Вы находитесь на странице: 1из 8

Cabang cabang filsafat Epistemologi

A. Pendahuluan
Filsafat tidak membuat roti, tapi filsafat menyiapkan tungkunya, menyisakan noda dari
tepung, menambahkan bumbu-bumbu secara layak, dan mengangkat roti itu dari
tungkunya pada waktu yang tepat. Secara sederhana hal ini berati tujuan filsafat ialah
tujuan mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan menciptakan serta
mengatur semua itu dalam bentuk yang sistematis, filsafaat membawa kita pada
pemahaman, pemahaman membawa kitaa pada tindakan yang lebih baik (Kattsoff, 2004 :
3)
Secara Etimologi filsafat berasal dari kata “Philosophia” yang berasal dari bahasa
Yunani yang diartikan “Mencintai Kebijaksanaan”. Dan dalam bahasa Inggris disebut
degan istilah “Philosophy”. Istilah dari kata “Philosophia” mempunyia akar kata “Philien”
yang artinya Mencintai dan “Shopos” yang artinya Bijaksana. Jadi, arti dari “Philosophia”
ialah mencintai akan hal-hal yang bersifat bijaksana. Berdasarkan dari uraian diatas, kita
dapat memahami bahwa filsafat artinya cinta kebijaksanaan. Dan orang-ornag yang
berusaha mencari kebijaksanaan atau pengetahuan disebut denan “FIlsuf” atau “Filosof”.
Filsafat ialah studi mengenai semua fenomena kehidupan dan pemikiran manusia dengan
kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Logika ialag sebuah ilmu yang sama-sama
dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu akan membuat filsafat menjadi sebuah
ilmu yang pada sisi-sisi tertentu yang breciri eksak disamping nuansa khas filsafat, yakni
spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga dapat berarti perjalanan
menuju sesuatu yang paling dalam. sesuatu yang umumnya tidak tersentuh oleh disiplin
ilmu lain dengan sikap skeptic yang mempertanyakan segala hal.
Sumber dari filsafat ialah manusia, dalam hal ini akal dan kalbu manusia yang sehat
yang akan berusaha keras dengan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran dan pada
akhirnya akan memperoleh kebenaran.
Proses dalam mencari kebenaran itu dengan melalui berbagai tahap. Tahap Pertama,
manusia akan berspekulasi dengan pemikirannya mengenai semua hal. Tahap Kedua, dari
berbagai spekulasi itu akan disaring menjadi beberapa buah pikiran yang dapat diandalkan.
Tahap Ketiga, buah dari pikiran tadi akan menjadi titik awal dalam mencari kebenaran
(penjelajahan pengetahuan yang didasari kebenaran), selanjutnya berkembang sebagai
ilmu pengetahuan, seperti fisika, matematika, politik, hukum dan lain sebagainya (Fiwka,
2017)
B. Cabang cabang Filsafat Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang asal mula, metode
memperoleh dan sahnya pengetahuan (Kattsoff, 2004). Asal mula dan metode utama untuk
memperoleh pengetahuan sebenarnya cukup beragam versi menurut para filsuf, namun
garis besar untuk memperoleh pengetahuan dapat dibedakan menjadi tiga aliran, yaitu :
Empirisme, Rasionalisme dan intusionisme, namun pada akhirnya banyak segala filsuf-
filsuf yang mengembangkan aliran-aliran epistemologi.
1. Empirisisme
Dalam bahasa Yunani Empirisme disebut dengan “empiris” yang berarti
pengalaman indrawi. Empirisme merupakan faham yang memiliki pengalaman sebagai
sumber utama dari sebuah pengenalan, baik pengalaman yang sifatnya lahiriah yang
menyangkut masalah dunia maupun batiniah yang menyangkut masalah pribadi setiap
manusia. Oleh sebab itu aliran empirisme ini sering bertentangan dengan aliran
rasionalisme.
