Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
3.2 Epidemiologi7
Di Indonesia, prevalensi asma sekitar 5-6% dari populasi. Prevalensi asma
dalam kehamilan sekitar 3.7-4%. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu
masalah yang biasa ditemukan dalam kehamilan. Morbiditas Asma terkait dan
tingkat kematian pada wanita hamil sebanding dengan orang-orang di populasi
umum. Angka kematian dari asma di Amerika Serikat adalah 2,1 orang per
100.000.
3.3 Etiologi7
Alergen, termasuk serbuk bunga, debu rumah tangga, antigen kecoa,
sengatan himenoptera
Iritan, termasuk rokok cigarette, polusi udara, bau menyengat, debu di
tempat kerja, dan bahan kimia
Kondisi medis, termasuk ISPA, sinusitis, esophageal reflux, dan
infestasi ascaris
Obat-obatan dan kimia, termasuk aspirin, OAINS, beta blockers,
media radiokontras
Latihan pencetus asma
Udara dingin
Stress emosional
3.4 Patofisiologi4
Kehamilan mempunyai dampak yang signifikan terhadap fisiologi
pernapasan seorang wanita. Sementara laju pernapasan dan kapasitas vital tidak
berubah selama kehamilan, volume tidal, ventilasi menit (40%), dan pengambilan
oksigen permenit meningkat (20%), dengan penurunan resultan kapasitas sisa
residu fungsional dan volume udara sebagai konsekuensi terjadi peninggikan
diafragma. Selain itu, konduktansi jalan napas meningkat dan perlawanan total
paru berkurang, mungkin sebagai akibat dari pengaruh progesteron.
Konsekuensi dari perubahan-perubahan fisiologis adalah gambar
hyperventilatory sebagai keadaan normal urusan di setengah akhir kehamilan. Hal
ini menghasilkan gambar seorang alkalosis pernapasan kronis selama kehamilan,
dengan penurunan tekanan parsial karbon dioksida (PCO 2), penurunan bikarbonat,
dan meningkatkan pH. Sebuah PCO2 normal pada pasien hamil mungkin sinyal
kegagalan pernafasan yang akan datang. Ventilasi menit meningkat dan fungsi
paru membaik pada kehamilan mempromosikan pertukaran gas lebih efisien dari
paru-paru ibu ke darah. Oleh karena itu, perubahan status pernafasan terjadi lebih
cepat pada pasien hamil dibandingkan pada pasien tidak hamil.
Asma ditandai oleh radang saluran napas, dengan akumulasi abnormal
eosinofil, limfosit, sel mast, makrofag, sel dendritik, dan myofibroblasts. Hal ini
menyebabkan penurunan diameter saluran napas yang disebabkan oleh kontraksi
otot polos, kongesti vaskular, edema dinding bronkus, dan sekresi kental.
Hiperventilasi relatif selama kehamilan mulai terlihat pada trimester
pertama. Perubahan ini dikarenakan adanya peningkatan volume tidal sedangkan
frekuensi pernafasan relatif tidak mengalami perubahan selama kehamilan. Maka
dari itu, takipneu pada kehamilan (frekuensi > 20x/menit) merupakan
abnormalitas yang harus dicari penyebabnya. Peningkatan volume tidal prinsipnya
disebabkan oleh peningkatan produksi progesteron plasenta yang juga
menyebabkan sensasi nafas pendek (“dispneu kehamilan”) yang biasa terjadi pada
9
kehamilan. Hiperventilasi kehamilan berhubungan dengan perubahan penting
pada gas darah arteri dengan tekanan karbon dioksida arteri istirahat (PCO2) di
bawah 35 mmHg. Alkalosis respiratoar kronis ini sebagian dikompensasi oleh
peningkatan ekskresi bikarbonat ginjal. Konsumsi oksigen total dan rasio
metabolik basal juga meningkat sampai 20% dan 15% sesuai dengan peningkatan
tekanan oksigen ibu yang juga biasa terjadi pada kehamilan normal. Nilai normal
PO2 bervariasi dari 106 sampai 108 mmHg selama trimester pertama dan sedikit
menurun pada trimester ketiga. Oksigenisasi banyak dipengaruhi oleh posisi
tubuh. 25% wanita hamil memiliki tekanan oksigen arteri kurang dari 90 mmHg
pada posisi berbaring dan ada kecenderungan mengalami peningkatan gradien
oksigen arterial-alveolar pada posisi berbaring daripada posisi berdiri 4.
