Вы находитесь на странице: 1из 7

1.Apakah diagnosis pada pasien ini sudah benar?

2. Apakah tatalaksana pada pasien ini sudah benar?

3.Bagaimana prognosis pada pasien ini?

!. Cauda equina syndrome mengacu pada kumpulan gejala neuromuskuler dan urogenital yang
dihasilkan dari kompresi simultan dari beberapa akar saraf lumbosakral pada bagaian bawah conus
medullaris. Gejala ini termasuk nyeri pinggang, nyeri panggul (unilateral atau bilateral), disfungsi
kandung kemih dan usus serta disfungsi seksual, dan defisit neurologis berupa gangguan motorik,
sensorik atau refleks pada ekstremitas bawah.

Terdapat tiga variasi CES yang sudah diketahui :


1. CES akut yang terjadi mendadak tanpa didahului problem punggung bawah sebelumnya
2. Defisit neurologis akut (disfungsi bladder) pada pasien yang memiliki riwayat nyeri punggung dan
ischialgia
3. progresi bertahap ke arah CES pada pasien yang yang menderita nyeri punggung kronik dan
ischialgia.
Pada lebih 85% kasus, gejala dan tanda klinis CES berkembang dalam waktu kurang dari 24 jam.
Glave dan Macfarlane membagi pasien CES dalan dua stadium dalam hubungannya dengan fungsi
urinari: stadium I, CES dengan retensi dan overflow incontinence; stadium II, CES inkomplit, dengan
ciri penurunan sensasi urinari, hilangnya keinginan untuk berkemih (pengosongan), pancaran urin
tidak baik, dan perlu mengejan agar bisa berkemih.

Anamnesis 3,4,10,16,17
Pasien CES sering menunjukkan gejala-gejala yang tidak spesifk, dengan nyeri punggung yang
merupakan gejala yang paling menonjol. Bell et al menunjukkan bahwa didapatkan akurasi
diagnostik antara retensi urin, frekuensi urin, inkontinensia urin, penurunan sensasi berkemih dan
penurunan sensasi perineal dengan hasil MRI yang menunjukkan adanya prolaps diskus.

Anamnesis yang harus didapatkan dari pasien antara lain:


• Nyeri punggung bawah. Nyeri ini mungkin memiliki beberapa karakteristik yang mengesankan
adanya hal yang berbeda dari strain lumbal pada umumnya. Pasien mungkin melaporkan adanya
trigger yang memperparah, seperti menolehkan kepala.
• Nyeri tungkai atau nyeri menjalar ke kaki yang bersifat akut atau kronik
• Kelemahan motorik ekstremitas bawah unilateral atau bilateral dan/atau abnormalitas sensorik
• Disfungsi bowel dan bladder
o Gejala awal biasanya adalah retensi urin yang diikuti dengan munculnya overflow incontinence,
dan kemudian bisa juga diikuti dengan keluhan inkontinensia alvi
o Biasanya dihubungkan dengan anesthesia/hipestesia tipe sadel
• Gangguan ereksi dan ejakulasi

