Вы находитесь на странице: 1из 15

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Manajemen Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Tn. H (61 Tahun) masuk ke RSUP Dr.M.Djamil Padang melalui IGD

tanggal 16 Desember 2017 dengan keluhan terdapat benjolan dengan

ukuran 6 cm x 6 cm x 5 cm. Nyeri dirasakan pada benjolan di leher

sebelah kiri yang semakin meningkat sejak 3 hari SMRS, keluhan ini

sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu, demam hilang timbul sejak 1

minggu yang lalu, dan saat pengkajian kien tidak mengalami demam.

Klien sebelumnya kontrol ke RSUD Solok Selatan, karena nyerinya

semakin meningkat dan untuk mendapatkan penanganan yang lebih

intensif pasien di rujuk ke RSUP Dr.M.Djamil Padang, klien dirawat di

IRNA penyakit Dalam Pria RSUP Dr.M.Djamil Padang dan direncanakan

untuk menjalani kemoterapi, dan pasien dirawat dengan diagnosa medis

Limfoma Maligna Non-Hodgin.

Limfoma Non Hodgkin adalah keganasan primer berupa gangguan

proliferatif tidak terkendali dari jaringan limfoid (limfosit B dan sistem sel

limfosit T). Limfoma atau Kanker Getah Bening adalah tipe kanker yang

menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening. Sel

tersebut cepat menggandakan diri dan tumbuh secara tidak terkontrol

(Setiyohadi & Bambang, 2009).

Menurut Kumar, Abbas, & Fausto (2005) kejadian LMNH sedikit

lebih tinggi terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, dengan rasio laki-
laki-perempuan yaitu 1,4: 1. Menurut American Cancer Societyy (2015)

limfoma maligna non hodgkin banyak terjadi pada umur > 60 tahun.

Berdasarkan hasil pengkajian pasien mengatakan tidak ada anggota

keluarganya yang mengalami penyakit yang sama dengan dirinya. Namun

pasien sebelumnya memiliki kebiasaan merokok 1-2 bungkus/ hari, suka

mengkonsumsi makanan yang digoreng, dan sering mengkonsumsi

makanan yang diberi MSG. Menurut American Cancer Society (2015)

LMNH dapat disebabkan karena pola hidup dan diit individu tersebut,

seperti merokok, mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak, dan

mengkonsumsi zat penyedap makanan. Dimana zat tersebut dapat memicu

pertumbuhan sel abnormal di dalam tubuh. Selain itu dari segi pekerjaan

pasien bekerja sebagai seorang petani, yang biasa adanya paparan

herbisida dan pelarut organic yang bisa memicu terjadinya penyakit

LMNH.

Pada saat pengkajian tanggal 20 Desember 2017, tingkat kesadaran

klien Compos metis, dengan vital sign : TD = 140/90 mmHg, HR = 92 x/i,

RR= 24 x/i, S = 36,6oC, klien masih mengeluh nyeri pada leher. P: Pasien

mengatakan nyeri pada lehernya / coli sinistra karena benjolan pada leher

kiri. Q:Pasien mengatakan nyerinya seperti berdenyut-denyut

Pasien mengatakan panas dan terasa tegang di area yang nyeri (bengkak)

R: Nyeri dirasakan pada bagian coli/leher sinistra dan tidak menjalar

ketempat lain, S : Skala nyeri 6, T: Nyeri dirasakan klien menetap, dan

semakin meningkat sejak 3 hari SMRS, nyeri meningkat pada waktu

tertentu, biasanya pada malam hari. Klien juga mengeluh mengalami


gangguan tidur, klien mengatakan hanya tidur 4-5 jam sehari akibat rasa

nyeri pada leher yang dirasakan klien, Tn.H juga susah mendapatkan

posisi yang nyaman akibat benjolan di leher kiri. Klien juga mengeluh

badan terasa lemah, letih, dan tidak nafsu makan. Keluarga mengatakan

klien hanya makan 3-4 sendok dari porsi diit yang didapatkan dari Rumah

Sakit. Total protein : 6,5 g/dl, Albumin : 7,6 g/dl, hemoglobin : 9,7 g/dl,

hematokrit : 35%, dan mukosa bibir tampak kering, konjungtiva anemis.

