Вы находитесь на странице: 1из 23

JURNAL INTERNATIONAL

‘PENYELESAIAN SENGKETA INTERNATIONAL SECARA DAMAI’

DWI MARSINTHA SARI (1671010118)


KELAS C

Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai


Sebagaimana yang telah dipaparkan di bagian latar belakang, usaha untuk
mengupayakan penyelesaian sengketa internasional secara damai tertuang pada
The Hague Convention 1899 yang dalam paragraf pertama pembukaannya
menyebutkan bahwa:

“Considering that, while seeking means to preserve peace and prevent armed
conflict among nations, it is likewise necessary to have regard to cases where an
appeal to arms may be caused by events which their solicitude could not avert.”

Dalam pembukaan ini terdapat sebuah prinsip bahwa penyelesaian sengketa


secara damai harus diupayakan, meskipun tidak dapat dihindarkan bahwa konflik
bersenjata masih seringkali terjadi. Prinsip ini kemudian dikukuhkan oleh Pasal 2
ayat (3) Piagam PBB (United Nations Charter) yang mengatur bahwa:

All members shall settle their international disputes by peaceful means in such
manner that international peace and security, and justice, are not endangered.

Penyelesaian sengketa secara damai pada dasarnya merupakan salah satu


manifestasi dari prinsip-prinsip hukum internasional mengenai hubungan
bersahabat dan kerja sama antarnegara (principles of international law relating to
friendly relations and cooperation among states). Prinsip-prinsip ini dimuat dalam
Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relation and
Co-operation among States in accordance with the Charter of United Nations,
yaitu:
1. The principle that States shall refrain in their international relations from
threat or use of force against the territorial integrity or political independence of
any State or in any other manner consistent with the purpose of the United
Nations [prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa];
2. The principle that States shall settle their international disputes by peaceful
means in such a manner that international peace and security and justice are not
endangered [prinsip untuk menyelesaikan sengketa dengan damai];

3. The principle concerning the duty not to intervene in matters within the
domestic jurisdiction of any State, in accordance with the Charter [prinsip non-
intervensi urusan yang ada di dalam yurisdiksi domestik negara lain];

Convention (II) with Respect to the Laws and Customs of War on Land and
its annex: Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land,
The Hague, 29 Juli 1899.
United Nations Charter, 1945, Pasal 2 ayat (3).
Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relation
and Co-operation among States in accordance with the Charter of United
Nations, 1970

4. The duty of States to co-operate with one another in accordance with the
Charter [prinsip kewajiban kerja sama antar negara];

5. The principle of equal rights and self-determination of peoples [prinsip


persamaan hak dan menentukan nasib sendiri];

6. The principle of sovereign equality of States [prinsip persamaan kedaulatan


negara]; dan

7. The principle that States shall fulfil in good faith the obligations assumed by
them in accordance with the Charter [prinsip penggunaan iktikad baik dalam
menjalankan kewajiban dalam Piagam PBB].

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Damai


Perjanjian internasional seringkali menciptakan berbagai sengketa, baik
tentang interpretasi maupun tentang pelaksanaannya. Apabila arti dari suatu
ketentuan sudah jelas, maka tidak akan timbul masalah. Namun, ketika artinya
tidak jelas, maka akan timbul permasalahan interpretasi. Di sinilah sengketa
sering terjadi. Tidak hanya itu, begitu suatu ketentuan atau interpretasinya sudah
disepakati, masih mungkin timbul sengketa tentang pelaksanaannya.

Mekanisme penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara yang begitu


beragam dan tidak ada patokan tertentu dalam menggunakannya. Dalam
prakteknya, banyak sengketa yang diselesaikan dengan cepat secara informal,
namun ada juga yang memakan waktu bertahuntahun untuk diselesaikan. Tidak
ada satu metode khusus dalam menangani sengketa, bahkan tidak bisa
ditentukan mekanisme mana yang paling umum digunakan. Suatu mekanisme
penyelesaian sengketa juga tidak bisa ditentukan berdasarkan besar, tingkat
kepentingan, jumlah pihak yang bersengketa, atau jenis perjanjiannya. Sengketa
dalam perjanjian multilateral tidak bisa begitu dibedakan dengan perjanjian
bilateral karena umumnya sengketa terjadi antara dua belah pihak saja.

Pasal 33 United Nations Charter mengelaborasi prinsip dasar yang termuat


dalam Pasal 2 ayat (3) UN Charter, yaitu bahwa tiap anggota harus menyelesaikan
sengketa internasional secara damai, dan memberikan beberapa mekanisme yang
paling sering digunakan: negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan penyelesaian
yudisial. Berbagai mekanisme ini secara umum

Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, (United Kingdom:


Cambridge University Press, 2000), hlm. 285.
United Nations, Treaty Handbook, Prepared by the Treaty Section of
the Office of Legal Affairs, (UN: United Nations Publication, 2012),
hlm. 24

dapat dibagi menjadi penyelesaian yang mengikat (compulsary settlement) dan


penyelesaian sukarela (voluntary settlement); keduanya dibedakan dari sifat
mengikat atau tidaknya hasil dari penyelesaian sengketa. Meskipun begitu, bukan
berarti para pihak yang menyelesaikan sengketa secara sukarela tidak terikat
dengan hasilnya; bukan berarti pula hasil penyelesaian berdasarkan kewajiban
selalu mengikat – keduanya tergantung pada kesepakatan.

