | 63
700 pohon per hektar pada lokasi yang tidak berbatu, bukan rawa atau sungai serta
menghindari kawasan yang telah bervegetasi. PT Santan yang telah melaksanakan
rehabilitasi 600 ha pada tahun 2013, selama 2 bulan dengan biaya penanaman Rp.
800.000,- -Rp. 1.200.000,- /hektar melibatkan masyarakat 40 orang /desa. Jenis
tanaman perkayuan dan buah-buahan yang ditanam diantaranya ulin, meranti, kapur,
medang, sengkuang, bayur, temu hitam, durian dan salam, 30 – 60 cm, dengan
keberhasilan sekitar 80%. Sedangkan PT Indominco Mandiri juga telah
melaksanakan rehabilitasi dengan jenis tanaman 80 % meranti, 1 % ulin serta 19 %
tanaman lokal, keberhasilan tanaman hanya sekitar 30%, rendahnya tingkat
keberhasilan penanaman karena perusahaan ini tidak mengikuti prosedur rehabilitasi
yang telah dicanangkan oleh TN Kutai (Gambar 4.11).
Sintesis 2010-2014 | 64
konflik satwaliar seperti buaya muara yang dijumpai di sumur penduduk Desa Teluk
Pandan maupun orangutan yang masuk ke perkampungan masyarakat dan memakan
hasil panen palawija. Disamping itu dampak pengelolaan masyarakat adalah
terjadinya banjir karena perubahan landskap kawasan, dimana daerah yang berawa
dimanfaatkan sebagai persawahan maupun ditimbun untuk perumahan (Gambar
4.12).
Gambar 4.12. Banjir yang terjadi di Teluk Pandan akibat luapan anak sungai dan
perubahan landskap kawasan
Dalam perkembangannya, zona khusus ini diusulkan menjadi enclave oleh
pemerintah daerah. Zona khusus yang diusulkan menjadi enclave tahun 2000 ±
15.000 ha, tahun 2013 menurut zonasi TN Kutai 18.831 ha, tetapi dalam
perkembangannya luasnya menjadi 23.712 ha. Untuk mengetahui respon masyarakat
terhadap wacana ini maka dilakukan wawancara dan hasilnya tercantum pada
Gambar 4.13. Pendapat masyarakat dipengaruhi oleh asal-usul dan mata pencaharian
masyarakat. Masyarakat bermata pencaharian pertanian intensif berupa persawahan
bersedia dipindahkan dengan penggantian lokasi lahan, sedangkan masyarakat
dengan pertanian ekstensif lebih memilih status kawasan adalah enclave karena
indikasi kandungan batubara yang berkalori tinggi dengan nilai sumberdaya 6000 -
7000 sejumlah 2,5 ton milyard dan diperkirakan berharga sekitar $ 92 milyar dollar
(Situs resmi TN Kutai, 2008 dalam Arrayun, 2010), sehingga lahan yang berharga ini
merupakan investasi untuk diperjual belikan. Masyarakat yang menetap dan
mengelola lahan dalam bentuk kebun dengan usaha sampingan berjualan sembako,
menginginkan status kawasan berupa zona khusus karena masyarakat ini memiliki
tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya lahan yang tinggi dan persepsi terhadap
konservasi yang cukup tinggi. Sedangkan masyarakat yang tidak memberikan
respon adalah masyarakat pendatang yang baru dan lahan yang dikelola belum
menghasilkan.
Sintesis 2010-2014 | 65
Tidak tahu Bersedia
12% pindah, 16%
Zona
Enclave
khusus, 27%
45%
Sintesis 2010-2014 | 66
V. DEGRADASI DAN RESTORASI
Sintesis 2010-2014 | 67
ha, tahun 2013 tetapi dalam perkembangannya luasnya menjadi 23.712 ha.
Pengelolaan zona khusus ini meliputi pemukiman; persawahan; perkebunan kelapa
sawit, gaharu, karet dan buah-buahan; rumah walet dan fasilitas umum (Sawitri dan
Karlina, 2013). Masyarakat lokal dengan pertanian ekstensif atau perkebunan lebih
memilih status kawasan menjadi enclave karena ada indikasi terdapat kandungan
batubara yang berkalori tinggi sejumlah 2,5 ton milyard dan diperkirakan berharga
sekitar $ 92 milyar dollar (Situs resmi TN Kutai, 2008 dalam Arrayun, 2010),
sehingga lahan yang berharga ini merupakan investasi untuk diperjual belikan.
2. Fragmentasi Kawasan
Fragmentasi kawasan adalah proses yang menyebabkan kawasan hutan primer
yang semula saling bersambungan berubah menjadi hutan seperti pulau-pulau kecil
yang terpencar (Meijaard et al., 1999). Fragmentasi habitat mewakili perubahan dari
habitat yang semula utuh kemudian terpecah menjadi dua atau lebih fragmen yang
lebih kecil (Franklin et al., 2000). Fragmen hutan yang tersisa biasanya langsung
mencolok di tengah lingkungan yang pada dasarnya merupakan gurun-gurun
ekologis, khususnya perkebunan, lahan pertanian dan lahan bera (Meijaard et al.,
1999). Fragmentasi dan pengurangan habitat telah diakui secara luas sebagai
penyebab utama terjadinya penurunan species di seluruh dunia (Lovejoy et.al 1986).
Berkurangnya luasan dan terfragmentasinya kawasan berhutan diduga
mengakibatkan penurunan populasi sampai kepunahan lokal satwaliar langka.
Kondisi ini terjadi pada habitat orangutan telah mengalami fragmentasi sebagai
akibat dari pembukaan hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit (WWF, 2011).
3. Jenis Eksotik
Introduksi jenis tumbuhan eksotik untuk keperluan penelitian, tanaman hias,
tanaman pangan, pengendalian kebakaran, peningkatan produksi kayu di hutan
tanaman memberikan dampak berupa gangguan terhadap ekosistem hutan alam.
Jenis tanaman atau jenis eksotik tumbuhan digolongkan sebagai jenis invasif apabila
berpotensi mengancam lingkungan atau ekosistem dan berkompetisi dengan jenis
asli dan mengambil alih menjadi dominan pada lingkungannya yang baru (Wibowo
et al., 2010). Beberapa jenis yang termasuk kedalam 100 jenis paling invasif
didunia diantaranya Acacia mearnsii, Ardisia elliptica, Arundo donax, Cecropia
peltata, Cinchona pubescens, Clidemia hirta, Euphorbia esula, Fallopian japonica,
Hedychium gardneriarium, Hiptage benghalensis, Leucaena leucocephala,
Ligustrum robustum, Melaleuca quiquenervia, Micornia calvescens, Mimosa pigra,
Morella faya, Opuntia stricta, Pinua pinester, Prosopis glandulosa, Psidium
cattleianum, Pueraria montana var lobata, Rubus ellipticua, Schinus terebinthifolius,
Spartina anglica, Spathodea campanulata, Sphagneticola trilobata, Tamarix
ramosissima dan Ulex europaeus (www.issg.org).
Di Indonesia ditemukan jenis tumbuhan invasif yang dibedakan menurut
habitatnya yaitu perairan ataupun daratan. Jenis tumbuhan invasif yang terdapat di
Sintesis 2010-2014 | 68
perairan diantaranya Eichornia crassipes (Mart.)Solms, Hydrilla verticillata
(L.f)Royle, Mimosa pigra L, Pistia stratiotes L, dan Salvinia molesta D.S. Mitchell,
sedangkan beberapa jenis tumbuhan invasif yang dijumpai di daratan adalah Acasia
nilotica (L) Willd.ex Del, Austroeupatorium inulaefolium (Kunth) R.M.
King&H.Rob., Chromolaena odorata (L.) King &H.Rob, Crystopegia grandiflora
R.Br, Dicranopteris linearis (Burm.F.), Eupathorium sordisum Less, Jatropha
gossypifolia L., Lantana camara L., Mikania micrantha Kunth, Melastoma affine D.
Don, Mimosa diplotrica C. Wright ex Sauvelle, Panicum maximum Jacq., Passiflora
ligularis A. Juss, Pennisetum polystachion (L.) Schult.), Piper aduncum L., Sida
rhombifolia L., Stachitarpeta indica (l.) Vahl, Stachitarpeta jamaicensis (L.) Vahl,
Themeda arguens (L.), Hack, dan Tribulus terrestris L. (Tjitrosoedirdjo, 2005).
Di Taman Nasional Gn Gede Pangrango pada ketinggian 1000m dpl sampai
1500 m dpl dijumpai jenis tumbuhan invasif yaitu Passiflora ligularis yang
merupakan tanaman buah yang didatangkan dari Amerika latin dan ditumbuh
kembangkan di Kebun raya Cibodas yang kemudian disebarkan bijinya oleh tupai
tanah ke kawasan (Sawitri dan Garsetiasih, 2011). Tumbuhan ini merambat naik ke
pohon dan menutupi tajuk pohon serta menekan pertumbuhannya (Tjitrosoedirdjo,
2005).
Habitat banteng di beberapa taman nasional mengalami penurunan daya
dukungnya karena keberadaan jenis invasif seperti Acacia nilotica menginvasi
Savanna Bekol, Talpat, keramat dan Balanan seluas 10.000 ha di TN Baluran, jenis
tumbuhan Crotalaria sp. dan Sesbania sabans di Padang penggembalaan
Sadengan,di TN Alas Purwo serta jenis tumbuhan Chromolaena odorata di Padang
Penggembalaan Pringtali (Sawitri & Takandjandji, 2007).
Vegetasi langkap (Arenga obtusifolia Blumme ex Mart) telah menginvasi TN
Ujung Kulon seluas 28.750 ha (Haryanto, 1999), hingga tahun 2010, vegetasi ini
diperkirakan telah menginvasi habitat badak jawa sekitar 40.000 ha atau 60% dari
luas kawasan dan penyebarannya terkonsentrasi di sebelah Barat Semenanjung yaitu
Kalejetan, Cikeusik, Cibandawoh, Gunung Payung dan Cibunar. Disamping itu, jenis
tumbuhan lainnya yang menginvasi habitat badak jawa adalah bamboo cangketreuk
(Szhizostachyum zollingeri Kurz) seluas 2.400 ha (Sawitri & Setyawati, 2011).
4. Pemanfaatan Flora Fauna
Pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat sekitar taman nasional dipicu
oleh ketergantungannya terhadap hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan diantaranya adalah
penggunaan kayu sebagai konstruksi bangunan, perkakas rumah tangga, kapal dan
kayu bakar serta hasil hutan bukan kayu. Jenis-jenis kayu yang dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar TN Aketajawe Lolobata, Provinsi Maluku Utara sebagai bahan
bangunan 12 jenis adalah hati besi (Instia palembanica Miq.), bintangur
(Callophyllum sp.), gofasa (Kleinbosvia hospital L.), binuang (Tetrameles nudiflora
Sintesis 2010-2014 | 69
R. Brown), jati putih (Gmelina arborea Roxb.), kamaiwa (Nuclea sp.), kayu bugis
(Koordersiodendron pinnatum Merr.), lingu (Pterocarpus indicus Willd), mologatu
(Dyospyros sp.), nyatoh (Palaquium rostratum Burck.), marpala (Neonauclea
calycina Merr.) dan gora bagea (Syzigium sp.); perkakas rumah tangga seperti kenari
(Canarium vulgare Leenh), Matoa (Pometia pinnata Forst. F), mersawa (Syzigium
sp.), wiru (Streblus elongates (Miq.) Corner), kayu telur (Alstonia scholaris (L.) R.
Br.) dan kolot kambing (Garuga floribunda Decne); serta kayu bakar seperti kayu
sirih (Piper sp.), kerikis (Zyzyphus angustifolius Miq.), gusak (Dilenia sp.), laban
(Vitex pubescens Vahl), owaha (Litsea glutinosa C.B. Rob) (Nurrani dan Tabba,
2013).
Hasil hutan non kayu berasal dari bagian pohon atau tumbuh-tumbuhan yang
memiliki sifat khusus yang dapat menjadi suatu barang yang diperlukan masyarakat,
diperjual belikan sebagai komoditi ekspor atau bahan baku untuk industri. Beberapa
hasil hutan non kayu yang umumnya dipungut masyarakat dari dalam kawasan
konservasi diataranya getah kayu berupa damar, kopal dan jelutung, perca,
kemenyan, pinus; minyak atsiri yaitu kayu putih, minyak lawang, nilam; kulit kayu
sebagai bahan penyamak kulit dari pilang dan bakau, kayu manis, bahan pewarna;
buah-buahan dan biji seperti tengkawang, kemiri, matoa dan asam; jenis pohon atau
tanaman tertentu seperti kayu cendana, rotan, bamboo dan gaharu (Djajapertjunda,
2001).