Nyeri yang dirasakan klien adalah akibat proses proliferasi sel

abnormal pada kelenjar limfanya sehingga akan menekan jaringan lain

disekitarnya. Menurut Dessain (2009) pada penderita LMNH akan

merasakan nyeri akibat proses proliferasi sel dan penekanan jaringan lain

oleh sel abnormal. Rasa nyeri merupakan mekanisme perlindungan, rasa

nyeri timbul bila adanya kerusakan jaringan yang akan menyebabkan

individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri.

Proses nyeri terjadi saat stimulus norsiseptor oleh stimulus noxious

(nyeri) sampai terjadinya pengalaman subjectif nyeri dimana suatu

kejadian elektrik dan kimia tubuh. Pada pasien LMNH berasal dari nyeri

somatic yaitu adanya kerusakan jasmaniah akibat adanya pertumbuhan sel

abnormal di dalam tubuh, berupa nyeri nosiseptik yaitu nyeri karena

rangsangan nosiseptor aferen saraf perifer yang diakibatkan oleh pengaruh

prostaglandin E, selain itu nyeri juga terjadi karena tekanan atau kerusakan

jaringan yang mengandung reseptor nyeri, jepitan atau metastase (Endang,

2017).
Nyeri yang dirasakan pasien juga dapat menjadi penyebab

ketidaknyamanan, sehingga membuat pasien mengalami penurunan nafsu

makan (Friedberg, Mauch, Rimsza, & Fisher, 2011). Beberapa kasus pada

pasien LMNH terjadi tekanan pada kerongkongan dan tenggorokan yang

mengakibatkan penyempitan pada saluran tersebut, sehingga pasien akan

mengalami kesulitan dalam menelan dan membuat pasien mengalami

penurunan nafsu makan. Selain itu, adanya sel abnormal pada tubuh

menyebabkan terjadinya peningkatan metabolisme pada tubuh penderita

LMNH, sehingga mengakibatkan penderita mengalami anemia, protein

yang rendah, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, dan

kelemahan (Otto & Shirley, 2005). Selain itu pasien juga sering mengeluh

gangguan tidur sering terjadi sekitar 33-50% pada pasien

kanker.Gangguan pola tidur karena akibat dari proses penyakit kanker

yaitu nyeri, efek dari pengobatan yang dijalani oleh pasien kanker seperti

kemoterapi, radiasi, dll (National Cancer Institute, 2014).

Gejala yang tidak ditemukan pada Tn.H yaitu demam dan sering

keringat malam. Menurut American Cancer Societyy (2015) menyatakan

bahwa beberapa pasien dapat mengalami demam menetap dan berkeringat

pada malam hari tak dapat dijelaskan dan lebih tinggi dari 38oC tanpa

gejala infeksi. Hal ini berarti bahwa mekanisme gejala yang di alami

pasien LMNH beragam, tergantung kondisi individu tertentu, ada beberapa

individu yang mengalami demam dan menggigil pada malam hari,

sedangkan individu yang lain tidak mengalami hal yang sama.


2. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan hasil pengkajian keperawatan yang telah dilakukan pad

pasien dapat ditegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan fisiologis dan

keluhan pasien yaitu :

1) Nyeri kronik b.d Proses penyakit : penekanan syaraf akibat

proses inflamasi dan keganasan penyakit.

Diagnosa ini dijadikan diagnosa utama karena bertujuan untuk

mengatasi masalah nyeri, meningkat kenyamanan pasien. Berdasarkan

NANDA (2012), diagnosis nyeri kronik adalah pengalaman emosional

dan sensori yang tidak menyenangkan yang muncul dari kerusakan

jaringan secara aktual dan potensial atau menunjukkan adanya

kerusakan. Sesuai dengan batasan karakteristiknya pasien mengalami

perubahan nafsu makan, perubaha tekanan darah, laporan isyarat

nyeri, mengekspresikan perilaku, indikasi nyeri yang dapat diamati,

perubahan posisi untuk menghindari nyeri, sikap melindungi tubuh,

dan gangguan tdur.