1. penyelesaian sukarela

a. negosiasi dan konsultasi

Dari berbagai macam mekanisme penyelesaian sengketa, negosiasi adalah


mekanisme yang paling pertama disebutkan dalam Pasal 33 UN Charter. Hal ini
dikarenakan oleh fakta bahwa negosiasi adalah cara prinsipil dalam menangani
penyelesaian sengketa internasional. Dalam sejarah penyelesaian sengketa
internasional, negosiasi lebih sering digunakan daripada seluruh mekanisme lain.

Negosiasi biasanya adalah mekanisme pertama yang ditempuh dalam


menyelesaikan sengketa; bahkan ketika penyelesaiannya dirujuk ke arbitrase atau
penyelesaian yudisial, poin-poin yang hendak dimintakan penyelesaian ditentukan
dengan cara negosiasi. Negosiasi dapat dilaksanakan dalam suasana yang penuh
privasi sehingga lebih mudah untuk mencapai kesepakatan. Ketika suatu sengketa
masuk ke tahap yang lebih formal dan publik, akan lebih sulit, setidaknya secara
politis, untuk menyelesaikannya. Hal tersebut dikarenakan para pihak menjadi
lebih banyak dan “berkubu” serta di depan publik, para pihak tidak mau terlihat
banyak berkompromi.

Ketika pemerintah memperkirakan bahwa keputusannya akan merugikan


negara lain, maka ia akan melakukan konsultasi untuk membicarakan
kemungkinan adanya penyesuaian atau pengakomodasian mengenai suatu
perjanjian yang telah dibuat di antara mereka, misalnya dengan melakukan
modifikasi. Dalam hal ini konsultasi dilakukan dalam tahap sebelum terjadinya
sengketa yang dimungkinkan terjadi, yaitu untuk mencegah adanya sengketa di
masa depan.

Anthony Aust, Op.Cit, hlm. 286.


J. G. Merills, Op.cit., hlm. 2.
20 Anthony Aust, Loc.cit. 21
J. G. Merills, Op.cit., hlm. 4.
Konsultasi juga dilakukan di tahap lain, misalnya dalam tahap mencari
kesepakatan dalam melanjutkan penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga.
Misalnya, ketentuan penyelesaian sengketa di UK-US Air Services Agreement
1977 (‘Bermuda 2’) mengatur bahwa suatu sengketa harus diselesaikan melalui
‘first round of consultation’ sebelum sengketa tersebut dapat dirujuk ke pihak
ketiga. ‘First round’ di sini umumnya dipahami sebagai setidaknya dua kali
pertemuan dengan jarak waktu antara keduanya.

Prosedur negosiasi dan negosiasi sangatlah fleksibel – tahap-tahapnya


ditentukan sendiri oleh para pihak. Negosiasi dapat dilakukan selama yang
diinginkan dan dapat dihentikan kapanpun sesuai keinginan para pihak. Namun,
beberapa perjanjian internasional mengatur limitasi waktu untuk bernegosiasi.23
Negosiasi dapat dilakukan oleh perwakilan diplomatik atau perwakilan
departemen pemerintah yang berkaitan dengan sengketa – misalnya antara
Menteri Perdagangan dalam sengketa tentang perjanjian komersial atau antara
Menteri Pertahanan dalam sengketa tentang perjanjian pengadaan senjata.
Beberapa perjanjian internasional terkadang hanya memberi pilihan negosiasi dan
konsultasi dalam pilihan penyelesaian sengketa. Hal ini dilakukan dengan
pandangan bahwa para pihak tersebut bisa menyepakati lebih lanjut mekanisme
penyelesaian sengketa yang lain. Hal ini harus dilakukan dengan iktikad baik
sehingga sebuah negosiasi harus dilaksanakan dengan suatu tujuan – bukan
hanya formalitas belaka. Ketika negosiasi berhasil, penting bagi para pihak untuk
mencatat hal-hal yang mereka sepakati. Kesepakatan ini bisa berupa amandemen
suatu perjanjian atau pernyataan publik. Jika para pihak tidak menghendaki
adanya publikasi, mereka bisa mencatat kesepakatannya dalam MOU yang tidak
dipublikasikan.

Jika negosiasi tidak berhasil, salah satu pihak bisa memutuskan untuk melakukan
terminasi. Hal ini juga bisa disebut the other way of settling a treaty.

Anthony Aust, Op.cit., hlm. 287.


Ibid. 24
J. G. Merills, Op.cit., hlm. 8.
Anthony Aust, Loc.cit. 26
sejak tahun 1945, Inggris sudah melakukan terminasi terhadap empat perjanjian
pelayanan udara (air service agreement), yaitu dengan Filipina (1953 dan 1984),
Amerika Serikat (1976) dan Lebanon (1981). Terkadang, sebuah sengketa bisa
menjadi sangat buruk sehingga terminasi menjadi pilihan yang terbaik. Jika sudah
demikian, bukan berarti penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga tidak lagi bisa
dilakukan apabila para pihak menghendaki hal tersebut. Terlebih lagi, beberapa
perjanjian internasional mengatur bahwa ketentuan mengenai sengketa masih
berlaku setelah terminasi dalam hal sengketa terjadi sebelum dilakukannya
terminasi. Terminasi bisa jadi bermanfaat agar para pihak yang bersengketa dapat
membuat perjanjian baru yang memenuhi kebutuhan masing-masing.

b. pengikutsertaan pihak ketiga

Jika suatu sengketa tidak bisa diselesaikan dengan negosiasi, pihak ketiga bisa
diundang untuk membantu. Berhasil atau tidaknya bergantung pada banyak
faktor. Salah satunya adalah tingkat kerjasama antara para pihak. Tidak semua
perjanjian mengatur perihal penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga
sehingga para pihak perlu menegosiasikan suatu kesepakatan ad hoc tentang hal
ini. Jika pilihannya adalah mediasi atau konsiliasi, kecuali para pihak menghendaki
sebaliknya, para pihak tidak terikat pada rekomendasi yang diberikan oleh pihak
ketiga ini.

