Вы находитесь на странице: 1из 10

BAGIAN ILMU ANESTESI, TERAPI INTENSIF JOURNAL READING

DAN MANAJEMEN NYERI JANUARI 2018


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

TRAUMATIC BRAIN INJURY:


Initial Resuscitation and Transfer

OLEH :
Muh. Ridho Akbar (C 111 12 065)

PEMBIMBING:
dr. Noor Ramadhaniah

KONSULEN:
Dr. dr. Syamsul Hilal Salam, Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANESTESI, TERAPI INTENSIF & MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
TRAUMATIC BRAIN INJURY

ABSTRAK

Traumatic Brain Injury (TBI) adalah trauma yang sering terjadi dengan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Resusitasi awal dan penanganan pada
pasien TBI terfokus untuk membatasi terjadinya cedera otak sekunder dan
penanganan akan menjadi rumit pada pasien yang mempunyai cedera pada organ
lain. Transfer pasien cedera otak yang kritis untuk pengobatan definitive dapat
menimbulkan risiko yang besar dan harus ditangani. Pada jurnal ini akan
membahas tentang resusitasi awal dan transfer pasien dengan cedera kepala.

PENDAHULUAN

Trauma adalah kejadian yang paling sering menyebabkan kematian pada


anak-anak dan orang dewasa dibawah usia 45 tahun dan jenis trauma yang paling
sering menyebabkan kematian adalah TBI. Setengah dari seluruh pasien TBI
memiliki cedera major ekstrakranial, oleh karena itu kita perlu melakukan
resusitasi yang baik dan tepat. Semua cedera yang berat perlu diatasi, terutama
cedera ekstrakranial berpotensi untuk memperburuk cedera otak, dan cedera otak
dapat menyebabkan komplikasi pada kardiovaskular dan pernapasan.

RESUSITASI AWAL

1. Fase Prehospitalt

Penanganan TBI Prehospital bervariasi tergantung kemampuan penolong


dan sumber daya yang tersedia. Namun, prioritas manajemen tetap sama.
Penilaian yang cepat perlu dilakukan, biasanya dilakukan secara bersamaan
dengan resusitasi awal. Mengidentifikasi dan mengobati cedera yang mengancam
nyawa dilakukan dengan sistematis, dan pasien harus dipersiapkan baik-baik dan
ditransfer untuk mendapatkan penanganan definitif.
Beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai penanganan prehospital dapat
mengurangi cedera otak sekunder. Intubasi dan ventilasi dapat dilakukan untuk
mengontrol hypoxia, hypercapnia atau hypocapnia, atau sebagai fasilitas transport
pada pasien yang gelisah dan agresif. Perdarahan dikontrol dengan pemberian
cairan (termasuk transfusi darah) dapat meningkatkan jumlah oksigen ke otak dan
cairan saline hypertonic dapat digunakan untuk mengontrol tekanan intracranial
(ICP).

Penanganan TBI prehospital bisa menjadi sulit dilakukan bahkan sulit


diidentifikasi pada lingkungan prehospital. Syok yang disebabkan oleh cedera
non-neurologis dapat merusak proses oksigen masuk kedalam otak dan hal ini
sama seperti TBI. Cedera kepala yang terlokalisir dalam jangka panjang dapat
menjadi apnue tanpa kerusakan struktural yang berat. (Apnue yang berdampak
pada otak)