Hal ini sesuai dengan keadaan pasien dimanan saat pengkajian

yang menyatakan ia mengalami penurunan nafsu makan,saat

pengkajian klien masih mengeluh nyeri pada leher. P: Pasien

mengatakan nyeri pada lehernya / coli sinistra karena benjolan pada

leher kiri. Q:Pasien mengatakan nyerinya seperti berdenyut-denyut,

Pasien mengatakan panas dan terasa tegang di area yang nyeri

(bengkak) R: Nyeri dirasakan pada bagian coli/leher sinistra dan tidak

menjalar ketempat lain, S : Skala nyeri 6, T: Nyeri dirasakan klien


menetap, dan semakin meningkat sejak 3 hari SMRS, nyeri meningkat

pada waktu tertentu, biasanya pada malam hari. Pasien tampak

meringis.

2) Gangguan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh b.d peningkatan metabolisme tubuh karena proses

penyakit (lihat ulang diagnosa ini)

Diagnosis berikutnya yang diangkat adalah untuk mengatasi

masalah nutrisi pada pasien agar kebutuhan nutrsi pasien terpenuhi.

Menurut NANDA (2012) diagnosis ketisakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh merupakan keadaan dimana individu

mengalami intake yang kurang dari kebutuhan tubuh untuk

memenuhi kebutuhan metaboliknya. Sesuai dengan batasan

karakteristiknya, yaitu penurunan nafsu makan, penurunan berat

badan, membran mukosa pucat dan kering, kurang tertarik terhadap

makanan,dan tidak nafsu makan.

Saat Pengkajian pasien mengeluhkan mengalami penurunan

nafsu makan, mukosa bibir klien tampak pucat dan kering,

konjungtiva anemis, klien mengeluh badannya lemah, klien makan

3-4 sendok dari porsi diit yang diberikan, penurunan berat badan

selama sakit (+) yitu 5 kg. Total protein : 6,5 g/dl, Albumin : 7,6

g/dl, Hb : 9,7 g/dl, hematokrit : 35%.


3) Gangguan Pola Tidur b.d Proses Penyakit

Diagnosa berikutnya yang diangkat adalah gangguan pola tidur

diangkat untuk mengatasi masalah kebutuhan tidur pasien, untuk

mengurangi gangguan tidur dan membantu meningkatkan kualitas

tidur pasien hospitalisasi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup

dan fungsi kekebalan tubuh pasien tersebut (Safaa & Gehan, 2014).

Dalam NANDA, diagnosa gangguan pola tidur didefenisikan sebagai

perubahan pola tidur normal menjadi tidak normal dan

ketidakpuasan atau kualitas tidur yang berkurang karena sering

terbangun. Sesuai dengan batasan karakteristiknya yaitu, keluhan

verbal merasa istirahat tidak baik, ketidakpuasan dengan tidur,

melaporkan sering terbangun saat tidur dan melaporkan kesulitan

untuk memulai tidur

Saat pengkajian, TN.H mengatakan sulit untuk memulai tidur

dan sering terbangun pada malam hari. Pasien mengeluhkan sulit

tidur hanya ± 4-5 jam perhari. Kemudian juga mengatakan tidak

merasa segar saat bangun pagi, dan sering merasa mengantuk pada

pagi hari.

3. Intervensi dan Implementasi

Setelah mengetahui keluhan yang dirasakan pasien maka terdapat

beberapa intervensi dan implementasi yang sesuai dengan kondisi pasien

dan dipilih berdasarkan prioritas yang dibutuhkan oleh pasien.


a. Nyeri kronik b.d penekanan syaraf akibat proses inflamasi dan

keganasan penyakit.

Diagnosa pertama adalah nyeri kronik disarankan outcomes

mampu mengontrol nyeri dan peningkatan kenyamanan. Untuk

mencapai tujuan diberikan beberapa intervensi untuk

diimplementasikan. Menurut Bulecheck & McCloskey (2008)

intervensi yang ditegakkan sesuai dengan keadaan pasien, dan

mencapai tujuan yang diinginkan. Sesuai data yang didapatkan maka

intervensi yang akan dilakukan adalah Manajemen Nyeri dan

kolaborasi pemberian obat-obatan. Implementasi yang dilakukan yaitu

(1) Melakukan penilaian nyeri secara komprehensif (karakteristik,

durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor prespitasi), (2) Mengobservasi

reaksi non verbal dari ketidaknyamanan, (3) Memberikan posisi yang

nyaman bagi pasien agar dapat mengurangi nyeri (Imobilisasi leher

pasien dan menjaga area nyeri agar tidak tertekan), (4) Monitor

Tanda-tanda vital, (5) Menyediakan lingkungan yang aman disekitar

pasien, (6) Memberikan analgetik untuk mengurangi nyeri (Pronalges

dan paracetamol 500 mg), dan (7) Pada 20 - 29 Desember 2017

memberikan teknik pengurangan nyeri secara non farmakologis

dengan cara memberikan terapi relaksasi otot progresif.

