Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nyeri merupakan hal yang banyak dialami pasien dan nyeri yang tidak berkurang menimbulkan
dampak yang tidak diharapkan kepada pasien secara fisik maupun psikologis. Respons pasien terhadap
nyeri sering kali berada dalam konteks norma sosial, budaya, dan spiritual. Pasien didorong dan didukung
melaporkan rasa nyeri.
Menurut International Association for Study of Plain (IASP), nyeri adalah pengalaman sensori dan
emosional tidak menyenangkan yang didapatakibat kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan jaringan. Respon nyeri sangat subyektif tergantung dari
ambang nyeri, pengalaman menghadapi nyeri, tingkat kecemasan, budaya dari masing-masing orang serta
dipengaruhi oleh gender dan usia. Nyeri bisa jadi merupakan hal yang umum bagi pasien, namun sakit
yang tidak kunjung reda memiliki dampak fisik dan psikologis yang negatif. Pasien di unit pelayanan rawat
inap dan gawat darurat, rawat jalan, kamar operasi di skrining untuk rasa sakitdan dilakukan asasmen
apabila ada rasa nyeri. Rumah sakit melakukan pengelolaan rasa nyeri secara efektif serta menjamin
komunikasi berupa pendidikan pasien dan keluarga tentang pengelolaan nyeri dan gejala dalam konteks
pribadi, budaya dan kepercayaan agam masing-masing. Sebagai acuan pelaksanaan di instalasi, maka
dibuat panduan manajemen nyeri.
Atas dasar tersebut maka sebagai pemberi terapi medis harus mengetahui atas berbagai
perilaku dan budaya yang ada di Indonesia sehingga dalam penanganan terhadap nyeri yang
dirasakan oleh setiap orang dapat melakukan pengkajian dan tindakan pemberian terapi secara
obyektif, untuk itu Rumah sakit Permata Husada mendukung hak pasien terhadap asesmen dan
manajemen nyeri yang tepat dengan menyusun panduan dalam penanganan nyeri.
A. Tujuan
Tujuan pembuatan Panduan Manajemen Nyeri adalah :
1. Sebagai panduan bagi petugas dalam penanganan pasien dengan keluhan nyeri.
2. Sebagai sarana untuk meningkatkan mutu pelayanan dengan fokus keselamatan pasien.
3. Memenuhi hak dari pasien untuk mendapatkan pelayanan dari Rumah Sakit terkait keluhan
nyeri yang diderita.
Tujuan pelayanan pasien dengan nyeri adalah :
1. Semua pasien yang mengalami nyeri mendapatkan pelayanan sesuai panduan dan prosedur
manajemen nyeri.
2. Menghindari dampak/resik nyeri terhadap proses penyembuhan.
3. Memberikan kenyamanan pada pasien.
Tujuan pelayanan pasien dengan nyeri adalah :
1. Semua pasien yang mengalami nyeri mendapatkan pelayanan sesuai panduan dan prosedur
manajemen nyeri
2. Menghindari dampak / resiko nyeri terhadap proses penyembuhan
3. Memberikan kenyamanan pada pasien
B. RUANG LINGKUP
Semua pasien di rawat jalan,rawat inap dan gawat darurat, kamar operasi dilakukan skrining rasa
nyeri oleh perawat.Pada pasien yang dilakukan pembedahan, penanganan nyeri dimulai dari pre
operasi hingga pasca operasi
BAB II
TATALAKSANA
A. DEFINISI
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya kerusakan jaringan
yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional yang merasakan seolah-
olah terjadi kerusakan jaringan. (International Association for the Study of Pain)
Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas (kurang dari 6 minggu),
memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.
Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri kronik adalah
nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering sekali tidak
diketahui penyebabnya yang pasti.1
Assesment nyeri adalah suatu tindakan melakukan penilaian rasa sakit atau nyeri pada pasien di
RS, yang terdiri atas assesment nyeri awal dan assesment nyeri ulang.
Assesment Nyeri awal adalah suatu tindakan melakukan penilaian rasa sakit atau nyeri pada
pasien saat pasien dilayani pertama kali di rawat jalan , di rawat inap , gawat darurat dan kamar
operasi
Assesment nyeri ulang adalah suatu tindakan melakukan penilaian ulang rasa sakit atau setelah
mendapatkan penanganan awal sampai pasien terbebas dari nyeri.
B. TIPE NYERI
Tipe nyeri berupa :
1. Nyeri Neuropatik
Adalahnyeri yang diawali atau disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi pada sistim saraf
(system saraf perifer atau sentral).
Diskripsi nyerineuropatik berupa :
a. Rasa terbakar
b. Merinding (tingling)
c. Hipersensitif terhadap sentuhan atau dingin
Contoh nyeri neuropatik perifir :
Neo natal Infants Pain Scale (NIPS) untuk pasien usia < 1 tahun
FLACC ( Face, Leg, Activty, Cry, Consolability) adalah prosedur assesment nyeri untuk
anak usia kurang dari 3 tahun atau anak dengan gangguan kognitif atau pasien anak yang
tidak dapat dinilai dengan skala lain.