Aliran Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber
pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman dengan cara observasi atau pengindraan. Pengalaman yang yang dimaksud
disini adalah faktor fundamental dalam pengetahuan yang merupakan sumber dari
pengetahuan manusia. Ali Maksum (2008:357).
Empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam
pengalaman. Salah satu teori mengenai asal pengetahuan. Biasanya bertolak belakang
dengan rasionalisme.
Empirisme sebagai filsafat pengalaman mengakui pengalaman sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan. Aliran filsafat ini gagal melihat bahwa pengalaman hanya
mungkin berkat adanya pengandaian kondisi yang tidak termasuk pengalaman.
2. Rasionalisme
Aliran rasionalisme merupakan aliran yang berdasar rasio, ide-ide yang masuk
akal. Selain dari rasio tadi bahwa aliran ini beranggapan tidak ada sumber kebenaran
yang sifatnya hakiki. Rasionalisem tidak mengingkari kegunaan indra dalam
memperoleh pengetahuan, pengalaman indralah yang digunakan untuk merangsang
akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Tatapi akal
sendiri dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak didasarkan bahan indra, jadi akal
dapat menghasilkan pengetahuan tentang objek yang benar-benar abstrak. Ali Maksum
(2008:358).
Rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio)
sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas)
dari pengamatan indrawi.
Ajaran pokok:
Dengan proses pemikiran abstrak kita dapat mencapai kebenaran fundamental,
yang tidak dapat disangkal yaitu tentang apa yang ada dan mengenai strukturnya,
tentang alam semesta pada umumnya.
3. Intuisionisme
Aliran Intuisionisme merupakan aliran yang menganggap bahwa intuisi
(naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi termasuk salah
satu kegiatan berpikir yang tidak didasarkan pada penalaran. Jadi kesimpulannya bahwa
intuisi merupakan non analitik dan tidak didasarkan atau suatu pola berpikir tertentu
dan sering bercampur aduk dengan perasaan. Ali Maksum (2008:369).
Istilah ini dalam bahasa Inggris (intuitionism). Dalam hal ini intuisionisme
menunjukkan kecendrungan untuk mengutamakan intuisi dalam pengetahuan manusia.
4. Kritisisme
Aliran kritisime ini merupakan aliran yang dianut oleh Imammanuel Kant sebagai
usaha untuk memadukan aliran empirisme dan rasionalisme dengan kritikan dari Kant
tersebut sehingga muncul aliran Kritisisme. Jadi menurut Kant, dalam pengenalan
indrawi selalu sudah ada dua bentuk apriori yaitu ruang dan waktu. Keduanya inilah
yang berakar pada struktur subjek sendiri. Realitas itu memang ada yang terlepas dari
subjek yang mengindra, tetapi realitas tidak pernah dikenalinya. Kita hanya mengenal
gejala-gejala yang merupakan sintesis antara yang diluar (aposteriori) dan ruang waktu
(apriori). Ali Maksum (2008:361).
5. Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari kata Yunani “phainomai” yang berarti
menampak. Fenomen bisa diartikan yang menampakkan dirinya sendiri menurut
adanya. Fenomenologi akan mengadakkan refleksi tentang pengalaman langsung
sejauh setiap tindakan secara intensional berhubungan dengan objek. Fenomenologi
berpandangan bahwa hanya sebuah analisis kegiatan dan susunan kesadaran yang dapat
memberikan pengertian tentang fenomena yang dialami manusia. Fenomenologi
menolak empirisisme dan metode ilmiah yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu kealaman.
Fenimenologi merupakan metode atau fakta independen mengenai ilmu alamiah, ilmu
sosial dan sejarah. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan tentang yang tampak.
Fenomenologi sendiri merupakan studi filsafat yang dikembangkan oleh Edmund
Husserl dan dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan Jean Paul Satre. Menurut E. Husserl
fenomenologi adalah realitas sendiri (realitas in se) yang tampak, tidak ada batasan
antara subjek dengan realitas, kesadaran bersifat intensional dan terdapat interaksi
antara tindakan kesadaran (noesis) dengan objek yang disadari (noema). Misnal Munir
(2008:89).