Konsiliasi

Pilihan konsiliasi bisa diberikan oleh perjanjian itu sendiri, perjanjian mengenai
penyelesaian sengketa secara umum di mana kedua belah pihak menjadi pihak di
dalamnya, atau disepakati secara ad hoc. 29 Karakteristik konsiliasi telah
dijelaskan dengan baik dalam Annex VCLT itu sendiri, yang memberikan pilihan
konsiliasi antara para pihak konvensi untuk beberapa kasus tertentu saja.

(4) The [Conciliation] Commission may draw the attention of the parties to the
dispute to any measures which might facilitate an amicable settlement.
(5) The Commission shall hear the parties, examine the claims and objections, and
make proposals to the parties with a view to reaching an amicable settlement of
the dispute.

(6) . . . The report of the Commission, including any conclusions stated therein
regarding the facts or questions of law, shall not be binding upon the parties and
it shall have no other character than that of recommendations submitted for the
consideration of the parties in order to facilitate an amicable settlement of the
dispute

Ibid., hlm. 288.


28 Ibid. 29
Ibid. 30
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969, Annex

Format ini dijadikan contoh untuk berbagai perjanjian internasional yang lain,
salah satunya adalah United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
Komisi konsiliasi biasanya terdiri dari tiga sampai empat anggota; satu (atau dua)
anggota dipilih oleh masing-masing pihak dan satu pihak dipilih oleh anggota yang
ditunjuk tadi untuk bertindak sebagai ketua. Jika para pihak gagal untuk
menunjuk anggotanya atau tidak tercapai kesepakatan antara para anggota yang
ditunjuk atas anggota ketiga, biasanya pemilihan anggotanya diserahkan kepada
seseorang yang independen seperti Presiden ICJ atau Sekretaris Jenderal PBB.
Atas dasar inilah, penetapan tenggat waktu menjadi penting. Annex VCLT ini
memberikan model yang baik bagi perjanjian multilateral dengan menyediakan
daftar tetap konsiliatior agar penunjukan konsiliator tidak hanya diserahkan
kepada para pihak yang bersengketa.

Konsiliasi, tidak dapat dipungkiri, menjadi mekanisme penyelesaian sengketa


yang lebih mahal daripada negosiasi karena tiap pihak tidak hanya perlu
membayar pengacara atau ahli lainnya, tetapi juga setengah dari biaya para
konsiliator termasuk akomodasi dan staf mereka.

Hasil konsiliasi hampir selalu tidak mengikat (non-binding). Hal ini dijelaskan
dengan baik dalam Annex VCLT Sehingga, dapat disimpulkan bahwa konsiliasi, di
satu sisi, adalah mekanisme penyelesaian yang kurang efektif dibandingkan
arbitrase atau penyelesaian secara yudisial – yang mana keputusannya mengikat
(binding) – tetapi biayanya dan waktu yang digunakan bisa sama besarnya. Jika
konsiliasi tidak berhasil, kecuali kemudian para pihak sepakat untuk menggunakan
arbitrase atau penyelesaian secara yudisial, maka tidak ada cara lain yang bisa
digunakan untuk menyelesaikan sengketa

31 Anthony Aust, Op.cit., hlm. 289. 32


Ibid. 33
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969, Annex. 12

ii. mediasi dan jasa-jasa baik (good offices)

Mediasi biasanya adalah mekanisme ad hoc yang melibatkan intervensi dari


pihak ketiga dalam upaya mempertemukan klaim para pihak dengan mengajukan
sebuah rekomendasi penyelesaian. Mediasi kurang tepat digunakan dalam
penyelesaian sengketa terkait interpretasi maupun aplikasi dari perjanjian
internasional karena proses mediasi lebih bersifat politis.

Jasa-jasa baik (good offices) adalah mekanisme yang mirip dengan mediasi
(istilahnya bahkan seringkali dipertukarkan), yaitu melibatkan juga pihak ketiga –
biasanya Sekretaris Jenderal PBB atau wakil khususnya – yang memberikan
asistensi berimbang dalam upaya menyelesaikan sengketa. Prosesnya juga
memiliki kelemahan yang sama dengan mediasi.