Wong Baker Faces Pain Scale adalah prosedur asesment nyeri bagi pasien anak > 3
tahun sampai 9 tahun atau dewasa dengan menunjuk gambar untuk mengekspresikan
intensitas nyeri yang dirasakannya
Numeric Rating Scale digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun yang
dapat menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya.
VAS (Visual Analog Scale) adalah prosedur assesmen nyeri bagi pasien dewasa dan
anak usia > 9 tahun, dengan meminta pasien menunjuk skala 0-10 dimana 0 tidak nyeri
dan 10 sangat nyeri, untuk mengekspresikan rasa nyerinya.
Comfort Scale adalah prosedur assesmen nyeri pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang
kamar operasi atau ruang rawat inap yang tidak dapat menggunakan Numeric rating scale
atau wong-baker FACES scale.
e) Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi
pasien/keluarga.
d. Riwayat pekerjaan
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat benda berat,
membungkuk atau memutar merupakan pekerjaan tersering yang berhubungan dengan
nyeri punggung.
e. Obat-obat dan alergi
1) Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri (suatu studi
menunjuakan bahwa 14% populasi di Indonesia mengkonsumsi suplemen /herbal, dan
36% mengkonsumsi vitamin)
2) Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, efektifitas, dan efek samping.
3) Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan denga efek
samping kognitif dan fisik.
f. Riwayat keluarga
Evaluasi riwayat medis terutama penyakit genetik.
g. Asesmen sistem organ yang komprehensif
1) Evaluasi gejala kardiovaskular psikiatri pulmoner,
gastrointestial, neurolgi, reumatologi, genitourinaria,
endokrin dan muskuloskeletal.
2) Gejala kontitusional penurunan berat badan, nyeri malam
hari, keringat malam, dan sebagainya.
2. Asesmen Nyeri
a. Neo natal Infants Pain Scale (NIPS) untuk pasien usia < 1 tahun
PARAMETER TEMUAN POIN
Ekspresi wajah Santai 0
Meringis 1
Menangis Tidak menangis 0
Merengek 1
Menangis kuat 2
Pola bernafas Santai 0
Perubahan pola nafas 1
Kaki Santai 0
Fleksi/bangun 1
Keadaan rangsang Tertidur/bangun 0
Rewel 1
Skor: Tidak nyeri:0
Nyeri ringan:1-2
Nyeri sedang:3-4
Nyeri hebat:>4
b. FLACC (Face, Leg, Activity, Cry, Consolability) untuk anak usia < 3 tahun atau anak dengan
gangguan kognitif
KATEGORI PARAMETER
0 1 3
WAJAH Tidak ada Sesekali Sering cemberut,
ekspresi tertentu meringis atau rahang ditarik,
atau senyum mengerutkan dagu tidak di tarik
dahi
KAKI Normal posisi Tidak nyaman, Menendang atau
atau santai gelisah, tegang kaki disusu
AKTIFITAS Berbaring dengan Menggeliat, Melengkung,
tenang, posisi bergeser maju kaku
normal, bergerak mundur, tegang
dengan mudah
MENANGIS Tidak ada Erangan atau Menangis terus,
teriakan rengeka, keluhan teriakan atau isak
(terjaga,tidur) sesekali tangis ;sering
mengeluh
CONSOLABILITAS Konten, santai Diyakinkan oleh Sulit
menyentuh kenyamanan
sesekali, atau sedang
memeluk bicara
distractable
SKOR 0 :Tidak nyeri 1-3:nyeri ringan 4-6 : nyeri sedang 7-10 nyeri hebat
e. Pada pasien pengaruh obat anastesi, asesmen dan penanganan nyeri dilakukan
dengan cara pasien menunjukan respon berbagai ekspresi tubuh atau verbal akan rasa nyeri
f. Asesmen ulang nyeri dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari
beberapa jam dan menunjukan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
1) Lakukan asesmen nyeri yang komprehensif setiap kali
melakukan pemeriksaan fisik pada pasien
2) Dilakukan pada pasien yang mengeluh nyeri 1 jam setelah
tatalaksana nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang
sadar/bangun), pasien yang menjalani prosedur kedokteran yang
menyakitkan, sebelum tranfer pasien dan sebelum pasien pulang
dari rumah sakit.
3) Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan
asesmen ulang setiap 8 menit setelah pemberian nitrat atau obat-
obatan intravena.
4) Pada nyeri akut/kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit -
1jam setelah pemberian obat nyeri
g. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila
sampai menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya
diagnosis medis atau bedah yang baru (misalnya komplikasi pasca-
pembedahan, nyeri neuropatik).