Relaksasi adalah suatu bentuk tekhnik yang melibatkan

pergerakan anggota badan dan bisa dilakukan dimana saja (Potter &

Perry, 2005). Relaksasi merupakan suatu teknik didasarkan pada cara

kerja sistem saraf simpatetis dan parasimpatetis. Teknik relaksasi


sering digunakan karena efektif mengurangi ketegangan, kecemasan,

mengurangi insomnia dan asma (Triyanto, 2014).

Relaksasi otot progresif adalah salah satu terapi perilaku dimana

individu akan diberikan kesempatan untuk mempelajari bagaimana

cara menegangkan sekelompok otot tertentu kemudian melepaskan

ketegangan itu. Bila sudah dapat merasakan keduanya, pasien mulai

membedakan sensasi saat otot dalam keadaan tegang dan rileks.

Sesuatu yang diharapkan disini adalah individu secara sadar untuk

belajar merilekskan otot-ototnya sesuai dengan keinginannya melalui

suatu cara sistematis (Gunarsa, 2012). Relaksasi otot progresif adalah

terapi relaksasi dengan gerakan meregangkan dan melemaskan otot-

otot pada satu bagian tubuh dan pada suatu waktu tertentu untuk

memberikan perasaan relaks pada tubuh. Gerakan ini dilakukan secara

berturut-turut (Synder & Linquist, 2002 dikutip dari Vendro, 2013).

Relaksasi otot progresif dalam mempengaruhi pengurangan nyeri

didasari pada dan dimana terjadi respon relaksasi (Trophotropic) yang

menstimulasi semua fungsi dimana kerja antara syaraf simpatis

berlawanan dengan sistem saraf simpatis. Keadaan relaks dihasilkan

oleh sistem saraf parasimpatis dan akan diteruskan ke hipotalamus

untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF).

Kemudian CRF merangsang kelenjer pituitary untuk meningkatkan

produksi Proopioidmelanocortin (POMC) sehingga produksi

serotonin dan enkephalin oleh medula adrenal meningkat. Kelenjer

pituitary juga menghasilkan endorphin sebagai neurotransmitter.


Dengan meningkatnya serotonin, enkephalin dan endorphin, pasien

akan merasa lebih rileks dan nyaman, dan nyeri berkurang (Risnasari,

2005 dikutip dari Hazila, 2014).

Respon relaksasi terjadi karena terangsangnya aktifitas sistem

saraf otonom parasimpatis sehingga menyebabkan perubahan yang

dapat mengontrol aktivitas sistem saraf otonom berupa pengurangan

fungsi oksigen, frekuensi nafas, denyut nadi, ketegangan otot, tekanan

darah, serta gelombang alfa dalam otak sehingga tubuh jadi rileks

(Guyton dan Hall, 2000). Setelah dilakukan implementasi, nyeri yang

dialami pasien mengalami penurunan dari skor 6 menjadi 2, dimana

berarti pasien mengalami penurunan nyeri, tergolong ketegori nyeri

ringan.

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d

peningkatan metabolisme tubuh karena proses penyakit

Diagnosa kedua adalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh dimana dengan outcomes yaitu meningkatnya status

nutrsi dan pengontrolan berat badan. Untuk mencapai tujuan diberikan

beberapa intervensi untuk diimplementasikan. Sesuai data yang

didapatkan maka intervensi yang akan dilakukan adalah manajemen

nutrisi, monitoring nutrsi dan bantuan penambahan berat badan.