Mediasi dan jasa-jasa baik pada dasarnya adalah suatu negosiasi antara
kedua belah pihak yang bersengketa dengan mediator sebagai pihak yang aktif,
berwenang, malah diharapkan untuk mengajukan proposal yang fresh – yang
tidak terpikirkan oleh kedua pihak serta untuk menginterpretasi dan
mempertemukan proposal para pihak yang bersengketa. Hal yang membedakan
mediasi dengan konsiliasi adalah bahwa mediasi umumnya mengajukan
rekomendasi penyelesaian secara informal dan berdasarkan informasi yang
diberikan oleh kedua belah pihak; tidak seperti konsiliasi yang menggunakan jasa
investigasi tersendiri, meskipun dalam praktek perbedaanya sangat kabur
iii. pencarian fakta (inquiry) ‘Inquiry’

inquiry sebagai suatu istilah dapat digunakan dalam dua hal yang berbeda,
meskipun keduanya berkaitan. Dalam arti luas, inquiry merujuk pada suatu proses
dalam persidangan atau lembaga ajudikasi lainnya dalam mencari fakta untuk
dipertimbangkan dalam membuat suatu keputusan. Inquiry dalam artian ini
adalah komponen penting dalam arbitrasi, konsiliasi, ajudikasi oleh organisasi

Anthony Aust, Op.cit., hlm. 289. 35


J. G. Merills, Op.cit., hlm. 26.

internasional, atau penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga lainnya. Namun,


dalam sub bahasan ini akan dijelaskan inquiry dalam arti sempit.

Dalam suatu sengketa, para pihak memiliki versi yang berbeda tentang fakta yang
terjadi. Agar suatu sengketa dapat diselesaikan, maka dibutuhkan rangkain fakta
yang dapat disetujui atau setidaknya diakui oleh para pihak yang bersengketa.
Sehingga inquiry yang dimaksud di sini adalah kegiatan pencarian fakta dengan
bantuan pihak ketiga yang dapat memuaskan para pihak yang bersengketa.
Namun, para pihak tidak memiliki keharusan untuk menerima fakta-fakta yang
ditemukan oleh pihak ketiga, kecuali mereka menghendaki hal yang sebaliknya.
Rencana pembentukan dan mekanisme pelaksanaan suatu komisi inquiry
diberikan secara garis besarnya oleh Konvensi Hague 1899 dan 1907.

Salah satu contoh penggunaan komisi inquiry dijelaskan dalam kasus


sebagai berikut. Pada tanggal 16 Maret 1916, kapal uap Belanda, Tubantia,
ditenggelamkan oleh torpedo di laut bebas. Pemerintah Belanda, yang
merupakan pihak netral atau tidak berperang, mengklaim bahwa tenggelamnya
kapal disebabkan oleh kapal U-boat milik angkatan laut Jerman sehingga Jerman
harus membayar kompensasi. Jerman, di sisi lain, tidak dapat menyangkal bahwa
tenggelamnya kapal disebabkan oleh torpedo milik Jerman. Namun, Jerman tetap
mengklaim bahwa serpihan tornado Jerman yang ditemukan di kapal Belanda
adalah tornado yang ditembakkan ke kapal Inggris namun tidak kena, dan tetap
mengapung di lautan hingga mengenai kapal Belanda 10 hari kemudian.
Setelah perang berakhir, kedua pemerintah membentuk komisi inquiry
untuk mencari tahu penyebab dari tenggelamnya kapal. Komisinya terdiri dari
perwira angkatan laut dari Denmark, Swedia, Jerman, dan Belanda, serta Swiss
sebagai ketua komisinya. Setelah mendengar beberapa saksi dan ahli, dilaporkan
pada bulan Februari 1922 bahwa benar Tubantia adalah korban dari serangan
kapal perang Jerman. Hal ini memperjelas adanya tanggung jawab di pihak
Jerman meskipun komisi ini merasa perlu untuk menjelaskan bahwa ia tidak
berwenanguntuk menentukan apakah penembakan torpedo dilakukan dengan

Ibid. hlm. 41. 37


Ibid., hlm. 42. 38
Ibid., hlm. 46. 14

sengaja atau tidak. Akhirnya, Jerman membayar ganti rugi sebesai 6.5
florin ke pemerintah Belanda.

2. penyelesaian dengan putusan mengikat

Pilihan penyelesaian sengketa dengan putusan yang mengikat


membutuhkan persetujuan (consent) dari para pihak, baik sebelum atau setelah
dimulainya suatu sengketa. Sehingga, dua karakteristik penting dari penyelesaian
sengketa dengan putusan mengikat adalah (i) kesepakatan untuk menyerahkan
sengketa pada pihak ketiga dan (ii) putusan dari pihak ketiga ini mengikat para
pihak. Pilihan ini bisa diberikan oleh perjanjian yang sedang disengketakan,
perjanjian internasional tentang mekanisme penyelesaian sengketa yang mana
para pihak terikat padanya, atau kesepakatan ad hoc. Namun, meskipun sebuah
perjanjian menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga
dengan putusan yang mengikat, dalam praktiknya, tiap pihak dapat menunda
pelaksanaanya.

Mengikuti putusan ICJ dalam kasus genosida (Bosnia v. Yugoslavia)


(Preliminary Objections), disarankan bahwa klausa tentang penyelesaian sengketa
oleh pengadilan atau tribunal dapat berlaku secara non-retroaktif pada kasus
yang terjadi sebelum suatu perjanjian memasuki masa entry into force, kecuali
compromissory clause menyatakan sebaliknya.
a. arbitrase

Arbitrase adalah pengajuan sengketa kepada seorang atau lebih hakim untuk
diputuskan dengan prinsip-prinsip yang dipilih oleh para pihak. Para pihak harus
menerima dan menghormati putusannya. Hakim dalam hal ini disebut
“arbitrators” dan keputusannya disebut “award.” Arbitrase yang hanya dipimpin
oleh seorang arbiter biasanya adalah arbitrase dengan kasus yang simpel dengan
cakupan sengketa yang sempit. Dalam kasus yang lebih besar, tiap pihak yang
bersengketa akan memilih seorang arbirator dan para arbiter ini akan menunjuk
seorang arbiter lainnya. Arbiter yang dipilih oleh para pihak ini akan bisa
menjelaskan posisi negara yang diwakilinya.