2 Pemeriksaan Fisik
a Pemeriksaan umum
e. Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
f. Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
g. Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut akibat operasi,
hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
h. Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment), atrofi otot,
fasikulasi, diskolorasi, dan edema.
b Status mental
e. Nilai orientasi pasien
f. Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
g. Nilai kemampuan kognitif
h. Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak ada harapan,
atau cemas.
c Pemeriksaan sendi
e. Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
f. Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya keterbatasan
gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
g. Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal / dikeluhkan
oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak, raut
wajah meringis, atau asimetris.
h. Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
i. Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen.
d Pemeriksaan motorik
e. Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria di bawah
ini.
Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak mampu
melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak menghasilkan
pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot
e Pemeriksaan sensorik
e. Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin prick), getaran,
dan suhu.
f Pemeriksaan neurologis lainnya
e. Evaluasi nervus kranial I – XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri wajah atau
servikal dan sakit kepala
f. Periksa refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus. Untuk mencetuskan klonus
membutuhkan kontraksi > 4 otot.
g. Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan lesi upper
motor neuron)
h. Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan melakukan
tes dismetrik (tes pergerakan jari-ke-hidung, pergerakan tumit-ke-tibia), tes
disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan (Romberg dan Romberg modifikasi).
g Pemeriksaan khusus
e. Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi tidak
ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan 5 tanda ini
ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria, dan depresi.
f. Kelima tanda ini adalah:
1) Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik
2) Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik
3) Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)
4) Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes / pemeriksaan nyeri.
5) Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat gerakan
yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda (distraksi)
3 Pemeriksaan sensorik kuantitatif
a Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran
b Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan
c Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
d Pemeriksaan sensasi persepsi
4 Pemeriksaan radiologi
a Indikasi:
e. pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang
f. pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang, penyakit
inflamatorik, dan penyakit vascular.
g. Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi.
h. Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
i. Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri.
e. Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur, ketidaksegarisan
vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma)
f. MRI: gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang (herniasi diskus,
stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus, keganasan, kompresi tulang
belakang, infeksi)
g. CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus, stenosis spinal.
h. Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi perubahan
metabolisme tulang (mendeteksi osteomyelitis dini, fraktur kompresi yang
kecil/minimal, keganasan primer, metastasis tulang)
5 Asesmen psikologi
a Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
b Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
c Nilai adanya dukungan sosial, interaksi social
12
f. Dosis dan cara penggunaan: dapat menekan hingga 3 patches di lokasi
yang paling nyeri (kulit harus bersih tidak boleh ada luka terbuka dan dipakai selama <
12 jam dalam periode 24 jam.
2. Eutectic Mixture of Local Anesthesia
a. Mengandung lidokain 2,5% dan prokain HCl 2,5%
b. Indikasi : anestesi mukosa topical yang diaplikasikan pada kulit yang intak
pada membrane mukosa genital untuk pembedahan minor dan sebagai pre-medikasi
untuk anestesi umum
c. Mekanisme kerja: efek anastesi (baal) dengan memblok total kanal natrium
saraf sensorik
d. Onset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek anestesi
lokal pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi kassa oklusif dan menetap
selama 1-2 jam setelah kassa dilepas
e. Kontraindikasi: methemoglobinemia idiopatik atau kongenital.
f. Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal pada kulit
dan tutuplah dengan kassa oklusif.
3. Parasetamol
a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan antipiretik. Dapat
dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek analgesik yang lebih besar.
b. Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa
dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.
4. Obat Anti- Inflamasi Non-Steroid (OAINS)
a. Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-sedang,
anti-piretik
b. Kontraindikasi: pasien dengan Triad Franklin (polip hidung, angioedema,
dan urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid
c. Efek samping: gastrointestinal (erosi/ulkus gaster), disfungsi venal,
penigkatan enzim hari.
d. Ketorolak:
1) Merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral. Efektif
untuk nyeri sedang-berat
2) Bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau dikombinasikan
dengan opiod untuk mendapat efek sinergistik dan meminimalisasi efek
13
samping opioid (despresi pernapasan, sedasi, statis gastrointestinal).
Sangat baik untuk terapi multi-analgesik.
5. Efek analgesik pada antidepresan
a. Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin
sehingga meninggalkan efek neurotransmitter tersebut dan meningkatkan aktivitas
neuron inhibisi nosiseptif.
b. Indikasi: nyeri neuropatik ( neuropati DM, neuralgia pasca-herpetik cedera
saraf perifer, nyeri sentral)
c. Contoh obat yang sering dipakai amitriptilin, imipramine, despiramin, efek
perifer. Dosis 50 – 300 mg, sekali sehari
6. Anti – konvulsan
a. Carbamazepine efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping somnolen,
gangguan berjalan, pusing. Dosis : 400-1800 mg / hari (2-3 kali perhari). Mulai dengan
dosis kecil (2 x 100 mg), ditingkatkan perminggu hingga dosis efektif.
b. Gabapentin : merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri
neuropatik. Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis : 100-4800
mg/hari (3-4 kali sehari).