Pemeriksaan Fisik 3,4,10,16,17


Nyeri sering berlokasi di punggung bawah. Mungkin didapatkan nyeri tekan setempat atau nyeri
sewaktu diperkusi. Nyeri punggung bawah dapat dibagi menjadi nyeri lokal dan radikular. Nyeri lokal
biasanya nyeri yang dalam akibat iritasi jaringan lunak dan korpus vertebra. Nyeri radikular umumnya
bersifat tajam, seperti tertusuk-tusuk akibat dari kompresi radiks saraf dorsal. Nyeri radikular
diproyeksikan dalam distribusi dermatomal.
Abnormalitas refleks mungkin ada, berupa berkurangnya atau hilangnya refleks fisiologis. Refleks
yang meningkat merupakan tanda adanya keterlibatan medula spinalis sehingga diagnosis CES bisa
disingkirkan. Nyeri menjalar ke kaki (ischialgia) unilateral atau bilateral merupakan karakteristik CES,
diperburuk dengan manuver valsava. Abnormalitas sensorik mungkin muncul di area perineal atau
ekstremitas bawah. Pemeriksaan raba ringan (light touch) pada area perineal seharusnya dilakukan.
Area yang mengalami anestesi mungkin menunjukkan adanya kerusakan kulit.
Kelemahan otot mungkin timbul pada otot-otot yang mendapatkan inervasi dari radiks saraf yang
terkena. Atrofi otot dapat terjadi pada CES kronik. Tonus sphincter ani yang menurun atau hilang
merupakan karakteristik CES.
Adanya tanda babinski atau tanda-tanda upper motor neuron lainnya menunjukkan diagnosis selain
CES, kemungkinan merupakan kompresi medula spinalis. Penurunan fungsi bladder dapat dinilai
secara empiris dengan kateterisasi urin.
CES harus dipertimbangkan kemungkinannya pada semua pasien yang memiliki keluhan nyeri
punggung bawah dengan inkontinensia bowel atau bladder. Disfungsi bladder biasanya merupakan
akibat dari kelemahan otot detrussor dan areflexic bladder; disfungsi ini awalnya menyebabkan
retensi urin yang kemudian diikuti dengan overflow incontinence pada stadium selanjutnya. Pasien
yang menderita nyeri punggung dan inkontinensia urin tetapi hasil pemeriksaan neurologisnya
normal seharusnya diukur volume residual postvoid-nya. Volume residual postvoid yang lebih besar
dari 100 mL menunjukkan adanya overflow incontinence dan memerlukan evaluasi lebih lanjut;
sedangkan volume kurang dari 100 mL menyingkirkan diagnosis CES. Refleks anal, yang ditimbulkan
dengan mengusap kulit lateral anus, normalnya menyebabkan kontraksi refleks sphincter ani
eksterna. Pemeriksaan rektal seharusnya dilakukan untuk menilai tonus sphincter ani dan sensibilitas
jika ditemukan tanda atau gejala CES.

Pemeriksaan Penunjang3,9
Diagnosis CES umumnya bisa didapatkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
radiologi dan laboratorium digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis dan untuk menentukan lokasi
patologik dan penyakit yang mendasari.
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan dalam penelusuran diagnosis CES adalah:
• X-foto polos. Tidak banyak membantu dalam diagnosis CES tapi mungkin dapat dilakukan dalam
kasus-kasus cedera akibat trauma atau penelusuran adanya perubahan destruktif pada vertebra,
penyempitan diskus intervertebralis atau adanya spondilosis, spondilolistesis
• CT dengan atau tanpa kontras. Myelogram lumbar diikuti dengan CT
• MRI. Berdasarkan kemampuannya untuk menggambarkan jaringan lunak, MRI umumnya
merupakan tes yang disukai dokter dalam mendiagnosis CES. MRI direkomendasikan untuk seluruh
pasien yang memiliki gejala urinari yang baru muncul yang berhubungan dengan nyeri punggung
bawah dan ischialgia.
• Ultrasonografi mungkin bisa digunakan untuk estimasi volume residual post-void
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin, kimia darah, gula
darah puasa, sedimentation rate, dan sifilis dan lyme serology. Pemeriksaan cairan serebrospinal juga
dapat dilakukan jika didapatkan tanda meningitis.
2. PENATALAKSANAAN
Belum ada bukti yang menunjukkan terapi apa yang paling baik pada CES. Terapi umumnya ditujukan
pada penyebab yang mendasari terjadinya CES.

Pembedahan2,4,5,10,12
Pada sebagian kasus, CES merupakan indikasi untuk dilakukan operasi dekompresi secepatnya;
laminektomi yang diikuti dengan retraksi cauda equina secara hati-hati (untuk menghindari
komplikasi meningkatnya gangguan neurologis) dan diskectomy pada penderita CES yang disebabkan
oleh herniasi diskus merupakan tindakan pilihan. Waktu yang tepat dilakukan tindakan dekompresi
belum sepenuhnya disepakati. Umumnya, pasien CES yang dilakukan operasi dalam 24 jam sejak
timbul gejala awal dipercaya akan mencapai perbaikan neurologis yang lebih baik secara signifikan.
Tetapi, beberapa penelitian menunjukkan tidak ditemukannya perbaikan outcome secara signifikan
pada pasien yang dioperasi dalam waktu 24 jam dibandingkan dengan pasien-pasien yang dioperasi
dalam waktu 24 sampai 48 jam. Penelitian lain menunjukkan bahwa pembedahan yang dilakukan
secara elektif dibandingkan pembedahan emergensi tidak mengganggu perbaikan neurologis.
Meskipun begitu, sebagian besar peneliti merekomendasikan tindakan operasi dekompresi secepat
mungkin setelah munculnya gejala untuk meningkatkan kemungkinan memperoleh perbaikan
neurologis komplit.
Medikamentosa3,4
• Agen vasodilator
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa agen vasodilator memiliki efek terapetik yang signifikan
terhadap CES. Dalam sebuah penelitian eksperimental menyebutkan bahwa pengobatan sistemik
dengan OP-1206 α-CD, suatu analog prostaglandin E1, dapat secara signifikan meningkatkan aliran
darah dan menurunkan hiperalgesia thermal yang diinduksi oleh cedera konstriksi saraf pada tikus.