Sesuai dengan perencananan yang ada yaitu monitoring asam

basa dan manajemen cairan, implementasi yang telah dilakukan yaitu :

(1) Mengkaji riwayat alergi makanan klien, (2) Mengkaji makanan


yang disukai klien, (3) kolaborasi pemberian dengan ahli gizi, (4)

Menganjurkan keluarga untuk membrerikan makanan selagi hangat,

(5) Memonitor asupan makanan klien, (6) Menganjurkan keluarga

untuk memberi makan klien sedikit tapi sering, (7) Memantau

adannya mual dan muntah, (8) Memantau kadar Hb, Ht, dan albumin,

(9) mendorong pasien meningkatkan asupan makan tinggi zat besi

(daging, ikan, telur, tempe), dan buah-buahan yang mengandung Vit.C

Selama hari rawatan pasien mendapatkan diit ML TKTP 2600

kkal yang terdiri dari nasi dan lauk tinggi protein dan zat besi yaitu

daging, ikan, telur, dan pasien selalu mengosumsi buah-buahan,

seperti jeruk, mangga, apel, dll.

c. Gangguan Pola Tidur b.d Proses Penyakit

Kemudian diagnosa ketiga yang didapatkan yaitu gangguan pola

tidur, dimana dengan outcomes kualitas tidur meningkat. Untuk

mencapai tujuan diberikan beberapa intervensi untuk

diimplementasikan. Menurut Bulecheck & McCloskey (2008)

intervensi yang ditegakkan sesuai dengan keadaan pasien, dan

mencapai tujuan yang diinginkan. Sesuai data yang didapatkan maka

intervensi yang akan dilakukan adalah manajemen perbaikan tidur.

Sesuai dengan perencananan yang ada yaitu manajemen

perbaikan tidur, implementasi yang telah dilakukan yaitu : (1)

mengidentifikasi tidur dan pola aktifitas pasien, (2) memantau dan

mencatat pola tidur pasien dan jumlah jam tidur, (4) memantau pola

tidur pasien dan mencatat adanya faktor fisik/psikologis yang


menganggu tidur pasien, (5) membantu/bimbing pasien untuk

mengurangi stress/ketegangan sebelum tidur, (7) memberikan posisi

yang nyaman.

Secara fisiologis, terpenuhinya kebutuhan tidur ini merupakan

akibat dari penurunan aktifitas RAS (Reticular Activating System) dan

noreepineprine sebagai akibat penurunan aktivitas sistem batang otak.

4. Evaluasi

Diagnosa keperawatan nyeri kronik diangkat selama hari. Evaluasi

akhir dilakukan pada tanggal 29 Desember 2017. Setelah dilakukan

implementasi selama 9 hari didapatkan analisis dari masalah adalah

masalah teratasi. Pasien tidak mengeluh nyeri lagi, dimana hari pertma skala

nyeri= 6 menjadi skala nyeri= 2 , klien tidak tampak meringis lagi, klien

tampak tenang, klien telah bisa mandiri melakukan tekhnik relaksasi otot

progresif sesuai dengan yang diajarkan, dan tanda-tanda vital dalam rentang

normal ,yaitu TD: 120/90 mmHg, HR: 79x/menit, RR: 22x/ menit, T: 36,7 O

C. Nyeri kronis dapat berkurang karena kombinasi pemberian terapi

farmakologi dan Non-farmakologi, sehingga periode nyeri tidak memanjang

lagi.

Evaluasi akhir dari diagnosa ketidakseimbangan nutrsi kurang dari

kebutuhn tubuh dilakukan tangga 26 Desember 2017 setelah dilakukan

perawatan selama 7 hari adalah masalah teratasi. Dimana pasien sudah

menghabiskan seluruh porsi yang diberikan dari Rumah sakit, Hb meingkat

menjadi 11,7 g/dl, albumin menjadi 3,9 g/dl, konjungtiva tidak anemis lagi.
Evaluasi akhir dari daignosa keperawatan gangguan pola tidur

dilakukan pada tanggal 29 Desember 2017, dimana terjadinya peningkatan

jumlah jam tidur pasien 6-7 jam perhari, klien sesekali masih terbangun

pada malam hari dan sulit untuk tidur lagi. Setelah dilakukan perawatan ada

beberapa indikator yang teratasi seperti pasien merasa segar setelah bangun

tidur dan mimpi buruk (-)dan tidur siang. Dan untuk indikator yang belum

teratasi seperti sesekali masih ada terbangun pada malam hari dan sulit

untuk tidur kembali. Evaluasi akhir diagnosa gangguan pola tidur adalah

masalah teratasi sebagian.