6. Sensasionisme
Dalam bahasa inggris (sensationalism). Kadang-kadang juga disebut dengan empirisme
radikal. Beberapa pengertian mengenai Sensasionisme antara lain:
 Persepsi merupakan gabungan pencerapaan-pencerapan (indra, data indra).
 Seluruh pengetahuan mempunyai sumbernya dalam pencerapan.
 Seluruh pengetahuan dapat direduksi pada pencerapan; semua pernyataan
empiris (dan, menurut pandangan ini, hanya penyataan jenis ini yang bermakna)
dapat dianalisis ke dalam pernyataan-pernyataan yang isinya adalah hubungan
timbal balik dari pencerapan-pencerapan.
 Pengetahuan dapat diverifikasi (dikonfirmasi, disahkan) hanya dalam kaitan
dengan pencerapan-pencerapan)
7. Positivisme
Istilah dalam bahasa Inggris (positivism), bahasa latin (positivus) ponere yang
berarti meletakkan. Positivisme ini merupakan suatu istilah umum yang posisi filosofis
yang menekankan aspek faktual pengetahuan, khusunya pengetahuan ilmiah.
Sedangkan umumnya itu berupaya untuk menjabarkan pernyataan-pernyataan faktual
pada suatu landasan pencerapan (sensasi), atau dengan kata lain positivisme merupakan
suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari setudi filosofis atau
metafisik.
Pada hakikatnya positivisme merupakan empirisme yang dalam segi-segi tertentu
samapi kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan
pengetahuan empiris satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi
pengetahuan. Positivisme tidak luput dari nasib filsafat tradisional karena proposisi-
proposisinya sendiri beralih menjadi tidak dapat diverifikasi dengan penalaman dan
akibatnya bersifat metafisik.
8. Skeptisisme
Dalam istilah bahasa Inggris (skepticim), Yunani (skepsis; pertimbangan atau
keraguan). Beberapa pengertian:
 Suatu paham bahwa kita tak dapat mencapai kebenaran. Paham ini bisa bersifat
deskriptif: de facto kita tidak dapat mencapai kebenaran karena kondisi tertentu:
atau preskriptis: seharusnya kita mendekati sesuatu dengan sikap skeptis karena
kondisi tertentu.
 Suatu paham bahwa kita tidak dapat mengetahui realitas. Skeptisisme melebar dari
ketidakpercayaan komplit serta total akan segala sesuatu ke keraguan tentatif akan
proses pencapaian kepastian.
 Skeptisisme adalah pandangan bahwa akal tak mampu sampai pada kesimpulan,
atau kalau tidak, akal tidak mampu melampaui hasil-hasil yang paling sederhana.
Beberapa tokoh berpandangan antara lain:
 Arcesilaus, sebagai pendiri akademi kedua, melanjutkan pandangan yang moderat
dan mengembangkan konsep probabilitas.
 Cerneades, sebagai pendiri akademi ketiga, meneruskan penekanan pada
probabilitas seraya mengembangkan argumen-argumen skpetis melawan, misalnya
Allah dan kausalitas dalam bentuknya yang paling kuat.
 Piro berpendapat bahwa kita mesti menangguhkan semua keputusan, seraya
membuat diri kita diam seribu bahasa mengenai segala sesuatu. Kurang ekstrim
dibandingkan gurunya Timon dari Philius menjawab keberatan para penentangnya
dengan puisi-puisi satiris.
 Rene Descartes mengangkat posisi yang sama dengan Sr. Agustinus, seraya
mengubah pandangan skeptisisme dengan mendorongnya ke batas-batas finalnya.
Kepastian pertma ialah “Cogito, ergo sum” (“saya berpikir, maka saya ada”).
Skeptisismenya disebut skpetisisme metodis. Skeptisisme itu justru dipakai sebagai
metode untuk mencapai kebenaran.