Parameter-parameter yang dilihat pada tes fungsi paru adalah sebagai
berikut: penurunan volume residu, kapasitas residu fungsional, volume cadangan
ekspiratoar, dan kapasitas total paru, adanya peningkatan kapasitas inspiratoar,
dan tidak ada perubahan pada kapasitas vital atau forced expiratory volume in 1
second (FEV1). Semua perubahan yang telah dibicarakan berpotensi
mempengaruhi interpretasi klinis tes fungsi paru dan pengukuran gas darah pada
wanita hamil dengan asma dan harus diingat saat interpretasi klinis data-data
tersebut. Namun secara umum, parameter fungsi paru pada penggunaan klinis
umum seperti frekuensi pernafasan atau FEV1 tidak berubah dengan adanya
kehamilan sehingga setiap perubahan pada parameter ini harus dianggap dan
diperlakukan sebagai abnormalitas.
10
mata. Lehrer, dkk (1993) melaporkan bahwa wanita asma memiliki insidensi dua
koma lima kali lipat dari kehamilan menimbulkan hipertensi.6
Komplikasi yang dapat mengancam hidup yaitu pneumothorax,
pneumomediatinum, akut cor-pulmonale, cardiac aritmia, kelelahan otot dengan
respiratory arest.6
3.7 Diagnosis 3
Anamnesa
a) Pada anamnesa tanyakan apakah ada riwayat berikut ini :
Batuk yang memburuk di malam hari
Mengi berulang
11
Kesulitan bernafas berulang
Perasaan sesak berulang
b) Gejala semakin buruk di malam hari sehingga membangunkan pasien
c) Gejala muncul pada musim-musim tertentu
d) Pasien juga memiliki riwayat eksim, alergi serbuk bunga, atau riwayat
keluarga dengan asma atau penyakit atopic
e) Gejala semakin buruk dengan adanya :
Hewan berbulu
Zat-zat kimia dalam partikel udara
Perubahaan temperature
Kutu debu
Obat – obatan (Aspirin dan β-Blocker)
Olah raga
Serbuk bunga
Infeksi saluran nafas
Merokok
Emosi
f) Gejala mereda dengan terapi asma
g) Gejala flu pasien butuh lebih dari 10 hari untuk sembuh
Pemeriksaan Fisik 5
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik
dapat normal. Kelainan yang paling sering ditemukan pada pemeriksaan
fisik adalah suara wheezing pada auskultasi. Pada keadaan serangan,
kontraksi otot polos saluran nafas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat jalan nafas; maka sebagai kompensasi penderita bernafas pada
volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran nafas.
Hal itu meningkatkan kerja pernafasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak nafas, mengi, dan hiperinflasi.
12
Pada serangan ringan, mengi terdengar saat ekspirasi paksa.
Walupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada
serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain seperti
sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot
bantu nafas
Sejarah temuan pada pasien hamil dan tidak hamil mungkin termasuk yang
berikut:
Batuk
Sesak napas
Dada sesak
Pernapasan hidung
Terbangun malam hari
Episode berulang kompleks gejala
Eksaserbasi mungkin dipicu oleh rangsangan spesifik
Pribadi atau keluarga riwayat penyakit atopik lain (misalnya, demam,
eksim)
13
Expiratory fase respirasi sama dengan atau lebih menonjol dari fase
inspirasi
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan
kapasitas vital paksa (KVP) dilakukan dengan maneuver ekspirasi paksa
14
melalui prosedur yang standar. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil
nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Tujuan pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
1. Obstruksi jalan nafas diketahui bila nilai rasio VEP1/KVP <75%
atau VEP<80% nilai prediksi. Spirometri adalah metode yang
dipilih untuk mengukur hambatan aliran udara dan menentukan
apakah hambatan tersebut reversibel atau tidak.
