Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
DJUMADI PARLUHUTAN P.
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
Bogor, A p r i l 2007
Djumadi Parluhutan P.
C551030274
ABSTRAK
The government of Serang District has given the policy to sand mining on
coastal fisheries and PT Jetstar has exploited sand on coastal fisheries in Tirtayasa
since September 2003 up to 2005. Sand mining has influenced on coastal fisheries
especially to the swimming crab (Portunus pelagicus). Swimming crab is a
demersal crustacea with habitat muddy sand.
The objective of the research is to analyze the impact of sand mining on
the swimming crab fishery. T test analysis was used to compare the production of
swimming crabs before and after sand mining. Regression analysis was use to
analyze correlation between sand mining production and swimming crabs
production. Economic valuation was obtained by using surplus producer method.
The result of this research show that the swimming crabs production has
decrease and there is significantly after sand mining activity. Carapace Wide
(CW) and Body Weight (BW) has decreased after sand mining. The result of
regression analysis shows that increasing the production of sand mining has an
impact towards decreasing of swimming crab production. There is decreasing of
surplus producers Rp. 10.046.625.000, - for a year. The sand mining has
influenced to the pattern of fishing for the crab fishers activities.
In the future, the government needs to establish the regulation of marine
and coastal zone, special regulation sand mining on coastal, sustainable fisheries
program and research to minimize negative impact of sand mining activities.
DJUMADI PARLUHUTAN P.
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
LEMBAR PENGESAHAN
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Diketahui,
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Halaman
v
2.7 Dampak Penambangan Pasir Laut. ........................................................... 25
2.7.1 Aspek Ekonomi. ............................................................................ 25
2.7.2 Aspek Lingkungan. ....................................................................... 25
2.7.3 Aspek Sosial. ................................................................................. 26
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode dan Lokasi Penelitian. ................................................................. 28
3.2 Jenis dan Sumber Data. ............................................................................ 28
3.3 Metode Pengambilan Contoh atau Data. ................................................. 28
3.4 Analisis Data. ........................................................................................... 29
3.4.1 Uji Perbedaan Produksi. ................................................................. 29
3.4.2 Kualitas Rajungan. ......................................................................... 30
3.4.3 Analisis Hubungan Produksi Pasir Laut-Produksi Rajungan. ....... 30
3.4.4 Surplus Produsen. .......................................................................... 31
4. KEADAAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Umum. ........................................................................................ 33
4.2 Kondisi Perikanan Tangkap dan Budidaya Tambak. ............................... 34
4.3 Keadaan Umum Kecamatan Tirtayasa. .................................................... 40
4.4 Karakteristik Perikanan Tangkap dan Budidaya di Wilayah Penelitian. . 44
4.5 Karakteristik Responden. ......................................................................... 55
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Daerah Penangkapan Ikan dan Kawasan Penambangan Pasir Laut. ........ 57
5.2 Produksi Rajungan. .................................................................................. 57
5.3 Produksi Rajungan Sebelum dan Setelah Penambangan Pasir Laut. ....... 58
5.4 Kualitas Produksi Rajungan. .................................................................... 59
5.5 Ijin Pertambangan dan Produksi Pasir Laut. ............................................ 60
5.6 Biofisik Perairan. ..................................................................................... 62
5.7 Regresi Produksi Pasir Laut Terhadap Produksi Rajungan. ................... 64
5.8 Perubahan Surplus Produsen. ................................................................... 65
5.9 Implikasi Kebijakan . ............................................................................... 68
vi
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan. ............................................................................................. 72
6.2 Saran. ........................................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA . ........................................................................................... 74
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
11. Jumlah rumah tangga petani tambak dan luas areal tambak di Kabupaten
Serang. ........................................................................................................
40
v
16. Bagian, bahan dan ukuran jaring rajungan yang digunakan nelayan
Kecamatan Tirtayasa. .................................................................................
45
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
xi
1 PENDAHULUAN
2
perubahan hasil tangkapan nelayan dan akan mempengaruhi perekonomian
nelayan.
3
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna sebagai
input dalam merumuskan strategi kebijakan, terutama bagi pemerintah daerah
terkait dengan pengelolaan pasir laut dan hasil produksi rajungan oleh nelayan
serta kelestarian sumber daya alam sehingga pemanfaatannya dilakukan secara
bertanggung jawab untuk kesejahteraan masyarakat.
4
hasil tangkapan akan jauh menurun. selain itu, berbagai organisme bentos yang
hidup dan mencari makan pada habitat tersebut juga akan hilang.
Selain itu juga, lokasi-lokasi yang menjadi habitat berbagai organisme laut
harus dilindungi dan terbebas dari aktivitas penambangan pasir laut, karena selain
akan mematikan jasad renik, larva, juvenil, serta organisme bentos lainnya, juga
merusak habitat yang kritis bagi rantai kehidupan berbagai organisme laut.
Pemerintah Daerah Kabupaten Serang telah mengeluarkan beberapa ijin
Kuasa Penambangan (KP) pasir laut yang didasarkan dari hasil rekomendasi
Subdin Pertambangan pada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang.
Beberapa perusahaan telah melakukan penambangan pasir laut secara aktif pada
perairan Kecamatan Tirtayasa. Sebagaimana telah diuraikan diatas, pengaruh
penambangan pasir laut terhadap habitat perairan, maka penambangan pasir laut
kabupaten Serang akan berdampak terhadap hasil tangkapan nelayan.
Pada sumber daya laut terdapat sumber daya pasir laut, sumber daya ikan
dan sumber daya lainnya. Sumber daya pasir laut di ekstraksi maka akan didapat
pasir laut, tetapi walupun tidak sengaja ekstraksi tersebut secara pasti akan
menghasilkan tingginya kadar total padatan tersuspensi (total suspendid solid) dan
tingkat kekeruhan yang akan mempengaruhi jumlah hasil tangkapan perunit
usaha. Sedangkan sumber daya ikan yang dimanfaatkan merupakan perikanan
tangkap. Penangkapan ikan terus menerus secara kontinu juga dapat merubah
hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan yang biasa didapat di Kecamatan
Tirtayasa Kabupaten Serang adalah rajungan dengan menggunakan alat tangkap
jaring rajungan dan bubu rajungan. Tingkat perubahan hasil tangkapan merupakan
dampak dari ekstraksi pasir laut yang akan menjadi sumber informasi, kemudian
perlu disikapi secara bijaksana sehingga memunculkan aturan yang baik dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut.
Parameter perubahan dalam penelitian ini adalah aspek biofisik berupa
Produksi rajungan yang didaratkan, serta lebar dan panjang carapace (carapace
width; carapace length) sebelum dan sesudah aktivitas penambangan pasir laut.
Aspek lainnya yang perlu diobservasi adalah aspek ekonomi berupa biaya operasi
penangkapan per unit alat tangkap, harga rajungan, harga pasir laut serta rantai
pemasaran ikan. Data yang diperlukan adalah produksi bulanan sebelum
5
penambangan pasir laut terjadi dan dibandingkan dengan produksi bulanan setelah
penambangan pasir berlangsung. Kerangka pemikiran dari penelitian Analisis
Dampak Penambangan Pasir Laut Terhadap Perikanan Rajungan di Kecamatan
Tirtayasa Kabupaten Serang dapat dilihat pada Gambar 1.
Penelitian ini ditujukan hanya pada alat tangkap jaring rajungan dan bubu
rajungan. Hal ini dilakukan untuk mengisolasi dampak dari alat tangkap lainnya.
Selain itu penelitian ini dilakukan pada lokasi yang sama antara penambangan
pasir laut dengan “fishing ground” dari jaring dan bubu rajungan.
START
Identifikasi SD
Analisis Identifikasi
Kebutuhan Jenis Rajungan
Analisis Dampak
Strategi Pengelolaan
Selesai
6
Sebagaimana kerangka pikir penelitian maka diperlukan data time series bulanan,
periode sebelum dilaksanakan penambangan pasir dan periode saat berlangsung
penambangan pasir.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
9
Sumber daya alam
Eksploitasi/Pemanfaatan
Ekstraksi
Pengurangan TingkatPengurasan Pemanfaatan Lestari
Daya Tidak
Ya
Pengurasan SDA
Kelangkaan
INOVASI
- Pencarian SDA Baru
- Peningkatan Efisiensi
- Perbaikan Teknologi Daur Ulang
- Perbaikan Konservasi
10
mobil. Aluminium dapat digunakan untuk keperluan peralatan rumah tangga dan
sejenisnya. Sumber daya material ini dapat dibagi lagi menjadi material metalik
seperti contoh di atas dan material non metalik seperti tanah dan pasir.
Sumber daya energi di sisi lain merupakan sumber daya yang digunakan
untuk kebutuhan menggerakkan energi melalui proses transformasi panas maupun
transformasi energi lainnya. Beberapa sumber daya dapat dikategorikan ke dalam
keduanya. Sumber daya minyak misalnya, dapat dimanfaatkan untuk energi
pembakaran kendaraan bermotor atau dapat juga digunakan untuk bahan baku
plastik. Tampilan berikut ini menguraikan secara sistematis klasifikasi sumber
daya alam sebagaimana dijelaskan di atas.