9. Agnotisisme
Aliran Agnotisisme merupakan paham manusia yang tidak mungkin mengetahui
hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Misalnya manusia tidak mungkin mengetahui
hakikat batu, api, air dan sebagainya. Karena pada dasarnya kemampuan manusia
sangatlah terbatas dan tidak mungkin mengetahui apa hakikat sesuatu yang ada, baik
oleh indranya maupun oleh pikirannya. Aliran agnotisisme mengingkari kesanggupan
manusia untuk mengetahui hakikat benda baik hakikat materi maupun hakikat rohani.
A.Susanto (2011:98).
10. Objektivisme
Aliran objektivisme secara epistemologis dapat diartikan sebagai pandangan yang
menganggap bahwa segala sesuatu yang difahami adalah tidak tergantung pada orang
yang memahami. Ali Mudhofir (1996:168).
Objektivisme ialah posisi filosofis yang berisikan pandangan bahwa nilai
pengetahuan diukur oleh objek yang tidak tergantung pada subjek. Dan objektivisme
epistemologis merupakan pandangan bahwa satu-satunya pengetahuan yang berarti
(benar) ialah pengetahuan yang diasalkan dari atau dikonfirmasi oleh pengalaman
inderawi.
11. Subjektivisme
Aliran ini bisa diartikan sebagai suatu kategori umum yang meliputi semua doktrin yang
menekankan unsur-unsur subjetif pengalaman. Ada beberapa penjelasan mengenai
subjektivisme antara lain:
 Dalam Epistemologi, doktrin yang membatasi pengetahuan pada kesadaran pikiran
akan keadaannya sendiri. Ajaran tentang persepsi representatif condong dengan
kategori ini.
 Dalam Metafisika, doktrin-doktrin solipsisme dan idealisme subjektif.
 Dalam Estetika, doktrin bahwa putusan estetis tidak lain dari pada suatu ekspresi
status individual.
 “Subjektivisme etis” adalah doktrin yang dikembangkan oleh Westermarck.
Menurutnya apa yang dinyatakan oleh putusan etis adalah bahwa orang yang
membuat putusan mempunyai sikap setuju atau tidak setuju terhadap subjek yang
bersangkutan.
 Kemudian dalam subjetivisme Epistemologi ada dua pengertian yaitu:
 Teori bahwa seluruh pengetahuan (a) mempunyai sumber dan keabsahannya dalam
keadaan mental subjektif orang yang tahu (the knower), (b) pengetahuan tentang
apa pun yang objektif atau real secara eksternal diandaikan atau didasarkan pada
penyimpulan dari keadaan mental subketif ini.
 Segala sesuatu yang diketahui adalah (a) produk yang distruktur secara selektif dan
diciptakan oleh yang tahu itu, dan (b) tidak dapat dikatakan bahwa ada sesuatu
dunia nyata secara eksternal yang berkorespondensi dengan yang tahu.
12. Fenomenalisme
Fenomenalisme (gejala) merupakan aliran atau faham yang menganggap bahwa
fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme adalah
metode pemikiran mengenai gejala-gelaja yang dapat dilihat dengan visual manusia.
Fenomenalisme merupakan tambahan pendapat Brentano bahwa subjek dan objek
menjadi satu secara dialektis. Inti dari fenomenalisme adalah tesis dari
“intensionalisme” yaitu hal yang disebut dengan konstitusi. Menurut intensionalisme
(Brentano) manusia menampakkan dirinya sebagai hal yang transenden, sintesis dari
objek dan subjek. Manusia sebagai entre aumonde (mengada pada alam) menjadi satu
dengan alam dan manusia mengkonstitusi alamnya. Ali Maksum (2008:368).