7. Antagonis kanalnatrium
a. Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca-operasi
b. Lidokain: dosis 2mg/kgBB selama 20 menit, lalu dilanjutkan dengan 1- 3 mg
/ kgBB/jam titrasi.
c. Prokain : 4-6,5 mg/kgBB/hari.
8. Anatagonis kanal kalsiuml
a. Ziconotide: merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling efektif sebagai
analgesik. Dosis: 1-3ug/hari. Efek samping : pusing, mual, nistagmus,
ketidakseimbangan berjalan, kontipasi. Efek samping ini bergantung dosis dan
reversibel jika dosis dikurangi atau obat dihentikan.
b. Nimodipin, Verapamil: megobat migraine dan sakit kepala kronik.
Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang menggunakan eskalasi dosis
morfin.
9. Tramadol
a. Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek
samping yang lebih sedikit/ ringan. Bersifat sinergistik dengan medikasi
OAINS.
14
b. Indikasi: efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri) kanker,
osteoarthritis, nyeri punggung bawah neuropati DM, fibromyalgia, neuralgia pasca-
herpetik, nyeri pasca- operasi.
c. Efek samping : pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.
d. Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal dan per oral
e. Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg
dalam 24 jam.
f. Titrasi terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi terutama
digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk terdadap
pengobatan atau memiliki risiko tinggi jatuh.
15
10. Opioid
a. Merupakan analgesik pasien (tergantung dosis) dan efeknya
dapat ditiadakan oleh nalokson.
b. Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, sufetnanil, meperidin.
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi.
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan
untuk penatalaksanaan nyeri akut.
e. Efek samping
1) Depresi pernapasan, dapat terjadi pada:
Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat
pemberian secara infus.
Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin,
antihistamin, antiasmatik tertentu)
Adanya kondisi tertentu : gangguan elektrolit, hipovolemia,
uremia, gangguan respirasi dan peningkatan tekanan intrakmustial.
Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas intermiten
2) Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau
dengan menggunakan skor sedasi, yaitu:
0= sadar penuh
1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah
dibangunkan
2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk,
mudah dibangunkan
3= sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S= tidur normal
3) Sistem Saraf pusat:
Euforia, halusinasi, miosis, kekakuan otot
Pemakaian MAOI: pemberian petidin dapat
menimbulkan koma
4) Toksisitas metabolit
Petidin (norpetidin) menimbulkan tremo, twitching, mioklonus,
multifokal, kejang
16
Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk
penatalaksanaan nyeri pasca-bedah
Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi ginjal
terutama pada pasien usia > 70 tahun
5) Efek kardiovaskular:
Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian : status volume
intravascular, serta level aktivitas simpatetik
Morfin menimbulkan vasodilatasi
Petidin menimbulkan tadikardi
6) Mual, muntah terapi untuk mual dan muntahdan pantau tekanan
darah dengan adekuat, hindari pergerakan berlebihan pasca- bedah, atasi
kecemasan pasien, obat antiemetik.
f. Pemberian oral :
1) Status efektifnya dengan pemberian parental pada dosis yang sesuai
2) Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral.
g. Injeksi intravascular
1) Merupakan rute parenatal standar yang sering digunakan.
2) Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektivitas penyerapannya tidak dapat
diandalkan.
3) Hindari pemberian via intravaskular sebisa mungkin.
h. Injeksi subkutan
i. Injeksi intravena:
1) Pilihan parentaral utama setelah pembedahan major
2) Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus – menerus
(melalui infus)
3) Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak
sesuai dosis
j. Injeksi mikro injeksi
1) Lokasi mikroinjeksi tebaik : mesencephalic periaqueductal
2) Mekanisme kerja: memblok respons nosiseptif di otak.
3) Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri
pada pasien kanker.
k. Injeksi spinal (epidural, intratekal):
1) Secara selektif keluanya neurotransmitter di neuron kornu dorsalis
spinal.
17
2) Sangat efektif sebagai analgesik.
3) Harus dipantau dengan
ketat l. Injeksi Perifer
1) Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek
anastesi lokal(pada konsentrasi tinggi).
2) Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi
18
a. Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO
1) OAINS efekif untuk nyeri ringan – sedang, opioid efektif untuk
nyeri sedang-berat.
2) Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1
dan 2 ) dengan pemberian intermiten (pro renata ) opioid yang disesuaikan dengan
kebutuhan pasien.
3) Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang –
berat, dapat ditingkatkan menjadi 3 (ganti dengan opioid kuat dan analgesik dalam
kurun waktu 24 jam setelah langkah 1 )
4) Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang
sering digunakan adalah morfin, kodein
5) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat
diberikan opioid ringan.
6) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewat, lakukan
pengurangan dosis secara bertahap
Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytie,
kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol
Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin,
Topical: lidokain patch, EMLA
Subkutan : opioid, anestesi lokal
19
Tidak
Apakah pasien nyeri sedang/berat ? Observasi rutin
Ya
Tidak
Ya
Gunakan spuit 10 ml
Nyeri Ambil 10mg morfin sulfat dan ....