Ibid., hlm. 47.


Anthony Aust, Op.cit., hlm. 291.
Ibid., hlm. 294.
Ibid

Meskipun umumnya arbitrase dilakukan dengan tiga arbiter (seperti dalam


kasus Iran-US Claims Tribunal), komposisi ini tidak ideal karena pemimpin arbiter
akan membutuhkan dukungan salah satu pihak agar bisa mencapai sebuah
keputusan. Dalam hal demikian, maka pemimpin arbiter seringkali terdesak untuk
berkompromi dengan keputusannya. Berbeda jika dipilih tiga arbiter netral,
pimpinan arbiter akan lebih mudah mencapai keputusan yang baik (an honest
decision).

Banyak perjanjian multilateral dan bilateral yang memiliki klausa arbitrase.


Mekanisme ini lebih dikehendaki daripada penyelesaian yudisial. Hal ini terjadi
bukan karena arbitrase lebih murah, cepat, dan tidak rumit; melainkan karena
para pihak bisa dengan lebih mudah mengontrol prosesnya. Jika mereka ingin
penyelesaian yang lebih cepat, mereka bisa merujuk sebuah tribunal untuk
menjatuhkan putusan dengan tenggat waktu tertentu. Faktanya, justru arbitrase
memakan lebih banyak waktu dan biaya. Para pihak harus membayar upah
arbiter, panitera, dan staf lainnya serta biaya akomodasi mereka. Selain itu,
tribunal arbitrase harus dibentuk tiap kali timbul sengketa, padahal
pembentukannya saja bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Putusan arbitrase seringkali dianggap sebagai hasil kompromi. Namun, jika
dilihat beberapa kasus terakhir yang diputus oleh ICJ, kompromi juga harus dibuat
oleh lima belas hakim ICJ dalam penyelesaian sengketa secara ajudikasi.

Karena arbitrase adalah suatu proses yang konsensual, para pihak pertama-
tama harus sepakat bahwa sengketa akan dibawa ke arbitrase. Klausa yang
menyatakan bahwa para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa di masa
depan dengan mekanisme arbitrase disebut dengan compromissory clause. Akan
lebih baik jika klausa ini mengatur secara detail. Beberapa perjanjian internasional
di masa lampau hanya mengatur secara umum terkait penyelesaian sengketa
dengan arbitrase (seperti UK-US Air Services Agreement) dan menyerahkan
syarat-syarat yang lebih mendetail di kemudian hari. Hal ini akan menambah
kerumitan sengketa karena pihak yang bersengketa, sebelum mencoba
menyelesaikan pokok sengketa, masih harus

Ibid. 44
Ibid., hlm. 292 45
Ibid.

membicarakan prosedur teknis arbitrase.46 Beberapa hal yang biasa diatur


dalam compromissory claiuse atau compromis adalah:

- komposisi tribunal;

- penunjukkan anggota, termasuk merumuskan lowongan kerja;

- penunjukan agen dari para pihak;

- pertanyaan yang ingin diputuskan;

- aturan tentang prosedur dan metode kerja;

- bahasa;

- hukum yang berlaku;

- jumlah kursi tribunal;


- penunjukan sekretariat tribunal dan stafnya;

- biaya;

- sifat mengikat dari suatu putusan.

Hal-hal yang disebutkan di atas tidak perlu seluruhnya diatur. Misalnya, aturan
tentang prosedur dan metode kerja bisa disepakati untuk diatur oleh tribunal
yang hendak dibentuk.

Hal yang perlu dihindari adalah kelalaian untuk mengatur pihak ketiga yang
akan menunjuk arbiter ‘netral’ atau arbiter ‘nasional’ jika tidak terjadi
kesepakatan antara para pihak. Kelalaian ini ditemukan dalam Annex 2 Dayton
Agreement yang mengatur penyelesaian sengketa melalui arbitrase dengan tiga
orang arbiter. Meskipun ada ketentuan di mana Presiden ICJ akan menunjuk
seorang arbiter netral jika tidak terjadi kesepakatan, tidak ada ketentuan yang
memberikan hak untuk Presiden ICJ (atau pihak ketiga lainnya) untuk menunjuk
arbiter nasional jika salah satu pihak gagal untuk menunjuk. Selain itu, penting
pula untuk menyepakati poinpoin yang hendak diselesaikan melalui arbitrase.
Arbitrase, sebagai salah stau cara penyelesaian sengketa, sering digunakan
dalam hubungan dagang internasional. Hal ini, menurut Rajagukguk, disebabkan
karena beberapa alasan. Pertama, pada umumnya pihak asing kurang mengenal
sistem tata negara lain. Kedua, adanya keraguan akan sikap objektivitas
Pengadilan setempat

46 Ibid., hlm. 293. 47


Ibid. 48 Ibid., hlm 294.

dalam memeriksa dan memutus pekara yang di dalamnya terdapat unsur asing.
Ketiga, pihak asing masih ragu akan kualitas dan kemampuan pengadilan negara
berkembang dalam memeriksa dan memutus perkara yang berskala perdagangan
internasional dan alih teknologi. Keempat, timbulnya dugaan dan kesan,
penyelesaian sengketa melalui jalur formal badan peradilan memakan waktu yang
lama.49 Beberapa nama badan arbitrase asing yang sering digunakan untuk
mneyelesaikan sengketa bisnis internasional, di mana pihaknya bisa saja negara,
adalah International Chamber of Commerce (ICC) yang didirikan pada tahun 1923;
American Arbitration Association (AAA) yang didirikan pada tahun 1926; London
Court of International Arbitration (LCIA) yang didirikan pada tahun 1892, dan
United Nations Comission on International Trade Law (UNCITRAL).