13. Pragmatisme
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang berarti perbuatan atau
tindakan. “isme” berarti aliran atau paham atau ajaran. Jadi pragmatisme adalah ajaran
yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria kebenarannya
merupakan faedah atau manfaat. Dan suatu teori atau hipotesis dianggap oleh
pragmatisme benar apabila hal tersebut membawa suatu hasil. Suatu teori adalah benar
apabila teori dapat diaplikasikan. Awalnya perkembangannya pragmatisme lebih
merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar
filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehingga
pragmatisme berkembang menjaid suatu metode untuk memecahkan berbagai
perdebatan filosofis metafisik yang tiada henti-hentinya. Aliran ini beranggapan bahwa
segala kebenaran ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan
memperhatikan kegunaannya secara praktis. Ali Maksum (2008:370).
14. Fallibisme
Aliran ini menyatakan bahwa hal-hal yang menyangkut dunia itu tidak dapat
diketahui secara pasti. Tidak ada pernyataan empiris yang pasti karena terdapat jumla
yang tidak terbatas tentang data indera bagi setiap benda, dan bukti-bukti tidak akan
tuntas. Ali Mudhofir (1996:76).
15. Teori Kritis
Teori kritis merupakan “paradigma” keilmuan yang dilahirkan oleh para filsuf yang
tergabung dalam mazhab Frankfurt. Teori kritis merupakan pendekatan ketiga setelah
fenomenologi dan hermeneutika yang berusaha mengatasi positivisme dalam ilmu-ilmu
sosial dan memberikan dasar metodologis bagi ilmu-ilmu sosial, yang berbeda dari
ilmu-ilmu alam. Konsep dunia kehidupan yang merupakan konsep penting dari
fenomenologi dan metode pemahaman sebagai metode khas dari heurmeneutika yang
memiliki sumbangan yang nyata bagi bangunan teori kritis yang dalam praksisnyaa
tercermin dalam apa yang dikenal dengan tindakan komunikatif. Muslih (2012:161).
16. Scientisme
Aliran scientisme ini merupakan sistem filsafat yang berdasarkan pada pemikiran
bahwa semua pengetahuan dapat diperoleh semata-mata dengan metode ilmiah.
Seorang tokoh filsuf yaitu Bertrand Russell menyatakan bahwa apa yang tidak dapat
diungkapkan oleh ilmu, manusia tidak dapat mengetahui. Scientisme menyingkirkan
semua pertimbangan nilai karena kebaikan, keindahan, kebenaran, dan moralitas tidak
dapat dibuktikan maka hal tersebut dikatakan tidak ada. Ali Mudhofir (1996:229).
C. Penutup
Secara Etimologi filsafat berasal dari kata “Philosophia” yang berasal dari bahasa
Yunani yang diartikan “Mencintai Kebijaksanaan”. Dan dalam bahasa Inggris disebut
degan istilah “Philosophy”. Istilah dari kata “Philosophia” mempunyia akar kata “Philien”
yang artinya Mencintai dan “Shopos” yang artinya Bijaksana. Jadi, arti dari “Philosophia”
ialah mencintai akan hal-hal yang bersifat bijaksana.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang asal mula, metode
memperoleh dan sahnya pengetahuan (Kattsoff, 2004). Asal mula dan metode utama untuk
memperoleh pengetahuan sebenarnya cukup beragam versi menurut para filsuf, namun
garis besar untuk memperoleh pengetahuan dapat dibedakan menjadi tiga aliran, yaitu :
Empirisme, Rasionalisme dan intusionisme, namun pada akhirnya banyak segala filsuf-
filsuf yang mengembangkan aliran-aliran epistemologi.
Daftar Pustaka
Buku
Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kattsoff, O, Louis, 2004, Pengantar Filsafat. Yogyakarta,: PT Tiara Wacana Yogya
Maksum, Ali, 2008, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Mudhofir, Ali, 1996, Kamus: Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Munir, Misnal, 2008, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit
LIMA.
Muslih, Mohammad, 2012, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Penerbit Belukar.
Susanto,A, 2011, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis, Jakarta: PT Bumi Aksara.

Website
http://www.perpussekolah.com/2017/03/definisi-filsafat-secara-etimologi-terminologi.html
diakses pada 29 Agustus 2017 pukul 20.14

Вам также может понравиться