2. Revesibiliti, yaitu perbaikan VEP1≥15% secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid inhalasi/oral selama 2 minggu.
3. Menilai derajat berat asma
Keparahan abnormalitas dari pengukuran spirometri dievaluasi dengan
membandingkan hasil pasien dengan nilai refrensi berdasarkan usia, tinggi
badan, jenis kelamin, dan ras. 8,9
15
sehingga pengukuran nilai APE harus dibandingkan dengan nilai terbaik
sebelumnya, bukan nilai prediksi normal, kecuali bila tidak diketahui nilai
terbaik penderita.
16
sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji
provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi
spesifitas yang rendah, artinya hasil negative dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
penderita tersebut asma. Hasil positif dapat ditemukan pada
penderita rhinitis alergik, berbagai gangguan penyempitan jalan
nafas seperti PPOK, bronkiektasis, dan fibrosis kistik.
Pengukuran status alergi
Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgEn spesifik serum. Uji
tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi
membantu mengidentifikasi faktor resiko / pencetus sehingga dapat
dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status
alergi / atopi, meskipun sapat menghasilkan positif maupun
negative palsu sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang
relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan .
Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunya arti dalam
diagnosis alergi/atopi.
Hitung darah lengkap dengan diferensial
Hitung darah lengkap (CBC) dilakukan untuk menilai
tingkat peradangan spesifik dan kemungkinan anemia komorbid
atau trombositopenia. Leukositosis mungkin hasil dari respon
fisiologis kehamilan, terapi steroid, infeksi saluran pernapasan
bagian atas, atau stres karena serangan asma.
Arterial blood gas level
Analisis Arterial blood gas (ABG) menunjukkan tingkat
oksigenasi dan kompensasi pernapasan. Tekanan parsial karbon
dioksida dalam darah arteri (RAPP 2) umumnya rendah pada tahap
awal dari sebuah eksaserbasi sebagai akibat dari hiperventilasi.
Peningkatan PaCO 2 bisa menjadi tanda kegagalan pernapasan yang
17
akan datang. Hasil ABG sering menunjukkan penurunan PaO 2.
18
Gejala > 1 x/minggu >2kali sebulan VEP1≥80% nilai
tetapi <1 x/ hari prediksi
Serangan dapat APE ≥80% nilai
mengganggu aktivitas terbaik
dan tidur Variabiliti APE
20-30%
Persisten sedang Harian APE 60-80%
19
Langkah 2: Asma Persisten Ringan
Terapi yang dipilih untuk pengobatan jangka panjang dalam Langkah ke-2
adalah inhalasi harian kortikosteroid dosis rendahjenis kortikosteroid inhalasi
yang dipilih adalah Budesonide karena lebih banyak data yang tersedia mengenai
keamanan penggunaan Budesonide pada perempuan hamil. Penting untuk
diketahui bahwa tidak ada data yang menyatakan bahwa inhalasi kortikosteroid
lain tidak aman untuk kehamilan. Sehingga, kortikosteroid inhalasi selain
BUdesonide dapat dilanjutkan pada pasien yang sudah terkontrol dengan baik
dengan sediaan lain tersebut sebelum kehamilan, terutama jika ada pemikiran
bahwa mengganti sediaan tersebut akan merusak kontrol asma.
20
Pengobatan asma dalam Kehamilan dan laktasi
21
22
23
Tabel 3.2Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut 5
24
Tata Laksana Asma di RS
25
Tata Laksana Eksaserbasi Asma di Rumah
26
pendek selama kehamilan harus diberi hidrokortison 100 mg setiap 8 jam sampai
24 jam postpartum untuk mengobati kemungkinan supresi adrenal.