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam membuat kontrak


arbitrase, perumusan arbitration clause harus dirumuskan secara jelas. Dalam hal
ini, beberapa badan arbitrase telah menentukan klausula standar yang digunakan
oleh para pihak yang hendak merujuk sengketanya ke badan arbitrase yang
dimaksud. Klausula standar ini tentu pada prakteknya dapat dimodifikasi menurut
keinginan para pihak. Hal ini terjadi karena klausula standar yang dirumuskan oleh
badan arbitrase belum tentu dapat mencakup semua persyaratan yang
memenuhi keinginan para pihak.

Misalnya dalam UNCITRAL diberikan model klausula arbitrase sebagai


berikut52:

“Any dispute, controversy or claim arising out of or relating to the contract,


or the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled by arbitration in
accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as Present in force.”

Selanjutnya, para pihak dapat mempertimbangkan untuk menambah


klausula sebagai berikut:

i. The appointing authority shall be ...


ii. The number of arbitrators shall be ...
iii. iii. The place of arbitration shall be ...
iv. iv. The language(s) to be used in arbitral proceeding shall be ...

Erman Rajagukguk dalam Yahya Harahap, Arbitrase, (n.p.: Pustaka Kartini,


1991), hlm. 24. 50
Abdul Wahid, “Pengangkatan Arbiter dalam Arbitrase Internasional: Suatu
Studi Perbandingan Berdasarkan UNCITRAL, ICC, AAA, dan LCIA Rules,”
Jurnal Hukum dan Pembangunan NO. 3 Tahun XXIX (Jul-Sept, 1999) hlm.
223. 51
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: Rajawali Press,
1991), hlm. 21. 52
Dikutip dari Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian
Sengketa Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 123-124

“Any dispute arising in connection the present contract shall be finally settled
under the Rules of Conciliation and Arbitration of the International Chamber of
Commerce by one or more arbitrators appointed in accordace with the said
Rules.”

Sedangkan, LCIA memberikan model sebagai berikut:

“Any dispute arising out of or in connection with this contract, including any
question regarding its existence, validity or termination, shall be refrred to and
finally resolved by arbitration under the Rules of the London Court of
International Arbitration, which Rules are deemed to be incorporated by
reference into this clause.”

b. penyelesaian yudisial
Penyelesaian judisial adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa
dengan merujuk sengketa tersebut ke suatu tribunal permanen untuk
membuat putusan yang mengikat. Penyelesaian jenis ini merupakan
perkembangan dari arbitrase. Tribunal yang dimaksud dapat berupa
tribunal yang memiliki yurisdiksi umum (general jurisdiction) seperti
International Court of Justice (ICJ) atau yurisdiksi khusus seperti
International Tribunals for the Law of the Sea (ITLOS).

International Court of Justice

Meskipun keputusan ICJ, seperti award arbitrase, mengikat para pihak;


penyelesaian ini lebih menguntungkan karena pengadilan seperti ini telah
terbentuk sehingga terdapat hakim-hakim yang selalu siap bertugas
menyelesaikan sengketa. Para pihak juga tidak perlu membayar apapun terkait
biaya yang dikeluarkan oleh ICJ, meskipun mereka tetap harus membayar sebagai
bentuk kontribusi ke PBB.
ICJ sering dikritik karena tidak melakukan banyak pekerjaan. Namun,
penyelesaian sengketa melalui penyelesaian yudisial tidak membutuhkan waktu
sebanyak arbitrase. Terlebih lagi, kasus-kasus yang diajukan ke ICJ adalah kasus
yang lebih kompleks daripada yang diajukan ke tribunal arbiter. Biaya yang
dikeluarkan oleh masing-masing pihak juga lebih sedikit. Negara berkembang
dapat mengajukan

Dikutip dari Huala Adolf, Op.cit.,hlm. 22.


Dikutip dari Munir Fuady, Op.cit., hlm. 125-126.
J. G. Merills, Op.cit., hlm. 116.
Anthony Aust, Op.cit., hlm. 294.

permohonan umenggunakan dana perwalian yang ada di Sekretaris Jendeal PBB


untuk membayar sebagian biaya litigasi yang ia keluarkan. Terlebih lagi, ICJ
memiliki badan yurisprudensi, sehingga negara dan para penasehat hukumnya
dapat memprediksikan pendekatan yang dilakukan ICJ. Dalam praktiknya, karena
beban kerja yang terus meningkat dan biaya yang minim, banyak kasus yang
mengalami keterlambatan penyelesaian.

Sebagaimana halnya dengan arbitrase, penyelesaian dengan oleh


pengadilan atau tribunal hanya dapat digunakan ketika pihak-pihak yang
bersengketa sepakat. Kesepakatan ini dapat dibuat berdasarkan:

- perjanjian internasional, baik multilateral maupun bilateral, yang sedang


dipersengketakan;

- optional protocol dari perjanjian internasional yang disengketakan;

- compromissory clause dari perjanjian internasional yang disengketakan;

- penyimpulan dari compromis; dan

- membuat deklarasi timbal balik sesuai dengan Pasal 36 Statuta ICJ yang
menyatakan penerimaan terlebih dahulu yurisdiksi ICJ untuk memutus semua
kasus terkait perjanjian internasional yang sedang berjalan.
Oleh karena itu, tribunal permanen seperti ICJ memiliki contentious
jurisdiction, yaitu bahwa tribunal itu tidak memiliki yurisdiksi untuk membuat
keputusan atas suatu sengketa kecuali para pihak yang bersengketa telah
memberikan persetujuannya.