Siapkan NaCl
Dgn NaCl 0,9% hingga 10ml (1mg/ml)
Berikan label pada spuit
Atau
Ya
Ya
Ya
Ya
20
- Konstipasi: berikan stimulant buang air besar, hindari laksatif
yang mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi gas-kembung-kram
perut.
- gatal : ertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat
juga menggunakan antihistamin.
- Mioklonus: pertimbangkan untuk mengganti opioid, atau berikan
benzodiazepine untuk mengatasi mioklonus
- Depresi pernapasan akibat opioid: berikan nalokson (campur
0,4 mg nalakson dengan NaCl 0,95% sehingga total volume mencapi 10 ml). Berikan
kecepatan pernapasan meningkat. Dapat diulang jika pasien mendapat terapi opioid
jangka panjang.
OAINS:
- Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor)
- Pendarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk
mengganti OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet.
b. Pembedahan: injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di
tempat nyeri.
c. Non-farmakologi:
1) Olah raga
2) Imobilisasi
3) Pijat
4) Relaksasi
5) Stimulasi saraf transkutan elektrik
5. Follow-up (asesmen ulang)
a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
b. Panduan umum:
1) Pemberian parenteral: 30 menit
2) Pemberian oral: 60 menit
3) Intervensi non- farmakologi: 30-60 menit.
6. Pencegahan
a. Edukasi pasien:
1) Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta
tatalaksanya.
21
2) Diskusikan tujuan manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien.
3) Beritahukan bahwa pasien dapat menghubungi tim medis jika
memiliki pertanyan / ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
4) Pasien dan kelurga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri
(termasuk penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal kontrol).
b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik.
7. Medikasi saat pasien pulang
a. Pasien dipulangkan segera setalah nyeri dapat teratasi dan dapat
beraktivitas seperti biasa / normal.
b. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada pasien.
Asesmen nyeri
Tidak
Lihat manajemen nyeri
kronik
Apakah nyeri berlangsung > 6 minggu? Pertimbangkan untuk
merujuk ke spesialis yang
Tidak sesua
22
Algoritma Manajemen Nyeri Akut7
Nyeri neuropatik
Nyeri Somatic
Nyeri viseral Antikonvulsan
Kortikasteroid
Parasetamol Kortikosteroid
Cold pack Anestesi lokal Blok neuron
Kortokosteroid OAINS
Anestesi lokal (topical/infiltrasi) intraspinal
OAINS OAINS Opioid
Opioid Antidepresan trisiklik
Stimulasi taktil Opioid
(antriptilin)
Pilih alternatif
terapi yang
lainnya
Pencegahan
Tidak
Edukasi pasien
Terapi farmakologi
Konsultasi (jika perlu)
Ya Prosedur pembedahan
Non-farmakologi
Lihat
manajemen
nyeri kronik
Apakah
Pertimbangkan
nyeri > 6 Alagesik adekuat?
untuk merujuk
minggu?
ke spesialis Ya
yang sesuai
Tidak
Follow-up/
nilai ulang
23
a. Manajemen bergantung pada jenis / klasifikasi nyerinya.
b. Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri.
c. Terbagi menjadi 4 jenis:
1) Nyeri neuropatik:
Disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi sistem somatosensorik
Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-
herpetik.
Karkteristik: nyeri parsisten, rasa terbakar, terfapat penjalaran nyeri
sesuai dengan persyarafannya, baal, kesemutan, alodinia.
Fibromyalgia: gatal, kaku, dan nyeri yang difus pada musculoskeletal
(bahu, ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3 bulan
24
4. Asesmen lainnya:
a. Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri
(depresi, cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan secara
seksual/fisik, verbal, gangguan tidur)
b. Masalah pekerjaan dan disabilitas
c. Faktor yang mempengaruhi;
1) Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk
2) Penyakit lain yang memperburuk / memicu nyeri kronik
d. Hambatan terhadap tatalaksana:
1) Hambatan komunikasi / bahasa
2) Faktor finansial
3) Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan
4) Kepatuhan pasien yang buruk
5) Kurangnya dukungan keluarga dan teman
5. Manajemen Nyeri Kronik berdasarkan Level
a. LEVEL I
Prinsip level I:
1) Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan,
perbaiki tidur, tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stres).
2) Pasien harus berpatisipasi dalam program latihan untuk
meningkatkan fungsi
3) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif
dengan restorasi untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi.
4) Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah yang
rumit dan kompleks. Tatalaksana sering mencakup manajemen stres, latihan fisik,
terapi relaksasi, dan sebagainya
5) Beritahu kepada pasien bahwa fokus dokter adalah manajemen nyeri
6) Ajaklah untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri
7) Jadwalkan kontrol pasien secara rutin, jangan biarkan penjadwalan
untuk kontrol dipengaruhi oleh peningkatan level nyeri pasien
8) Bekerja sama dengan keluarga untuk memberikan dukungan kepada
pasien
9) Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap
10) Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri
25
11) Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien)
Manajemen level I:
Menggunakan pendekatan standar dalam penatalaksanaan nyeri kronik termasuk
farmakologi, intervensi, non-farmakologi, dan terapi pelengkap
/ tambahan. Terapi berdasarkan jenis
nyeri: 1) Nyeri neuropatik
Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri:
- Kontrol gula darah pada pasien DM
- Pembedahan, kemoterapi, radoterapi untuk pasien tumor
dengan kompresi saraf
- Kontrol infeksi (antibiotik)
Terapi simptomatik:
- Antidepresan trisiklik (amitriptilin)
- Antikonvulsan: gabapentin, karbamazepin
- Obat topical (lidocaine patch 5%, krim anestesi )
- OAINS, kortikosteroid, opioid
- Anestesi regional: blok simpatik, blok epidural / intraketal,
infus epidural / intratekal
- Terapi berbasis- stimulasi: akupuntur, stimulasi spinal, pijat
- Rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu, latihan
mobilisasi, metode ergonomis
- Prosedur ablasi: kormiotomi, ablasi saraf dengan
radiofrekuensi
- Terapi lainnya: hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi
tegangan otot dan toleransi terhadap nyeri), tetapi perilaku
kognitif (mengurangi perasaan terancam atau tidak nyaman karena nyeri kronis)
2) Nyeri otot
Lakukan skrining tehadap patologi medis yang serius, faktor
psikososial yang dapat menghambat pemulihan
Berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan
dasar / awal dan ditingkatkan secara bertahap.
Rehabilitasi fisik:
26
- Fitness: angkat beban bertahap, kardiovaskular,
fleksibilitas, keseimbangan
- Mekanik
- Pijat, terapi akuatik
Manajemen perilaku:
- Stress / depresi
- Teknik relaksasi
- Perilaku kognitif
- Ketergantungan obat
- Manajemen amarah
Terapi obat:
- Analgesik dan sedasi
- Antidepressant
- Opioid jarang dibutuhkan
3) Nyeri inflamasi
Kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya
Obat anti – inflamasi utama OAINS kortikosteroid
4) Nyeri mekanis kompresi
Penyebab yang seiring tumor / kista yang menimbulkan kompresi
pada struktur yang sensitif dengan nyeri, dislokasi dan faktur.
Penanganan efektif dekompresi dengan pembedahan atau
stabilisasi, bidai, alat bantu.
Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan untuk
mengatasi nyeri saat terapi lain diaplikasikan.
27
Tabel 3.5 Skor DIRE (diagnosis, intractibility, risk, efficacy)*
Faktor Penjelasan
Diagnosis 1= kondisi kronik ringan dengan temuan obyektif minimal
atau tidak adanya diagnosis medis yang pasti. Misalnya
migraine, nyeri punggung tidak spesifik.
2= kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang atau
kondisi nyeri sedang menetap dengan temuan objektif
medium. Misalnya nyeri punggung dengan perubahan
degeneratif medium, nyeri neurotopik.
3= kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan objektif
nyata. Misalnya: penyakit iskemik vascular berat, neuropatik
lanjut, .... spinal berat.
Intracability 1= pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara
(keterlibatan) minimal dalam manajemen nyeri.
2= beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak
sepenuhnya terlibat dalam manajemen nyeri, atau terdapat
hambatan (finansial, transportasi, penyakit medis)
3= pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen nyeri tetapi
respon terapi tidak adekuat.
Risiko (R) R= jumlah skor P+K+R+D
Psikologi 1= disfungsi kepribadian yang berat atau gangguan jiwa
yang mempengaruhi terapi. Misalnya gangguan kepribadian,
gangguan efek berat.
2= gangguan jiwa / kepribadian medium / sedang. Misalnya
depresi, gangguan, cemas.
3= komunikasi baik. Tidak ada disfungsi kepribadian atau
gangguan yang signifikan.
Kesehatan 1= penggunaan obat akhir-akhir ini. alkohol berlebihan,
penyalahgunaan obat.
2= medikasi untuk mengatasi stess, atau riwayat remisi
psikofarmaka
3= tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan.
Rehabilitas 1= banyak masalah: penyalahgunaan obat, bolos kerja /
jadwal control.
2= terkadang mengalami kesulitan dalam komplians, tetapi
secara keseluruhan dapat diandalkan
3= sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal control dan
terapi)
Dukungan 1= hidup kacau, dukungan keluarga minimal, sedikit teman
sosial dekat, peran dalam kehidupan normal
2= kurangnya hubungan dengan oral dan kurang berperan
dalam sosial
3= keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat dalam
kerja/sekolah ada isolasi sosial
28
Efikasi 1= fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal meski
dengan penggunaan dosis obat sedang- tinggi
2= fungsi meningkat tetapi kurang efisiensi (tidak
menggunakan opioid sedang-tinggi)
3= perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup
tercapai ...yang stabil.