Saat wanita dengan asma berada dalam persalinan, diperlukan pemantauan
janin ketat. Pada pasien risiko rendah, mungkin tidak diperlukan pemantauan ini.
Penilaian janin dapat diselesaikan dengan pemantauan elektronik selama 20 menit
yang disebut tes masuk rumah sakit. Kemudian untuk pasien dengan asma ringan
atau sedang yang terkontrol baik dan tes masuk masuk rumah sakit yang
meyakinkan, perlu dilakukan auskultasi intermiten, pengukuran PEFR, atau
pemantauan denyut jantung janin elektronik. Pemantauan janin secara intensif
direkomendasikan untuk pasien-pasien yang memasuki persalinan dengan asma
tidak terkontrol atau asma berat dan tidak memiliki tes masuk rumah sakit yang
meyakinkan atau faktor risiko lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan
pemantauan denyut jantung janin elektronik kontinyu atau auskultasi intermiten
(setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala 2). Selama persalinan,
pemantauan janin intensif ini dapat djiadikan pedoman untuk mengambil
keputusan dalam pengelolaan asma dan obstetris yang baik.
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit,
maka persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani
komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita
memberat gejala asmanya pada waktu persalinan(1).
Selama persalinan kala I, pengobatan asma selama masa prenatal harus
diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid
harus hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan.
Bila mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan
penanganan serangan akut dalam kehamilan seperti telah diuraikan di atas(1).
Untuk induksi persalinan, oksitosin merupakan obat terpilih. Penggunaan
15-metil prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan analog
prostaglandin F2-alfa sintetik yang dilaporkan menyebabkan bronkospasme pada
pasien asma. Penggunaan prostaglandin E2 dilaporkan juga dapat menyebabkan
bronkospasme. Namun, sebuah penelitian terakhir menyebutkan bahwa bahan ini
aman untuk abortus terapeutik atau induksi persalinan janin mati pada pasien
dengan asma. Penggunaan jel prostaglandin E2 intravaginal atau intracervical
27
untuk pematangan serviks sebelum induksi persalinan tidak dilaporkan
menyebabkan bronkospasme.
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik
untuk penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya
seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional
daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya
bronkospasme yang berat(1).
Saat memilih analgesik narkotik untuk pasien dengan asma, harus
dipertimbangkan bahan tersebut menyebabkan pelepasan histamin yang
mempercepat bronkospasme. Harus dihindarkan morfin dan meperidin sehingga
bahan terpilih adalah fentanil. Analgesik narkotik menyebabkan depresi
pernafasan dan tidak boleh digunakan pada eksaserbasi asma akut.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan
pervaginam, memperpendek kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau
forceps akan bermanfaat(1).
Jika diperlukan anestesi umum, penggunaan atropin dan glikopirolat dapat
memberikan efek bronkodilator. Untuk induksi anestesi, ketamin merupakan obat
terpilih karena menurunkan resistensi jalan nafas dan dapat mencegah
bronkospasme. Anestesi halogen konsentrasi rendah dapat memberikan efek
bronkodilatasi, memberikan jalan untuk oksigen konsentrasi tinggi dan mencegah
kecemasan ibu terhadap pembedahan serta tidak menimbulkan pendarahan pasca
salin. Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang
lain, maka sebaiknya anestesi cara spinal(1).
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak
melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine
atau morfin yang melepas histamine(1).
28
dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison,
keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang
belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin(1).
Pengobatan farmakologis untuk pendarahan pasca salin pada pasien
dengan asma berbeda karena sebagian besar obat oksitosik untuk atonia uteri
dapat memperburuk bronkospasme. Oksitosin adalah obat terpilih untuk
pendarahan pasca salin. Namun jika diperlukan obat tambahan, metilergonovin
dan ergonovin harus dihindari karena menyebabkan bronkospasme. Jika
penggunaannya tidak dapat dihindarkan, sangat disarankan pengobatan awal
dengan metilprednisolon. Penggunaan 15-metil prostaglandin F2-alfa harus
dihindari karena merupakan bronkokonstriktor dan dapat memperburuk asma.