• Agen anti-inflamasi
Agen anti-inflamasi, meliputi steroid dan NSAID, mungkin efektif pada pasien dengan penyebab
inflamasi dan sudah banyak digunakan dalam pengobatan nyeri punggung, tapi tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa obat-obat tersebut memberikan manfaat yang signifikan. Regimen steroid yang
biasa dipakai adalah deksametason dengan dosis awal 10 mg secara intravena, diikuti 4 mg secara
intravena diberikan setiap enam jam. Deksametason umumya diberikan intravena pada dosis 4
sampai 100 mg.
NSAID telah terbukti berguna untuk mencegah kalsifikasi jaringan lunak, osifikasi heterotopik dan
perlengketan. Beberapa peneliti juga menegaskan resiko potensial penggunaan steroid. Pernah
dilaporkan bahwa penggunaan agen antiinflamasi mungkin menghambat penyembuhan dan
seringkali menimbulkan pembentukan abses.

REHABILITASI MEDIK PADA SINDROMA CAUDA EQUINA


Perawatan kulit

Pada saat terjadinya cedera medulla spinalis seringkali menyebabkan pasien memerlukan tirah
baring dalam waktu lama. Hal ini merupakan faktor risiko terjadinya ulkus dekubitus pada daerah-
daerah tubuh tertentu yang mengalami penekanan terus menerus. Usaha terhadap pencegahan
penanganan dekubitus harus dimulai segera setelah terjadinya cedera. Dasar perawatan adalah
membebaskan tonjolan tulang dari tekanan setiap 2-3 jam sekali. 19,20

Perawatan kandung kemih dan rektum


Dalam program rehabilitasi, perawatan kandung kemih dan rektum sangat penting dan merupakan
kunci keberhasilan hidup di masa mendatang.

Lower Motor Neuron Bladder Training

Pada tipe ini refleks bulbocavernosus dan anal superficial selalu negatif, penekanan / pemijatan
kandung kemih dengan mengejangkan otot – otot abdomen dan diafragma yang tidak mengalami
paralisis serta dibantu manual kompresi (maneuver Crede) dapat dilakukan untuk membantu
pengosongan kandung kemih (pertama kali dilakukan 2 minggu setelah terjadinya cedera). Bila ini
gagal, ulangi 2 kali seminggu sampai terjadi pengosongan kandung kemih ( biasanya terjadi setelah 2
– 8 minggu ). Dapat juga dilakukan usaha dengan kateter intermiten setiap 4-6 jam untuk melatih
pengosongan kandung kemih secara efektif. Bila pengosongan kandung kemih sudah dapat terjadi,
maka usaha selanjutnya dilakukan oleh penderita sendiri tiap 2 jam di siang hari dan perawat
membantu melakukan penekanan secara manual di malam hari saat membalik posisi pasien. Sekali
penderita telah menguasai tehnik pengosongan kandung kemih ini dengan memuaskan, maka
frekuensi pengosongan dapat diatur sendiri, misalnya 3 – 4 jam sekali di siang hari, sebelum tidur,
tengah malam (waktu membalikan posisi pasien), serta waktu bangun tidur di pagi hari., 20,21

Bowel Care

Dasar dari latihan rektum ini adalah supaya fungsi pengosongan rektum berjalan dengan efektif,
efisien dan wajar. 19

Fisioterapi

Program fisioterapi harus sudah dimulai sejak pasien dirawat. Ada berbagai macam program
fisioterapi yang dapat diberikan pada pasien dengan sindrom kauda equina dan tentunya tidak
semuanya cocok diberikan untuk setiap pasien. Jelas pemberian latihan ini disesuaikan dengan
keadaan klinis pasien dan juga gangguan neurologis yang ditemukan pada pasien tersebut. Adapun
program-program tersebut antara lain:
1. Gerakan pasif.
Tiap persendian dari group otot ekstremitas inferior digerakan secara pasif dan full ROM, sekurang –
kurangnya 2 kali sehari. Hal ini perlu untuk mencegah terjadinya kontraktur, karena gerakan pasif
tersebut memelihara tonus dan panjang otot, serta melancarkan aliran darah dari ekstremitas
inferior yang rentan terhadap kemungkinan timbulnya trombosis yang disebabkan aliran darah
biasanya ditempat tersebut sangat lambat.
2. Keseimbangan duduk.
Pada pasien dengan kelemahan otot ekstremitas inferior yang cukup berat saat mula-mula di pindah
ke kursi roda perlu waktu beberapa hari bagi pasien dapat duduk tegak dengan baik. Paralisis otot-
otot tubuh seringkali mengganggu keseimbangan dan bagi pasien hal ini dirasakan sangan
mengganggu. Jika duduk tegak maka pasien akan merasakan gejala-gejala seperti hipotensi antara
lain pusing dan mual. Biasanya secara bertahap pasien dapat menyesuaikan diri. Jika hal ini terus
berlanjut, maka dapat digunakan tilt table untuk membantu pasien membiasakan diri duduk tegak.