Skor total =D+I+R+E
Keterangan:
Skor 7 + 13 : tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor 14 + 21 : sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
b. LEVEL II
Manajemen level 2
1) Meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan
rehabilitasinya atau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau infus intratekal)
2) Indikasi pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif / manajemen
level 1.
3) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan
dengan manajemen level 1.
29
Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik:
Algoritma Asesmen Nyeri Kronik 9
Asesmen nyeri
Anemnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fungsi
Nyeri
Nyeri neuropatik Nyeri otot Nyeri inflamasi mekanis/
Nyeri miofasial kompresi
Perifer (sindrom nyeri Artropati inflamasi
regional kompleks, neuropati (rematoid artritis) Nyeri punggung
HIV, gangguan metabolik) Infeksi bawah
Sentral (Parkinson, Nyeri pasca-operasi Nyeri leher
multiple selerosis, mielopati, Cedera jaringan Nyeri
nyeri pasca-
musculoskeletal
(bahu, siku)
Tidak
Asesmen lainnya
Masalah pekerjaan dan disabilitas
Asesmen psikologi dan spiritual
Faktor yang mempengaruhi
dan hambatan
30
Algoritma Manajemen Nyeri Kronik9
Prinsip level 1
Buatlah rencana dan tetapkan tujuan
Rehabilitasi fisik dengan tujuan fungsional
Manajemen psikososial dengan tujuan fungsional
Manajemen level 2
Tujuan terpenuhi? Tidak
Fungsi Telah melakukan Ya Rujuk ke tim interdisiplin,
Kenyamanan manajemen level 1 atau
dengan adekuat?
Hambatan Rujuk ke klinik khusus
manajemen nyeri
Tidak
Rencana perawatan selanjutnya oleh
pasien
Asesmen hasil
31
3. Neonatus lebih sensitif terhadap stimulus nyeri.
4. Pemberian analgesik:
a. “By the ladder” pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level
nyeri anak (ringan, sedang, berat)
1) Awalnya, berikan analgesik ringan – sedang (level 1)
2) Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naikkan ke
leve 2 (pemberian analgesik yang lebih poten)
3) Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol
4) Analgesik adjuvant
Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri
tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu
Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapt diberikan analgesik
adjuvant sebagai level 1
Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi
nyeri neuropatik.
Kategori:
- Analgesik multi-tujuan: antidepressant, agonis
adremergic alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical.
- Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepressant ,
antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal.
- Anagesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksasi otot,
benzodiazepine, inhibitor osteoklas, radiofarmaka.
b. ‘By the clok’: mengacu pada waktu pemberian analgesik.
Pemberian haruslah teratur, misalnya: setiap 4-6 jam (disesuaikan dengan masa
kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh prn (jika perlu) kecuali
episode nyeri pasien benar-benar intermiten dan tidak dapat diprediksi.
c. ‘By the child’: mengacu pada pemberian analgesik yang sesuai dengan
kondisi masing-masing individu.
1) Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur
2) Sesuaikan dosis analgesik jika perlu
d. ‘By the mouth’: mengacu pada jalur pemberian oral.
1) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasive
dan efektif, biasanya per oral.
32
2) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal
bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
3) Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung, pemberian
parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien.
4) Opioid kurang poten jika diberikan per oral
5) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena nyeri
dan absorsi obat tidak dapat diandalkan
6) Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM, IV, dan
subkutan intermiten, yaitu: tidak nyeri, mencegah terjadinya penundaan / keterlambatan
pemberian obat, memberikan kontrol nyeri yang kontinu pada anak. Indikasi: pasien
nyeri dimana pemberian per oral dan opioid parenteral intermitten tidak memberikan
hasil yang memuaskan, adanya muntah hebat (tidak dapat memberika obat per oral)
e. Analgesik dan anetesi regional: epidural atau spinal
1) Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang sulit
diatasi dengan terapi konservatif.
2) Harus dipantau dengan baik
3) Beriakn edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-
obatan dan peralatan resusitasi, dan pencatatan yang akurat mengenai tanda vital /
skor nyeri.
f. Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multipel, dapat
melibatkan komponen nosiseptif dan neuropatik
1) Lakukan anamnesis dan fisik menyeluruh
2) Pemeriksaan penunjang yang sesuai
3) Evaluasi faktor yang mempengaruhi
4) Program terapi: kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik dan
perilaku).
5) Lakukan pendekatan multidisiplin
g. Panduan penggunaan opioid pada anak:
1) Pilih rute yang paling sesuia. Untuk pemberian jangka panjang, pilih
jalur oral.
2) Pada penggunaan infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja
singkat dengan dosis 50%-200% dari dosis infus per jam kontinu prn.