Jika diperlukan pengobatan dengan prostaglandin, analog teraman adalah E2 yang
kurang menyebabkan bronkospasme. Jika ada pendarahan uterus berat,
prostaglandin E2 20 mg supositoria dapat diberikan untuk menghindari efek
washout yang disebabkan pendarahan vagina terus-menerus.
Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan
uterotonika lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang
dapat menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat(1).
29
IUGR(intrauterine growth retardation) adalah kurangnya pertumbuhan
janin selama masih di dalam kandungan.
Lahir prematur (kelahiran sebelum usia kehamilan 37minggu)
Berat badan lahir rendah.
Kematian perinatal(kematiansegera sebelumatau setelahlahir)
Asma yang semakin terkontrol, semakin kecil risiko yang terjadi
3.13 Prognosis7
Asma dapat menyebabkan morbiditas pada wanita hamil, sebagai berikut :
Gagal nafas dan membutuhkan ventilasi mekanik
Barotrauma
Komplikasi dari penggunaan steroid (secara parenteral)
30
Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada
reperitonealis yang baik. Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering
terjadi rupture uteri spontan.
2. Sectio sesar ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen
bawah rahim).
Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmen bawah
rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm.
Kelebihan:
Penjahitan luka lebih mudah.
Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik.
Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan
penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum.
Perdarahan tidak begitu banyak.
Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil.
Kekurangan:
Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat
menyebabkan uteri uterine pecah sehingga mengakibatkan perdarahan
banyak.
Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi.
Jenis incisi pada sectio sesar sebaiknya mengikuti garis langer. Kulit terdiri
dari epidermis dan dermis. Garis Langer's ( Langer 1861 ) : garis-garis tranversal
31
sejajar pada tubuh manusia. Bila Insisi kulit dikerjakan melalui garis Langer's ini
maka jaringan parut yang terbentuk adalah minimal .
3.16 Indikasi
32
Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginal mungkin akan
menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin, dengan pertimbangan hal-hal
yang perlu tindakan sectio sesarea proses persalinan normal lama/kegagalan
proses persalinan normal (Dystosia)
Indikasi seksio sesar dibagikan kepada indikasi menurut ibu dan indikasi
menurut janin:
Para ahli kandungan atau para penyaji perawatan yang lain menganjurkan sectio
caesarea apabila kelahiran melalui vagina mungkin membawa resiko pada ibu
dan janin. Indikasi untuk sectsio caesarea antara lain meliputi:
a) Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun, memiliki
resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita dengan usia 40 tahun ke
atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya
tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing manis, dan preeklamsia.
Eklampsia (keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga dokter
memutuskan persalinan dengan sectio caesarea.
b) Tulang Panggul
Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai
dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak melahirkan
secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus tidaknya proses
persalinan.
c) Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea
Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi persalinan
selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Apabila memang ada
indikasi yang mengharuskan dilakukanya tindakan pembedahan, seperti bayi
terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka,
operasi bisa saja dilakukan.
33
d) Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada
jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.
e) Kelainan Kontraksi Rahim
Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action)
atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses
persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong, tidak dapat melewati jalan
lahir dengan lancar.
2. Indikasi Janin
34
c) Letak Sungsang
Letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak sesuai dengan arah
jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi yang satu dan bokong pada
posisi yang lain.
d) Faktor Plasenta
i. Plasenta previa
Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian atau selruh jalan
lahir.
ii. Plasenta lepas (Solution placenta)
Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari dinding rahim
sebelum waktunya. Persalinan dengan operasi dilakukan untuk menolong janin
segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air
ketuban.
iii. Plasenta accreta
Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Pada umumnya dialami
ibu yang mengalami persalinan yang berulang kali, ibu berusia rawan untuk hamil
(di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah operasi (operasinya meninggalkan bekas
yang menyebabkan menempelnya plasenta.
e) Kelainan Tali Pusat
3. Indikasi waktu
Pada kasus partus tak maju
35
Pada kasus partus macet
4. Indikasi sosial
Keinginan dari pasien atas doroan nilai-nilai sosial.