International Tribunal for the Law of the Sea

International Tribunal for the Law of the Sea (Mahkamah Hukum Laut
Internasional) adalah badan yang dibentuk berdasarkan Annex VI dari Konvensi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS, 1982). UNCLOS mengamanatkan agar setiap
perselisihan atau sengketa yang timbul di antara negara peserta konvensi
diselesaikan melalui jalan damai.

Ibid., hlm. 295.


Ibid. hlm. 295-296.
J. G. Merills, Loc.cit., hlm. 116.
Daeng Randy, “Statute of the International Tribunal for the Law of
the Sea,” Indonesian Journal of International Law Vol. 1 No. 3 (Apr,
2004), hlm. 621-623.

Prinsip ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 279 UNCLOS 1982 yang
menyatakan bahwa:

“State parties shall settle any dispute between them concerning the
interpretation or application of this convention by peaceful means...”

Pada pasal selanjutnya, yaitu Pasal 280, para pihak yang bersengketa
dengan persetujuan bersama dapat memilih sendiri prosedur apa yang akan
digunakan untuk penyelesaian sengketa yang timbul. Beberapa pilihan prosedur
yang dapat dipilih menurut Pasal 287 UNCLOS 1982, upaya penyelesaian dapat
dilakukan melalui:

i. International Tribunal for the Law of the Sea yang dibentuk berdasarkan
Annex VI;
ii. ii. International Court of Justice;
iii. iii. Arbitral Tribunal yang dibentuk berdasarkan Annex VII; dan
iv. iv. Special Arbitral Tribunal yang dibentuk berdasarkan Annex VIII guna
menyelesaikan masalah-masalah khusus.

Terkait kompetensi ITLOS, Pasal 20 mengatur bahwa Tribunal terbuka bagi


semua negara peserta konvensi. Sehingga, setiap negara anggota konvensi
dapat mengajukan permasalahannya ke hadapan Tribunal. Selain negara
peserta UNCLOS 1982, Pasal 20 mengatur bahwa negara yang bukan
merupakan anggota dari UNCLOS 1982 juga dapat mengajukan sengketa yang
timbul kepada Tribunal jika dikehendaki oleh para pihak, sepanjang sengketa
yang timbul berkaitan dengan hal-hal yang terdapat pada Bagian XI UNCLOS
1982.

Tribunal ini terdiri dari 21 orang anggota yang dipilih oleh negara-negara
anggota UNCLOS 1982. Jumlah ini dianggap cukup untuk mewakili berbagai
prinsip dalam sistem hukum yang ada di dunia. Dari 21 orang anggota ini, tidak
ada dua orang yang memiliki kewarganegaraan sama. Anggota dipilih untuk
masa jabatan sembilan tahun dan mungkin dipilih kembali untuk satu masa
jabatan. Sebagai pelaksanaan dari prinsip keadilan dan ketidakberpihakan,
anggota Tribunal tidak diperkenankan untuk bertindak sebagai konsultan,
penasehat, atau mewakili pihak-pihak lain yang sedang ditangani Tribunal.

Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969

United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982

Dalam Vienna Convention on the Laws of Treaty, 1969 juga diatur perihal
sengketa dan penyelesaiannya dalam Pasal 65 dan Pasal 66. Namun, kedua pasal
ini hanya berlaku pada sengketa yang berhubungan dengan Pasal 46-64 tentang
Invalidity, Termination, and Suspension of the Operation of Treaties. Sehingga,
ketentuannya tidak mencakup sengketa yang timbul akibat penerapan atau
interpretasi perjanjian internasional.62 Dalam Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4) VCLT
diatur bahwa:

(3) If, however, objection has been raised by any other party, the parties shall
seek a solution through the means indicated in Article 33 of the Charter of the
United Nations.
(4) Nothing in this foregoing paragraphs shall affect the rights or obligations of
the parties under any provisions in force binding the parties with regard to the
settlement of disputes.

Frasa “seek a solution” di sini pernah disarankan untuk diganti dengan


“settlement of dispute.” Namun, SR Waldock menolaknya dengan alasan bahwa
frasa “seek a solution” lebih bersifat netral atau tidak perlu mengakui ada atau
tidaknya sengketa; lagi-lagi, karakter diplomatis dari VCLT ditekankan.

Kemudian, Pasal 65 juga merujuk mekanisme penyelesaian sengketa yang


digunakan alam Pasal 33 UN Charter, yaitu negosiasi, penyelidikan, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, penyelesaian yudisial, menggunakan instansi atau mekanisme
regional, atau cara damai lainnya.

Namun, ayat (4) menekankan ketentuan di atas tidak menghilangkan


kesepakatan mengenai penyelesaian sengketa yang ada antara para pihak. Ayat
ini menjamin bahwa kehendak para pihak tidak akan terpengaruh sehingga
kesepakatan itu tetap dapat diterapkan dalam hubungan mereka.