33
3) Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam,
naikkan dosis infus IV per-jam kontinu sejumlah total dosis opioid prn yang diberikan
dalam 24 jam dibagi 24. Alternatif lainnya adalah dengan menaikkan kecepatan infus
sebesar 50%
4) Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya
5) Jika efek analgeseik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas
tingkatkan dosis sebesar 50%
6) Saat tapering-off atau penghentian obat: pada semua pasien yang
menerima opioid > 1 minggu, harus dilakukan tapering-off (untuk menghindari gejala
withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari lalu kurangi sebesar 25 % setiap 2 hari.
Jika dosis ekuivalen dengan dosis morfin oral (0,6 mg/ kgBB/hari ), opioid dapat
dihentikan.
7) Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat
terakumulasi dan menimbulkan mioklonus dan hiperrekfleks
34
5. Terapi non-obat
a. Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaan dan memiliki efek
yang besar dalam manajemen nyeri non-obat untuk anak
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti
music, cahaya, warna, mainan, permen, computer, permainan, film dan sebagainya.
c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat
meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan nyeri.
d. Terapi relaksasi: depat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari tangan,
menggerakan kaki sesuai iram , menarik napas dalam.
35
Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik10
Obat Non-obat
Analgesik Kognitif
Analgesik adjuvani Fisik
Anestesi Perilaku
Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang mempengaruhi nyeri
kepala orang tua (dan anak)
Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri
Revisi rencana jika diperlukan
36
3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker,
neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, polimialgia, dan penyakit degeneratif.
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri, sendi utama / penyangga tubuh,
punggung, tungkai bawah dan kaki.
5. Alasan seringgnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:
a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatri.
b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat
c. Keengganan dokter untuk meresepkan opioid
6. Asesmen nyeri pada geriartri yang valid, reliable dan dapat diaplikasikan
menggunakan Function Pain Scaleseperti dibawah ini:
7. Intervensi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nyeri
untuk menginduksi pelepasan opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan: perkutan, akupuntur
c. Blok saraf dan radiasi area tumor
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif relaksasi umpan
balik positif, hypnosis.
e. Fioterapi dan terapi okupasi
8. Intervesi farmakologi (tekanan pada keamanan pasien)
a. Non-opiod: OAINS, parasetamol, COX-2 Inhibitor, antidepressant trisiklik,
amitriptilin, ansiolitik.
37
b. Opioid:
1) Risiko adiksi rendah jika digunakan nyeri akut (jangka pendek).
2) Hindari yang cukup dan konsumsi serat / talking agent untuk
mencegah konstipasi (preparat senna, serbital)
3) Berikan opioid jangka pendek
4) Dosis rutin dan teratur memberikan analgesik yang lebih baik
daripada pemberian intermiten.
5) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan
6) Jika efek analgesik masih kurang adekuat , dapat menaikkan opioid
sebesar 50-100% dari dosis semula.
c. Analgesik adjuvant
1) OAINS dan amfetamin: meningkatkan opioid dan resolusi nyeri
2) Nortriptilin, klonazepam, karbamazepine, gabapentin, tramadol,
mexiletine: efektif untuk nyeri neuropatik
3) Antikonvulsan: untuk neuralgia trigennital
Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100 mg sehari dan dapat ditingkatkan
menjadi 300 mg / hari
9. Risiko efek samping OAINS meningkat pada perdarahan gastrointestinal
meningkat hampir dua kali lipat pada pasien > 6,5 tahun
10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh termasuk absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eleminasi
11. Pasien lansia cederung memerlukan pengarahan dosis analgesik. Absorbsi
sering tidak teratur karena adanya pemindahan waktu . sindrom malabsorbsi
12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia
13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat.
14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan
15. Efek samping penggunaan opioid paling sering dialami konstipasi
16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien
mengkonsumsi analgesik, antideprassant, dan sedasi secara rutin harian )
17. Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan
perlahan hingga tercapai dosis yang dinginkan
18. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan:
a. Penurunan / keterbatasan mobilisasi, pada akhirnya mengarah ke depresi
karena pasien frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan menurunyan
kemampuan fungsional
38
b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkakn
imunitas tubuh
c. Kontrol nyreri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya
agitasi dan gelisah
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak.
Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan delirium
19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia:
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek
samping gastrointestinal lebih besar)
b. Opioid: pentazocine, butorphano (merupakan campuran antagonis dan
agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia): metadon,
levorphanol (waktu paruh panjang)
c. Propoxyphene: neurotoksik
d. Antidepresan: tertiary amine tricyclisc (efek samping antikolinergik )
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnaya harus diberikan
kombinasi preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents)
21. Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan
manajemen pada nyeri akut)
a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid
b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS analgesik
adjuvant
c. Nyeri berat: opioid poten
22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dan
hati-hati dalam memberikan obat kombinasi
E.