2. Jalan napas dan tulang belakang servikal


Ketika pasien berada di Unit Gawat Darurat (UGD) penilaian harus segera
dilakukan untuk memastikan jalan napas pasien tidak ada masalah. Caranya
adalah memastikan posisi organ pernapasan, atau melakukan intervensi de-novo
jalan napas. Hal ini mungkin perlu dilakukan intubasi trakea untuk mencegah
aspirasi jika refleks jalan napas tidak ada, bahkan hal ini dilakukan pada jalan
napas yang tidak bermasalah.
Intubasi dilakukan dalam hal darurat pada obstruksi jalan napas, disituasi
lain biasanya terfokus untuk menilai skor Glasgow Coma Scale (GCS), ukuran
pupil dan reaktivitas dan tanda cedera saraf tulang belakang. Induksi anastesi
lebih lanjut pada penilaian klinis akan terbatas.
Jika Intubasi trakea menjadi pilihan, hal yang penting harus dihindari
adalah hipotensi, hipoksia atau peningkatan tekanan intracranial yang signifikan.
Status fisiologis pasien adalah pertimbangan yang lebih penting daripada pilihan
obat. Namun, sebagian besar situasi, ketamine dan recuronium merupakan
prioritas utama untuk induksi dari anastesi pada TBI dan aman digunakan pada
saat melakukan intubasi. Bolus cairan mungkin perlu dilakukan untuk menjaga
tekanan darah dan preoxygenasi dan apoeic insufflation yang sangat baik dalam
mengurangi kejadian hypoxia.
Checklist pre-intubasi sangat baik digunakan untuk intubasi prehospital,
dan dapat digunakan untuk mengurangi risiko kesalahan dalam intubasi unit
gawat darurat.
Cedera tulang belakang relatif jarang terjadi dan sering tidak terkait
dengan cedera saraf tulang belakang. Namun, beberapa cedera menjadi tidak
stabil dan menjadi risiko cedera iatrogenik. Beberapa kontroversi dalam
imobilisasi tulang belakang servikal, tapi sangat penting untuk
mempertimbangkan resiko cedera saraf tulang belakang selama proses intubasi.
Manual inline stabilization (MILS) harus digunakan selama laryngoscopy dan
penggunaan karet elastis Bougie atau video laryngoscopy dapat membantu
mengurangi gaya yang ditransmisikan ke tulang belakang servikal. Cervikal collar
yang kaku dapat berpotensi menyebabkan efek samping dan harus dilepas segera
setelah cedera servikal diatasi.
3. Ventilasi
Ventilasi mekanik akan diperlukan jika pasien telah diobati untuk
mempertahankan jalan napas tetap terbuka dan dilindungi. Namun, terdaoat
indikasi ventilasi. Ketika pasien sesak napas spontan atau hypoventilasi maka
ventilasi mekanis harus digunakan untuk mempertahankan pCO2 dalam kisaran
(4.5e5.0.kPa). Hypercapnia dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
dan hypocapnia mengakibatkan vasokonstriksi serebral dan mengganggu jalannya
oksigen ke otak. Ventilator harus digunakan dengan volume konstan semenit
daripada ventilasi yang menyebabkan bervariasinya pCO2.
Ventilasi mekanik diperlukan untuk mengatasi hypoxemia yang
diakibatkan oleh cedera paru-paru seperti kontusio. Positive end-expiratory
pressure (PEEP) membantu dalam mempertahankan oksigenasi pada level (<12
cmH2O) secara signifikan tidak meningkatkan tekanan intrakranial.
4. Tatalaksana Kardiovaskuler
TBI dan perdarahan besar adalah kombinasi yang dapat terjadi dan
menjadi tantangan karena tujuan hemodinamik. Cedera sistemik dengan
perdarahan aktif menjadi hipotensi relative dengan perdarahan dikontrol,
sebaliknya cedera terlokalisir pada otak membutuhkan tekanan sistolik tetap tinggi
untuk menjaga tekanan perfusi otak yang baik. Risiko perdarahan dan risiko
iskemik otak harus diseimbangkan. Pada pasien dengan cedera otak terisolasi,
tekanan sistolik ditargetkan untuk mempertahankan tekakan perfusi serebral
(CPP). Jika terdapat cedera yang lain dengan perdarahan aktif, maka target
tekanan darah rendah dapat ditoleransi tapi cut-off masih diperdebatkan (Tabel 1.)
Penatalaksanaan hipotensi dapat dilakukan dengan pemberian cairan untuk
mengembalikan normovolemia. Pada cedera kepala terisolasi cairan kristaloid
cocok, tapi pada kasus polytrauma memerlukan kombinasi darah dan produk
darah lainnya untuk menghindari koagulopati. Perdarahan yang berat dan terus-
menerus perlu dikontrol dengan agresif dan harus dikontrol sebelum dilakukannya
pengobatan definitf TBI.

Tabel 1. Target kardiovaskuler dan respirasi pada TBI berat

Ventiasi :PaO2 > 11kPa

: PaCO2 4,5 -5.0 kPa

Kardiovaskuler : Tekanan darah sistolik (SBP) > 90 mmHg (TBI dan


perdarahan yang mengancam nyawa

SBP > 100 mmHg (TBI terisolasi, umur 50-69 tahun)

SBP > 110 mmHg (TBI terisolasi umur 15-49 tahun)

SBP > 110 mmHg (TBI terisolasi umur > 70 tahun

Pemberian vasopressor berhubungan dengan memburuknya keadaan


asidosis metabolik dan umumnya harus dihindari selama resusitasi awal. Namun,
jika hipotensi berlanjut yang disebabkan karena dilatasi, maka vasokonstriktor
diberikan secara tepat yang dapat membantu menjaga tekanan perfusi ke otak
secara adekuat.