3. Berenang
Latihan berenang di kolam sangat bermanfaat dan menyenangkan karena akan membantu dan
mempermudah otot-otot ekstremitas inferior untuk aktif berfungsi. Ban dan jaket penyelamat dapat
digunakan untuk pengaman dan memperbesar rasa percaya diri pasien. Jika pasien ragu-ragu, maka
terapis dapat membantu dengan menyangga tubuh pasien pada tempat yang sensoriknya masih
berfungsi. Latihan renang ini dari sejak awalnya sudah dapat dikembangkan menjadi salah satu
latihan yang dapat menyenangkan sekaligus sebagai suatu rekreasi.
4. Gym work
Tujuan latihan di ruang senam ini adalah untuk mengembangkan sepenuhya aktifitas otot-otot yang
persyarafannya masih baik. Latihan dengan tahanan, per dan beban, press up, dan memanjat dengan
tali.
5. Mat work (senam lantai di matras),
Pasien dalam posisi berbaring di lantai bertujuan untuk menguatkan otot–otot trunkus dan
meningkatkan tonus otot – otot paravertebralis sehingga nantinya hal tersebut dapat membantu
pasien dalam memperbaiki keseimbangan duduk dan postur. Latihan di matras ini bertujuan
membantu mengurangi spastisitas otot – otot tersebut dan ini kelak akan membantu berfungsinya
bladder dan bowel. Semua pasien diajarkan berguling di lantai dan jika mungkin belajar duduk tanpa
dibantu. Selanjutnya latihan keseimbangan dapat terus di kembangkan dengan latihan duduk di tepi
tempat tidur. Selain itu bisa pula dilakukan senam Kegel untuk menguatkan otot-otot panggul.
6. Berdiri
Pasien paraparese atau paraplegia secara teratur harus diajarkan cara untuk berdiri tegak. Disamping
meningkatkan moril dan kepercayaan diri pasien, hal ini bertujuan untuk meringankan beban
tekanan di sakrum dan pantat, memperbaiki tonus otot di trunkus dan ekstremitas inferior,
mencegah deformitas fleksi di pangkal paha, lutut dan pergelangan kaki, memperbaiki efisiensi
pengosongan ginjal dan kandung kemih serta fungsi rektum dan juga berperan dalam pencegahan
osteoporosis dan fraktur patologis. Untuk memungkinkan latihan berdiri tegak ini dapat digunakan
alat yang dinamakan standing frame. Pengikat yang dilapisi kulit halus berfungsi sebagai brace,
sedangkan meja miring didepan berfungsi sebagai tempat penderita melakukan berbagai aktifitasnya
sambil berdiri.
7. Latihan jalan.
Faktor yang sangat menentukan kemampuan pasien dalam berjalan ialah: kekuatan otot quadriceps,
propioseptif lutut, tidak adanya kontraktur fleksi dari panggul dan kontrol lengan. Untuk melangkah
adalah merupakan problem yang besar bagi pasien. Kemauan merupakan kunci kearah keberhasilan,
yang juga sangat tergantung faktor umur, berat badan dan jumlah otot-otot yang masih berfungsi.
Teknik-teknik yang dapat dipergunakan dalam latihan jalan ini antara lain: swing to & swing through
qait menggunakan kruk siku (elbow crutches).