B. Manajemen Layanan Keperawatan

Manajemen merupakan suatu pendekatan yang dinamis dan proaktif

dalam menjalankan suatu kegiatan diorganisasi. Manejemen keperawatan

adalah suatu proses bekerja melalui anggota staf keperawatan

untukmemberikan asuhan keperawatan secara professional (Nursalam, 2011).

Untuk mewujudkan perawatan yang professional perlu memperhatikan

adanya discharge planning (Kemenkes RI, 2011).

Setelah melaksanakan analisis ruangan IRNA Penyakit Dalam Pria

RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan menggunakan metode observasi dan

wawancara dan kuisioner, kemudian dilakukan analisa SWOT didapatkan

masalah pada ruangan tersebut adalah belum optimalnya pelaksanaan

discharge planning.

Dari hasil observasi dan wawancara 5 orang perawat didapatkan data

bahwa 5 orang perawat pelaksana perawat mengetahui tentang discharge


planning dan manfaat discharge planning. Selama beberapa hari pengamatan

katim dan perawat pelaksana sudah melakukan discharge planning kepada

pasien dan keluarga saat pasien masuk dan saat pasien akan pulang, namun

tidak menggunakan media seperti leafleat dan lembar balik dalam

memberikan edukasi dan penjelasan kepada pasien dan keluarga.

Pelaksanaan discharge planning kepada pasien dan keluarga sangat

penting dimana berguna untuk menghindari terjadinya kunjungan ulang

pasien ke Rumah Sakit, mencegah kekambuhan, memperpendek hari rawatan

pasien. Implementasi yang dilakukan untuk mengatasi masalah belum

optimalnya pelaksanaan discharge planning kepada pasien dan keluarga

dengan melakukan sosialisasi tentang discharge planning , dan peran perawat

dalam penerapan discharge planning pada tanggal 26 Desember 2017. dan

pada tanggal 27 Desember dilakukan Role play discharge planning

didampingi perawat ruangan.

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan secara observasi dan wawancara

dengan perawat ruangan pada tanggal 28-30 Desember bahwa perawat

ruangan telah memahami dengan baik penerapan discharge planning. Dimana

penerapan discharge planning telah dilakukan dengan menggunakan media

yang tersedia diruangan, perawat telah mulai melakukan discharge planning

sebelum hari kepulangan pasien, kemudian pendokumentasiannya dicatat

dalam format discharge planning di dalam status pasien. Tujuan akhir yang

dicapai dari implementasi ini adalah peningkatan perilaku perawat dalam

penerapan discharge planning di ruangan, dimana diharapkan perawat dapat


memberikan discharge planning sebelum dan sesudah pemulangan pasien

dan di evaluasi setelah pelaksanaan discharge planning.

Menurut Lips (1973) dikutip dari Nursalam (2011), perubahan

merupakan sesuatu yang direncanakan pada suatu individu, situasi atau

proses. Roger (1962) dalam Nursalam (2011), menjelaskan bahwa

perubahan yang efektif tergantung individu yang terlibat, tertarik, dan

berupaya untuk selalu berkembang dan maju serta mempunyai suatu

komitmen untuk bekerja dan melaksanakannya.

Faktor perilaku dibentuk oleh tiga faktor utama, yaitu faktor

predisposisi adalah faktor yang mempermudah atau mempredisposisi

terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan,

kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi. Faktor pemungkin, yaitu faktor yang

memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan antara lain

umur, status sosial ekonomi, pendidikan, prasarana dan sarana serta sumber

daya. Faktor pendorong atau penguat, yaitu faktor yang mendorong atau

memperkuat terjadinya perilaku misalnya dengan adanya contoh dari para

tokoh yang menjadi panutan (Indonesian-Public Health, 2013). Diharapkan

nantinya perawat ruangan dapat lebih mengoptimalkan pelaksanaan

discharge planning di ruangan IRNA Non Bedah Penyakit Dalam Pria.

Apa yang baru dengan discharge planning mu??

Вам также может понравиться