Hasil hutan bukan kayu yang sering dimanfaatkan masyarakat sekitar TN
Aketajawe Lolobata yang dimanfaatkan sebagai tali, kerajinan anyaman, atap,
pembukus makanan, bahan makanan dan minuman, serta obat-obatan diantaranya
rotan (Dracontomelon spp.), panadan (Pandanus sp.), woka (Livistonia rotindufolia
(LMk), kasbi (Manifot utitillsima Phl), saguer (Arenga pinnata Merr), sagu
(Metroxylon sago Rottb.), tapaya (Carica papaya L.), paku-pakuan (Pteridophyta
sp.), pisang (Musa sp.), tali kuning (Arcangelsia flava (Menisp.), langsat (Lansium
domesticum Corr.), rambutan (Nephelium lappaceum L.), dan pala (Myristica
lepidota Blume) (Nurrani et al., 2013b).
Jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di sekitar TN Gunung
Gede Pangrango diantaranya rasamala (Altingia excelsa) dan puspa (Schima
wallichii) sebagai kayu pertukangan, kaliandra (Calliandra sp.) dan bamboo
(Gigantochloa spp.) sebagai kayu bakar, pakis haji (Dyplazium sp.), tanaman hias,
rotan, dan konyal (Passiflora suberosa). Pemanfaatan tumbuhan dari kawasan
secara illegal oleh masyarakat sekitar disebabkan rendahnya tingkat pendidikan
(92,2%), tingkat pendapatan (59,9%), dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari (88,2%)
(Sudomo dan Siarudin, 2008).
Illegal logging atau pembalakan liar berkaitan dengan aktifitas illegal yang
memungut sumberdaya hutan terutama kayu (timber forest product) sebagai
komoditas, kegiatan ini merupakan rangkaian yang dimulai dari penebangan,
pengangkutan dan penjualan kayu tidak sah atau tidak memiliki ijin otoritas
Sintesis 2010-2014 | 70
setempat. Jenis kayu yang diambil umumnya jenis kayu komersial diantaranya famili
Dipterocarpaceae, bangkirai, ulin, ramin, pulai, jati, rasamala, laban, puspa,
cangcarakan, sideung
Illegal fishing adalah pengambilan SDA laut dengan menggunakan alat tangkap
yang tidak ramah lingkungan seperti bahan peledak, bahan beracun baik alami
maupun buatan serta tidak memiliki ijin tangkap (TN Teluk Cendrawasih dan World
Wide Fund, 2009). Kegiatan ini merupakan suatu ancaman terhadap ekosistem dan
keberadaan biota laut terutama terumbu karang. Disamping itu, biota laut yang
dilindungi juga tidak terlepas dari illegal fishing dengan menggunakan alat bantu
bubu, rawai dasar atau compressor.
5. Konflik kepentingan
Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai tindakan atau arah
serta sudah menyatu sejak adanya kehidupan (Mitchell et. al, 2000 dalam Alikodra,
2009). Perbedaan dan pertentangan kepentingan muncul apabila terjadi perbedaan
pandangan, ideology dan harapan dalam pengalokasian sumberdaya dan
pengambilan keputusan. Konflik antara manusia dan satwaliar cenderung
menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwaliar, yaitu berkurangnya apresiasi
manusia terhadap satwaliar yang dapat mengakibatkan efek detrimental terhadap
upaya konservasi (Garsetiasih, 2012). Kerugian yang diakibatkan konflik diantaranya
kerusakan tanaman pertanian, perkebunan atau perkayuan, pemangsaan ternak oleh
satwa, korban jiwa dan kematian satwa.
Konflik antara Harimau Sumatera dengan masyarakat desa maupun tenaga kerja
dikarenakan adanya pembukaan hutan, eksploitasi hutan dan konversi vegetasi hutan
alam menjadi tanaman monokultur, sehingga menurunnya kwantitas, kwalitas dan
daya dukung habitat; menurunnya populasi dan jenis satwa mangsa harimau seperti
rusa, babi hutan, kera yang bermigrasi ke tempat yang lebih baik atau mati;
hilangnya tempat berlindung dan membesarkan anak serta perubahan daerah jelajah.
Keadaan tersebut telah menekan harimau sumatera untuk mencari teritorial baru
dan masuk ke pemukiman untuk mencari mangsa, sehingga telah menyebabkan
konflik antara harimau dengan manusia. Dalam kurun waktu 1996 – 2004 lebih dari
152 kasus konflik harimau dengan masyarakat yang mengakibatkan lebih dari 25
orang meninggal dunia, puluhan orang luka-luka dan ratusan ternak milik masyarakat
desa dimangsa oleh harimau (Hasiholan, 2010).
Konflik antara banteng dengan masyarakat serta masyarakat dengan pihak
pengelola TN Meru Betiri dan TN Alas Purwo terjadi di daerah penyangga taman
nasional yang berupakan areal pertanian masyarakat, kawasan hutan Perum
Perhutani dan areal Perkebunan Bandealit. Kondisi ini dicirikan oleh meningkatnya
perburuan serta kerusakan tanaman pertanian, perkebunan dan perkayuan yang
dirusak ataupun dimakan banteng, sehingga mengakibatkan kerugian sebesar 30%
sampai 50% (Garsetiasih, 2012).
Sintesis 2010-2014 | 71
Konflik antara manusia dan orangutan umumnya berupa perusakan kebun
masyarakat, perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri oleh orangutan. Hal
ini terjadi diduga orangutan sudah semakin terdesak akibat semakin menyusutnya
habitat, sehingga orangutan terpaksa memasuki wilayah perkebunan untuk
memperoleh makanan (World Wildlife Fund, 2011). Kondisi ini mengidikasikan
adanya masalah pemanfaatan ruang dan tata kelola kawasan konservasi (Yassir,
2012). Dengan adanya konflik ini, sangat disayangkan kemudian orangutan secara
cepat dicap sebagi hama. Sebab bisa jadi masalah utamanya adalah adanya
pembangunan atau konversi hutan alam yang dilakukan di habitat orangutan.
Konflik kepentingan lahan yang terjadi di beberapa kawasan konservasi, seperti
yang terjadi antara Balai TN Gn Halimun Salak dengan masyarakat adat Kasepuhan
Sirna Resmi, disebabkan oleh perbedaan persepsi, kepentingan, tata nilai dan akuan
hak kepemilikan dimana kondisi tata batas di lapangan tidak jelas, rendahnya
apresiasi masyarakat terhadap taman nasional, ketergantungan masyarakat terhadap
sumberdaya alam (Marina dan Dharmawan, 2011).
6. Sumberdaya Genetik
Pemanfaatan keragaman hayati untuk memenuhi berbagai kebutuhan bahan
makanan, obat-obatan, pakaian, kontruksi rumah maupun estetika memerlukan upaya
pelestariannya. Pelestarian keragaman hayati merupakan suatu program konservasi
sumberdaya genetik yaitu memepertahankan keragaman genetik dan meminimalkan
proses yang dapat mengurangi keragaman tersebut (Neel et al., 2001).
Aktivitas manusia di dalam pengelolaan hutan secara tidak langsung mengubah
keragaman jenis melalui aktivitas pembalakan, kondisi ini sangat berpengaruh
kepada jenis-jenis yang kelimpahannya rendah atau terancam punah (Indrioko,
2012). Jenis yang terancam punah dikatagorikan sebagai rentan (vulnerable),
terancam (endangered) dan kritis (critically endangered) menurut IUCN (1996),
memerlukan waktu kepunahan 100 tahun, 20 tahun atau 5 generasi dan 10 tahun atau
3 generasi dengan kemungkinan terjadinya kepunahan sekitar 10%, 20% dan 50%.
Dengan demikian, upaya pelestarian sumberdaya genetik untuk jenis yang terancam
punah dilaksanakan melalui konservasi secara in-situ maupun eks-situ (Indrioko,
2012).
Konservasi sumberdaya genetik telah dilakukan dengan membangun plot baik di
dalam kawasan konservasi, hutan produksi, hutan penelitian dan hutan tanaman.
Pembangunan plot konservasi jenis secara in-situ seperti eboni (Diospyros celebica
Bakh) seluas 2 ha dengan jarak tanam 5m x 5m terdapat di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung (Kiding Allo, 2012), sedangkan Shorea leprosula di PT
Sari Bumi Kusuma pada petak 3 C (20 ha) dan S. leprosula, S. macrophylla, S.
parvifolia, S. platycados, S. pinanga serta S. stenoptera pada petak 7 F (75 ha)
dengan jarak tanam 5m x 5m yang bibitnya merupakan kumpulan dari beberapa HPH
yaitu PT Musi Hutan Persada, Perum Perhutani, Pt Suka Jaya Makmur, PT Erna
Djuliawati dan PT Sarpatim (Purnomo dan Widiyatno, 2012). Pembangunan plot
Sintesis 2010-2014 | 72
konservasi secara eks-situ di hutan penelitian dan hutan tanaman untuk jenis
dilindungi diantaranya ulin (Eusideroxylon swageri dan cempaka (Michelia
champaka) (Nugroho, 2012; Murniati, 2012). Dalam rangka meningkatkan kinerja
plot diperlukan pertimbangan beberapa hal, yaitu: representasi keragaman genetik
dari plot yang dibangun, kepastian status taksonomi, keberlanjutan informasi
kekerabatan jenis, teknik pengambilan materi sampel untuk bibit maupun desain plot
didasarkan pada keragaman genetik dan pada saat puncak musim buah dan
pembungaan (Indrioko, 2012).
B. MODEL RESTORASI
Restorasi ekosistem di kawasan konservasi ditujukan untuk memulihkan
kawasan sesuai dengan struktur, komposisi, fungsi dan produktivitas hutan seperti
keadaan sebelum hutan mengalami kerusakan (ITTO, 2002). Di taman nasional
lokasi restorasi tersebut di tetapkan sebagai zona rehabilitasi yang mengalami
kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan
ekosistemnya.
Zona rehabilitasi menunjukkan bahwa kawasannya cenderung berubah dalam
setiap periode waktu tertentu, tergantung pada perubahan penutupan lahan. Dengan
demikian zona rehabilitasi bersifat temporer sehingga tidak memerlukan pengelolaan
secara khusus sebagaimana zona-zona lainnya. Pihak taman nasional dapat
menggunakan citra landsat secara berkala, untuk mengetahui perubahan penutupan
lahan dan menentukan kawasan-kawasan mana yang perlu direhabilitasi.
Zona rehabilitasi berada pada bagian yang berbatasan langsung dengan
masyarakat sekitar yang memiliki lahan garapan, memanfaatkan hasil hutan bukan
kayu dan jasa lingkungan di dalam kawasan, sehingga teknis pengelolaan zona
rehabilitasi harus dapat mengantisipasi dan meredam tekanan masyarakat terhadap
kawasan (Sawitri dan Bismark, 2013).
Tekanan masyarakat di daerah penyangga ke dalam kawasan merupakan dampak
dari beberapa faktor seperti kepentingan dalam menyediakan mata pencarian,
pendidikan, tingkat kepadatan penduduk, dan kepemilikan lahan. Masyarakat di
daerah penyangga mestinya di TNGGP dengan 66 desa di kabupaten Bogor yang
sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani (80%-98%)
dengan luas lahan 0,1 - 0,3 ha/KK, berpendidikan rendah, dan tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi. Di Kabupaten Bogor (Arshanti, 2001). Disamping itu, luas
lahan untuk usaha pertanian setiap tahun semakin berkurang akibat pengembangan
areal pemukiman, industri, pertokoan, dan prasarana umum (Wahyudi, 2012).
Dengan demikian Model rehabilitasi atau restorasi ekologi taman nasional perlu
disinkronikan dengan pengembangan pembangunan dalam daerah penyangga,
termasuk upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi para pihak dalam kegiatan
di zona rehabilitasi dalam bentuk pengelolaan kolaborasi agar fungsi dan manfaat
di TNGGP dapat dioptimalkan (Kantor Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup, 1986 dalam Arshanti, 2001).
Sintesis 2010-2014 | 73
Kriteria Lokasi Restorasi
Perubahan dan peningkatan fungsi di enam taman nasional yang mengalami
perluasan dengan hutan produksi, maka areal hutan produksi yang umumnya hutan
tanaman monokultur perlu di restorasi agar sesuai dengan fungsi taman nasional.