11
2.3 Penilaian Ekonomi Sumber Daya
12
Valuasi ekonomi pada dasarnya adalah suatu upaya untuk memberikan
nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam
dan lingkungan terlepas dari apakah nilai pasar (market prices ) tersedia atau
tidak. Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya berlandaskan pada ekonomi neo-
klasikal (neo clasical economic theory) yang menekankan pada kepuasan atau
keperluan konsumen. Berdasarkan pemikiran neo-klasikal ini, penilaian setiap
individu pada barang dan jasa tidak lain adalah selisih antara keinginan membayar
(willingness to pay = WTP) dengan biaya untuk mensuplai barang dan jasa
tersebut. Barbier et al. (1996) dalam Fauzi (2004), misalnya menyatakan bahwa
jika sumber daya alam dan lingkungan tersedia dan menghasilkan barang dan jasa
tanpa kita harus mengeluarkan biaya, maka nilai WTP kitalah yang
mencerminkan nilai dari sumber daya itu sendiri, terlepas kita membawanya atau
tidak.
Konsep ini dalam satu dan lain hal identik dengan surplus konsumen
(Marshallian Consumer’s Surplus) yang telah dikembangkan lebih awal oleh
Dupuit (1952). Meskipun tidak terukur secara jelas, teknik pengukuran konsumen
ini sudah sangat dikenal pada barang dan jasa konvensional yang diperdagangkan
dipasar dengan harga yang terukur. Ketika surplus konsumen yang diperoleh dari
mengkonsumsi barang dan jasa tersebut sudah diukur, valuasi ekonomi pada
komoditas yang konvensional ini kemudian diukur dengan melihat perbandingan
surplus konsumen yang terjadi akibat adanya perubahan ekonomi.
Masalah yang timbul untuk barang dan jasa yang nonkonvensional seperti
halnya sumber daya alam dan lingkungan yang selain menghasilkan produk yang
bisa dikonsumsi, juga menghasilkan atribut yang tidak terkonsumsi, dimana pasar
tidak memberikan harga yang dapat diamati, sehingga pengukuran surplus
konsumen tersebut akan menemui kesulitan. Tidak adanya harga yang teramati ini
menyulitkan pengukuran surplus konsumen yang memang dibangun berdasarkan
kriteria selisih antara keinginan membayar dengan harga yang teramati.
Dalam menilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam,
para ahli ekonomi sumber daya membagi nilai tersebut ke dalam beberapa jenis.
13
Secara umum nilai ekonomi sumber daya dibagi kedalam nilai kegunaan atau
pemanfaatan (use values) dan nilai non-kegunaan (non use values).
Komponen pertama, yaitu use value pada dasarnya diartikan sebagai nilai
yang diperoleh seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumber daya
alam dimana individu berhubungan langsung dengan sumber daya alam dan
lingkungan. Nilai ini juga termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan
jasa yang dihasilkan sumber daya alam. Use value secara lebih rinci
diklasifikasikan kembali kedalam direct use value dan indirect use value. Direct
use value merujuk pada kegunaan langsung dari konsumsi sumber daya seperti
penangkapan ikan, pertanian, kayu sebagai bahan bakar dan lain sebagainya baik
secara komersial maupun non komersial. Sementara indirect use value merujuk
pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung kepada masyarakat terhadap
barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan.
Termasuk kedalam indirect use value ini misalnya fungsi pencegahan banjir dan
nursery ground dari suatu ekosistem (Fauzi, 2003). Komponen non use value
adalah nilai yang diberikan pada sumber daya alam atas keberadaannya meskipun
tidak dikonsumsi secara langsung. Non use value lebih sulit diukur (less tangible)
karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan dibanding
pemanfaatan langsung. non use value dibagi lagi dalam sub kelas yakni : nilai
eksistensi (existence value), bequest value, dan nilai pilihan (option value). Nilai
eksistensi pada dasarnya adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya
sumber daya alam dan lingkungan. Nilai ini sering pula disebut dengan nilai
intrinsik (intrinsic value) dari sumber daya alam. Bequest value diartikan sebagai
nilai yang diberikan oleh generasi saat ini dengan menyediakan atau mewariskan
bequest sumber daya untuk generasi mendatang. Nilai pilihan lebih diartikan
sebagai pemeliharaan sumber daya sehingga pilihan untuk memanfaatkannya
(option) untuk masa datang tersedia. Nilai pilihan ini mengandung ketidak
pastian. Nilai ini merujuk pada nilai barang dan jasa dari sumber daya alam yang
mungkin timbul sehubungan dengan ketidakpastian permintaan di masa
mendatang. Bila kita yakin akan preferensi dan ketersediaan sumber daya alam di
masa mendatang, maka nilai pilihan kita nol, sebaliknya jika kita tidak yakin,
maka misalnya saja kita mau membayar “premium” (nilai opsi) agar opsi untuk
14
mengkonsumsi barang dan jasa dari sumber daya alam tetap terbuka. Nilai
kegunaan pada hakekatnya adalah mendefinisikan suatu nilai dari konsumsi aktual
maupun konsumsi potensial dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber
daya alam. Konsep ini dibagi lagi menjadi beberapa subkelas dan diartikan
sebagai nilai yang diperoleh seorang individu atas pemanfaatan langsung dengan
sumber daya alam dan lingkungan.
1) Surplus
Hal yang krusial dari ekonomi sumber daya alam adalah bagaimana surplus
dari sumber daya alam dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu konsep surplus
harus dipahami terlebih dahulu dengan mengetahui kurva permintaan dan
penawaran sehingga konsep surplus dapat diturunkan secara rinci. Pada dasarnya
konsep surplus menempatkan nilai moneter terhadap kesejahteraan masyarakat
dari hasil mengekstraksi dan mengkonsumsi sumber daya alam. Surplus juga
merupakan manfaat ekonomi yang tidak lain adalah selisih antara manfaat kotor
(gross benefit) dan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengekstraksi
sumber daya alam. Green (1992) dalam Fauzi (2004) memandang bahwa
menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur manfaat sumber daya alam
merupakan pengukuran yang tepat karena pemanfaatan sumber daya dinilai
berdasarkan alternatif penggunaan terbaiknya (best alternative use) .
15
2) Surplus Konsumen
Pada Gambar 4, kurva permintaan digambarkan dengan label U’(x)
sementara kurva penawaran digambarkan dengan label C’ (x), surplus konsumen
secara matematik dapat ditulis :
CS(x) = U(x) – (x)U’(x)
= U(x) – xp(x)
Dengan kata lain surplus konsumen (CS) sama dengan manfaat yang
diperoleh masyarakat dari mengkonsumsi sumber daya alam U(x) dikurangi
dengan jumlah yang dibayarkan untuk mengkonsumsi barang tersebut xp(x).
Secara diagramatis, hal ini ekuivalen dengan diagram A ditambah daerah yang
dibatasi oleh P1FEP0 pada Gambar 4. Fauzi (2004) menyatakan bahwa konsep
surplus konsumen lebih bersifat intangible namun konsep ini penting karena dapat
mengukur keinginan membayar dari masyarakat terhadap barang atau dalam
kasus ini barang yang dihasilkan dari sumber daya alam.
Hal lain yang patut dicatat mengenai surplus konsumen adalah
menyangkut pengukuran. Ekonom biasanya tidak tertarik untuk mengukur surplus
konsumen secara absolut. Mereka lebih tertarik untuk mengukur perubahan
surplus konsumen yang diakibatkan oleh perubahan kebijakan yang
mengakibatkan terjadinya perubahan harga. Selain itu pengukuran surplus
konsumen secara absolut juga tidak praktis karena kurva permintaan pada tingkat
harga yang sangat rendah sulit atau tidak diketahui.
Secara grafik, perubahan surplus konsumen adalah luas daerah P0EFP1.
Jika kurva permintaan dan penawaran bersifat linier, luas daerah tersebut bisa
dihitung secara mudah. Namun demikian, jika kurva permintaan dan penawaran
tidak bersifat linier maka pengukuran perubahan surplus konsumen dapat ditulis
16
(kurva
penawaran)
MC = C' (x)
Harga=p
A
P1 F
Po E
B
P2
C
U' (x)
D (kurva permintaan)
0 x1 xo out put
3) Surplus Produsen
Satu hal penting yang mendasar dari aspek ekonomi sumber daya alam
adalah bagaimana ekstraksi sumber daya alam tersebut dapat memberikan
manfaat kesejahteraan kepada masyarakat secara keseluruhan. Mengingat dimensi
kesejahteraan sangat kompleks maka dapat dilakukan pengukuran surplus yang
dapat diperoleh dari konsumsi maupun produksi barang dan jasa yang dihasilkan
dari sumber daya alam. Surplus yang diperoleh dari sumber daya alam pada
dasarnya didapat dari interaksi antara permintaan dan penawaran (Fauzi, 2004).
Surplus produsen sebagai pembayaran yang paling minimum yang bisa
dierima oleh produsen dikurangi dengan biaya untuk memproduksi komoditas.
Surplus produsen dapat juga dianggap sebagai surplus yang bisa diperoleh oleh
pemilik sumber daya atau aset yang produktif pada saat pendapatan dari sumber
daya melebihi biaya pemanfaatannya.