8. Pemakaian kursi roda


Harus dipesan kursi roda yang sesuai untuk tiap pasien. Idealnya pasien dipesankan kursi roda sedini
mungkin yang tipenya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan. Waktu yang paling tepat adalah saat
pasien mulai belajar duduk.
Sebaiknya pemesanan kursi roda ini didiskusikan oleh tim. Pemilihan jenis kursi roda sangat
tergantung kepada usia, ukuran tubuh, tinggi badan dan berat badan dan ditentukan oleh kekuatan
lengan (1,2,3). Tempat kaki yang dapat dibuka dan berputar, ketinggian yang dapat diatur serta
sandaran tangan yang dapat dilepaskan merupakan bentuk standart.
Latihan mengendalikan kursi roda diberikan sampai pasien betul – betul yakin akan kemampuannya.
Antara lain latihan tersebut adalah bagaimana cara – cara melintasi pintu, permukaan lantai yang
tidak rata, kemiringan dari “trotoar”. Kepada pasien juga diajarkan cara–cara mundur dengan
baik.19,20,21

3. PROGNOSIS
Para peneliti telah menemukan kriteria-kriteria spesifik yang dapat membantu memprediksi
prognosis pasien CES.
• Pasien dengan ischialgia bilateral dilaporkan memiliki prognosis yang kurang baik dibanding yang
mengalami ishialgia unilateral.
• Pasien dengan gejala anestesi perineal komplit kemungkinan besar akan menderita paralisis
bladder permanen
• Luasnya defisit sensorik tipe sadel atau perineal merupakan prediktor perbaikan/penyembuhan
yang paling penting. Pasien dengan defisit unilateral memiliki prognosis yang lebih baik daripada
pasien dengan defisit bilateral.
• Wanita dan pasien dengan disfungsi bowel memiliki outcome yang lebih buruk.

Prognosis dapat juga diprediksi dengan skala American Spinal Injury Association (ASIA) berikut :
• ASIA A : 90 % pasien masih mampu dalam ambulasi fungsional
• ASIA B : 72 % pasien tidak dapat mencapai ambulasi fungsional
• ASIA C/D : 13 % pasien tidak mampumencapai ambulasi fungsional 1 tahun setelah cedera.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper AH, Brown RH. Principles of Neurology. 8th ed. Mc.Graw-Hill. New York. 2005; 168-171.
2. Mahadewa T, Maliawan S. Cedera Saraf Tulang Belakang Aspek Klinis dan Penatalaksanaannya.
Udayana University Press. Denpasar 2009
3. Dawodu ST. Cauda Equina and Conus Medullaris Syndromes. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1148690-overview#showall
4. Cauda Equina Syndrome, http://www.emedicinehealth.com, Januari 11,2012
5. Snell RS. Neuroanatomi klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 5. EGC Jakarta 2002
6. Mercer S, Bogduk N. The ligaments and annulus fibrosus of human adult cervikal intervertebral
discs. Spine. Apr 1 1999;24(7):619-26; discussion 627-8.
7. Bartleson JD, Deen HG. Spine Disorders Medical and Surgical Management. Cambridge University
Press, New York 2009
8. Skyme AD, SElmon GPF, Apthorp L. Common spinal disorders explained. London: Remedica. 2005:
39-43.
9. MA Bin et al. Cauda equina syndrome: a review of clinical progress.Chin Med J 2009;122(10):1214-
1222
10. Jason C Eck. Cauda equina syndrome. Available from http://emedicine.medscape.com
/article/1263571-overview . Updated: Feb 12, 2012
11. David H Durrant, Jerome M True. Myelopathy,radiculopathy, and peripheral entrapment
syndromes. CRC press. 2002.
12. Available at http://www.mwspinecare.com/files/Lumbar_Herniated_Disc.pdf
13. Clarke A, Jones A, Malley MO, McLarren R. ABC of spinal disorders. Singapore: Blackwell. 2010:
22-3.
14. Baehr M, Frotscher M. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology Anatomy • Physiology • Signs •
Symptoms . 4th edition , Thieme , Stuttgart • New York 2005 : 56 – 113
15. Gleave JR, Macfarlane R. Cauda equina syndrome: what is the relationship between timing of
surgery and outcome? Br JNeurosurg 2002; 16: 325-328.
16. Tsementzis Sotirios. Differential diagnosis in neurology and neurosurgery. Thieme. 2000. 210-212
17. Esther Dan-Phuong. A case study of cauda equina syndrome. The Permanente Journal. fall 2003;
7(4):13-17
18. Evans RW. Neurology and Trauma. 2nd ed. Oxford University Press 2006 : 267
19. Cucurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. New York: Demos. 2004
20. Tan J. Practical Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. St. Louis: Mosby. 1998
21. Somers MF. Spinal Cord Injury. Third Edition. Pearson. 2010
22. Braddom RL. Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. Philadelphia: Saunders. 2004

Вам также может понравиться