Sebagai contoh, Zona rehabilitasi, di TNGP areal ini seluas 19% dari luas kawasan
dengan model restorasi yang ditetapkan adalah Model adopsi pohon intenasional,
adopsi pohon, gerhan partisipatif, gerhan dan pengelolaan batas luar kawasan
berbasis masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi program gerhan
partisipatif atau pengelolaan batas luar berbasis masyarakat dapat dilihat dari
tingkatan persepsi masyarakat terhadap model rehabilitasi. Persepsi ini dapat
dipengaruhi oleh tipologi masyarakat yang terlibat langsung maupun tidak langsung,
serta kelembagaan Model rehabilitasi yang dibangun oleh para pemangku
kepentingan.
Lokasi/bagian kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi yang
terpenting adalah luas kerusakan kawasan hutan konservasi, kekayaan jenis
tumbuhan, sebaran satwalliar langka dan dilindungi, penutupan lahan dan lereng
(Gunawan, 2012). Kriteria prioritas kawasan hutan yang segera direstorasi dengan
variabel penilaian dan skala intensitas tercantum pada Tabel 5.1 dan 5.2
Tabel 5.1. Kriteria dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan
konservasi
Skala
Persyaratan yang harus Variabel
No Kriteria Bobot intensit
dipenuhi Penilaian
as
1. Luas kerusakan 0,219 Besarnya/luasnya <0,25 1
kawasan hutan kerusakan kawasan hutan 0.25-0,5 ha 2
konservasi konservasi >0,5 -0,75 ha 3
>0,75-1 ha 4
>1ha 5
2. Kekayaan jenis 0,151 Jumlah jenis tumbuhan di <30 5
tumbuhan kawasan hutan konservasi 30-59 4
60-89 3
90-119 2
>119 1
3. Sebaran satwaliar 0,128 Jumlah beserta sebaran <2 jenis 5
langka atau (wilayah jelajah) satwaliar 2 jenis 4
dilindungi langka atau dilindungi di 3 jenis 3
kawasan hutan konservasi 4 jenis 2
>4jenis 1
4. Penutupan lahan 0,117 Tipe penutupan lahan di Hutan primer 1
kawasan konservasi Hutan sekunder 2
Hutan tanaman 3
Semak/belukar 4
Sintesis 2010-2014 | 74
Skala
Persyaratan yang harus Variabel
No Kriteria Bobot intensit
dipenuhi Penilaian
as
Lahan terbuka 5
*)
5. Lereng (slope) 0,110 Tipe kelas lereng (slope) 0-8% 1
di kawasan hutan >8-15% 2
konservasi >15-25% 3
>25-45% 4
>45% 5
6. Intensitas hujan*) 0,065 Curah hujan tahunan rata- <13,6mm/hari 1
rata/hari hujan dalam satu 13,6-20,7 2
tahun di kawasan hutan mm/hari
konservasi >20,7-27,7 3
mm/hari
>27,7-34,8 4
mm/hari
>34,8 mm/hari 5
7. Kepadatan 0,063 Jumlah kepadatan <125 jiwa/km2 1
penduduk di desa- penduduk di desa-desa 125-249 2
desa sekitar sekitar kawasan hutan jiwa/km2
kawasan konservasi konservasi 250-374 3
jiwa/km2
375-499 4
jiwa/km2
>499 jiwa/km2 5
8. Jenis tanah*)**) 0,054 Tipe kelas jenis tanah Entisol, aquic, 1
berdasrkan kepekaan alfisol/aqualf,
terhadap erosi di kawasan aquult
hutan konservasi Ultisol 2
Inceptisol, 3
alfisol
Andisol,oxisol,v 4
ertisol, spodosol
Entisol, histosol, 5
rendoll
9. Elevasi/ketinggian 0,051 Tipe kelas <1.000 mdpl 1
elevasi/ketinggian di 1.000-1.500 m 2
kawasan hutan konservasi dpl
>1.500 -2.000 m 3
dpl
>2.000 – 2.500 4
mdpl
>2.500 dpl 5
10. Luas 0,041 Ukuran/luas >1 ha 1
pemilikan/penguasa pemilikan/penguasaan
an lahan rata-rata lahan rata-rata masyarakat
Sintesis 2010-2014 | 75
Skala
Persyaratan yang harus Variabel
No Kriteria Bobot intensit
dipenuhi Penilaian
as
masyarakat di desa- di desa-desa sekitar
desa sekitar kawasan hutan konservasi
Keterangan: *) Diadopsi dari SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan
Tata Cara Penetapan Hutan Lindung
**) Nama tanah menurit USDA Soil taxonomy 1975 (Hardjowigeno, 2003)
Tabel 5.2. Penilaian katagori prioritas restorasi Taman Nasional Gn Gede
Pangrango
Skala
No. Kriteria kawasan yang perlu segera direstorasi Bobot Skor
intensitas
I. Aspek tingkat kepentingan suatu kawasan hutan
konservasi
1. Keberhasilan jenis langka dan dilindungi 0,310 5 1,550
2. Keanekaragaman tipe ekosistem 0,181 4 0,724
3. Potensi keanekaragaman jenis 0,142 5 0,710
4. Ekosistem penting sebagai penyedia air dan 0,127 3 0,381
pengendalian banjir
5. Pemanfaatan SDA secara lestari oleh para 0,122 5 0,610
pemangku kepentingan
6. Lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata 0,050 5 0,250
alam
7. Tempat peninggalan budaya 0,035 2 0,070
8. Logistik bagi penelitian dan pendidikan 0,033 4 0,132
Total skor aspek tingkat kepentingan 1 4,270
II. Aspek tingkat kemendesakan suatu kawasan hutan
konservasi untuk direstorasi
1. Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di 0,287 1 0,287
suatu kawasan hutan konservasi
2. Besarnya kepedulian para pemangku kepentingan 0,182 5 0,910
sebagai penerima manfaat kawasan hutan
konservasi
3. Bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu 0,162 1 0,162
kawasan hutan konservasi
4. Persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan 0,132 2 0,264
konservasi
5. Macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu 0,106 5 0,530
kawasan konservasi
6. Luasan suatu kawasan hutan konservasi 0,069 3 0,207
7. Keberadaan hutan miskin jenis di suatu kawasan 0,062 3 0,186
hutan konservasi
Total skor aspek tingkat kemendesakan 1 2,546
Sintesis 2010-2014 | 76
Berdasarkan hasil penilaian prioritas restorasi kawasan hutan konservasi,
diindikasikan bahwa tingkat kepentingan TNGGP untuk di restorasi termasuk tinggi
(4,427), sedangkan tingkat kemendesakannya untuk segera di restorasi tergolong
rendah (2,546) (Tabel 5.4). Hal ini sesuai dengan fungsi dan manfaat kawasan yang
memiliki peran sangat penting sebagai pengatur tata air, habitat satwaliar dan
penghasil jasa lingkungan untuk lingkungan sekitarnya. Tingkat kemendesakan yang
tergolong rendah disebabkan fungsi kawasan konservasi telah berjalan walaupun
komponen ekosistemnya masih merupakan hutan tanaman monokultur atau tanaman
budidaya.
Penetapan zona rehabilitasi di TNGGP bertujuan untuk pemulihan fungsi ekosistem
kawasan TNGGP yang berasal dari hutan produksi tanaman monokultur seperti pinus
(Pinus merkusii), damar (Agathis lorantifolia) dan ecaliptus (Eucalyptus alba) serta
tanaman budidaya. Luasan zona rehabilitasi adalah 4.367,192 ha (19%), yang terbagi
ke dalam wilayah Cianjur seluas 1.298,54 ha, wilayah Sukabumi 1.823,575 ha dan
wilayah bogor seluas 1.245,077 ha (Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,
2009). Luasan zona rehabilitasi dalam satu hamparan sangat bervariasi dengan kisaran
3,257 ha – 317,359 ha. Untuk mengefektifkan pengelolaan dan kegiatan rehabilitasi
maka zona rehabilitasi dengan luas yang relatif kecil dilakukan perkayaan dengan jenis
pohon lokal seperti kegiatan penanaman di Resort Sarongge (Gambar 5.1)
Zona rehabilitasi yang berasal dari tanaman perkebunan kopi (Coffea sp.), seperti
yang terdapat di Megamendung, Resort Tapos, kegiatan awal rehabilitasi adalah
pembabatan tanaman bekerjasama dengan masyarakat dan aparat desa setempat,
kemudian dilakukan rehabilitasi kawasan dengan penanaman pohon buah-buahan dan
tumbuhan jenis asli (Gambar 5.2).
Sintesis 2010-2014 | 77
Gambar 5.2. Tanaman kopi di bawah tegakan pinus dan kegiatan pembabatan di zona
rehabilitasi, Resort Tapos
Sintesis 2010-2014 | 78
Jarak Pertum-
Model Luas Jenis Biaya waktu Pemberdayaan
No tanam buhan
Rehabilitasi (ha) pohon (ha) (tahun) masyarakat
(m) (%)
gulma
- Penyulaman
- Pengeukuran
pohon
2. Adopsi pohon 38 10 5x5 100 43.200.000 3 - Penanaman
- Pemeliharaan
- Pembersihan
gulma
- Penyulaman
- Pengukuran
pohon
1. Model Restorasi
a. Model Adopsi Pohon Pola Internasional
Pelaksanaan model ini telah dilaksanakan dengan sistem Miyawaki pada bulan
Januari 2012 di Blok Los Beca, Cimungkat seluas 1 ha, dengan tanaman 33 jenis dan
jarak tanam 0,7 m x 0,7 m. Hal ini dimaksudkan untuk memperpendek suksesi tanaman
seperti di hutan alam. Pelaksanaan kegiatan dimulai dari persiapan lahan, pembibitan,
penanaman dan pemeliharaannya dilakukan oleh Organization for Industrial, Spiritual
and Cultural Advancement (OISCA) dengan dana dari Mitsubishi Corporation dan
melibatkan Kelompok Tani Cipanas, Desa Kadudampit dan Baru Geulis, Desa Caringin
serta pam swakarsa yang beranggotakan 40 orang (Gambar 5.3).
Sintesis 2010-2014 | 79
Gambar 5.3. Model adopsi pohon internasional di Blok Los Beca, Resort
Cimungkat
Sintesis 2010-2014 | 80
c. Model Gerhan Partisipatif
Gerakan Rehabilitasi Lahan Partisipasif dilaksanakan di Blok Ramusa, Blok
Eucalyptus dan Blok Lambau, Resort Gunung Putri seluas 50 ha. Kegiatan ini
dilakukan oleh masyarakat yang tergabung dalam KTH Puspa Lestrari, tokoh
masyarakat, serta didampingi oleh TNGGP, Dinas PKT, Tim Pakar Institut Pertanian
Bogor, dan LSM ESP USAID dalam bentuk Pengelolaan Konservasi Bersama
Masyarakat (PKBM) (Sumardiani, 2008). Bibit tanaman pokok dan pohon buah-
buahan disediakan oleh TNGGP, sebanyak 21.100 bibit, karena kualitas bibit yang
kurang baik dan kurangnya pemeliharaan maka tingkat keberhasilan rendah, sekitar
43% (Tumanggor, 2008).
d. Model Gerhan
Gerakan Rehabilitasi Lahan yang dilaksanakan di kawasan TNGGP berlokasi di
lahan-lahan kritis berupa semak belukar yang telah ditinggalkan oleh perambah
hutan ataupun di kawasan yang memerlukan perkayaan jenis (Gambar 5.5). Jenis
pohon yang ditanam terbatas pada tanaman asli, dikerjakan oleh masyarakat terutama
anggota pam swakarsa didampingi petugas TNGGP melakukan penanaman dan
pemeliharaan selama satu tahun, karena keterbatasan waktu pemeliharaan maka
tingkat keberhasilannya sangat bervariasi sekitar 40 -80% (Tabel 5.3).