Seperti halnya dengan surplus konsumen, pengukuran besaran surplus
produsen juga dapat dilakukan dengan mencari luas area di atas kurva penawaran
17
yang dibatasi oleh garis harga. Secara matematik, luas area surplus produsen ini
adalah:
x0
PS(x0) = P0x0 – ∫ S(x) dx
0
x0
= P0x0 – ∫ MC(x) dx
0
18
ini sering disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP (keinginan membayar
yang terungkap). Beberapa teknik yang termasuk ke dalam kelompok pertama ini
adalah travel cost, hedonic pricing, dan teknik yang relatif baru yang disebut
random utility model. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan
pada survei di mana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari
responden, yang langsung diungkapkannya secara lisan maupun tertulis. Salah
satu teknik yang cukup populer dalam kelompok ini adalah yang disebut
Contingent Valuation Method (CVM), dan Discrete Choice Method.
19
tingkat energi gelombang yang menghempas ke pantai akan menjadi lebih tinggi
karena peredaman oleh dasar perairan telah berkurang. Hal ini berdampak pada
makin intensifnya proses abrasi/erosi pantai (Purba, 2003).
Berkaitan dengan pemanfaatan pasir laut, maka persyaratan yang harus
dipertimbangkan adalah pada kedalaman berapa penambangan pasir dapat
dilakukan sehingga fungsi dasar perairan untuk meredam energi gelombang dapat
dipertahankan. Dengan kata lain, proses hantaman gelombang di pantai tidak
meningkat akibat adanya penambangan pasir laut di perairan pesisir pantai
tersebut.
Sedimen dasar perairan sebagai salah satu unsur dalam sumber daya
kelautan disamping perairan dan organisme yang menempatinya. Sedimen dasar
perairan sebagai wadah terjadinya proses fisis dan kimia perairan juga sebagai
subtrat bagi organisme hidup disamping sedimen itu sendiri senantiasa berubah
akibat proses alami yang terjadi. Mengetahui jenis dan komposisi sedimen
tersebut akan sangat berguna untuk mengetahui potensi pasir dan tingkat
kesuburan bagi organisme tertentu .
Endapan sedimen di perairan teluk banten selalu berubah-ubah tiap
bulannya karena dipengaruhi oleh energi arus. Endapan lumpur yang cukup luas
terjadi pada bulan- bulan saat kecepatan arus lemah yaitu bulan april. Sedangkan
pada bulan agustus sampai dengan oktober merupakan kecepatan arus tinggi
ditemukan endapan pasir dan pasir krikilan (Helfinalis 2002).
Jenis sedimen dasar perairan di kabupaten serang pada umumnya terdiri
dari pasir, lanau pasiran, pasir lanauan, dan lumpur pasiran. Pasir umumnya
tersebar di laut jawa dekat dengan pulau atau daratan hingga lepas pantai pesisir
Kabupaten Serang bagian timur, terdapat pada kedalaman batimetri 0 hingga –35
m. Luas sekitar 580 km2, dengan tebal pasir 10 m sehingga volume potensi
terukur diperkirakan dengan faktor koreksi 80% adalah 5.800.000.000 m3 x 80%
= 4.640.000.000 m3. Lanau pasiran umumnya tersebar luas di laut jawa antara
lepas pantai Kabupaten Tanggerang hingga lepas pantai Kabupaten Serang,
terdapat pada kedalaman batimetri -5 hingga –50 m dengan luas 50,34 km2.
Lumpur pasiran sedikit kerikilan, umumnya tersebar dilaut jawa bagian timur
lepas pantai pesisir Propinsi Banten antara lepas pantai Kabupaten Tanggerang
hingga lepas pantai Kabupaten Serang, terdapat pada kedalaman batimetri -5
hingga -50 m dengan luas sekitar 133,5 km2. Lanau umumnya terdapat dekat
pantai perbatasan Kabupaten Serang dengan Kabupaten Tanggerang, terdapat
20
pada kedalaman 0 – 10 m dengan luas sekitar 14,5 km2. Berdasarkan hasil survei
potensi dasar laut dalam dokumen andal PT. Samudera Banten Jaya bahwa
sedimen yang berada didasar perairan Kabupaten Serang didominasi oleh pasir
koral , lempung pasiran dan pasir halus dengan ketebalan1,5 hingga 7 meter.
21
Rajungan (Portunus pelagicus) adalah sejenis kepiting renang atau
swimming crab, disebut demikian karena memiliki sepasang kaki belakang yang
berfungsi sebagai kaki renang, berbentuk seperti dayung. Karapasnya memiliki
tekstur yang kasar, karapas melebar dan datar, sembilan gerigi disetiap sisinya;
dan gigi terakhir dinyatakan sebagai tandu. Karapas tersebut umumnya berbintik
biru pada jantan dan berbintik coklat pada betina, tetapi intensitas dan corak dari
pewarnaan karapas berubah-ubah pada tiap individu, Kangas (2000).
22
Rajungan merupakan jenis paling terkenal diantara jenis kepiting lainnya bahkan
di Indonesia, Australia dan India, rajungan merupakan hasil perikanan yang
penting bagi Industri perikanan dan sangat digemari, terbukti dengan banyaknya
terdapat di pasar-pasar (Soim, 1999)
23
Rajungan banyak terdapat di perairan Indonesia sampai perairan
kepulauan Pasifik serta terdapat di sepanjang negara-negara Indo Pasifik Barat,
Samudera Hindia, Asia Timur dan Tenggara (Singapura, Philipina, Jepang, Korea,
China, Teluk Benggala), Turki, Lebanon, Sicilia, Syiria, Cyprus, dan sekitar
Australia (CIESM, 2000).
Rajungan jantan menyenangi perairan dengan salinitas rendah sehingga
penyebarannya di sekitar perairan pantai yang dangkal. Sedangkan rajungan
betina menyenangi perairan dengan salinitas lebih tinggi terutama untuk
melakukan pemijahan, sehingga menyebar ke perairan yang lebih dalam
dibanding jantan, Saedi (1997). Hal ini diperkirakan karena kondisi lingkungan
yang berubah. Perubahan salinitas dan suhu di suatu perairan mempengaruhi
aktivitas dan keberadaan suatu biota (Gunarso, 1985).
Tahap
Lokasi Ukuran Keterangan
Perkembangan
7≥CW≤9 cm, (kumar et
Estuaria, teluk yang terlindungi
all, 2000) 3,7 cm CL Usia sekitar
Dewasa dan perairan pantai sampai
(Rousenfell, 1975. vide satu tahun
kedalaman 65 m (CEISM, 2000)
Solihin, 1993)
Daerah pesisir pantai dekat teluk
Bertelur
(Thomson, 1974)
Daerah pesisir pantai dekat teluk
Memijah
(Thomson, 1974)
Perairan terbuka (West Sifat
Larva CW≤0.48 mm
Australian Government, 1997) planktonik
Teluk terbuka lalu menuju Transisi dari
muara dan berakhir disekitar CW antara 0.4 cm plantonik
Juvenil
perairan estuaria (West ≥CW≤1.0 cm menuju
Australian Government, 1997) Benthik
Estuaria (West Australian
Muda Benthik
Government, 1997)
24
2.7 Dampak Penambangan Pasir Laut
25
laut dan kadar TSS di dasar perairan tersebut. Peningkatan nilai kekeruhan dan
kadar TSS di kolom dan permukaan perairan justru terjadi pada tahap pemuatan
material galian yang dialirkan masuk ke dalam tongkang (hopper barger) dan
pada tahap pengangkutan hasil galian. Pada kegiatan pemuatan bahan galian,
seluruh material yang dihisap oleh suction dredger yang terdiri dari pasir, lumpur
dan air akan terangkut. Material berat yaitu pasir akan mengendap pada bagian
bawah tongkang, sedangkan lumpur dan air akan berada di permukaan tongkang
dan kemudian melimpah kembali ke laut, baik ketika proses pemuatan masih
berlangsung maupun selama proses pengangkutan bahan galian. Limpahan
material galian tersebut akan menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap
kekeruhan dan kadar TSS. Penyebaran dampaknya akan sangat tergantung kepada
komposisi lumpur dan pola aliran air laut pada saat operasi penambangan pasir
laut dilakukan.
26
dengan menggunakan teknik PRIME dinyatakan bahwa penghentian
penambangan pasir laut merupakan keputusan yang optimis dengan potensi
kerugian ekonomi yang paling kecil.
27
3 METODOLOGI PENELITIAN
29
3.4.2 Kualitas Rajungan
Terganggunya atau berubahnya habitat rajungan diperkirakan akan
mempengaruhi aspek biologi rajungan. Dalam penelitian ini dilakukan
pengukuran berat rajungan (gram), panjang carapace rajungan (centimeter) dan
lebar carapace rajungan (centimeter) yang tertangkap. Pengolahan data ukuran
dan jumlah rajungan yang tertangkap dilakukan dengan menggunakan Microsoft
Excel untuk memperoleh komposisi ukuran tubuh rajungan yang tertangkap oleh
jaring rajungan. Ukuran yang didapat merupakan kualitas rajungan yang akan
dibandingkan dengan kualitas rajungan sebelum adanya penambangan pasir laut
berdasarkan literatur atau hasil penelitian terdahulu.