5. Indikasi Medis
Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu :
a) Power
Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya mengejan
lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang
mempengaruhi tenaga.
b) Passanger
Diantaranya, anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan letak lintang,
primi gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu
lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress syndrome
(denyut jantung janin kacau dan melemah).
c) Passage
Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada jalan
lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa menular
ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis), condyloma lota
(kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit
infeksi yang menimbulkan massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin
wanita), hepatitis B dan hepatitis C.
36
Tahun 1978 merupakan tahun penting dalam sejarah riwayat seksio sesarea.
Merril dan gibss (1978) melaporkan dari university of texas di san antonio bahwa
pelahiran pervaginam secara aman dapat dilakukan pada 83 persen pasien yang
pernah mengalami sectio sesarea. Pelaporan ini memicu minat terhadap pelahiran
pervaginam dengan riwayat sectio sesarea (VBAC) ketika hanya 2 persen wanita
amerika yang pernah menjalani sectio sesarea berupaya melahirkan pervaginam.
Di amerika serikat VBAC meningkat secara sangat bermakna sehingga pada tahun
1996 telah terjadi peningkatan 14 kali lipat (menjadi 28 persen) wanita dengan
riwayat sectio sesarea melahirkan pervaginam.
Sejak tahun 1989 terdapat beberapa laporan yang diterbitkan di seluruh
Amerika Serikat dan Kanada yang menyarankan bahwa VBAC lebih beresiko
daripada yang diperkirakan (leveno 1999) sebagai contoh scott (1991)
menyarankan “pandangan alternatif terhadap keharusan percobaan persalinan.”
Didasarkan pada pengalaman terjadinya ruptur uteri di Utah. Ia melaporkan 12
wanita yang mengalami ruptur uteri saat melahirkan pervaginam. Dua wanita
memerlukan histerektomi, tiga kematian perinatal dan dua bayi mengalami
gangguan neurologis jangka panjang yang signifikan. Potter dkk (1998) kemudian
melaporkan terjadinya 26 ruptur uteri di Salt Lake City antara tahun 1190 dan
1996 serta 23 persen bayi meninggal atau cedera akibat afiksia intra partum.
Laporan-laporan semacam ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang
keamanan VBAC dan meningkatkan silang pendapat (Flamm 1997) memang,
American College of Obstetricans and Gynecologists mengeluarkan suatu practice
buletin revisi tahun 1998 dan 1999 yang mendesak agar percobaan pelahiran
pervaginam dilakukan secara lebih berhati-hati. Dalam satu bagian tertulis
“karena ruptur uteri dapat sangat membahayakan, VBAC harus dicoba hanya di
institusi yang memiliki perlengkapan untuk berespon terhadap kedaruratan
dengan dokter yang selalu siap untuk memberikan perawatan darurat.”
American College of Obstetrican and Ginecologist (1999) mengamati
bahwa “menjadi semakin jelas bahwa VBAC berkaitan dengan peningkatan kecil
tetapi bermakna dengan resiko ruptur uteri dengan akibat buruk bagi ibu dan bayi.
Perkembangan ini yang mendorong pendekatan lebih berhati-hati dalam
percobaan persalinan bahkan oleh pendukung VABC yang paling gigih sekalipun,
37
menggambarkan perlunya dilakukan evaluasi ulang terhadap rekomendasi VBAC.
Maka dari itu ditetapkan rekomendasi VBAC dari American College of
Obstetrican and Ginecologist (1998,1999) yang sedang berlaku, yang walaupun
mendorong kita untuk berhati-hati, juga secara gigih mendorong VBAC.