Gambar 5.5 Pohon rasamala (Altingia excelsa Noronha), tanaman Model Gerakan
Rehabilitasi Lahan di Resort Cimungkat, Sukabumi
Sintesis 2010-2014 | 81
2. Implementasi Restorasi
Kesesuaian model restorasi zona rehabilitasi TNGGP dilakukan dengan
mengevaluasi keberhasilannya melalui beberapa aspek penentu, tercantum dalam
Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Kesesuaian model restorasi zona rehabilitasi
Model Restorasi
Aspek Penentu Adopsi Pengelolaan
No. Adopsi Gerhan
pohon Gerhan batas
pohon partisipatif
internasional kawasan
1. Pembagian dan letak 1 2 1 3 2
zonasi
2. Aturan pendukung 1 2 2 3 1
3. Tipologi masyarakat 1 2 1 3 1
4. Persepsi masyarakat 3 3 2 1 1
5. Para pihak terkait
- Balai Taman 3 3 3 3 3
Nasional
- Perhutani 1 2 3 2 2
- Masyarakat 3 3 3 2 1
- LSM 3 3 2 1 1
- Kelembagaan desa 1 1 3 1 1
- Universitas 1 1 3 1 1
- Dinas Kehutanan 1 1 3 1 1
6. Partisipasi dan 3 3 2 1 1
pemberdayaan
masyarakat
7. Keberhasilan 3 3 1 2 1
pertumbuhan tanaman
8. Pendampingan 3 3 1 1 1
masyarakat
Nilai total 31 32 30 25 18
Keterangan : 3 = tinggi , 2 = sedang dan 1 = rendah
Sintesis 2010-2014 | 82
penghasilannya dari Rp. 400.000,-/bulan menjadi RP. 1.000.000,-/bulan (Soemarto,
2013).
Di Resort Tapos dan Bodogol, Kabupaten Bogor, masyarakat yang tergabung
dalam kelompok tani hutan diberi bantuan berupa ternak domba dan kambing
(Tangguh, 2012; komunikasi pribadi). Di Resort Cimungkat, masyarakat yang
tergabung dalam kelompok tani hutan yang mengikuti adopsi pohon diberi pelatihan
tentang pertanian organik, peternakan dan outbond oleh OISCA (Hidayat, 2012;
komunikasi pribadi). Sedangkan Model rehabilitasi lainnya seperti Gerhan
Partisipasif dalam bentuk PKBM dengan rencana kegiatan di luar kawasan berupa
budidaya jamur, tanaman hias, pembuatan kompos dan pupuk organik serta
pemanenan dari pohon buah-buahan tidak dapat berjalan dengan baik karena
masyarakat masih sangat intensif mengolah lahan garapannya berupa tanaman
sayur-sayuran (Mulyani, 2007).
Kegiatan restorasi di TNGHS ditunjang oleh program adopsi pohon yang telah
dilakukan bersama dengan 14 adopter dan masyarakat ( Tabel 5.5).
Tabel 5.5. Kegiatan restorasi di TN Gn Halimun Salak
Jumlah bibit
No. Adopter Luas (ha)
(batang)
1. Mitra TNGHS 9.690 10
2. PT KMI 10.000 10
3. PT Satria Dharma Pusaka Crawford 1.000 10
4. Yamaha Jelajah Alam 2.300 3
5. PT Grace Special Chemicals Indonesia 200 0,5
6. Yamaha Green United 1000 2
7. Kagoshima University 5000 10
8. Universitas Pakuan 190 0,5
9. PILI Network 100 0,25
10. PT AIA 2.000 4
Sintesis 2010-2014 | 83
Jumlah bibit
No. Adopter Luas (ha)
(batang)
11. Gunma Safari Park 1.230 3
12. PT Cevron 10
13. PT Amerta Indah Otsuka (Pocari) 5000 40
14. Kuskus Outdoor Advanture and Nature Club 150 0,5
37.860 93,75
Sintesis 2010-2014 | 84
Kegiatan rehabilitasi di taman nasional mengacu pada Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia, No:P.14/Menhut-II/2012 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012 untuk mendukung
peningkatan fungsi dan daya dukung DAS berbasis pemberdayaan masyarakat
melalui pembuatan persemaian permanen, penanaman bibit hasil Kebun Bibit rakyat
dan Kegiatan Bantuan Langsung masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLM-
PPMPBK). Sejalan dengan Permenhut diatas maka keberhasilan restorasi di taman
nasional didukung oleh tersedianya pembibitan yang baik, hal ini menuntut
kesadaran pihak pengelola dan masyarakat untuk menyediakan bibit yang baik, jenis
lokal, sebagai sumber air dan pakan satwaliar, tetapi kondisi ini belum sepenuhnya
terwujud.
Pengelolaan zona rehabilitasi dilakukan secara kolaborasi dengan tokoh
masyarakat sekitar kawasan, pemegang konsesi tambang seperti Restorasi bekas
kebakaran yang dilakukan oleh TN Kutai dan WWF tahun 2002-2003, PT PAMA
dan PT KPC, PT Indomico dan Universitas dimulai dengan penanaman pohon seluas
3 ha di sekitar Mentoko (Gambar 5.7). Disamping itu, restorasi untuk perkayaan
juga dilakukan pada saat kegiatan workshop atau penelitian
.
Gambar 5.8. Perkayaan pohon yang dilakukan oleh peneliti dan pengunjung
Sintesis 2010-2014 | 85
Selanjutnya, pelaksanaan restorasi oleh Dishut Kukar pada tahun 2009 (1200
ha), BP DAS tahun 2010 (1800 ha), BP DAS tahun 2011 (1200 ha), BP DAS tahun
2012 (600 ha) dan 2013 (600 ha) oleh perusahaan tambang (Gambar 5.9).
Jenis tanaman lokal yang ditanam adalah ulin, kapur dan meranti serta tanaman
pakan untuk orang utan seperti sengkuang dan tabu hitam. Kkeberhasilan
pertumbuhan tanaman sangat rendah sampai sedang karena kurangnya pemeliharaan
dan monitoring serta evaluasi, bahkan di kawasan konflik seperti zona khusus
penanaman yang dilakukan oleh TNI memiliki keberhasilan sangat rendah.
Sintesis 2010-2014 | 86
Gambar 5.10. Pembagian wilayah rehabilitasi oleh Perusahaan di sekitar TN Kutai
Kegiatan rehabilitasi oleh konsesi pertambangan di sekitar TN Kutai dengan
ketentuan prosedur sebagai berikut: pemetaan lokasi, survey lokasi, penanaman,
monitoring keberhasilan dan serah terima kegiatan dalam jangka waktu 3 tahun.
Tanaman perkayaan meliputi jenis tanaman Dipterocarpaceae sebanyak 80%, dan
tanaman MPTS atau buah-buahan 20% dengan jarak tanam 4 x 5 m atau 500 pohon –
700 pohon per hektar pada lokasi yang tidak berbatu, bukan rawa atau sungai serta
menghindari kawasan yang telah bervegetasi.
PT Santan yang telah melaksanakan rehabilitasi 600 ha pada tahun 2013, selama
2 bulan dengan biaya penanaman Rp. 800.000,- -Rp. 1.200.000,- /hektar melibatkan
masyarakat 40 orang /desa. Jenis tanaman perkayuan dan buah-buahan yang ditanam
diantaranya ulin, meranti, kapur, medang, sengkuang, bayur, temu hitam, durian dan
salam, 30 – 60 cm, dengan keberhasilan sekitar 80%. Sedangkan PT Indominco
Mandiri juga telah melaksanakan rehabilitasi dengan jenis tanaman 80 % meranti, 1
% ulin serta 19 % tanaman lokal, keberhasilan tanaman hanya sekitar 30%,
rendahnya tingkat keberhasilan penanaman karena perusahaan ini tidak mengikuti
prosedur rehabilitasi yang telah dicanangkan oleh TN Kutai (Gambar 5.11).
Sintesis 2010-2014 | 87
Strategi manajemen taman nasional dalam konteks penelitian RPI 13 meliputi
aspek restorasi ekosistem, pengelolan daerah peyangga dan pengelolaan kolaboratif.
Restorasi ekosistem di taman nasional dikembangkan untuk tujuan perbaikan tata air
(DAS) Fungsi habitat dan fungsi ekonomi sesuai dengan parameter zonasi. Faktor
kesesuaian lahan, jenis asli, tofografi, ketinggian tempat, tingkat kerusakan habitat,
serta fungsi habitat dan tata air mempengaruhi terhadap teknik sivikultur restorasi.
Di Taman Nasional Gn Ceremai (TNGC), kegiatan restorasi dilaksanakan
dengan tiga pola, yaitu rehabilitasi kawasan bersama masyarakat, rehabilitasi
bersama mitra pohon dan restorasi kawasan dukungan JICA (Kurung dan Ginanjar,
2011). Rehabilitasi Hutan dan Lahan di kawasan TNGC dilakukan sejak tahun 2009
(300 ha), tahun 2010 (1.800 ha) dan tahun 2011 (1.300 ha). Pelaksanaan RHL
diprioritaskan pada lahan kritis bekas garapan dan kebakaran dengan pola
pengkayaan tanaman, jarak tanam 5 x 5 m, jenis pohon local dan jenis MPTS.
Program rehabilitasi bersama mitra pohon dilakukan secara swadaya oleh swasta
seperti Bank rakyat Indonesia, Perbanas Cirebon, BPK Penabur Cirebon, MTs
Husnul Khotimah dan PT Yamaha Musik Indonesia serta masyarakat peduli
kelestarian, telah ditanam sebanyak 25.000 bibit. Restorasi dengan dukungan dari
JICA dilakukan di bekas garapan sayuran, lahan bekas kebakaran dan kawasan yang
berdekatan dengan hutan alam.
4. Penelitian Penunjang Restorasi
Bantimurung dikenal sebagai kawasan dengan jumlah populasi dan spesies kupu-
kupu endemik yang tinggi. Namun demikian, jumlah kupu -kupu kian lama kian
menurun, beberapa diantaranya bahkan berada di ambang kepunahan. Kecenderungan
penurunan populasi jenis kupu - kupu tersebut disebabkan oleh degradasi habitat kupu -
kupu akibat tekanan penduduk, perambahan kawasan dan aktivitas wisata di Ex. TWA.
Bantimurung serta karena adanya kegiatan penangkapan kupu-kupu secara liar (Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan, 2005). Guna menjaga keberadaan
populasi jenis tumbuhan dan satwa kupu-kupu dalam keadaan seimbang dengan daya
dukung habitatnya maka Badan Penelitian Kehutanan Makassar melaksanakan kegiatan
pembinaan habitat kupu-kupu. Kegiatan pembinaan habitat kupu-kupu dilakukan secara
bertahap terdiri dari studi fenologi, teknik perbanyakan dan pembangunan demplot
pertanaman tanaman pakan kupu-kupu (Suryanto et al., 2011).
Fenologi tumbuhan pakan ulat dan kupu-kupu umumnya dalam fase
vegetative. Fase generatif terjadi pada mali - mali ( Leea indica Merr) mulai
berbunga bulan Oktober-Desember dan berkembang menjadi buah pada
Februari - April, Micromelum minutum berbunga dan berbuah antara bulan
Juni hingga November. Dracontomelon dao berbunga dan buah pada bulan
Juni hingga Desember. Buah muda bangkala (Nauclea orientalis) muncul pada
bulan Maret dan masak pada bulan April. Cinnamomum celebicum Koorders.
pada bulan Juli - Oktober terdapat satu pohon mengalami masa pembungaan
Sintesis 2010-2014 | 88
dan pembuahan. Passiflora sp pada bulan agustus tampak berbuah yang sudah
masak berwarna merah tua. Kelimpahan anakan alam mali - mali (Leea indica)
kurang dengan nilai kerapatan semai 1.5 dan frekuensi 0,666 dan pancang
sebesar 0.186 dan nilai frekuensi jenis 1 sedangkan kelimpahan permudaan
alam Micromellum minutum cukup tinggi dengan nilai sebesar 8.625 per m2 dan
frekuensi 1 sedangkan pancang 0.32 per m2 dengan frekuensi jenis 1.
Persentase tumbuh anakan alam di lapangan 90 %. Kerusakan disebabkan oleh
serangan babi.
Perubahan hidroperiodik tidak berpengaruh terhadap aktivitas vegetatif dan
generatif tumbuhan pakan. Beberapa tumbuhan belum berbunga dan berbuah selama
periode pengamatan, perbanyakan vegetatif perlu menjadi perhatian. Media tabur
terbaik Dracontomelon dao adalah media pasir dan arang sekam padi. Micromellum
minutum dapat ditabur media apapun. Media sapih dan naungan terbaik Micromelum
minutum adalah Campuran tanah, pupuk kandang dan sekam padi komposisi 1:1:1
dengan Intensitas naungan 50%. Draconto melondao dapat tumbuh baik disemua
media sapih dengan naungan 50%.