30
keterangan:
Pada penelitian ini dilakukan analisis regresi produksi pasir laut (X) terhadap
produksi rajungan (Y). Analisis regresi ini untuk melihat seberapa besar
hubungan produksi pasir laut terhadap produksi rajungan yang ditunjukan oleh
koefisien regresi yang didapat.
SP = ( A x B x C x D ) – ( C x D x E )
31
Keterangan :
SP = Surplus Produsen
A = Produksi rajungan rata-rata per trip (kilogram)
B = Harga jual rajungan (Rp / kg)
C = Jumlah trip (hari melaut per tahun)
D = Jumlah armada tangkap (unit)
E = Biaya operasional per trip (Rp)
32
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
34
Tabel 3. Produksi (ton) perikanan laut Kabupaten Serang menurut kecamatan
Tabel 4. Nilai produksi (Rp. 1000) perikanan laut Kabupaten Serang menurut
kecamatan.
35
Pada musim barat (Desember-Februari), dimana angin dan arus kuat, mereka
menangkap ikan sampai ke perairan Kepulauan Seribu atau Lampung (Nuraini,
2004).
36
Tabel 6. PDRB Kab. Serang dan kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB
Jumlah perahu/Kapal
Kecamatan Motor Tempel Kapal Motor Jumlah
Tirtayasa 399 399
Tanara 56 56
Kasemen 128 121 249
Kramatwatu 52 52
bojonegara 217 217
Anyar 21 36 57
Cinangka 61 61
Jumlah 882 209 1091
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang 2003
37
Beberapa alat tangkap yang umum dan potensial di Kabupaten Serang
dalam produksi ikan adalah bubu (trap), pancing rawe (bottom lngline), payang,
jaring dogol (danish seine), jaring bondet (beach seine), bagan tancap (fixed lift
net), bagan apung/perahu, jaring klitik (bottom gill net) dan jaring insang (gill
net), jaring klitik (bottom gill net) dan jaring insang (gill net), jaring arad (bag
net), sudu perahu, dan sudu (push net,) Nuraini( 2004).
Berdasarkan laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang,
jenis dan jumlah alat tangkap di Kabupaten Serang pada tahun 2003 tertera pada
Tabel 8.
Pada tahun 1999, jumlah penduduk Kabupaten Serang sebesar 7.500.000
jiwa dan 10% dari jumlah penduduk tersebut hidup dan bermukim di kawasan
pantai budidaya. Terdapat 1.553 rumah tangga perikana (RTP) yang memiliki
aktivitas di bidang perikanan laut dan melibatkan 12.764 orang pada tahun1999
dengan pendapatan seperti tertera pada Tabel 9.
Tirtayasa 72 40 12 9 - 48 - 8 189
Tanara 20 23 1 - - 11 - - 55
bojonegara 70 56 - - 9 5 - 37 177
Anyar 44 5 - - - 57 - - 106
Cinangka 61 - - - - - - 61
38
Tabel 9. Perkiraan pendapatan nelayan dan buruh nelayan pada beberapa alat
tangkap di Teluk Banten tahun 1998-1999
udang putih, dan udang apai-api. Jumlah rumah tangga petani tambak pada 4
kecamatan mencapai 1145 orang dan luas tambak mencapai 5.462,37 ha seperti
39
Tabel 10. Luas tambak menurut kecamatan
Kecamatan Luas tambak (ha)
Bojonegara 157.22
Kasemen 988.14
Kramatwatu 656.60
Pontang 2,168.52
Pulo Ampel 19.22
Tanara 1,797.67
Tirtayasa 2,263.08
Jumlah 8,050.45
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang
Tabel 11. Jumlah rumah tangga petani tambak dan luas areal tambak di
Kabupaten Serang
Kecamatan Desa Jumlah Petani Tambak Luas Areal (ha.)
Kasemen banten 49 126.60
Sawah Luhur 144 387.80
Sukajaya 105 340.50
Pontang Linduk 60 342.37
Wanayasa 70 425.80
Domas 104 522.90
Tirtayasa Alang-Alang 36 105.00
Lontar 88 521.70
Susukan 107 447.90
Sujung 8 54.00
Tengkurak 71 748.00
Tanara Pedaleman 52 240.40
Tenjoayu 234 1,118.90
Tanara 17 80.5
Jumlah 1145 5462.37
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang
40
Desa di Kecamatan Tirtayasa, 6 desa memiliki wilayah-wilayah pesisir/pantai,
yaitu Desa Sujung, desa Lontar, Desa Susukan, Desa Alang-alang, Desa
Tengkurak, dan Wargasara serta Pulo Panjang yang merupakan desa pulau.
Penduduk Kecamatan Tirtayasa pada tahun 2002 berjumlah 39.226 jiwa,
dengan komposisi jumlah wanita dan laki-laki adalah 19.580 dan 19.646 jiwa,
jumlah penduduk pada tiap desa tertera pada Tabel 12. Pada desa-desa yang
terletak di wilayah pantai atau pesisir, sebagian besar penduduk bermata
pencaharian sebagai nelayan, petambak, bakul (tengkulak) dan pada desa-desa
lainnnya, penduduk sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani sawah.
Komposisi penggunaan lahan untuk kegiatan perekonomian di
KecamatanTirtayasa Pontang terdiri atas lahan persawahan, kebun, tegalan dan
tambak, secara terperinci tertera pada Tabel 13. Sedangkan pemanfaatan lahan
untuk aktivitas perekonomian pada 2 desa pengamatan di Tirtayasa tertera pada
Tabel 14.
Jumlah Penduduk
Desa
Wanita Laki-laki KK
Tirtayasa 1587 1557 787
Sujung 2132 2011 1035
Kebon 1389 1311 758
Lontar 2604 2561 1932
Susukan 1785 1780 891
Pontang Legon 1195 1168 590
Kemanisan 1333 1259 648
Kebuyutan 943 928 467
Samparwadi 1308 1295 650
Puser 1213 1109 580
Laban 1072 1049 530
Alang-alang 1178 1160 648
Tengkurak 1259 1229 622
Wargasara 509 457 245
Jumlah 19507 18874 10383
Sumber: Kantor Kecamatan Tirtayasa
41
Tabel 13. Luas penggunaan lahan di Kecamatan Tirtayasa (ha)
Desa Lontar sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan
dengan Desa Alang-Alang, Sebelah barat dengan Desa Susukan, dan sebelah
timur dengan Desa Tengkurak. Desa Lontar yang terdiri dari 1932 KK, sebagian
besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Selain nelayan, mata
pencaharian utama yang lain adalah bakul (tengkulak), dimana hubungan antara
42
bakul dengan nelayan sudah terjalin erat dan melembaga. Bakul ini terdiri dari
bakul pertama yang membeli hasil tangkapan langsung dari nelayan, bakul kedua,
yang membeli hasil tangkapan dari bakul pertama dan bakul besar atau bakul
pengumpul. Terdapat pula bakul besar yang membeli hasil tangkapan langsung
dari nelayan dalam jumlah yang besar terutama untuk hasil tangkapan rajungan.
Para bakul ini terdiri dari bakul yang memiliki kapal maupun bakul yang tidak
memiliki kapal.
Nelayan yang ada di Desa Lontar terdiri dari nelayan yang memiliki
perahu, nelayan tanpa perahu, nelayan jaring lempar, pengumpul kerang-
kerangan. Jenis-jenis tangkapan yang dihasilkan para nelayan sangat tinggi, terdiri
dari berbagai jenis ikan pelagis seperti tenggiri, tongkol, selar, layar dan lain-lain,
udang, rajungan, berbagai jenis kerang-kerangan, benih kerapu. Kegiatan
pengumpulan kerang-kerangan pada umumnya dilakukan oleh para wanita istri
nelayan.
Kegiatan perikanan tambak terdapat pula di Desa Lontar dengan luas
tambak sebesar 285 ha, dimana komoditas yang dihasilkan dari tambak ini adalah
ikan mujair dan bandeng. Seperti halnya nelayan tangkap, nelayan tambak
memasarkan panen tambaknya kepada para bakul. Selain ikan mujahir dan
bandeng, petambak memanen pula udang alam (udang api) yang masuk ke tambak
melalui saluran air masuk dari laut. Selain petani, bakul dan petambak, mata
pencaharian lain yang cukup dominan adalah warung dan ojeg. Perekonomian di
Desa Lontar digerakkan pula oleh banyaknya TKW yang bekerja di luar negeri,
dimana pada saat-saat musim pacekcik, peran TKW ini cukup berarti untuk
menopang perekonomian keluarga. Peran TKW yang cukup menonjol ini terlihat
pada bangunan fisik rumah yang tergolong baik. Desa Lontar dengan panjang
pantai kurang lebih 6 km, memiliki komunitas mangrove (jenis api-api) yang
sudah rusak dan saat ini memiliki komunitas mangrove yang tidak berarti. Pantai
di Desa Lontar adalah pantai berpasir dimana pada pantai ini pula terdapat
komunitas nelayan dengan pemukiman yang terletak di pinggir pantai.
Pantai di Desa Lontar menjadi kawasan wisata lokal, baik untuk masyarakat Desa
Lontar sendiri maupun desa-desa lain di Kecamatan Tirtayasa.
Sarana dan fasilitas kesehatan yang terdapat di Desa Lontar adalah sebuah
polindes atau satu orang bidan desa. Sedangkan sarana pendidikan yang ada di
Lontar berupa 1 buah lembaga pendidikan TK, 3 buah setingkat SD dan 1 buah
Madrasah Tsanawiyah.