Rekomendasi the American Obsterticians and Ginecologist (1999) tentang
seleksi kandidat untuk pelahiran pervaginam dengan riwayat sectio saesarea
(VABC)
Kriteria Seleksi
Riwayat satu atau dua kali seksio saesarea transversal rendah.
Panggul adekuat secara klinis.
Tidak ada parut atau riwayat ruptur uteri lain
Sepanjang persalinan aktif selalu tersedia dokter yang mampu memantau
persalinan dan melakukan seksio saesarea darurat.
Ketersediaan anestesi dan petugas untuk seksio saesarea darurat
Dari american college of obstetricans and ginecologists (1999).
Dari tabel diatas juga harus diperhitungkan pada kasus riwayat sectio sesar
multipel, jaringan parut yang tidak diketahui, presentasi bokong, kehamilan
kembar, kehamilan postmatur, dan kecurigaan makrosomia. Sebelum VBAC
dilaksanakan pada keadaan-keadaan diatas perlu dilakukan studi lanjut tentang
efek sampingnya.
Score flamm dan Geiger juga dapat dipakai untuk menilai kandidat yang
cocok untuk lahir pervaginam. Adapun score Flamm and Geiger untuk VBAC
antara lain:
1. Usia di bawah 40 tahun (2 poin).
2. Ada riwayat pernah melahirkan normal/per vagina:
A. Sebelum dan setelah sesar (4 poin)
B. Setelah sesar pertama (2 poin)
C. Sebelum sesar pertama (1 poin)
D. Belum pernah melahirkan per vagina (0 poin)
3. Indikasi pada sesar sebelumnya adalah selain karena partus tak maju (1 poin)
Parameter 1-3 ini berarti bisa dinilai sebelum masuk persalinan.
4. Pendataran serviks (dinilai oleh dokter dalam persalinan)
38
a. >75% (2 poin)
b. 25-75% (1 poin)
c. <25% (o poin)
5. Dilatasi serviks minimal 4 cm (1 poin).
Selanjutnya poin dijumlah, dan dilihat nilai terhadap persentase
keberhasilan:
0-2 : 42-49%
3 : 59-60%
4 : 64-67%
5 : 77-79%
6 : 88-89%
7 : 93%
8-10 : 95-99%
Bila persentase keberhasilan kurang dari 50%, pasien sangat dianjurkan melalui
sesar lagi. Tetapi bila lebih dari 90%, dianjurkan melalui vagina.
39
and ginecologists (1999) menyimpulkan bahwa walaupun bukti ilmiah masih
terbatas dan tidak konsisten, wanita dengan incisi vertikal di segmen bawah uterus
yang tidak meluas ke fundus dapat menjadi kandidat VBAC.
Wanita yang pernah mengalami ruptur uteri beresiko mengalami
kekambuhan. Mereka yang mengalami ruptur sebatas di segmen bawah
dilaporkan memiliki angka rekurensi 6 persen pada persalinan berikutnya,
sedangkan mereka yang riwayat ruptur mencakup uterus bagian atas mempunyai
resiko rekurensi sebesar 32 persen. (Reyes-Ceja dkk, 1969; Ritchie, 1971)
Idealnya wanita dengan riwayat ruptur uteri atau incisi klasik atau bentuk T
melahirkan dengan sectio saesarea setelah paru janin matang sebelum awitan
persalinan dan bahwa para wanita tersebut diberitahu mengenai bahayanya
bersalin tanpa bantuan dan tanda-tanda kemungkinan ruptur uteri. Dalam
mempersiapkan laporan operasi setelah melakukan incisi uterus vertikal, dokter
perlu mencatat luas sebenarnya dari jaringan parut sedemikian sehingga mungkin
tidak disalah artikan oleh dokter berikutnya.