Perlakuan takaran pupuk kandang berpengaruh terhadap tinggi dan diameter
semua jenis tanaman pakan kupu-kupu. tanaman jenis dao adalah 900 gr per lubang
tanam dengan tinggi 69.7 cm dan diamter 10.57 mm, tanaman jenis mali - mali
adalah 600 gr per lubang tanam dengan tinggi 83.82 cm. dan diameter 7.98 mm
dengan jumlah cabang rata - rata 2.72. tanaman Micromelum minutum adalah pada
takaran control dengan tinggi rata-rata 62.76 cm, diameter rata-rata 5.98 mm dan
jumlah daun rata - rata 620.86. Draconto melondao tumbuh dengan baik pada araea
terbuka, mali - mali tumbuh baik dan dapat tumbuh diarea naungan dan berbunga
pada september berbuah pada maret, Micromelum minutum tumbuh baik dan tampak
mulai berbunga. Pengamatan jumlah daun menunjukkan bahwa jumlah daun
mengalami peningkatan pada akhir musim hujan. Belum tampak peran dao untuk
populasi kupu-kupu karena umur tanaman muda sehingga belum berbunga dan
memberi pengaruh terhadap populasi kupu sedangkan pada beberapa jenis tanaman
lain tampak ditemukan beberapa jenis serangga yaitu kupu kupu dewasa diatas bunga
mali-malai dan ulat ditemukan pada tanaman Micromelum minutum. Keberadaan ulat
dan kupu kupu dia rea demplot merupakan hal posistif bagi perkembangan upaya
pembinaan habitat kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Di TN Gn Ceremai, model penataan ruang restorasi dilakukan dengan
mempertimbangkan tujuan restorasi dalam rangka pemulihan fungsi lindung hidrologi
(58,25%), pemulihan habitat satwa (10,75%) dan penyangga perekonomian masyarakat di
sekitar yang tergantung pada hutan (31,01%) (Gunawan, 2011).Jenis tanaman asli
setempat yang disarankan untuk restorasi kawasan pada ketinggian kurang 500 m dpl
diantaranya adalah benda (Artocarpus elasticus Reinw), hantap (Sterculia javanica R.Br.),
caringin (Ficus benyamina L. ), Dahu (Dracontomelon mangiferum L), lame (Alstonia
scholaris R.Br.), kiara (Curzii King); ketinggian 500m – 1000 m dpl adalah caringin ,
Sintesis 2010-2014 | 89
leungsir (Pometia tomentosa T&B, dangdeur (Gossampinus heptaphylla), simpur
(Dillenia aurea SMITH), huru (Litsea sp.); ketinggian lebih dari 1000 m dpl adalah
saninten (Castanopsis argentea A.DC), pasang balung (Quercus semiserrata Roxb),
kawoyang (Pygeum latifolium Miq), songgom (Barringtonia gigantostachys K.et V.) dan
kalimorot (Castanopsis javanica (Bl.) A.DC.). Disamping itu jenis-jenis MPTS yang
ditujukan untuk mendukung perekonomian masyarakat diantaranya alpuket (Persea
americana ), Aren (Arenga pinnata), bambu (Bambusa sp.), cananga (Cananga odorata),
dan salam (Eugenia polyantha).
Sintesis 2010-2014 | 90
VI. PENGELOLAAN KOLABORATIF
Sintesis 2010-2014 | 91
Implementasi kebijakan Permenhut No. P 19/2004 tentang Pengelolaan
kolaboratif KSA dan KPA menurut Kementerian Kehutanan menekankan adanya
proses kerjasama oleh para pihak yang saling bersepakat, lebih lanjut, pada pasal 7
point (2) ditekankan bahwa kewenangan penyelenggaraan pengelolaan KSA dan
KPA tetap pada Menteri Kehutanan. Sedangkan pengelolaan kolaboratif menekankan
adanya pembagian kewenangan dalam penangambilan keputusan. Selanjutnya,
penerapan pola-pola kolaborasi, TN Sebangau termasuk dalam katagori konsultasi
(Yuwati, 2011), dimana setiap program kerja yang melibatkan masyarakat, dilakukan
konsultasi dan sosialisasi untuk mendapatkan input dari masyarakat, tetapi
kewenangan dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan dan evaluasi program tetap
berada di pihak pengelola yaitu Balai TN Sebangau. Kondisi yang demikian ini
menunjukan adanya pola-pola pengelolaan kolaborasi yang terjadi di beberapa taman
nasional di Indonesia.
A. Dasar Kebijakan
Kebijakan adalah seluruh tindakan yang disetujui memberikan konsekuensi
penting terhadap banyak orang dan sumberdaya alam dan dilakukan oleh
pemerintah, institusi, kelompok maupun individu (Hummel, 1984; Ellefson, 1992).
Tindakan yang diambil oleh pemerintah sebagai sebuah strategi untuk mewujudkan
tujuan Negara disebut sebagai kebijakan publik (Nugroho, 2009). Salah satu bagian
atau proses kebijakan publik antara lain kebijakan pengelolaan sumberdaya alam
yang dilakukan melalui pendekatan teknis maupun kebijakan terpadu, interdisiplin,
serta berbasiskan kemampuan sumberdaya lokal dengan melibatkan semua para
pemangku kepentingan (stakeholder) (Ramdan et. al, 2003).
Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam kawasan
konservasi yang berbasis ekosistem berbentuk taman nasional, beberapa kebijakan
yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, diantaranya adalah:
1. Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
2. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
3. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang antara lain
menyatakan sub bidang kehutanan merupakan urusan pilihan yang dapat dikelola
daerah
4. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang anatara laian
mencantumkan kewajiban perusahaan menunaikan tanggung jawab social dan
lingkungan (CSR) sebesar maksimal 2% dari laba perusahaan.
5. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
6. Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 Tahun 2004 tentang Pengelolaan
kolaboratif KSA dan KPA
7. Peraturan Menteri Kehutanan No. 56 Tahun 2006 tentang Zonasi Taman Nasional
Sintesis 2010-2014 | 92
8. Peraturan Menteri Kehutanan No. 64 Tahun 2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan
9. Peraturan Menteri Kehutanan No. 85 tahun 2014 tentang Kerjasama
Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian alam
Sintesis 2010-2014 | 93
Pengaruh Prioritas
Stakeholder Kepentingan terhadap TN berdasarkan
Babul kepentingan
Dinas Peningkatan hasil pertanian ++ / - 3
Pertanian masyarakat
Maros
Pemerintah Peningkatan kesejahteraan ++ 2
desa dan masyarakat sekitar TN Babul
Kecamatan
BP2KP Maros Peningkatan kapasitas petani ++ 3
BPN Maros Pencegahan sertifikasi ++ 4
kawasan hutan
PNPM Pengembangan Hutan Rakyat + 5
Mandiri
LSM Peningkatan kapasitas ++ / - 2
masyarakat (advokasi)
Perguruan Kelestarian kawasan TN ++ 1
tinggi dan Babul dan kesejahteraan
lembaga masyarakat
penelitian
Keterangan : +++ / --- = tinggi, ++ / -- = sedang, + / - = rendah
25.00
Keterangan :
A B 1 1. Balai TN Babul
2. Masyarakat sekitar TN Babul
20.00 13 2
3. PDAM Maros
4 8 4. Disparbud Maros
12 5. Lembaga Pengelola Air Desa
15.00
5 6
3 6. Dishutbun Maros
Interest
Sintesis 2010-2014 | 94
Stakeholder dengan tingkat kepentingan tinggi tetapi memiliki pengaruh yang
rendah diklasifikasikan sebagi Subjects (Kotak A). Stakeholder ini memiliki
kapasitas yang rendah dalam pencapaian tujuan, akan tetapi dapat menjadi
berpengaruh dengan membentuk aliansi dengan stakeholder lainnya (Reed et al,
2009). Disamping itu, stakeholder ini sangat bisa membantu dan berkontribusi sesuai
dengan kepentingan/manfaat yang diperoleh sehingga hubungan yang baik harus
tetap dibina (Thompson, 2011).
Berdasarkan defenisi yang dikemukakan oleh Townsley (1998) tersebut, maka
yang termasuk stakeholder primer dalam contoh pengelolaan TN Babul adalah :
1. Balai TN Babul. Sebagai pengelola kawasan berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.03/Menhut-II/2007 sehingga sangat berkepentingan
terhadap kelestarian kawasan TN Babul.
2. Masyarakat Sekitar TN Babul. Masyarakat sekitar berkepentingan dalam
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam yang terdapat dalam TN Babul
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
3. PDAM Maros. PDAM Maros berkepentingan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan air yang bersumber dari kawasan Taman Nasional dalam memenuhi
kebutuhan air bersih masyarakat Maros.
4. Disparbud Maros. Instansi ini berkepentingan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan jasa wisata yang terdapat dalam kawasan TN Babul.
5. Lembaga Pengelola Air Desa. Mendapatkan manfaat dari pemanfaatan air yang
bersumber dari kawasan TN Babul yang digunakan oleh masyarakat sekitar
untuk kebutuhan sehari-hari.
Stakeholder dengan tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi
diklasifikasikan sebagai Key Players (Kotak B), sehingga kelompok ini harus
dilibatkan secara penuh termasuk dalam mengevaluasi strategi baru (Reed et al.,
2009; Thompson, 2011). Stakeholder yang termasuk dalam kelompok ini dapat
dikatakan sebagai stakeholder sekunder dalam pengelolaan TN Babul adalah :
1. Dishutbun Maros. Stakeholder ini berkepentingan terhadap keberhasilan
pengelolaan hutan secara umum di Kabupaten Maros.
2. Dinas Pertanian Maros. Stakeholder ini berkepentingan dalam meningkatkan
kesejahteraan petani melalui peningkatan produksi hasil pertanian dan
berpengaruh terhadap kelestarian kawasan TN Babul.
3. Pemerintah desa dan kecamatan. Stakeholder ini berkepentingan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar TN Babul.
4. LSM lokal. Stakeholder ini tidak terlibat langsung dalam pengelolaan TN Babul,
tetapi dapat berperan dalam meningkatkan kapasitas masyarakat melalui kegiatan
pendampingan dan penguatan kelembagaan masyarakat.
5. Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian. Stakeholder ini tidak terlibat langsung
dalam pengelolaan TN Babul, tetapi dapat berperan dalam memberikan
Sintesis 2010-2014 | 95
dukungan penelitian yang aplikatif kepada masyarakat serta membantu
mendorong pengelolaan TN Babul yang efektif.
Stakeholder dengan tingkat kepentingan dan pengaruh yang rendah
diklasifikasikan sebagai Crowd (Kotak C), dimana pelibatan kelompok ini berubah
seiring berjalannya waktu, tetapi komunikasi yang baik tetap harus dijalin.
Stakeholder yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah BPN Maros yangi tidak
terlibat langsung dalam pengelolaan TN Babul, tetapi dapat memberikan pengaruh
positif terhadap pengelolaan TN Babul melalui pencegahan terjadinya sertifikasi
lahan hutan menjadi hak milik dan PNPM Mandiri yang juga tidak terlibat langsung
dalam pengelolaan TN Babul, tetapi dapat memberikan pengaruh positif pengelolaan
TN Babul melalui pengembangan hutan rakyat (HR).
Stakeholder dengan tingkat kepentingan yang rendah tetapi memiliki pengaruh
yang tinggi diklasifikasikan sebagai Context setters (Kotak D), kelompok ini relative
bersifat pasif tetapi dapat berubah menjadi key player sehingga hubungan dengan
stakeholder ini harus dibina guna melestarikan kawasan. Stakeholder yang termasuk
dalam kelompok ini adalah BP2KO Maros BP2KP Maros yang berkepentingan
dalam meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan kapasitas petani dan
hasil pertanian serta keberadaannya memiliki pengaruh terhadap kelestarian kawasan
TN Babul.
Mengingat kualitas sumberdaya manusia di sekitar kawasan taman nasional
umumnya rendah dilihat dari tingkat pendidikannya, maka bentuk kolaborasi yang
dilakukan di TN Babul adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia atau
peningkatan kemampuan (capacity building) melalui kegiatan penyuluhan dan
pelatihan, yang melibatkan stakeholder yang berkaitan seperti Badan Pelaksana
Penyuluhan dan Tanaman Pangan, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan
Perkebunan serta Lembaga Swadaya Masyarakat (Kadir, 2013) .