43
Desa Susukan dengan luas 7,90 km2, wilayahnya terdiri dari areal
persawahan, tambak dan pemukiman. Sebagaian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai nelayan dan petambak. Nelayan di Desa Susukan sebagian
besar merupakan nelayan jaring rajungan. Di Desa Susukan terdapat 2 orang
pengusaha atau bakul besar yang menampung rajungan tangkapan nelayan untuk
kemudian dijadikan komoditas rajungan kaleng.
Alat tangkap
Alat tangkap yang biasa digunakan masyarakat Kecamatan Tirtayasa
untuk menangkap rajungan adalah jaring rajungan dan bubu rajungan.
44
1. Jaring rajungan
Jaring rajungan memiliki bagian-bagian, yaitu tali ris atas (head rope), tali
pelampung (float line), pelampung (float), badan jaring (webbing), tali ris bawah
(ground rope), pemberat (singker), tali selambar dan perlengkapan tambahan
berupa pelampung tanda dan pemberat tambahan. Jaring rajungan dioperasikan
oleh 2-3 orang, kadang ada beberapa nelayan yang ikut membawa jaring rajungan
sendiri dengan tujuan menghemat biaya operasional. Biasanya tiap nelayan
membawa 12-30 tingting. Spesifikasi alat tangkap jaring rajungan yang digunakan
yaitu pada Tabel 16
Tabel 16 Bagian, bahan dan ukuran jaring rajungan yang digunakan nelayan
Kecamatan Tirtayasa
4 Tali pemberat
Bahan PE multifilament
Arah pilinan S
Diameter 2 mm
5 Pelampung
Bahan Karet sandal
Bentuk Oval
Diameter dalam 0,2 cm
Diameter luar 2,6 cm
Ketebalan 1,3 cm
Jarak antar pelampung 240 cm
6 Pemberat
Bahan Timah
Berat 2 gr
Bentuk Bulat
Diameter dalam 1 mm
Diameter luar 3 mm
Jarak antar pemberat 30 cm
45
Waktu penangkapan 1 hari untuk 1 trip dilakukan pada sore hari dan baru
diambil pada pagi hari berikutnya.
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dilakukan sebelum melakukan operasi penangkapan. Tahap
ini meliputi persiapan alat tangkap dan pemeriksaan kondisi mesin, perahu,
persiapan bahan bakar, persiapan perbekalan serta persiapan ABK.
46
perairan yang sesuai adalah yang bertipe substrat lumpur berpasir. Setting
berlangsung kurang lebih selama 1 jam tergantung dari banyaknya jaring
rajungan yang dibawa. Tahapan penurunan alat tangkap tersebut adalah dari
lambung kanan kapal, dengan urutan sebagai berikut :
Kapal dijalankan dengan kecepatan rendah dan nelayan ke-1 menurunkan
alat tangkap per tinting sampai dengan selesai. Nelayan ke-2 bertugas
membantu kelancaran kegiatan penurunan alat tangkap (setting),
sedangkan nelayan ke-3 bertugas sebagai nahkoda/tekong, yaitu
mengarahkan dan mengemudikan perahu pada saat setting.
Kegiatan penurunan rangkaian alat tangkap jaring rajungan dimulai dari
bendera tanda. Kemudian rangkaian demi rangkaian dalam tiap tinting alat
tangkap jaring rajungan terus diturunkan. Pada rangkaian terakhir
diikatkan dengan tali selambar dengan panjang sekitar 35 m dari bahan
PE.
Kedalaman perairan berdasarkan pengamatan dan penelitian lapangan
pada kegiatan operasi penangkapan berkisar antara 7-15 meter. Setelah
semua rangkaian alat tangkap jaring rajungan diturunkan, posisi kapal
segera lego jangkar dan mesin kapal dimatikan.
Kegiatan penurunan alat tangkap jaring rajungan tersebut dilanjutkan
dengan tahap perendaman (soaking).
4. Tahap Perendaman Alat Tangkap Jaring Rajungan (Soaking)
Setelah selesai penurunan alat tangkap (setting), tali selambar yang
dihubungakan dengan pelampung tanda diikatkan ke badan kapal dan mesin
kapal dimatikan, kemudian jangkar kapal diturunkan.Selama proses
perendaman alat tangkap (soaking), nelayan kembali kedarat untuk
beristirahat ataupun melakukan aktivitas lainnya. Lama perendaman alat
tangkap yang dilakukan adalah satu malam atau 9-12 jam.
5. Tahap Pengangkatan/Penarikan Alat Tangkap Jaring Rajungan (Hauling)
Kegiatan pengangkatan/penarikan alat tangkap jaring rajungan (hauling)
dimulai dengan pengangkatan jangkar ke atas perahu. Kemudian penarikan
pelampung tanda dan penarikan rangkaian alat tangkap.
Pada saat hauling, ada pembagian tugas diantara para nelayan. Nelayan ke-1
bertugas menarik tali utama dan bagian badan jaring (webbing) sambil
47
membersihkan kotoran (sampah) yang menempel pada jaring tersebut.
Nelayan ke-2 bertugas membantu nelayan ke-1 dalam menarik jaring,
menyusun jaring untuk setting berikutnya, mengeluarkan hasil tangkapan dari
badan jaring dan memasukkan hasil tangkapan ke dalam ember plastik yang
telah disediakan. Nelayan ke-3 bertugas mengemudikan kapal sambil sesekali
membantu melepaskan hasil tangkapan dari badan jaring.
Kegiatan hauling dilakukan di bagian lambung kanan kapal. Lama waktu
hauling sekitar 2 jam tergantung dari banyaknya jaring rajungan yang dibawa
oleh nelayan.
48
Tabel 17 Bagian, bahan dan ukuran bubu lipat yang digunakan nelayan
Kecamatan Tirtayasa
No Nama Bagian Keterangan
1 Bagian bubu
Bahan rangka utama Besi behel ukuran 8 …..mm
Panjang (cm) 51,5 cm
Lebar (cm) 34 cm
Tinggi (cm) 20 cm
Dimensi mulut (cm) 1-2 cm
Kasa tempat umpan Besi behel ukuran 10……mm
Panjang tempat umpan (cm) 18-20 cm
2 Tali utama
Bahan PE multifilament
Panjang (m) 3000 m
Diameter (mm) 10 mm
3 Tali cabang
Bahan PE multifilament
Panjang (m) 2m
Diameter (mm) 4 mm
4 Pelampung tanda
Bahan Bambu atau Styrofoam
Panjang (m) 2m
Bentuk elips
Panjang tali (m) 20 m
Diameter tali (mm) PE multifilament 3 mm
Tahapan pengoperasian bubu lipat adalah sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini dilakukan sebelum berangkat menuju daerah
penangkapan. Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah pemeriksaan alat
tangkap, mesin, perahu, persiapan bahan bakar (solar dan minyak tanah),
persiapan perbekalan (bahan makanan, es, air bersih) serta persiapan umpan.
2. Tahap Pencarian Daerah Penangkapan (Fishing Ground)
Pada tahap penentuan daerah penangkapan (fishing ground) untuk menangkap
rajungan, biasanya dilakukan berdasarkan informasi atau pengalaman hasil
tangkapan sebelumnya. . Perairan yang sering dijadikan daerah penangkapan
rajungan adalah di sekitar perairan Kecamatan Tirtayasa yang juga merupakan
49
lokasi penambangan pasir laut. Bila penambangan pasir laut sedang dilakukan
maka nelayan mencari daerah penangkapan lebih jauh ketengah laut. Pada saat
perahu diarahkan menuju ke daerah penangkapan, maka ikan umpan yaitu dari
jenis ikan petek dan ikan rucah dipersiapkan dan dipasang pada bubu,
kemudian setelah ikan umpan terpasang, bubu dilipat kembali dan disusun di
lambung kanan kapal untuk persiapan penurunan alat tangkap (setting).
Umpan yang digunakan berukuran 5 cm. Jadi, jika ukuran ikan melebihi 5 cm,
maka ikan dibagi menjadi 2 bagian sehingga kira-kira berukuran 5 cm. Waktu
yang dibutuhkan untuk mencari daerah penangkapan ini kurang lebih 1-2 jam.
3. Tahap Penurunan Alat Tangkap Bubu Lipat (Wadong) (Setting)
Sesampainya di daerah penangkapan (fishing ground) dilakukan pencarian
dasar perairan yang sekiranya tepat untuk pemasangan bubu. Dasar perairan
yang sesuai adalah yang bertipe substrat lumpur berpasir.
Setting berlangsung kurang lebih selama 1-1,5 jam dengan jumlah bubu ± 300
buah. Waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan setting alat tangkap bubu lipat
(wadong) rata-rata sekitar 12 detik per buah. Tahapan penurunan alat tangkap
tersebut adalah dari lambung kanan kapal, dengan urutan sebagai berikut :
Kapal dijalankan dengan kecepatan rendah dan nelayan ke-1
menyusun/merangkai alat tangkap yang satu dengan yang lainnya serta
posisi bubu lipat yang awalnya terlipat segera untuk dibuka. Apabila telah
siap, alat tangkap diserahkan kepada nelayan ke-2 untuk dilakukan
penurunan alat tangkap (setting).