Pemberian awal asam tranexamat mengurangi risiko kematian pada pasien


trauma dengan perdarahan. Keamanan dan efektivitas asam tranexamat dalam
pengobatan TBI saat ini masih diteliti.

5. Penilaian Neurologis

Banyak penyebab trauma tidak mampu diperiksa dengan pemeriksaan


neurologis lengkap, baik karena terintubasi dan tersedasi atau karena bingung atau
terganggu oleh nyeri. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pemeriksaan
sebelum melakukan induksi anestesi, walaupun penilaiannya sangat singkat
namun sangat diperlukan ketika jalan napas perlu dikelola segera.

Selama resusitasi awal, penilaian yang paling penting adalah Skor GCS,
ukuran pupil dan respon pupil. Ketika cedera mengancam nyawa telah diatasi,
pada saat secondary survey harus dilakukan lebih banyak pemeriksaan neurologis.

6. Tatalaksana Neorologis

Edema serebral dan intracranial hematom dapat menyebabkan peningkatan


tekanan intracranial yang berhubungan dengan peningkatan mortalitas. Kurang
lebih 5 menit, episode peningkatan tekanan intracranial berhubungan dengan
kondisi yang buruk. Selama resusitasi penting untuk menghindari penyebab
peningkatan tekanan intracranial. Cervical collar dan pengikat ETT tidak boleh
menekan vena jugularis, analgetik yang adekuat dan sedative harus diberikan, dan
kepala pasien harus dielevasikan setinggi 30° (jika status kardiovaskuler dan
cedera lain memungkinkan).

Pasien dengan skor GCS yang memburuk atau perubahan pupil


diperkirakan terjadi peningkatan tekanan intracranial atau herniasi perlu diberikan
cairan hyperosmolar untuk mengurangi edema cerebral. Pemberian mannitol (0,
25 sampai 1 gr/kgBB) diberikan sebagai tatalaksana akut pada peningkatan
tekanan intracranial tetapi tidak pernah dilakukan perbandingan acak terhadap
placebo. Salin hipertonik adalah agen alternative yang mungkin bermanfaat pada
syok hemoragik.

Autoregulasi cerebral sering terganggu pada TBI dan aliran darah otak
dapat bergantung pada tekanan, Peningkatan tekanan intracranial dengan
penurunan CPP dapat menyebabkan iskemik otak dan karena itu harus dihindari.
Jika pemantauan tekanan intracranial tersedia, CPP dapat dihitung dan tekanan
darah sistemik dapat meningkat untuk mempertahankan perfusi otak secara
adekuat.

7. Pencitraan

Sangat penting dengan cepat mengidentifikasi semua cedera yang


signifikan dan CT Scan Multi Slice menjadi elemen penting dari resusitasi trauma.
CT adalah pemeriksaan utama untuk mengidentifikasi cedera otak dan foto X-Ray
kepala dan MRI tidak memiliki peran selama fase utama resusitasi trauma.

Semua orang dewasa dengan cedera kepala sedang atau berat harus
dilakukan CT Scan kepala dan tulang cervical dalam waktu 60 menit. Indikasi lain
untuk dilakukan pemeriksaan segera adalah pada pasien dengan kejang post
trauma, defisit neurologi fokal atau muntah yang lebih dari satu kali (Kotak 1).
Pasien dengan cedera kepala ringan yang tidak kembali ke skor GCS 15 juga
harus diperiksa dalam waktu 2 jam untuk menyingkirkan patologi pada
intracranial.

Pengulangan pencitraan mungkin diindikasikan pada peningkatan cedera


kepala dan mengikuti penurunan keadaan klinis atau peningkatan tekanan
intracranial yang signifikan.