Pengelolaan jasa lingkungan air melibatkan Perusahaan Air Minum Daerah
(PDAM), Lembaga Pengelola air di masyarakat dan Dinas Pariwisata hendaknya
berperan aktif dalam kelestarian kawasan dalam sistem bagi hasil, yang dituangkan
dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Kerjasama pengelolaan pariwisata antara
TN Babul dan Pemda Maros, menghasilkan kesepakatan dalam bentuk bagi hasil
25%: 75%.
Keberhasilan implementasi kolaborasi di beberapa taman nasional juga diikuti
kegagalan pelaksaannnya di beberapa kawasan seperti TN Kutai dan TN Danau
Sentarum. Kegagalan kolaborasi di TN Danau Sentarum diakibatkan tidak adanya
kepercayaan antar pemangku kepentingan dan kompetisi dalam menentukan arah
kebijakan taman nasional dan kegiatan masyarakat (Anshari, 2006). Sedangkan di
TN Kutai, kegagalan kolaborasi karena perebutan kendali pengelolaan antara
pemangku kawasan yang mewakili pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
lemahnya penegakan hukum, perambahan dan penambangan illegal.
Sintesis 2010-2014 | 96
Terbentuknya wadah Mitra Kutai sebagai aliansi tujuh perusahaan seperti PT
Kalimantan Prima Coal, PT Indominco, PT Surya Hutani Jaya, PT Porodisa, PT
Kiani Lestari, PT Pupuk Kaltim dan Pertamina untuk mengatasi permasalahan di TN
Kutai belum berhasil karena masing-masing membawa misi dan kepentingan yang
berbeda, sehingga kegiatan yang dilaksanakan selama ini belum efektif. Menurut
Falah (2012), untuk penyempurnaan kelembagaan Mitra Kutai diperlukan:
penambahan unsur keanggotaan dari LSM, Pemda dan masyarakat; kejelasan aturan
main mulai dari tahapan perencanaan sampai dengan evaluasi dan monitoring;
program kegiatan yang lebih terarah, tepat sasaran dan berkesinambungan untuk
mengatasi permasalahan di TNK; secretariat/badan pelaksana yang independen dan
professional; pelaporan keuangan secara berkala dan transparan berdasarkan sumber
dananya serta dilakukan oleh auditor independen. Untuk itu, diperlukan penyamaan
persepsi bagi para pemangku kepentingan yang dapat dikelompokkan dalam
kepentingan ekologi dan ekonomi. Berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya para
pemangku kepentingan dikelompokkan dalam sebuah matrik (Gambar 6.2).
T
Kelompok C Kelompok D
I
Rendah
N Akademisi/Lembaga penelitian Kementerian ESDM
Pers /media Pemprop Kaltim
G
Pemkab Kutai Kartanegara
A Pemkot Bontang
N
Rendah PENGARUH
Tinggi
Sintesis 2010-2014 | 97
jawab terhadap pelaksanaan kegiatan tetapi bukan pengambil kebijakan. Kotak B
menunjukkan kelompok pemangku kepentingan yang memiliki derajat pengaruh dan
kepentingan tinggi untuk mensukseskan kegiatan seperti tokoh masyarakat, kepala
instansi terkait dan kepala pemerintahan. Kotak C menunjukkan kelompok
pemangku kepentingan yang rendah pengaruh dan kepentingannya. Interest mereka
diperlukan untuk memastikan : a). interesnya tidak berpengaruh sebaliknya, dan b).
kepentingan dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan. Kotak D merupakan
pemangku kepentingan yang rendah kepentingan yang rendah kepentingan tetapi
berpengaruh dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan. Selanjutnya persepsi para
pemangku kepentingan berhubungan dengan pengelolaan TN Kutai, dijabarkan
dalam Tabel 6.2.
Tabel 6.2. Persepsi para pemangku kepentingan terkait pengelolaan TNK (Falah,
2012)
Sintesis 2010-2014 | 98
No. Aspek Keterangan Implikasi
dipublikasikan, serta hasil potensi biofisik terkini
riset masih tercerai berai
d.Jasa lingkungan Rata-rata nilai 4, disadari Perlu penelitian,
pentingnya TNK sebagai publikasi, dan kampanye
daerah tangkapan air dan mengenai manfaat
menjaga iklim setempat, ekologi, arti penting dan
terutama karena adanya ekonomi jasa lingkungan
ancaman kerusakan TNK
lingkungan akibat
penambangan
e.Pemanfaatan Rata-rata nilai 1 (kurang Perlu penelitian manfaat
ekonomi jasa sekali), karena belum ada ekonomi air, karbon dan
lingkungan pemanfaatan ekonomi air dan ekowisata TNK, dapat
karbon, ekowisata tidak dimanfaatkan sebagai
signifikan karena belum sumber dana pengelolaan
tergarap
2. Masalah dalam Tata ruang/zonasi kawasan Tata ruang menjadi
pengelolaan TNK (84,61%), pengamanan priorotas penanganan
kawasan (9,9%) dan masalah utama
kelembagaan dan koordinasi
antar pihak (5,45%)
3. Alternatif solusi Penyampaian informasi nilai- Penyamaan persepsi,
nilai penting, kondisi terkini penetapan dan
serta permasalahan taman pengukuhan zonasi,
nasional melalui media cetak pengelolaan kolaboratif
dan elektronik
Sintesis 2010-2014 | 99
yang bisa dimanfaatkan dan dieksploitasi demi untuk meningkatkan pendapatan.
Penebangan liar, pengambilan hasil hutan non kayu yang tidak memedulikan azas
kelestarian, berburu dan perambahan lahan merupakan aktivitas yang sering
dilakukan. Mereka menganggap bahwa hutan adalah tempat mencari kehidupan yang
diwariskan nenek moyang.
Tabel 6.3. Persepsi masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya hutan
Rata-rata
No. Persepsi masyarakat terhadap hutan
(%)
Hutan merupakan tempat perlindungan kehidupan satwa dan
1. 13,33
tumbuhan
Hutan dapat menghasilkan udara yang sejuk, penghasil air,
2. 15,56
mencegah erosi, dan banjir
Hutan merupakan tempat mengambil hasil hutan seperti kayu baik
3. 48,89
untuk bangunan maupun kayu bakar, damar, rotan dan berburu
4. Hutan merupakan lahan usaha dan berkebun 14,44
5. Tidak tahu definisi hutan 7,78
Sumber : Analisis data primer 2010
Persepsi masyarakat terhadap kawasan taman nasional sangatlah penting
menyangkut keberhasilan pengelolaan taman nasional. Masyarakat yang memahami
adanya taman nasional dan fungsinya akan mempengaruhi partisipasinya terhadap
pengelolaan taman nasional itu sendiri. Persepsi masyarakat terhadap taman nasional
dapat dikelompokkan menjadi empat pandangan, disajikan dalam Tabel 6.4.
Tabel 6.4. Persepsi masyarakat terhadap Taman Nasional Aketajawe
Lolobata
Rata-rata
No Persepsi masyarakat terhadap TNAL
(%)
Taman nasional adalah kawasan yang berfungsi sebagai
1. perlindungan tumbuhan, satwa dan sumberdaya hayati yang ada 6,67
didalamnya
2. Taman nasional adalah hutan milik negara yang dilindungi 15,56
3. Taman nasional adalah lembaga yang menjaga dan melestarikan
31,11
hutan
4. Tidak tahu definisi taman nasional 46,67
Sumber : Analisis data primer 2010
Ada dua persepsi pokok yang dianut oleh masyarakat yaitu bahwa taman
nasional adalah hutan/kawasan milik negara yang harus dilindungi dan dilestarikan
berkaitan dengan fungsinya sebagai perlindungan sumberdaya alam hayati yang ada
didalamnya. Persepsi yang kedua adalah bahwa taman nasional adalah lembaga
pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menjaga dan melestarikan hutan.
%
91
100
80 55 64
60 27 36
40 9 18
20
0
negatif
kesejahteraan
komunikasi
bantuan sarpras
sering sosialisasi
positif
penambahan
tingkatkan
peningkatan
program
Lokasi
Nagari Tanjung
Nagari Lumpo Nagari Air Haji
No. Parameter Gadang
Kec. Linggo Sari
Kec. IV Jurai Kec. Sutera
baganti
1. Asal-usul
Asli 95% 90% 95%
Pendatang 5% 10% 5%
2. Jumlah KK 4-5 orang 3-7 orang 3-7 orang
3. Pekerjaan
Lokasi
Pakuli Omu Salua Mataue
No. Parameter
Kec. Kec. Kec. Kulawi Kec. Kulawi
Gumbasa Gumbasa
1. Asal-usul
Asli 95% 10% 84 % 99%
pendatang 5% 90% 16 % 1%
2. Jumlah KK 4-5 orang 3-6 orang 4-5 orang 3-5 orang
3. Pekerjaan
Utama Petani Petani Petani Buruh tani
Jalur hijau yang terdiri dari hutan, hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, sungai,
ladang dan kampung di dalam kawasan berfungsi sebagai daerah pengungsian
satwaliar yang menyediakan pakan dan komponen habitat berupa sumber air, tempat
istirahat, tidur dan bersarang. Satwaliar yang umum ditemukan selama penelitian
adalah jenis primate simpai (P. melalophos) yang berkelompok 2-5 individu dengan
daerah jelajah sampai ke ladang dan agroforestri masyarakat, demikian pula dengan
P. cristata yang berkelompok 9-14 individu. Walaupun demikian masyarakat
melaporkan kehadiran P. tigris sumatrae 2 kali sebulan di areal ladang masyarakat
yang berbatasan dengan kawasan hutan 2 km dari batas taman nasional (Gambar
7.2). Ladang tersebut dapat berupa kebun agroforestri berupa tanaman perkebunan
karet, perkayuan suren (Toona sureni) (Gambar 7.3), mahoni, jati serta buah-buahan
seperti pohon coklat, durian, nangka, rambutan, dan jambu bol. Kondisi ini dapat
dijumpai di Nagari Air haji dan di Jorong Bangun Rejo.
Jalur interaksi yang komponen utamanya kebun agroforestri, persawahan tadah
hujan maupun irigasi, ladang dan perkampungan mempunyai fungsi sebagai habitat
satwaliar, pengembangan jasa lingkungan dan pengembangan plasma nutfah untuk
jenis unggulan pada tanah kritis yang ditumbuhi alang-alang dengan tanaman dari
kebun bibit desa (KBD) seperti gaharu dan bayur maupun persemaian swadaya
masyarakat berupa bibit tanaman karet. Kebun agroforestri masyarakat umumnya
berupa tanaman campuran yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
maupun tanaman yang dapat diambil hasilnya setiap saat seperti pinang, asem
kandis, kemiri, pohon buah-buahan, dan coklat.
Jalur peralihan dan jalur budidaya terdiri dari areal perkampungan, pekarangan
dan ladang dengan tanaman pertanian berupa sayur-sayuran kacang panjang, terong
dan cabe. Di kedua jalur ini pemanfaatan sumberdaya alam dengan memadukan
prinsip konservasi dan kearifan tradisional, pembentukan desa konservasi,
peternakan, pemanfaatan tumbuhan species asli penghasil HHBK: buah-buahan,
pewarna, pakan ternak, tanaman obat-obatan, madu, kayu bakar, getah, kebutuhan
peralatan rumah tangga, sehingga diharapkan tercapainya manfaat ekonomi yang
optimal berupa distribusi tenaga kerja dan pendapatan.
Gambar 7.3. Jalur hijau yang dibangun masyarakat secara swadaya di batas kawasan
Taman Nasional Kerinci Seblat dan agroforestri kebun rakyat
60
juta (rupiah)
40
20
setahun
-20
Luas Lahan ˂ 1 Ha
Luas Lahan 1 - 2 Ha
Pola Pemanfaatan Lahan
Luas Lahan > 2 Ha
1. Keaneragaman Hayati
Populasi primata di areal hutan produksi di daerah penyangga TN Siberut yang
terkena dampak penebangan akan turun 20%. Tabel 7.9 menunjukkan populasi
primata di areal bekas tebangan LOA 5 tahun tidak berbeda dengan populasi di
taman nasional. Untuk itu wilayah konservasi dapat ditunjuk pada areal bekas
Hutan rakyat di Desa Madobag yang merupakan bagian dari daerah penyangga,
menunjukkan potensi primata yang sulit ditemukan, terutama jenis Hylobates dan
Simias, yang hidup arboreal dan membutuhkan kanopi yang baik untuk perlidungan
dari perburuan, jumlah individu rata-rata 22,4 (Bismark et.al, 2011) (Tabel 7.10).