Nelayan ke-3 bertugas membantu kelancaran penurunan alat tangkap dan
nelayan ke-4 bertugas sebagai nahkoda/tekong, yaitu mengarahkan dan
mengemudikan kapal pada saat setting.
Kegiatan penurunan rangkaian alat tangkap bubu lipat (wadong) dimulai
dari bendera tanda, kemudian rangkaian alat tangkap bubu terus
diturunkan dan setiap 50 buah diberi bendera tanda. Secara keseluruhan
dari 300 buah rangkaian bubu dibagi menjadi 8 buah bendera tanda.
Kedalaman perairan laut dalam mengoperasikan bubu lipat adalah
berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian lapangan yaitu berkisar
antara 7-15 m tergantung dari daerah penangkapan. Setelah semua
50
rangkaian alat tangkap bubu diturunkan, posisi kapal segera lego jangkar
dan mesin kapal dimatikan.
Selanjutnya adalah tahap perendaman (soaking).
4. Tahap Perendaman Alat Tangkap Bubu Lipat (Wadong) (Soaking)
Setelah selesai penurunan alat tangkap (setting), tali selambar yang
dihubungkan dengan pelampung tanda diikatkan ke badan kapal dan mesin
kapal dimatikan, kemudian jangkar diturunkan. Selama proses perendaman
alat tangkap (soaking), nelayan kembali kedarat untuk melakukan aktivitas
lainnya. Lama perendaman alat tangkap berkisar 9-12 jam.
5. Tahap Pengangkatan/Penarikan Alat Tangkap Bubu Lipat (Hauling)
Kegiatan penangkapan/penarikan alat tangkap bubu lipat (hauling) dimulai
dengan pengangkatan jangkar ke atas. Kemudian penarikan pelampung tanda
dan penarikan bubu.
Pada saat hauling, pembagian tugas diantara para nelayan adalah sebagai
berikut : nelayan-1 bertugas menarik tali utama, nelayan ke-2 bertugas
mengangkat bubu pada tali cabang dan membersihkan lumpur pada bubu,
nelayan ke-3 mengeluarkan hasil tangkapan dari dalam bubu ke cool box dan
nelayan ke-4 bertugas memasang umpan sekaligus merapihkan bubu di atas
kapal untuk setting yang berikutnya.
Kegiatan hauling dilakukan di bagian lambung kanan perahu, dengan rata-rata
waktu yang dibutuhkan untuk penarikan bubu sekitar 2 jam.
51
crustaceae. Tipe ini juga dianut oleh Kepiting pasir dari famili Hippidae yang
banyak ditemukan di pantai (Nybaken , 1992).
Pada perairan Kecamatan Tirtayasa saat bulan-bulan tertentu terdapat
musim udang. Secara kontinu juga banyak ditangkap rajungan (Portunus
pelagicus) bahkan pada bulan-bulan tertentu terjadi musim rajungan atau
besarnya hasil tangkapan. Terdapatnya musim udang dan rajungan pada perairan
Kecamatan Tirtayasa tidaklah mengherankan, karena udang ataupun rajungan
yang telah dewasa mereka cenderung berada pada dasar perairan yang berpasir.
Rajungan jenis Portunus sp hidup pada habitat yang beraneka ragam yaitu pantai
dengan dasar pasir, pasir lumpur dan juga di laut terbuka. Dalam keadaan biasa, ia
diam di dasar laut sampai dengan kedalaman lebih dari 65 m, tetapi sekali-sekali
ia dapat juga terlihat dekat ke permukaan laut (Nontji, 1993).
Portunidae adalah salah satu famili kepiting yang memiliki pasangan
kaki jalan dan pasangan kaki kelimanya berbentuk pipih dan melebar pada ruas
yang terakhir. Famili Portunidae sebagian besar hidup di laut, perairan bakau, atau
perairan payau. Rajungan berbeda dengan kepiting, tetapi karena masih satu
famili maka dalam dunia perdagangan dimasukkan satu kelompok yang sama
dengan kepiting yaitu kelompok crabs.
Musim ikan terjadi 2 kali dalam setahun, baik pada musim barat maupun
musim timur, dan mencapai puncak menjelang musim hujan pada bulan Juni-
Oktober. Sedangkan musim udang terjadi 2 kali setahun, yaitu pada musim barat
dan timur, mengalami puncak musim selama 3 bulan dalam 1 tahun. Pada saat
musim udang, nelayan menangkap udang 3 hari dalam 1 minggu. Menurut salah
seorang nelayan, bulan Februari-Maret-April dimana terjadi musim timur
merupakan puncak musim kerapu. Menurut para nelayan, diantara komoditas
udang, ikan, rajungan dan kerang-kerangan, hanya rajungan dan kerang-kerangan
saja yang tidak mengenal musim.
52
Tabel 18. Jumlah kapal dan nelayan di desa-desa pengamatan di Kecamatan
Tirtayasa.
Susukan Lontar Tengkurak
Alat Tangkap
Kapal Nelayan Kapal Nelayan Kapal Nelayan
Jr. Udang - - - -
Jr. Bondet - - - - 17 102
Bubu 18 72 - - - -
Sero - - - - 22 110
Jr. Rajungan - - - - - -
Jr. Rampus 1 4 - - - -
Jr. Tegur - - - - 14 70
Yonbun 3 15 - - - -
Jr. Klitik 10 50 - - - -
Jumlah 32 141 265 1200 53 282
Sumber : Hasil survey Dinas Perikanan Kab. Serang tahun 2004
*) Hasil pengamatan
53
10-40 kg./trip untuk jaringan udang, 50-150 kg/trip untuk jaring rampus, 15-50 kg
untuk jaring rajungan, 100-200 kg/trip untuk jaring arad, 200-500/kg untuk
jaring bondet. Pada puncak musim udang, tangkapan udang mampu mencapai
100-200 kg/trip. Nelayan-nelayan yang mencari ikan di pinggir pantai dengan
menggunakan jala lempar, menghasilkan 3-6 kg. Udang/ikan tiap harinya, dan
para pengumpul kerang dapat menghasilkan kerang-kerangan 5-10 kg setiap
harinya. Selain itu, dengan menggunakan sudu, diperoleh pula bibit kerapu.
54
nelayan terutama pada musim paceklik. Bakul ini juga dapat dikelompokkan
menjadi bakul pertama (bakul kecil) dan bakul kedua atau bakul besar.
Berdasarkan pengamatan, pada tempat-tempat dimana ikatan bakul dengan
nelayan begitu kuat, tidak ada aktivitas pada TPI seperti di Desa Lontar.
Pendapatan nelayan pemilik perahu berkisar antara Rp. 20.000 -100.000
setiap harinya, dengan rata-rata Rp. 43.000,-, nelayan buruh Rp. 10.000-100.000
/hari dengan rata-rata Rp. 34.000,- dan bakul 10.000-3.000.000,- dengan rata-rata
Rp. 130.000 per hari. Bila sedang musim paceklik, nelayan mengaku masih
memperoleh pendapatan antara 5.000-25.000 setiap harinya. Nelayan jaring
lempar setiap harinya dapat memperoleh pendapatan antara 20.000-50.000 setiap
harinya, begitu pula dengan nelayan pengumpulan kerang-kerangan.
55
tahun. Dari sisi tingkat pendidikan, maka sebayak 33 orang (86.84%)
berpendidikan SD (tamat atau tidak tamat), 4 orang (10.53%) berpendidikan
SLTP, dan 1 orang (2.63%) berpendidikan SLTA.
Sebanyak 19 orang dari 38 orang responden bermata pencaharian sebagai
nelayan pemilik dan dari 38 orang tersebut, 17 orang (16.8%) merupakan nelayan
yang memiliki perahu, dan 15 orang (39.47%) merupakan nelayan buruh, 6 orang
(15.79%) responden bermata pencaharian sebagai bakul ikan.
56
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
60.0 600000
50.0 500000
40.0 400000
produksi
30.0 300000 rajungan (ton)
20.0 200000 produksi pasir
laut (M3)
10.0 100000
- 0
jan'03
jan'04
jan'05
apr
apr
apr
bulan
jul
jul
jul
oct
oct
oct
58
laut dibandingkan dengan produksi sebelum dilakukan penambangan pasir laut
dilakukan uji T dengan taraf α 5% untuk mengetahui apakah terjadi penurunan yang
signifikan.
Hasil uji T menunjukan bahwa t hitung memiliki nilai 2,187 sedangkan t tabel
memiliki nilai 2,100 , oleh karena t hitung lebih besar dari pada t tabel maka Ho : u1
= u2 ditolak dan berarti terjadi penurunan produksi rajungan yang signifikan pada
saat setelah dilakukan penambangan pasir laut dibandingkan dengan produksi
rajungan sebelum penambangan pasir laut.