Selanjutnya, Pasal 66 VCLT mengatur bahwa:

If, under paragraph 3 of article 65, no solution has been reached within a period
of 12 months following the date on which the objection was raised, the following
procedures shall be followed:

a. any one of the parties to a dispute concerning the application or


the interpretation of article 53 or 64 may, by a written application,
submit it to the International Court of Justice for a decision unless
the parties by common consent agree to submit the dispute to
arbitration;

Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach (Eds),


Vienna Convention on the Law of Treaties, A Commentary, (New
York: Springer Heidelberg Dordrecht, 2012), hlm. 1141.
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969.
Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach (Eds), Op. Cit., hlm. 1148. 65
Ibid., hlm. 1148-1149. 66 Ibid., hlm 1149.
b. any one of the parties to a dispute concerning the application or
the interpretation of any of the other articles in part V of the
present Convention may set in motion the procedure specified in
the Annex to the Convention by submitting a request to that
effect to the Secretary-General of the United Nations.

Pasal ini hanya berlaku ketika upaya penyelesaian sebagaimana diatur


dalam Pasal 65 ayat (3) tidak membuahkan hasil. Lagi-lagi, penyelesaian
sengketa yang diatur dalam Pasal ini hanyalah terkait sengketa dalam
kaitannya dengan Bagian V VCLT, bukan interpretasi atau pelaksanaan
suatu perjanjian internasional, bukan pula sengketa mengenai bagian lain
dalam VCLT.

Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969.


Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach (Eds), Op. Cit., hlm. 1154. 23

KESIMPULAN :

Prinsip penyelesaian sengketa secara damai dikukuhkan dalam Pasal 2 ayat


(3) Piagam PBB yang kemudian dalam Pasal 33 piagam yang sama disebutkan
beberapa kemungkinan mekanismenya, yaitu negosiasi, pencarian fakta, mediasi,
jasa-jasa baik, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian yudisial, atau menggunakan
instansi atau mekanisme regional, serta cara damai lainnya.

Dari beberapa mekanisme yang disebutkan sebelumnya, dapat dilakukan


klasifikasi berdasarkan kekuatan mengikat dari hasil penyelesaian sengketa.
Negosiasi, pencarian fakta, mediasi, dan jasa-jasa baik, dan konsiliasi merupakan
mekanisme penyelesaian dengan hasil yang tidak mengikat para pihak. Kemudian,
keputusan yang diambil dari proses konsiliasi, arbitrasi, dan penyelesaian yudisial
merupakan keputusan yang mengikat para pihak. Namun klasifikasi ini tidaklah
mutlak, dalam arti bahwa mengikat atau tidaknya hasil penyelesaian sengketa
tergantung pada kesepakatan para pihak. Selain negosiasi dan konsultasi,
mekanisme penyelesaian sengketa yang disebutkan sebelumnya menggunakan
bantuan pihak ketiga di luar para pihak yang bersengketa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adolf, Huala. 1991. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Rajawali Press.


Aust, Anthony. 2000. Modern Treaty Law and Practice. (United Kingdom:
Cambridge University Press).

Dorr, Oliver dan Kirsten Schmalenbach (Eds). 2012. Vienna Convention on the Law
of Treaties, A Commentary. (New York: Springer Heidelberg Dordrecht)

Fuady, Munir. 2000. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis).


Bandung: Citra Aditya Bakti.

Harahap, Yahya. 1991. Arbitrase. n.p.: Pustaka Kartini. Merills, J. G. 2011.


International Dispute Settlement. (New York: Cambridge University Press)
Sefriani. 2012. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. (Jakarta: Rajawali Pers).
Suwardi, Sri Setianingsih. 2006. Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: UI
Press). United Nations. 2012. Treaty Handbook, Prepared by the Treaty Section of
the Office of Legal Affairs. (UN: United Nations Publication).

Artikel dalam Jurnal

Danial : “Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Proses


Penyelesaian Konflik Internasional.” Jurnal Ilmu dan Budaya Universitas Nasional
Jakarta.

Eliza, Emi et. all. “Intervensi Kemanusiaan (Humanitarian Intervention) Menurut


Hukum Internasional dan Implementasinya dalam Konflik Bersenjata.” Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 8 No. 4. (Okt-Des 2014).
Pede, Albert. “Peran Negara dalam Penyelesaian Sengketa Intenasional dengan
Kekerasan Bukan Perang.” Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin. Vol. 1 No. 3 (2014).

Randy, Daeng. “Statute of the International Tribunal for the Law of the Sea.”
Indonesian Journal of International Law Vol. 1 No. 3 (Apr, 2004).

Sulistya, Teguh. “Pengaturan Perang dan Konflik Bersenjata dalam Hukum


Humaniter Internasional.” Jurnal Hukum Internasional. Vol. 4 No. 3 (Apr, 2007).

Wahid, Abdul. “Pengangkatan Arbiter dalam Arbitrase Internasional: Suatu Studi


Perbandingan Berdasarkan UNCITRAL, ICC, AAA, dan LCIA Rules.” Jurnal Hukum
dan Pembangunan No. 3 Tahun XXIX (Jul-Sept, 1999).

Instrumen Hukum

Convention (II) with Respect to the Laws and Customs of War on Land and its
annex: Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague,
29 Juli 1899.

Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and


CoOperation Among States in Accordance with the Charter of the United Nations.
Adopted by the UN General Assembly Resolution 2625 (XXV) Of 24 October 1970.

United Nations Charter. 1945.

Vienna Convention on the Law of Treaties. 1969

Вам также может понравиться