Populasi (individu/km2)
Jenis Primata Desa Madobag (2012) TN. Siberut
2009 2010
Hylobates klossii 12,1 4,45 8,9
Simias concolor - 8,84 4,6
Presbytis potenziani 4,6 6,60 4,2
Macaca siberu 5,7 2,65 5,3
Jumlah individu 22,54 23
P. potenziani primata pemakan daun dan M. pagensis yang bersifat
semi terestrial dapat bertahan di lokasi dekat dengan pemukiman, sedangkan di areal
yang jauh dari pemukiman mudah teramati adalah H. klosii karena populasi cukup
tinggi dibanding dengan populasi TNS.
Di daerah penyangga TN Kutai dijumpai pohon buah-buahan lokal yang
dipanen dari hutan, dikelola dalam hutan atau setengah dibudidayakan di pekarangan
atau di kebun rakyat diantaranya Krantungan (Durio oxleyanus), Kasturi (Mangifera
casturi), keledang (Artocarpus lanceifolius), mundar (Garcinia celebica), maritam
(Nephelium juglandifolium). Keanekaragaman jenis tanaman buah-buahan di
Kalimantan cukup tinggi dan beberapa termasuk endemik diantaranya 24 jenis
mangga liar, 16 jenis rambutan (Nephelium lappaceum) dan durian (Durio
sp.)(Sawitri et al.,2011).
Selain memanfaatkan berbagai jenis tanaman yang ada di sekitarnya, masyarakat
juga memanfaatkan berbagai jenis ikan di S. Sangata (Tabel 7.11) dan burung
Sebaran sebaran tinggi pohon disajikan pada Gambar 7.8, Gambar 7.9 dan
Gambar 7.10.
45 45 45
40 40 40
35 35 35
30 30 30
Tinggi (m)
Tinggi (m)
Tinggi (m)
25 25 25
20 20 20
15 15 15
10 10 10
5 5 5
0 0 0
1 31 61 91 121 151 181 211 241 271 301 331 1 31 61 91 121 151 181 1 31 61 91 121 151 181 211 241 271 301 331
Nomor Pohon NomorNomorpohon
Pohon Nomor pohon
Nomor Pohon
(Number of (Number of
trees) trees)
Gambar 7.8., 7.9 dan 7.10. Grafik sebaran tinggi pohon pada hutan primer, LOA 1
tahun, dan LOA 5 tahun di kelompok hutan Sungai Subelen-Sungai Saibi cagar
biosfer P. Siberut (Bismark dan Heriyanto, 2007).
Pada Gambar 7.8., jenis pohon yang mendominasi tinggi pada strata A (> 30
m) yaitu koka (Dipterocarpus elongatus Korth.), katuko (Shorea johorensis Foxw.)
dan kasai (Callophyllum pulcherrimum Wall.); jenis yang mendominasi strata B (20
m – 30 m) yaitu alibagbag (Endospermum diadeneum (Miq.) A. Shaw.), roan
(Horsfieldia irya Warb.) dan rimbo (Glochidion sp.); strata C (10 m – 20 m) yaitu
tumu (Chamnosperma sp.), kosoi (Aporosa sp.) dan langkuk (Eugenia sp.).
Jenis pohon yang mendominasi tinggi (Gambar 7.9) pada strata A (> 30 m) yaitu
rimbo (Glochidion sp.), alibagbag (Endospermum diadeneum (Miq.) A. Shaw.) dan
kasai (Callophyllum pulcherrimum Wall.); jenis yang mendominasi strata B (20 m-
30 m) yaitu katuko (Shorea johorensis Foxw.), roan (Horsfieldia irya Warb.) dan
koka (Dipterocarpus elongatus Korth.); strata C (10 m-20 m) yaitu tumu
(Chamnosperma sp.), kosoi (Aporosa sp.) dan langkuk (Eugenia sp.).
Pada Gambar 7.10, jenis yang mendominasi tinggi pada strata A (> 30 m) yaitu
koka (Dipterocarpus elongatus Korth.), alibagbag (Endospermum diadeneum (Miq.)
A. Shaw.) dan roan (Horsfieldia irya Warb.); jenis yang mendominasi strata B (20 m
– 30 m) yaitu katuko (Shorea johorensis Foxw.), roan (Horsfieldia irya Warb.) dan
koka (Dipterocarpus elongatus Korth.); strata C (10 m – 20 m) yaitu roan
(Horsfieldia irya Warb.), kosoi (Aporosa sp.) dan rimbo (Glochidion sp.).
Potensi daerah penyangga Taman Nasional Gn Halimun Salak antara lain
untuk pengembangan lebah madu dan sutera. Jenis lebah madu yang dapat
Dari Tabel 7.13, dapat diterangkan bahwa potensi necromass di hutan bekas
tebangan satu tahun paling tinggi dibandingkan dengan hutan bekas tebangan lima
tahun maupun hutan primer. Hal ini disebabkan pada hutan bekas tebangan satu tahun
masih banyak sisa-sisa pembalakan yang masih belum terdekomposisi dengan
sempurna.
Hubungan potensi necromass dengan beberapa parameter kesuburan tanah hutan
produksi Siberut disajikan pada Tabel 7.14. Potensi necromass terkait dengan
kesuburan tanah yang akan mempengaruhi pertumbuhan anakan dalam suksesi di
kawasan hutan bekas tebangan. Berdasarkan analisis contoh tanah (kedalaman 5 cm)
di kawasan bekas tebangan dibandingkan dengan hutan primer, terdapat perbedaan
3. Potensi Wisata
Potensi wisata di kawasan TNKS di Kabupaten Pesisir Selatan belum dikelola,
namun sebagian areal sudah menjadi andalan objek wisata yang dikenal oleh
masyarakat. Potensi wisata yang terdapat di dalam kawasan seperti Air Terjun Lumpo,
jembatan akar, serta batu bidak (Gambar 7.12).
Gambar 7.12. Obyek wisata batu biduak/batu perahu dan jembatan akar di daerah
penyangga, Taman Nasional Kerinci Seblat
Pengelolaan Wisata Bedul, di daerah penyangga dan kawasan TN Alas Purwo,
merupakan wisata mangrove di estuaria. Infrastruktur areal wisata terdiri dari tiket,
penitipan kendaraan, pemandu, kebersihan, sebanyak 10 orang dengan jadwal tugas
4 orang/hari. Karcis pengunjung: wisatawan mancanegara Rp. 20.000,- (TNAP) +
Rp. 4.500,-; wisatawan lokal Rp. 2.500,-(TNAP) + Rp. 4.500,-; pelajar Rp. 1.250,-
(TNAP) + Rp. 4.500,-; penitipan motor Rp. 1.000,-, mobil Rp. 3.000,- dan Rp.
3.500,- untuk perahu. Sejak bulan Agustus telah mengalami kenaikan untuk karcis
masuk kawasan. Penggunaan uang karcis yaitu setor ke desa Rp. 500,-/orang, setor
ke Perhutani Rp 300.000,- - Rp. 500.000,-/bulan, Gaji Rp. 500.000,-. MOU perijinan
pengelolaan areal wisata tersebut dilakukan antara Badan Pengelola Desa
Sumberasri, Departemen Kehutanan dan Perhutani. Kegiatan wisata telah
dilaksanakan dalam bentuk paket wisata berupa Atraksi penyu bertelur 10-15 orang
TNKS PEMDA
Zona Khusus
Agroforestri,
Peternakan
Desa Konservasi Restorasi TN Zona Pemanfaatan
Zona
Rehabilitasi
Gambar 7.14. Keterlibatan para pihak, program, peran, dan kegiatan di daaerah
penyangga terhadap pengelolaan TN Kerinci Seblat
Kelompok tani Cakar Maleo Penggiat obat- Zonasi TN Kehutanan Pertanian Peternakan
obatan
Pola
Penangkaran Plot tanaman obat-
penggunaan Gerhanas
Maleo obatan dan
lahan
masyarakat
Pelestarian
budaya/masyarakat adat Agroforestri
pengguna telur maleo
Gambar 7.15. Keterlibatan para pihak, kegiatan, dan pemanfaatan lahan dalam
pengelolaan daerah penyangga TN Lore Lindu
Gambar 7.17. Pola Usahatani di Kebun Milik pada etnis Kutai dan Bugis
Masyarakat di daerah penyangga TNKS, kearifan lokal adalah mengembangkan
perkebunan karet dan kebun campuran dengan sistem agroforestri (Gambar 7.18)
Sistem usahatani berbasis kelapa yang digabungkan dengan tanaman sela (kebun
campuran) tidak hanya meningkatkan pendapatan dari segi diversifikasi hasil
produksi saja namun juga akan memperbaiki airase tanah sehingga dapat
memperbaiki sistem perakaran dan meningkatkan daya serap terhadap unsur hara
yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas kelapa.
3. Persepsi Masyarakat
Persepsi masyarakat menyangkut pengelolaan kekayaan sumberdaya alam
daerah yang berorientasi peningkatan sosial ekonomi berhadapan dengan misi
perlindungan yang diemban kawasan konservasi taman nasional (Wiratno, et.al.
2004). Katagori persepsi menurut Ngakan et.al (2006) dibagi tiga, yaitu: (a) persepsi
baik, apabila masyarakat memahami dengan baik bahwa mereka bergantung hidup
dari hutan dan menginginkan agar hutan dikelola secara lestari; (b) persepsi sedang,
apabila masyarakat menyadari bahwa mereka bergantung hidup dari sumberdaya
hutan tetapi tidak memahami kalau hutan perlu dikelola dengan baik agar
manfaatnya bias diperoleh secara berkelanjutan dan (c) persepsi tidak baik, apabila
masyarakat tidak menyadari bahwa mereka bergantung hidup dari sumberdaya hutan
atau kepentingan lain yang membuat mereka cenderung berasumsi bahwa tidak perlu
menjaga kelestarian hutan. Keadaan yang terjadi di masyarakat tersebut perlu
diketahui agar pengelolaan potensi kawasan dapat diarahkan pada sistem kolaborasi
yang akan dilaksanakan oleh pihak yang terkait seperti masyarakat, pemerintah
daerah dan pengelola kawasan. Kondisi ini ditunjukkan oleh masyarakat di daerah
penyangga TNGHS (Sawitri dan Subiandono, 2011).
Dari ketiga persepsi tersebut, persepsi masyarakat Kp. Lebak Sembada, Ds
Citorek Kidul termasuk persepsi positif berdasarkan konservasi kawasan, sedangkan
persepsi masyarakat lainnya merupakan persepsi abu-abu karena mereka masih
menghendaki pembukaan areal pertambangan emas padahal kawasan ini telah
dimasukkan ke dalam TNGHS, sehingga diperlukan pengkajian kawasan, sosial
ekonomi masyarakat dan potensi geologi.
Persepsi masyarakat di daerah penyangga Taman Nasional Akatajawe Lolobata,
didasarkan pada tingkat pendidikan, etnis dan tingkat ketergantungan pada
sumberdaya hutan. Persepsi yang baik dijumpai pada masyarakat yang memahami
akan keberadaan taman nasional dan fungsinya terhadap konservasi keanekaragaman
hayati dam penyangga kehidupan, sehingga turut berpartisipasi aktif terhadap
kegiatan pengelolaan kawasan. Persepsi tingkat sedang terbatas pada pengertian
Kondisi Pemanfaatan
No. Cara mengurangi faktor penghambat
Lahan
1. Aren Mengalokasikan sebagian areal untuk tanaman kayu bakar
Mengembangkan diversivikasi produk-produk aren yang
tidak menggunakan kayu bakar
Mengembangkan bahan bakar alternative (biofuel)
2. Hutan Alam Menata batas-batas areal TN secara partisipatif
Sintesis hasil penelitian didasarkan pada kajian terhadap data dan laporan hasil
penelitian di berbagai taman nasional di Indonesia. Sintesis hasil penelitian mengacu
pada luaran dan kegiatan penelitian yang tercantum dalam RPI 13 tahun anggaran
2010 - 2014. Hubungan luaran dan kegiatan penelitian untuk menghasilkan Model
Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem sebagaimana pada Gambar
9.