59
Tabel 20. Perbandingan kualitas rajungan
60
SKIP
-Teristis
EKSPLORASI
-Studi Literatur
STUDI KELAYAKAN Fisik, Ekonomi, Budaya
-Fotogramatis
AMDAL (Foto udara, satelit)
TEKNIS EKSPLOITASI
PENGOLAHAN
PENGANGKUTAN Perencanaan Tambang
(Sistem, Alat, Volume)
PENJUALAN
Unsur yg diperiksa:
LINGKUNGAN AMDAL, RKL & RPL 1. Adm ( Buku Tambang)
2. Teknis
- Baku Mutu
3. Lingkungan
- Ambang Batas
4. K3
DITOLAK
DITERIMA
BAGIAN
HUKUM
61
Pemerintah Kabupaten Serang telah mengeluarkan ijin kuasa pertambangan
kepada beberapa perusahaan. Perusahaan yang telah memiliki ijin ekploitasi dan
telah melakukan penambangan pasir laut adalah P.T. Jet Star yang memulai operasi
penambangan pada bulan September 2003. Adapun produksi Pasir Laut sampai
dengan bulan Maret 2005 seperti dalam Gambar 7. Berdasarkan hasil eksplorasi, luas
penyebaran pasir mencapai 12.185.000 m3 dengan ketebalan rata-rata 3.81 m.
Cadangan terukur sebesar 28.647.316 m3 serta dari perhitungan cadangan tersebut
didapat cadangan tertambang sebesar 47.047.835 m3.
62
mempengaruhi biota laut beserta habitatnya. Hasil pengukuran beberapa parameter
kualitas lingkungan perairan di lokasi penambangan pasir oleh PT. Jet Star dapat
dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air di lokasi penambangan.
Fisika
63
(plankton, nekton), terumbu karang dan padang lamun. Seluruh isi laut akan ditarik
ke atas dan sesampainya diatas kemudian dipilah-pilah. Pasirnya akan diambil,
sedangkan lumpur, air dan lainnnya dibuang kembali ke laut. Bertebaranlah limbah
pengerukan yang berisi lumpur dan jasad renik serta material lainnya yang ikut
terhisap selama proses penggalian dan pemuatan berlangsung. Berbagai jasad renik
yang ikut tersedot, secara otomatis ikut menjadi penyebab munculnya bau busuk
yang mengganggu dan biasanya menjadi penyebab terjadinya plankton booming
(penyuburan perairan). Kejadian ini terus berulang dan tidak meninggalkan waktu
sedikitpun bagi laut dan berbagai satwa lainnya untuk bernafas di air yang jernih.
Kondisi perairan dengan kekeruhan dan kadar TSS yang tinggi akan
mengganggu ikan dan biota laut lainnya dalam proses bernafas karena butiran-butiran
pasir yang teraduk tersebut dapat menutupi organ pernafasan ikan yaitu insang.
Kondisi ini dapat berakibat pada : 1) kematian ikan karena kesulitan dalam bernafas;
dan 2) perpindahan atau migrasi besar-besaran ikan, udang dan biota laut lain menuju
tempat dengan kondisi lingkungan perairan yang lebih bersih, lebih sehat dan tidak
mengganggu keberlangsungan hidupnya.
64
1.2
0
0 2 4 6
produksi pasir laut (M3)
65
Dampak perubahan surplus produsen akibat penambangan pasir laut di daerah
penelitian dihitung berdasarkan data primer dan data sekunder untuk perikanan di
wilayah yang terkena penambangan pasir laut. Data sekunder terlebih dahulu
disagregasi untuk memisahkan alat tangkap yang beroperasi di daerah penambangan
pasir laut dengan alat tangkap yang beroperasi di luar daerah penambangan pasir laut.
Kurva supply perikanan rajungan dalam penelitian ini tidak diketahui, maka
perhitungan surplus produsen di proxy berdasarkan surplus penerimaan. Perhitungan
surplus produsen didasarkan pada produksi perikanan untuk komoditas atau alat
tangkap dominan serta diperkirakan mengalami perubahan produksi karena adanya
penambangan pasir laut, yaitu rajungan, ikan, dan udang. Analisis terhadap
produktivitas alat tangkap dilakukan terhadap jaring rajungan, bubu, jaring bondet,
jaring udang, jaring rampus. Komponen-komponen untuk menghitung surplus
produsen ini adalah:
1. Hasil tangkapan (rata-rata) per trip (kg/trip)
2. Jumlah armada penangkapan
3. Harga komoditas perikanan (Rp/kg)
4. Jumlah hari melaut
5. Biaya operasional per trip (Rp/trip); biaya bahan bakar, perbekalan.
Berdasarkan data primer dan sekunder, maka diperoleh surplus untuk
rajungan pada kondisi sebelum penambangan dan pada saat penambangan seperti
tertera pada Tabel 22.
66
Pada Desa Lontar sebelum adanya penambangan pasir laut, hasil tangkapan
rajungan pada saat musim rajungan mencapai 50 kg/trip dan di luar musim mencapai
15 kg/trip. Setelah adanya penambangan pasir laut hasil tangkapan rajungan pada saat
musim rajungan mencapai 8 kg/trip dan di luar musim mencapai 4 kg/trip. Jumlah
trip atau hari melaut musim rajungan mencapai 18 hari sedangkan diluar musim
rajungan jumlah hari melaut mencapai 174 hari dalam 1 tahun. Jumlah armada yang
melakukan penangkapan rajungan mencapai 265 kapal. Harga jual rajungan sebesar
Rp. 12.500,-/kg. Biaya operasional penangkapan sebesar Rp. 35.000,-/trip.
Berdasarkan variabel-variabel tersebut maka dihitung total penerimaan dan total
biaya variabel. Selisih antara total penerimaan dan total biaya variabel merupakan
surplus produsen. Biaya penangkapan pada musim rajungan sebesar Rp. 700,-/kg dan
diluar musim rajungan sebesar Rp.2.333,-/kg. Cara perhitungan yang sama dilakukan
pada Desa Susukan sehingga didapat perhitungan surplus produsen sebelum dan
setelah penambangan pasir laut.
Surplus produsen untuk rajungan pada keadaan sebelum penambangan
sebesar Rp. 11.481.765.000,- sedangkan surplus produsen pada saat penambangan
sebesar Rp 1.435.140.000,- sehingga terjadi perubahan (penurunan) surplus sebesar
Rp. 10.046.625.000,- atau sebesar 88%.
Menurut Saraswati (2005), nilai ekonomi pasir laut di Kabupaten Serang sebesar
Rp. 109.705.150.000,- per tahun, dengan demikian bila dibandingkan perubahan surplus
produsen rajungan terhadap nilai ekonomi pasir laut diperoleh nilai sebesar 9%. Gambar
12 menampilkan perbandingan surplus produsen.
67
10000000
R
I 9000000
B 8000000
U 7000000
6000000
R SEBELUM PENAMBANGAN
U 5000000
SETELAH PENAMBANGAN
P 4000000
I 3000000
A
2000000
H
1000000
0
Ds. LONTAR Ds. SUSUKAN
68
pertambangan umum. Perda No 1 Tahun 2003 memasukan pasir laut dengan
kategori sebagai bahan galian C. Perda tersebut memiliki kelemahan bila diterapkan
pada usaha penambangan pasir laut karena pada pasal 21 ayat 4 disebutkan bahwa
luas wilayah ekploitasi maksimal 100 hektar. Pada kenyataan saat ini setiap kuasa
pertambangan yang diberikan oleh pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Serang
luasnya mencapai puluhan ribu hektar. Mempertimbangkan kelemahan tersebut,
apabila Pemerintah Daerah Kabupaten Serang tetap pada kebijakan mengekploitasi
pasir laut sebaiknya membuat peraturan daerah khusus mengenai pengusahaan pasir
laut yang mengacu pada peraturan daerah tentang tata ruang laut dan pesisir. Hal
tersebut sangat diperlukan karena wilayah laut merupakan perairan umum dan
berbagai pihak memiliki kepentingan atas perairan tersebut.
Hal lain yang menjadi masalah adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Serang
belum memiliki peraturan daerah mengenai tata ruang laut dan pesisir sehingga
Pemerintah Daerah belum memiliki kebijakan mengenai zonasi-zonasi laut yang
mengatur wilayah fishing ground, penambangan pasir laut ataupun zonasi laut untuk
kepentingan lainnya. Melihat kondisi tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Serang
perlu segera membuat peraturan daerah tentang tata ruang laut dan pesisir yang
memuat kebijakan zonasi untuk kepentingan berbagai pihak yang dapat mengatur dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Community development sebagai upaya pemberdayaan masyarakat diberikan
oleh perusahaan yang melakukan penambangan pasir, tetapi besaran nilai dana dan
teknis pengelolaannya belum ada pedoman atau aturan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah. Produksi perikanan tangkap di Kecamatan Tirtayasa semakain
menurun terlebih dengan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Serang
memberikan ijin penambangan pasir laut. Penambangan pasir laut telah menyebabkan
pola penangkapan yang dilakukan oleh nelayan berubah, khususnya ketika kapal
penambang pasir laut beroperasi. Nelayan Kecamatan Tirtayasa biasanya melakukan
penangkapan secara oneday fishing dengan memasang jaring atau bubu pada sore hari
dan setelah itu kembali kedarat untuk melakukan aktivitas lainnya. Waktu tempuh
yang diperlukan untuk dapat sampai pada lokasi fishing ground hanya berkisar 30 –
69
60 menit. Pada pagi hari nelayan kembali ke laut untuk menarik jaring atau bubu.