KRITERIA UNTUK MELAKUKAN CT SCAN KEPALA

- Skor GCS <13 pada pemeriksaan awal


- GCS <15 2 jam setelah cedera pada pemeriksaan di unit gawat darurat
- Suspek fraktur terbuka atau depresi pada tengkorak kepala.
- Beberapa tanda dari farktur basis cranii
- Kejang post trauma.
- Defisit neurologis fokal.
- Muntah yang lebih dari satu kali sejak cedera kepala
Sumber: Head injury: assessment and early management, NICE Clinical
guideline [CG176] Published date: January 2014

TRANSFER

1. Unit Trauma

Unit trauma regional dikembangkan untuk menyediakan sistem kolaborasi


yang terorganisir antara pusat unit trauma dan sejumlah unit trauma kecil yang
memberikan perawatan pada kasus yang kurang kompleks. Tingkat ketiga rumah
sakit setempat menyediakan layanan gawat darurat untuk luka ringan. Protokol
spesifik triase telah diperkenalkan untuk mendukung keputusan pada pasien yang
harus ditangani langusng oleh pusat unit trauma dan akibatnya semua cedara
kepala yang sedang dan berat dipindahkan secara cepat ke pusat unit trauma
dengan kemampuan dokter bedah saraf. Persyaratan untuk transfer sekunder
jarang dilakukan tetapi pasien dengan TBI berat masih diperbolehkan ke unit
trauma dalam kondisi tertentu. Sebagai contoh, jika pasien memiliki sumbatan
jalan napas yang telah ditriase atau dating sendiri di unit gawat darurat.

Pasien dengan TBI sedang atau berat yang telah dirawat di unit trauma
atau rumah sakit local akan membutuhkan untuk ditransfer ke pusat unit trauma
untuk tatalaksana definitive pada cedera neurologisnya, bahkan intervensi bedah
segera tidak diperlukan. Urgensi pada transfer tergantung pada cedera yang
dialami.
2. Pengelolahan

Setelah melakukan primary survey dan pemeriksaan lanjutan pada pasien


dengan cedera y ang tidak dapat ditangani secara local harus dikelola di pusat unit
trauma.

Transfer dari unit trauma ke pusat unit trauma akan bervariasi berdasarkan
pola cedera dan kebijakan local, tetapi secara umum, TBI berat dengan CT Scan
abnormal harus dialihkan segera ke pusat unit trauma. Pasien dengan ekstradural
atau subdural hematom dengan midline shift harus juga dialihkan secepatnya,
untuk beberapa keadaan darurat, sangat penting untuk mengkonfirmasi jika pasien
butuh untuk dialihkan ke unit gawat darurat atau langsung ke ruang operasi atau
alat angiografi.

Pasien dengan TBI ringan atau sedang harus didiskusikan oleh tim bedah saraf
setempat untuk saran lebih lanjut.

3. Waktu untuk Transfer

Meskipun transfer untuk pengobatan definitif sering krisis waktu, resusitasi


awal dan stabilisasi pada pasien harus dilakukan dan dipantau sebelum
meninggalkan unit gawat darurat untuk menghindari komplikasi saat perjalanan.
Bahkan untuk keadaan darurat, pasien harus ditransfer dengan aman.

4. Secara Praktis

Saat transfer waktu krisis, penting untuk menghindari hal yang tidak perlu,
intervensi yang memakan waktu. Sering kali, prosedur seperti pemasangan kateter
arteri dan vena sentral ditunda, terutama untuk transfer yang pendek. Prioritas
segera adalah intubasi endotrakhea. Akses vena yang adekuat dan memastikan
bahwa peningkatan tekanan intracranial dapat diatasi dan tekanan darah sistemik
dapat dipertahankan. Tujuan fisiologis dasar tidak mengubah pasien ketika
meninggalkan unit gawat darurat dan transport oksigen yang adekuat dan CPP
harus dipertahankan selama transfer.
Jika cedera sistemik lain terjadi, dibutuhkan peralatan tambahan atau
mengambil produk darah ke dalam ambulans. Hal ini penting untuk mengelola
kondisi buruk pasien. Tim transfer harus mencakup dokter yang terlatih dan
tenaga medis professional lainnya, memiliki kompetensi dalam pengelolaan jalan
napas dan tatalaksana trauma. Pengecekan harus selalu dilakukan untuk
memastikan pemantauan yang adekuat, peralatan, obat-obatan dan semua riwayat
pasien harus disertakan. Sarana komunikasi yang dapat diandalkan harus tersedia
selama transfer dan jika ada perubahan signifikan pada kondisi pasien maka harus
disampaikan ke konsultan unit pusat trauma atau dokter bedah saraf agar pasien
langsung menuju ke kamar operasi.

Вам также может понравиться