(pendekatantop-down)
Data biofisik, interaksi
masyarakat
Uji lapang calon kriteria dan
Diskusi & (kenyataan di lapangan
indikator zona tertentu
– pendekatan bottom up)
modifikasi
kerangka K&I
Set minimum kriteria dan indikator zona
1
7. Ancaman 7.1 Perburuan satwaliar dilindungi
kawasan 7.1.1 Perburuan tidak ada 3* ● ● - - -
7.1.2 Perburuan jarang 2 - - - - -
2.5% 7.1.3 Perburuan tradisional untuk budaya 1 - - ● ● ●
adat
7.2 Intervensi lahan untuk lahan dan
HHBK di luar zona pemanfaatan dan zona
khusus
2.5% 7.2.1 Masyarakat jarang memasuki kawasan 3* - ● - - -
7.2.2 Masyarakat lokal masih terbatas
memasuki kawasan 2 ● ● - - ●
7.2.3 Masyarakat tergantung kuat pada
kawasan 1 - - ● ● ●
8. Konflik 8.1 Konflik dengan satwaliar (mamalia
satwaliar besar)
1 - - - ● -
10.4 Fungsi daerah penyangga
2.5% 10.4.1 Keperluan budaya/adat 3 - - - ● ●
10.4.2 Keperluan habitat 2* - ● - - ●
10.4.3 Sumber kebutuhan masyarakat 1* - - ● ● ●
Dinamika Ekosistem
Adalina, Y dan R. Sawitri. 2013a. Sap tapping of Pinus merkusii in Halimun Salak
National Park by communities around forest (Case study in Purwabakti
Village, Bogor Regency, West Java). International Conference of Indonesia
Forestry Researchers. 2nd Inafor:27-28 August 2013. Jakarta.
Adalina, Y dan R. Sawitri. 2013b. Land use under the pine stands in local
communities economic improvement in Halimun Salak National Park.
International Conference of Indopnesia Forestry Researchers. 2 nd Inafor:27-28
August 2013. Jakarta.
Anggraeni, S., G. Herdiansyah, U. Natalina. 2013. Nilai ekonomi air untuk rumah
tangga dan keramba di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II
Semitau Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) Kabupaten Kapuas Hulu.
http://jurnaluntan.ac.id/index.php/jmfkh/article/...2896.
Balai Taman Nasional Kutai. 2010. Rencana pengelolaan Taman Nasional Kutai
2010-2029. Balai TN Kutai, Bontang, Kalimantan Timur.
Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. 2009. Rencana pengelolaan jangka
panjang Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Sintang, Kalimantan
Barat.http://heart ofborneo.or.id/uploads/park-reports/rencana% 20jangka
%20panjang%20taman %20nasional
Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2009. Profil Balai Besar
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Cipanas-Cianjur.
Balai Besar TN Teluk Cendrawasih dan World Wide Fund (WWF)-Indonesia. 2009.
Zonasi Taman Nasional Teluk Cendrawasih, Kabupaten Nabire dan Teluk
Wondana, Provinsi Papua dan Papua Barat. Manokwari.
Balai Taman Nasional Ujung Kulon. 2012. Nilai ekonomi sumberdaya air.
http://juvenilnangkrak.wordpress.com/2012/02/06/nilai-ekonomi-sumber-daya-
air. Diakses 17 juni 2014.
Bangun, T.M., S.S Mansjoer dan M. Bismark. 2009. Populasi dan habitat (Hylobates
agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Primatologi
Indonesia 6(1): 19-24.
Bismark, M dan N.M. Heriyanto. 2007. Dinamika potensi dan struktur tegakan hutan
produksi bekas tebangan dalam Cagar Biosfer Siberut. Info Hutan IV(6):553-
564.
Bismark M. N.M. Heriyanto dan S. Iskandar. 2008. Biomassa dan kandungan karbon
hutan produksi di Cagar Biosfer Pulau Siberut, Sumatera Barat. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam V(5):397-407. Pusat Litbang
Konservasi dan Rehabilitasi.
Cahyadi, I. 2003. Analisis spasial struktur dan fungsi koridor hutan antara Taman
Nasional Gunung halimun dengan Hutan Lindung gunung salak, Tesis,
Program Pascasarjana IPB, Bogor. Tidak diterbitkan.
Darusman, D. 1993. Nilai ekonomi air untuk pertanian dan rumah tangga: Studi
kasus di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Disampaikan pada
Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia di ITB, 28-29 Juli 1993.
Diantoro, T.D. 2011. Perambahan kawasan hutan pada kawasan konservasi taman
nasional (Studi kasus Taman Nasional Tesso Nilo, Riau). Mimbar Hukum, Vol
23 (3):431-645.
Elevith C.R dan HI. Mannerffeson. 2006. Aleurites mollucana (kukui) species
profiles for Pacific Island Agroforestry Traditional Tree. Initiative.
http://www.traditionaltree.org. Diakses 20 November 2014.
Gunawan, H., A. Syam dan E. Subiandono. 2011. Penataan ruang dan pemilihan
jenis pohon dalam restorasi ekosistem kawasan konservasi (Studi kasus di
Taman Nasional Gunung Ceremai). Proseding: Semiloka Restorasi Ekosistem
Kawasan Konservasi, Kuningan 25 Oktober 2011.
Haryono, W. 2013. Tahun ini, perambahan hutan rugikan Negara Rp. 1,17 triliun.
http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/12/23/6/203294/Tahun
-ini-Perambahan-Hutan-Rugikan-Negara-Rp.1,17-triliun.
Indra A.S.L.P.P., B.W. Broto, M.K. Allo, A. Barus, M. Aziz, R. Mursidin, M. Saad
dan F. Ansari. 2013. Eksplorasi kondisi biofisik pada berbagai zona di Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian
Kehutanan Makassar.
Jati, SKW. 2014. Estimasi stok karbon hutan dengan memanfaatkan citra landsat 8 di
TN Tesso Nilo, Riau. http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod-
penelitian.detailβsub=penelitian detailβact=viewβtyp.
Knight M & Tighe S. 2003. Koleksi dokumen proyek pesisir 1997-2003 Coastal
Resources Center, University of Rhode Island. Narragansett, Rhode Island,
USA.
Kwatrina R.T. dan A.S. Mukhtar. 2006. Kriteria dan Indikator Penetapan Zonasi TN
Bukit Tigapuluh. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2(2).
Kurniadi, R., B. Dwiprasetyo dan A.A.S Raharjo. 2010. Valuasi potensi dan manfaat
Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti. Laporan Hasil Penelitian. Balai
Penelitian Kehutanan Kupang. Badan Litbang Kehutanan, Kementerian
Kehutanan.
Kuswanda, W. 2011. Valuasi nilai ekonomi air, satwaliar dan pencegah erosi Taman
Nasional Batang Gadis. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan
Aek Nauli.
La Ode Ahyar T.M., 2009. Penilaian Ekologi Sumberdaya Hutan Mangrove Pesisir
Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Thesis Magister Science. Universitas
Hasanuddin. Makassar. Tidak diterbitkan.
Mindawati, N., A. Widiarti dan B. Rustaman. 2006. Review hasil penelitian hutan
rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Mulyani, S. (2007). Kajian terhadap pendapatan petani dan harga tanah di kawasan
agropolitan, studi kasus di kawasana agropolitan Kecamatan Pacet dan
Cipanas, Kabupaten Cianjur. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
90 hal. Diakses 15 Pebruari 2013 dari
http://repository,ipb,ac.id/handle/123456789/43849.
Neel, MC., JR Ibarra and N.C Ellstrand 2001. Implications of mating patterns for
conservation of endangered plant Erigonum ovalifolium var. vineum
(polygonaceae). American Journal Botany 88:1214-1222.
Nurrani, L. 2013. Kajian pola dan analisis usaha tani pemanfaatan lahan di kawasan
penyangga Taman Nasional Akatajawe di Maluku Utara. Laporan Hasil
Penelitan. Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Nurrani, L. 2013. Kajian daya dukung hasil hutan bukan kayu untuk pengembangan
pemanfaatan biodiversitas secara lestari di Taman Nasional Akatajawe
Lolobata. Laporan Hasil Penelitan. Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Pomeroy, RS and F.Berkes. 1997. Two Tango: the role of government in fisheries
co-managemnt, Marine Policy 21(5):465-480.
Prayoga. 2013. Estimasi nilai ekonomi dan kontribusi kegiatan wisata terhadap
konservasi di Taman Nasional Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang, Provinsi
Banten. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. 94 hal.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/63858. Diakses 16 Juni 2014
Pruitt D.G. dan J.Z. Rubin. 2009. Teori konflik sosial. Pustaka Pelajar. Jogyakarta.
Purbahapsari, A.F. 2013. Penggunaan habitat koridor Kalimun Salak oleh elang ular
bido (Spilornis cheela Latham, 1790) di Taman Nasional Gunung Halimun
salak. 32 hal. Departemen konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor.
Putra, R.E. 2011. Valuasi ekonomi keanekaragaman hayati Rawa Bento Kecamatan
Gunung Tujuh kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, Pogram Studi Biologi. Pasca
Sarjana, Universitas Andalas, 21 hal. Tidak diterbitkan.
Rahayu, S, B. Lusiana dan M van Noorwijk. 2005. Above ground carbon stock
assessment for various landuse systems in Nunukan, East Kalimantan. 21-34.
In Lusiana, B, M van Noorwijk & S. rahayu (Eds) Carbon Stock Monitoring in
Nunukan, East Kalimantan. A spatial & Modelling Approach World
Agroforestry Centre. SE Asia, Bogor, Indosesia.
Rambe, L. 2014. Peneliti: Koridor upaya untuk tekan konflik gajah dan manusia di
Jambi. http://mongobay.co.id/.../peneliti-bangun-kori..... 3 hal. Diakses 25 Juni
2014.Ramdhani, N. 2011. Nilai ekonomi Taman Nasional Gunung Rinjani:
Studi kasus di obyek wisata Otak Kokok gading, Desa Perian, Kecamatan
Montong Gading. http://repositori.ipb.ac.id/handle/123456789/51294.
Rosenberg, D.K., B.R. Noon, dan E.C. Meslow. 1997. Biological corridors:form,
function and efficacy. BioScience 47:677-688.
Sawitri, R. dan R. Garsetiasih. 2014. Habitat, Populasi dan perilaku burung punai di
Kalimantan barat dan kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam. In press.
Sawitri, R. dan E. Karlina. 2013. Evaluasi zonasi taman nasional: Studi kasus Taman
Nasional Kutai. Laporan Hasil Penelitian, Pusat Konservasi dan Rehabilitasi,
Bogor. 42 hal.
Setyadi, A.,C. Wulandari. H.R. Putro, S. Andayani, T. Nugroho, dan Z.K Susilo.
2006. Kemitraan dalam pengelolaan taman nasional. Pelajaran untuk
transformasi kebijakan . WWF-Indonesia dan MFP Dephut DFID. Jakarta.
Shofwan, F.W. 2006. Interaksi burung dan tumbuhan di kawasan koridor Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48286
Sieving, K.E.. M.F. Willson dan T L. De Santo. 2000. Defining corridor function for
endemic birds in fragmented South-temperate rainforest. Conservation
Biology.Vol14(4):1120-
Sunderlin, WD, S.Dewi dan A. Puntodewo. 2007. Poverty and forests, multi-country
analysis of spatial association & proposed policy. CIFOR, Bogor.
Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2013. Zonasi Taman Nasional Gunung
Halimun Salak. Kabandungan, Sukabumi.
Wahyunto, S. Ritung dan H.Subagjo. 2003. Map of peatland distribution area and
carbon content in Sumatra. Wetland International-Indonesia-Program &
Wildlife Habitat Cana (WHC).
Whitten, A.J. 1980. Tke kloss gibbon in Siberut ran forest. Unpublished. Ph.D.
Thesis; Cambridge University, Cambridge, UK.
Widada dan D. Darusman. 2004. Nilai ekonomi air domestic dan irigasi
pertanian:Studi kasus di desa-desa sekitar kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol X (1):15-27.
Widodo, T. 2012. Pelatihan valuasi pemanfaatan jasa lingkungan air kawasan Taman
Nasional Gunung Ceremai. http://btng ceremai,blogspot.com/…./pemantauan-
dan –monitoring.
Winara, A., H.Warsito, Z.L. Rumawak, N Indouw. Valuasi potensi dan manfaat
Taman nasional di Papua. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian
Kehutanan Manokwari. Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
World Wildlife Fund. 2011. Respon WWF atas dugaan pembantaian orangutan di
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.https://id-id.facebook
.com/notes/wwf-indonesia/respon-wwf-atas-dugaan-pembantaian-orangutan-
di-kabupaten-kartanegara-kali/10.