40
3.21 Indikasi Sectio Caesarea Sebelumnya
Angka keberhasilan percobaan persalinan sedikit tergantung pada indikasi
seksio saesarea sebelumnya. Secara umum sekitar 60 sampai 80 persen percobaan
persalinan pervaginam pada pasien dengan riwayat seksio saesarea berhasil
(american college of obstetricans and ginecologists 1999). Angka keberhasilan
agak membaik apabila seksio saesar sebelumnya dilakukan atas indikasi
presentasi bokong atau gawat janin daripada distosia. Angka keberhasilan VBAC
bagi wanita yang seksio saesarea pertamanya untuk presentasi bokong adalah 91
persen dan menjadi 84 persen apabila indikasi awalnya ialah gawat janin (Wing
dan Paul, 1998). Angka tersebut turun menjadi 77 persen pada mereka dengan
distosia sebagai indikasi seksio sesarea.
Riwayat kelahiran pervaginam baik sebelum atau sesudah sectio saesarea
secara bermakna meningkatkan prognosis keberhasilan VBAC. Bahkan, faktor
prognostik yang paling menguntungkan adalah riwayat kelahiran pervaginam.
Menurut American College of Obstetricans and Ginecologists (1999)
terdapat kecenderungan untuk memperluas indikasi penerapan VBAC. Indikasi-
indikasi tersebut mencakup riwayat sectio saesarea multipel, jaringan parut yang
tidak diketahui, presentasi bokong, kehamilan kembar, kehamilan postmatur dan
kecurigaan makrosomia.
41
Ruptur uteri terjadi pada 2,3 persen dari mereka yang diinduksi dibandingkan
augmentasi (1 persen) atau persalinan spontan (0,4 persen). American College of
Obstetricans and Ginecologists (1999) merekomendasikan pemantauan pasien
secara ketat apabila digunakan oksitosin atau gel prostaglandin pada wanita
dengan riwayat seksio sesarea yang menjalani percobaan persalinan pervaginam.
Dahulu pemakaian analgesia epidural diperdebatkan karena kekhawatiran
bahwa analgesia epidural dapat menutupi nyeri ruptur uteri. Namun pada
kenyataannya, kurang dari 10 persen wanita dengan robekan jaringan parut
mengalami nyeri dan perdarahan dan deselerasi frekuensi denyut jantung janin
merupakan tanda yang paling mungkin pada kejadian ini (Flamm dkk.,1990) .
Beberapa studi membuktikan keamanan analgesia epidural yang dilakukan
dengan benar (Farmer dkk., 1991; flamm dkk.,1994)
42
4. Pemeriksaan USG yang dilakukan pada minggu ke 12 sampai 20
memastikan usia gestasi paling sedikit 39 minggu yang ditentukan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Prosedur Tindakan Sectio Caesarea
a. Izin Keluarga
Pihak rumah sakit memberikan surat yang harus ditanda tangani oleh keluarga,
yang isinya izin pelaksanaan operasi.
b. Pembiusan
Pembiusan dilkakukan dengan bius epidural atau spinal. Dengan cara ini ibu akan
tetap sadar tetapi ibu tidak dapat melihat proses operasi karena terhalang tirai.
c. Disterilkan
Bagian perut yang akan dibedah, disterilkan sehingga diharapkan tidak ada bakteri
yang masuk selama operasi.
d. Pemasangan Alat
Alat-alat pendukung seperti infus dan kateter dipasangkan. macam peralatan yang
dipasang disesuaikan dengan kondisi ibu.
e. Pembedahan
Setelah semua siap, dokter akan melakukan sayatan demi sayatan sampai
mencapai rahim dan kemudian selaput ketuban dipecahkan. Selanjutnya dokter
akan mengangkat bayi berdasarkan letaknya.
f. Mengambil Plasenta
g. Menjahit
Langkah terakhir adalah menjahit sayatan selapis demi selapis sehingga tetutup
semua.
43
Fase Pembedahan
Ada tiga fase dalam tahap pembedahan, yaitu : a) Fase praoperatif dimulai ketika
keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhirketika pasien dikirim ke
meja operasi. b) Fase intraoperatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindah
kebagian atau departemen bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan. c) Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang
pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau
rumah.
44