Semenjak adanya penambangan pasir laut, nelayan melakukan penangkapan pada
lokasi yang lebih dekat ke pantai atau jauh melewati daerah fishing ground yang
biasa dituju. Ketika melakukan penangkapan lebih dekat ke pantai, nelayan tidak
merubah pola penangkapan, tetapi hasil yang didapat adalah rajungan dengan ukuran
yang relatif lebih kecil sehingga nilai jual rajungan semakin murah dibawah harga
yang layak. Ketika nelayan melakukan penangkapan pada perairan melewati fishing
ground yang biasa dituju, pola penangkapan nelayan berubah. Nelayan pergi melaut
pada pagi hari untuk memasang jaring atau bubu dan mengangkatnya kembali setelah
terendam 3-4 jam. Hal tersebut diulangi dua atau tiga kali dalam satu trip
penangkapan sehingga mereka tidak lagi kembali kedarat dengan meninggalkan
jaring sebagaimana biasa dilakukan. Nelayan yang melakukan penangkapan pada
fishing ground lebih jauh mendapat hasil tangkapan yang relatif lebih banyak dan
berkualitas serta harga jual rajungan yang relatif lebih baik, tetapi belum tentu lebih
ekonomis karena nelayan yang melakukan penangkapan pada lokasi fishing ground
lebih jauh tersebut membutuhkan bahan bakar dan perbekalan yang lebih banyak pula
sehingga biaya operasional melaut menjadi lebih tinggi. Nelayan Kecamatan
Tirtayasa berupaya mengatasi tingginya biaya operasional dengan menggunakan
bahan bakar yang tidak semestinya sebagai pengganti solar. Bahan bakar pengganti
tersebut berupa campuran 8 – 10 liter minyak tanah dengan satu liter olie bekas.
Pemerintah Daerah Kabupaten Serang sampai saat ini belum mengeluarkan
aturan khusus mengenai alat tangkap, oleh karena itu di perairan Kabupaten Serang
cukup banyak beroperasi alat tangkap yang kurang ramah lingkungan seperti gardan,
arad dan lampara dasar yang dimodifikasi menjadi mini trawl. Berbagai program
Pemerintah Daerah Kabupaten Serang melalui Dinas Perikanan dan Kelautan untuk
nelayan telah banyak dilakukan seperti pemberian bantuan alat tangkap, mesin perahu
dan pemasangan rumpon dengan sumber pembiayaan APBN maupun APBD. Namun
seringkali pemberian bantuan tersebut kurang tepat sasaran dan kurang tepat guna.
Kurang tepat sasaran dikarenakan bantuan tersebut diterima oleh masyarakat yang
tidak berhak, dan kurang tepat guna karena bantuan alat misalnya jaring sering tidak
70
sesuai dengan apa yang biasa digunakan oleh nelayan pada perairan Kabupaten
Serang. Pemberian bantuan yang kurang tepat sasaran dan kurang tepat guna menjadi
sia-sia bahkan terkadang menjadi masalah baru. Program subsidi untuk perikanan
tangkap saat ini baru diberikan kepada pengelola tempat pelelangan ikan untuk
menampung ikan hasil tangkapan nelayan. Hal tersebut dilakukan untuk menjadikan
harga ikan stabil pada kisaran harga yang layak. Program tersebut untuk menaikan
posisi tawar nelayan yang selama ini lebih sering dikendalikan para juragan atau
pemilik modal. Program lainnya berupa bantuan peningkatan modal usaha perikanan
saat ini masih berjalan melalui kegiatan PEMP (pemberdayaan ekonomi masyarakat
pesisir ) bersumber dana APBN. Program PEMP juga telah berhasil membangun
SPDN di Kecamatan Anyer dan rencana saat ini akan dibangun SPDN di Kecamatan
Tirtayasa.
71
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
Kebijakan Pemerintah Daerah memutuskan memberikan ijin ataupun tidak
terhadap penambangan pasir laut, tetap akan menghadapi resiko dan
permasalahan. Namun dalam memutuskan kebijakan Pemerintah Daerah
hendaknya melihat dari keseluruhan aspek, termasuk aspek budaya, sosial dan
lingkungan. Pemerintah Daerah harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat
termasuk nelayan dan tidak harus selalu berorientasi pada peningkatan pendapatan
asli daerah (PAD). Hal lain yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan
kebijakan adalah :
1. Pemerintah Daerah Kabupaten Serang perlu membuat peraturan daerah
tentang tata ruang laut dan pesisir yang memuat kebijakan zonasi di laut
sehingga Pemerintah Daerah dapat mengkaji peraturan daerah secara
khusus tentang ijin pengusahaan pasir laut dan mengacu pada peraturan
daerah tentang tata ruang laut dan pesisir.
2. Perlu dibuat kebijakan serta program perikanan yang mengupayakan
kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan dalam rangka peningkatan
kesejahteraan nelayan.
3. Perlu dilakukan penelitian analisis dampak penambangan pasir laut
terhadap komoditas perikanan lainnya selain rajungan (Portunus
pelagicus).
4. Perlu dilakukan penelitian upaya meminimalkan dampak penambangan
pasir laut, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan nelayan
73
Lampiran 1. Uji T produksi rajungan
Variable Variable
1 2
Mean 10.59 4.873158
Variance 149.9122 7.811445
Observations 19 19
Pearson Correlation 0.407587
Hypothesized Mean
Difference 0
df 18
t Stat 2.186999
P(T<=t) one-tail 0.021093
t Critical one-tail 1.734063
P(T<=t) two-tail 0.042186
t Critical two-tail 2.100924
78
Lampiran 2 . Rata-rata dan standar deviasi ukuran rajungan
Dimensi
Ukuran Rata-rata + SD
Sebelum
Penambangan CL, cm 5,59 + 0,68
CW, cm 11,56 + 1,24
BW, gram 121,75 + 50,19
Setelah
Penambangan CL, cm 5,04 + 0,96
CW, cm 10,3 + 1,9
BW, gram 92,69 + 71,58
79
Lampiran 3. Perhitungan perubahan surplus produsen
Desa Lontar
Komoditas/alat tangkap Produksi per Harga (Rp/Kg) Jumlah Jumlah Hari Biaya Total Penerimaan Total Biaya Surplus
trip (Kg) Armada Melaut Operasional (Rp) (Rp)
Per Trip
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
(1) x (2) x (3) x (4) (3) x (4) x (5) (6) - (7)
Sebelum Penambangan
1) Rajungan (Jaring Rajungan)
- Musim 50 12,500 265 18 35,000 2,981,250,000 166,950,000 2,814,300,000
- Tidak Musim 15 12,500 265 174 35,000 8,645,625,000 1,613,850,000 7,031,775,000
Setelah Penambangan
1) Rajungan (Jaring Rajungan)
- Musim 8 12,500 265 18 35,000 477,000,000 166,950,000 310,050,000
- Tidak Musim 4 12,500 265 174 35,000 2,305,500,000 1,613,850,000 691,650,000
Desa Susukan
Komoditas/alat tangkap Produksi per Harga (Rp/Kg) Jumlah Jumlah Hari Biaya Total Penerimaan Total Biaya Surplus
trip (Kg) Armada Melaut Operasional (Rp) (Rp)
Per Trip
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
(1) x (2) x (3) x (4) (3) x (4) x (5) (6) - (7)
Sebelum Penambangan
1) Rajungan (Bubu)
- Musim 50 12,500 18 24 40,000 270,000,000 17,280,000 252,720,000
- Tidak Musim 20 12,500 18 234 40,000 1,053,000,000 168,480,000 884,520,000
2) Jaring
- Musim 50 12,500 10 24 35,000 150,000,000 8,400,000 141,600,000
- Tidak Musim 15 12,500 10 234 35,000 438,750,000 81,900,000 356,850,000
Setelah Penambangan
1) Bubu 10 12,500 18 258 40,000 580,500,000 185,760,000 394,740,000
2) Jaring 4 12,500 10 258 35,000 129,000,000 90,300,000 38,700,000
Lampiran 5. Peta zona daerah penangkapan ikan, kedalaman 0 – 5 m
82
Lampiran 6. Peta zona daerah penangkapan ikan, kedalaman 5 – 10 m
83
Lampiran 7. Peta zona daerah penangkapan ikan, kedalaman 10 – 15 m
84
Lampiran 8. Peta karakteristik pantai dan kuasa pertambangan pair laut
85
REKAPITULASI PRODUKSI
RAJUNGAN TAHUN 2002 - 2004
ril
Ja t
2
li
k
Ju
-0
O
Ap
5 Mei 2.20
n
Ja
6 Juni 1.50
7 Juli 8.00
8 Agustus 11.00
9 September 12.00
10 Okt 7.88
11 Nopember 6.48
12 Desember 6.13
2004
1 Jan-04 2.00
2 Pebruari 1.80
3 Maret 2.50
4 April 3.00
5 Mei 2.20
6 Juni 1.80
7 Juli 4.00
8 Agustus 5.60
9 September 7.00
10 Okt 8.00
11 Nopember 7.00
12 Desember 5.30
2005
Jan-05 3.20
Peb 5.00
Maret 1.70
Produksi Rajungan 2002 - 2005
Ja t
ril
Ja t
il
kt
li
04
li
05
2
li
k
r
Ju
Ju
Ju
-0
O
O
Ap
Ap
Ap
n-
n-
n
Ja
Bulan